PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KREDITUR DALAM EKSEKUSI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NIM: 070200368
AHMAD HUDA DAYAN NASUTION
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
SKRIPSI
isusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH:
NIM: 070200368
AHMAD HUDA DAYAN NASUTION
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA DAGANG
DIKETAHUI OLEH
KETUA DEPARTEMEN HUKUM
NIP: 196603031985081001 DR Hasim Purba SH MHum
DISETUJUI OLEH
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
Megarita,SH,CN,MHum
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang mana berkat rahmat
dan hidayahnya maka skripsi penulis yang berjudul “PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI KREDITUR DALAM EKSEKUSI PERJANJIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN” ini dapat selesai tepat pada
waktunya.
Skripsi merupakan salah satu prasyarat dalam menyelesaikan studi pada
Fakultas Hukum Univesrsitas Sumatera Utara. Skripsi juga melatih seorang
mahasiswa dalam menulis suatu karya ilmiah dan memeperdalam wawasan
khussunya dalam hal ini mengenai kajian kredit dan hukum hak tanggungan.
Adapun ucapan terima kasih secara khusus penulis ucapkan kepada kedua
orang tua dan adik penulis atas segala dukungannya baik moril maupun materil
yang selalu menguatkan hati penulis dalam melaksanakan tugasnya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan dan
masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritikan
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini di masa yang akan datang.
Akhirul kalam penulis mengharapkan agar tulisan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua,khususnya bagi pegawai
Penulis
Ahmad Huda Dayan Nst
DAFTAR ISI
BAB II: PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DI INDONESIA... 24
A.Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian Menurut KUH Perdata ... 24
B.Tinjuauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank... 26
C.Kredit Macet dan Wan Prestasi... 32
D.Pengertian dan Dasar Yuridis Hukum Jaminan di Indonesia... 38
E.Jenis-Jenis Jaminan... 40
F. Persyaratan dan Kegunaan Benda Jaminan Dalam Perjanjian Kredit.... 43
BAB III: TINJAUAN HUKUM TENTANG HAK TANGGUNGAN DI INDONESIA...... 45
A.Konsep-Konsep Dasar Hukum Hak Tanggungan……….. 45
B.Azas-Azas Hak Tanggungan……… ……… 50
C.Subjek dan Objek Hak Tanggungan……….……… 52
D.Tata Cara Pemberian,Pendaftaran dan Hapusnya Hak Tanggungan.... 54
BAB IV EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PERLINDUNGAN
KREDITUR DALAM PERJANIAN KREDIT... ..……… 61
A.Prosedur Umum Pemberian Kredit Dengan Jaminan di Indonesia... 61
B.Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan... 69
C.Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan dan Perlindungan bagi Kreditur Pemegang Hak Tanggungan... 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 80
A. Kesimpulan……… 80
B. Saran ... 81
A B S T R A K
Ahmad Huda Dayan Nst* Megarita** Idha Aprilyana***
Hak tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Penelitian ini mengkaji mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan saat debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah; serta Penafsiran ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur ketika debitur wanprestasi. Penelitian ini lebih menekankan kepada perlindungan kreditur dikarenakan sebeludanya pemberian hak jaminan hak tanggungan tersebut, kreditur telah terlebih dahulu memberikan prestasi kepada debitur yang nantinya harus dikembalikan oleh debitur
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
(secondary data), yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan atau masyarakat, tetapi melalui studi kepustakaan dengan mengkaji dan mempelajari buku, literatur, jurnal, dan data internet. Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan terhadap sistematik hukum, yaitu penelitian yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tercatat. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis datanya dilakukan secara kualitatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur saat debitur wanprestasi menurut Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah bahwa dengan diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yang memiliki irah-irah dan mempunyai kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim berkekuatan hukum tetap, maka apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, dapat meminta bantuan secara langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi melalui pelelangan umum dari KPKNL guna memperoleh pelunasan piutang kreditur. Serta penafsiran dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur
Kata Kunci : Kredit, Hak Tanggungan dan Eksekusi Hak Tanggungan
*Mahasiswa departemen Hukum Ekonomi **Dosen Pembimbing I
A B S T R A K
Ahmad Huda Dayan Nst* Megarita** Idha Aprilyana***
Hak tanggungan pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Penelitian ini mengkaji mengenai bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur dalam Perjanjian Kredit dengan jaminan Hak Tanggungan saat debitur wanprestasi menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah; serta Penafsiran ketentuan Pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur ketika debitur wanprestasi. Penelitian ini lebih menekankan kepada perlindungan kreditur dikarenakan sebeludanya pemberian hak jaminan hak tanggungan tersebut, kreditur telah terlebih dahulu memberikan prestasi kepada debitur yang nantinya harus dikembalikan oleh debitur
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
(secondary data), yaitu data yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan atau masyarakat, tetapi melalui studi kepustakaan dengan mengkaji dan mempelajari buku, literatur, jurnal, dan data internet. Pendekatan penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan terhadap sistematik hukum, yaitu penelitian yang dilakukan pada peraturan perundang-undangan tertentu atau hukum tercatat. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis datanya dilakukan secara kualitatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur saat debitur wanprestasi menurut Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah bahwa dengan diterbitkannya Sertifikat Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, yang memiliki irah-irah dan mempunyai kekuatan eksekutorial sama seperti putusan hakim berkekuatan hukum tetap, maka apabila debitur cidera janji atau wanprestasi, dapat meminta bantuan secara langsung kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi melalui pelelangan umum dari KPKNL guna memperoleh pelunasan piutang kreditur. Serta penafsiran dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 yang memberikan perlindungan hukum kepada kreditur
Kata Kunci : Kredit, Hak Tanggungan dan Eksekusi Hak Tanggungan
*Mahasiswa departemen Hukum Ekonomi **Dosen Pembimbing I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional,
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka peningkatan pembangunan nasional yang
bertitik berat pada bidang ekonomi, yang para pelakunya meliputi pemerintah
maupun masyarakat sebagai orang-perseorangan dan badan hukum, sangat
diperlukan dana dalam jumlah yang sangat besar, sehingga dengan meningkatnya
kegiatan pembangunan tersebut, maka meningkat pula keperluan akan tersedianya
dana yang sebagian besar diperoleh melalui perkreditan.
Kegiatan pinjam-meminjam uang atau yang lebih dikenal dengan istilah
kredit dalam praktek kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan sesuatu yang
asing lagi, bahkan istilah kredit ini tidak hanya dikenal oleh masyarakat
perkotaan, tetapi juga sampai pada masyarakat di pedesaan. Kredit umumnya
berfungsi untuk memperlancar suatu kegiatan usaha, dan khususnya bagi
perekonomian di Indonesia sangat berperan penting dalam kedudukannya, baik
untuk usaha produksi maupun usaha swasta yang dikembangkan secara mandiri
karena bertujuan meningkatkan taraf kehidupan bermasyarakat.
Salah satu sarana yang mempunyai peran strategis dalam pengadaan dana
adalah lembaga perbankan, yang telah membantu pemenuhan kebutuhan dana
melalui kredit perbankan, yaitu berupa perjanjian kredit antara kreditur sebagai
pihak pemberi pinjaman atau fasilitas kredit dengan debitur sebagai pihak yang
berhutang. Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
menyebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia yaitu sebagai penghimpun
dan penyalur dana dari masyarakat yang bertujuan menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional kearah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam
melakukan usahanya tersebut, bank menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau
dalam bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Dalam hal ini, bank juga
menyalurkan dana dari masyarakat dengan cara memberikan kredit dalam bentuk
usaha kredit perbankan.
Kredit perbankan ini telah dimanfaatkan dan dipraktekkan oleh
masyarakat sejak puluhan tahun lalu dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan merumuskan
pengertian kredit : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal tersebut, maka dalam pembukuan
kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam
Pembiayaan/pendanaan yang diberikan perbankan atau dipinjamkan kepada
masyarakat dalam bentuk kredit tersebut tentunya bukan merupakan dana milik
perbankan itu sendiri dikarenakan modal yang dimiliki perbankan memang
terbatas, namun juga merupakan dana titipan milik masyarakat umum yang
disimpan dalam berbagai bentuk seperti halnya tabungan, giro maupun deposito.
Hal ini sejalan dengan dasar bisnis perbankan yaitu penghimpun dana masyarakat
(funding) dan penyalur kembali (lending) serta kaitannya dengan fungsi bank
yaitu intermediasi.1
Dalam pemberian fasilitas kredit yang tertuang dalam suatu perjanjian
kredit oleh bank kepada debitur bukanlah tanpa resiko, karena resiko mungkin
saja terjadi khususnya karena debitur tidak wajib membayar utangnya secara lunas
atau tunai, melainkan debitur diberi kepercayaan oleh Undang-Undang dalam
perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau mencicil.
Risiko yang umumnya terjadi adalah kegagalan atau kemacetan dalam pelunasan
kredit (resiko kredit), resiko yang timbul karena pergerakan pasar (resiko pasar),
resiko karena bank tidak mampu memenuhi kewajibannya yang telah jatuh tempo
(resiko likuiditas), serta resiko karena adanya kelemahan aspek yuridis yang
disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan
yang mendukung (resiko hukum).2
Resiko-resiko yang umumnya merugikan kreditur tersebut perlu
diperhatikan secara seksama oleh pihak bank, sehingga dalam proses pemberian
kredit diperlukan keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur
1
M Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan. ( Jakarta :Rajawali Press 2007) Hal 73-74.
2
untuk membayar hutangnya serta memperhatikan asas-asas perkreditan bank yang
sehat.3 Untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan debitur tersebut, maka
sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian secara seksama
terhadap 7 (tujuh) hal yang dikenal dengan istilah 7 P yaitu para pihak (Party),
Tujuan (Purpose), Pembayaran (Payment), Keuntungan (Profitability),
Perlindungan (Protection), Kepribadian (Personality), dan Kemungkinan
(Prospect)4 Salah satu hal yang dipersyaratkan bank sebagai kreditur dalam
pemberian kredit yaitu adanya protection atau perlindungan berupa jaminan yang
harus diberikan debitur guna menjamin pelunasan utangnya demi keamanan dan
kepastian hukum, khususnya apabila setelah jangka waktu yang diperjanjikan,
debitur tidak meluasi hutangnya atau melakukan wanprestasi.5
Untuk mengurangi berbagai resiko tersebut maka jaminan pemberian kredit
atau pembiayaan dalam arti keyakinan atas kemampuan nasabah/debitur untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan, maka bank harus
melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan
dan prospek usaha dari nasabah debitur tersebut.6
Agunan atau jaminan
kebendaan dalam hal ini merupakan salah satu unsur pemberian kredit yang paling
krusial. Agunan dengan kata lain merupakan pengaman bagi bank dengan tujuan
agar debitur dapat berhati-hati dan memanfaatkan fasilitas kredit yang diberikan
agar tidak kehilangan harta benda yang menjadi objek dari agunan tersebut.
Agunan yang diberikan dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai
dengan kredit yang bersangkutan.
Sesuai dengan tujuannya, barang jaminan baik berupa benda bergerak
maupun benda tidak bergerak tersebut bukan untuk dimiliki secara pribadi oleh
kreditur, karena perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit bukanlah
merupakan suatu perjanjian jual beli yang mengakibatkan perpindahan hak milik
atas suatu barang, akan tetapi barang jaminan tersebut dipergunakan untuk
melunasi utang dengan cara sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku,
yaitu barang dijual secara lelang dimana hasilnya untuk melunasi utang debitur,
dan apabila terdapat sisa maka hasilnya akan dikembalikan kepada Debitur.7
Dalam praktek perbankan, dapat diperhatikan bahwa penjualan (pencairan)
objek atau jaminan kredit dilakukan guna melunasi kredit dari debitur. Penjualan
jaminan kredit tersebut merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan bank
untuk memperoleh kembali pelunasan dana yang dipinjamkannya karena pihak
debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank sesuai dengan perjanjian
kredit, serta hasil penjualan jaminan tersebut untuk meminimalkan kerugian yang
akan diderita pihak bank nantinya. Agar penjualan jaminan kredit dapat mencapai
tujuan yang diinginkan bank, perlu dilakukan upaya-upaya pengamanan antara
lain dengan mengikat objek jaminan kredit secara sempurna melalui
ketentuanketentuan hukum yang mengatur tentang lembaga jaminan.8
Fungsi lain jaminan kredit dalam rangka pemberian kredit berkaitan
dengan kesungguhan pihak debitur untuk memenuhi kewajibannya untuk
7
Gatot Supramono. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis. (Jakarta : Djambatan,1996) Hal.75
8
melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan dan menggunakan dana yang
dimilikinya secara baik dan hati-hati, dimana hal tersebut diharapkan akan
mendorong pihak debitur untuk melunasi hutangnya sehingga dapat mencegah
terjadinya pencairan jaminan kredit yang mungkin saja tidak diinginkan karena
memiliki nilai (harga) yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan utang debitur
kepada bank.
Dalam praktik perbankan, umumnya nilai jaminan kredit lebih besar dari
jumlah kredit yang disetujui oleh bank, sehingga pihak debitur diharapkan segera
melunasi hutangnya kepada bank agar nantinya tidak kehilangan harta (asset)
yang diserahkan sebagai jaminan kredit dalam hal kredit tersebut ditetapkan
sebagai kredit macet. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1131 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, dimana ketentuan dalam Pasal ini sering dicantumkan
sebagai salah satu klausul dalam perjanjian kredit perbankan, yang berbunyi :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”, serta ketentuan dalam Pasal
1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Kebendaan tersebut
menjadi jaminan bersama-sama bagi semua masyarakat yang mengutangkan
padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut
keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali
apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan”.9
9
Bentuk jaminan yang paling banyak digunakan sebagai agunan dalam
perjanjian kredit bank adalah hak atas tanah, baik dengan status hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan maupun hak pakai, karena pada umumnya
memiliki nilai atau harga yang tinggi dan terus meningkat, sehingga dalam hal ini
sudah selayaknya apabila debitur sebagai penerima kredit dan kreditur sebagai
pemberi fasilitas kredit serta pihak lain terkait memperoleh perlindungan melalui
suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, disebutkan bahwa sudah
disediakan lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat dibebankan pada hak atas
tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pengganti lembaga hypoytheek dan
Credietverband. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya undang-undang
Pokok agraria tersebut, lembaga hak tanggungan ini belum dapat berfungsi
Sebagaimana mestinya, karena belum ada undang-undang yang mengaturnya
Secara lengkap, serta ketentuan dalam peraturan tersebut sudah tidak sesuai
Dengan asas hukum tanah nasional dan kurang memenuhi kebutuhan ekonomi di
Bidang perkreditan.10
Lembaga jaminan hak tanggungan ini telah diakui eksistensinya melalui
Undang-undang nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah Beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah dan menjadikan kepentingan Debitur
maupun kreditur mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Tujuan
utama diundangkannya undang-undang hak tanggungan ini, khususnya
Memberikan perlindungan hukum bagi pihak kreditur apabila debitur melakukan
10
perbuatan melawan hukum berupa wanprestasi. Menurut Undang-Undang nomor
4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan menyatakan bahwa hak tanggungan
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak Atas tanah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang nomor 5 Tahun 1960 Tentang peraturan dasar
pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-bendalain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur-kreditur
lain.
Untuk memberikan suatu kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan
hukum, maka pembebanan jaminan Hak Tanggungan ini wajib didaftarkan di
Kantor Pertanahan, guna memenuhi unsur publisitas atas barang jaminan, dan
mempermudah pihak ketiga mengontrol apabila terjadi pengalihan benda jaminan.
Dalam proses pemberian kredit, sering terjadi bahwa pihak kreditur dirugikan
ketika pihak debitur melakukan wanprestasi, sehingga diperlukan suatu aturan
hukum dalam pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan yang tertuang dalam
suatu perjanjian kredit, yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan
perlindungan hukum bagi pihak-pihak terkait, khususnya bagi pihak kreditur
apabila debitur wanprestasi atau tidak memenuhi kewajibannya. Hal ini menjadi
latar belakang untuk dilakukan penelitian tentang bagaimana ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah memberikan perlindungan
hukum kepada kreditur khususnya apabila debitur wanprestasi dalam perjanjian
Sejak pertengahan Tahun 1997 Indonesia mengalami kritis moneter yang
mengakibatkan kesulitan besar terhadap perekonomian nasional terutama dunia
usaha. Menghadapi hal tersebut, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan, di
antaranya dalam bidang perbankan telah ditetapkan Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan (UUK 1998). Ketentuan Undang-Undang Kepailitan tersebut
dimaksudkan untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara
cepat, adil terbuka dan efektif. Oleh karenanya harus ada keseimbangan dalam
perlindungan hukum baik bagi kreditur maupun debitur.
Adapun latar belakang pemilihan judul ini adalah untuk mengungkap lebih
lanjut mengenai perlindungan terhadap kreditur dalam eksekusi hak tanggungan.
Penitikberatan pada perlindungan kreditur dikarenakan kreditur pemegang hak
tanggungan merupakan kreditur yang harus diutamakan. Disamping itu kreditur
dalam hal ini telah memberikan suatu prestasi kepada debitur yang wajib dipenuhi
pengembaliannya kepada debitur karenan menyangkut dana pihak ketiga. Oleh
karena itu kreditur pemegang hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial
dibanding kreditur lainnya.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas, selanjutnya permasalahan dalam
skripsi ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah prosedur umum pemberian kredit dengan jaminan di
Indonesia?
3. Bagaimanakah pelaksanaan eksekusi hak perjanjian kredit dengan jaminan
hak tanggungan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui prosedur umum dalam pemberian kredit di Indonesia
2. Untuk mengetahui kedudukan kreditur pemegang hak tanggungan
3. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi hak perjanjian kredit dengan
jaminan hak tanggungan
D. Manfaat Penulisan
Adapun dalam penulisan skripsi ini nantinya dapat memberikan beberapa
manfaat yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan pengertian dan pendalaman lebih luas kepada masyarakat tentang
prosedur umum pemberian kredit
b. Memberikan gambaran umum tentang kedudukan kreditur pemegang hak
tanggungan.
c. Mengetahui keberadaan hak tanggungan serta bagaimanakah eksekusi
pelaksanannya dan perlindungan terhadap kreditur pemegang hak.
2. Manfaat Praktis
Manfaat penelitian lainnya secara praktis diharapkan dapat menjadi
rujukan ataupun referensi bagi para praktisi hukum maupun praktisi perbankan
dalam hal menjadi rujukan dalam proses penyelesaian kewajiban pembayaran
pelaksanaannya. Manfaat praktis lainnya juga dapat sebagai informasi bagi
masyarakat yang ingin mengetahui tentang pelaksanaan eksekusi hak tanggunga.
E. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi ini adalah murni hasil karya ilmiah penulis
sendiri yang belum pernah dipublikasikan dimanapun juga, meskipun terdapat
beberapa karya tulisan lain yang hampir serupa memuat permasalahan perkreditan
maupun hak tanggungan. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli dan apabila
ditemukan karya ilmiah lainnya yang memiliki kesamaan satu sama lainnya maka
penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
F. Tinjauan Kepustakaan
Tinjauan Kepustakaan adalah suatu studi awal yang berkenaan atau
memiliki hubungan dengan topik yang ada secara relevan dengan menggunakan
berbagai literatur atau bacaan dalam studinya. Adapun tinjauan kepustakaan ini
mempunyai beberapa tujuan yaitu:
1. Memberitahu khalayak/pembaca tentang penelitian terkait berkenaan dengan
studi/ topik yang sedang dilaporkan.
2. Menghubungkan suatu studi dengan dialog yang lebih luas dan
berkesinambungan tentang suatu topik dalam pustaka yang diperuntukkan
untuk mengisi kekurangan dan memperluas studi-studi sebelumnya.
3. Memberikan kerangka bagi suatu studi dalam pembahasan ataupun
4. Sebagai landasan untuk membandingkan suatu studi dengan temuan-temuan
lain.11
Adapun kini yang menjadi tinjauan kepustakaan tentang skripsi yang
berjudul perlindungan hukum bagi kreditur dalam eksekusi perjanjian kredit
dengan jaminan hak tanggungan ini terbagi dalam 4 sub bagian yaitu:
a. Pengertian Perjanjian
Pengertian Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tentang “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari
Kontrak atau Perjanjian”, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351, dimana
ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertian perjanjian yang berbunyi :
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.12
1) Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini dapat diketahui dari rumusan kata
kerja “mengikatkan diri” yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak
dari kedua belahpihak. Seharusnya rumusan itu ialah “saling mengikatkan
diri”, sehingga ada konsensus antara kedua belah pihak;
Abdulkadir
Muhammad dalam bukunya berjudul “Hukum Perdata Indonesia” berpendapat
bahwa definisi perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tersebut memiliki beberapa kelemahan yaitu :
2) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian
“perbuatan” termasuk juga tindakan penyelenggaraan kepentingan
(zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak
11
Achmad Djunaedi dalam karya ilmiah Penulisan Tinjauan Pustaka dalam
http://www.mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/materi/metlit-i/a05-metlit-tinjauan-pustaka.pdf Tangal akses 06 Mei 2011.
12
mengandung suatu konsensus, sehingga seharusnya dipakai istilah
“persetujuan”;
3) Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian mencakup juga
perjanjian kawin yang diatur dalam bidang hukum keluarga, padahal yang
dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur mengenai harta
kekayaan. Perjanjian yang diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata sebenarnya hanya meliputi perjanjian yang bersifat kebendaan,
bukan bersifat kepribadian;
4) Tanpa menyebut tujuan atau memiliki tujuan yang tidak jelas. Dalam rumusan
Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak disebutkan tujuan
mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas
untuk apa.13
b. Pengertian Kredit
Istilah kredit bukan merupakan hal yang asing dalam kehidupan
sehari-hari di masyarakat, karena sering dijumpai pada anggota masyarakat yang
melakukan jual beli barang secara kredit. Jual beli tersebut tidak dilakukan secara
tunai (kontan), tetapi dengan cara mengangsur. Masyarakat pada umumnya
mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu
mereka harus membayar lunas. Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu
credere yang berarti kepercayaan akan kebenaran, dan apabila dihubungkan
dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa pihak bank selaku kreditur
memberikan kepercayaan untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah
atau debitur, karena debitur dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas
13
pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan dengan jumlah dan mutu yang
sama14
Dalam pengertian yang lebih luas, kredit dapat diartikan sebagai
kemampuan untuk melaksanakan suatu pemberian atau mengadakan suatu
pinjaman dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada jangka waktu
yang telah disepakati Mengenai istilah kredit, terdapat beberapa pengertian antara
lain :
1) Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan “Kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”
2) OP. Simorangkir Kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang, barang)
dengan balas prestasi (kontraprestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan
datang. Kehidupan ekonomi modern adalah prestasi uang yang dengan
demikian transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat kredit. Kredit
berfungsi kooperatif antara si pemberi kredit dan si penerima kredit atau antara
kreditur dan debitur. Mereka menarik keuntungan dan saling menanggung
risiko. Singkatnya, kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen
kepercayaan, risiko dan pertukuran ekonomi di masa-masa mendatang.15
14
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank. (Bandung; Alfabeta, 2005) Hal 97-98.
15
c. Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de
contrahendo), sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutangpiutang
(perjanjian pinjam-pengganti). Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok
serta bersifat konsensuil (pactade contrahendo obligatoir) disertai adanya
pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum
antara keduanya. Pada saat penyerahan uang dilakukan, maka baru berlaku
ketentuan yang dituangkan dalam perjanjian kredit pada kedua belah
pihak.Perjanjian kredit sebagai perjanjian pendahuluan adalahperjanjian standard
(standard contract). Hal ini terlihat dalam praktek bahwa setiap bank telah
menyediakan blanko perjanjian kredit yang isinya telah disiapkan lebih dahulu.
Formulir ini diberikan kepada setiap pemohon kredit, isinya tidak dirundingkan
dengan pemohon,kepada pemohon hanya diminta pendapat untuk menerima atau
tidaksyarat-syarat dalam formulir.16
Perjanjian standard atau baku kredit dapat dibedakan menjadi 2(dua)
bagian, yaitu perjanjian induk (hoof contract) dan perjanjian tambahan (hulp
contract, algemeen voor warden). Perjanjian induk mengatur tentang hal-hal
pokok dan perjanjian tambahan menguraikan apa yang terdapat dalam perjanjian
induk.
d. Pengertian Hukum Jaminan
Istilah hukum jaminan merupakan terjemahan dari istilah securitycof law,
zekerheidsstelling, atau zekerheidsrechten. Menurut J. Satrio hukum jaminan
16
diartikan sebagai : “Peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan
piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur”
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari istilah zekerheid atau cautie
yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada
kreditur, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai
ekonomis sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur
tehadap krediturnya.17 Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
disebutkan dalam Pasal 1 angka 23 bahwa agunan yang merupakan bagian dari
istilah jaminan adalah : “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan
nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
G. Metode Penelitian
Menurut pendapat koentjaraningrat, yang dinamakan metode penelitian
adalah dalam arti katanya yang sesungguhnya, maka metode (Yunani : "methods")
adalah cara atau jalan, sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode
menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami obyek dari sasaran yang
bersangkutan. Untuk memenuhi kriteria penulisan yang bersifat ilmiah, maka
harus didukung dengan metode yang bersifat ilmiah pula, yaitu berpikir yang
obyektif, dan hasilnya harus dapat dibuktikan dan di uji secara benar.18
17
Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2005) Hal 6
18
Metodologi penelitian digunakan dalam setiap penelitian ilmiah. Penelitian
ilmiah itu sendiri ialah suatu proses penalaran yang mengikuti suatu alur berpikir
yang logis dan dengan menggabungkan metode yang juga ilmiah karena
penelitian ilmiah selalu menuntut pengujian dan pembuktian. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Metode penelitian
normatif tersebut disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research)
yaitu suatu penelitian yang memusatkan pada analisis hukum baik hukum yang
tertulis dalam buku (law in books) maupun hukum yang diputuskan oleh Hakim
melalui putusan pengadilan (law is decided by the judge through the judicial
process)19
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan
masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran dan dilaksanakan untuk mengumpulkan
data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas
pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan dalam Bab I Pendahuluan, sehingga
diperlukan rencana yang sistematis. Metodologi merupakan suatu logika yang
menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan
penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi
induknya. .
20
Pada penelitian hukum ini, peneliti menjadikan bidang ilmu hukum
sebagai landasan ilmu pengetahuan induknya, oleh karena itu maka penelitian
yang digunakan adalah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto yang
19
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. (Jakarta:Gratifi Press,2006) Hal.118.
20
dimaksud dengan penelitian hukum adalah kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau segala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.21
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, serta
dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul di dalam gejala yang bersangkutan Untuk memperoleh kebenaran yang
dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu metode
yang tepat dengan tujuan yanghendak dicapai sebelumnya. Metodolgi pada
hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang mempelajari,
menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum normatif
atau kepustakaan mencakup :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum
b. Penelitian terhadap sistematik hukum;
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;
d. Perbandingan hukum;
e. Sejarah hukum
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analis yang bertujuan untuk
menggambarkan secara tepat sifat individu suatu gejala, keadaan atau kelompok
21
tertentu. Deskriptif analis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu
peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya serta
menganalisis fakta secara cermat tentang perlindungan hukum bagi kreditur dalam
eksekusi jaminan kredit dengan hak tanggungan di indonesia. Adapun pendekatan
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan yang mengkonsepsikan
hukum sebagai norma, kaidah maupun azas dengan tahapan berupa studi
kepustakaan dengan pendekatan dari berbagai literature.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder juga bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan suatu bahan hukum yang mempunyai
sifat authoritative yang berarti memiliki otoritas. Bahan hukum ini terdiri dari
peraturan perundang-undangan diantaranya adalah, catatan-catatan resmi maupun
risalah dalam pembuatan undang-undang.
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri
dari kaidah dasar. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini,
yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu berupa bahan hukum yang merupakan publikasi hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku teks, dan jurnal. Bahan
hukum sekunder yang paling utama adalah buku teks karena berisi mengenai
prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan para sarjana yang
memiliki kualitas keilmuan.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum penunjang, pada dasarnya mencakup pertama, bahan-bahan
yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, yang telah dikenal dengan nama bahan acuan bidang hukum atau bahan
rujukan bidang hukum. Contohnya, adalah misalnya, abstrak perundang
undangan, bibliografi hukum, direktori pengadilan, ensiklopedia hukum, indeks
majalah hukum, kamus hukum, dan seterusnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ialah studi
kepustakaan, yaitu suatu teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data
sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur,
tulisan, maupun putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Pengumpulan data-data tersebut dilakukan dengan penelitian kepustakaan.
4. Analisa Data
Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat
dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian
konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam
studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan metode kualitatif dengan
melakukan:
a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan bahan hukum
(konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara melakukan interpretasi terhadap
bahan hukum tersebut.
b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis, dalam
hal ini ialah yang berhubungan dengan pelaksanaan lembaga paksa badan.
c. Menemukan hubungan antara berbagai peraturan atau kategori dan kemudian
diolah
d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan antara berbagai kategori atau
peraturan perundang-undangan kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif
sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan serta kesimpulan atas
permasalahan.
Analisis data adalah tahap yang sangat penting dan menentukan dalam
setiap penelitian. Dalam tahap ini harus melakukan pemilahan datadata yang telah
diperoleh. Penganalisisan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk
mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan
pekerjaan analisis dan konstruksi
Analisis data yang dipergunakan adalah analisa data dengan cara
melakukan analisa terhadap pasal-pasal yang isinya merupakan kaedah hukum,
dalam hal ini adalah analisis terhadap pasal-pasal yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Setelah dilakukan analisa, maka
tertentu ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari
system hukum tersebut
G. Sistematika Penulisan
Dalam usaha untuk menguraikan dan mendeskripsikan isi dan sajian
dalam karya ilmiah ini secara teratur, maka karya tulisan ilmiah ini dibagi
kedalam susunan yang terdiri atas lima bab dan beberapa sub bab tersendiri dalam
setiap bab dengan ruang lingkup pertanggungjawaban sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Didalam bab pertama yang berisi pendahuluan ini,dipaparkan
pengantar untuk dapat memberikan penjelasan singkat dan
pengertian tentang ruang lingkup dan jangkauan daripada
pembahasan karya ilmiah ini.meliputi latar belakang
permasalahan,keaslian penulisan,tujuan penulisan,manfaat penulisan,
tinjauan-kepustakaan,metode penulisan dan pengumpulan data yang
digunakan serta sistematika penulisannya sendiri
BAB II : PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DI
INDONESIA
Didalam bab kedua ini akan dibahas mengenai ketentuan-ketentuan
hukum dalam pelaksanaan perjanjian kredit terutama di kredit
perbankan dengan menyertakan jaminan yang secara khusus
akan membahas meliputi pengertian dan seluk beluk hukum
perkreditan
BAB III : KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
Didalam bab ketiga ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai
bagaimana keberadaan hak tanggungan dalam praktiknya di
Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pengertian,
azas-azas dan tata cara untuk mendaftarkan hak tanggungan pada
prakteknya khusunya pada saat perjanjian kredit
BAB IV: EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN DAN PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI KREDITUR DALAM PERJANJIAN KREDIT
Pembahasan dalam bab yang keempat ini adalah merupakan
pembahasan yang bersumber dari penelitian ( research ). Aspek yang
akan dibahas dalam bab ini adalah mengenai tata cara pelaksanaan
eksekusi hak tanggungan dalam perjanjian kredit terhadap debitur
yag menunggak/wanprestasi kredit macet dan bagaimanakah
perlindungan hukum yang dapat diberikan pada kreditur pemegang
hak tanggungan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini akan memberikan beberapa intisari kesimpulan
berdasarkan hasil pembasan setiap bab dalam permasalahan tersebut.
Bab ini juga akan memaparkan beberapa saran yang dapat diberikan
BAB II
PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DI
INDONESIA
A. Pengertian dan Syarat Sah Perjanjian Menurut KUH Perdata
Pasal 1313 KUH Perdata merumuskan pengertian perjanjian yang
berbunyi : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” Syarat sahnya
suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yaitu:
1. Adanya Persetujuan Kedua Belah Pihak/Konsensus
Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seiya sekata antara pihak-pihak
mengenai pokok perjanjian, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga
dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Sebelum adanya persetujuan, biasanya
pihak-pihak mengadakan perundingan (negoitiation) dimana pihak yang satu
memberitahukan kepada pihak yang lain mengenai objek perjanjian dan
syarat-syaratnya, kemudian pihak yang lain menyatakan pula kehendaknya sehingga
tercapai persetujuan. Kehendak itu dapat dinyatakan baik secara bebas maupun
diam-diam, tetapi maksudnya menyetujui apa yang dikehendaki oleh para pihak
tersebut.
Persetujuan kehendak itu sifatnya bebas, artinya tidak ada paksaan dan
tekanan dari pihak manapun juga dan berdasarkan kemauan sukarela para pihak.
dan penipuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dijelaskan bahwa dikatakan tidak adanya paksaan itu apabila orang yang
melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan
jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia
sehingga orang tersebut terpaksa menyetujui perjanjian.
Akibat hukum tidak adanya persetujuan kehendak (karena paksaan,
kekhilafan, maupun penipuan) adalah bahwa perjanjian itu dapat dimintakan
pembatalannya kepada Hakim. Menurut ketentuan Pasal 1454 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang
waktu 5 (lima) tahun, dalam hal terdapat paksaan dihitung sejak hari paksaan itu
berhenti, dan dalam hal terdapat kekhilafan dan penipuan dihitung sejak hari
diketahuinya kekhilafan dan penipuan itu
2. Kecakapan Para Pihak
Kecakapan berbuat adalah kewenangan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan hukum sendiri yang dilakukan oleh subjek hukum. Pada umumnya,
seseorang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum apabila ia sudah dewasa,
artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah kawin walaupun belum
berumur 21 tahun. Menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
seseorang dikatakan tidak cakap membuat perjanjian ialah orang yang belum
dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan wanita bersuami, sehingga
apabila hendak melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh walinya dan bagi
seorang istri harus ada izin suaminya. Akibat hukum ketidakcakapan membuat
pembatalannya kepada hakim, dan apabila pembatalannya tidak dimintakan oleh
pihak yang berkepentingan maka perjanjian tetap berlaku.
3. Ada Objek Tertentu
Suatu hal atau objek tertentu merupakan pokok perjanjian, objek
perjanjian dan prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau
sekurang-kurangnya dapat ditentukan
4. Ada Sebab Yang Halal
Kata causa berasal dari bahasa Latin yang artinya sebab. Sebab adalah
suatu yang menyebabkan dan mendorong orang membuat perjanjian. Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengartikan causa yang halal bukanlah
sebab dalam arti yang menyebabkan atau mendorong orang membuat perjanjian,
melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan
tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak
Ketentuan dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menjelaskan bahwa Undang-Undang tidak memperdulikan apa yang menjadi
sebab orang mengadakan perjanjian, karena yang diperhatikan atau diawasi oleh
Undang-Undang itu ialah “isi perjanjian itu”, yang menggambarkan tujuan yang
hendak dicapai oleh para pihak serta isinya tidak dilarang oleh Undang-Undang,
serta tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank
Muchdarsyah Sinungan menyatakan bahwa “Kredit adalah uang bank
tertentu di masa mendatang disertai dengan suatu kontraprestasi berupa bunga”22
Mariam Darus Badrulzaman menyatakan secara umum kredit diartikan sebagai
“The ability to borrow on the opinion conceived by the lender that we will be
repaid”.23
Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk
merangsang kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur guna pencapaian tujuan
dalam pemenuhan kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun untuk kebutuhan
sehari-hari. Pihak yang memperoleh kredit (debitur) harus dapat menunjukkan
prestasi yang lebih tinggi pada kemajuan usahanya tersebut, atau mendapatkan
pemenuhan atas kebutuhannya, sedangkan bagi pihak pemberi fasilitas kredit
(kreditur), secara material harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan
Berdasarkan pengertian kredit di atas, maka intisari pengertian kredit
adalah adanya unsur kepercayaan serta pertimbangan untuk saling
tolong-menolong. Selain itu, dilihat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan
kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan
mengambilkontraprestasi, sedangkan dipandang dari segi debitur, adanya bantuan
dari kreditur untuk menutupi kebutuhan berupa prestasi. Hanya saja antara
prestasi dan kontraprestasi terdapat suatu masa yang memisahkannya dan kondisi
semacam ini mengakibatkan adanya risiko berupa ketidaktentuan, sehingga
diperlukan suatu jaminan dalampemberian kredit tersebut.Sebelumnya dikatakan
bahwa kredit diberikan atas dasar kepercayaan. Hal ini berarti bahwa prestasi
yang diberikan dapatdikembalikan oleh penerima kredit sesuai dengan waktu dan
syaratsyaratyang disepakati bersama.
22
Muchdarsyah Sinungan. Manajemen Dana Bank. Edisi Kedua. (Jakarta : Bumi Aksara, 1993) Hal. 212.
23
perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, dan secara
spiritual mendapatkan kepuasan karena dapat membantu pihak lain untuk
mencapai kemajuan. Suatu kredit mencapai fungsinya, baik bagi debitur, kreditur,
maupun masyarakat, apabila secara sosial ekonomis membawa pengaruh yang
lebih baik. Bagi pihak debitur dan kreditur sama-sama memperoleh keuntungan,
dan mengakibatkan tambahan penerimaan negara dari pajak, serta membawa
dampak kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro.
Kredit perbankan, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah atau
bank swasta kepada dunia usaha guna membiayai sebagian kebutuhan
permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai
pembelian kebutuhan berupa barang maupun jasa
Menurut pendapat H. Budi Untung dalam bukunya “Hukum Jaminan
Keperdataan”, disebutkan bahwa kredit dalam kehidupan perekonomian dan
perdagangan mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Meningkatkan daya guna uang;
2. Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang;
3. Meningkatkan daya guna dan peredaran uang;
4. Sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi;
5. Meningkatkan kegairahan usaha;
6. Meningkatkan pemerataan pendapatan; dan
7. Meningkatkan hubungan internasional24
Seorang nasabah yang mendapat kredit dari bank adalah seseorang yang
mendapat kepercayaan dari bank. Dalam pengertian kredit yang diatur dalam
24
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dinyatakan bahwa
dalam pengertian kredit tersebut terkandung perkataan perjanjian
pinjam-meminjam sebagai dasar diadakannya perjanjian kredit, atas dasar itu pula dapat
dikatakan bahwa kredit adalah suatu perjanjian yang lahir dari persetujuan.
Adapun perjanjian kredit oleh beberapa sarjana hukum dikuasai dan
merujuk pada ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XIII Buku III Tentang
Pinjam Meminjam. Hal ini dikarenakan perjanjian kredit mirip dengan perjanjian
pinjam meminjam uang menurut Pasal 1754 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis
pakai dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah
yang sama mulai dari jenis maupun mutu yang sama pula.25
Perjanjian kredit menurut hukum perdata adalah suatu perjanjian
pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada
Pasal 1754-1769. Dengan demikian perbuatan suatu perjanjian kredit dapat
berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetapi
dapat pula berdasarkan kesepakatan para pihak, artinya dalam hal ketentuan yang
memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan dalam hal tertentu yang tidak
memaksa diserahkan kepada para pihak.
Pada Pasal 1754 Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa:
Pinjam-meminjam ialah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan
25
karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Dalam hal ini maka dalam bentuk apapun juga pemberian kredit diadakan pada
hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754-1769.
Sebagai suatu perjanjian maka perjanjian kredit itu tidak terlepas dari
Kitab Undang Hukum Perdata, Undang Perbankan dan
Undang-Undang Jaminan Fidusia. Perjanjian kredit tersebut merupakan perjanjian
pendahuluan (voorovereenkomst) dalam hal ini tentunya yang dimaksud adalah
perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang.26
Perjanjian kredit merupakan perjanjian pendahuluan (pactum de
contrahendo), sehingga perjanjian ini mendahului perjanjian hutangpiutang
(perjanjian pinjam-pengganti). Perjanjian kredit ini merupakan perjanjian pokok
serta bersifat konsensuil (pactade contrahendo obligatoir) disertai adanya
pemufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan hukum
antara keduanya Perjanjian standard atau baku kredit dapat dibedakan menjadi 2
(dua) bagian, yaitu perjanjian induk (hoof contract) dan perjanjian tambahan (hulp
contract, algemeen voor warden). Perjanjian induk mengatur tentang hal-hal
Dimana apabila kedua belah
pihak telah mufakat mengenai semua unsur-unsur dalam perjanjian pinjam
mengganti ini, maka tidak berarti bahwa perjanjian tentang pinjam mengganti
akan telah terjadi, perjanjian tersebut bersifat konsensuil obligator yaitu bila
uangnya telah diserahkan (bersifat riil) kepada peminjam, maka lahirlah perjanjian
pinjam-mengganti.
26
pokok dan perjanjian tambahan menguraikan apa yang terdapat dalam perjanjian
induk
Ruang lingkup pengaturan tentang perjanjian kredit sebagai berikut :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab XIII, mengenai perjanjian
pinjam-meminjam uang;
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, meliputi Pasal 1 angka 11 tentang Pengertian Kredit; Perjanjian anjak-piutang, yaitu perjanjian
pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihanserta pengurusan piutang atau tagihan-tagihan jangk pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri;
Berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan
mengenai Perjanjian Kredit, maka dapat disimpulkan bahwa dasar dalam
perjanjian kredit adalah perjanjian pinjammeminjam uang, sebagaimana tertuang
dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa
: “Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengn mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan
mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”
Menurut Budi Untung, secara yuridis terdapat 2 (dua) jenis perjanjian atau
pengikatan kredit yang digunakan oleh bank dalam memberikan kreditnya, yaitu :
1. Perjanjian kredit di bawah tangan atau akta di bawah tangan, yaitu perjanjian
pemberian kredit oleh bank kepada nasabahnya yang dibuat hanya di antara
mereka (kreditur dan debitur) tanpa notaris. Lazimnya dalam
penandatanganan akta perjanjian kredit, saksi turut serta membubuhkan
tandatangannya karena saksi merupakan salah satu alat pembuktian dalam
2. Perjanjian kredit autentik, yaitu perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada
nasabahnya yang hanya dibuat dibuat oleh atau dihadapan notaris.27
C. Kredit Macet dan Wan Prestasi
Kredit yang diberikan oleh kreditur kepada debitur selalu mengandung
risiko, maka pemberian kredit dilandasi atas kemampuan, kesanggupan dan itikad
baik dari kreditur untuk dapat melunasi hutangnya sesuai dengan yang
diperjanjikan. Dalam rangka memperoleh keyakinan tersebut, koperasi sebagai
kreditur perlu melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan,
modal, agunan dan prospek usaha nasabah debitur. Karena dengan proses analisis
kredit yang baik diharapkan kredit yang diberikan kepada debitur akan berjalan
lancar dan dapat dikembalikan tepat pada waktunya. Akan tetapi pada
kenyataannya harapan tersebut tidak selamanya dapat terwujud mengingat kredit
yang telah diberikan tetap mengandung risiko kegagalan atau kemacetan dalam
pengembaliannya
Kredit macet merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah atau
debitur tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya. Keadaan
demikian dalam hukum perdata dinamakan wanprestasi atau ingkar janji. Kredit
macet dapat disebut juga sebagai kredit bermasalah. Pengertian kredit bermasalah
secara yuridis tidak terdapat dalam berbagai literatur maupun
perundang-undangan. Adapun kredit bermaslah itu sendiri dapat disimpulkan yaitu suatu
27
keadaan dimana nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh
kewajibannya kepada bank seperti yang telah diperjanjikan.28
Sumber-sumber penyebab terjadinya kegagalan pengembalian kredit oleh
nasabah atau penyebab terjadinya kredit bermasalah pada bank dapat
dikemukakan sebagai berikut:29
1. Kepentingan Pribadi (Self Dealing)
Self dealing terjadi karena adanya interest tertentu dari pejabat pemberi
kredit terhadap permohonan yang diajukan nasabah, berupa pemberian kredit
yang tidak layak atas dasar yang kurang sehat terhadap nasabahnya dengan
harapan mendapatkan kompensasi berupa pemberian imbalan dari nasabah.
2. Kecemasan akan Pendapatan (Anxiety for Income)
Pendapatan yang diperoleh melalui kegiatan perkreditan merupakan
sumber pendapatan utama sebagian besar bank sehingga ambisi ataupun nafsu
yang berlebihan untuk memperoleh laba bank melalui penerimaan bunga kredit
sering menimbulkan pertimbangan yang tidak sehat dalam pemberian kredit.
3. Kompromi Terhadap Prinsip-Prinsip Kredit (Compromise of Credit
Principles)
Pelanggaran prinsip-prinsip kredit oleh pimpinan bank yang menyetujui
pemberian kredit yang mengandung risiko yang potensial menjadi kredit yang
bermasalah.
28
A.Totok Budi Santoso, Sigit Triandari, Y. Sri Susilo. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Jakarta: Salemba Empat, 2000) Hal 41
29
4. Kurangnya Informasi Kredit (Incomplete Credit Information)
Terbatasnya informasi seperti data keuangan dan laporan usaha, disamping
informasi lainnya seperti penggunaan kredit, perencanaan, ataupun keterangan
mengenai sumber pelunasan kembali kredit.
5. Kegagalan dalam Menentukan Tindakan Eksekusi Perjanjian Kredit (Failure
to Obtain or Enforce Liquidation Agreements)
Sikap ragu-ragu dalam menentukan tindakan terhadap suatu kewajiban
yang telah diperjanjikan, meskipun nasabah mampu dan wajib membayarnya, juga
merupakan penyebab timbulnya kredit-kredit yang tidak sehat dan mengakibatkan
kredit bermasalah bagi bank.
6. Kemudahan (Complacency)
Sikap memudahkan suatu masalah dalam proses kredit akan
mengakibatkan terjadinya kegagalan atas pelunasan kembali kredit yang diberikan
7. Kurangnya Pengawasan (Lack of Supervising)
Karena kurangnya pengawasan yang efektif dan berkesinambungan setelah
pemberian kredit, kondisi kredit berkembang menjadi kerugian karena nasabah
tidak memenuhi kewajibannya dengan baik.
8. Kurangnya Kemampuan Teknis (Technical Incompetence)
Tidak adanya kemampuan teknis dalam menganalisis permohonan kredit
dari aspek keuangan meupun aspek lainnya akan berakibat kegagalan dalam
operasi perkreditan suatu bank. Para pejabat kredit harus senantiasan
jangan memberikan kredit kepada usaha atau sektor yang tidak dikenal dengan
baik.30
Prestasi merupakan isi dari perikatan. Apabila debitur tidak memenuhi
prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka ia dikatakan
wanprestasi (kelalaian). Wanprestasi dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1243
Kitab Undang‐undang Hukum Perdata dapat terjadi karena, tidak melakukan apa
yang disanggupi akan dilakukannya, melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi
tidak dilakukan dengan semestinya, menjalankan hal yang dijanjikan akan tetapi
terlambat melaksanakannya, atau melakukan sesuatu yang menurut perjanjian
tidak boleh dilakukannya. Sehingga dapat dikatakan wanprestasi seorang debitur
dapat berupa, sama sekali tidak memenuhi prestasi, tidak tunai memenuhi prestasi,
terlambat memenuhi prestasi, keliru memenuhi prestasi.31 Perkataan wanprestasi
berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang dimaksud
wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya,
debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam
perjanjian32
Suatu keadaan dapat digolongkan wanprestasi yang menyebabkan kredit
macet apabila memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Debitur tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan
2. Debitur melaksanakan sebagian apa yang telah diperjanjikan;
3. Debitur terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan;
30
Sudjendro, Penyebab Kredit Bermasalah dalam http://bank-kita.blogspot.com/2011/02/penyebab-kredit-bermasalah.html Tanggal akses 06 Mei 2011
31
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, (Jakarta: Putra Abadin,1999) cet. 6, Hal.18.
32
4. Debitur menyerahkan sesuatu yang tidak diperjnjikan;
5. Debitur melakukan perbuatan yang dilarang oleh perjanjian yang telah
dibuatnya atau menyalahgunakan isi perjanjian.
Apabila dihubungkan dengan kredit macet, maka ada tiga macam
perbuatan yang tergolong wanprestasi, yaitu :
1. Debitur sama sekali tidak membayar angsuran kredit;
2. Debitur membayar sebagian angsuran kredit (beserta bunganya), akan tetapi
yang digolongkan sebagai kredit macet dalam hal ini adalah jika debitur
kurang membayar satu kali angsuran;
3. Debitur membayar lunas kredit setelah jangka waktu perjanjian berakhir.
Istilah wanprestasi atau cidera janji diatur dalam Pasal 1243 jo. Pasal 1763
Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yaitu:
1. Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan pengertian
wanprestasi atau cidera janji, yaitu :
a) Lalai memenuhi perjanjian;
b) Tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan;
c) Tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu
yang ditentukan.
2 Pasal 1763 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan pengertian
yang lebih spesifik, bahwa wanprestasi adalah tidak mengembalikan
pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam waktu yang ditentukan
Kredit bermasalah dapat disebabkan oleh faktor‐faktor yang berasal dari
sudut eksternal maupun internal. Faktor terjadinya kredit bermasalah yang bersifat
yang seharusnya terjadi tidak dapat diprediksi sebelumnya atau mungkin salah
dalam melakukan perhitungan. Sedangkan faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi kualitas kredit atau yang menyebabkan kredit bermasalah adalah
keadaan perekonomian tidak mendukung perkembangan usaha namun disatu sisi
debitur mempunyai kemauan atau itikad untuk membayar akan tetapi disisi lain
ada pula debitur yang tidak mempunyai kemauan atau itikad untuk tidak
membayar
Menurut Pasal 1267 Kitab Undang‐undang Hukum Perdata, maka pihak
yang ingkar janji atau wanprestasi dapat dibebani untuk memenuhi perjanjian atau
dibatalkannya perjanjian disertai dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Ini juga dapat diartikan bahwa pihak yang ingkar janji dapat hanya dibebani
kewajiban ganti kerugian saja atau pemenuhan perjanjian dengan ganti rugi saja.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kredit macet yang
berasal dari nasabah, antara lain:33
1. Nasabah Menyalahgunakan Kredit Yang Diperoleh Setiap kredit yang
diperoleh nasabah telah diperjanjikan tujuan pemakainnya sehingga nasabah
harus mempergunakan kredit sesuai dengan tujuannya, Pemakaian kredit yang
menyimpang, misalnya kredit untuk pengangkutan dipergunakan untuk
pertanian akan mengakibatkan usaha nasabah gagal.
2. Nasabah Kurang Mampu Mengelola Usaha Hal ini dapat terjadi karena
nasabah yang kurang menguasai bidang usaha, karena nasabah mampu
menyakinkan bank akan keberhasilan usahanya. Akibatnya usaha yang dibiayai
dengan kredit tidak dapat berjalan dengan baik.
33
3. Nasabah Beritikad Tidak Baik Ada sebagian nasabah yang sengaja dengan
segala daya upaya mendapatkan kredit tetapi setelah kredit diterima untuk
kepentingan yang tidak dapat dipertanggungajawabkan. Nasabah sejak awal
tidak berniat mengembalikan kredit walaupun dengan resiko apapun, biasanya
sebelum kredit jatuh tempo nasabah sudah melarikan diri untuk menghindari
tanggung jawab.
D. Pengertian dan Dasar Yuridis Hukum Jaminan
Hukum jaminan pada dasarnya adalah “Keseluruhan dari kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan
dalam kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit”
Berdasarkan definisi mengenai hukum jaminan tersebut, maka unsur-unsur
yang terkandung dalam pengertian hukum jaminan adalah :34
1. Adanya kaidah hukum dalam bidang jaminan, dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu kaidah hukum jaminan tertulis berupa peraturan
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi serta kaidah hukum jaminan tidak tertulis
berupa kaidah hukum yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat.
2. Adanya pemberi dan penerima jaminan Pemberi jaminan adalah orang-orang
atau badan hukum yang menyerahkan barang jaminan kepada penerima
jaminan. Yang bertindak sebagai pemberi jaminan adalah orang atau badan
hukum yang membutuhkan fasilitas kredit dan lazim disebut sebagai debitur.
Sedangkan penerima jaminan adalah orang atau badan hukum yang menerima
34
barang jaminan dari pemberi jaminan dan yang bertindak sebagai penerima
jaminan ini adalah orang atau badan hukum atau biasanya pihak bank yang
sering disebut sebagai kreditur.
3. Adanya jaminan, pada dasarnya jaminan yang diserahkan kepda kreditur
adalah jaminan materiil dan imateriil. Jaminan materiil merupakan jaminan
yang berupa hak-hak kebendaan, seperti jaminan atas benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Jaminan immaterril merupakan jaminan perorangan.
4. Adanya fasilitas kredit Pembebanan jaminan yang dilakukan oleh pemberi
jaminanbertujuan untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank atau lembaga
keuangan non bank. Pemberian kredit merupakan pemberian uang berdasarkan
kepercayaan, dalam arti bank atau lembaga keuangan non bank percaya bahwa
debitur sanggup untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya35
Dalam membicarakan hukum jaminan maka ada dikenal 5 (lima) asas-asas
hukum jaminan, yaitu :
1. Asas Publicitet, yaitu asas bahwa semua hak, baik hak tanggungan, hak fidusia,
dan hipotek harus didaftarkan. Pendaftaran ini dimaksudkan supaya pihak
ketiga dapat mengetahui bahwa benda jaminan tersebut sedang dilakukan
pembebanan jaminan. Pendaftaran hak tanggungan di Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten atau Kota, pendaftaran fidusia dilakukan di
Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, sedangkan pendaftaran hipotek kapal laut dilakukan di depan
pejabat pendaftar dan pencatat balik nama, yaitu syahbandar;
35