i
DESKRIPSI KEMAMPUAN MOTORIK HALUS DALAM KEGIATAN BERMAIN BALOK PADA ANAK TK USIA 5-6 TAHUN
SE-GUGUS TERATAI UMBULHARJO YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Tyastika Putri Utami NIM 11111241003
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIK ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v MOTTO
Don’t judge me by my successes, judge me by how many times I fell down and
got back up again (Nelson Mandela)
Tuhan tidak mengharuskan kita sukses, Tuhan hanya mengharapkan kita mencoba
vi
PERSEMBAHAN
Tugas Akhir Skripsi ini, penulis persembahkan kepada:
1) Ayah dan ibu yang senantiasa memberikan semangat dan do’a demi kesuksesan saya
vii
DESKRIPSI KEMAMPUAN MOTORIK HALUS DALAM KEGIATAN BERMAIN BALOK PADA ANAK TK USIA 5-6 TAHUN
SE-GUGUS TERATAI UMBULHARJO YOGYAKARTA Oleh
Tyastika Putri Utami NIM 11111241003
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan motorik halus anak yang dilakukan dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta. Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta terdiri dari 6 TK, namun penelitian ini hanya menggunakan 4 TK, yaitu TK Islam Pelangi Anak, TK Al-Wardah, TK Pamardisiwi, dan TK Islam Plus Al-Ikhlash.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitaif. Subjek penelitian adalah anak TK usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta yang bejumlah 69 anak. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi langsung. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dengan persentase. Hasil check list (lembar observasi) disajikan dalam bentuk diagram lingkaran dan histogram.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan motorik halus dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta berada pada kategori cukup baik yaitu dengan persentase 53,62%. Kemampuan motorik halus dalam kegiatan bermain balok dinilai melalui empat aspek yaitu kemampuan membangun menara dengan persentase sebesar 47,83%, kemampuan menyusun balok berdampingan dengan persentase sebesar 65,22%, kemampuan membuat jembatan dengan persentase sebesar 51,45%, dan kemampuan membuat bangunan dengan berbagai variasi dengan persentase sebesar 49,28%.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan karunia
dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul
Deskripsi Kemampuan Motorik Halus Dalam Kegiatan Bermain Balok Pada Anak TK Usia 5-6 Tahun se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta dengan lancar.
Skripsi ini dibuat sebagai tugas akhir guna memenuhi salah satu syarat
untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan di
Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharap saran dan kritik yang membangun untuk melengkapi skripsi ini
menjadi lebih baik.
Selama penulisan skripsi, penulis mendapat bantuan dan dorongan berupa
moril dan materiil, dan doa serta bimbingan yang sangat besar. Maka dengan
terselesainya Tugas Akhir Skripsi ini, perkenankanlah penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin studi di
Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah
memberikan kemudahan perijinan, sarana dan fasilitas selama penulis
melaksanakan studi.
3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang
telah memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini
4. Ketua Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini FIP UNY yang
telah memberikan ijin dalam pelaksanaan penelitian.
5. Bapak Dr. Harun Rasyid, M.Pd., sebagai pembimbing I yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, bimbingan, dan dorongan.
6. Ibu Rina Wulandari, M.Pd., sebagai pembimbing II yang telah bersedia
ix
7. Seluruh jajaran Dosen Jurusan PG-PAUD FIP UNY, yang telah memberikan
wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat selama menempuh studi.
8. Ayah, ibu serta saudara yang telah memberikan dukungan dan doa untuk
terselesainya skripsi.
9. Keluarga TK yang memberi bantuan dalam pelaksanaan penelitian.
10. Iman Fajar Pratama yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk
terselesainya skripsi.
11. Teman- teman (Mas Arif, Mbak Rina, Rohyati) yang memberikan dukungan
dan bantuan dalam penulisan skripsi ini
12. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini
Semoga amal dan kebaikan dibalas pahala oleh Allah SWT. Akhirnya
penulis mengharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri
dan berarti bagi dunia pendidikan.
x
B. Kemampuan Motorik Halus Anak Usia Dini...13
C. Konsep Bermain...29
D. Bermain Balok...53
xi BAB III METODE PENELITIAN
A. Bentuk dan Jenis Penelitian...58
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...59
C. Populasi dan Sampel...61
D. Tempat dan Waktu Penelitian... 63
E. Teknik Pengumpulan Data...63
F. Instrumen Penelitian...64
G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen...65
H. Teknik Analisis Data...67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian...72
B. Pembahasan Hasil Penelitian...83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...89
B. Saran...89
DAFTAR PUSTAKA...91
xii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1 Kisi-kisi Observasi... 60
Tabel 2 Daftar TK yang dijadikan sampel... 63
Tabel 3 Lembar Instrumen Observasi... 65
Tabel 4 Kategori Predikat Kemampuan Motorik Halus... 71
Tabel 5 Persentase Kemampuan Membangun Menara di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 76
Tabel 6 Persentase Kemampuan Menyusun Balok Berdampingan di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 77
Tabel 7 Persentase Kemampuan Membuat Jembatan di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 79
Tabel 8 Persentase Kemampuan Bangunan dengan Berbagai Variasi di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 80
xiii
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1 Kerangka Pikir... 57
Gambar 2 Histogram Kemampuan Membangun Menara di TK se-Gugus
Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 77
Gambar 3 Histogram Kemampuan Menyusun Balok Berdampingan di TK
se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 78
Gambar 4 Histogram Kemampuan Membuat Jembatan di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 80
Gambar 5 Histogram Kemampuan Membuat Bangunan dengan Berbagai Variasi di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 81
xiv DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1 Kisi-Kisi Surat Izin Penelitian... 94
Lampiran 2 Kisi-Kisi Instrumen dan Rubrik Penilaian... 101
Lampiran 3 Lembar Penskoran (Check List)... 109
Lampiran 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian... 120
Lampiran 5 Foto Penelitian... 139
1
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia.
Pendidikan adalah proses pengembangan seluruh potensi pada diri manusia dan
diharapkan setiap manusia dapat tumbuh sesuai dengan tujuan nasional Indonesia
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan, baik pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah dan pendidikan tinggi. Hal tersebut tercantum dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 pasal satu ayat satu yang menyatakan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.” Begitu juga menurut Freeman (dalam Harun, 2009: 37) yang mengatakan bahwa proses pendidikan diawali sejak manusia
dilahirkan sampai ke liang lahat (long life education).
Oleh sebab itu, guru sebagai pendidik di sekolah memiliki tanggung
jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Dalam
tanggung jawab tersebut, guru bertugas menjadi tutor, fasilitator, atau instruktur.
Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru
dan dosen yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
2
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Dwi Siswoyo, 2007:
133-135).
Anak usia dini adalah anak dari sejak lahir sampai enam tahun. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 1 ayat 14 yang menyatakan bahwa ”Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani
anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Jadi tujuan pendidikan anak usia dini adalah memfasilitasi pertumbuhan dan
perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan
seluruh aspek kepribadian anak (Suyadi, 2014: 23).
Seluruh potensi yang dapat berkembang pada anak usia dini
dikelompokkan menjadi lima aspek yaitu perkembangan sensori dan persepsi,
perkembangan fisik-motorik, perkembangan sosial dan emosional, perkembangan
kognitif, dan perkembangan bahasa (Harun, 2009: 47). Menurut Rita Eka Izzati,
dan kawan-kawan (2008: 85) lima aspek perkembangan anak usia dini adalah
aspek nilai agama dan moral, aspek kognitif, aspek bahasa, aspek sosial
emosional, dan aspek fisik motorik. Kelima aspek tersebut harus mendapat
stimulasi yang seimbang agar dapat meningkat secara optimal. Dari penjelasan di
atas, dapat diketahui bahwa perkembangan fisik-motorik merupakan salah satu
aspek penting yang perlu distimulasi sejak usia dini. Perkembangan fisik-motorik
3
Suyadi (2010:14) bahwa kecerdasan fisik memiliki peranan utama untuk
membentuk gerak lentur tubuh anak. Umumnya, anak dengan keterampilan fisik
yang baik akan lebih mudah menguasai keterampilan-keterampilan baru seperti
hiking, jogging, dan skipping. Sebaliknya, anak yang tumbuh dengan
keterampilan fisik rendah akan menjadi minder dan tidak percaya diri untuk
melakukan tugas-tugas keterampilan lainnya. Selain itu, anak dengan kecerdasan
fisik tinggi akan mempunyai kelenturan badan yang tinggi, elastisitas gerak
motorik yang memadai, kerapian dalam pekerjaan, kepiawaian
mengkoordinasikan anggota badan yang serasi, dan keluwesan bertindak yang
sangat sempurna. Hal tersebut didasari oleh cara kerja urat saraf yang
mengkoordinasikan seluruh gerak tubuh dan mengikuti ritme tertentu sehingga
anak menjadi lebih terampil, lincah dan cekatan.
Oleh sebab itu, anak memerlukan stimulus untuk dapat mengoptimalkan
kecerdasan fisik-motoriknya. Perkembangan fisik pada masa anak-anak ditandai
dengan berkembangnya kemampuan motorik, baik kasar maupun halus. Motorik
kasar adalah gerakan yang membutuhkan sebagian besar anggota tubuh (Bambang
Sujiono, 2005: 1.14). Motorik halus adalah keterampilan dengan melibatkan
gerakan yang diatur secara halus. Gerakan-gerakan tersebut melibatkan kelompok
otot yang lebih kecil dan memerlukan keterampilan tangan, seperti menggenggam,
mengancingkan baju, menulis, dan menjahit (Santrock, 2007: 216). Santrock juga
menjelaskan bahwa sejak bayi, manusia telah memiliki komponen yang akan
menjadi gerakan lengan, tangan, dan jari yang akan terkoordinasi menjadi lebih
4
anak mampu memfungsikan otor-otot kecil seperti gerakan jari tangan, mampu
mengkoordinasikan kecepatan tangan dengan mata, dan mampu mengendalikan
emosi (Yudha M, 2005: 115). Anak juga dapat melakukan tugas-tugas utamanya
ketika di sekolah, baik itu pada usia pra sekolah sampai pada jenjang-jenjang
berikutnya seperti menulis dengan baik dimana ukuran huruf menjadi lebih kecil
dan rapi, menggunting, meniru angka dan huruf, dan membuat susunan yang
kompleks dengan kotak-kotak (Desmita, 2005: 129).
Tujuan dari pengembangan motorik halus adalah untuk melatih anak agar
terampil dan cermat dalam menggunakan jari-jemari anak untuk kegiatan yang
melibatkan keterampilan tangan dan jari (Andang Ismail, 2006: 84). Dalam
mengembangkan kemampuan motoriknya, anak juga mengembangkan
kemampuan mengamati, mengingat hasil pengamatan dan pengalamannya. Anak
mengamati dan memperhatikan apa yang telah diajarkan gurunya, temannya, atau
yang dilakukan dirinya sendiri untuk kemudian diingat kembali agar dapat
melakukan perbaikan dan penghalusan gerak yang dihasilkan (Bambang Sujiono,
2005: 1.14).
Indikator motorik halus berdasarkan tingkat pencapaian perkembangan
anak usia 5-6 tahun dalam Permendiknas Nomor 58 Tahun 2009 berisi tentang
kegiatan menjiplak, menggunting, bermain balok, membentuk dengan plastisin,
melipat, dan lain-lain yang harus dicapai dan dilaksanakan dalam pengembangan
motorik halus anak. Pada kurikulum 2013 kompetensi dasar 4.3 berdasarkan
Permendiknas Nomor 146 Tahun 2014 juga menyebutkan bahwa anak
5
halus dengan melakukan kegiatan yang menunjukkan kemampuan anak untuk
terampil menggunakan tangan kanan dan kiri dalam berbagai aktivitas.
Stimulasi yang diberikan diharapkan dapat bermakna untuk anak dalam
mengerjakan tugas-tugas perkembangan. Untuk itu, anak membutuhkan suatu
kegiatan yang edukatif dan menyenangkan seperti bermain. Seperti yang
disampaikan oleh Harun (2009: 77) bahwa dalam bermain harus tercipta suasana
yang menyenangkan, rileks, ceria, mendidik, dan dapat menumbuhkan aktivitas
dan kreativitas. Seluruh kegiatan dalam bermain memiliki koneksi dengan otak
yang merupakan dorongan awal untuk mengembangkan potensi agar anak siap
memasuki jenjang sekolah berikutnya. Selain itu, dalam seluruh kegiatan bermain
juga bertujuan untuk mengembangkan kapasitas otak anak dengan menumbuhkan
dendrite atau sel saraf otak yang akan mengembangkan sinapsis-sinapsis. Sesuai
dengan hal tersebut, Laura E.Berk (Suyadi, 2010: 34) melakukan pengamatan
dengan hasil yang menunjukkan bahwa ketika anak bermain dengan
mengembangkan keterampilan motoriknya, maka akan terbangun pola pergerakan
sederhana. Terkait dengan motorik, bermain merupakan kegiatan yang penting
karena dapat mengembangkan kemampuan motorik melalui gerakan yang
dilakukan anak secara bebas. Anak mengembangkan otot-otot dan energi yang
ada. Aktivitas motorik merupakan komponen yang paling besar pada semua usia,
terutama pada usia anak usia dini
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan motorik
halus anak sangat penting untuk menunjang perkembangan yang lain dan di masa
6
Yogyakarta telah memberikan kegiatan yang dapat menstimulasi perkembangan
motorik halus anak. Namun kemampuan anak terkait motorik halus belum
mencapai tingkat memuaskan dalam penggunaan instrumen asesmen sesuai
dengan contoh pencapaian perkembangan pada pembelajaran pendidikan anak
usia dini kurikulum 2013. Hal ini terlihat dari kemampuan anak dalam melakukan
kegiatan motorik halus masih banyak dibantu oleh guru atau temannya yang lebih
mahir. Ketika mewarnai, anak mewarnai dengan coretan yang kasar dan kaku.
Pada kegiatan mencocok, anak juga terlihat merobek kertas dikarenakan tidak
sabar. Anak juga tidak dapat menjiplak sesuai dengan gambar asli dan mengulang
jiplakan. Saat bermain balok, anak juga tidak dapat membangun menara dengan
sempurna dan bangunannya roboh. Beberapa anak juga tidak bersedia bermain
balok dengan alasan takut bangunannya roboh. Dari alasan dan penjelasan
tersebut, peneliti ingin mengetahui seberapa besar kemampuan motorik halus anak
dalam bermain balok. Hasil ini kemudian dapat dijadikan dasar penelitian untuk
memberi tindakan agar dapat meningkatkan kemampuan motorik halus pada anak
usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai, Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta. Untuk itu
peneliti berinisiatif untuk mengadakan penelitian dengan judul deskripsi
kemampuan motorik halus anak dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia
5-6 tahun se-Gugus Teratai, Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta.
Diplihnya kegiatan bermain balok karena di TK pada Gugus Teratai
Umbulharjo Yogyakarta memiliki banyak kegiatan untuk mengembangkan
motorik halus. Peneliti hanya akan meneliti satu kegiatan saja agar lebih terfokus
7
untuk mengoptimalkan aspek perkembangan motorik halus karena ketika anak
bermain balok, anak melibatkan tangan dan mata untuk berkoordinasi (Hurlock,
1978: 154).
B.Identifikasi Masalah
Dari penjelasan tersebut, maka dapat ditarik beberapa identifikasi
masalah, antara lain:
1. Kemampuan motorik halus anak belum berkembang optimal.
2. Beberapa anak masih dibantu guru dan temannya dalam melakukan
tugas-tugas perkembangan motorik halus.
3. Anak mewarnai dengan kasar dan kaku sehingga terlihat tidak rapi.
4. Anak menjiplak berulang-ulang kali dan terlihat tidak rapi.
5. Beberapa anak belum bisa menyusun balok karena takut bangunannya roboh.
C.Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang
muncul. Namun peneliti hanya membatasi permasalahan pada kemampuan
motorik halus dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun
se-gugus Teratai, Umbulharjo Yogyakarta yang disebabkan oleh kemampuan
8
D.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah berapa besar kemampuan motorik halus
dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun se-gugus Teratai,
Umbulharjo Yogyakarta?.
E.Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan mototik halus dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia5-6
tahun se-gugus Teratai, Umbulharjo Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dapat memberi sumbangan dan
informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan motorik halus
anak usia 5-6 tahun pada kegiatan bermain balok.
2. Manfaat praktis
a. Bagi sekolah dan guru:
Hasil penelitian ini dapat memberi gambaran dan informasi pada pihak guru
mengenai kemampuan motorik halus anak dalam kegiatan bermain balok pada
9
b. Bagi peneliti:
Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengalaman, ilmu pengetahuan, dan
wawasan mengenai kemampuan motorik halus anak dalam kegiatan bermain
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Pendidikan Anak Usia Dini
1. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini
Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengembangkan
kepribadian seseorang yang bersifat dinamis (Rukiyati dan kawan-kawan, 2008:
132). Perubahan tersebut mengarah pada suatu kesempurnaan dimana manusia
meraih perkembangan yang lebih tinggi yang melibatkan dua proses yaitu
hominisasi dan humanisasi. Hominisasi adalah adalah proses melibatkan manusia
dalam lingkup hidup manusia itu sendiri. Sedangkan humanisasi adalah proses
yang lebih jauh dan merupakan lanjutan dari homanisasi. Sesuai dengan hal
tersebut, Dwi Siswoyo (2007: 53) juga memaparkan bahwa pendidikan adalah
proses manusia belajar yang mempengaruhi kemampuan, kepribadian, sikap, dan
kekuatan dalam berhubungan dengan sesama manusia, dunia, dan Tuhan. Proses
tersebut disempurnakan dengan adanya alat (media) yang digunakan untuk
membantu tujuan pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga melibatkan
perkembangan dan pertumbuhan. Artinya bersifat terus-menerus sejak manusia
lahir sampai akhir hayat manusia.
Menurut National Association for The Education Young Children
(NAEYC), anak usia dini adalah anak yang berusia sejak lahir sampai 8 tahun.
Sedikit berbeda dengan hal tersebut, menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 pasal 28 ayat 1, anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia
11
kelebihan dan kekurangan masing- masing (Harun dan kawan-kawan, 2009: 37).
Berkaitan dengan hal tersebut, Galuh, A.P (2014: 35) mengatakan bahwa
anak-anak tersebut berada pada masa golden age yaitu masa keemasan. Pada masa
tersebut perkembangan otak anak berkembang sangat pesat dengan kemampuan
pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental sebanyak 80% dan
hanya akan berkembang 20% pada masa dewasa (Suyadi, 2010: 5). Pertumbuhan
dan perkembangan tersebut telah muncul sejak dalam masa kandungan yaitu
dengan terbentuknya sel saraf otak yang merupakan modal untuk kecerdasan.
Setelah lahir, sel saraf tersebut tidak terjadi lagi, namun hubungan antar sel saraf
otak tersebut yang terus berkembang (Trianto, 2010: 28).Sesuai dengan pendapat
tersebut, M. Fadlillah dan Lilif. M. K (2012: 42) memaparkan bahwa ketika
dilahirkan ke dunia, otak manusia mencapai perkembangan sebanyak 25%, hingga
usia 4 tahun mencapai 50%, dan sampai usia 8 tahun mencapai 80%. Selebihnya
akan berkembang hingga usia 18 tahun.
Oleh sebab itu, orang dewasa perlu memberikan stimulasi dengan
melakukan latihan-latihan dasar secara terus-menerus untuk memaksimalkan
kemampuan anak. Stimulasi tersebut harus dilakukan dengan keadaan yang
hangat, ceria, dan gembira sehingga melahirkan kenyaman sesuai dengan apa
yang dibutuhkan anak (Harun dan kawan-kawan, 2009: 41). Kegiatan yang
mendatangkan kehangatan, keceriaan, dan kegembiraan bagi anak didapat dari
kegiatan bermain. Melalui bermain, anak juga mendapat pengalaman. Bermain
merupakan media dimana anak mendapat pengalaman dengan bebas berekspresi
12
membutuhkan makanan bergizi dan seimbang untuk memaksimalkan
perkembangan dan pertumbuhan (Trianto, 2010: 32).
Berkaitan dengan perkembangan, Harun dan kawan-kawan (2009: 47)
memamparkan perkembangan anak usia dini terbagi menjadi perkembangan
sensori dan persepsi, perkembangan motorik, perkembangan sosial dan emosional,
perkembangan kognitif, dan perkembangan bahasa. Seluruh aspek perkembangan
tersebut lebih banyak melibatkan indera pendengaran dan penglihatan. Sedikit
berbeda dengan pendapat tersebut, perkembangan anak dibagi menjadi 4 yaitu
perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan sosial emosional,
dan perkembangan moral (Rita Eka Izzati dan kawan-kawan, 2008: 85). Keempat
aspek perkembangan tersebut dikelompokkan menjadi lebih spesifik sesuai
dengan yang tercantum pada Tahapan Pencapaian Perkembangan (TPP) yang
ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2009 yaitu perkembangan
nilai, agama, dan moral; perkembangan sosial dan emosional; perkembangan
bahasa; perkembangan kognitif; dan perkembangan fisik motorik.
Jadi pendidikan anak usia dini adalah proses belajar dengan
memaksimalkan segala potensi, sikap, dan kepribadian yang dilakukan dengan
adanya stimulasi dan latihan pada anak berusia sejak lahir sampai 6 tahun. Proses
pendidikan anak usia dini harus disesuaikan dengan kebutuhan anak. Artinya,
pendidikan harus bersifat nyaman, gembira, menyenangkan, dan tanpa paksaan
untuk anak (Harun dan kawan-kawan, 2009: 38). Kegiatan yang melibatkan
aspek-aspek tersebut dapat diperoleh anak melalui kegiatan bermain. Bermain
13
memperoleh kesenangan. Berbagai kegiatan yang diulang-ulang tersebut
merupakan latihan yang akan berfungsi di masa depan (Geraldine dan
kawan-kawan, 2003: 56).
B.Kemampuan Motorik Halus Anak Usia Dini 1. Pengertian Kemampuan Motorik Halus
Pada awal sekolah, anak usia dini banyak melakukan kegiatan yang
melibatkan motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus seperti menulis,
meronce, dan bermain balok. Menurut Desmita (2005: 99) keterampilan motorik
adalah gerakan- gerakan tubuh yang disengaja, otomatis, dan cepat. Gerakan ini
merupakan hasil dari koordinasi beratus-ratus otot yang rumit. Kemampuan
motorik dibagi menjadi motorik kasar (gross mototrik skill) dan motorik halus
(fine motor skill). Motorik halus melibatkan otot-otot kecil yang ada pada tubuh
seperti otot untuk menyentuh dan menggenggam. Menguatkan pendapat tersebut,
Fadlillah (2012: 59) memaparkan bahwa motorik halus (fine motor skill) adalah
keterampilan menggerakkan otot dan fungsinya yang menghasilkan suatu gerakan
spesifik dibandingkan dengan motorik kasar.
Santrock (2007: 216) mengungkapkan motorik halus adalah keterampilan
dengan melibatkan gerakan yang diatur secara halus. Gerakan-gerakan tersebut
melibatkan kelompok otot yang lebih kecil dan memerlukan keterampilan tangan,
seperti menggenggam, mengancingkan baju, menulis, dan menjahit.
Menambahkan hal tersebut, Santrock (2011: 214) mengatakan bahwa bayi yang
14
komponen yang akan menjadi gerakan lengan, tangan, dan jari yang akan
terkoordinasi menjadi lebih baik. E.Berk (1994 dalam Suyadi, 2010: 69)
menyatakan bahwa motorik halus adalah bentuk kebalikan dari motorik kasar. Hal
ini dibuktikan bahwa pada anak usia prasekolah telah terjadi perubahan besar pada
kemampuan motorik yaitu dengan meningkatnya gerakan tangan dan jari.
Sementara itu, Hurlock berpendapat (1978: 171) keterampilan motorik
halus adalah gerakan yang memerlukan keterampilan tangan yang dibutuhkan
lebih banyak dalam setiap kehidupan manusia sehingga keterampilan ini dipelajari
lebih baik daripada keterampilan kaki atau motorik kasar. Menurut Davison dan
Kring (2010 dalam Tesis yang disusun oleh Evi.D.S, 2014: 11) motorik halus
adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tertentu saja, yaitu otot-otot kecil
dimana dalam melakukan proses tersebut membutuhkan koordinasi gerak dan
daya konsentrasi yang baik. Menurut Evi.D.S (2014: 11), motorik halus adalah
pengorganisasian penggunaan otot-otot kecil seperti tangan dan jari yang
memerlukan koordinasi yang cermat dan teliti.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
kemampuan motorik halus adalah gerakan yang terbentuk dari pengkoordinasian
otot-otot dan syaraf-syaraf yang lebih kecil dan lebih detail yang akan
menghasilkan gerakan yang lebih spesifik pula dari keterampilan motorik kasar,
yaitu gerakan dan keterampilan tangan yang disengaja, otomatis, dan cepat seperti
memegang benda, menulis, menggambar, dan mejahit. Dalam proses melakukan
gerakan motorik halus, diperlukan adanya koordinasi gerak dan daya konsentrasi
15
2. Perkembangan Kemampuan Motorik Halus Anak Usia Dini
Suyadi (2010: 69) menyatakan bahwa perkembangan motorik halus
adalah meningkatnya pengkoordinasian yang melibatkan otot dan saraf yang jauh
lebih kecil dan lebih detail. Kelompok otot dan saraf inilah yang mampu
menghasilkan gerak motorik halus seperti meremas, menulis, menggambar dan
lain-lain. Terkait hal tersebut, teori sistem dinamik (Santrock,2007: 207) yang
diajukan oleh Ester Thelen dimana ketika melakukan eksperimen melibatkan
seorang bayi membuktikan bahwa perkembangan motorik kasar maupun motorik
halus, tidak dipengaruhi oleh hereditas (genetis) seperti yang disampaikan oleh
Arthur Gesell (1934; dalam Santrock, 2007: 207). Bayi membangun keterampilan
motorik untuk mempersepsi dan melakukan gerakan. Anak harus lebih aktif
membangun keterampilan untuk mencapai tujuan dalam batasan tertentu. Dalam
mengembangkan kemampuan motorik, bayi harus mempersepsikan hal yang
memotivasi dirinya untuk melakukan suatu gerak dan memanfaatkan persepsinya
untuk memperhalus gerakan (Santrock, 2007: 207). Ketika bayi mulai termotivasi,
maka perilaku motorik mulai terbentuk. Perilaku tersebut merupakan gabungan
dari beberapa faktor antara lain perkembangan sistem saraf; sifat fisik tubuh dan
kemungkinan gerakan; tujuan yang memotivasi bayi; dan dukungan lingkungan
atas keterampilan yang akan dilakukan (Halleman dkk, 2005 dalam Santrock,
2007: 207).
Sehubungan dengan hal diatas, Seifert & Hoffnung (1994; Santrock,
1998; Desmita, 2005: 98) bayi pada awal kehidupan sering terlihat ingin meraih
16
benda tersebut dan gagal untuk menggenggam objek. Keterampilan seperti itu
akan terus terjadi selama 4-5 bulan. Selama 2 tahun pertama kehidupan,
keterampilan tersebut menjadi semakin baik. Bayi mulai memperlihatkan
kemampuannya secara berurutan untuk melakukan gerakan sederhana pada siku
dan bahu, kemudian gerakan pada pergelangan tangan, memutar tangan, dan
melakukan koordinasi antara ibu jari dan jari telunjuk. Melanjutkan hal tersebut,
(Santrock, 2011: 15) menjelaskan pada usia 3 tahun, anak memiliki kemampuan
yang lebih matang untuk menggunakan tangannya dibandingkan ketika masih
bayi. Anak mampu memungut objek-objek terkecil dengan ibu jari dan jari
telunjuk, namun mereka masih canggung melakukan hal tersebut. Anak juga dapat
membangun menara balok yang sangat tinggi dengan konsentrasi penuh, namun
sering kali tidak sepenuhnya dalam garis lurus. Anak juga dapat bermain dengan
puzzle. Ketika anak mengenali lokasi yang cocok pada puzzle, anak belum dapat
menempatkan potongan puzzle dengan tepat. Anak sering mencoba memaksakan
potongan tersebut dan menepuknya dengan keras. Pada usia 4 tahun, kemampuan
motorik anak meningkat secara substansial dan lebih tepat. Anak sering marah
karena merasa bangunan balok yang disusun kurang sempurna. Pada usia 5 tahun,
koordinasi motorik halus mulai meningkat. Tangan, lengan, dan tubuh bergerak
bersama di bawah komando mata.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hurlock (1978: 159) juga menerangkan
bahwa pengendalian otot tangan, bahu, dan pergelangan tangan meningkat pada
masa kanak-kanak dan akan mencapai tingkat kesempurnaan layaknya orang
17
tangan yang sering digunakan, yaitu keterampilan makan dan keterampilan
menangkap dan melempar bola. Pada akhir tahun pertama kehidupan, anak
mampu mencoba memegang botol susu atau cangkir dan mengambil sendok yang
digunakan untuk makan. Pada usia 8 bulan, anak dapat memegang botol susu
yang dimasukkan ke mulutnya. Sebulan setelah itu, anak dapat membetulkan
posisi botol susu di dalam mulut. Pada umur 11 dan 12 bulan, sewaktu-waktu
anak mencoba memegang cangkir dan berusaha untuk makan sendiri dengan
menggunakan sendok. Pada mulanya, anak memegang cangkir dengan kedua
tangan. Anak yang makan dengan sendok akan menjatuhkan sebagian besar
makanannya. Namun dengan seringnya latihan yang dilakukan, anak mulai dapat
memegang cangkir dengan satu tangan dan makanan yang berjatuhan dari sendok
mulai berkurang. Pada akhir tahun kedua, anak dapat menggunakan sendok dan
garpu dengan baik. Setahun setelahnya, anak dapat mengoleskan mentega atau
manisan pada roti dengan menggunakan pisau. Bila anak diberi bimbingan dan
kesempatan, maka pada tahun keempat anak mampu menyayat daging lunak
dengan sebuah pisau. Pada usia 6 tahun, sebagian besar anak sudah mampu
menguasai tugas yang digunakan dalam keterampilan makan sendiri.
Pada keterampilan menangkap dan melempar bola ditunjukkan oleh anak
usia 2 tahun dimana anak dapat menggulirkan bahkan mencoba melempar bola.
Meskipun demikian, pada usia 4 tahun sebagian besar anak belum mampu
melemparkan bola dengan baik. Anak terampil melempar bola saat menginjak
usia 6 tahun. Karena keterampilan menangkap bola lebih sulit dibandingkan
18
berkembang setelahnya. Pada usia 6 tahun, anak dapat menangkap bola dengan
seluruh tubuhnya. Kemudian dengan gerakan yang agak teratur, anak mulai
menangkap bola dengan tangan. Setelah melewati usia 6 tahun, anak mulai
menyempurnakan gerakan tangan yang terkoordinasi sehingga mampu
menangkap dengan kedua telapak tangan. Dalam Suyadi (2010: 70) E. Berk
memaparkan bahwa pada usia 3 tahun, anak sudah dapat mengenakan baju
sendiri, bahkan mampu memakai dan melepas sepatunya sendiri. Keterampilan ini
disebut self-help (keterampilan menolong diri sendiri). Keterampilan ini akan
mencapai puncaknya pada usia 6 tahun. Ketercapaian tersebut merupakan
koordinasi gerakan-gerakan tangan dan gerakan lainnya yang berurutan dan
kait-mengait.
Jadi, perkembangan motorik halus pada seseorang tidak dipengaruhi oleh
hereditas sehingga sejak awal kehidupan bayi harus mempersepsi dan beraksi
sesuai dengan kemampuan motorik halus yang dimiliki sehingga bayi dapat
mewujudkan kebutuhannya dan keinginannya. Anak usia 5-6 tahun dapat
menunjukkan peningkatan kemampuan motorik halus dari usia sebelumnya. Anak
mulai dapat melakukan koordinasi antara tangan, lengan, dan tubuh di bawah
komando mata sehingga anak dapat melakukan beberapa keterampilan yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Sebagian besar
anak sudah mampu menguasai tugas untuk melakukan keterampilan makan
sendiri dengan menggunakan sendok dan garpu maupun mengoleskan mentega
atau manisan pada roti dengan menggunakan pisau, melempar dan menangkap
19
3. Fungsi Perkembangan Motorik Halus
Hurlock (1978: 163) memaparkan fungsi dari perkembangan motorik
halus terhadap keterampilan anak usia dini. Keterampilan tersebut antara lain:
a. Keterampilan bantu diri (self-help)
Untuk mencapai kemandirian, anak perlu mengembangkan keterampilan
motorik yang memungkinkan mereka dapat melakukan kebutuhan diri
sendiri.Keterampilan tersebut meliputi keterampilan makan, berpakaian, merawat
diri, dan mandi. Ketika anak mencapai usia sekolah, anak harus memiliki
keterampilan ini dengan tingkat keterampilan dan kecepatan seperti orang dewasa.
b. Keterampilan bantu sosial (social-help)
Agar dapat diterima dalam kelompok sosial (keluarga, sekolah, tetangga),
anak perlu menjadi individu yang kooperatif. Untuk itu diperlukan keterampilan
tertentu, misalnya membantu perkejaan rumah dan tugas sekolah yang wajib
dikerjakan bersama.
c. Keterampilan bermain
Untuk dapat menikmati kegiatan kelompok sebaya atau teman-teman
bermain, anak harus dapat melakukan beberapa permainan seperti bermain bola,
ski, menggambar, melukis, dan memanipulasi alat bermain.
d. Keterampilan sekolah
Dalam masa permulaan sekolah, sebagian besar pekerjaan menggunakan
keterampilan motorik. Baik motorik kasar maupun motorik halus seperti menulis,
menggambar, menari, dan membuat keramik. Dalam pengerjaan keterampilan
20
semakin terampil anak melakukan hal tersebut, semakin baik pula penyesuaian
sosial yang dilakukan dan prestasi akademis maupun non-akademis.
Menurut Sumantri (2005: 146) fungsi dari kemampuan mototrik halus
adalah mendukung aspek perkembangan lainnya seperti kognitif, sosial, dan
bahasa karena setiap perkembangan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
perkembangan yang lain. Jadi dapat disimpulkan fungsi dari perkembangan
motorik halus berdasarkan pendapat yang telah dipaparkan, yaitu untuk membantu
anak mampu dan membiasakan melakukan kegiatan sehari-hari (keterampilan)
sehingga anak terbiasa mandiri seperti peningkatan keterampilan self-help,
keterampilan social help, keterampilan bermain, dan keterampilan sekolah.
4. Prinsip Perkembangan Motorik Halus
Kegiatan-kegiatan yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan
motorik halus anak harus memperhatikan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan
agar motorik halus sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hurlock (1978: 151)
menjelaskan lima prinsip perkembangan motorik, antara lain:
a. Perkembangan motorik bergantung pada kematangan otot dan saraf
Perkembangan pada bentuk kegiatan motorik yang berbeda disesuaikan
dengan posisi sistem saraf. Perkembangan pusat saraf yang lebih rendah yang
berada pada urat saraf tulang belakang berkembang lebih baik daripada
perkembangan pusat saraf yang lebih tinggi yang berada dalam otak. Begitu juga
dengan kegiatan massa pada waktu lahir secara perlahan berkembang menjadi
kegaiatan sukarela yang sederhana yang merupakan landasan untuk keterampilan
21
dan cerebrum yaitu otak yang lebih atas yang mengatur gerakan terampil
berkembang cepat selama awal tahun kehidupan.
b. Belajar keterampilan motorik tidak terjadi sebelum anak matang
Sebelum sistem saraf berkembang dengan baik, usaha mengajarkan
gerakan terampil pada anak akan sia-sia. Begitu juga bila anak melakukan hal
tersebut secara mandiri. Pelatihan seperti itu hanya menghasilkan keuntungan
sementara, pengaruhnya tidak akan berarti dalam jangka waktu panjang.
c. Perkembangan motorik mengikuti pola yang diramalkan
Pola kegiatan motorik yang dapat diramalkan terbukti dengan adanya
perubahan dari kegiatan massa ke kegiatan khusus. Di dalam pola perkembangan
motorik yang berbeda ada tahapan dan usia yang dapat diramalkan. Meskipun
setiap tahap berbeda satu sama lain, masing-masing bergantung pada tahap yang
mendahului dan tahap berikutnya. Tahapan-tahapan tersebut saling berhbungan
dan mempengaruhi satu sama lain. Tahapan yang dapat diramalkan ini juga
berjalan konsisten terhadap keseluruhan laju perkembangan.
d. Perbedaan individu dalam laju perkembangan motorik
Meskipun dalam perkembangan motorik mengikuti perkembangan yang
serupa untuk semua orang, namun dalam hal tersebut ditemukan adanya
perbedaan individu. Hal ini memperngaruhi usia pada saat terjadinya perbedaan
tersebut sehingga mengakibatkan cepat lambatnya perkembangan motorik
seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut, Sumantri (2005: 147-148) memaparkan
22
a. Berorientasi pada kebutuhan anak.
Tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit untuk anak. Kegiatan yang
diberikan seharusnya disesuaikan dengan perkembangan anak.
b. Belajar sambil bermain.
Bermain sangat menyenangkan untuk anak karena dunia anak adalah
bermain. Melalui bermain, anak dapat belajar dengan mengeksplor mengenai
dirinya sendiri dan lingkungannya sehingga pembelajaran menjadi lebih
bermakna. Bermain harus dilakukan dalam suasana yang ceria dan
menggembirakan.
c. Kreatif dan inovatif
Kegiatan yang diberikan harus memunculkan rasa ingin tahu anak sehinga
anak mencoba berpikir kritis yang dapat memunculkan pemikiran atau ide-ide
kreatif dan inovatif dari anak.
d. Lingkungan kondusif
Lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak sangat mendukung
proses pembelajaran demi tercapainya pembelajaran yang bermakna untuk anak.
Selain itu, ruang gerak untuk anak juga merupakan hal yang harus diperhatikan.
Ruang bermain untuk anak seharusnya cukup luas karena anak cenderung lebih
senang untuk melakukan gerakan-gerakan besar dan bebas.
e. Tema
Dalam pembelajaran sebaiknya dimulai dari hal-hal yang dekat dengan
anak.Pembelajaran terkait dengan kehidupan sehari-hari anak agar anak lebih
23
f. Mengembangkan keterampilan hidup
Kegiatan untuk pengembangan motorik halus sebaiknya dapat mengembangkan
beberapa keterampilan hidup seperti menolong diri sendiri dan sosialisasi yang
dapat digunakan dalam kehidupan anak selanjutnya. Misalnya makan, mengikat
tali sepatu, mandi, dan mengancingkan baju.
g. Menggunakan kegiatan terpadu
Model pembelajaran terpadu sangat cocok untuk anak usia dini karena
disesuaikan dengan pemilihan tema yang menarik sehingga anak cukup antusias
dalam melakukan tugas-tugas.
h. Kegiatan berorientasi pada prinsip perkembangan anak
Prinsip perkembangan yang baik artinya anak dapat belajar dengan baik
ketika kebutuhan fisiknya terpenuhi, tentram dan aman psikologisnya. Anak
belajar secara berulang-ulang dan melaui interaksi dengan orang lain.
Perkembangan dan proses pembelajaran harus tetap memperhatikan perbedaan
setiap anak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kegiatan-kegiatan yang memacu
perkembangan motorik halus harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip
perkembangan motorik halus agar perkembangan tidak bersifat sementara, namun
memberi keuntungan yang bermakna pada masa kehidupan manusia. Untuk itu,
anak usia dini membutuhkan kegiatan-kegiatan yang memenuhi prinsip
perkembangan motorik halus agar sesuai dengan tahap perkembangannya dimana
prinsip-prinsip tersebut antara lain berorientasi pada kebutuhan anak, belajar
24
mengembangkan keterampilan hidup, menggunakan kegiatan terpadu, dan
berorientasi pada prinsip perkembangan anak.
5. Stimulasi Untuk Perkembangan Motorik Halus
Dave mengembangkan teori Benyamin Bloom (dalam Suyadi, 2010: 73)
yang menyatakan bahwa rentang kemampuan gerak motorik anak ditunjukkan
dari gerakan yang kaku sampai pada gerakan yang luwes dengan
mengklasifikasikan domain psikomotorik ke dalam lima kategori. Hal tersebut
dapat dijadikan stimulasi untuk meningkatkan perkembangan fisik motorik anak
usia dini. Dengan adanya lima kategori tersebut, Dave berharap anak mampu
mencapai tingkat perkembangan fisik motorik secara sempurna, sehingga
pencapain gerakan tersebut dapat menunjang tingkat kegeniusan anak. Lima
kategori tersebut adalah:
a. Imitation (peniruan)
Keterampilan suatu gerakan yang telah dikenali sebelumnya oleh anak. Anak
dapat mengenal gerakan tersebut baik dengan mendengar maupun melihat
sehingga anak melakukan representasi ulang . Stimulasi yang dapat diberikan
misalnya adalah menontonkan film; misalnya meniru gerakan binatang. Anak
yang sering melihat gerakan binatang secara berulang-ulang, maka anak dapat
menirukan gerakan binatang tersebut.
b. Manipulation (penggunaan konsep)
Kemampuan menggunakan konsep dalam melakukan kegiatan. Anak menetapkan
suatu gerakan keterampilan tertentu dengan latihan. Ketika anak
25
pada ingatan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan garpu,
melompat, dan menggunting.
c. Presition (ketelitian)
Kemampuan bergerak dengan kedetailan tertentu. Ketelitian ini mirip dengan
maipulasi, namun mencapai kontrol yang lebih tinggi. Seperti belajar mengendarai
sepeda roda tiga, mudur, dan zigzag.
d. Articulation (perangkaian)
Kemampuan gerak secara kombinatif dan berkesinambungan yang membutuhkan
koordinasi saraf, otot dan mata secara cermat.Stimulasi yang dapat dilakukan
misalnya dengan menggambar, mengetik, dan menulis.
e. Naturalization (kewajaran)
Kemampuan gerak secara wajar. Diperlukan adanya kerjasama yang baik antara
saraf, pikiran, mata , tangan, dan anggota tubuh yang lain. Anak tidak dapat secara
langsung bisa melakukan, namun harus diulang-ulang hingga mencapai tingkat
kelenturan dan keluwesan gerak yang sempurna.
Berkaitan dengan hal tersebut, Sumantri (2005: 121) menerangkan bahwa
kemampuan motorik halus anak dapat berkembang meskipun tidak mendapat
stimulasi. Namun perkembangan tersebut tidak terjadi secara optimal.
Memberikan stimulasi terkait kegiatan untuk melatih perkembangan motorik
halus anak usia dini sebaiknya dengan kegiatan yang membutuhkan kecermatan,
kesabaran dan ketelitian. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain seperti mencetak,
menjahit, menggunting, menjiplak, membangun menara, dan bermain play dough.
26
dapat diberikan untuk perkembangan motorik halus anak adalah gerakan-gerakan
yang melibatkan otot kecil dan penggunaan tangan seperti menjiplak, membangun
menara, dan menjahit yang dalam prosesnya membutuhkan beberapa hal yaitu
peniruan, penggunaan konsep, ketelitian, perangkaian, dan kewajaran.
6. Tujuan Perkembangan Motorik Halus
Dalam mengoptimalkan pengembangan motorik halus diharapkan dapat
mencapai tujuan seperti yang dipaparkan oleh Sumantri (2005: 146):
a. Mampu mengembangkan keterampilan motorik halus yang berhubungan dengan gerak kedua tangannya
b. Mampu menggerakkan anggota tubuh yang berhubungan dengan jari-jemari, seperti kesiapan menulis, menggambar, dan menggunting
c. Mampu mengkoordinasi indera mata dan aktivitas tangan d. Mampu mengendalikan emosi dan beraktvitas motorik halus
Sesuai dengan pendapat tersebut, Sujiono (2005 dalam Rakhmaningsih,
2015: 14) menjelaskan bahwa tujuan motorik halus adalah untuk meningkatkan
keterampilan fisik-motorik anak didik dalam memperkenalkan dan melatih
gerakan motorik halus anak didik, meningkatkan kemampuan mengelola,
mengontrol gerakan tubuh dan koordinasi, serta meningkatkan keterampilan
tubuh. Menguatkan hal tersebut, Sujiono (2008: 2.12) menjelaskan tujuan-tujuan
dari pengembangan motorik halus, yaitu: (a) agar anak berlatih menggerakkan
pergelangan tangan dengan kegiatan menggambar dan mewanai, (b) anak belajar
ketepatan koordinasi mata dan tangan serta mengeerakkan pergelangan tangan
agar lentur, dan (c) anak belajar berimajinasi dan berkreasi.
Sementara itu, Yudha M. Saputra & Rudiyanto (2005: 115) menyatakan
tujuan keterampilan motorik halus, antara lain: (a) mampu memfungsikan
27
tangan dan mata, dan (c) mampu mengendalikan emosi. Sependapat dengan hal
tersebut, Asmawati (2008: 5) memaparkan tujuan mengembangkan motorik halus
pada anak, yaitu agar anak dapat berlatih koordinasi tangan, mata, dan pikirannya
dalam menggunakan berbagai alat atau media kreatif sehingga memperoleh
keterampilan yang berguna untuk perkembangan selanjutnya (Asmawati, 2008:
5.). Purwarini (2015: 7) juga menyatakan tujuan dari pengembangan motorik halus
anak adalah untuk mengembangkan dan melatih motori halus anak, melatih
koordinasi lengan dan genggam, serta mengembangkan kreativitas anak. Nuryani
dan kawan-kawan (2013: 2) menjelaskan tujuan dari motorik halus pada anak,
yaitu menstimulasi perkembangan otot sebagai modal dasar untuk menulis,
mengenal warna dan bentuk, melatih gerakan otot jemari atau pergelangan tangan
agar lentur, menyalurkan perasaan melalui imajinansi, keindahan dan kreativitas
agar berkembang secara optimal. Berdasarkan pendapat di atas mengenai tujuan
pengembangan motorik halus, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
pengembangan motorik halus adalah anak dapat berlatih dan membiasakan
gerakan-gerakan yang membutuhkan aktivitas tangan atau gerakan yang
melibatkan otot-otot kecil agar membantu anak dalam memenuhi kebutuhan diri
sendiri.
7. Unsur-Unsur Keterampilan Motorik Halus
Dalam melakukan gerakan, setiap anak memiliki beberapa unsur di
dalamnya. Barrow Harold. M dan Mc Gee, Rosemary (1976: 120) menyatakan
bahwa unsur-unsur keterampilan motorik terdiri atas: kekuatan, kecepatan, power,
28
juga sesuai dengan pemaparan Toho Cholik Mutohir dan Gusril (2004: 50-51)
yang menjelaskan bahwa unsur-unsur keterampilan motorik di antaranya:
a. Kekuatan adalah keterampilan sekelompok otot untuk menimbulkan tenaga
sewaktu bekerja atau melakukan gerakan. Kekuatan otot harus dimiliki anak
sejak dini. Apabila anak tidak memiliki kekuatan otot tentu anak tidak dapat
melakukan aktivitas bermain yang menggunakan fisik seperti: berlari,
melompat, melempar, memanjat, menganggkat, bergantung, dan mendorong.
b. Koordinasi kemampuan seseorang mengintegrasikan berbagai gerakan yang
berbeda ke dalam pola gerakan tunggal secara efektif. Dengan ketentuan
bahwa gerakan koordinasi meliputi kesempurnaan waktu antara otot dengan
sistem syaraf. Koordinasi merupakan faktor penting yang juga menentukan
suatu pembelajaran motorik dikarenakan koordinasi merupakan faktor lain
yang menjadi dasar pelaksanaan, khususnya gerakan yang lebih kompleks.
Anak dikatakan baik koordinasi gerakannya apabila anak mampu bergerak
dengan mudah, lancar dalam rangkaian dan irama gerakannya terkontrol
dengan baik.
c. Kecepatan adalah keterampilan yang berdasarkan kelentukan dalam satuan
waktu tertentu. Kecepatan dalam motorik tidak hanya fokus pada kecepatan
kaki melainkan seluruh bagian badan, bahkan mungkin bervariasi dari satu
bagian ke bagian lain.
d. Keseimbangan adalah kemampuan seseorang mengendalikan organ-organ
syaraf otot sehingga dapat mengendalikan gerakan-gerakan dengan baik dan
29
dinamis. Keseimbangan statis merujuk kepada menjaga keseimbangan tubuh
ketika berdiri pada suatu tempat. Keseimbangan dinamis adalah keterampilan
untuk menjaga keseimbangan tubuh ketika berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain.
e. Kelincahan adalah keterampilan seseorang mengubah arah dan posisi tubuh
dengan cepat dan tepat pada waktu bergerak dari titik ke titik lain. Kelincahan
ini meliputi koordinasi cepat dan tepat dan otot-otot besar pada badan dalam
suatu kegiatan pembelajaran.
Dari hasil penjelasan tersebut, unsur kebugaran jasmani yang
mempengaruhi gerakan motorik halus terdapat tiga unsur, yaitu kekuatan,
koordinasi, dan kecepatan. Ketiga komponen tersebut, tidak hanya fokus pada
gerakan yang melibatkan otot-otot besar, namun juga gerakan yang melibatkan
tangan atau motorik halus.
C.Konsep bermain
1. Pengertian Bermain Bagi Anak Usia Dini
“Bermain bukan bekerja; bermain adalah pura-pura; bermain bukan
sesuatu yang sungguh-sungguh; bermain bukan sesuatu yang produktif” (Schwartzman,1978 dalam Patmonodewo, 1995: 102). Bermain menurut Suyadi
(2010: 284) merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan dengan ditandai
adanya gelak tawa oleh anak yang melakukan. Karena itu, suasana hati menjadi
penentu apakah anak tersebut sedang bermain atau tidak. Menguatkan pendapat
30
fisik dan psikis anak untuk mencari dan mendapatkan kesenangan yang bebas dari
aturan dan ketentuan yang ketat. Sesuai dengan hal tersebut, menurut Hurlock
(1978: 320) bermain merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk
memperoleh kesenangan. Hurlock menegaskan bahwa bermain merupakan lawan
dari kerja karena bermain dilakukan dengan penuh kesenangan, tanpa beban dan
dilakukan tanpa tujuan atau hasil akhir.Menambahkan pendapat tersebut, (Docket
dan fleer, 2000: 41 dalam Sujiono, 2012: 144) bermain merupakan kebutuhan
bagi anak karena melalui bermain anak memperoleh pengetahuan yang dapat
mengembangkan kemampuan dirinya. Bermain merupakan sesuatu yang berbeda
dengan aktivitas lain seperti bekerja dan belajar yang dilakukan untuk mencapai
suatu hasil akhir.
Sedikit berbeda dengan pendapat Hurlock, Sujiono (2012: 145)
menyatakan bahwa bermain bagi anak merupakan kegiatan yang dapat disamakan
dengan bekerja pada orang dewasa. Anak memberikan konsentrasi yang penuh
dalam bermain. Bermain juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan anak. Sedangkan Mayesty (1990: 196-197 dalam Sujiono, 2012:
144) bermain adalah kegiatan yang diulang-ulang sepanjang hari karena bagi anak
hidup adalah bermain dan bermain adalah hidup. Anak akan terus melakukan
permainan dimanapun dan kapanpun anak memiliki kesempatan.
31
Menurut Piaget (Partini, 2010: 50) bermain merupakan aktivitas yang
dapat mengembangkan kemampuan fisik-motorik anak karena anak belajar
mengontrol gerakannya menjadi gerakan yang terkoordinasi. Anak terlahir dengan
kemampuan refleks sehingga dengan bermain anak belajar menggabungkan dua
atau lebih gerak refleks hingga mampu mengontrol dengan baik. Hoorn dalam
penelitiannya (Partini, 2010: 50) juga menerangkan bahwa bermain memiliki
peran penting dalam perkembangan kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan
kreatif. Bermain juga membebaskan anak dari kehidupan sebenarnya yang
menghambat berpikir abstrak. Anak belajar memahami pengetahuan melalui
interaksi dengan objek sekitarnya yang didapat dari bermain.
Dari beberapa kutipan yang telah dipaparkan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh anak usia
dini secara berulang-ulang untuk memperoleh kesenangan dan bebas dari aturan
yang ketat, tujuan atau hasil akhir, dan kehidupan nyata yang menghambat anak
untuk berpikir abstrak. Melalui bermain anak dapat mencobakan dirinya, baik
dalam dunia fantasi maupun dunia nyata. Anak juga dapat mengembangkan
kemampuan fisik-motorik, kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan kreatif.
2. Tahapan Bermain
Dalam bermain, anak belajar berkomunikasi dengan orang lain yang ada
di sekitarnya. Dari komunikasi tersebut, kemampuan sosial anak menjadi semakin
berkembang. Parten dan Rogers dalam Dockett dan Fleer (1999: 62) dalam
Sujiono (2012: 147) menerangkan mengenai perkembangan bermain yang terdiri
32
secara individual sampai pada tahap bermain bersama. Tahapan-tahapan tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
a. Unoccupied atau tidak menetap
Kegiatan bermain ini merupakan kegiatan dimana anak tidak benar-benar
terlibat dalam permainan itu. Anak hanya melihat-lihat dan mengamati keadaan di
sekitarnya, sambil duduk atau berdiri. Anak juga tidak sedang memberikan
konsentarsai penuh pada keadaan di sekitarnya (Harun, 2009: 92).
b. Onlooker atau penonton/ pengamat
Dalam ruangan yang sama, anak hanya menonton anak lain. Selama anak
sedang menonton, mungkin anak tersebut terlihat pasif, namun anak tersebut tetap
waspada dengan apa yang terjadi di sekitarnya dan sangat peduli dengan tingkah
laku anak di sekitarnya yang sedang bermain. Misalnya, anak tersebut hanya
duduk pasif dan menonton. Namun disaat bersamaan, anak tersebut bercerita
dengan teman lainnya sambil menonton anak lain yang sedang bermain atau
bermain sendiri sambil melihat anak lain yang sedang bermain (S.Patmonodewo,
2003: 103).
c. Solitary independent play atau bermain sendiri
Beberapa anak berada dalam ruangan yang sama namun seorang anak
bermain secara individual. Anak tidak akan memperhatikan apa yang dikerjakan
oleh anak lain. Anak terlihat sibuk dan asyik bermain sendirian. Kehadiran anak
lain tidak menarik untuk anak. Misalnya, seorang anak yang sedang menyusun
balok tanpa mempedulikan kegiatan anak lain yang berada di dekatnya
33
d. Parallel activity atau kegiatan parallel
Kegiatan bermain yang dilakukan oleh sekelompok atau beberapa anak
dengan menggunakan alat permainan atau materi yang sama, namun anak tetap
bermain secara individual. Kegiatan satu anak tidak tergantung pada anak yang
lain. Contoh dari bermain paralel adalah bermain puzzle. Bila satu anak
meninggalkan ruang, anak yang lain masih dapat melanjutkan permainan
(S.Patmonodewo, 2003: 104).
e. Associative play atau bermain dengan teman
Kegiatan bermain oleh beberapa anak namun tidak ada suatu aturan atau
ketentuan yang disepakati bersama. Misalnya, seorang anak memilih menjadi
penjahat, sedang anak lain memilih untuk berlari mengejar penjahat. Namun
dalam bermain asosiatif tidak ditentukan peran masing-masing anak. Jadi apabila
satu anak tidak berlari, yang lain tetap berlari melanjutkan permainan
(S.Patmonodewo, 2003: 104).
f. Cooperative or organized play atau kerja sama dalam bermain atau dengan
aturan
Kegiatan bermain dimana setiap anak memiliki peran tertentu untuk
mencapai tujuan permainan. Misalnya beberapa anak yang sedang bermain
“kucing dan tikus”. Dua anak menjadi kucing dan tikus, anak yang lain
membentuk lingkaran menjadi pagar untuk melindungi si kucing
(S.Patmonodewo, 2003: 104).
Sedangkan menurut Hurlock (1978:324) tahap perkembangan bermain
34
a. Tahap penjelajahan (exploartory stage)
Tahapan ini terjadi pada bayi sampai usia sekitar 3 tahun. Bermain yang
dilakukan hanya melihat orang lain dan benda serta berusaha menggapai benda
yang dilihatnya. Selanjutnya bayi mulai mampu mengendalikan tangan untuk
mengambil, memegang, dan mempelajari benda kecil. Setelah itu bayi bermain
dengan merangkak atau berjalan untuk memperhatikan apa saja yang ada dalam
membayangkan seolah-olah barang mainannya memiliki sifat hidup seperti dapat
bergerak, berbicara, dan merasakan. Namun dengan berkembangnya kecerdasan,
anak tidak lagi mengganggap benda mati sebagai benda hidup. Ketika mencapai
usia sekolah, anak mulai lebih nyaman bermain bersama teman daripada mainan
karena menurut anak bermain dengan mainan merupakan permainan bayi.
c. Tahap bermain (play stage)
Tahapan bermain dimana anak menunjukkan ketertarikan terhadap
beragam jenis permainan. Tahapan ini terjadi pada usia ketika anak mulai
memasuki masa sekolah. Jenis bermain anak sangat beragam. Bermain dengan
barang mainan masih dilakukan ketika anak sedang sendiri. Namun ketika
bersama teman-teman , anak lebih tertarik pada permainan yang lebih matang
35
d. Tahap melamun (Daydream stage)
Tahap melamun terjadi pada anak yang mendekati masa puber. Anak
mulai kehilangan minat yang sebelumnya disenangi dan banyak menghabiskan
waktu dengan melamun. Biasanya melamun yang dilakukan terjadi ketika anak
menganggap dirinya tidak diperlukan dan tidak dimengerti oleh siapapun.
Sementara itu, Rubin, Fein & Vandenberg (1983) dan Smilansky (1968) dalam
Berk (1994) dalam Tedjasaputra (2001: 28), mengemukakan tahapan bermain
sebagai berikut:
a. Bermain fungsionil (Functional Play)
Umumnya tahapan bermain ini terjadi pada anak usia 1-2 tahun yang
berupa gerakan sederhana dan berulang-ulang. Anak dapat bermain dengan atau
tanpa alat. Misalnya, anak berlari-lari di halaman rumah, menarik mobil-mobilan,
dan meremas-remas tanah liat tanpa maksud merubah bentuk (Tedjasaputra, 2001:
28).
b. Bangun-membangun (Constructif Play)
Bermain pada tahapan ini biasanya terjadi pada anak usia 3-6 tahun.
Anak dapat membentuk sesuatu dengan alat permainan yang tersedia. Misalnya,
anak membuat rumah-rumahan dengan balok kayu atau potongan lego
(Tedjasaputra, 2001: 28).
c. Bermain pura-pura (make-believe play)
Kegiatan bermain pura-pura umumnya dilakukan oleh anak usia 3-7
tahun. Anak menirukan kegiatan yang dijumpai oleh orang-orang terdekatnya.
36
ibunya. Anak juga berperan menjadi tokoh film yang dikenalnya seperti batman
dan doraemon (Tedjasaputra, 2001: 29).
d. Bermain dengan peraturan (Games with rules)
Dalam kegiatan bermain ini, anak sudah dapat mematuhi aturan. Lambat
laun anak memahami bahwa peraturan tersebut boleh diubah sesuai dengan
kesepakatan bersama asal tidak terlalu menyimpang dari aturan umumnya.
Biasanya terjadi pada anak usia 6-11 tahun (Tedjasaputra, 2001: 29).
Sesuai dengan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa tahapan bermain terus berkembang mulai dari kemampuan bermain anak
yang bersifat individual sampai pada kemampuan anak bermain dengan cara
melibatkan teman-teman di sekitarnya. Anak usia 5-6 tahun berada pada tahapan
bermain dimana anak mulai bermain dengan anak lain. Umumnya anak lebih
menyukai permainan peran. Anak menirukan penampilan atau gaya bicara dari
orang di sekitarnya atau tokoh yang sering dia jumpai di televisi. Terkadang anak
melakukannya dengan anak lain. Meskipun demikian, dalam permainan tersebut
tidak ada aturan ketat di dalamnya.
3. Manfaat Bermain Bagi Anak Usia Dini
Menurut Agung Triharso (2013: 10-13) bermain memiliki beberapa
manfaat untuk perkembangan anak usia dini, antara lain adalah:
a. Bermain mempengaruhi perkembangan fisik anak
Anak usia dini bersifat aktif, banyak gerak, dan rentang perhatiannya
masih sangat terbatas. Oleh sebab itu anak perlu mendapat kesempatan untuk
37
sebaiknya energi yang dimiliki disalurkan melalui bermain dimana anak
melakukan gerakan-gerakan tubuh yang dapat menjadikan tubuh lebih sehat dan
otot menjadi lebih kuat.
b. Bermain dapat digunakan sebagai terapi
Bermain dapat dijadikan psiko terapi atau media “pengobatan” bagi anak.
Anak yang beramasalah dan tidak cukup ditangani dengan konseling atau
konsultasi saja, maka memerlukan sebuah pengobatan. Dalam menjadikan
bermain sebagai psiko terapi, diperlukan adanya seorang ahli yang menangani
banyak masalah apada anak. Tindakan yang diberikan ahli psiko terapi sangat
diperlukan.Hal ini bisa terjadi pada anak yang tantrum, agresif, dan kurang percya
diri.
c. Bermain meningkatkan pengetahuan anak
Dengan bermain, anak mendapat pengetahuan dari apa yang
dipelajarinya dengan mengenal bahkan memahami konsep warna, ukuran, bentuk,
arah, dan besaran sebagai landasan untuk belajar menulis, bahasa, matematika,
dan ilmu pengetahuan yang lain. Aktivitas motorik kasar dan motorik halus anak
ikut berkembang. Misalnya ketika anak menulis, menggambar, dan
mencorat-coret. Perkembangan motorik kasar dapat dilihat ketika anak berlari dan berjalan.
d. Bermain melatih penglihatan dan pendengaran
Ketajaman dan kepekaan penglihatan dan pendengaran juga sangat perlu
dikembangkan. Kedua indera tersebut memudahkan anak untuk belajar membaca
serta menulis di kemudian hari. Perkembangan keduanya dapat dilatih melalui
38
e. Bermain mempengaruhi perkembangan kreativitas anak
Anak usia dini memiliki rentang perhatian yang terbatas dan sulit diatur.
Dengan bermain, anak akan merasa senang dan terkontrol sehingga kreativitas
pun meningkat. Kreativitas akan terlatih dan muncul dengan sendirinya. Dalam
hal ini orang dewasa perlu untuk membebaskan anak namun tetap dalam
pengawasan. Umumnya, kreativitas diawali dengan rasa ingin tahu anak dengan
mengeksplorasi setiap hal dalam kehidupan sehari-harinya.
f. Bermain mengembangkan tingkah laku sosial anak
Dengan berkembangnya usia, anak perlu untuk dilatih berpisah dengan
ibu atau pengasuhnya. Anak harus diberi pengertian bahwa perpisahan hanya
terjadi sementara. Sedangkan dengan teman sebaya, anak harus belajar berbagi
hak milik, menggunakan mainan secara bergiliran, melakukan kegiatan bersama,
mempertahankan hubungan yang dibina, serta mencari solusi mengenai masalah
yang dihadapi bersama. Dengan bermain, anak akan mendapatkan
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
g. Bermain mempengaruhi nilai moral anak
Dengan bermain yang dilakukan bersama teman sebaya, anak memiliki
penilaian terhadap dirinya sendiri, yaitu tentang kelebihan yang dimiliki. Hal
tersebut membantu pembentukan konsep diri dalam diri anak seperti percaya diri
dan harga diri. Dari hal tersebut anak belajar bagaimana bertingkah laku seperti
bersikap jujur,murah hati, dan tulus.
Menurut Wolfgang dan Wolfgang (1999: 32-37 dalam Sujiono, 2012: