• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESKRIPSI KEMAMPUAN MOTORIK HALUS DALAM KEGIATAN BERMAIN BALOK PADA ANAK TK USIA 5-6 TAHUN SE-GUGUS TERATAI UMBULHARJO YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DESKRIPSI KEMAMPUAN MOTORIK HALUS DALAM KEGIATAN BERMAIN BALOK PADA ANAK TK USIA 5-6 TAHUN SE-GUGUS TERATAI UMBULHARJO YOGYAKARTA."

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

i

DESKRIPSI KEMAMPUAN MOTORIK HALUS DALAM KEGIATAN BERMAIN BALOK PADA ANAK TK USIA 5-6 TAHUN

SE-GUGUS TERATAI UMBULHARJO YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Tyastika Putri Utami NIM 11111241003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIK ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

Don’t judge me by my successes, judge me by how many times I fell down and

got back up again (Nelson Mandela)

Tuhan tidak mengharuskan kita sukses, Tuhan hanya mengharapkan kita mencoba

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Tugas Akhir Skripsi ini, penulis persembahkan kepada:

1) Ayah dan ibu yang senantiasa memberikan semangat dan do’a demi kesuksesan saya

(7)

vii

DESKRIPSI KEMAMPUAN MOTORIK HALUS DALAM KEGIATAN BERMAIN BALOK PADA ANAK TK USIA 5-6 TAHUN

SE-GUGUS TERATAI UMBULHARJO YOGYAKARTA Oleh

Tyastika Putri Utami NIM 11111241003

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan motorik halus anak yang dilakukan dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta. Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta terdiri dari 6 TK, namun penelitian ini hanya menggunakan 4 TK, yaitu TK Islam Pelangi Anak, TK Al-Wardah, TK Pamardisiwi, dan TK Islam Plus Al-Ikhlash.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitaif. Subjek penelitian adalah anak TK usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta yang bejumlah 69 anak. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu observasi langsung. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dengan persentase. Hasil check list (lembar observasi) disajikan dalam bentuk diagram lingkaran dan histogram.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan motorik halus dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta berada pada kategori cukup baik yaitu dengan persentase 53,62%. Kemampuan motorik halus dalam kegiatan bermain balok dinilai melalui empat aspek yaitu kemampuan membangun menara dengan persentase sebesar 47,83%, kemampuan menyusun balok berdampingan dengan persentase sebesar 65,22%, kemampuan membuat jembatan dengan persentase sebesar 51,45%, dan kemampuan membuat bangunan dengan berbagai variasi dengan persentase sebesar 49,28%.

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan karunia

dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi yang berjudul

Deskripsi Kemampuan Motorik Halus Dalam Kegiatan Bermain Balok Pada Anak TK Usia 5-6 Tahun se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta dengan lancar.

Skripsi ini dibuat sebagai tugas akhir guna memenuhi salah satu syarat

untuk meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan di

Universitas Negeri Yogyakarta. Dengan segala kerendahan hati, penulis

mengharap saran dan kritik yang membangun untuk melengkapi skripsi ini

menjadi lebih baik.

Selama penulisan skripsi, penulis mendapat bantuan dan dorongan berupa

moril dan materiil, dan doa serta bimbingan yang sangat besar. Maka dengan

terselesainya Tugas Akhir Skripsi ini, perkenankanlah penulis menyampaikan

ucapan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan izin studi di

Universitas Negeri Yogyakarta.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah

memberikan kemudahan perijinan, sarana dan fasilitas selama penulis

melaksanakan studi.

3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang

telah memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini

4. Ketua Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini FIP UNY yang

telah memberikan ijin dalam pelaksanaan penelitian.

5. Bapak Dr. Harun Rasyid, M.Pd., sebagai pembimbing I yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, bimbingan, dan dorongan.

6. Ibu Rina Wulandari, M.Pd., sebagai pembimbing II yang telah bersedia

(9)

ix

7. Seluruh jajaran Dosen Jurusan PG-PAUD FIP UNY, yang telah memberikan

wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat selama menempuh studi.

8. Ayah, ibu serta saudara yang telah memberikan dukungan dan doa untuk

terselesainya skripsi.

9. Keluarga TK yang memberi bantuan dalam pelaksanaan penelitian.

10. Iman Fajar Pratama yang selalu memberikan dukungan dan doa untuk

terselesainya skripsi.

11. Teman- teman (Mas Arif, Mbak Rina, Rohyati) yang memberikan dukungan

dan bantuan dalam penulisan skripsi ini

12. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini

Semoga amal dan kebaikan dibalas pahala oleh Allah SWT. Akhirnya

penulis mengharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri

dan berarti bagi dunia pendidikan.

(10)

x

B. Kemampuan Motorik Halus Anak Usia Dini...13

C. Konsep Bermain...29

D. Bermain Balok...53

(11)

xi BAB III METODE PENELITIAN

A. Bentuk dan Jenis Penelitian...58

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional...59

C. Populasi dan Sampel...61

D. Tempat dan Waktu Penelitian... 63

E. Teknik Pengumpulan Data...63

F. Instrumen Penelitian...64

G. Validitas dan Reliabilitas Instrumen...65

H. Teknik Analisis Data...67

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian...72

B. Pembahasan Hasil Penelitian...83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan...89

B. Saran...89

DAFTAR PUSTAKA...91

(12)

xii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1 Kisi-kisi Observasi... 60

Tabel 2 Daftar TK yang dijadikan sampel... 63

Tabel 3 Lembar Instrumen Observasi... 65

Tabel 4 Kategori Predikat Kemampuan Motorik Halus... 71

Tabel 5 Persentase Kemampuan Membangun Menara di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 76

Tabel 6 Persentase Kemampuan Menyusun Balok Berdampingan di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 77

Tabel 7 Persentase Kemampuan Membuat Jembatan di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 79

Tabel 8 Persentase Kemampuan Bangunan dengan Berbagai Variasi di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 80

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 1 Kerangka Pikir... 57

Gambar 2 Histogram Kemampuan Membangun Menara di TK se-Gugus

Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 77

Gambar 3 Histogram Kemampuan Menyusun Balok Berdampingan di TK

se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 78

Gambar 4 Histogram Kemampuan Membuat Jembatan di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 80

Gambar 5 Histogram Kemampuan Membuat Bangunan dengan Berbagai Variasi di TK se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta... 81

(14)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1 Kisi-Kisi Surat Izin Penelitian... 94

Lampiran 2 Kisi-Kisi Instrumen dan Rubrik Penilaian... 101

Lampiran 3 Lembar Penskoran (Check List)... 109

Lampiran 4 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Harian... 120

Lampiran 5 Foto Penelitian... 139

(15)

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia.

Pendidikan adalah proses pengembangan seluruh potensi pada diri manusia dan

diharapkan setiap manusia dapat tumbuh sesuai dengan tujuan nasional Indonesia

yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap warga negara wajib mengikuti

pendidikan, baik pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan

menengah dan pendidikan tinggi. Hal tersebut tercantum dalam Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2003 pasal satu ayat satu yang menyatakan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan Negara.” Begitu juga menurut Freeman (dalam Harun, 2009: 37) yang mengatakan bahwa proses pendidikan diawali sejak manusia

dilahirkan sampai ke liang lahat (long life education).

Oleh sebab itu, guru sebagai pendidik di sekolah memiliki tanggung

jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Dalam

tanggung jawab tersebut, guru bertugas menjadi tutor, fasilitator, atau instruktur.

Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru

dan dosen yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan

tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,

(16)

2

formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Dwi Siswoyo, 2007:

133-135).

Anak usia dini adalah anak dari sejak lahir sampai enam tahun. Hal ini

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pasal 1 ayat 14 yang menyatakan bahwa ”Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai

dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan

pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani

anak agar memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Jadi tujuan pendidikan anak usia dini adalah memfasilitasi pertumbuhan dan

perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan

seluruh aspek kepribadian anak (Suyadi, 2014: 23).

Seluruh potensi yang dapat berkembang pada anak usia dini

dikelompokkan menjadi lima aspek yaitu perkembangan sensori dan persepsi,

perkembangan fisik-motorik, perkembangan sosial dan emosional, perkembangan

kognitif, dan perkembangan bahasa (Harun, 2009: 47). Menurut Rita Eka Izzati,

dan kawan-kawan (2008: 85) lima aspek perkembangan anak usia dini adalah

aspek nilai agama dan moral, aspek kognitif, aspek bahasa, aspek sosial

emosional, dan aspek fisik motorik. Kelima aspek tersebut harus mendapat

stimulasi yang seimbang agar dapat meningkat secara optimal. Dari penjelasan di

atas, dapat diketahui bahwa perkembangan fisik-motorik merupakan salah satu

aspek penting yang perlu distimulasi sejak usia dini. Perkembangan fisik-motorik

(17)

3

Suyadi (2010:14) bahwa kecerdasan fisik memiliki peranan utama untuk

membentuk gerak lentur tubuh anak. Umumnya, anak dengan keterampilan fisik

yang baik akan lebih mudah menguasai keterampilan-keterampilan baru seperti

hiking, jogging, dan skipping. Sebaliknya, anak yang tumbuh dengan

keterampilan fisik rendah akan menjadi minder dan tidak percaya diri untuk

melakukan tugas-tugas keterampilan lainnya. Selain itu, anak dengan kecerdasan

fisik tinggi akan mempunyai kelenturan badan yang tinggi, elastisitas gerak

motorik yang memadai, kerapian dalam pekerjaan, kepiawaian

mengkoordinasikan anggota badan yang serasi, dan keluwesan bertindak yang

sangat sempurna. Hal tersebut didasari oleh cara kerja urat saraf yang

mengkoordinasikan seluruh gerak tubuh dan mengikuti ritme tertentu sehingga

anak menjadi lebih terampil, lincah dan cekatan.

Oleh sebab itu, anak memerlukan stimulus untuk dapat mengoptimalkan

kecerdasan fisik-motoriknya. Perkembangan fisik pada masa anak-anak ditandai

dengan berkembangnya kemampuan motorik, baik kasar maupun halus. Motorik

kasar adalah gerakan yang membutuhkan sebagian besar anggota tubuh (Bambang

Sujiono, 2005: 1.14). Motorik halus adalah keterampilan dengan melibatkan

gerakan yang diatur secara halus. Gerakan-gerakan tersebut melibatkan kelompok

otot yang lebih kecil dan memerlukan keterampilan tangan, seperti menggenggam,

mengancingkan baju, menulis, dan menjahit (Santrock, 2007: 216). Santrock juga

menjelaskan bahwa sejak bayi, manusia telah memiliki komponen yang akan

menjadi gerakan lengan, tangan, dan jari yang akan terkoordinasi menjadi lebih

(18)

4

anak mampu memfungsikan otor-otot kecil seperti gerakan jari tangan, mampu

mengkoordinasikan kecepatan tangan dengan mata, dan mampu mengendalikan

emosi (Yudha M, 2005: 115). Anak juga dapat melakukan tugas-tugas utamanya

ketika di sekolah, baik itu pada usia pra sekolah sampai pada jenjang-jenjang

berikutnya seperti menulis dengan baik dimana ukuran huruf menjadi lebih kecil

dan rapi, menggunting, meniru angka dan huruf, dan membuat susunan yang

kompleks dengan kotak-kotak (Desmita, 2005: 129).

Tujuan dari pengembangan motorik halus adalah untuk melatih anak agar

terampil dan cermat dalam menggunakan jari-jemari anak untuk kegiatan yang

melibatkan keterampilan tangan dan jari (Andang Ismail, 2006: 84). Dalam

mengembangkan kemampuan motoriknya, anak juga mengembangkan

kemampuan mengamati, mengingat hasil pengamatan dan pengalamannya. Anak

mengamati dan memperhatikan apa yang telah diajarkan gurunya, temannya, atau

yang dilakukan dirinya sendiri untuk kemudian diingat kembali agar dapat

melakukan perbaikan dan penghalusan gerak yang dihasilkan (Bambang Sujiono,

2005: 1.14).

Indikator motorik halus berdasarkan tingkat pencapaian perkembangan

anak usia 5-6 tahun dalam Permendiknas Nomor 58 Tahun 2009 berisi tentang

kegiatan menjiplak, menggunting, bermain balok, membentuk dengan plastisin,

melipat, dan lain-lain yang harus dicapai dan dilaksanakan dalam pengembangan

motorik halus anak. Pada kurikulum 2013 kompetensi dasar 4.3 berdasarkan

Permendiknas Nomor 146 Tahun 2014 juga menyebutkan bahwa anak

(19)

5

halus dengan melakukan kegiatan yang menunjukkan kemampuan anak untuk

terampil menggunakan tangan kanan dan kiri dalam berbagai aktivitas.

Stimulasi yang diberikan diharapkan dapat bermakna untuk anak dalam

mengerjakan tugas-tugas perkembangan. Untuk itu, anak membutuhkan suatu

kegiatan yang edukatif dan menyenangkan seperti bermain. Seperti yang

disampaikan oleh Harun (2009: 77) bahwa dalam bermain harus tercipta suasana

yang menyenangkan, rileks, ceria, mendidik, dan dapat menumbuhkan aktivitas

dan kreativitas. Seluruh kegiatan dalam bermain memiliki koneksi dengan otak

yang merupakan dorongan awal untuk mengembangkan potensi agar anak siap

memasuki jenjang sekolah berikutnya. Selain itu, dalam seluruh kegiatan bermain

juga bertujuan untuk mengembangkan kapasitas otak anak dengan menumbuhkan

dendrite atau sel saraf otak yang akan mengembangkan sinapsis-sinapsis. Sesuai

dengan hal tersebut, Laura E.Berk (Suyadi, 2010: 34) melakukan pengamatan

dengan hasil yang menunjukkan bahwa ketika anak bermain dengan

mengembangkan keterampilan motoriknya, maka akan terbangun pola pergerakan

sederhana. Terkait dengan motorik, bermain merupakan kegiatan yang penting

karena dapat mengembangkan kemampuan motorik melalui gerakan yang

dilakukan anak secara bebas. Anak mengembangkan otot-otot dan energi yang

ada. Aktivitas motorik merupakan komponen yang paling besar pada semua usia,

terutama pada usia anak usia dini

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan motorik

halus anak sangat penting untuk menunjang perkembangan yang lain dan di masa

(20)

6

Yogyakarta telah memberikan kegiatan yang dapat menstimulasi perkembangan

motorik halus anak. Namun kemampuan anak terkait motorik halus belum

mencapai tingkat memuaskan dalam penggunaan instrumen asesmen sesuai

dengan contoh pencapaian perkembangan pada pembelajaran pendidikan anak

usia dini kurikulum 2013. Hal ini terlihat dari kemampuan anak dalam melakukan

kegiatan motorik halus masih banyak dibantu oleh guru atau temannya yang lebih

mahir. Ketika mewarnai, anak mewarnai dengan coretan yang kasar dan kaku.

Pada kegiatan mencocok, anak juga terlihat merobek kertas dikarenakan tidak

sabar. Anak juga tidak dapat menjiplak sesuai dengan gambar asli dan mengulang

jiplakan. Saat bermain balok, anak juga tidak dapat membangun menara dengan

sempurna dan bangunannya roboh. Beberapa anak juga tidak bersedia bermain

balok dengan alasan takut bangunannya roboh. Dari alasan dan penjelasan

tersebut, peneliti ingin mengetahui seberapa besar kemampuan motorik halus anak

dalam bermain balok. Hasil ini kemudian dapat dijadikan dasar penelitian untuk

memberi tindakan agar dapat meningkatkan kemampuan motorik halus pada anak

usia 5-6 tahun se-Gugus Teratai, Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta. Untuk itu

peneliti berinisiatif untuk mengadakan penelitian dengan judul deskripsi

kemampuan motorik halus anak dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia

5-6 tahun se-Gugus Teratai, Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta.

Diplihnya kegiatan bermain balok karena di TK pada Gugus Teratai

Umbulharjo Yogyakarta memiliki banyak kegiatan untuk mengembangkan

motorik halus. Peneliti hanya akan meneliti satu kegiatan saja agar lebih terfokus

(21)

7

untuk mengoptimalkan aspek perkembangan motorik halus karena ketika anak

bermain balok, anak melibatkan tangan dan mata untuk berkoordinasi (Hurlock,

1978: 154).

B.Identifikasi Masalah

Dari penjelasan tersebut, maka dapat ditarik beberapa identifikasi

masalah, antara lain:

1. Kemampuan motorik halus anak belum berkembang optimal.

2. Beberapa anak masih dibantu guru dan temannya dalam melakukan

tugas-tugas perkembangan motorik halus.

3. Anak mewarnai dengan kasar dan kaku sehingga terlihat tidak rapi.

4. Anak menjiplak berulang-ulang kali dan terlihat tidak rapi.

5. Beberapa anak belum bisa menyusun balok karena takut bangunannya roboh.

C.Pembatasan Masalah

Dari identifikasi masalah tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang

muncul. Namun peneliti hanya membatasi permasalahan pada kemampuan

motorik halus dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun

se-gugus Teratai, Umbulharjo Yogyakarta yang disebabkan oleh kemampuan

(22)

8

D.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah berapa besar kemampuan motorik halus

dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia 5-6 tahun se-gugus Teratai,

Umbulharjo Yogyakarta?.

E.Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti bertujuan untuk mengetahui seberapa besar

kemampuan mototik halus dalam kegiatan bermain balok pada anak TK usia5-6

tahun se-gugus Teratai, Umbulharjo Yogyakarta.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dapat memberi sumbangan dan

informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan motorik halus

anak usia 5-6 tahun pada kegiatan bermain balok.

2. Manfaat praktis

a. Bagi sekolah dan guru:

Hasil penelitian ini dapat memberi gambaran dan informasi pada pihak guru

mengenai kemampuan motorik halus anak dalam kegiatan bermain balok pada

(23)

9

b. Bagi peneliti:

Penelitian ini diharapkan dapat memberi pengalaman, ilmu pengetahuan, dan

wawasan mengenai kemampuan motorik halus anak dalam kegiatan bermain

(24)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Pendidikan Anak Usia Dini

1. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha untuk mengembangkan

kepribadian seseorang yang bersifat dinamis (Rukiyati dan kawan-kawan, 2008:

132). Perubahan tersebut mengarah pada suatu kesempurnaan dimana manusia

meraih perkembangan yang lebih tinggi yang melibatkan dua proses yaitu

hominisasi dan humanisasi. Hominisasi adalah adalah proses melibatkan manusia

dalam lingkup hidup manusia itu sendiri. Sedangkan humanisasi adalah proses

yang lebih jauh dan merupakan lanjutan dari homanisasi. Sesuai dengan hal

tersebut, Dwi Siswoyo (2007: 53) juga memaparkan bahwa pendidikan adalah

proses manusia belajar yang mempengaruhi kemampuan, kepribadian, sikap, dan

kekuatan dalam berhubungan dengan sesama manusia, dunia, dan Tuhan. Proses

tersebut disempurnakan dengan adanya alat (media) yang digunakan untuk

membantu tujuan pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga melibatkan

perkembangan dan pertumbuhan. Artinya bersifat terus-menerus sejak manusia

lahir sampai akhir hayat manusia.

Menurut National Association for The Education Young Children

(NAEYC), anak usia dini adalah anak yang berusia sejak lahir sampai 8 tahun.

Sedikit berbeda dengan hal tersebut, menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun

2003 pasal 28 ayat 1, anak usia dini adalah anak yang berada pada rentang usia

(25)

11

kelebihan dan kekurangan masing- masing (Harun dan kawan-kawan, 2009: 37).

Berkaitan dengan hal tersebut, Galuh, A.P (2014: 35) mengatakan bahwa

anak-anak tersebut berada pada masa golden age yaitu masa keemasan. Pada masa

tersebut perkembangan otak anak berkembang sangat pesat dengan kemampuan

pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental sebanyak 80% dan

hanya akan berkembang 20% pada masa dewasa (Suyadi, 2010: 5). Pertumbuhan

dan perkembangan tersebut telah muncul sejak dalam masa kandungan yaitu

dengan terbentuknya sel saraf otak yang merupakan modal untuk kecerdasan.

Setelah lahir, sel saraf tersebut tidak terjadi lagi, namun hubungan antar sel saraf

otak tersebut yang terus berkembang (Trianto, 2010: 28).Sesuai dengan pendapat

tersebut, M. Fadlillah dan Lilif. M. K (2012: 42) memaparkan bahwa ketika

dilahirkan ke dunia, otak manusia mencapai perkembangan sebanyak 25%, hingga

usia 4 tahun mencapai 50%, dan sampai usia 8 tahun mencapai 80%. Selebihnya

akan berkembang hingga usia 18 tahun.

Oleh sebab itu, orang dewasa perlu memberikan stimulasi dengan

melakukan latihan-latihan dasar secara terus-menerus untuk memaksimalkan

kemampuan anak. Stimulasi tersebut harus dilakukan dengan keadaan yang

hangat, ceria, dan gembira sehingga melahirkan kenyaman sesuai dengan apa

yang dibutuhkan anak (Harun dan kawan-kawan, 2009: 41). Kegiatan yang

mendatangkan kehangatan, keceriaan, dan kegembiraan bagi anak didapat dari

kegiatan bermain. Melalui bermain, anak juga mendapat pengalaman. Bermain

merupakan media dimana anak mendapat pengalaman dengan bebas berekspresi

(26)

12

membutuhkan makanan bergizi dan seimbang untuk memaksimalkan

perkembangan dan pertumbuhan (Trianto, 2010: 32).

Berkaitan dengan perkembangan, Harun dan kawan-kawan (2009: 47)

memamparkan perkembangan anak usia dini terbagi menjadi perkembangan

sensori dan persepsi, perkembangan motorik, perkembangan sosial dan emosional,

perkembangan kognitif, dan perkembangan bahasa. Seluruh aspek perkembangan

tersebut lebih banyak melibatkan indera pendengaran dan penglihatan. Sedikit

berbeda dengan pendapat tersebut, perkembangan anak dibagi menjadi 4 yaitu

perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan sosial emosional,

dan perkembangan moral (Rita Eka Izzati dan kawan-kawan, 2008: 85). Keempat

aspek perkembangan tersebut dikelompokkan menjadi lebih spesifik sesuai

dengan yang tercantum pada Tahapan Pencapaian Perkembangan (TPP) yang

ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2009 yaitu perkembangan

nilai, agama, dan moral; perkembangan sosial dan emosional; perkembangan

bahasa; perkembangan kognitif; dan perkembangan fisik motorik.

Jadi pendidikan anak usia dini adalah proses belajar dengan

memaksimalkan segala potensi, sikap, dan kepribadian yang dilakukan dengan

adanya stimulasi dan latihan pada anak berusia sejak lahir sampai 6 tahun. Proses

pendidikan anak usia dini harus disesuaikan dengan kebutuhan anak. Artinya,

pendidikan harus bersifat nyaman, gembira, menyenangkan, dan tanpa paksaan

untuk anak (Harun dan kawan-kawan, 2009: 38). Kegiatan yang melibatkan

aspek-aspek tersebut dapat diperoleh anak melalui kegiatan bermain. Bermain

(27)

13

memperoleh kesenangan. Berbagai kegiatan yang diulang-ulang tersebut

merupakan latihan yang akan berfungsi di masa depan (Geraldine dan

kawan-kawan, 2003: 56).

B.Kemampuan Motorik Halus Anak Usia Dini 1. Pengertian Kemampuan Motorik Halus

Pada awal sekolah, anak usia dini banyak melakukan kegiatan yang

melibatkan motorik, baik motorik kasar maupun motorik halus seperti menulis,

meronce, dan bermain balok. Menurut Desmita (2005: 99) keterampilan motorik

adalah gerakan- gerakan tubuh yang disengaja, otomatis, dan cepat. Gerakan ini

merupakan hasil dari koordinasi beratus-ratus otot yang rumit. Kemampuan

motorik dibagi menjadi motorik kasar (gross mototrik skill) dan motorik halus

(fine motor skill). Motorik halus melibatkan otot-otot kecil yang ada pada tubuh

seperti otot untuk menyentuh dan menggenggam. Menguatkan pendapat tersebut,

Fadlillah (2012: 59) memaparkan bahwa motorik halus (fine motor skill) adalah

keterampilan menggerakkan otot dan fungsinya yang menghasilkan suatu gerakan

spesifik dibandingkan dengan motorik kasar.

Santrock (2007: 216) mengungkapkan motorik halus adalah keterampilan

dengan melibatkan gerakan yang diatur secara halus. Gerakan-gerakan tersebut

melibatkan kelompok otot yang lebih kecil dan memerlukan keterampilan tangan,

seperti menggenggam, mengancingkan baju, menulis, dan menjahit.

Menambahkan hal tersebut, Santrock (2011: 214) mengatakan bahwa bayi yang

(28)

14

komponen yang akan menjadi gerakan lengan, tangan, dan jari yang akan

terkoordinasi menjadi lebih baik. E.Berk (1994 dalam Suyadi, 2010: 69)

menyatakan bahwa motorik halus adalah bentuk kebalikan dari motorik kasar. Hal

ini dibuktikan bahwa pada anak usia prasekolah telah terjadi perubahan besar pada

kemampuan motorik yaitu dengan meningkatnya gerakan tangan dan jari.

Sementara itu, Hurlock berpendapat (1978: 171) keterampilan motorik

halus adalah gerakan yang memerlukan keterampilan tangan yang dibutuhkan

lebih banyak dalam setiap kehidupan manusia sehingga keterampilan ini dipelajari

lebih baik daripada keterampilan kaki atau motorik kasar. Menurut Davison dan

Kring (2010 dalam Tesis yang disusun oleh Evi.D.S, 2014: 11) motorik halus

adalah gerakan yang dilakukan oleh otot-otot tertentu saja, yaitu otot-otot kecil

dimana dalam melakukan proses tersebut membutuhkan koordinasi gerak dan

daya konsentrasi yang baik. Menurut Evi.D.S (2014: 11), motorik halus adalah

pengorganisasian penggunaan otot-otot kecil seperti tangan dan jari yang

memerlukan koordinasi yang cermat dan teliti.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

kemampuan motorik halus adalah gerakan yang terbentuk dari pengkoordinasian

otot-otot dan syaraf-syaraf yang lebih kecil dan lebih detail yang akan

menghasilkan gerakan yang lebih spesifik pula dari keterampilan motorik kasar,

yaitu gerakan dan keterampilan tangan yang disengaja, otomatis, dan cepat seperti

memegang benda, menulis, menggambar, dan mejahit. Dalam proses melakukan

gerakan motorik halus, diperlukan adanya koordinasi gerak dan daya konsentrasi

(29)

15

2. Perkembangan Kemampuan Motorik Halus Anak Usia Dini

Suyadi (2010: 69) menyatakan bahwa perkembangan motorik halus

adalah meningkatnya pengkoordinasian yang melibatkan otot dan saraf yang jauh

lebih kecil dan lebih detail. Kelompok otot dan saraf inilah yang mampu

menghasilkan gerak motorik halus seperti meremas, menulis, menggambar dan

lain-lain. Terkait hal tersebut, teori sistem dinamik (Santrock,2007: 207) yang

diajukan oleh Ester Thelen dimana ketika melakukan eksperimen melibatkan

seorang bayi membuktikan bahwa perkembangan motorik kasar maupun motorik

halus, tidak dipengaruhi oleh hereditas (genetis) seperti yang disampaikan oleh

Arthur Gesell (1934; dalam Santrock, 2007: 207). Bayi membangun keterampilan

motorik untuk mempersepsi dan melakukan gerakan. Anak harus lebih aktif

membangun keterampilan untuk mencapai tujuan dalam batasan tertentu. Dalam

mengembangkan kemampuan motorik, bayi harus mempersepsikan hal yang

memotivasi dirinya untuk melakukan suatu gerak dan memanfaatkan persepsinya

untuk memperhalus gerakan (Santrock, 2007: 207). Ketika bayi mulai termotivasi,

maka perilaku motorik mulai terbentuk. Perilaku tersebut merupakan gabungan

dari beberapa faktor antara lain perkembangan sistem saraf; sifat fisik tubuh dan

kemungkinan gerakan; tujuan yang memotivasi bayi; dan dukungan lingkungan

atas keterampilan yang akan dilakukan (Halleman dkk, 2005 dalam Santrock,

2007: 207).

Sehubungan dengan hal diatas, Seifert & Hoffnung (1994; Santrock,

1998; Desmita, 2005: 98) bayi pada awal kehidupan sering terlihat ingin meraih

(30)

16

benda tersebut dan gagal untuk menggenggam objek. Keterampilan seperti itu

akan terus terjadi selama 4-5 bulan. Selama 2 tahun pertama kehidupan,

keterampilan tersebut menjadi semakin baik. Bayi mulai memperlihatkan

kemampuannya secara berurutan untuk melakukan gerakan sederhana pada siku

dan bahu, kemudian gerakan pada pergelangan tangan, memutar tangan, dan

melakukan koordinasi antara ibu jari dan jari telunjuk. Melanjutkan hal tersebut,

(Santrock, 2011: 15) menjelaskan pada usia 3 tahun, anak memiliki kemampuan

yang lebih matang untuk menggunakan tangannya dibandingkan ketika masih

bayi. Anak mampu memungut objek-objek terkecil dengan ibu jari dan jari

telunjuk, namun mereka masih canggung melakukan hal tersebut. Anak juga dapat

membangun menara balok yang sangat tinggi dengan konsentrasi penuh, namun

sering kali tidak sepenuhnya dalam garis lurus. Anak juga dapat bermain dengan

puzzle. Ketika anak mengenali lokasi yang cocok pada puzzle, anak belum dapat

menempatkan potongan puzzle dengan tepat. Anak sering mencoba memaksakan

potongan tersebut dan menepuknya dengan keras. Pada usia 4 tahun, kemampuan

motorik anak meningkat secara substansial dan lebih tepat. Anak sering marah

karena merasa bangunan balok yang disusun kurang sempurna. Pada usia 5 tahun,

koordinasi motorik halus mulai meningkat. Tangan, lengan, dan tubuh bergerak

bersama di bawah komando mata.

Berkaitan dengan hal tersebut, Hurlock (1978: 159) juga menerangkan

bahwa pengendalian otot tangan, bahu, dan pergelangan tangan meningkat pada

masa kanak-kanak dan akan mencapai tingkat kesempurnaan layaknya orang

(31)

17

tangan yang sering digunakan, yaitu keterampilan makan dan keterampilan

menangkap dan melempar bola. Pada akhir tahun pertama kehidupan, anak

mampu mencoba memegang botol susu atau cangkir dan mengambil sendok yang

digunakan untuk makan. Pada usia 8 bulan, anak dapat memegang botol susu

yang dimasukkan ke mulutnya. Sebulan setelah itu, anak dapat membetulkan

posisi botol susu di dalam mulut. Pada umur 11 dan 12 bulan, sewaktu-waktu

anak mencoba memegang cangkir dan berusaha untuk makan sendiri dengan

menggunakan sendok. Pada mulanya, anak memegang cangkir dengan kedua

tangan. Anak yang makan dengan sendok akan menjatuhkan sebagian besar

makanannya. Namun dengan seringnya latihan yang dilakukan, anak mulai dapat

memegang cangkir dengan satu tangan dan makanan yang berjatuhan dari sendok

mulai berkurang. Pada akhir tahun kedua, anak dapat menggunakan sendok dan

garpu dengan baik. Setahun setelahnya, anak dapat mengoleskan mentega atau

manisan pada roti dengan menggunakan pisau. Bila anak diberi bimbingan dan

kesempatan, maka pada tahun keempat anak mampu menyayat daging lunak

dengan sebuah pisau. Pada usia 6 tahun, sebagian besar anak sudah mampu

menguasai tugas yang digunakan dalam keterampilan makan sendiri.

Pada keterampilan menangkap dan melempar bola ditunjukkan oleh anak

usia 2 tahun dimana anak dapat menggulirkan bahkan mencoba melempar bola.

Meskipun demikian, pada usia 4 tahun sebagian besar anak belum mampu

melemparkan bola dengan baik. Anak terampil melempar bola saat menginjak

usia 6 tahun. Karena keterampilan menangkap bola lebih sulit dibandingkan

(32)

18

berkembang setelahnya. Pada usia 6 tahun, anak dapat menangkap bola dengan

seluruh tubuhnya. Kemudian dengan gerakan yang agak teratur, anak mulai

menangkap bola dengan tangan. Setelah melewati usia 6 tahun, anak mulai

menyempurnakan gerakan tangan yang terkoordinasi sehingga mampu

menangkap dengan kedua telapak tangan. Dalam Suyadi (2010: 70) E. Berk

memaparkan bahwa pada usia 3 tahun, anak sudah dapat mengenakan baju

sendiri, bahkan mampu memakai dan melepas sepatunya sendiri. Keterampilan ini

disebut self-help (keterampilan menolong diri sendiri). Keterampilan ini akan

mencapai puncaknya pada usia 6 tahun. Ketercapaian tersebut merupakan

koordinasi gerakan-gerakan tangan dan gerakan lainnya yang berurutan dan

kait-mengait.

Jadi, perkembangan motorik halus pada seseorang tidak dipengaruhi oleh

hereditas sehingga sejak awal kehidupan bayi harus mempersepsi dan beraksi

sesuai dengan kemampuan motorik halus yang dimiliki sehingga bayi dapat

mewujudkan kebutuhannya dan keinginannya. Anak usia 5-6 tahun dapat

menunjukkan peningkatan kemampuan motorik halus dari usia sebelumnya. Anak

mulai dapat melakukan koordinasi antara tangan, lengan, dan tubuh di bawah

komando mata sehingga anak dapat melakukan beberapa keterampilan yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Sebagian besar

anak sudah mampu menguasai tugas untuk melakukan keterampilan makan

sendiri dengan menggunakan sendok dan garpu maupun mengoleskan mentega

atau manisan pada roti dengan menggunakan pisau, melempar dan menangkap

(33)

19

3. Fungsi Perkembangan Motorik Halus

Hurlock (1978: 163) memaparkan fungsi dari perkembangan motorik

halus terhadap keterampilan anak usia dini. Keterampilan tersebut antara lain:

a. Keterampilan bantu diri (self-help)

Untuk mencapai kemandirian, anak perlu mengembangkan keterampilan

motorik yang memungkinkan mereka dapat melakukan kebutuhan diri

sendiri.Keterampilan tersebut meliputi keterampilan makan, berpakaian, merawat

diri, dan mandi. Ketika anak mencapai usia sekolah, anak harus memiliki

keterampilan ini dengan tingkat keterampilan dan kecepatan seperti orang dewasa.

b. Keterampilan bantu sosial (social-help)

Agar dapat diterima dalam kelompok sosial (keluarga, sekolah, tetangga),

anak perlu menjadi individu yang kooperatif. Untuk itu diperlukan keterampilan

tertentu, misalnya membantu perkejaan rumah dan tugas sekolah yang wajib

dikerjakan bersama.

c. Keterampilan bermain

Untuk dapat menikmati kegiatan kelompok sebaya atau teman-teman

bermain, anak harus dapat melakukan beberapa permainan seperti bermain bola,

ski, menggambar, melukis, dan memanipulasi alat bermain.

d. Keterampilan sekolah

Dalam masa permulaan sekolah, sebagian besar pekerjaan menggunakan

keterampilan motorik. Baik motorik kasar maupun motorik halus seperti menulis,

menggambar, menari, dan membuat keramik. Dalam pengerjaan keterampilan

(34)

20

semakin terampil anak melakukan hal tersebut, semakin baik pula penyesuaian

sosial yang dilakukan dan prestasi akademis maupun non-akademis.

Menurut Sumantri (2005: 146) fungsi dari kemampuan mototrik halus

adalah mendukung aspek perkembangan lainnya seperti kognitif, sosial, dan

bahasa karena setiap perkembangan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan

perkembangan yang lain. Jadi dapat disimpulkan fungsi dari perkembangan

motorik halus berdasarkan pendapat yang telah dipaparkan, yaitu untuk membantu

anak mampu dan membiasakan melakukan kegiatan sehari-hari (keterampilan)

sehingga anak terbiasa mandiri seperti peningkatan keterampilan self-help,

keterampilan social help, keterampilan bermain, dan keterampilan sekolah.

4. Prinsip Perkembangan Motorik Halus

Kegiatan-kegiatan yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan

motorik halus anak harus memperhatikan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan

agar motorik halus sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Hurlock (1978: 151)

menjelaskan lima prinsip perkembangan motorik, antara lain:

a. Perkembangan motorik bergantung pada kematangan otot dan saraf

Perkembangan pada bentuk kegiatan motorik yang berbeda disesuaikan

dengan posisi sistem saraf. Perkembangan pusat saraf yang lebih rendah yang

berada pada urat saraf tulang belakang berkembang lebih baik daripada

perkembangan pusat saraf yang lebih tinggi yang berada dalam otak. Begitu juga

dengan kegiatan massa pada waktu lahir secara perlahan berkembang menjadi

kegaiatan sukarela yang sederhana yang merupakan landasan untuk keterampilan

(35)

21

dan cerebrum yaitu otak yang lebih atas yang mengatur gerakan terampil

berkembang cepat selama awal tahun kehidupan.

b. Belajar keterampilan motorik tidak terjadi sebelum anak matang

Sebelum sistem saraf berkembang dengan baik, usaha mengajarkan

gerakan terampil pada anak akan sia-sia. Begitu juga bila anak melakukan hal

tersebut secara mandiri. Pelatihan seperti itu hanya menghasilkan keuntungan

sementara, pengaruhnya tidak akan berarti dalam jangka waktu panjang.

c. Perkembangan motorik mengikuti pola yang diramalkan

Pola kegiatan motorik yang dapat diramalkan terbukti dengan adanya

perubahan dari kegiatan massa ke kegiatan khusus. Di dalam pola perkembangan

motorik yang berbeda ada tahapan dan usia yang dapat diramalkan. Meskipun

setiap tahap berbeda satu sama lain, masing-masing bergantung pada tahap yang

mendahului dan tahap berikutnya. Tahapan-tahapan tersebut saling berhbungan

dan mempengaruhi satu sama lain. Tahapan yang dapat diramalkan ini juga

berjalan konsisten terhadap keseluruhan laju perkembangan.

d. Perbedaan individu dalam laju perkembangan motorik

Meskipun dalam perkembangan motorik mengikuti perkembangan yang

serupa untuk semua orang, namun dalam hal tersebut ditemukan adanya

perbedaan individu. Hal ini memperngaruhi usia pada saat terjadinya perbedaan

tersebut sehingga mengakibatkan cepat lambatnya perkembangan motorik

seseorang. Berkaitan dengan hal tersebut, Sumantri (2005: 147-148) memaparkan

(36)

22

a. Berorientasi pada kebutuhan anak.

Tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit untuk anak. Kegiatan yang

diberikan seharusnya disesuaikan dengan perkembangan anak.

b. Belajar sambil bermain.

Bermain sangat menyenangkan untuk anak karena dunia anak adalah

bermain. Melalui bermain, anak dapat belajar dengan mengeksplor mengenai

dirinya sendiri dan lingkungannya sehingga pembelajaran menjadi lebih

bermakna. Bermain harus dilakukan dalam suasana yang ceria dan

menggembirakan.

c. Kreatif dan inovatif

Kegiatan yang diberikan harus memunculkan rasa ingin tahu anak sehinga

anak mencoba berpikir kritis yang dapat memunculkan pemikiran atau ide-ide

kreatif dan inovatif dari anak.

d. Lingkungan kondusif

Lingkungan yang aman dan nyaman untuk anak sangat mendukung

proses pembelajaran demi tercapainya pembelajaran yang bermakna untuk anak.

Selain itu, ruang gerak untuk anak juga merupakan hal yang harus diperhatikan.

Ruang bermain untuk anak seharusnya cukup luas karena anak cenderung lebih

senang untuk melakukan gerakan-gerakan besar dan bebas.

e. Tema

Dalam pembelajaran sebaiknya dimulai dari hal-hal yang dekat dengan

anak.Pembelajaran terkait dengan kehidupan sehari-hari anak agar anak lebih

(37)

23

f. Mengembangkan keterampilan hidup

Kegiatan untuk pengembangan motorik halus sebaiknya dapat mengembangkan

beberapa keterampilan hidup seperti menolong diri sendiri dan sosialisasi yang

dapat digunakan dalam kehidupan anak selanjutnya. Misalnya makan, mengikat

tali sepatu, mandi, dan mengancingkan baju.

g. Menggunakan kegiatan terpadu

Model pembelajaran terpadu sangat cocok untuk anak usia dini karena

disesuaikan dengan pemilihan tema yang menarik sehingga anak cukup antusias

dalam melakukan tugas-tugas.

h. Kegiatan berorientasi pada prinsip perkembangan anak

Prinsip perkembangan yang baik artinya anak dapat belajar dengan baik

ketika kebutuhan fisiknya terpenuhi, tentram dan aman psikologisnya. Anak

belajar secara berulang-ulang dan melaui interaksi dengan orang lain.

Perkembangan dan proses pembelajaran harus tetap memperhatikan perbedaan

setiap anak.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kegiatan-kegiatan yang memacu

perkembangan motorik halus harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip

perkembangan motorik halus agar perkembangan tidak bersifat sementara, namun

memberi keuntungan yang bermakna pada masa kehidupan manusia. Untuk itu,

anak usia dini membutuhkan kegiatan-kegiatan yang memenuhi prinsip

perkembangan motorik halus agar sesuai dengan tahap perkembangannya dimana

prinsip-prinsip tersebut antara lain berorientasi pada kebutuhan anak, belajar

(38)

24

mengembangkan keterampilan hidup, menggunakan kegiatan terpadu, dan

berorientasi pada prinsip perkembangan anak.

5. Stimulasi Untuk Perkembangan Motorik Halus

Dave mengembangkan teori Benyamin Bloom (dalam Suyadi, 2010: 73)

yang menyatakan bahwa rentang kemampuan gerak motorik anak ditunjukkan

dari gerakan yang kaku sampai pada gerakan yang luwes dengan

mengklasifikasikan domain psikomotorik ke dalam lima kategori. Hal tersebut

dapat dijadikan stimulasi untuk meningkatkan perkembangan fisik motorik anak

usia dini. Dengan adanya lima kategori tersebut, Dave berharap anak mampu

mencapai tingkat perkembangan fisik motorik secara sempurna, sehingga

pencapain gerakan tersebut dapat menunjang tingkat kegeniusan anak. Lima

kategori tersebut adalah:

a. Imitation (peniruan)

Keterampilan suatu gerakan yang telah dikenali sebelumnya oleh anak. Anak

dapat mengenal gerakan tersebut baik dengan mendengar maupun melihat

sehingga anak melakukan representasi ulang . Stimulasi yang dapat diberikan

misalnya adalah menontonkan film; misalnya meniru gerakan binatang. Anak

yang sering melihat gerakan binatang secara berulang-ulang, maka anak dapat

menirukan gerakan binatang tersebut.

b. Manipulation (penggunaan konsep)

Kemampuan menggunakan konsep dalam melakukan kegiatan. Anak menetapkan

suatu gerakan keterampilan tertentu dengan latihan. Ketika anak

(39)

25

pada ingatan anak. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan garpu,

melompat, dan menggunting.

c. Presition (ketelitian)

Kemampuan bergerak dengan kedetailan tertentu. Ketelitian ini mirip dengan

maipulasi, namun mencapai kontrol yang lebih tinggi. Seperti belajar mengendarai

sepeda roda tiga, mudur, dan zigzag.

d. Articulation (perangkaian)

Kemampuan gerak secara kombinatif dan berkesinambungan yang membutuhkan

koordinasi saraf, otot dan mata secara cermat.Stimulasi yang dapat dilakukan

misalnya dengan menggambar, mengetik, dan menulis.

e. Naturalization (kewajaran)

Kemampuan gerak secara wajar. Diperlukan adanya kerjasama yang baik antara

saraf, pikiran, mata , tangan, dan anggota tubuh yang lain. Anak tidak dapat secara

langsung bisa melakukan, namun harus diulang-ulang hingga mencapai tingkat

kelenturan dan keluwesan gerak yang sempurna.

Berkaitan dengan hal tersebut, Sumantri (2005: 121) menerangkan bahwa

kemampuan motorik halus anak dapat berkembang meskipun tidak mendapat

stimulasi. Namun perkembangan tersebut tidak terjadi secara optimal.

Memberikan stimulasi terkait kegiatan untuk melatih perkembangan motorik

halus anak usia dini sebaiknya dengan kegiatan yang membutuhkan kecermatan,

kesabaran dan ketelitian. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain seperti mencetak,

menjahit, menggunting, menjiplak, membangun menara, dan bermain play dough.

(40)

26

dapat diberikan untuk perkembangan motorik halus anak adalah gerakan-gerakan

yang melibatkan otot kecil dan penggunaan tangan seperti menjiplak, membangun

menara, dan menjahit yang dalam prosesnya membutuhkan beberapa hal yaitu

peniruan, penggunaan konsep, ketelitian, perangkaian, dan kewajaran.

6. Tujuan Perkembangan Motorik Halus

Dalam mengoptimalkan pengembangan motorik halus diharapkan dapat

mencapai tujuan seperti yang dipaparkan oleh Sumantri (2005: 146):

a. Mampu mengembangkan keterampilan motorik halus yang berhubungan dengan gerak kedua tangannya

b. Mampu menggerakkan anggota tubuh yang berhubungan dengan jari-jemari, seperti kesiapan menulis, menggambar, dan menggunting

c. Mampu mengkoordinasi indera mata dan aktivitas tangan d. Mampu mengendalikan emosi dan beraktvitas motorik halus

Sesuai dengan pendapat tersebut, Sujiono (2005 dalam Rakhmaningsih,

2015: 14) menjelaskan bahwa tujuan motorik halus adalah untuk meningkatkan

keterampilan fisik-motorik anak didik dalam memperkenalkan dan melatih

gerakan motorik halus anak didik, meningkatkan kemampuan mengelola,

mengontrol gerakan tubuh dan koordinasi, serta meningkatkan keterampilan

tubuh. Menguatkan hal tersebut, Sujiono (2008: 2.12) menjelaskan tujuan-tujuan

dari pengembangan motorik halus, yaitu: (a) agar anak berlatih menggerakkan

pergelangan tangan dengan kegiatan menggambar dan mewanai, (b) anak belajar

ketepatan koordinasi mata dan tangan serta mengeerakkan pergelangan tangan

agar lentur, dan (c) anak belajar berimajinasi dan berkreasi.

Sementara itu, Yudha M. Saputra & Rudiyanto (2005: 115) menyatakan

tujuan keterampilan motorik halus, antara lain: (a) mampu memfungsikan

(41)

27

tangan dan mata, dan (c) mampu mengendalikan emosi. Sependapat dengan hal

tersebut, Asmawati (2008: 5) memaparkan tujuan mengembangkan motorik halus

pada anak, yaitu agar anak dapat berlatih koordinasi tangan, mata, dan pikirannya

dalam menggunakan berbagai alat atau media kreatif sehingga memperoleh

keterampilan yang berguna untuk perkembangan selanjutnya (Asmawati, 2008:

5.). Purwarini (2015: 7) juga menyatakan tujuan dari pengembangan motorik halus

anak adalah untuk mengembangkan dan melatih motori halus anak, melatih

koordinasi lengan dan genggam, serta mengembangkan kreativitas anak. Nuryani

dan kawan-kawan (2013: 2) menjelaskan tujuan dari motorik halus pada anak,

yaitu menstimulasi perkembangan otot sebagai modal dasar untuk menulis,

mengenal warna dan bentuk, melatih gerakan otot jemari atau pergelangan tangan

agar lentur, menyalurkan perasaan melalui imajinansi, keindahan dan kreativitas

agar berkembang secara optimal. Berdasarkan pendapat di atas mengenai tujuan

pengembangan motorik halus, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan

pengembangan motorik halus adalah anak dapat berlatih dan membiasakan

gerakan-gerakan yang membutuhkan aktivitas tangan atau gerakan yang

melibatkan otot-otot kecil agar membantu anak dalam memenuhi kebutuhan diri

sendiri.

7. Unsur-Unsur Keterampilan Motorik Halus

Dalam melakukan gerakan, setiap anak memiliki beberapa unsur di

dalamnya. Barrow Harold. M dan Mc Gee, Rosemary (1976: 120) menyatakan

bahwa unsur-unsur keterampilan motorik terdiri atas: kekuatan, kecepatan, power,

(42)

28

juga sesuai dengan pemaparan Toho Cholik Mutohir dan Gusril (2004: 50-51)

yang menjelaskan bahwa unsur-unsur keterampilan motorik di antaranya:

a. Kekuatan adalah keterampilan sekelompok otot untuk menimbulkan tenaga

sewaktu bekerja atau melakukan gerakan. Kekuatan otot harus dimiliki anak

sejak dini. Apabila anak tidak memiliki kekuatan otot tentu anak tidak dapat

melakukan aktivitas bermain yang menggunakan fisik seperti: berlari,

melompat, melempar, memanjat, menganggkat, bergantung, dan mendorong.

b. Koordinasi kemampuan seseorang mengintegrasikan berbagai gerakan yang

berbeda ke dalam pola gerakan tunggal secara efektif. Dengan ketentuan

bahwa gerakan koordinasi meliputi kesempurnaan waktu antara otot dengan

sistem syaraf. Koordinasi merupakan faktor penting yang juga menentukan

suatu pembelajaran motorik dikarenakan koordinasi merupakan faktor lain

yang menjadi dasar pelaksanaan, khususnya gerakan yang lebih kompleks.

Anak dikatakan baik koordinasi gerakannya apabila anak mampu bergerak

dengan mudah, lancar dalam rangkaian dan irama gerakannya terkontrol

dengan baik.

c. Kecepatan adalah keterampilan yang berdasarkan kelentukan dalam satuan

waktu tertentu. Kecepatan dalam motorik tidak hanya fokus pada kecepatan

kaki melainkan seluruh bagian badan, bahkan mungkin bervariasi dari satu

bagian ke bagian lain.

d. Keseimbangan adalah kemampuan seseorang mengendalikan organ-organ

syaraf otot sehingga dapat mengendalikan gerakan-gerakan dengan baik dan

(43)

29

dinamis. Keseimbangan statis merujuk kepada menjaga keseimbangan tubuh

ketika berdiri pada suatu tempat. Keseimbangan dinamis adalah keterampilan

untuk menjaga keseimbangan tubuh ketika berpindah dari suatu tempat ke

tempat lain.

e. Kelincahan adalah keterampilan seseorang mengubah arah dan posisi tubuh

dengan cepat dan tepat pada waktu bergerak dari titik ke titik lain. Kelincahan

ini meliputi koordinasi cepat dan tepat dan otot-otot besar pada badan dalam

suatu kegiatan pembelajaran.

Dari hasil penjelasan tersebut, unsur kebugaran jasmani yang

mempengaruhi gerakan motorik halus terdapat tiga unsur, yaitu kekuatan,

koordinasi, dan kecepatan. Ketiga komponen tersebut, tidak hanya fokus pada

gerakan yang melibatkan otot-otot besar, namun juga gerakan yang melibatkan

tangan atau motorik halus.

C.Konsep bermain

1. Pengertian Bermain Bagi Anak Usia Dini

“Bermain bukan bekerja; bermain adalah pura-pura; bermain bukan

sesuatu yang sungguh-sungguh; bermain bukan sesuatu yang produktif” (Schwartzman,1978 dalam Patmonodewo, 1995: 102). Bermain menurut Suyadi

(2010: 284) merupakan aktivitas yang sangat menyenangkan dengan ditandai

adanya gelak tawa oleh anak yang melakukan. Karena itu, suasana hati menjadi

penentu apakah anak tersebut sedang bermain atau tidak. Menguatkan pendapat

(44)

30

fisik dan psikis anak untuk mencari dan mendapatkan kesenangan yang bebas dari

aturan dan ketentuan yang ketat. Sesuai dengan hal tersebut, menurut Hurlock

(1978: 320) bermain merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan untuk

memperoleh kesenangan. Hurlock menegaskan bahwa bermain merupakan lawan

dari kerja karena bermain dilakukan dengan penuh kesenangan, tanpa beban dan

dilakukan tanpa tujuan atau hasil akhir.Menambahkan pendapat tersebut, (Docket

dan fleer, 2000: 41 dalam Sujiono, 2012: 144) bermain merupakan kebutuhan

bagi anak karena melalui bermain anak memperoleh pengetahuan yang dapat

mengembangkan kemampuan dirinya. Bermain merupakan sesuatu yang berbeda

dengan aktivitas lain seperti bekerja dan belajar yang dilakukan untuk mencapai

suatu hasil akhir.

Sedikit berbeda dengan pendapat Hurlock, Sujiono (2012: 145)

menyatakan bahwa bermain bagi anak merupakan kegiatan yang dapat disamakan

dengan bekerja pada orang dewasa. Anak memberikan konsentrasi yang penuh

dalam bermain. Bermain juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap

perkembangan anak. Sedangkan Mayesty (1990: 196-197 dalam Sujiono, 2012:

144) bermain adalah kegiatan yang diulang-ulang sepanjang hari karena bagi anak

hidup adalah bermain dan bermain adalah hidup. Anak akan terus melakukan

permainan dimanapun dan kapanpun anak memiliki kesempatan.

(45)

31

Menurut Piaget (Partini, 2010: 50) bermain merupakan aktivitas yang

dapat mengembangkan kemampuan fisik-motorik anak karena anak belajar

mengontrol gerakannya menjadi gerakan yang terkoordinasi. Anak terlahir dengan

kemampuan refleks sehingga dengan bermain anak belajar menggabungkan dua

atau lebih gerak refleks hingga mampu mengontrol dengan baik. Hoorn dalam

penelitiannya (Partini, 2010: 50) juga menerangkan bahwa bermain memiliki

peran penting dalam perkembangan kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan

kreatif. Bermain juga membebaskan anak dari kehidupan sebenarnya yang

menghambat berpikir abstrak. Anak belajar memahami pengetahuan melalui

interaksi dengan objek sekitarnya yang didapat dari bermain.

Dari beberapa kutipan yang telah dipaparkan tersebut, dapat ditarik

kesimpulan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh anak usia

dini secara berulang-ulang untuk memperoleh kesenangan dan bebas dari aturan

yang ketat, tujuan atau hasil akhir, dan kehidupan nyata yang menghambat anak

untuk berpikir abstrak. Melalui bermain anak dapat mencobakan dirinya, baik

dalam dunia fantasi maupun dunia nyata. Anak juga dapat mengembangkan

kemampuan fisik-motorik, kemampuan berpikir logis, imajinatif, dan kreatif.

2. Tahapan Bermain

Dalam bermain, anak belajar berkomunikasi dengan orang lain yang ada

di sekitarnya. Dari komunikasi tersebut, kemampuan sosial anak menjadi semakin

berkembang. Parten dan Rogers dalam Dockett dan Fleer (1999: 62) dalam

Sujiono (2012: 147) menerangkan mengenai perkembangan bermain yang terdiri

(46)

32

secara individual sampai pada tahap bermain bersama. Tahapan-tahapan tersebut

dijelaskan sebagai berikut:

a. Unoccupied atau tidak menetap

Kegiatan bermain ini merupakan kegiatan dimana anak tidak benar-benar

terlibat dalam permainan itu. Anak hanya melihat-lihat dan mengamati keadaan di

sekitarnya, sambil duduk atau berdiri. Anak juga tidak sedang memberikan

konsentarsai penuh pada keadaan di sekitarnya (Harun, 2009: 92).

b. Onlooker atau penonton/ pengamat

Dalam ruangan yang sama, anak hanya menonton anak lain. Selama anak

sedang menonton, mungkin anak tersebut terlihat pasif, namun anak tersebut tetap

waspada dengan apa yang terjadi di sekitarnya dan sangat peduli dengan tingkah

laku anak di sekitarnya yang sedang bermain. Misalnya, anak tersebut hanya

duduk pasif dan menonton. Namun disaat bersamaan, anak tersebut bercerita

dengan teman lainnya sambil menonton anak lain yang sedang bermain atau

bermain sendiri sambil melihat anak lain yang sedang bermain (S.Patmonodewo,

2003: 103).

c. Solitary independent play atau bermain sendiri

Beberapa anak berada dalam ruangan yang sama namun seorang anak

bermain secara individual. Anak tidak akan memperhatikan apa yang dikerjakan

oleh anak lain. Anak terlihat sibuk dan asyik bermain sendirian. Kehadiran anak

lain tidak menarik untuk anak. Misalnya, seorang anak yang sedang menyusun

balok tanpa mempedulikan kegiatan anak lain yang berada di dekatnya

(47)

33

d. Parallel activity atau kegiatan parallel

Kegiatan bermain yang dilakukan oleh sekelompok atau beberapa anak

dengan menggunakan alat permainan atau materi yang sama, namun anak tetap

bermain secara individual. Kegiatan satu anak tidak tergantung pada anak yang

lain. Contoh dari bermain paralel adalah bermain puzzle. Bila satu anak

meninggalkan ruang, anak yang lain masih dapat melanjutkan permainan

(S.Patmonodewo, 2003: 104).

e. Associative play atau bermain dengan teman

Kegiatan bermain oleh beberapa anak namun tidak ada suatu aturan atau

ketentuan yang disepakati bersama. Misalnya, seorang anak memilih menjadi

penjahat, sedang anak lain memilih untuk berlari mengejar penjahat. Namun

dalam bermain asosiatif tidak ditentukan peran masing-masing anak. Jadi apabila

satu anak tidak berlari, yang lain tetap berlari melanjutkan permainan

(S.Patmonodewo, 2003: 104).

f. Cooperative or organized play atau kerja sama dalam bermain atau dengan

aturan

Kegiatan bermain dimana setiap anak memiliki peran tertentu untuk

mencapai tujuan permainan. Misalnya beberapa anak yang sedang bermain

“kucing dan tikus”. Dua anak menjadi kucing dan tikus, anak yang lain

membentuk lingkaran menjadi pagar untuk melindungi si kucing

(S.Patmonodewo, 2003: 104).

Sedangkan menurut Hurlock (1978:324) tahap perkembangan bermain

(48)

34

a. Tahap penjelajahan (exploartory stage)

Tahapan ini terjadi pada bayi sampai usia sekitar 3 tahun. Bermain yang

dilakukan hanya melihat orang lain dan benda serta berusaha menggapai benda

yang dilihatnya. Selanjutnya bayi mulai mampu mengendalikan tangan untuk

mengambil, memegang, dan mempelajari benda kecil. Setelah itu bayi bermain

dengan merangkak atau berjalan untuk memperhatikan apa saja yang ada dalam

membayangkan seolah-olah barang mainannya memiliki sifat hidup seperti dapat

bergerak, berbicara, dan merasakan. Namun dengan berkembangnya kecerdasan,

anak tidak lagi mengganggap benda mati sebagai benda hidup. Ketika mencapai

usia sekolah, anak mulai lebih nyaman bermain bersama teman daripada mainan

karena menurut anak bermain dengan mainan merupakan permainan bayi.

c. Tahap bermain (play stage)

Tahapan bermain dimana anak menunjukkan ketertarikan terhadap

beragam jenis permainan. Tahapan ini terjadi pada usia ketika anak mulai

memasuki masa sekolah. Jenis bermain anak sangat beragam. Bermain dengan

barang mainan masih dilakukan ketika anak sedang sendiri. Namun ketika

bersama teman-teman , anak lebih tertarik pada permainan yang lebih matang

(49)

35

d. Tahap melamun (Daydream stage)

Tahap melamun terjadi pada anak yang mendekati masa puber. Anak

mulai kehilangan minat yang sebelumnya disenangi dan banyak menghabiskan

waktu dengan melamun. Biasanya melamun yang dilakukan terjadi ketika anak

menganggap dirinya tidak diperlukan dan tidak dimengerti oleh siapapun.

Sementara itu, Rubin, Fein & Vandenberg (1983) dan Smilansky (1968) dalam

Berk (1994) dalam Tedjasaputra (2001: 28), mengemukakan tahapan bermain

sebagai berikut:

a. Bermain fungsionil (Functional Play)

Umumnya tahapan bermain ini terjadi pada anak usia 1-2 tahun yang

berupa gerakan sederhana dan berulang-ulang. Anak dapat bermain dengan atau

tanpa alat. Misalnya, anak berlari-lari di halaman rumah, menarik mobil-mobilan,

dan meremas-remas tanah liat tanpa maksud merubah bentuk (Tedjasaputra, 2001:

28).

b. Bangun-membangun (Constructif Play)

Bermain pada tahapan ini biasanya terjadi pada anak usia 3-6 tahun.

Anak dapat membentuk sesuatu dengan alat permainan yang tersedia. Misalnya,

anak membuat rumah-rumahan dengan balok kayu atau potongan lego

(Tedjasaputra, 2001: 28).

c. Bermain pura-pura (make-believe play)

Kegiatan bermain pura-pura umumnya dilakukan oleh anak usia 3-7

tahun. Anak menirukan kegiatan yang dijumpai oleh orang-orang terdekatnya.

(50)

36

ibunya. Anak juga berperan menjadi tokoh film yang dikenalnya seperti batman

dan doraemon (Tedjasaputra, 2001: 29).

d. Bermain dengan peraturan (Games with rules)

Dalam kegiatan bermain ini, anak sudah dapat mematuhi aturan. Lambat

laun anak memahami bahwa peraturan tersebut boleh diubah sesuai dengan

kesepakatan bersama asal tidak terlalu menyimpang dari aturan umumnya.

Biasanya terjadi pada anak usia 6-11 tahun (Tedjasaputra, 2001: 29).

Sesuai dengan beberapa pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan

bahwa tahapan bermain terus berkembang mulai dari kemampuan bermain anak

yang bersifat individual sampai pada kemampuan anak bermain dengan cara

melibatkan teman-teman di sekitarnya. Anak usia 5-6 tahun berada pada tahapan

bermain dimana anak mulai bermain dengan anak lain. Umumnya anak lebih

menyukai permainan peran. Anak menirukan penampilan atau gaya bicara dari

orang di sekitarnya atau tokoh yang sering dia jumpai di televisi. Terkadang anak

melakukannya dengan anak lain. Meskipun demikian, dalam permainan tersebut

tidak ada aturan ketat di dalamnya.

3. Manfaat Bermain Bagi Anak Usia Dini

Menurut Agung Triharso (2013: 10-13) bermain memiliki beberapa

manfaat untuk perkembangan anak usia dini, antara lain adalah:

a. Bermain mempengaruhi perkembangan fisik anak

Anak usia dini bersifat aktif, banyak gerak, dan rentang perhatiannya

masih sangat terbatas. Oleh sebab itu anak perlu mendapat kesempatan untuk

(51)

37

sebaiknya energi yang dimiliki disalurkan melalui bermain dimana anak

melakukan gerakan-gerakan tubuh yang dapat menjadikan tubuh lebih sehat dan

otot menjadi lebih kuat.

b. Bermain dapat digunakan sebagai terapi

Bermain dapat dijadikan psiko terapi atau media “pengobatan” bagi anak.

Anak yang beramasalah dan tidak cukup ditangani dengan konseling atau

konsultasi saja, maka memerlukan sebuah pengobatan. Dalam menjadikan

bermain sebagai psiko terapi, diperlukan adanya seorang ahli yang menangani

banyak masalah apada anak. Tindakan yang diberikan ahli psiko terapi sangat

diperlukan.Hal ini bisa terjadi pada anak yang tantrum, agresif, dan kurang percya

diri.

c. Bermain meningkatkan pengetahuan anak

Dengan bermain, anak mendapat pengetahuan dari apa yang

dipelajarinya dengan mengenal bahkan memahami konsep warna, ukuran, bentuk,

arah, dan besaran sebagai landasan untuk belajar menulis, bahasa, matematika,

dan ilmu pengetahuan yang lain. Aktivitas motorik kasar dan motorik halus anak

ikut berkembang. Misalnya ketika anak menulis, menggambar, dan

mencorat-coret. Perkembangan motorik kasar dapat dilihat ketika anak berlari dan berjalan.

d. Bermain melatih penglihatan dan pendengaran

Ketajaman dan kepekaan penglihatan dan pendengaran juga sangat perlu

dikembangkan. Kedua indera tersebut memudahkan anak untuk belajar membaca

serta menulis di kemudian hari. Perkembangan keduanya dapat dilatih melalui

(52)

38

e. Bermain mempengaruhi perkembangan kreativitas anak

Anak usia dini memiliki rentang perhatian yang terbatas dan sulit diatur.

Dengan bermain, anak akan merasa senang dan terkontrol sehingga kreativitas

pun meningkat. Kreativitas akan terlatih dan muncul dengan sendirinya. Dalam

hal ini orang dewasa perlu untuk membebaskan anak namun tetap dalam

pengawasan. Umumnya, kreativitas diawali dengan rasa ingin tahu anak dengan

mengeksplorasi setiap hal dalam kehidupan sehari-harinya.

f. Bermain mengembangkan tingkah laku sosial anak

Dengan berkembangnya usia, anak perlu untuk dilatih berpisah dengan

ibu atau pengasuhnya. Anak harus diberi pengertian bahwa perpisahan hanya

terjadi sementara. Sedangkan dengan teman sebaya, anak harus belajar berbagi

hak milik, menggunakan mainan secara bergiliran, melakukan kegiatan bersama,

mempertahankan hubungan yang dibina, serta mencari solusi mengenai masalah

yang dihadapi bersama. Dengan bermain, anak akan mendapatkan

kebutuhan-kebutuhan tersebut.

g. Bermain mempengaruhi nilai moral anak

Dengan bermain yang dilakukan bersama teman sebaya, anak memiliki

penilaian terhadap dirinya sendiri, yaitu tentang kelebihan yang dimiliki. Hal

tersebut membantu pembentukan konsep diri dalam diri anak seperti percaya diri

dan harga diri. Dari hal tersebut anak belajar bagaimana bertingkah laku seperti

bersikap jujur,murah hati, dan tulus.

Menurut Wolfgang dan Wolfgang (1999: 32-37 dalam Sujiono, 2012:

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pikir
Tabel 1. Kisi-kisi Observasi
Tabel 2. Daftar TK yang dijadikan sampel
Tabel 3. Lembar Instrumen Observasi (check list) Kemampuan Motorik Halus Dalam Kegiatan Bermain Balok Pada Anak TK Usia 5-6 Tahun Se-Gugus Teratai Umbulharjo Yogyakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat Pencapaian Perkembangan motorik halus anak usia 5-6 tahun berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tahun 2009 yaitu: (a) Menggambar sesuai

Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bermain menggunting, menempel terhadap kemampuan motorik halus anak TK A Bustanul Athfal Aisyiyah Karangasem

Tujuan Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh bermain playdough terhadap kemampuan motorik halus anak di TK A Aisyiyah, Gonilan, Kartasura, Sukoharjo tahun pelajaran

motorik halus anak TK Pertiwi Planggu III Trucuk Klaten. 2) Mengetahui sejauh mana bermain lego konstruktif dalam. meningkatkan keterampilan motorik halus anak kelompok

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS ANAK MELALUI PERMAINAN BALOK PADA KELOMPOK A.. TK KARANGPELEM 1 KEDAWUNG SRAGEN TAHUN

Sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Upaya meningkatkan kemampuan motorik halus anak melalui permainan balok pada anak kelompok B TK ABA VII

Bermain konstruksi lego berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan motorik halus anak usia prasekolah, karena dengan bermain konstruksi lego akan menstimulasi gerakan jari

Pengaruh terapi bermain plastisin terhadap perkembangan motorik halus anak usia 3-5 tahun Berdasarkan tabel 2 diperoleh bahwa sebelum diberikan terapi bermain plastisin seluruh