• Tidak ada hasil yang ditemukan

INOVASI PEMASARAN DAN PENCIPTAAN PASAR KAIN TENUN ENDEK DI KABUPATEN KLUNGKUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INOVASI PEMASARAN DAN PENCIPTAAN PASAR KAIN TENUN ENDEK DI KABUPATEN KLUNGKUNG"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

INOVASI PEMASARAN DAN PENCIPTAAN PASAR KAIN TENUN

ENDEK DI KABUPATEN KLUNGKUNG

Ni Luh W. Sayang Telagawathi STIE Triatma Mulya Badung, Bali gemilangsuryawan@gmail.com

ABSTRAK

Artikel ini bertujuan untuk merancang sebuah model aplikatif dalam usaha melakukan inovasi pemasaran dan penciptaan pasar kain tenun endek di Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Hal ini dilakukan berdasarkan tantangan dalam pengembangan industri kerajinan tangan di Bali, dan di Indonesia secara umum adalah permasalahan pemasaran selain tentunya permasalahan modal. Potensi industri kerajinan tangan kain tenun endek di Kabupaten Klungkung sangatlah besar karena berbasis kepada industri rumah tangga yang digeluti oleh para ibu rumah tangga yang semakin hari terus berkembang menjadi usaha kecil dan menengah yang menjanjikan. Artikel ini menghasilkan model inovasi pemasaran dan penciptaan pasar yang berbasis pada kreatifitas pengerajin dalam menciptakan model-model kreasi baru endek. Terlebih dahulu para pengerajin haru mempunyai kapasitas dalam pengelolaan usahanya. Motif-motif baru yang dihasilkan ini akan menjadi media promosi bagi desainer untuk mengenalkan endek menjadi produk budaya global. Akhirnya peran pemerintah dan swasta akan sangat penting artinya dalam usaha penciptaan pasar bagi kain endek ke depan.

Kata kunci: inovasi pemasaran, penciptaan pasar, industri keci kain tenun endek, model aplikatif, selera pasar

1. Pendahuluan

Industri kerajinan tangan di Bali memiliki potensi yang sangat besar sebagai penggerak perekonomian rakyat. Sebagai salah satu dari sektor industri kreatif yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan, industri kerajinan beroperasi di kelompok-kelompok rumah tangga yang dengan jelas menyentuh kebutuhan ekonomi rakyat kecil. Sebagai penggerak perekonomian rakyat, industri kerajinan adalah potensi yang vital untuk mengembangkan sikap kewirausahaan di tengah masyarakat (Failyani, 2009).

Industri kerajinan tangan khususnya termasuk satu diantara 14 sektor industri kreatif yang memberikan kontribusi dominan dalam perekonomian, baik dalam nilai tambah, tenaga kerja, jumlah perusahaan, dan ekspor. Nilai tambah yang dihasilkan Subsektor fashion dan kerajinan berturut-turut sebesar 44,3% dan 24,8% dari total kontribusi sektor industri kreatif, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 54,3% dan 31,13%, dan jumlah usaha sebesar 51,7% dan 35,7%. Dominasi kedua subsektor sejalan dengan beragamnya budaya fashion dan kerajinan Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Bali dengan keunggulan kreatifitas dan kesenian yang dimiliki oleh masyarakatnya sangat berpeluang untuk mengembangkan industri kerajinan secara maksimal dan secara langsung memberikan kesejahteraan bagi

masyarakat selain tentunya industri pariwisata. Laporan Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa ekonomi kreatif yang dikembangkan oleh industri kerajinan adalah implikasi dari berkembangnya industri pariwisata. Industri pariwisata telah melahirkan peluang-peluang yang besar untuk mengembangkan industri-industri kerajinan agar terserap di jaringan bisnis pariwisata. Potensi pertumbuhan ekonomi pada 2012 di Provinsi Bali masih ditopang pada sejumlah sektor yang bergerak di bidang pariwisata serta ekonomi kreatif.63 Secara keseluruhan, industri kerajinan skala rumah tangga di Bali mampu memberikan kontribusi sebesar 197,45 juta dollar AS atau 39.66 persen dari total nilai ekspor.64Namun nilai tersebut bisa saja menurun jika tidak dilakukan inovasi-inovasi dalam strategi pemasaran industri kerajinan tangan di Bali. Potensi yang ada sangatlah besar untuk dikembangkan.

Industri Kerajinan kain tenun endek di Kabupaten Klungkung berbasiskan pada warisan budaya masih sulit untuk menemukan strategi pemasaran yang aplikatif yang bisa secara mudah dikembangkan oleh para pengerajin. Masyarakat di Kabupaten Klungkung khususnya di Desa Kamasan, Desa Gelgel, dan juga Desa Tanglad masih setia menekuni

63 “Pariwisata dan Industri Kreatif Topang

Pertumbuhan Ekonomi Bali “, Bisnis Indonesia, 25 Oktober 2011.

64 “Nilai Ekspor Kerajinan Rotan Bali 4,17 Juta

(2)

kerajinan kain tenun endek dalam kelompok-kelompok pengerajin berbasis banjar (desa) dan sekaa (kelompok). Sebagai kerajinan warisan dari nenek moyang di Bali, kain tenun endek

memiliki daya pikat yang tinggi karena memiliki corak yang khas dibandingkan dengan kain-kain lainnya yang ada di Indonesia, khususnya Bali seperti cepuk,songkét, prada, poléng, keling, dan geringsing, Hauser (1990). Saat ini model pemasaran yang dikembangkan oleh para pengerajin industri kerajinan tangan dan kain tenun endek khususnya masih sangat tradisional dengan promosi dari mulut-kemulut dan pengerjaan pesanan secara simultan dan sementara sesuai dengan waktu-waktu tertentu. Artikel ini berkeinginan untuk menjawab pertanyaan tentang kondisi pemasaran kain tenun endek yang telah dikembangkan saat ini dengan berbagai permasalahan yang dihadapi. Pada bagian lain artikel ini juga akan mendalami tentang model inovasi pemasaran dan penciptaan pasar yang tepat dan aplikatif untuk dikembangkan bagi para pengerajin. Data-data dikumpulkan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif Riset Aksi Partisipatif (RAP) berbasis pemberdayaan masyarakat untuk perubahan sosial dengan penggalian data melalui FGD (Focus Group Discussion), wawancara mendalam, dan observasi partisipasi.

2. Sejarah dan Perkembangan Kain Endek di Bali

Pulau Bali sangat kaya dengan industri kerajinan tangan baik yang terbuat dari kayu dan bambu serta kain. Sebelum membahas tentang sejarah dan perkembangan kain endek di Bali, sebagai gambaran umum, industri handycraft (kerajinan tangan) sudah menjadi basis penghidupan beberapa masyarakat Bali yang mengeluti usaha kerajinan ini sejak lama. Mereka—para pengerajin ini—biasanya tersebar di sentra-sentra pengerajin yang telah terklasifikasi dalam bidangnya masing-masing diantara kayu, bambu, dan kain. Kerajinan tangan dari kayu dan bambu adalah wilayah dari Kabupaten Gianyar yang terkenal dengan daerah kesenian dan kebudayaan karena banyaknya wilayah-wilayah desa yang menjadi pusat dari industri kerajinan tangan. Disamping itu perkembangan seni visual baik lukis, patung, dan hadirnya gallery, museum, dan menjamurnya art shop menambah dinamis Kabupaten Gianyar.

Industri kerajinan kain tenun menjadi wilayah dari Kabupaten Klungkung. Berbagai

jenis kain tenun menjadi kekayaan budaya warisan dari leluhur di Bali. Diantaranya adalah kain tenun geringsing, endek, cepuk, songket, dan yang lainnya. Kain tenun geringsing warnanya semuanya berasal dari bahan pewarna alami. Tenun Gringsing terbuat dari benang kapas yang ditenun menggunakan teknik double ikat, yaitu tehnik dengan mengikatkan benang lungsi dan benang pakan secara bersamaan. Tehnik ini dikenal sangat langka, karena akan membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan satu lembar kain, berkisar antara 1-5 tahun. Di Asia hanya Jepang dan India yang masih menerapkan teknik tenun ganda ini. Hingga tidak aneh jika kain tenun Gringsing ini memiliki harga yang sangat mahal.

Salah satu koleksi kain tenun endek yang berada di sebuah toko di Kabupaten

Klungkung, Bali

(foto: Ni Luh W.Sayang Telagawathi) Jenis kain lainnya adalah kain endek yang menjadi focus dari penelitian ini. Kain endek juga termasuk kedalam jenis kain tenun. Namun dalam proses pembuatan kain endek ada dikenal dengan istilah nyantri, yaitu menggoreskan warna dengan kuas bambu pada bagian-bagian ragam hias tertentu. Kain endek pada umumnya memiliki motif flora dan fauna, wayang atau yang sejenisnya. Kain tenun lainnya adalah kain cepuk yang berasal dari daerah Nusa Penida, Kabupaten Klungkung dengan proses pengerjaan yang hampir sama dengan kain endek. Dengan ragam hias berwarna merah khas, disertai motif warna-warni. Kain songket adalah jenis kain tenun Bali yang memiliki nilai prestise tinggi yaitu kain songket terutama songket dengan ragam hias prada (hiasan berupa lempengan tipis yang terbuat dari serbuk emas). Kain songket ini biasanya dipergunakan saat upacara adat seperti pernikahan, upacara potong gigi dan

(3)

sejenisnya, dipakai juga untuk kostum penari Bali. Kain kling, gedogan, skodi dan gotya adalah jenis kain yang merupakan kelompok kain yang dianggap memiliki kekuatan magis dan digunakan pada upacara-upacara tertentu. Seperti kain kling biasanya digunakan saat upacara potong gigi. 65

Sejarah kain tenun endek diawali dengan perkembangannya sejak tahun 1885, yaitu pada masa pemerintahan Raja Dalem Waturenggong di Gelgel Klungkung. Kain endek ini kemudian berkembang di sekitar daerah Klungkung, salah satunya adalah di Desa Sulang.66 Meskipun kain endek telah ada sejak zaman Kerajaan Gelgel, akan tetapi endek mulai berkembang pesat di Desa Sulang setelah masa kemerdekaan. Perkembangan kain endek di Desa Sulang dimulai pada tahun 1975 dan kemudian berkembang pesat pada tahun 1985 hingga sekarang.67 Kain endek memiliki beberapa periode perkembangan dalam produksinya. Dapat dilihat pada tahun 1985-1995 kain endek mengalami masa kejayaan akibat adanya dukungan dari pemerintah. Pada masa ini, proses produksi kain endek sudah menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).

65

Lihat http://balibaguz.blogspot.com/2013/01/kain-tenun-bali-dan-jenisnya.html (diakses 23 Juni 2014)

66

Seperti juga diungkapkan oleh I Nyoman Darma, pemilik usaha perajin endek “Astika” dalam wawancara di rumahnya di Banjar Kanginan Desa Sulang, 21 Juni 2014.

67

I Nyoman Darma menuturkan bahwa saat jaya-jayanya kain tenun endek di Desa Sulang, banyak pejabat Negara dari Jakarta yang datang dan memberikan dana segar bagi para pengerajin. Tidak tanggung-tanggung, anak mantan Presiden Soeharto juga menyempatkan datang ke Desa Sulang dengan memborong kerajinan kain endek Sulang. Bantuan dari lembaga-lembaga internasional seperti UNDP yang memberikan bantuan 30 mesin ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) di Desa Sulang.

Para pengerajin kain tenun endek ini mengalami masa kejayaan pada tahun 1980-1990-an dan kemudian terus-menerus menurun

hingga tahun 2000-an. (foto: Ni Luh W.Sayang Telagawathi)

Pada tahun 1996-2006 kain endek mengalami penurunan produksi akibat dari banyaknya persaingan produksi kain sejenis buatan pabrik yang mulai masuk ke pasaran. Tahun 2007-2012 juga mengalami penurunan. Fluktuasi penurunan sangat dirasakan pada tahun 2008-2010. Hal tersebut disebabkan bahan baku yang sulit didapat, harga benang yang mahal, dan kualitas yang tidak sesuai dengan standar produksi kain endek. Namun, pada tahun 2011 kain endek mulai berkembang kembali akibat bahan baku yang murah serta berkembangnya berbagai motif kain endek yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Selain itu pula banyak perusahaan atau instansi menggunakan kain endek sebagai pakaian kantor dan anak sekolah.

Motif kain endek yang beragam adalah potensi yang tepat untuk dikembangkan agar

bisa bersaing di pasar nasional dan internasional. (foto: Ni Luh W.Sayang

Telagawathi)

Hal unik dari kain endek ini terletak pada motif yang beragam. Beberapa motif kain endek dianggap sakral. Hanya boleh digunakan untuk kegiatan-kegiatan di pura atau kegiatan keagamaan lainnya. Adapula motif kain endek yang hanya boleh digunakan oleh orang-orang tertentu. Misalnya para raja atau keturunan bangsawan. Dahulu kain ini memang lebih banyak digunakan oleh para orang tua dan kalangan bangsawan. Penggunaan kain endek berbeda-beda sesuai motifnya. Motif patra dan encak saji yang bersifat sakral biasa digunakan un¬tuk kegiatan upacara keagamaan. Motif-motif tersebut menunjukkan rasa hormat kepada Sang Pencipta. Sedangkan motif yang mencerminkan nuansa alam, biasa digunakan

(4)

untuk kegiatan sosial atau kegiatan se¬hari-hari. Hal ini menyebabkan motif tersebut lebih banyak berkembang dalam masyarakat.

Wastra endek atau disebut kain endek saat ini sudah mulai banyak mengalami penggabungan dengan jenis-jenis kain khas Bali lain. Hal ini menjadikannya lebih beragam. Saat ini ada satu teknik tenun ikat yang berkembang di Bali, terutama pada motif kain endek. Teknik itu dilakukan dengan penambahan coletan pada bagian-bagian tertentu yang disebut dengan nyantri. Teknik nyantri adalah penambahan warna kain endek dengan goresan kuas bambu seperti layaknya orang melukis di kain. Kain endek juga dapat dikombinasikan dengan kain songket. Kain songket adalah kain yang dihiasi benang-benang emas atau perak. Pemberian benang emas atau perak ini dapat dilakukan pada kain endek. Pada umumnya dijadikan sebagai hiasan pinggir kain. Kain ini kemudian dikenal sebagai kain endek songket.

Kain endek sudah mulai banyak digunakan masyarakat Bali. Meskipun demikian motif-motif sakral tetap dipertahankan dan tidak digunakan secara sembarangan. Umumnya kain ini digunakan untuk kegiatan upacara, kegiatan sembahyang ke pura, ataupun digunakan sebagai busana modern layaknya baju atau celana yang dapat digunakan semua kalangan. Pesatnya perkembangan kain tenun ikat khas Bali menjadi tantangan besar bagi masyarakat Bali untuk menjaga kelestariannya. Masyarakat Bali juga harus ajeg, tetap memperhatikan aturan penggunaan kain tersebut. Terutama untuk motif-motif kain endek yang disakralkan, jangan sampai digunakan sebagai pakaian sehari-hari. Hal tersebut akan merusak nilai sakral dan budaya dari kain endek itu sendiri.68 Hal-hal ini harus diperhatikan oleh para pengerajin dalam pelaksanaan usahanya.

3. Usaha Kerajinan Endek di Desa Gelgel dan Desa Sulang

Salah satu pengerajin endek di Kabupaten Klungkung terdapat di Desa Sulang, Kecamatan Dawan, tepatnya terletak di Banjar Kanginan. I Nyoman Darma, pemilik usaha kerajinan tenun endek “Astika” ini mulai merintis usahanya saat menjadi karyawan dari dari usaha kain endek terbesar di Kabupaten di 68 Lihat http://www.balebengong.net/kabar- anyar/2014/03/20/endek-kain-tenun-ikat-khas-bali.html (Diakses 28 Juni 2014)

tahun 1980an yaitu kain tenun “Supani”. Saat itu Darma bertugas untuk membuat ATMB (Alat Tenun Bukan Mesin) yang dipergunakan untuk memproduksi kain tenun endek. Pekerjaan ini dilakukan dengan sangat baik oleh Darma karena memang sebelumnya ia adalah seorang tukang kayu sebelum bekerja di perusahaan kain tenun “Suparni” itu. Bermodal sebagai tukang kayu dan mengenal pembuatan kain endek itulah Darma kemudian mencoba-coba untuk membuat endek sendiri. Sementara istrinya saat itu bekerja sebagai buruh pasir Galian C di daerah Gunaksa, Kabupaten Klungkung.

I Nyoman Darma pemilik usaha kain tenun endek “Astika” di Desa Sulang Kabupaten

Klungkung yang telah memulai usahanya sejak tahun 1994 . (foto: Ni Luh W.Sayang

Telagawathi)

Sejak tahun 1980-an itulah disamping bekerja sebagai teknisi untuk mesin ATBM, Darma juga menenun kain sendiri. Perlahan-lahan nasib baik menyertainya. Pada tahun 1994, hasil kain tenun ikatnya mendapatkan penilaian baik dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Klungkung. Karena keberhasilan itulah kemudian Darma mendapatkan bantuan sebesar 10 juta melalui BUMN Jasa Raharja yang bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali. Kewajibannya adalah mebayar bunga pinjaman tersebut sebesar Rp. 30.000 setiap bulannya selama 1 tahun. Setelah itu selama 4 tahun Darma membayar cicilan sebesar Rp. 241 ribu. Dengan bantuan modal itulah tekad Darma kemudian menjadi bulat untuk membuat usaha sendiri di bidang tenun endek.

Keputusan untuk memilih usaha kain tenun endek bukannya tanpa permasalahan. Di tahun 1994 itu, usaha kayunya juga sedang berkembang pesat dengan melayani pembuatan bangunan dan hal-hal lain yang membutuhkan kayu. Saat itu Darma telah memilik 30 karyawan

(5)

untuk usaha kayunya dan juga sedang berkembang. Berbagai pesanan kayu khususnya untuk melengkapi bangunan rumah dan gedung-gedung ia layani bersama dengan karyawannya. Ia merasa bahwa usaha kayu juga mempunyai prospek yang bagus di kemudian hari. Namun ia merasa masih mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan kain tenun endek agar menjadi mata pencaharian masyarakat di sekitar Desa Sulang tempatnya tinggal. Saat itulah ia menghadapi dilema untuk memutuskan memilih usaha ke depannya.

Bermodalkan suntikan dana Rp.10 juta dari Deperindag Kabupaten Klungkung ia kemudian memutuskan untuk melanjutkan usaha kain tenun endek dan sedikit-demi sedikit mengurangi kegiatan di kerajinan kayu yang digelutinya. Ketrampilan membuat mesin ATBM yang didapatnya sebagai tukang kayu dan menjadi karyawan dari perusahaan kain endek “Supani” ternyata sangat berguna. Perlahan namun pasti ia kemudian berhasil membuat hingga kini sebanyak 90 buah mesin ATMB yang tersebar di rumah-rumah masyarakat pembuat endek di desa-desa di Kabupaten Klungkung, diantaranya adalah Desa Sulang sendiri, Gelgel, Dawan, Sidemen, Gunaksa, Paksebali, hingga ke Sukawati. Disamping itu ia juga sudah lama menjalin kerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali sebagai pembuat mesin ATBM jika ada bantuan-bantuan dari pihak lain khususnya berupa mesin ATBM.

Awalnya Darma membuat kain endek hanya untuk lingkungan keluarga besarnya saja di Desa Sulang. Namun kemudian usaha itu berkembang dan mendapatkan tanggapan yang bagus dari masyarakat sekelilingnya di desa. Sejak saat itulah ia kemudian meluaskan usahanya untuk melayani pembuatan kain tenun endek ATBM. Modal penting yang dimiliki Darma adalah ketrampilannya membuat ATBM dan menyebarkannya kepada pengerajin-pengerajin yang bersedia untuk membuat endek di rumah-rumah sebagai usaha sampingan. Tidak hanya mesin ATMBM saja, Darma juga menyiapkannya dengan benang, kursi dan keperluan lain untuk menenun endek tersebut. Bahkan jika mesin ATMBMnya rusak, Darma melalui karyawannya akan datang untuk memperbaikinya.

Benang hasil dari pencelupan dan proses menenun dengan ATBM (Alat Tenun

Bukan Mesin). (foto: Ni Luh W.Sayang Telagawathi)

Di rumah yang juga menjadi kantornya itu, Darma menunjukkan koleksi kain-kain endek yang sudah ia dapatkan hasil dari mengambil ke rumah-rumah pengerajin. Hasilnya memang sangat sedikit karena permintaan kain endek Bali—begitu istilanya untuk membedakan dengan kain Jepara, Jawa Tengah—selalu saja meningkat setiap bulannya. Hal ini juga dipengaruhi oleh kebijakan dari Pemerintah Daerah (Pemda) kabupaten/kota di Bali yang mempromosikan endek sebagai kain tenun khas Bali yang dipergunakan sebagai seragam di seluruh jajaran staf pemerintahan dan institusi pendidikan. Oleh karena itulah pemesanan endek dari berbagai kalangan di Bali sangat tinggi. Darma hingga menolak memenuhi pesanan dari beberapa instansi karena merasa tidak bisa memenuhi kain tersebut. Alasannya sudah tentu karena rendahnya jumlah produksi dari pengerajinnya yang tersebar di beberapa wilayah tersebut.

(6)

Upah menenun 1,5 potong kain endek berjumlah Rp. 30.000 yang hanya diselesaikan dalam waktu setengah hari bagi ibu-ibu rumah tangga yang sudah terbiasa dengan pekerjaan menenun. Upah ini termasuk lumayan tinggi dibandingkan sebelumnya. Namun jika dikerjakan dengan sambilan maka hasilnyapun tidak akan memenuhi target karena tidak dikerjakan dari pagi hingga sore. Para ibu-ibu rumah tangga yang menenun sambilan akan menghasilkan 1,5 potong kain dalam waktu 1,5 hari. Bagi Darma, kondisi seperti ini jelas sangat merugikan karena jumlah produksi kain tenunnya tidak memenui target sementara jumlah pemesanan selalu saja ada. Darma bersama karyawannya hanya bisa menangih ke rumah-rumah para pengerajin setiap 3 hari sekali untuk mengambil hasil tenunan dari ibu-ibu rumah tangga tersebut.

Para pengerajin dari Darma yang tersebar di desa-desa itu adalah ibu rumah tangga yang menjadikan menenun endek sebagai usaha sampingan. Ia kemudian mencontohkan bagaimana pengerajin endeknya di daerah Kusamba, Gianyar kota, Paksebali, Gelgel dan Keramas yang mayoritas adalah ibu rumah tangga yang mempunyai pekerjaan pokok yaitu mengurus anak-anak dan rumah tangga. Dengan demikian, menenun menjadi kegiatan sambilan. Hal inilah yang menyebabkan produksi menjadi rendah karena hanya kurang lebih 30% waktunya dipergunakan untuk menenun. Sebagian besar dipergunakan untuk mengurus anak dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga lainnya. Bahkan ada yang bekerja di warung terlebih dahulu baru kemudian mulai menenun.

Mengantisipasi rendahnya bjumlah produksi para pengerajinnya itu, di rumahnya sendiri Darma juga menyediakan 9 mesin ATBM bagi para pengerajin yang dianggapnya cakap dan cepat untuk menghasilkan kain endek. Darma menjelaskan setiap harinya akan datang 4-5 orang pengerajin yang akan bekerja untuk menyelesaikan tenunannya. Pengerajin yang datang tersebut sebagian besar adalah warga Desa Sulang yang beberapa diantara mereka masih berhubungan keluarga dengan Darma.

Di Desa Sulang banyak yang menggantungkan hidupnya dari tenun endek. Warga Sulang berjumlah 120 KK dan kebanyakan bekerja wiraswasta. Di Desa Sulang sendiri banyak usaha-usaha yang dikembangkan oleh warga sendiri selain tenun endek yaitu pengepul kelapa, penjual batu kali dan penjual gas dengan jumlah yang banyak.

Jadi jika ingin berusaha untuk bekerja tidak akan menemui kesulitan. Darma mengakui bahwa usaha kain tenun endek tidak begitu cepat mendaptkan uang dibandingkan dengan meburuh (bekerja) mengangkat kelapa atau mengangkat batu. Perlu waktu dan ketekunan lebih jika ingin tetap bertahan berusaha di kerajinan tenun endek. Ia membandingkan dengan mengangkat batu yang setelah selesai langsung mendapatkan uang. Oleh karena itulah maka produksi kain tenun endek kurang sekali dihasilkan oleh para ibu-ibu rumah tangga karena adanya pekerjaan lain yang menggiurkan dan mendatangkan uang lebih cepat.

Menenun bagi warga Desa Sulang hanya dijadikan sambilan setelah pekerjaan utama pada pagi hingga sore hari selesai dilaksanakan. Biasanya setelah pulang dari bekerja, warga Sulang sedikit demi sedikit mengambil pekerjaan menenun pada malam hari dari jam 7 hingga 11 malam. Hampir sebagian besar warga di Desa Adat Sulang ini melakukan hal seperti itu sehingga sesama warga akhirnya saling mengerti dan

Menenun endek ikat menjadi profesi dari ibu-ibu rumah tangga di Desa Sulang, Kabupaten Klungkung. (foto: Ni Luh W.Sayang

Telagawathi)

Di tengah permintaan yang tinggi terhadap kain tenun endek, Darma berusaha untuk memenuhi beberapa dengan mengandalkan para pengerajin yang dianggapnya cager (mampu) untuk mengejar target dari pemesan. Pemesan dalam jumlah yang banyak terutama berasal dari pegawai negeri, PKK (Perhimpunan Kesejahteraan Keluarga), guru-guru hingga murid-murid dari mulai TK (Taman Kanak-Kanak) hingga SMP (Sekolah Menengah Pertama). Langganan dari kain tenun Darma banyak dari pedagang-pedagang di pasar yang secara rutin mengambil kain. Belum lagi para pengepul kain-kain endek yang terdapat di Klungkung, Denpasar hingga Buleleng. Darma mencatat para

(7)

pedagang-pedagang khususnya di Klungkung dan Denpasar yang mengambil kain di Darma dan belum membayarnya. Ia akan menagihnya setiap 2 minggu sekali. Selian dari para pedagang-pedagang di pasar ini, Darma juga mendapatkan pesanan dari instansi pemerintah dan swasta serta sekolah yang membutuhkan kain endek untuk pakaian seragam. Disamping itu pemesanan ATBM masih dikerjakan oleh Darma untuk melayani beberapa pihak yang membutuhkan mesin untuk disumbangkan kepada para pengerajin.

Kerajinan kain tenu endek sebenarnya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah daerah khususnya yang selalu mempromosikan kain endek sebagai kain hasil dari pengerajin di Bali. Darma sering menyebutnya “kain tenun Bali” untuk membedakan dengan kain tenun Bali. Yang dimaksud dengan kain tenun Bali itu adalah endek disamping songket dan cepuk. Baginya yang sering dijual di toko-toko harus bisa dibedakan antara kain tenun Bali atau kain tenun dari luar, khususnya kain tenun Jepara. Yang banyak dijual saat ini adalah kain-kain dari Jawa dan bukan kain tenun Bali. Hal ini disebabkan karena para pengerajin di Bali tidak pernah bisa memenuhi target produksi kain tenun endek untuk pasar dan permintaan yang ada di Bali sendiri. Ini membuktikan bahwa para pengerajin tidak bisa bersaing untuk menghasilkan produk yang bisa memenuhi permintaan.

Jadi menurut Darma permasalahan sebenarnya bukan terletak di pemasaran tetapi minimnya produksi yang dihasilkan oleh para pengerajin kain tenun endek itu sendiri. Darma menceritakan bahwa persoalan bahan baku tidak menjadi hambatan. Yang menjadi permasalahan pertama adalah bagaimana meningkatkan produksi. Selama ini para pengerajin endek berasal dari industri rumah tangga, dimana ibu-ibu rumah tangga hanya menjadikan menenun sebagai usaha sambilan tidak sebagai prioritas untuk menambah pendapatan keluarga. Oleh sebab itulah menurutnya diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan produksi kain tenun endek di kalangan para penenun rumah tangga ini.

Pandangan Darma mengacu kepada pengalamannya yang selama ini mengelola kain tenun endek yang tanpa kesulitan untuk memasarkan produknya. Darma menuturkan bahwa sejak tahun 1994 menekuni usaha kain tenun endek, baru di tahun 2004 ia merasakan masa sulit dan sedikit lagi menuju kebangkrutan. Selama hampir 3 bulan kain endek yang telah

didapatnya tidak bisa dijual karena sepinya permintaan terhadap kain tenun endek. Selebihnya semua usahanya berjalan dengan lancar. Biasanya masa-masa sulit khusus kain pengusaha kain tenun endek terjadi di bulan Desember-April. Setelah melewati 5 bulan kritis itu biasanya usaha akan berlangsung stabil. Bulan-bulan yang kritis biasanya adalah pada Januari dan Februari dimana pemasaran akan sangat sepi. Di bulan-bulan inilah akan diuji kekuatan usaha dari industri endek apakah bisa bertahan ataukah tidak. Sedangkan bulan yang paling laris biasanya adalah pada Agustus, September dan Oktober. Hal ini sudah menjadi siklus dari usaha endek yang dialami oleh Darma.

Usaha kecil kain tenun endek ini sebenarnya mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah. Darma menuturkan bahwa sumbangan untuk meningkatkan produksi dengan merangsang para pengerajin di rumah-rumah dilakukan oleh pemerintah. Sumbangan ATBM bagi para pengerajin bertujuan untuk memotivasi pengerajin agar bisa mencari rejeki dari hasil menenun. Darma yang mengerjakan mesin ATBM mengakui bahwa nasib pengerajin sangat beruntung sekali disediakan alat secara gratis untuk mencari penghidupan. Ia mengakui pernah mengerjakan 30 unit mesin ATBM yang diperuntukkan bagi para pengerajin endek di Desa Sidemen sumbangan dari pemerintah pusat. Pernah juga pada suatu kesempatan pejabat penting di zaman Orde Baru datang untuk memberikan sumbangan berupa modal puluhan juta rupiah agar membuat kelompok koperasi pengerajin yang mengkoordinir para pengerajin di Desa Sulang. Program ini sempat berjalan cukup baik selama hampir 5 tahun namun kemudian bubar dan asetnya semua diserahkan ke desa adat/desa pakraman. Penyebabnya adalah pergunjingan di internal desa tentang para pengurusnya. Tidak tahan mendengar pergunjingan tersebut, para pengurus kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dan membentuk usaha mandiri sendiri khusus kain tenun endek.

Perhatian yang lebih diberikan pemerintah kepada para pengerajin ternyata tidak dimanfaatkan oleh para pengerajin. Semestinya para pengerajin mempersolid dirinya agar menghasilkan produksi yang memenuhi target pasar. Darma mengungkapkan khusus untuk dirinya sebagai pengerajin berusaha melibatkan krama (warga) di Desa Sulang dan saudara-saudaranya untuk bekerja di usaha kecil perajin endek “Astika” miliknya.

(8)

Meskipun masih tergolong usaha kecil dan berbasis rumah tangga, Darma mengakui bahwa usahanya ini berhasil menjadi penopang ekonomi keluarga. Berkat usahanya di bidang endek ini, ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya serta keponakannya dan membantu mereka dalam berusaha sesuai dengan pilihannya masing-masing. Ketiga anaknya mengikuti jejaknya menjadi wiraswasta dengan berjualan di Pasar Kota Semarapura. Saat ini Darma memiliki 4 toko di Blok C, D (2 toko) dan E. Selain berjualan kain tenun endek, ada juga toko yang berjualan sprei dan kain-kain kebutuhan upacara adat lainnya.

Kain tenun endek “Astika” I Nyoman Darma bisa dibilang sudah menjadi usaha yang mapan dengan jangkauan pasar yang luas. Pasar yang dilayaninya adalah para pedagang kain di pasar-pasar tradisional dan pengusaha kain lainnya yang juga berjualan kain endek. Darma telah membina pasar endeknya sejak tahun 1990-an dan menjalin hubungan dengan para pedagang dan pengusaha yang juga berjualan endek. Sebagai usaha yang sudah lama berkecimpung di endek, Darma faham betul bagaimana menjalankan usahanya. Di rumahnya, selain memiliki 9 mesin ATBM, pencelupan benang yang akan dijadikan bahan untuk menenun juga ia lakukan sendiri. Darma melibatkan keponakan dan menantunya yang ikut membantunya dalam menjalankan usahanya tersebut. Para tetangganya dan anak-anak SMP juga dilibatkan dengan memberikan benang-benang yang telah dicelup untuk diikat dan siap untuk ditenun.

Proses pencelupan dengan menggunakan zat pewarna dan hasil dari benang-benang yang telah dicelup dan siap

untuk ditenun. (foto: Ni Luh W.Sayang Telagawathi)

Darma kini di rumahnya memiliki gudang yang dipergunakan untuk menempatkan 9 mesin ATBM untuk tempat bekerja para pegawainya. Di sebelah lokasi menenun terdapat tempat untuk pencelupan n benang-benang yang limbahnya disimpan dalam lubang penyimpanan di belakang rumah. Berhadapan dengan tempat pencelupan adalah pengikatan benang di sebuah bangunan Bali. Di tempat inilah biasanya anak-anak sekolah, khususnya pelajar SMP (Sekolah Menengah Pertama) ketika liburan sekolah mempergunakan waktunya untuk mengikat benang setela pencelupan yang sesuai dengan motif kain endek yang siap untuk ditenun. Para pelajar SMP yang bekerja mengikat benang ini diupah Rp. 25.000 per hari. Pada saat liburan sekolah, para pelajar SMP yang masih bertetangga dari

(9)

Darma biasanya berbondong-bondong datang ke rumanya untuk meburuh (bekerja) mengikat benang yang akan siap untuk ditenun. Anak-anak ini kebanyakan berasal dari lingkungan Desa Sulang. Mereka bekerja untuk mendapatkan uang saku ketika liburan sekolah. Bahkan ada diantara mereka yang memilih untuk bekerja di rumah dengan membawa benang yang akan diikat.

Industri kerajinan kain tenun endek ini sebenarnya sangat berpeluang untuk menciptakan pekerjaan bagi penduduk di pedesaan. Pengalaman yang dituturkan oleh Darma menggambarkan bagaimana sebenarnya melimpahnya potensi tenaga kerja dari kain tenun endek ini. Penghasilan yang didapatkan juga terbilang lumayan untuk pekerjaan rumahan dan sambilan. Jika serius menekuni pekerjaan ini, perlahan-lahan bisa mengembangkan usaha untuk membuat usaha sendiri seperti yang dilakukan oleh Darma. Namun permasalahannya adalah para pengerajin kecil di rumah-rumah ini tidak memfokuskan perhatiannya ke penenunan endek, tetapi hanya menjadikannya sebagai usaha sambilan. Oleh sebab itulah jumlah target produksi yang diinginkan Darma yaitu 90 kain dari 90 mesin ATBM yang dimilikinya tidak terpenuhi. Darma hanya berhasil mendapatkan kain sebanyak 30 lembar yang ia ambil 3 hari sekali ke rumah-rumah para pengerajinnya. Jadi, jika dihitung kerugiannya jelaslah para pengerajin ini tidak mengerjakan menenun dengan serius dan Darma jelas mengalami kerugian yang besar. Namun kerugian itu bisa tertutupi dengan pemesanan-pemesanan yang dilakukan berbagai dinas-dinas pemerintah maupun institusi pendidikan. Untuk pemesanan ini, Darma akan berusaha untuk memprioritaskannya dengan mengandalkan para karyawannya yang bekerja di rumah.

Pengerajin endek seperti Darma begitu banyak jumlahnya di Bali. Mereka telah menemukan pasar tradisional dari para pedagang-pedagang kain dan juga melayani kebutuhan dari instansi pemerintah dan pendidikan. Namun, pengusaha endek lainnya yang mempunyai jangkauan pemasaran yang luas juga banyak jumlahnya. Salah satunya adalah Dian’s, rumah songket dan endek yang belokasi di Desa Gelgel Kabupaten Klungkung, Bali. Dian’s bekerjasama dengan Garuda Indonesia, maskapi penerbangan nasional Indonesia dan CTI (Cita Tenun Indonesia). Usaha endek dan songket ini didirikan oleh I Ketut Murtika dan istrinya, Dian. Di

showroomusahanya di Desa Gelgel terdapat banyak koleksi kain endek dan songket. Di bangunan luarnya terdapat beberapa foto-foto kegiatan pemilik usaha dengan para pejabat dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mempromosikan kain tenun endek dan songket. Logo Garuda Indonesia dan CTI tersebar di ruangan tersebut menunjukkan kerjasama yang telah dijalin pemilik usaha kain endek ini dengan jaringan pemasaran yang lebih luas

Para pengerajin di Dian’s Rumah Songket dan Endek. (foto: Ni Luh W.Sayang

Telagawathi)

Dian’s rumah songket dan endek memang berbeda dengan usaha milik I Nyoman Darma, kain endek “Astika”. Meski Dian’s mengambil kain endek di usaha milik I Nyoman Darma, tapi ia mampu menjualnya ke pasar yang lain. Dian’s memang tidak memfokuskan kepada kerajinan kain tenun endek tapi kain songket. Selain showroom untuk memajang kain endek dan songket yang siap untuk dijual, Dian’s juga memiliki workshop bagi para pegawainya untuk mengerjakan endek dan songket. Dian’s juga memiliki gudang untuk menyimpan bahan baku penenunan. Di lokasi pengerjaan endek dan songket, terdapat 8 orang pengerajin yang sebagian besar adalah warga yang berasal dari lingkungan Desa Gelgel. Mereka sebagian besar mengerjakan pesanan untuk kain songket dan sutra.

Para pengerajin yang bekerja di workshop akan datang ke lokasi penenunan yang tidak jauh lokasinya dengan showroom. Mereka akan datang pada jam 06.00 wita dan pulang jam 18.00 wita untuk mengerjakan endek, sutra, dan terutama songket. Mereka akan mampu mengerjakan kain endek biasa 1 potong sehari. Untuk endek sutra bisa lebih lama karena pengerjaannya juga rumit. Upah untuk menenun endek biasa dan sutra ini berkisar diantara Rp.30.000 hingga Rp.60.000. Upah ini cukup bersaing dan bisa dijadikan acuan bagi para pengerajin. Upah menenun

(10)

endek sutra jauh lebih rumit sehingga upahnya bisa 1 kali lipat dari menenun kain endek biasa. Sedangkan untuk upah menenun songket bisa mencapai Rp. 1 hingga 1,5 juta. Upah menenun kain songket cukup mahal karena pengerjaannya juga sangat rumit dan lama hingga mencapai 1,5 bulan tergantung dari motifnya. Pengerjaan songket inilah yang menjadi andalan dari Dian’s dengan mengkoleksi begitu banyak kain songket dengan berbagai motif. Harga kain songket bisa mencapai Rp.1 juta hingga 3 juta rupiah tergantung motif dan kerumitannya.

Kegiatan sedang melakukan wawancara dengan para pengerajin di workshop Dian’s

Rumah Songket dan Endek di Desa Gelgel Kabupaten Klungkung. (foto: Ni Luh W.Sayang

Telagawathi)

Hingga saat ini karyawan yang dipekerjakan oleh Dian’s untuk semua sentra produksinya yaitu showroom, workshop, dan gudang berjumlah hampir 15 orang. Mereka sebagian besar berasal dari Desa Gelgel dan beberapa desa tetangga lainnya. Sebagian diantara mereka, khususnya yang menjaga

showroom adalah masih keluarga dari I Ketut Murtika, suami dari Ibu Dian yang merupakan warga asli Desa Gelgel. Para karyawan ini adalah pengerajin yang paling bawah yang sama sekali tidak mengetahui rencana pemasaran yang akan dilakukan oleh Dian’s. Di lokasi showroom juga terdapat 2 mesin ATBM dan 3 alat tradisional dalam menenun yaitu tenun cagcag yang biasanya dipergunakan untuk menenun songket dan tenun endek lainnya. Rumah yang dijadikan lokasi showroom tersebut banyak dihuni oleh pegawai dan saudara dari Dian’s sendiri.

4. Model Pengembangan Produksi dan Pemasaran Kain Tenun Endek

Usaha inovasi pemasaran dan penciptaan pasar mutlak dilakukan oleh para pelaku kerajinan kain tenun endek jika berkeinginan usahanya berkembang. Peluang-peluang pemasaran ke tingkat nasional bahkan global harus dipikirkan untuk lebih mengenalkan kain tenun endek lebih luas. Hal lainnya adalah dengan diperkenalkannya kain tenun endek ke pasar nasional dan global akan berarti peluang kesejahteraan bagi pengerajin endek juga terbuka lebar. Oleh sebab itulah diperlukan usaha-usaha yang sinergis antara berbagai pihak yang berkepentingan untuk pengembangan usaha kain endek agar mampu mensejahterakan kehidupan para pengerajinnya.

Dalam usaha menembus pasar dunia, diperlukan upaya-upaya untuk menjadikan industri endek sebagai industri berbasis budaya lokal, tapi mampu masuk pasar internasional. Beberapa upaya telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait, namun masih ada beberapa upaya yang belum dijangkau oleh pelaku industri endek ataupun pemerintah. Usaha yang dimaksud menyasar kepada satu tujuan untuk melakukan inovasi dan penciptaan pasar bagi kain tenun endek agar mendapatkan tempat di tengah pasar nasional maupun internasional. Oleh sebab itulah diperlukan berbagai langkah baik dalam produksi kain endek sendiri, inovasi dalam pemasarannya, dan peranan pemerintah, swasta, serta pihak-pihak yang berpotensi untuk membantu menasionalkan endek menjadi warisan budaya kain tenun Bali yang diakui oleh dunia. Berikut diuraikan berbagai langkah tersebut:

1. Peningkatan Daya Saing Endek Melalui Penciptaan Motif dan Kreasi Endek

(11)

Kain endek jika ingin bersaing di pasar nasional maupun internasional harus mampu merubah motif-motif lamanya menjadi baru. Hal ini dilakukan dalam upaya menciptakan daya saing bagi endek di pasar nasional dan kemudian masuk ke pasar internasional. Langkah yang harus dilakukan adalah dengan meciptakan kreasi endek yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Ada beberapa cara untuk meningkatkan daya saing endek melalui penciptaan kreasi endek, yaitu:

a. Menciptakan desain endek yang lebih beragam seperti menambahkan bordir-bordir pada kain endek, mengkombinasikan endek dengan kain lain, dan menambahkan lukisan pada kain endek.

b. Membuat endek yang lebih atraktif dari segi warna, karena selama ini warna-warna kain endek terkesan monoton. Jadi dengan membuat warna-warna endek lebih atraktif dan sesuai selera pasar dapat meningkatkan daya saing endek. c. Menciptakan motif-motif endek yang

lebih dinamis tanpa menghilangkan unsur budaya yang ada, seperti mengunakan motif alam Bali atau motif penari Bali, dan ciri khas lainnya yang menunjukkan unsur budaya Bali dengan menggunakan desain bordir ataupun lukisan pada endek.

d. Menjadikan endek Bali lebih nyaman digunakan dan tidak kaku seperti kain endek yang ada saat ini. Kain endek yang ada saat ini terkesan berat dan kaku, sehingga diperlukan pemilihan bahan-bahan pembuatan endek yang nyaman dan mudah dirawat.

2. Pemasaran Endek melalui Keunikan Budayanya

Di masyarakat internasional warisan budaya memiliki daya tarik tersendiri, apalagi di tengah kemajuan teknologi saat ini. Hal-hal yang mengandung nilai-nilai sejarah dan budaya yang kuat dan tradisional sangat dihargai oleh orang-orang di mancanegara, khususnya orang-orang-orang-orang Eropa dan Amerika. Untuk masuk ke pasaran internasional, endek tidak akan mampu menjuarai fashion dunia jika hanya menjual endek sebagai kain yang bagus. Oleh karena itu sangatlah penting agar para pelaku industri endek menjual endek sebagai kain yang bernilai sejarah dan budaya masyarakat Bali. Endek

yang akan dijual di pasar internasional bukan hanya sekedar kain, tapi sebagai kain yang dibuat dengan keunggulan budaya masyarakat Bali seperti Tri Hita Karana dan cerita-cerita daerah yang ada seputar kain endek, serta endek sebagai kain yang diproduksi secara tradisional dengan keuletan masyarakat Bali.

Sebaiknya endek tidak lagi dijual seperti menjual kain biasa. Penjualan melalui mulut ke mulut juga tidak akan membantu endek dalam merebut pasar domestik ataupun internasional. Diperlukan manajemen yang baik untuk memasarkan endek melalui media-media seperti internet ataupun melalui pameran-pameran yang berskala domestik ataupun internasional. Endek yang dipasarkan memang memiliki nilai budaya dan tradisional yang tinggi, tapi pemasaran yang dilakukan harus lebih modern dan mampu mengikuti perkembangan pasar.

3. Memasuki Pasar Dunia Melalui Perancang-Perancang Busana Ternama Pemasaran endek saat ini masih belum bersifat tradisional dan belum ada gebrakan yang berarti untuk menjadikan endek sebagai fashion dunia, bahkan di Indonesia pun endek masih belum mampu menyaingi kepopuleran kain batik. Oleh karena itu diperlukan bantuan dari perancang-perancang busana untuk memperkenalkan endek lebih luas. Perajin endek bekerja sama dengan para perancang busana untuk memperkenalkan endek melalui pentas-pentas peragaan busana baik di tingkat nasional maupun internasional.

Kain endek, menurut salah satu desainer ternama di Bali, Tjokorda Gede Abinanda S sebenarnya dapat dikembangkan menggunakan hasil-hasil pemikiran baru tanpa harus kehilangan ciri yang paling mendasar dari tekstil yang dipergunakan. Rancangan baru ini mendekatkan rancangan tradisional setempat dengan trend yang berkembang di dunia internasional. Kuncinya adalah mengembangkan motif-motif tradisional menjadi motif-motif yang berorientasi pada pasar global. Karena konsep berpakaian masyarakat saat ini lebih didasarkan pada model dan kenyamanan serta mematahkan kesan berat yang dipikul endek. Beberapa desainer telah menjadikan endek sebagai busana yang tampil trendi dan sangat casual. Banyak ragam hias Bali yang sangat menarik bisa digali dan ditanam pada sebuah kain. Melalui tangan desainer ternama bukan tidak mungkin dari kain endek diciptakan busana bergaya pakaian India dengan warna dan patter-nya atau bergaya romantik atau mongolia dengan sentuhan etnik.

(12)

4. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Endek

Peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan sangat diperlukan dalam mewujudkan tujuan endek menuju fashion dunia. Kemudahan perizinan untuk ekspor akan mendorong pelaku industri endek untuk mengekspor endek ke negara-negar yang potensial. Peraturan pemerintah di bidang perlindungan hak cipta juga diharapkan mendukung berjalannya industri kreatif berbasis budaya, khususnya endek. Banyaknya kasus penjiplakan dan pengakuan hak cipta sering sekali merugikan pemilik ide atau gagasan. Hal ini mungkin saja terjadi suatu saat nanti pada desain-desain endek yang telah diperkenalkan ke masyarakat, apabila pengurusan perlindungan hak kekayaan intelektual masih berbelit dan membutuhkan waktu lama serta biaya yang banyak.

Selain itu pemerintah dalam meningkatkan daya saing endek dapat memberikan pelatihan-pelatihan kepada perajin untuk menciptakan desain atau motif endek. Salah satu pelatihan yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan daya saing tenun dan bordir khas Bali,adalah menggelar pendidikan dan pelatihan (diklat) bagi 15 orang perajin kecil di Kota Denpasar. Selain untuk mengajarkan teknik desain endek, pelatihan yang diadakan Deperindag Kota Denpasar juga bertujuan untuk menumbuh kembangkan usaha kecil di pedesaan sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga.

Pemerintah Kota Denpasar juga melalui Dekranasda Kota Denpasar, mendorong para perajin binaannya untuk mengembangkan desain yang sudah ada melalui pelatihan dengan binaan dan arahan langsung dari desainer kondang Samuel Watimena yang memberi sentuhan modern tanpa menghilangkan karakter dan roh dari kain endek itu sendiri. Dari upaya tersebut lahirlah kain endek Denpasar yaitu perpaduan desain tradisional dengan estetika tumpal bordir modern yang dinamis dalam bentuk yang menjadi ciri khas kain endek Denpasar. Pelatihan-pelatihan seperti di atas wajib menjadi agenda pemerintah daerah untuk memajukan endek sebagai industri yang berangkat dari budaya lokal menuju pasar internasional.

Upaya lain yang telah dilakukan oleh pemerintah dan sebaiknya dipertahankan bahkan diperluas ke segmen lainnya, adalah dengan mewajibkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Bali untuk menggunakan endek sebagai

seragam. Upaya ini sangat membantu pemasaran endek, dan upaya ini dapat diperluas tidak hanya PNS tapi juga pegawai BUMN dan pegawai swasta, ini dapat dilakukan melalui imbauan pemerintah daerah. Dengan membiasakan endek di kalangan pegawai, bukan tidak mungkin endek akan lebih cepat masuk ke masyarakat domestik lainnya.69

Keempat usaha tersebut masih merupakan langkah umum untuk meningkatkan kualitas produk dan pemasaran kain tenun endek. Saat ini sebagian besari produksi kain endek masih mengandalkan pasar lokal dengan motif yang masih belum bervariatif. Langkah kedepan adalah melakukan inovasi pemasaran dengan menyasar pasar nasional dan internasional. Hal ini adalah langkah penciptaan pasar yang memungkinkan kain tenun endek diapresisiasi oleh masyarakat nasional dan internasional. Dengan demikian berarti juga membuka peluang untuk pengerajin kain tenun endek untuk meningkatkan kesejahteraannya.

69 Disarikan dari http://diahiswari.blogspot.com/2009/05/endek-bali-sebagai-produk-berbasis.html (Diakses 28 Juni 2014)

(13)

Model Inovasi Pemasaran dan Penciptaan Pasar Kain Tenun Endek

Penjelasan Model

Keempat komponen dalam model ini saling mempengaruhi dan berada dalam kesatuan yang saling mendukung di dalamnya.

Tujuan utama dari skema ini adalah untuk menciptakan inovasi pemasaran dan penciptaan pasar bagi pengembangan usaha kain tenun

endek khususnya di Kabupaten Klungkung Bali. Bagan pertama yang menjadi dasar dalam inovasi pemasaran adalah kreatifitas dari para pengerajin untuk secara terus-menerus memperbaharui kreasi dan motif dari endek agar selalu muncul sesuatu yang baru. Kreatifitas akan tercipta jika kapasitas pengelolaan manajemen usaha di kalangan pengerajin juga berlangsung dengan baik. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan. Sasaran selanjutnya dari penciptaan motif dan kreasi baru ini adalah bekerjasama dengan para perancang busana lokal Bali maupun nasional Indonesia untuk

mengenalkan hasil-hasil produk baru dari para pengerajin endek. Salah satu desainer yang sangat terkenal di Bali dalam mempromosikan endek dan pengerajinnya adalah Tjok Abi (Tjokorda Gede Abinanda). Hal ini juga secara tidak langsung akan membuka jaringan pemasaran yang belum ditremukan. Ini juga adalah salah satu bentuk inovasi pemasaran.

Kerajinan endek dengan keunikan budayanya dan menjadi ciri khas dari budaya Bali berpeluang melebihi pasar lokal. Gerakan untuk mencanangkan endek menembus pasar global, dalam artian

Penciptaan motif dan

kreasi baru dari kain

endek (Kapasitas

manajemen usaha)

Menciptakan jalur

pemasaran melalui

perancang busana

terkenal di daerah

maupun nasional

Memaksimalkan

peran pemerintah

dalam promosi dan

jalur pemasaran

Inovasi Pemasaran

dan Penciptaan

Pasar Kain Tenun

Endek

Sinergi dengan

pihak swasta untuk

menciptakan

jalur-jalur pemasaran

(baru) alternatif

(14)

merebut pasar domestik ataupun internasional. Oleh karena itulah diperlukan manajemen yang baik untuk memasarkan endek melalui media-media seperti internet ataupun melalui pameran-pameran yang berskala domestik ataupun internasional. Endek yang dipasarkan memang memiliki nilai budaya dan tradisional yang tinggi, tapi pemasaran yang dilakukan harus lebih modern dan mampu mengikuti perkembangan pasar. Pada poin inilah peran dari pemerintah dan swasta sangatlah penting untuk menyokong pemasaran global dari endek. Hal ini juga akan berdampak kepada kesejahteraan para pengerajin endek sendiri.

Peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan sangat diperlukan dalam mewujudkan tujuan endek menuju fashion dunia. Kemudahan perizinan untuk ekspor akan mendorong pelaku industri endek untuk mengekspor endek ke negara-negar yang potensial. Selain itu pemerintah dalam meningkatkan daya saing endek dapat memberikan pelatihan-pelatihan kepada perajin untuk menciptakan desain atau motif endek. Pelatihan-pelatihan seperti di atas wajib menjadi agenda pemerintah daerah untuk memajukan endek sebagai industri yang berangkat dari budaya lokal menuju pasar internasional.

5. Kesimpulan

Usaha inovasi dan penciptaan pasar kain tenun cepuk berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan para pengerajin kain tenun endek secara umum. Selama ini kain tenun endek masih sebagian besar mengandalkan pasar lokal dengan motif-motif yang perlu terus-menerus dikembangkan agar beragam. Kuantitas dan kualitas produksi kain tenun endek juga harus terus-menerus diperhatikan dengan serangkaian pelatihan, pembinaan dan pendampingan kepada para pengerajin agar selalu berinovasi dan mempunyai komitmen untuk terus-menerus mengembangkan usahanya. Beberapa hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian adalah:

1. Kain tenun endek sebagai warisan budaya leluhur adalah potensi yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi ciri khas dan identitas budaya Bali dalam hal kerajinan tenun ikat. Potensi yang besar ini memungkinkan

untuk pengembangan dalam konteks industri budaya yang menggunakan kain tenun endek sebagai ikon promosinya. Bagi para pengerajin hal ini adalah peluang untuk menambah pasar dan permintaan, sehingga berdampak langsung bagi kesejahteraan para pengerajin. 2. Para pengerajin menjadi tulang

punggung dari usaha peningkatan jumlah dan kualitas produksi kain tenun endek. Oleh sebab itulah perhatian dan pemberdayaan para pengerajin menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan. Pelibatan secara aktif berbagai pihak seperti pemerintah dan swasta dalam mengembangkan potensi usaha para pengerajin mutlak diperlukan.

3. Namun dari hasil penelitian awal ditemukan bahwa para pengerajin berlapis-lapis dan terklasifikasi menjadi beberapa tingkatan. Pengerajin yang paling rendah adalah mereka yang tidak memiliki alat produksi (mesin ATBM, benang, dll) dan hanya bekerja untuk menenun dan kemudian mendapatkan upah dari hasil pekerjaannya itu. Pengerajin kedua adalah pengepul pertama yang memiliki alat produksi dan membawahi beberapa pengerajin untuk melaksanakan produksi kain tenun endek. Model pengerajin sebagai pengepul pertama ini biasanya perajin tradisional dan telah mempunyai pengalaman dalam pemasaran di tingkat lokal. Pengerajin ketiga adalah pengepul kedua yang mengambil kain tenun endek dari pengepul pertama (pengerajin kedua) dan mempunyai jaringan distribusi/pemasaran yang lebih luas darinya. Dari ketiga struktur pengerajin tersebut, pengerajin pertama yang tidak memiliki alat produksilah yang selalu berada paling bawa dan tereksploitasi dari jaringan produksi kain endek ini. Pengerajin pertama inilah

(15)

yang selalu dituntut untuk meningkatkan produksinya dalam memenuhi kebutuhan konsumen/pasar yang menurut pengerajin kedua dan ketiga selalu ada permintaan produk. 4. Proses pemasaran adalah

pekerjaan yang dilakukan oleh pengepul pertama dan pengepul kedua dengan berbagai segmentasi pasarnya masing-masing. Pengerajin pertama hanya mengetahui bahwa mereka akan mendapatkan upah setelah selesai menenun kain endek. Dengan peta posisi seperti itu, pengerajin berada di posisi yang terlemah dan hanya menjadi obyek dari rantai produksi kain tenun endek. 5. Inovasi dan penciptaan pasar

dengan demikian menjadi hal yang harus diperhatikan oleh pengepul pertama dan pengepul kedua. Justru pada langkah inilah proses keuntungan berlipat-lipat terjadi yang hanya melibatkan pengepul pertama, pengepul kedua dan seterusnya. Sementara pengerajin hanya

bertahan dengan upah hasil mereka menenun saja. Dengan posisi seperti ini, para pengerajin tidak akan mempunyai peluang untuk mengembangkan usahanya lebih jauh. Mereka hanya tetap akan bertahan sebagai pengerajin dan menjadikan pekerjaan menenun sebagai sampingan saja, tidak sebagai sumber penghasilan utama.

6. Inti pemberdayaan adalah pada pengerajin yang sepenuhnya menggantungkan hidupnya kepada kerajinan kain tenun endek. Persoalan pertama adalah bagaimana merubah pola pikir para pengerajin untuk menjadikan menenun sebagai pekerjaan utama bukannya sampingan. Pada titik inilah usaha-usaha pemberdayaan perlu dilakukan untuk meyakinkan pengerajin agar mampu meningkatkan produksi kain tenunnya dan menggantungkan hidupnya dengan menenun.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Ayyagari, M. 2006. Micro and small enterprises: unexplored pathways to growth. USAID working paper. The Iris Center, University of Maryland

Failyani, Farida Hydro dkk, 2009. Pemberdayaan Perempuan Perdesaan dalam Pembangunan (Studi Kasus Perempuan di Desa Samboja Kuala, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara), Jurnal Wacana Vol. 12 No. 3 Juli 2009.

Hariyati, Ratih, 2011. Penerapan Model Strategi Pemasaran Usaha Kecil Berbasis Web 2.0 sebagai Upaya dalam Meningkatkan Daya Saing Industri Kecil, Jurnal UPI, Tahun 11 No. 11 2011.

Hauser-Schäablin, 1990. Brigitta, Marie-Lousie Nabholz-Kartaschoff, dan Urs Ramseyer, Textiles in Bali, Singapore: Periplus Editions, 1990

Johannessen, J.A., B. Olsen, and G.T. Lumpkin. 2001. Innovation as newness: What is new, how new, and new to whom?.

European Journal of Innovation

Management 4: 20-31

Kotler, & Amstrong. 2000. Prinsip-Prinsip

Pemasaran, Jakarta: Erlangga

Kuncoro, Mudrajad. 2000. “Usaha Kecil di Indonesia: Profil, Masalah dan Strategi Pemberdayaan” Makalah yang disajikan dalam Studium Generale dengan topik “Strategi Pemberdayaan Usaha Kecil di

Indonesia”, di STIE Kerja Sama,

Yogyakarta, 18 Nopember 2000. Laksono, P.M, 2009. “Peta Jalan Antropologi

Indonesia Abad Kedua Puluh Satu: Memahami Invisibilitas (Budaya) di

Era Globalisasi Kapital”. Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Munizu, Musran, 2010. Pengaruh Faktor-Faktor Eksternal dan Internal Terhadap Kinerja Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Sulawesi Selatan dalam Jurnal

Manajemen dan Kewirausahaan Vol.

12 No. 1, Maret 2010 hlm. 33-41 Pelham, A.M., 2000. Marketing orientation and

other potential influences on performance in small and

medium-sized manufacturing firms. Journal of

Small Business Management. 38:

48-67.

Rangkuti, F. 2001. Analisis SWOT teknik

membedah kasus bisnis. Jakarta.

Gramedia Pustaka Utama.

Saefullah, Asep Ahmad. 2007. “Kebijakan Pemerintah dalam Pembinaan Pengusaha Kecil dan Menengah: Studi Kasus di Provinsi Bali dan Sulawesi Utara” Makalah ini merupakan ringkasan dari laporan penelitian tentang “Pengembangan UKM di Indonesia” yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI tahun 2007.

Soetomo, Sugiono, 2003. Riset Aksi Partisipatif sebagai Pemberdayaan dalam Pengembangan Pendidikan Perencanaan, Jurnal Tata Kelola, Jurusan Planonlogi Universitas Diponogoro Semarang Vol. 5 No. 2 Agustus 2003.

Tambunan, Tulus, 1994. Mengukur Besarnya Peranan Industri Kecil dan Rumah Tangga di dalam Perekonomian Regional: Beberapa Indikator, Jurnal

Agro Ekonomika No. 1 Thn. XXIV,

Yayasan Agro Ekonomika, Yogyakarta.

Telagawathi, Ni Luh W. Sayang, 2011. Model Pemberdayaan Kain Tenun Cepuk di

Nusa Penida, Klungkung Bali,

Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bahwa nilai t sebesar 1,341 atau p=0,185 (p>0,05), yang berarti tidak ada perbedaan tingkat kecemburuan antara laki – laki dan

Metode analisis data terdiri atas 3 tahap, yaitu analisis pola spasial longsor, penggunaan lahan, dan lereng; analisis pola spasial bentuklahan, jejaring jalan, sungai;

:ila !etastasis karsinoma mamma telah sampai kekelenjar getah bening subkla)ikula, ini berarti bah%a metastasis tinggal +3- cm dari grand central  lim'atik terminus

PENGELOLAAN PKBM DALAM PEMBELAJARAN LIFE SKILL PEMBUATAN SABUN SUSU UNTUK MEMOTIVASI BELAJAR LANJUT PADA PESERTA DIDIK DI PKBM BINA MANDIRI CIPAGERAN.. Universitas

Manajemen komunikasi adalah proses penggunaan berbagai sumber daya komunikasi secara terpadu melalui proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan ridho-Nya, dan sholawat serta salam kepada

User operator adalah user yang bertugas untuk melakukan pengaturan dalam rangka memberikan layanan FlexiMILIS kepada pelanggan. Termasuk dalam tugas ini adalah membuat

Dengan demikian diharapkan desain yang dibuat tidak terlalu jauh dari Greenship® dalam bentuk rating system yang akan digunakan oleh GBCI untuk proses sertifikasi.. GBCI