• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFLEKSI PENDIDIKAN NASIONAL: Sebuah Upaya Memaknai Kembali Hakikat Pendidikan. Nanang Martono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REFLEKSI PENDIDIKAN NASIONAL: Sebuah Upaya Memaknai Kembali Hakikat Pendidikan. Nanang Martono"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1

REFLEKSI PENDIDIKAN NASIONAL:

Sebuah Upaya Memaknai Kembali Hakikat Pendidikan

Nanang Martono

(

disampaikan dalam kegiatan Pengenalan dan Keakraban Kampus -PKK

Mahasiswa Baru FISIP Unsoed, Purwokerto, 25 Agustus 2010

)

PENDAHULUAN

PENDIDIKAN adalah aset penting dalam proses kemajuan suatu bangsa dan

peradaban. Sistem pendidikan yang salah dapat berakibat fatal bagi kelangsungan

hidup sebuah bangsa. Memang, pendidikan adalah aset penting, hal ini lebih

disebabkan di tangan institusi pendidikanlah terdapat gambaran masa depan,

gambaran nasib suatu bangsa, dan melalui pendidikanlah akan tercermin kualitas

suatu bangsa. Pendidikan adalah cermin segalanya.

Namun, pendidikan nasional belumlah mampu menjadi cermin kemajuan

bangsa ini. Apa yang dihasilkan lembaga pendidikan di Indonesia belum mampu

menjadi indikator kemajuan bangsa ini. Mengapa? Ada banyak alasan yang

mendasari argumentasi ini. Tulisan ini berupaya untuk membongkar carut marut

praktik pendidikan nasional terutama praktik pendidikan formal.

PEMBAHASAN

Mencari Akar Masalah

Pendidikan Indonesia saat ini berada pada masa kritis. Berbagai kebijakan

dibuat untuk menyembuhkan pendidikan nasional dari kondisi kritis ini, namun

hasilnya justru menambah parah kondisi pendidikan nasional. Mengapa obat

mujarab dalam berbagai kebijakan tidak mampu mengobati sistem pendidikan

nasional?

Pada dasarnya ada beberapa faktor yang menjadi penyakit akut praktik

pendidikan nasional. Faktor tersebut di antaranya adalah: pendidikan nasional

sangat mengedepankan aspek hasil daripada proses pendidikan itu sendiri.

Akibatnya seluruh komponen pendidikan terutama guru dan murid dipaksa untuk

menyelesaikan serangkaian “tugas” dalam tempo yang tidak masuk akal. Guru

misalnya, dipaksa untuk menyampaikan semua materi dalam kurikulum yang

▸ Baca selengkapnya: tidak semua siswa yang pandai lulus ujian nasional

(2)

2

sangat padat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Murid, di sisi lain juga

diharuskan untuk menguasai semua materi yang akan dinilai dengan angka-angka

tertentu. Pemerintah tidak pernah mengontrol darimana nilai-nilai itu diperoleh.

Pendidikan hanya dijadikan simbol status bagi sebagian besar (baca: semua)

orang. Dalam hal ini pendidikan sudah keluar dari hakikat dasarnya. Pendidikan

diidentikkan dengan serangkaian ijasah dan gelar yang nantinya dapat dijual untuk

mencari pekerjaan, tidak peduli apakah gelar yang disandangnya sesuai deng an

ilmu yang dikuasainya atau tidak. Seolah-olah dengan gelar yang disandangnya,

seseorang akan mampu meraih segalanya. Fenomena inilah yang mendorong

sebagian besar orang untuk berlomba meraih pendidikan setinggi mungkin, bahkan

dengan berbagai cara. Misalnya adalah dengan menempuh jalur pendidikan instant,

membeli ijasah, munculnya fenomena plagiarisme, dan sebagainya.

Formaliasi pendidikan. Pendidikan formal dianggap menjadi senjata ampuh

untuk dapat mencapai kesuksesan di dunia. Tesis Illich (2000) mengenai formalisasi

pendidikan ternyata sudah menjadi praktik yang sudah lama berkembang di

Indonesia. Sekolah formal menjadi sekolah yang menjadi rebutan. Pemerintah pun

turut memperparah kondisi dengan kebijakannya yang justru mengesampingkan

peran jalur pendidikan nonformal, pendidikan formal hanya dijadikan sebagai

pelengkap pendidikan formal. Hal ini dapat ditunjukkan dalam kebijakan Ujian

Nasional (UN), siswa yang tidak lulus dalam UN diberi kesempatan mengikuti ujian

ulanga, namun apabila tetap tidak lulus, maka disarankan untuk mengikuti proses

belajar di Kegiatan Belajar paket B atau C. Jelas di sini pendidikan nonformal (Kejar

paket) hanya dijadikan “

second school

”.

Formalisasi sekolah ini menyebabkan setiap individu berlomba-lomba dapat

mengenyam pendidikam formal dengan iming-iming kesuksesan. Pemerintah pun

turut memperparah kondisi ini dengan menerapkan serangkaian tipe sekolah

formal. Tipe sekolah tersebut seperti sekolah negeri vs swasta, status

terdaftar-diakui-disamakan (untuk sekolah swasta), sistem akreditasi, dan yang terakhir

digulirkan adalah tipe sekolah berstandar nasional dan internasional.

Adanya gejala “

paper syndrome

”. Segala bentuk keberhasilan individu hanya

cukup (dan harus) ditunjukkan melalui selembar dokumen atau ijasah. Seseorang

dianggap bisa mengoperasikan komputer apabila ia memiliki sertifikat kursus

(3)

3

komputer, demikian juga untuk kemampuan yang lain seperti kemampuan Bahasa

Inggris, menyetir,

service

motor, mengajar dan sebagainya.

Pemerintah juga sering menyusun kebijakan yang tidak substansial.

Pendidikan nasional memang tidak henti-hentinya menuai berbagai permasalahan.

Di usianya yang semakin senja, bangsa kita seolah-olah tidak pernah belajar dari

pengalaman. Pendidikan nasional tidak ubahnya dijadikan sebuah obyek percobaan

atas sebuah kebijakan. Tidaklah mengherankan, di negara kita, ganti menteri sama

dengan ganti kebijakan. Ketika pemerintah melakukan perubahan kebijakan, tentu

saja, masyarakatlah yang menjadi korban. Siswa dan orang tua selalu menjadi

korban “keganasan” sebuah kebijakan yang tidak pernah tepat untuk

diimplementasikan. Masih ingat dalam ingatan, pada sekitar tahun 1996,

pemerintah mengganti nama SMA menjadi SMU. Konsep SMU ini digunakan sebagai

pembanding dengan SMK. Istilah SMEA, SMKK dan STM pun disamakan menjadi

SMK. Namun, apa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, ternyata istilah SMU

dikembalikan menjadi SMA (kemajuan atau kemunduran?). Apa arti dan manfaat

perubahan SMA menjadi SMU yang kemudian kembali menjadi SMA? Apakah

dengan mengganti SMA dengan SMU, kualitas pendidikan semakin baik? Ternyata

tidak juga.

Mengganti nama ternyata tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan

nasional. Pemerintah pun tidak kehilangan akal, pemerintah akhirnya memakai

strategi lain, mengubah kurikulum. Akibatnya, setiap era pemerintahan, hampir

selalu menawarkan sebuah kurikulum yang dianggap sebagai obat dalam mengatasi

masalah pendidikan nasional. Seolah-olah, setiap orang yang menjabat sebagai

menteri pendidikan ingin mendapat gelar pahlawan pendidikan. Kebijakan

kurikulum tersebut juga terkesan coba-coba, bila ternyata tidak sesuai, tahun depan

dapat diganti lagi dengan kurikulum yang baru. Masyarakat lagi-lagi dibuat pusing.

Mengganti kurikulum, tidaklah semudah membalik telapak tangan, di dalamnya ada

banyak sekali konsekuensi.

Perubahan kurikulum mengakibatkan guru harus menyesuaikan dengan

paradigma pendidikan baru yang diimplementasikan. Perlu pelatihan bagi guru agar

mereka dapat beradaptasi dengan kurikulum yang baru. Selain itu, pergantian

kurikulum menyebabkan pergantian buku-buku pelajaran. Akibatnya, si adik kelas

tidak dapat memanfaatkan buku milik kakak kelasnya karena isinya berbeda,

(4)

4

meskipun isinya pada intinya sama. Sampul atau cover cukup ditambah kalimat

“sesuai Kurikulum Berbasis Kompetensi”, maka harga buku sudah naik, dan

terpaksa siswa harus membeli buku yang baru.

Kurikulum berlabel KBK belum lama diberlakukan. Banyak guru yang belum

memahami dengan baik makna dan bagaimana praktik KBK, namun pemerintah

kembali meluncurkan kurikulum baru, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan). KBK belum lama diimplementasikan, langsung diganti dengan

kurikulum yang baru. Sekali lagi, guru dan siswa hanya diposisikan sebagai kelinci

percobaan. Percobaan demi percobaan dilakukan untuk merebut gelar pahlawan

pendidikan.

Pendidikan Nasional dalam Tekanan

Beribu masalah yang melanda dunia pendidikan nasional, juga tidak lepas

dari berbagai kekuatan yang melanda negara kita. Pertama, tekanan untuk

menerima gelombang globalisasi. Kedua, tekanan kondisi sosial ekonomi

masyarakat yang belum mapan. Masyarakat tidak siap menerima berbagai

perubahan kebijakan pendidikan. Ketiga, budaya KKN yang sulit dihapus (Martono,

2010).

Ketiga faktor ini turut memperparah masalah pendidikan nasional. Tekanan

modernisasi dan globalisasi memaksa pemerintah untuk menyiapkan SDM yang

berdaya saing di tingkat internasional. Segala kebijakan pun diarahkan untuk tujuan

ini, maka dibentuklah tipe sekolah semacam SBI, bilingual atau kelas internasional.

Pendirian beberapa tipe sekolah ini ternyata memunculkan ketimpangan sosial,

menciptakan ketidakmerataan akses pendidikan.

Banyaknya masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan adalah

pekerjaan rumah yang sangat sulit untuk diatasi. Pendidikan dan kondisi ekonomi

adalah dua faktor yang memiliki kedudukan yang sejajar. Dua faktor tersebut saling

mempengaruhi. Untuk itu, kedua komponen tersebut harus diperhatikan secara

bersamaan tanpa mempertimbangkan mana yang harus didahulukan, mana yang

dinomorduakan. Pendidikan adalah kunci perubahan sekaligus kunci peradaban.

Tanpa pendidikan, kemajuan peradaban suatu bangsa sulit untuk diraih.

Mentalitas korup juga turut memperparah implementasi kebijakan di bidang

pendidikan. Berbagai kebijakan sering kali mentah, tidak menghasilkan manfaat

apapun, bahkan justru merugikan berbagai pihak terutama masyarakat kelas

(5)

5

menengah ke bawah. Kebijakan sekolah gratis misalnya, tidak diimplementasikan

dengan benar oleh beberapa lembaga pendidikan. Meskipun pemerintah

menggratiskan sekolah negeri, namun kenyataan di lapangan sering kali jauh dari

harapan. Sekolah negeri yang seharusnya gratis, ternyata masih memberlakukan

berbagai pungutan liar dengan berbagai alasan. Masalah ini kadang kala masih

diperparah dengan mekanisme penerimaan peserta didik baru yang tidak sesuai

dengan aturan, misalnya dalam masalah transparansi. Banyak sekolah yang tidak

transparan dalam mengumumkan hasil seleksi penerimaan peserta didik baru,

misalnya melalui amplop atau surat. Mekanisme ini sangat membuka peluang

terjadinya kecurangan atau bahkan KKN –Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Masyarakat turut berperan dalam menciptakan kondisi kecurangan ini.

Masyarakat lebih mengejar status daripada substansi pendidikan itu sendiri. Para

orang tua akan lebih bangga bila anaknya mampu bersekolah di sekolah favorit,

sehingga mereka rela bila harus mengusahakan anaknya untuk masuk meskipun

melalui “jalur belakang”. Parahnya, trik ini juga dimanfaatkan oleh oknum kepala

sekolah. Masyarkat terlena dengan berbagai simbol status, ijasah maupun

gelar-gelar akademik lainnya.

Praktik-praktik semacam ini juga merugikan guru sebagai pelaksana teknis

dalam proses pembelajaran di sekolah. Guru (dan bahkan dosen) dipaksa untuk

mengajar peserta didik yang kemampuanya di bawah rata-rata. Sementara ketika

sang siswa tidak mampu memperoleh hasil yang maksimal, aktor yang pertama kali

mendapat cemoohan adalah sang guru, misalnya dalam kasus Ujian Nasional.

Tekanan globalisasi juga memaksa bangsa ini untuk memasuki era pasar

bebas. Era pasar bebas memungkinkan bentuk-bentuk privatisasi. Privatisasi ini

mengindikasikan lepasnya campur tangan negara dalam mengatur berbagai fasilitas

publik, seperti pendidikan, kesehatan, sektor komunikasi, media massa, ekonomi

dan sebagainya. Peran negara dalam hal ini hanya sebatas memberikan regulasi atau

kebijakan, sedangkan implementasi diserahkan pada mekanisme pasar.

Catatan untuk Kebijakan

Sektor pendidikan berbeda dengan sektor yang lain. Pendidikan adalah aset,

modal pembangunan yang sangat besar. Ketika pendidikan diposisikan sebagai

modal, maka hasil proses pendidikan tidak dapat langsung dirasakan, perlu waktu

puluhan tahun untuk menuai hasil dari proses pendidikan ini.

(6)

6

Pemerintah dalam mengatasi masalah pendidikan, memiliki pekerjaan rumah

yang sangat sulit. Satu kelemahan yang dilakukan pemerintah selaku pembuat

kebijakan adalah tidak adanya kontrol serta sanksi yang jelas bagi pelanggar

kebijakan. Pemerintah selalu melempar tanggung jawab bila di lapangan ternyata

banyak terjadi pelanggaran. Pemerintah menurut penulis, sebenarnya memiliki

kekuatan untuk memotong garis birokrasi, artinya bila terjadi pelanggaran,

pemerintah pusat dapat langsung melakukan tindakan tanpa harus menunggu

laporan dari pemerintah daerah.

Ada satu hal yang harus diperhatikan dalam perumusan kebijakan, yaitu

aspek sosiologis masyarakat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat

plural baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, terkait dengan

masalah ekonomi, pelapisan sosial. Secara horizontal meliputi masalah kepentingan

pribadi dan kelompok, perbedaan kondisi sosial dan budaya. Kepentingan inilah

yang sering menyebabkan kebijakan di sektor pendidikan sulit diimplementasikan.

Kepentingan di sini juga termasuk kepentingan para elit politik. Banyak kelompok

tertentu yang memanfaatkan keuntungan melalui sektor pendidikan ini. Budaya,

terkait erat dengan masalah mentalitas sebagian besar masyarakat yang lebih

menyukai budaya instan. Masyarakat lebih mendahulukan tujuan daripada proses

mencapai tujuan tersebut. Akibatnya, banyak masyarakat yang lebih menyukai cara

instant, “yang penting dapat nilai baik, dapat ijasah dan lulus”. Mentalitas inilah

harus menjadi bahan pemikiran. Keberadaan mentalitas ini sebenarnya dilegitimasi

oleh kebijakan pemerintah sendiri. Kebijakan ini misalnya adalah mengenai ujian

nasional. Sistem ujian ini lebih banyak terpaku pada hasil bukan pada proses. Aspek

penilaian seharusnya lebih memperhatikan proses daripada hasilnya proses

pendidikan tersebut. Pendidikan adalah sebuah proses.

Itulah beberapa catatan yang harus mendapat perhatian dari para penentu

kebijakan. Satu hal yang tidak dapat dilupakan adalah harus ada

political will

dari

pembuat kebijakan. Janganlah sebuah kebijakan hanya dijadikan alat untuk meraih

kepentingan sekelompok orang saja.

PENUTUP

Ada beberapa faktor yang menghambat kemajuan praktik pendidikan

nasional yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal di antaranya

(7)

7

adalah keberhasilan pendidikan semata-mata dilihat dari hasil, bukan dari

proses individu memeroleh pendidikan itu sendiri; pendidikan semata-mata

diposisikan sebagai simbol status; formalisasi pendidikan; adanya gejala

paper syndrome; kebijakan yang tidak fokus pada substansi; serta mentalitas

korup aparat pemerintah. Selain itu, sistem pendidikan nasional juga berada

dalam tekanan arus globalisasi yang memaksa sistem pendidikan untuk

mampu menghasilkan individu yang mampu bersaing di tingkat

internasional.

Daftar Pustaka

Illich, Ivan. 2000. Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah. Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia (diterjemahkan dari Deschooling Society oleh Sony Keraf).

Martono, Nanang. 2010.

Pendidikan Bukan Tanpa Masalah. Gava Media,

Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Keuntungan (kerugian) dari perubahan nilai aset keuangan dalam kelompok tersedia untuk dijual. c Bagian efektif dari lindung nilai arus

[r]

Setelah Pemberian penjelasan selesai sesuai dengan waktu, maka kegiatan ini dituangkan dalam Berita Acara Penjelasan Pekerjaan (aanwijing), selanjutnya Berita Acara

Kecenderungan ini menuntut pada kebutuhan untuk melakukan integrasi terhadap sistem yang berorientasi fungsi agar dapat sejalan dengan proses bisnis.. Yayasan Pendidikan

[r]

Ibu Supriyati, S.E, M.Si., Ak., CA., CTA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, memberikan saran dan kritikan untuk memberikan semangat penulis dalam

Upaya yang dilakukan BMT Al-Amanah Kota Jambi dalam mengatasi kendala yang dihadapi dalam proses pemasaran untuk meningkatkan modal dan penyaluran pembiayaan adalah dengan cara

Produk sayuran pangsit sangat bermanfaat untuk masyarakat karena mengandung gizi sebagai asupan gizi tambahan dengan rasa yang enak dan mudah untuk diperoleh.. 2.3