• Tidak ada hasil yang ditemukan

CENDEKIAWAN BAHASA INDONESIA IKUT ANDIL DALAM MEMAJUKAN BAHASA INDONESIA BAGI PENYANDANG TUNARUNGU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CENDEKIAWAN BAHASA INDONESIA IKUT ANDIL DALAM MEMAJUKAN BAHASA INDONESIA BAGI PENYANDANG TUNARUNGU"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

CENDEKIAWAN BAHASA INDONESIA IKUT ANDIL DALAM MEMAJUKAN

BAHASA INDONESIA BAGI PENYANDANG TUNARUNGU

Winda Dewi Pusvita

Mahasiswa S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret

pusvita.winda@yahoo.com

Abstract

Children with special needs, especially deaf children it is certain to have a low verbal language skills. Low oral language abilities do not necessarily make the ability he wrote was low. So that deaf children can interact in harmony to mitratutur that ‘no disability’, hence the need for the need for habituation kaliamt correct usage in accordance with the sentence pattern in Indonesia. Duty to pay attention to them in terms of language skills, not only borne by the teacher or observer children with special needs . Instead, colleagues from the Indonesian Department of Education can take an important part in this, why is that? Because colleagues from the Indonesian Department of Education can analyze the linguistic and language skills in more depth. Surely the result of taking part, the special education teacher can help overcome some of the obstacles in learning.

Keywords: Deaf, written language, Indonesian Education

Abstrak

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) khususnya anak tunarungu sudah dapat dipastikan memiliki kemampuan bahasa lisan yang rendah. Kemampuan bahasa lisan yang rendah tidak lantas membuat kemampuan tulisnya pun rendah. Supaya anak tunarungu dapat berinteraksi secara harmonis kepada mitratutur yang ‘tidak berkebutuhan khusus’, maka perlu adanya pembiasaan penggunaan kalimat yang benar sesuai dengan pola kalimat di Indonesia. Tugas untuk memperhatikan mereka dari segi kemampuan berbahasa, tidak hanya ditanggung oleh guru atau pemerhati ABK. Justru, rekan-rekan dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dapat mengambil bagian penting dalam hal ini, mengapa demikian? Karena rekan-rekan dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dapat menganalisis linguistik dan memiliki kemampuan berbahasa secara lebih mendalam. Tentunya hasil dari ambil bagian tersebut, dapat membantu guru PLB mengatasi beberapa kendala dalam pembelajaran.

Kata Kunci: Tunarungu, bahasa tulis, Pendidikan Bahasa Indonesia

Pendahuluan

Dahulu anak yang termasuk dalam kategori normal dan anak-anak yang berkebutuhan khusus sangat dibedakan. Ada anggapan bahwa anak-anak yang berkebutuhan khusus adalah anak cacat yang menyebabkan kesialan keluarga. Kelahiran mereka adalah aib terbesar yang harus ditanggung oleh keluarga, kehidupan mereka tidak diharapkan, maka dari itu anak-anak berkebutuhan khusus banyak yang ditelantarkan atau bahkan dibunuh, tanpa memperhatikan kebutuhan mereka akan pendidikan.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pada saat ini, manusia dipandang sebagai makhluk bhineka (individualdifferences), kecacatan atau keunggulan adalah suatu bentuk kebhinekaan atau keragaman manusia (Ambar 2005:9). Semula anak-anak cacat atau yang berkebutuhan khusus sangat disepelekan, namun setelah beberapa periode ke depan, para peneliti mulai memahami bahwa mereka juga memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Bentuk dari kata kebhinekaan menunjukkan pengikisan perbedaan antara anak-anak normal dan anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus. Oleh karena itu, perlu mewujudkan suatu generasi yang menyamakan keduanya, terutama dari segi pendidikan.

Dinyatakan dalam deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan dipertegas oleh Deklarasi Dunia tentang pendidikan untuk semua (education for all). Setiap penyandang cacat

(2)

berhak menyatakan keinginannya sehubungan dengan pendidikannya, sejauh hal tersebut dapat dipahami (Parwoto 2007:10). Kekurangan yang ada pada mereka bukanlah suatu hambatan yang akan mematikan harapan dan cita-cita mereka.

Disebut anak-anak berkebutuhan khusus karena dalam ranah pendidikan, saat proses belajar mengajar berlangsung, mereka tidak dapat menerima pelajaran layaknya anak-anak normal. Mereka cenderung memiliki keterbatasan dalam menerima pelajaran. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu adanya Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB berbeda dengan sekolah pada umumnya. Tenaga pengajar di SLB, adalah tenaga pengajar khusus yang memang mengetahui seluk-beluk masalah yang dihadapi oleh peserta didik yang berkebutuhan khusus.

Pengertian ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) yaitu, mencakup anak-anak yang menyandang kecacatan tertentu (disable children) baik secara isik, mental, dan emosional (termasuk anak autis) maupun yang mempunyai kebutuhan khusus dalam pendidikannya (children with special educational needs) (Spriadi 2003; Ashman & Elkins, 1994, UU No 20 Th. 2003 tentang SISDIKNAS pasal 32 ayat 1 dalam Liando dan Aldjon Dapa 2007 ).

Peserta didik yang memiliki masalah pendengaran biasanya disebut tunarungu. Tunarungu tidak identik dengan tuli. Tuli adalah salah satu bentuk dari tunarungu (Ambar 2005:29). Menurut Moores (1982), ada beberapa tingkat masalah pendengaran atau tunarungu, yaitu 1) kehilangan pendengaran sangat ringan, 2) sedang, 3) berat, dan 4) sangat berat. Menurut standar ISO (InternationalStandardOrganization) taraf gangguan adalah sangat ringan (27-40 dB); ringan (41-55 dB); sedang (56-79 dB); berat (80-90 dB); dan ekstrem (91 dB ke atas). Kepekaan atau sensitivitas mendengar diukur oleh decible (dB) yaitu suatu unit ukuran berkaitan dengan tingkat kekerasan suara (Delphie, 2007:100).

Seorang anak yang tidak mampu mendengar suara keras pada tingkat di atas intensitas maka yang bersangkutan disebut sebagai tuli, sedangkan mereka yang mengalami kesulitan mendengar pada tingkat intensitas tertentu disebut sebagai agak tuli/ sulit mendengar (Delphie, 2007:100). Kata tuli jarang digunakan di dalam kehidupan bermasyarakat, umumnya mereka yang memang telah mengenyam pendidikan akan menyebut dengan sebutan tunarungu. Pembahasan

Tunarungu

Anak tunarungu tidak mengalami berbahasa karena mereka tidak mendengar sehingga bahasanya tidak berkembang dengan baik akibatnya mengalami masalah dalam berkomunikasi dalam Wasita (2012). Pada umumnya anak tunarungu mengalami perkembangan bahasa dua tahun di bawah penguasaan bahasa anak normal. Berikut ini pembagian perkembangan bahasa anak.

Hellen Keller (1880-1968) seorang yang terlahir tunanetra dan sekaligus tunarungu dalam Yuwati (2010). Mengatakan bahwa:

“Masalah ketunarunguan lebih mendalam dan kompleks, kalaupun mungkin lebih berat daripada kebutaan. Ketunarunguan merupakan musibah yang buruk, karena berarti kehilangan rangsangan yang paling vital; suara manusia yang membawa bahasa yang dapat menggugah pikiran dan menempatkan kita dalam jajaran manusia intelektual.”

Menurut Yuwati (2010 ) di dalam sajiannya pada sebuah pelatihan calon trainer dan calon mentor, ketunarunguan merupakan salah satu jenis kecacatan yang secara lahiriah tak tampak (invisible disability), karena kecacatannya terdapat dalam indra pendengaran sehingga sering dianggap sebagai kecacatan yang lebih ringan dibandingkan dengan kecacatan lain.

Secara etimologi, tunarungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”. Tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Jadi, orang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu

(3)

yang memiliki hambatan perkembangan indra pendengar. Libal (2010) menjelaskan seorang penyandang tunarungu atau kehilangan pendengaran mengalami bunyi dengan cara seperti itu. Ia mungkin dapat mendengar sesuatu, tetapi tidak cukup baik untuk dapat mengidenti ikasi “bunyi” apa itu.

Berdasarkan pengertian tunarungu dari para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tunarungu adalah ketidakmampuan seseorang dalam mendengar suara dari taraf yang paling ringan hingga taraf yang paling berat karena terjadi gangguan pendengaran. Gangguan pendengaran tersebut bisa jadi sejak lahir (alamiah) maupun gangguan setelah lahir (kecelakaan atau sakit).

Tingkatan Tunarungu

Boothroyd dalam Bunawan (2000) memberikan istilah berdasarkan seberapa jauh seseorang dapat memanfaatkan (sisa) pendengarannya sebagai berikut.

1) Kurang dengar (hard of hearing) adalah mereka yang mengalami gangguan dengar, namun masih dapat menggunakannya sebagai sarana atau modalitas utama untuk menyimak suara cakapan seseorang dan mengembangkan kemampuan bicaranya.

2) Tuli (deaf), adalah mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat digunakan sebagai sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih dapat difungsikan sebagai suplemen (bantuan) pada penglihatan dan perabaan.

3) Tuli total (totally deaf) adalah mereka yang sudah sama sekali tidak memiliki pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimak.

Hernawati (2009) mengklasi ikasikan anak tunarungu dalam beberapa kelompok, seperti berikut.

1) 0 dB: menunjukkan seseorang masih memiliki pendengaran optimal.

2) 0-26 dB: menunjukkan seseorang masih memiliki pendengaran yang normal.

3) 27-40 dB: menunjukkan seseorang kesulitan mendengar bunyi-bunyi jarak jauh, memerlukan terapi bicara, kelompok ini tergolong ke dalam kelompok tunarungu taraf sedang.

4) 41-55 dB: menunjukkan seseorang yang dapat mengerti bahasa percakapan. Namun tidak dapat mengikuti diskusi di dalam kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara, kelompok ini masih tergolong ke dalam kelompok tunarungu taraf sedang.

5) 50-70 dB: menunjukkan seseorang hanya bisa mendengar suara dari jarak dekat, masih memiliki sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu dengar serta dengan cara khusus, kelompok ini masih tergolong ke dalam kelompok tunarungu taraf agak berat.

6) 71-90 dB: menunjukkan seseorang hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, terkadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, dan membutuhkan alat bantu dengar serta latihan bicara secara khusus, kelompok ini masih tergolong ke dalam kelompok tunarungu taraf berat.

7) 91 dB ke atas: menunjukkan seseorang mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan getaran, namun banyak bergantung pada penglihatan dari pada pendengaran proses menerima informasi dan yang bersangkutan dianggap tuli, kelompok ini masih tergolong ke dalam kelompok tunarungu taraf berat sekali.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan mendengar (tunarungu) yang dialami oleh peserta didik tergolong ke dalam beberapa tingkatan mulai dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi atau dengan kata lain dari taraf paling ringan hingga taraf paling berat. Ukuran tingkatan tersebut dapat diketahui dari batas kemampuan peserta didik dalam menerima gelombang suara.

(4)

Penguasaan Bahasa Tulis Tunarungu

Sebuah contoh dari hasil observasi di SLB Negeri Kendal. F (Siswa 1 SMPLB di SLB Negeri Kendal)

a. Bsk hari minggu aku mau pergi boja main Kamu ikut gak apa...?

b. Teman aku mau pergi motor cepat-cepat R ( Siswa 2 di SMPLB Negeri Kendal)

a. Dia membuat sangat membahagia dan kelebihan senang dan seru banget...

b. Happy birthday for mama. Semoga jaga sendiri dengan baik dan diberi kesehatan, diberi kesayanganku kita keluargaku, aku sayang mama. Ini fotonya sudah lama dari dulu jaman banget.

Sekilas membaca rangkaian kalimat tersebut tentu membuat bingung, berkali-kali membaca kita akan mulai menerka, mungkin maksudnya demikian. Namun, tidak selamanya maksud itu sesuai dengan maksud mereka. Terlebih lagi orang awam yang tidak atau belum berkesempatan mengenyam pendidikan lebih, hanya sebatas bisa membaca dan berhitung. Mereka akan mengalami kesulitan untuk berinteraksi.

Sangat memungkinkan untuk menjadikan anak-anak tunarungu menguasai bahasa tulis dengan baik, yaitu dengan membiasakan pembelajaran sejak dini, sejak mereka masih berada di bangku Sekolah Dasar (SD),membiasakan mereka dengan berbahasa tulis sesuai dengan pola kalimat yang benar, sehingga mitratutur mereka berterima dengan maksud tuturan mereka. Peran Pendidik Bahasa Indonesia bagi Tunarungu

Sebagai pembelajar Bahasa Indonesia, tentu kita tidak boleh menutup mata dengan adanya mereka, dengan kelemahan kemampuan bahasa mereka. Kemampuan berbahasa lisan yang jelas tidak mereka miliki adalah peluang besar bagi kita untuk membuat mereka mampu berbahasa tulis. Kata “mampu” berarti kemampuan berinteraksi dengan lintas dari golongan mereka, siapapun yang diajak berkomunikasi dapat sama-sama memahami konteks pembicaraan.

Pengalaman penelitian saya terhadap siswa tunarungu taraf berat yang tergolong Penelitian Tindakan Kelas (PTK) peningkatan kosakata melalui deskripsi suatu objek, membuat saya dapat sedikit tersenyum. Mereka mampu mengurainya kembali dengan bantuan metode dan media yang waktu itu saya terapkan. Berharap ada kelanjutan dari hal tersebut, rekan-rekan peneliti maupun guru bersedia melakukan riset meningkatkan kemampuan bahasa tulis mereka, supaya minimal ada kesamaan antara kita dengan mereka, sama-sama dapat memahami bahasa tulis yang disampaikan.

Tidak harus dari jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang menjadi pemerhati mereka, rekan-rekan dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dapat mengambil bagian penting untuk hal ini. Rekan-rekan atau pendidik dari jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia cenderung menguasai kajian linguistik,dapat menelaah, menganalisis, dan memperbaiki kesalahan berbahasa. Ketika dapat menganalisis, sudah barang tentu dapat memberikan solusi yang membangun untuk kepentingan bersama.

Penutup

Sudah seharusnya kita membuka mata bahwa mereka ada banyak di sekitar kita, bahwa mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita melalui ide-ide kreatif dan temuan-temuan

(5)

yang inovatif. Ide dan temuan yang dapat membuat mereka menjadi lebih baik dari saat ini. Mengubah komunikasi tertulis yang semual hanya dapat dipahami oleh sesama mereka, dengan uluran tangan kalangan intelektual Pendidikan Bahasa Indonesia, bahasa tulis mereka akan dapat dipahami oleh semua kalangan. Apabila bukan kita, siapa lagi?masyarakat paham betul bahwa lulusan S1, S2, terlebih lagi S3, sudah mumpuni untuk ranah kebahasaan. Saatnya kita membuka mata, telinga, dan tangan lebar-lebar.

Daftar Pustaka

Arum, Wahyu Sri Ambar. 2005. Perspektif Pendidikan Luar Biasa dan Implikasinya bagi Penyiapan Tenaga Kependidikan. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Jakarta 2005.

Bunawan, Lani dan Cecilia Susila Yuwati. 2000. Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta: Yayasan Santi Rama.

Delphie, Bandi. 2007. Pembelajaran Untuk Anak Dengan Kebutuhan Khusus. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan 2007. Geniofam. 2010. Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus. Jogjakarta: Garailmu. Hernawati, Teti. 2009. Karakterisik dan Pendidikan Anak Tunarungu. Pengantar Pendidikan

Luar Biasa. Tidak diterbitkan.

Liando, Joppy dan Aldjon Dapa. 2007. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Perspektif Sistem Sosial. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.

Libal, Autumn. 2010. Samudra di dalam Diriku. KTSP. Tidak diterbitkan.

Parwoto. 2007. Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan 2007.

Wasita, Ahmad. 2012. Seluk-Beluk Tunarungu dan Tunawicara Serta Strategi pembelajarannya. Jogjakarta: Javalitera.

Yuwati, Maria Cecilia Susila. 2010. Identitas Tunarungu dan Budaya Tunarungu. Yogyakarta: disajikan dalam Pelatihan Calon Trainer dan Calon Mentor dalam rangka peningkatan kualitas dan kompetensi guru tunarungu. Tidak diterbitkan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

The Effect of Corporate Social Responsibility on Company’s Value with Common Effects Model (CEM), Fixed Effects Model (FEM) and Random Effects Model (REM) Approaches..

mengisyaratkan nilai-nilai aturan, tata krama antarkeluarga, hubungan sosial antarmasyarakat, saling menghargai dan menghormati bagi terciptanya kerukunan dan

[r]

4.Penyetoran penyertaan modal yang telah disetor sebelum dikeluarkan Surat Keputusan ini dan telah mencapai nilai nominal satu saham atau lebih, sahamny diserahkan paling

(hakim konstitusi) pada saat memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap

Sama halnya dengan persepsi siswa tentang layanan bimbingan kelompok, hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara

Pada bagian atas dapat terjadi kontraksi tetapi bagian tengah tidak, sehingga menyebabkan terjadinya lingkaran kekejangan yang mengakibatkan persalinan tidak