• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cuplikan dari Presentasi pada Rapat Umum Anggota PERSETIA, Batu-Malang, Juni KURIKULUM DAN AKREDITASI Tabel XII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Cuplikan dari Presentasi pada Rapat Umum Anggota PERSETIA, Batu-Malang, Juni KURIKULUM DAN AKREDITASI Tabel XII"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Cuplikan dari Presentasi pada Rapat Umum Anggota PERSETIA, Batu-Malang, Juni 2014.

KURIKULUM DAN AKREDITASI Tabel XII

Periode Kurikulum Akreditasi Catatan

1978-1982 RUA IV, 1978,

menugaskan Pengurus PERSETIA mempersiap-kan Kurikulum Minimal bagi sekolah-sekolah anggota. ATESEA mengadakan Consultation on Curriculum Construction, 1982. Program ditunda ke periode berikutnya. SK MENDIKBUD no. 0124/U/1979: jenjang program Pendidikan Tinggi dan Program Akta Mengajar 1982-1986 Penataran-lokakarya proses belajar-mengajar (PBM) di: UKAW, 1984, 17 dosen UKIM, 1984, 28 dosen UKSW, 1985, 23 dosen STT HKBP, 1986 Para dosen berkenalan antara lain dengan sistem kredit semester (SKS) Kurikulum Standar Minimal (KSM) dihasilkan dalam konsultasi di UKI Tomohon, 1983, diikuti oleh 14 sekolah anggota. KSM akan ditindaklanjuti SK MENDIKBUD no. 0174/0/1983: Penataan Jurusan Fakultas/Institut Negeri. SK MENDIKBUD no. 0336/0/1984: Perubahan Penataan Jurusan pada Fakultas Perguruan Tinggi Negeri

Dua SK ini menyebabkan hilangnya ilmu teologi dari daftar ilmu di Indonesia. Pada saat itu memang belum ada aturan mengenai Sekolah Tinggi dan Akademi. Sempat ditawarkan agar

(2)

dengan Lokakarya Kurikulum.1

menjadi studi non-gelar saja.2

1986-1990 PenLok PMB

dilaksanakan di Makassar, 1990

Salah satu butir pertimbangan dalam penyusunan dan pemberlakuan KSM adalah pertimbangan akreditasi yang berlaku.3

Pengurus menuliskan penjelasan mengenai KSM (Laporan Pertanggungjawaban 1986-1990): Kurikulum Standard Minimal PERSETIA – Latarbelakang pergumuluan dan pembinaan 1990-1994 Konsultasi Kurikulum, 1994, bertugas menyusun KSM. PenLok PBM di UKI Tomohon, 1990 di STT Jakarta, 1991 di STT HKBP, 1991 Dalam (Laporan Pertanggungjawaban 1990-1994): Pedoman Penerimaan

Anggota PERSETIA, salah

satu persyaratan penting adalah Akreditasi ’... Diakreditasi untuk memenuhi persyaratan program-program akademis dalam hubungan dengan

1 Lokakarya untuk menyusun silabus belum berhasil dilaksanakan. Dan ada keberatan atas adanya penyeragaman

silabus.

2 KSM teologi yang disusun menjadi sangat penting untuk menegaskan status keilmuan teologi di Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah no. 27 tahun 1981, Bab III, pasal 5 (1) a dan b, disebutkan adanya Golongan Fakultas Ilmu Agama/Kerohanian dan Golongan Fakultas Ilmu Kebudayaan (termasuk di dalamnya Fakultas Filsafat).

Surat-surat yang dikirimkan sekolah-sekolah anggota cenderung menempatkan teologi di dalam golongan yang pertama, karena menganggap golongan Ilmu Kebudayaan tidak tepat untuk teologi.

Perlu dicatat bahwa perkembangan diskusi ini hanya melibatkan sekolah-sekolah di lingkungan DIKTI, karena itu tidak ada urusan dengan kepentingan DBK DEPAG, yang kemudian hari merasa berhak mengklaim ’golongan’ (yang dalam UU

12/th 2012 disebut rumpun) Ilmu Keagamaan.

Sikap PERSETIA (Laporan Pertanggungjawaban 1982-1986): ’... berpendapat dan untuk itu mengharapkan agar bidang pendidikan Theologia dikelola secara profesional sesuai UU yang berlaku’.

Karena itu sewajarnya Pendidikan Teologi dipayungi oleh DIKBUD dengan pertimbangan bahwa bidang studi ini perlu berinteraksi dan saling memupuk kerjasama yang saling menunjang dengan disiplin itu hanya dalam rangka mengembangkan pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya’.

3 (Laporan Pertanggungjawaban 1986-1990): ‘… Kiblat Pengakuan pada DEPDIKBUD. Berdasarkan sikap yang

diambil… , maka akreditasi dari seluruh program gelarnya diarahkan kepada pemenuhan ketentuan-ketentuan yang berlaku di DIKBUD. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sebagai aparatur pemerintah yang memang ditugaskan untuk menangani pembinaan pendidikan secara nasional, maka DEPDIKBUD adalah wadah yang tepat untuk itu.

(3)

dan di ITA Bandar Baru, 1993

gelar akademis yang diberikan’.4

1994-1998 Hilangnya ilmu teologi dalam Ensiklopedi Ilmu Pengetahuan di Indonesia.5

Seminar dan lokakarya nasional Akreditasi di Univ. Petra Surabaya, 1996.6

Kurikulum Nasional Ilmu Teologi.7

SK Menteri Agama no. 180/1997 menyangkut Kurnas Teologi, Ujian Negara dan Akreditasi yang menyebutkan bahwa pendidikan teologi ditempatkan di bawah pengelolaan DB Katolik (sedangkan DB Kristen menyatakan pembinaan ilmunya pada Ditjen DIKTI, sedangkan pembinaan sekolah-sekolahnya pada DB Kristen).8

4 Akreditasi dalam konteks ini (tahun 1994) adalah bahwa PERSETIA sendiri sebagai konsorsium yang harus menilai

berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya apakah calon sekolah anggota ini memenuhi standar kelayakan sebagai sebuah pendidikan teologi yang berkualitas (atau minimal memiliki potensi pengembangan ke arah itu).

Namun sesudah 1998, oleh karena perubahan konteks, dan dengan adanya BAN-PT dan juga akreditasi sebagian sekolah-sekolah anggota oleh ATESEA, maka baseline untuk penentuan kelayakan itu menjadi semakin jelas.

5 SK Mendikbud no. 036 tahun 1993 tidak menyebut ilmu teologi dalam Ensiklopedi. Akibat lanjutannya

sekolah-sekolah teologi diwajibkan memilih dari antara disiplin ilmu yang ada dan untuk masuk ke dalamnya. Akibatnya gelar-gelar teologi yang selama ini ada tidak bisa dipergunakan lagi, dan diganti entah menjadi Sarjana Filsafat, Sarjana Agama, atau Sarjana Sastra. PERSETIA mengajukan keberatan atas SK Menteri ini, dan mengadakan pertemuan dengan Dirjen DIKTI dan Dir PTS DEPDIKBUD.

PERSETIA menyusun pernyataan tertulis untuk gagasan yang dikemukakannya agar pemerintah dapat mengambil sikap. PERSETIA juga didorong untuk bersama pihak Katolik membuat rumusan yang disepakati bersama. MPH PGI, KWI dan PERSETIA merumuskan suatu sikap bersama dan juga menyusun Kurikulum Inti Nasional, Mata Ujian Negara, dan usulan gelar, yaitu S.Teol. Usaha PERSETIA ini didukung oleh Rapat Konsorsium Teologi, 1995 yang dihadiri DBK DEPAG, PASTI, PESATPIN, PGI, PII, PBI, DPI, MAHK.

Hasil dari kerjasama dan kerjakeras tersebut adalah SK Mendikbud no 0359/U/1996 yang diserahkan di kantor Dirjen DIKTI 3 Februari 1997, dihadiri oleh KWI, MPH PGI, Univ. Sanata Darma, dan Pengurus PERSETIA.

6 Badan Akreditasi Nasional (BAN) menuntut persyaratan akademik yang bagi banyak perguruan tinggi Kristen dan

Teologi masih cukup berat. Untuk itu BAKOR PTKI bersama PERSETIA dan Badan kerjasama Perguruan Tinggi Indonesia (BT PTKI) meminta diadakan lokakarya ini.

7 SK Mendikbud no. 0359/U/1996 menghadirkan Kurikulum Nasional (Kurnas) Ilmu Teologi. Keberadaan Kurnas

membuat KSM PERSETIA 1994 harus ditinjau-ulang. Dirjen DIKTI meminta PERSETIA mengajukan proposal Kurnas untuk disahkan oleh pemerintah. Lokakarya Kurnas Ilmu Teologi, 1997, dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan mendesak ini. Deskripsi matakuliah, dan mata ujian negara jenjang S-1 telah rampung. Sedangkan konsep untuk Kurnas S-2 dipersiapkan bersama dengan Univ Sanata Dharma.

8 PERSETIA sangat berkeberatan karena sekalipun sekolah-sekolah teologi dikelola oleh gereja-gereja, namun

sekolah-sekolah teologi bukanlah sekolah kedinasan gereja. Penempatan pendidikan teologi di dalam binaan DBK mengerdilkan karakter akademis ilmu ini, dan menjadikannya semata-mata urusan ajaran dan moralitas. Keberatan berikutnya adalah bahwa DBK tidak berhak melakukan akreditasi, sekalipun itu berbentuk akreditasi lokal (yang

(4)

Gelar S.Si diakui oleh Dir PTS dalam surat no 816/D.4 II/T/1998, 19 Juni 1998. 1998-2002 Rapat Anggota IX mendorong sekolah anggota untuk menggunakan Kurnas DEPDIKNAS.9 2002-2006 SK Mendiknas no 232/U/2000 dan no 045/U/2002 dan Rapat Anggota X menugaskan pengurus menyusun Kurikulum Inti sebagai ganti Kurnas 1996.

Seminar lokakarya Nasional Kurikulum Inti Program Studi Teologi diadakan April 2003.10

Pengajuan izin penyelenggaraan S2 beberapa sekolah anggota kepada DIKTI mengalami kesulitan, izin diperoleh dari DBK Kemenag.

Beberapa program studi (prodi) S1 sekolah anggota yang berada dalam binaan DIKTI sudah dan sedang mengurus akreditasinya.12

kemudian terbukti sangat menyesatkan, baik masyarakat-gereja, maupun sekolah-sekolah teologi dalam binaan DBK).

9 PERSETIA membentuk tim tiga untuk mempersiapkan 3 versi kurikulum inti (S-1) sebagai pegangan bagi

sekolah-sekolah anggota.

Kurikulum inti S-2 menurut DIKTI dapat dijadikan acuan kurikulum program studi sejenis dan tidak membutuhkan ketetapan DIKTI.

DBK DEPAG memiliki kurikulum tersendiri yang dipergunakan oleh beberapa sekolah anggota. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi sekolah-sekolah tersebut, karena proses akreditasi akan menggunakan Kurnas yang turut dipersiapkan oleh PERSETIA.

10 Para utusan sekolah anggota sepakat bahwa Kurikulum Inti ini secara substansial tidak berbeda jauh dengan

Kurnas maupun draf yang dipersiapkan panitia kecil PERSETIA. Usul mengenai Kurikulum Inti ini adalah hanya 40% saja dari ketentuan 144 SKS, sehingga ada ruang untuk Kurikulum Institusional (kekhasan masing-masing sekolah).

12 Sementara itu yang prodinya berada dalam binaan DBK Kemenag diharapkan mempersiapkan diri untuk

(5)

Konsultasi Kurikulum PPsT, 2004.11

Di Cipanas, 2005, setelah SI berlangsung, dilakukan penyuluhan akreditasi oleh Dirjen DIKTI dan BAN-PT.

2006-2010 Sosialisasi Akreditasi

BAN-PT, Februari 2008. Narasumber: Purnama, S.B. Hakh, D. Nuhamara (para asesor BAN-PT). Hadir 15 sekolah anggota.13

11 Pendekatan yang dipergunakan kurang lebih sama dengan kurikulum S-1, yaitu 40% Kurikulum Inti, sedangkan

60% adalah Kurikulum Institusional/lokal.

13 Tahun 2012 adalah batas akhir semua prodi harus sudah mendapatkan status akreditasinya. DBK berjanji akan

memfasilitasi persiapan menghadapi proses akreditasi ini. Dari 45 sekolah anggota PERSETIA, 85% berada dalam binaan DBK Kemenag.

(6)

Bagian V: Pengembangan kurikulum Pendidikan Tinggi Teologi

Mainstreaming

Pendidikan Tinggi Teologi dalam dunia

Pendidikan Tinggi di Indonesia dan Akreditasi

Hingga awal 1980an sekolah-sekolah teologi (tercermin juga pada jumlah sekolah anggota PERSETIA) tidaklah terlalu banyak. Dan untuk kurun waktu yang panjang, sekolah-sekolah teologi merasa cukup nyaman hidup di dalam dunianya sendiri yang tidak terlalu intensif bersentuhan dengan perkembangan disiplin ilmu lainnya (hal ini bisa terlihat dengan memperhatikan tema-tema skripsi dan karya tulis akhir mahasiswa hingga akhir tahun 1970an).

Memasuki tahun 1980an banyak sekolah yang mulai mengadakan penataan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Semakin banyak sekolah teologi yang menyadari kepentingan untuk berada dalam arus utama (mainstream) dunia akademis di Indonesia. Perubahan dan perkembangan kurikulum yang semakin memperhatikan perkembangan ilmu-ilmu lain, dan juga perkembangan struktur penyelenggaraan pendidikan tinggi mulai secara sangat serius

dilakukan. Sekolah-sekolah semakin menyadari bahwa tidak cukup hanya memperhatikan kebutuhan gereja yang memang masih menjadi tempat berkarya sebagian besar lulusannya. Sekolah-sekolah mengakui bahwa semakin penting juga mempersiapkan mahasiswa dan lulusan sekolah teologi untuk dapat masuk ke dalam dunia akademis yang lebih luas, khususnya di tanah air. Karena itulah pada era 1980an banyak sekolah yang mulai menggunakan sistem kredit semester (SKS) dan perangkat

pendidikan lainnya yang lazim di perguruan tinggi di Indonesia.

Bersamaan dengan munculnya kesadaran ini, terjadi juga penataan pada dunia pendidikan tinggi nasional oleh pemerintah. Entah karena kelalaian dunia pendidikan teologi – yang cenderung berada di bawah radar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan – entah karena kecenderungan Kementerian DIKBUD yang mengabaikan perkembangan pendidikan swasta (terlebih lagi swasta Kristen), maka ilmu teologi tidak ada dalam daftar ilmu di Indonesia.

Sejak saat itu, mulailah upaya tanpa henti dari beberapa generasi pengurus PERSETIA untuk memperjuangkan dan menegaskan posisi dan keberadaan teologi dalam peta dunia keilmuan di Indonesia. Penyusunan berbagai kurikulum PERSETIA adalah usaha serius untuk

mempertanggungjawabkan posisi teologi sebagai sebuah kiprah akademis. Oleh karena itu

kecenderungan DBK untuk mereduksi pendidikan tinggi teologi hanya sebagai sekolah kedinasan, sebagai wadah pendidikan moral dan ajaran keagamaan, memperlihatkan betapa sempitnya wawasan kementerian mitra gereja-gereja ini. Pendidikan moral dan keagamaan adalah tugas gereja, bukan tugas lembaga pendidikan tinggi teologi. Juga tidak ada kewajiban gereja untuk selalu mengikuti

perkembangan terkini dan temuan-temuan terbaru dari dunia pendidikan teologi. Meskipun gereja dan pendidikan teologi berhubungan, namun tetap ada perbedaannya.

Secara konsisten para pengurus PERSETIA menegaskan bahwa tempat pembinaan lembaga-lembaga pendidikan tinggi teologi adalah Kementerian Pendidikan. Hal ini selain memiliki akar sejarah yang panjang, juga merupakan hal yang tetap relevan untuk kiprah masa kini dan jangkauan ke masa depan dari pendidikan teologi. Pendidikan tinggi teologi semakin membutuhkan diskusi dan kerjasama

(7)

dengan berbagai disiplin ilmu yang lain. Pendidikan tinggi teologi juga pada saat yang sama

memberikan wawasan dari berbagai pertanyaan mendalam yang berkembang dalam sejumlah ilmu yang lain, mengenai kemanusiaan dan misteri kehidupan. Bahkan juga tema-tema yang sehari-hari sekalipun, seperti tema kekerasan, tema merawat bumi, dan sebagainya.

Tema-tema SI, KAT, bahkan KNMTI sudah memperlihatkan bagaimana kesadaran akan hal ini sudah terinternalisasi di lingkungan para dosen dan mahasiswa. Dan saya percaya dalam tahun-tahun yang akan datang kita akan melihat perkembangan teologi di tanah air yang akan terus-menerus berdiskusi dan berkarya bersama-sama dengan berbagai disiplin ilmu lainnya.

Saya juga sadar bahwa di lingkungan sekolah-sekolah anggota masih ada yang merasa nyaman berada di dalam binaan DBK Kementerian Agama, oleh karena berbagai alasan dan kepentingan. Tentu hal ini sepenuhnya merupakan pilihan dari masing-masing sekolah untuk menentukan sendiri berada dalam binaan DBK Kemenag atau DIKTI Kemendikbud.

Hal yang mendasar dan perlu dijadikan acuan adalah apakah ada cukup perangkat dari

kementerian tersebut untuk menopang pengembangan dosen dalam melaksanakan tugasnya, dukungan bagi mahasiswa, arah jenjang karir yang jelas bagi para dosen (mulai dari pengakuan ijazah dosen hingga menjadi Guru Besar). Dukungan bagi para mahasiswa, dosen, bahkan juga untuk tenaga pendukung non-akademis sangat menentukan bagi kemajuan dan perkembangan lembaga pendidikan kita.

Alat ukur yang bisa dipergunakan adalah akreditasi yang mulai diberlakukan sejak awal abad ini, dan menjadi persyaratan mutlak sekarang ini. Temuan dari para asesor BAN-PT menunjukkan bahwa semua sekolah anggota PERSETIA yang berada dalam binaan DIKTI, telah lulus dengan peringkat A, B, dan C. Sementara ada puluhan sekolah yang dibina oleh DBK yang tidak berhasil lolos bahkan dalam asesmen kecukupan.

Dalam pertemuan antara BAN-PT, Dirjen DBK bersama stafnya, para asesor BAN-PT, dan beberapa pimpinan sekolah teologi, serta pengurus asosiasi sekolah-sekolah teologi, (Hotel Grand Whiz, Jakarta 26 Mei 2014), keprihatinan ini dibicarakan. Masih terbatasnya jumlah asesor BAN-PT yang memeriksa dan menilai borang memang adalah sebuah persoalan, karena jumlah prodi teologi dan PAK mencapai jumlah yang besar. DBK berjanji akan mengalokasikan dana untuk persiapan menambah jumlah asesor yang dibutuhkan.

Saya melihat persoalan yang lebih serius adalah keberadaan dan kesiapan sekolah-sekolah itu sendiri untuk menyelenggarakan pendidikan teologi dengan baik. Kritik yang disampaikan oleh para asesor BAN-PT dalam pertemuan itu adalah DBK terlalu mudah memberikan izin penyelenggaraan kepada sekolah-sekolah baru. Padahal izin penyelenggaraan itu kini bernilai sebagai

terakreditasi-sementara dengan peringkat C yang berlaku a) jika dikirimkan sebelum tenggat pengajuan borang dan b) sampai dengan ada keputusan akreditasi dari BAN-PT.

Saya sendiri sebagai seorang asesor BAN-PT sudah memeriksa dan melihat sendiri proses akreditasi tersebut. Sebagai Puket I di STT Jakarta, saya juga mengalami sendiri bagaimana menyusun, mempersiapkan proses akreditasi (ulang) di sekolah kami. Jadi saya tahu betul bahwa bila hal-hal minimal tertentu tidak dimiliki atau tidak sungguh-sungguh dipikirkan oleh sekolah, maka prodi dan sekolah tersebut memang tidak layak menyelenggarakan pendidikan, apalagi memberikan gelar.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Alhamdulillah, Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

[r]

Fungsi dari pengetesan adalah memastikan bahwa hasil rancangan materi pelatihan sesuai dengan yang direncanakan, mengetahui apakah program aplikasi

[r]

Kalkulator kimia membantu/memandu laboran untuk menyiapkan larutan, tanpa harus melakukan proses perhitungan yang rumit dan panjang dan juga waktu penyiapan larutan menjadi

Demikian Penetapan ini, apabila ternyata terdapat kekeliruan akan dilakukan perubahan. Pejabat Pembuat Komitmen Kecamatan Paiton Kabupaten