Dasar Kepercayaan Hindu
4.1 Dasar Kepercayaan Hindu Bersumber Pada Atharwa Weda
Dasar kepercayaan (keimanan) dalam agama Hindu disebut Sraddha, yang dinyatakan di dalam ayat suci Atharwa Weda berikut.
Atharwa Weda XII.1.1:
Satyam brhad rtam ugram Diksa tapa brahma yadnya prithiwim dharayanti.
Artinya: Sesungguhnya satya, rta, diksa, tapa, brahma, dan yadnya adalah penyangga dunia.
Jadi keenam unsur kepercayaan (keimanan) ter-sebut di atas merupakan kerangka isi Dharma (kerangka isi Agama Hindu).
Sehingga setiap umat Hindu, wajib percaya pada
Satya, Rta, Diksa, Tapa, Brahma, dan
Yad-nya tersebut, karena keenam ini merupakan un-sur Dharma yang memelihara kehidupan ini. Sehubungan dengan istilah Sraddha, kita juga mengenal Upacara Sraddha yang berarti
upa-cara pemujaan kepada arwah leluhur yang
di-wajibkan bagi setiap umat Hindu.
Sraddha sebagai dasar kepercayaan yang bersi-fat fundamental, mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
1. Sraddha sebagai kerangka isi dharma (ke-rangka isi Agama Hindu.)
2. Sraddha sebagai alat (sarana) untuk me-nuju Tuhan.
Fungsi-fungsi tersebut di atas, dapat kita lihat pada beberapa ayat suci berikut:
Yajur Weda XIX.30:
Sraddhaya Satyam apyati,
(Dengan Sraddha manusia akan mencapai
Yajur Weda XIX.77:
Sraddham satye prajapatih,
(Tuhan menetapkan dengan Sraddha
me-nuju Satya.)
4.1.1 Satya
Kata Satya berasal dari akar kata Sanskerta "sat" yang bisa berarti:
a. Kebenaran, b. Kejujuran,
c. Tuhan (Ketuhanan).
Oleh karena itu kata satya itu sendiri juga mem-punyai beberapa arti sebagai berikut:
(a) Satya berarti Tuhan (Kebenaran yang abso-lut atau sifat hakekat dari Tuhan Yang Maha Esa).
Hal ini antara lain bisa kita lihat pada ayat suci berikut, di mana kata "Sat" berarti Tuhan. Reg Weda I.164.46:
Ekam Sat Wipra bahuda wadanti Agnir yaman Matariswamam ahuh
Artinya: Tuhan itu hanya satu, tetapi orang arif bijaksana menyebutnya dengan banyak nama, seperti Agni, Yama, Ma-tariswa, dan lain sebagainya.
(b) Satya berarti kesetiaan atau kejujuran.
Dari pengertian ini kemudian berkembang ajaran yang kita kenal dengan nama Panca
Satya (lima macam kesetiaan).
1. Satya hridaya yaitu: setia kepada
kei-manan (agama) dan kata hati.
2. Satya wacana yaitu: setia kepada
kata-kata/ucapan.
3. Satya samaya yaitu: setia kepada janji.
4. Satya mitra yaitu: setia kepada sahabat.
5. Satya laksana yaitu: setia kepada
per-buatan.
(c) Satya berarti: kebenaran dalam arti relatif. Sebagai contoh:
1. Setiap warga negara harus setia pada ne-garanya.
4.1.2 Rta
Rta adalah hukum yang kekal abadi (Hukum murni yang bersifat absolut trancendental) yang diciptakan oleh Tuhan untuk menga-tur alam ciptaanNya.
Hukum ini tidak pernah berubah dan berlaku untuk selamanya.
Di dalam Weda disebutkan bahwa mula-mula setelah Tuhan menciptakan alam semesta ini, maka beliau menciptakan hukum yang kekal dan abadi, untuk mengatur alam ciptaannya terse-but. Hukum itulah yang disebut Rta.
Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta hukum dan sebagai pengendali atas hukum-Nya
dise-but Ritawan.
Nah sekarang mungkin kita bertanya: apa hu-bungan (perbedaan) antara Rta, dharma, dan agama ?.
Dharma adalah penjabaran/bagian dari Rta yang mengatur manusia dan alam lingkungannya (ter-masuk binatang dan tumbuhan).
Sedangkan Agama merupakan bentuk penjabaran Rta ke dalam amalan manusia, yaitu yang meng-atur tingkah laku dalam kehidupan manusia un-tuk bisa mencapai kebahagiaan lahir dan batin. Jadi agama adalah bagian dari dharma dan dharma adalah bagian dari Rta.
Dalam pengertian sehari-hari biasanya kita meng-anggap dharma itulah agama.
Di dalam kitab Manawa Dharmasastra, dharma dikatakan bersumber pada Sruti, Smrti, Sila, Acara, dan Atmanastusti.
Ajaran Rta dan dharma inilah yang menjadi lan-dasan ajaran Karma dan Phala Karma, dan Rta inilah yang mengatur akibat dari tingkah laku manusia yang merupakan kekuatan yang tidak tampak oleh manusia.
Beberapa penjelasan lebih lanjut tentang dharma, dapat kita lihat pada sloka-sloka berikut:
Santi Parwa 109.11:
Dharanad dharma ityahur dharmeda widhrtah prajah.
Artinya: Dharma dikatakan berasal dari kata darana (akar kata "dhr") yang berarti:
me-mangku, mengatur, menuntun. Dengan dharma semua mahluk diatur (dipelihara.)
Mahabharata:
Dharmena dharyate sarwam jagat sthawara janggama.
Artinya: Semua alam, binatang dan tumbuhan-tumbuhan diatur oleh dharma.
4.1.3 Diksa
Diksa berarti penyucian, pentasbihan atau in-isiasi.
Diksa adalah cara untuk melewati suatu fase kehidupan ke fase kehidupan berikutnya yang lebih sempurna dalam arti spiritual.
Sebagai unsur dalam pokok keimanan, Diksa, Tapa, dan Yadnya merupakan satu rangkaian pengertian yang fungsinya sama yaitu sebagai alat untuk mencapai kesucian.
Hal ini dapat kita lihat pada ayat Yajur Weda XX.25 yang menyatakan:
* Dengan melakukan brata, seseorang mem-peroleh Diksa.
* Dengan melakukan Diksa, seseorang mem-peroleh Daksina.
* Dengan Daksina, seseorang memperoleh Sraddha.
* Dengan Sraddha, seseorang memperoleh Satya.
Berdasarkan ayat di atas, dapat kita lihat bahwa Diksa dapat dilakukan melalui brata.
Dalam kenyataannya dapat kita lihat bahwa sese-orang yang telah didiksa harus mentaati pera-turan (sesana) dan kewajiban (swadharma) yang berlaku bagi-nya.
Sesungguhnya Upacara Mediksa tersebut lebih banyak bersifat formalitas dan yang lebih menen-tukan apakah kesucian itu dicapai atau tidak tergantung pada ketaatan orang yang didiksa untuk melaksanakan peraturan dan kewajiban yang berlaku baginya.
Hal ini antara lain dinyatakan di dalam ayat suci Yajur Weda XIX.30 yang mengatakan:
kesucian (diksa) diperoleh karena mela-kukan pengendalian indriya (brata).
Jadi ketaatan untuk melaksanakan brata ter-sebut merupakan hal yang lebih penting dan lebih susah untuk melakukannya jika dibanding-kan dengan melaksanadibanding-kan upacara mediksa. Jenis Upacara Mediksa sangat banyak tergan-tung dari maksud dan tujuannya, meskipun se-cara garis besar setiap upase-cara mediksa bertu-juan untuk mencapai kesucian.
Setiap orang yang akan menjadi pendeta, pe-mangku, dalang, dan lain sebagainya harus me-lakukan upacara mediksa.
Demikian pula orang yang akan mempelajari Weda harus melakukan diksa atau minimal dalam bentuk pawintenan, yang bertujuan untuk menyu-cikan orang tersebut secara spiritual, guna da-pat mempelajari, mengamalkan, maupun meng-ajarkan Weda dengan baik.
Upacara inisiasi untuk seorang siswa kerohanian (Brahmacarya) disebut: Upanayana.
4.1.4 Tapa
Kata Tapa berasal dari urat kata "tap" yang berarti: mengekang, menguasai, atau mem-bakar.
Jadi tapa berarti pengekangan atas nafsu atau
melakukan hidup suci.
Panca indriya dan pikiran harus dikekang dan dikendalikan, serta pada fase terakhir nafsu itu harus dibakar, agar jiwa tidak lagi terjerat oleh ikatan duniawi sehingga atman dapat manung-gal dengan paramatman.
Di dalam kitab Dharmasastra dijelaskan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan dosa atau mereka yang sadar bahwa mereka berdosa, berke-wajiban untuk membersihkan diri dengan melak-sanakan tapa brata.
Dalam Weda dikatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia mempunyai kesadaran akan dosa (dari pikiran, perkataan dan perbuatan), yang mengakibatkan manusia menderita dan gelisah. Kegelisahan akan berakhir jika jiwa terbebas dari pengaruh nafsu keduniawian (Maya).
Dosa atau perasaan berdosa juga menyebabkan timbulnya hambatan bagi manusia untuk men-dekatkan diri pada Tuhan, karena Tuhan yang Maha Suci hanya dapat didekati dengan kesu-cian.
Oleh karena itu badan dan bathin manusia harus disucikan.
Tapa adalah suatu cara pengendalian nafsu, pe-nyucian, atau penebusan dosa yang harus di-lakukan dengan penuh kesadaran dan keyakinan. Bila hal ini dilakukan karena tidak disadari, me-lainkan karena dipaksanakan oleh penguasa dalan suatu negara, maka ini berarti penghukuman. Jadi penghukuman adalah semacam tapa yang dipaksakan oleh negara untuk mengembalikan tingkah laku seseorang agar menjadi baik kem-bali.
Sehingga tapa mempunyai peranan yang pen-ting dalam pembentukan watak dan moral manu-sia yang harus diyakini kebenarannya.
Cara melakukan Tapa:
Tapa dapat dilakukan dengan berbagai cara ter-gantung dari maksudnya dan besar kecilnya dosa yang ingin disucikan. Beberapa cara yang umum dilakukan antara lain:
(a) Upawasa, yaitu: tidak makan (minum) selama selang waktu (pada hari-hari) ter-tentu.
(b) Jagra, yaitu: tidak tidur selama selang waktu tertentu.
(c) Mona, yaitu: tidak bicara selama selang waktu tertentu.
4.1.5 Brahma
Brahma berarti "doa (mantra)" yang digu-nakan untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa.
Brahma sebagai dasar keimanan mempunyai arti bahwa kita harus percaya bahwa mantra itu mempunyai kekuatan gaib, jika digunakan oleh manusia untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, juga untuk menghormati segala ciptaanya.
Sehubungan dengan hal ini maka Tuhan disebut
Brahman yaitu: yang berkuasa atas pujian
atau doa (Lord of prayer).
Doa mempunyai beberapa fungsi yang tergan-tung dari maksud atau tujuan penggunaan doa tersebut.
Beberapa fungsi tersebut antara lain:
(a) Bagi orang yang tertimpa kesedihan (ma-lapetaka) maka doa berfungsi sebagai per-mohonan kepada Tuhan agar beban de-ritanya diringankan.
(b) Bagi orang yang sedang melakukan upa-cara maka doa berfungsi untuk menyu-cikan upakara/upacara, termasuk penyu-cian bagi orang yang melakukan upacara tersebut.
(c) Bagi orang yang memperoleh rezeki/kebahagi maka doa berfungsi sebagai ucapan
teri-makasih (puji syukur) kepada Tuhan atas rezeki/kebahagiaan yang diperolehnya. (d) Bagi orang yang dalam keadaan biasa
maka doa berfungsi untuk membang-kitkan rasa ketuhanannya, dan sebagainya.
Pentingnya unsur doa (Brahma) dalam Agama Hindu, didasarkan pada kepercayaan yang bersum-ber dari Weda antara lain:
(a) Tuhan adalah Juru selamat manusia (Rg
Weda VI.17.11).
(b) Tuhan harus didekati dengan kesucian,
karena beliau bersifat Maha Suci (Rg Weda
IX.73.6).
(c) Manusia itu tidak sempurna dan sadar
bahwa dirinya berdosa (Yayur Weda 8.12).
Cara melakukan doa: Doa atau pemujaan
dapat dilakukan oleh setiap orang, kapan saja dan dimana saja, sendiri atau secara bersama-sama.
Doa atau pemujaan dapat dilakukan dengan kata-kata (ucapan), dengan pikiran, ataupun dengan bahasa lainnya, seperti menggunakan simbul-simbul, misalnya bebanten.
Oleh karena itu doa dapat dibedakan antara lain atas:
(a) Doa yang dilakukan dengan mengucap-kan kata-kata, baik dengan bahasa Weda maupun dengan kata-kata sendiri.
(b) Dengan mempergunakan sesajen atau sa-rana yang merupakan bahasa simbul. (c) Dengan mempergunakan doa (mantra)
4.1.6 Yadnya
Kata yadnya berasal dari akar kata "Yaj" yang berarti:
a. berkorban, b. memuja,
c. menjadikan suci.
Dari "Yaj" ini timbul istilah Yajur Weda yaitu: himpunan Weda (mantra) yang menguraikan tentang pokok-pokok ajaran beryadnya atau hu-bungan antara manusia dengan yang disembah.
Kata yadnya juga berarti kurban atau
pe-mujaan (Rg Weda VIII.40.4.).
Dalam Rg Weda X.92 (Nasadya Sukta) dan di dalam Bhagavadgita III.9 dan 10, dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan alam semesta ini melalui yadnya, sehingga dunia inipun terikat oleh yadnya.
Jadi setiap manusia di dunia ini wajib beryad-nya.
Yadnya merupakan suatu contoh perbuatan suci dan perbuatan spiritual, yang dapat dilakukan secara nyata oleh manusia.
Yadnya dapat dilakukan dalam wujud: (a) Material, seperti:
* Korban suci yang mempergunakan sesajen (upakara),
* Donor darah, donor mata, dan yang se-jenisnya,
* Dana punia (dherma) berupa uang atau barang, dan lain sebagainya.
(b) Non Material, seperti:
* Dengan pengucapan mantra-mantra (doa), * Dengan menyanyikan lagu-lagu pemujaan
atau lagu suci,
* Melalui persembahan ilmu pengetahuan (Jnana), dan lain sebagainya.
Keterangan lebih lanjut tentang Yadnya akan dijelaskan pada Bab 8.