• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Salah satu perbedaan terbesar antara masyarakat di Indonesia (khususnya orang Batak) dengan masyarakat di Barat adalah dalam hal adat istiadat. Kehidupan di Indonesia dipenuhi dengan berbagai jenis upacara adat, mulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, perkawinan, penyakit, malapetaka, kematian dan lain-lain. Adanya pengaruh adat istiadat inilah yang kemudian menyulitkan para misionaris terdahulu memahami kebutuhan jemaat-jemaat Kristen di Indonesia terutama di tanah Batak. Hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur kebiasaan dunia Timur yang komunal dengan kebiasaan dunia yang Barat yang lebih individualistis.1

Bentuk solidaritas komunal tersebut sangat terasa saat ada kerabat yang meninggal dunia. Ritus-ritus atau acara di sekitar kematian merupakan tanda untuk menghormati orang yang ditinggalkan. Kehadiran seluruh kelompok adat dan mandok hata2 yang berderet-deret dalam peristiwa kematian juga seharusnya diartikan sebagai tanda solidaritas dengan orang yang sedang berduka. Kehadiran dalam peristiwa kematian adalah suatu tanda solidaritas dan kebersamaan: bahwa seorang yang sedang berduka tidak boleh dibiarkan sendirian menanggung bebannya. Dia harus ditemani dalam kedukaannya.

Kultur Batak pra-Kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Menurut nenek moyang orang Batak ada berjenis-jenis kematian yang menunjukkan status sosial seseorang (yang terkait erat dengan konsepsi kesuburan/

hagabeon): mati sewaktu kanak-kanak, mati sewaktu remaja/ pemuda (mate ponggol, mate matipul), mati sesudah menikah namun tanpa anak (mate punu), mati sesudah

1

Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, hlm. 1. 2

(2)

menikah dengan anak masih kecil (mate mangkar), mati sesudah bercucu (mate sari matua), mati sesudah bercucu dari semua anak-anaknya (mate saur matua) dan puncaknya mati sesudah bercicit dan berbuyut (saur matua bulung).

Agama Kristen masuk ke tanah Batak melalui badan-badan zending yang bekerjasama dengan penjajah, antara lain: Baptist Mission Society (Inggris); Misi kristen Amerika dan Boston; Zending Gemeente (Belanda); Rheinische Mission Gesselchaft (Jerman). Dari sekian banyak badan zending, yang paling berhasil dalam penyebaran agama Kristen di tanah Batak adalah Rheinische Mission Gesselchaft (RMG) melalui misionarisnya I. L. Nommensen.3

Dalam penyebaran agama Kristen di tanah Batak, Nommensen menggunakan beberapa strategi, yakni: pertama: menerima adat/kebiasaan orang Batak namun dalam konteks tata cara hidup orang Kristen yang baru. Kedua: memakai pendekatan top down, yakni menjalin persahabatan kepala marga, raja-raja huta, serta orang-orang yang punya pengaruh. Ketiga: memakai pendekatan bottom up, melalui pelayanan sosial secara langsung kepada rakyat. Dengan demikian Nommensen dapat mengetahui keperluan mereka. Keempat: memahami adat Batak secara sempurna sehingga persahabatannya selalu dilandasi adat kebiasaan rakyat. Dengan demikian, rakyat memandang Nommensen sebagai bagian dari mereka dan bukan sebagai orang asing. Kelima: untuk mempersiapkan lahirnya orang Batak Kristen yang modern, Nommensen mendirikan sekolah teologia maupun sekolah umum.4

Tampak bahwa Nommensen tidak menolak adat atau kebiasaan orang Batak seluruhnya. Sikap/pendekatan Nommensen ini jelas berbeda dari sikap/pendekatan zending yang mengutusnya yakni: RMG. Menurut J.S. Aritonang, RMG sangat yakin bahwa sesuatau yang dimilikinya di Barat merupakan yang terbaik; jauh lebih baik dari yang dimiliki masyarakat Batak. Keyakinanan ini yang mendasari setiap motif, tujuan, sikap dan

3

Bdk. Bungaran Antonius Simandjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarata: Jendela, 2002, hlm. 86-92.

4

Bungaran Antonius Simandjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarata: Jendela, 2002, hlm. 90-91.

(3)

kebijaksanaan mereka. Motif kulturalnya didasarkan pada asumsi bahwa kebudayaan atau peradaban Barat sudah diresapi dan dimurnikan oleh kekristenan sehingga sudah dapat disebut sebagai kebudayaan Kristen oleh karena itu mutu dan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kebudayaan Batak.5 Tampak bahwa RMG cenderung bersifat negate/menolak adat/kebiasaan orang Batak. Menurut penulis sikap RMG ini akan sangat merugikan orang-orang Kristen Batak. Sebab dengan demikian mereka akan tercabut dari akar-akar identitas budayanya.

Penulis cenderung setuju dengan pendekatan Nommensen. Ia menerima adat/kebiasaan orang Batak dalam konteks tata cara hidup orang Kristen yang baru. Itu berarti ada kualifikasi-kualifikasi tertentu yang digunakan oleh Nommensen dalam menerima adat kebiasaan orang Batak. Kualifikasi-kualifikasi terebut bersumber pada Injil, apakah adat/kebiasaan masih bersesuaian dengan Injil atau tidak. Namun, pendekatan yang dilakukan Nommensen ini menimbulkan masalah dalam konteks kehidupan orang Batak Kristen saat ini. Misalnya dalam adat mangongkal holi. Jemaat Batak Kristen saat ini, muncul keraguan apakah pelaksanaan adat ini sesuai dengan Injil atau tidak? Nommensen tidak memberikan jawaban yang jelas tentang hal ini. Sekalipun demikian, menurut penulis bukan berarti tidak dapat diupayakan jawaban atas hal ini. Orang Batak masa kini, juga dapat menempuh pendekatan yang dilakukan Nommensen, yakni dengan tidak serta merta menolak begitu saja adat dan kebiasaan orang Batak melainkan mengujinya terlebih dahulu di bawah terang Injil, sebagaimana yang terkandung dalam Alkitab.

II. Rumusan Masalah

Hubungan adat dan Injil sering dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan satu sama yang lain, akibatnya adat sering dilihat sebagai suatu hal yang salah sehingga harus ditinggalkan. Padahal bagi orang Batak, adat juga penting sebagai bagian dari identitasnya. Secara khusus upacara adat mangongkal holi sering dipertentangkan dengan Alkitab. Pertanyaan penulis apakah hubungan antara adat (mangongkal holi) dan Alkitab selalu berada dalam ketegangan ataukah di sana sini juga terdapat titik temu? Apakah

5

(4)

adat mangongkal holi tidak dapat diterima oleh iman Kristen? Apakah makna yang terkandung dalam adat mangongkal holi tidak ada yang positif sehingga beberapa orang Batak Kristen (gereja) saat ini selalu menolak mangongkal holi karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kekristenan?

Untuk mengetahui hal ini, penulis akan membandingkan makna upacara adat

mangongkal holi dan makna permintaan pemindahan tulang belulang Yusuf dalam Kejadian 50:22-26. Dalam perikop ini terdapat permintaan Yusuf kepada saudara-saudaranya agar membawa tulang-belulangnya dari Mesir ke tanah Kanaan/tanah perjanjian. Perikop ini dengan jelas menunjukkan bahwa pemindahan tulang-belulang ke kuburan leluhur di tanah perjanjian (Kanaan) pernah terjadi pada masa itu. Pesan yang sama pernah dikemukakan oleh Yakub dalam Kejadian 49:29 agar dikuburkan di tanah Kanaan, yang membedakan adalah Yakub ingin segera dikuburkan di tanah Kanaan bersama-sama dengan leluhurnya. Dari kedua bagian perikop ini menjadi jelas bahwa dikuburkan di tanah leluhur/tanah Kanaan menjadi sesuatu yang penting bagi orang Ibrani.

III. Batasan Masalah

Patut diakui bahwa adat Batak sangat banyak dan amat luas cakupannya. Mengingat keluasan cakupan adat Batak yang ditentang oleh para misionaris Barat yang kemudian diikuti oleh gereja Batak, maka penulis memfokuskan pada adat mangongkal holi saja. Adapun sebagai perbandingan, penulis memilih untuk menganalisa Kejadian 50:22-26. Alasannya adalah terutama karena dalam bagian perikop ini tertera secara eksplisit permintaan Yusuf untuk membawa tulang-belulangnya ke tanah Kanaan. Penulis berasumsi bahwa ada kesejajaran “tradisi” antara keduanya, tanpa menyangkali adanya berbagai perbedaan satu sama lain.

(5)

IV. Judul Skripsi

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis memberikan judul skripsi ini sebagai berikut:

“ADAT DAN INJIL DI TANAH BATAK:

PERBANDINGAN MANGONGKAL HOLI DAN MAKNA PERMINTAAN YUSUF AGAR TULANG-TULANGNYA DIPINDAHKAN DARI MESIR

KE TANAH YANG DIJANJIKAN TUHAN”

V. Tujuan Penulisan

Dari judul skripsi di atas, penulis bertujuan antara lain:

1. Menggali makna adat mangongkal holi dalam konteks kehidupan masyarakat Batak.

2. Menganalisis makna permintaan Yusuf untuk memindahkan tulang-belulangnya dalam Kejadian 50: 22 – 26.

3. Membandingkan makna mangongkal holi dan makna permintaan Yusuf untuk memindahkan tulang-belulangnya dalam Kejadian 50: 22 – 26.

4. Apakah antara mangongkal holi dan Alkitab selalu bertentangan? Apakah dalam pelaksanaan adat mangongkal holi tidak ada nilai positif bagi jemaat Kristen sehingga beberapa orang Batak (maupun gereja) menolak pelaksanaan adat ini?

VI. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian literatur untuk membahas makna upacara adat mangongkal holi dalam konteks sosial kehidupan masyarakat Batak dan makna permintaan pemindahan tulang-belulang Yusuf dalam Kejadian 50:22-26. Terkait dengan pembahasan makna permintaan pemindahan tulang-belulang Yusuf dalam Kejadian 50:22-26, penulis memilih menggunakan pendekatan naratif. Pertimbangannya adalah bahwa teks tersebut pertama-tama dituangkan dalam bentuk narasi. Sebagaimana yang dikatakan E.G. Singgih, pendekatan naratif adalah “pendekatan terhadap teks Kitab Suci dengan

(6)

menghormati dan mengikuti sekuat-kuatnya jalan pengisahan atau penuturan”.6 Namun, tidak hanya sampai di situ, penulis juga akan menelusuri aspek-aspek ideologis yang terkandung di dalam teks. Menurut penulis hal ini penting dilakukan terkait dengan upaya memahami latar belakang dan makna permintaan pemindahan tulang-belulang Yusuf (dari perspektif upacara adat mangongkal holi, pokok ini — permintaan pemindahan tulang-belulang — juga penting untuk dipahami). Tentang ideologi, G.A. Yee mengatakan, “as a complex system of values, ideas, pictures, images, and perceptions, ideology motivates men and women to “see” their particular place in the social order as natural, inevitable an necessary.”7

VII. Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan.

Bab ini memaparkan secara umum latar belakang permasalahan, perumusan masalah, batasan permasalahan, judul skripsi, metode penulisan dan sistematika penyusunan skripsi.

Bab II : Makna Upacara Adat Mangongkal Holi dalam Konteks Sosial Kehidupan Masyarakat Batak.

Bab ini memaparkan penggalian makna adat mangongkal holi dalam konteks kehidupan masyarakat Batak.

Bab III : Makna Permintaan Yusuf agar Tulang-belulangnya dipindahkan dari Mesir ke Tanah yang dijanjikan Tuhan

Bab ini akan memaparkan penafsiran beberapa penafsir atas Kejadian 50:22-26 mengenai permintaan Yusuf kepada sanak saudaranya untuk membawa tulang-belulangnya dari Mesir ke tanah yang dijanjikan Tuhan.

6

E.G. Singgih, “Apa dan Mengapa Eksegese Naratif?”, dalam Majalah Gema Duta Wacana, no. 46 tahun 1993, hlm. 14

7

G.A. Yee, “Ideology Criticism: Judges 17-21 and Dismembered Body”, dalam G.A. Yee (ed.), Judges & Method: New Approaches in Biblical Studies, (Minneapolis: Fortress Press, 1995), hlm. 148

(7)

Bab IV : Pertimbangan Teologis atas Adat Mangongkal Holi

Bab ini akan memberikan pertimbangan teologis atas adat mangongkal holi. Pertimbangan teologis ini diperoleh dari pembandingan adat

mangongkal holi dan makna permintaan pemindahan tulang-belulang Yusuf.

Bab V : Kesimpulan dan Penutup.

Bab ini memaparkan kesimpulan dari seluruh pembahasan dalam bab-bab sebelumnya serta memberikan tanggapan singkat terhadap fenomena upacara mangongkal holi.

Referensi

Dokumen terkait

Resiko tinggi gangguan keseimbangan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d ketidakmampuan ginjal mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit Perubahan nutrisi

The mechanism of protein re-methylation inhibition is supported by results of studies that have indicated that successful treatment regimen could lower its concentration

Program pembinaan soft skill siswa melalui dasadarma dalam kegiatan kepramukaan dibuat atau diputuskan pada saat musyawarah gugus depan (Mugus) dan rapat kerja Dewan

Tabel II menjelaskan beberapa faktor utama yang menyebabkan cedera otot yang terjadi terhadap operator komputer [7]. Dalam penelitiannya wu dkk. memberikan

Kedua, korelasi genetik yang tinggi antara diameter dengan sifat pertumbuhan lainnya (tinggi dan volume batang) menunjukkan bahwa seleksi berdasarkan diameter mampu

Keempat: Perbuatan ini akan mengakibatkan menyia-nyiakan waktu. Dan waktu ini adalah salah satu perkara yang akan dipertanggung jawabkan oleh seorang hamba pada hari

Aset diakui pada saat potensi manfaat ekonomi masa depan diperoleh oleh pemerintah dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal. Sejalan dengan

Jadi, kalau diperhatikan, tampak bahwa dalam rangka merancang pembelajaran yang bernuansa Observation-Based Learning, guru harus menetapkan secara berturut-turut