• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA Papan Komposit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA Papan Komposit"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

A. Papan Komposit

Komposit dapat didefinisikan sebagai dua atau lebih elemen yang dipersatukan dengan suatu matriks (Berglund dan Rowell dalam Rowell 2005). Pengembangan produk komposit dimaksudkan untuk mencapai salah satu atau beberapa tujuan, yaitu: 1) mengurangi biaya bahan baku dengan menggabungkan bahan baku murah dan mahal; 2) mengembangkan produk dari pemanfaatan bahan daur ulang dan produknya sendiri dapat didaur ulang; 3) menghasilkan produk dengan sifat spesifik yaitu bersifat superior dibandingkan dengan bahan penyusunnya masing-masing (seperti meningkatkan nisbah kekuatan terhadap berat) (Youngquist 1995).

Istilah komposit lignoselulosik menggambarkan dua keadaan. Pertama ketika bahan berlignoselulosa berperan sebagai bahan utama dalam komposit, dan keadaan kedua adalah ketika bahan berlignoselulosa berperan sebagai agregat pengisi atau penguat dalam suatu matriks. Apapun skenario yang digunakan, tujuan dari pengembangan komposit lignoselulosik adalah untuk menghasilkan suatu produk dengan sifat yang merupakan gabungan sifat terbaik dari setiap komponen penyusunnya. Bahan baku komposit lignoselulosik berbasis pertanian dibedakan berdasarkan sumbernya, yaitu yang bersumber dari limbah pertanian, dan tanaman yang menghasilkan serat (English et al. dalam Rowell et al. 1997).

Papan komposit merupakan istilah umum untuk panel yang dibuat dari partikel atau bahan berlignoselulosa lainnya yang diikat dengan perekat melalui proses pengempaan pada tekanan dan temperatur tertentu (Pease, 1994). Salah satu jenis papan komposit yang banyak digunakan adalah papan partikel, papan blok, kayu lapis, LVL dan yang lainnya.

Berkaitan dengan pemanfaatan bahan lignosellulosa sebagai bahan baku papan komposit, nilai pH bahan untuk produk komposit sangat penting untuk dipertimbangkan. Blomquist et al. (1981) menyatakan bahwa kemampuan

perekat untuk mengalami curing sangat bergantung pada kondisi permukaan

bahan. Oleh karena ikatan silang sebagian besar perekat thermosetting tergantung

(2)

dikemukakan oleh Maloney (1993) bahwa beberapa jenis kayu memiliki kisaran nilai pH yang sesuai untuk pematangan perekat, akan tetapi terdapat juga jenis tertentu yang memiliki kisaran pH yang terlalu luas sehingga setting kondisi yang

sesuai untuk pematangan perekat sulit dilakukan, khususnya pada skala pabrik. Bahkan beberapa jenis kayu juga ada yang memiliki nilai pH yang tidak sesuai untuk pematangan perekat sehingga memerlukan penambahan bahan aditif.

Menurut Maloney (1993) terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi sifat akhir papan yaitu: jenis kayu, jenis bahan baku, jenis partikel, jenis perekat, jumlah dan distribusi perekat, penggunaan aditif, kadar air dan distribusi lapik, pelapisan berdasarkan ukuran partikel, pelapisan berdasarkan kerapatan, serta orientasi partikel.

Papan komposit seringkali dikombinasikan dengan lambaran finir pada bagian permukaannya untuk memperbaiki sifat mekanis. Menurut Bowyer dan Haygreen et al. (2003), penggunaan lapisan finir pada bagian permukaan papan partikel memperbaiki sifat panel dan kebanyakan parameter sifat fisis dan mekanisnya mirip dengan kayu lapis. Kombinasi papan partikel yang dilapisi dengan finir ini disebut comply. Com-ply terbuat dari finir dan partikel atau flake. Panel tersusun dari 3 lapis dimana finir berfungsi sebagai lapisan muka dan belakang, sementara partikel sebagai lapisan tengah (Maloney 1993).

Dengan pertimbangan bahwa pada masa yang akan datang bahan baku untuk pembuatan finir akan semakin terbatas, maka sebagai lapisan muka dan belakang papan partikel digunakan finir dari bilah bambu. Hasil penelitian Sudijono dan Subyakto (2002) menunjukkan bahwa papan komposit dengan kerapatan rata-rata 0,6 g/cm3 memiliki nilai MOR 246,2 kgf/cm2 pada papan komposit berlapis bilah bambu setebal 2 mm dibandingkan MOR sebesar 83,9 kgf/cm2 pada papan tanpa lapisan.

Pemikiran untuk membuat com-ply dengan kualitas yang lebih baik juga dilakukan oleh Hayashi et al. (2003) dengan menggunakan gabungan dari papan partikel gelombang sebagai core dengan papan serat berkerapatan sedang (medium density fiber board) sebagai pelapis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa keteguhan patah papan komposit yang dihasilkan setara dengan papan partikel kualitas tipe 18. Penelitian lain dengan menggunakan limbah kayu kelompok Dipterocarpaceae dan limbah karton gelombang sebagai

(3)

bahan pelapisnya dapat menghasilkan keteguhan patah 234 kgf/cm2 (Massijaya, 2005). Pada tahun yang sama Subiyanto et al. (2005) melakukan penelitian pembuatan sandwich panel dari limbah tandan kosong kelapa sawit dengan pelapis kayu lapis yang menghasilkan papan dengan keteguhan patah 237 kgf/cm2. Suhasman et al. (2006) mengemukakan bahwa papan komposit atau com-ply yang dibuat dari limbah kayu sengon dan karton daur ulang memiliki keteguhan patah 246 kgf/cm2. Penelitian lainnya juga telah dilaporkan oleh Erniwati et al. (2007) yang meneliti karakteristik papan komposit atau com-ply yang dibuat dari inti papan partikel kayu karet dan bahan pelapis berupa anyaman bambu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penggunaan anyaman bambu dengan arah saling tegak lurus terhadap arah panjang papan menghasilkan sifat-sifat mekanis yang lebih baik. Penelitian terbaru telah dilaporkan oleh Massijaya et al. (2008) yang menggunakan bahan pelapis dari pandan, enceng gondok dan bambu tali, menyimpulkan bahwa penggunaan anyaman bambu tali, pandan dan enceng gondok berpotensi untuk digunakan sebagai substitusi bahan pelapis finir.

Beberapa penelitian yang dilakukan tentang pengembangan papan blok diantaranya Desyanti, Bakar., Sofyan. dan Hadi. (2000) meneliti tentang pemanfaatan kayu sawit sebagai inti papan blok, dengan perlakuan ketebalan inti dan kondisi perekatan strip inti dengan menggunakan perekat Urea Formaldehida memberikan hasil sifat fisis (kadar air, kerapatan, stabilitas dimensi), sifat mekanis (MOE, MOR dan keteguhan pegangan skrup) dan keteguhan rekat (geser tarik dan delaminasi) kesemuanya dapat memenuhi standar ASTM, SNI dan JIS kecuali untuk parameter delaminasi. Pemanfaatan kayu sawit sebagai inti papan blok sampai dengan 80% masih dapat memenuhi standar tersebut di atas.

Xiang G dan Guo (1997), meneliti tentang sifat papan blok yang intinya dibuat dari 10 jenis kayu dari Cina Selatan. Sifat papan yang dihasilkan dapat memenuhi standar GB 5850-86, namun memperlihatkan reaksi yang berbeda dari masing-masing. Hasilnya juga mengidentifikasikan bahwa kerapatan, kekerasan dan susut dari inti mempengaruhi sifat dari papan blok.

Sulastiningsih, Sutigno dan Iskandar (1995), meneliti tentang pembuatan papan blok 5 lapis dari kayu sengon dengan ketebalan inti 1 cm dan 1,5 cm dengan variasi lebar strip inti ( 0,7 cm, 2,5 cm dan 7,6 cm): Lebar strip ternyata

(4)

mempengaruhi pengembangan tebal dan pengembangan panjang dari papan blok. Tebal strip mempengaruhi pengembangan panjang dan pengembangan lebar. Dari semua perlakuan hanya papan blok dengan tebal strip 1 cm dan lebar strip 0,7 cm yang memenuhi standar Jerman.

Penggunaan produk panel komposit diantaranya adalah untuk alas pada peti kemas (container) atau yang lebih dikenal dengan container flooring. Container flooring dibuat dari finir-finir kayu keras, yang disusun menjadi kayu lapis yang tebal (tebal = 28 mm) dan mempunyai daya tahan yang lama dalam pemakaiannya (www.awpanels.com.au/plywood/container-flooring.htm). Container flooring yang digunakan dalam kegiatan ekspor harus memenuhi kriteria International Sanitary Phyto Material (ISPM)#15 jika bahan yang digunakan merupakan kayu solid. Akan tetapi sertifikasi ISPM tersebut tidak berlaku jika komoditas ekspor tersebut merupakan produk kayu olahan yang menggunakan perekat seperti kayu lapis, papan partikel, serta finir.

B. Perekat Polyurethane

Berbagai jenis perekat yang dikenal dan digunakan secara luas untuk berbagai produk adalah urea formaldehida, melamin formaldehida, fenol formaldehida dan resorsinol formaldehida. Semua jenis perekat tersebut mengandung senyawa formaldehida yang mudah lepas ke udara baik selama proses pengerjaan maupun dalam penggunaannya. Pelepasan senyawa ini disebut emisi formaldehida yang dapat mengganggu kesehatan manusia (Vick, 1999). Salah satu upaya untuk menanggulangi bahaya emisi tersebut adalah dengan menggunakan perekat non formaldehida seperti isocyanate, epoxy, polyurethan, maupun polivinil asetat. Dari beberapa jenis perekat tersebut, salah satu yang lebih ekonomis dan efisien dalam penggunaan energi adalah polyurethan, karena harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan perekat non formaldehida lainnya, serta dapat matang pada suhu ruangan.

Polyurethane merupakan jenis perekat berbentuk cair dengan kekentalan yang rendah sampai tinggi seperti gel, tersedia dalam satu atau dua sistem yang reactive, warna bervariasi mulai dari bening sampai coklat, dan garis rekatnya tidak berwarna. Perekat ini diaplikasikan langsung pada salah satu permukaan,

(5)

terutama pada permukaan yang terdapat uap air, reaktif dengan uap air pada permukaan dan di udara. Selain dari itu perekat ini matang pada suhu ruangan dengan tekanan yang besar untuk perekat yang kekentalannya rendah, tetapi perekat yang berbentuk gel (kekentalan yang tinggi) hanya dibutuhkan tekanan yang kecil. Perekat polyurethane ini memiliki kekuatan ikat yang tinggi baik dalam kondisi basah atau kering, sangat tahan terhadap air dan kelembaban dibandingkan kayu pada temperatur tinggi dan senyawa kimia (Vick, 1999, Frihart, 2005).

Polyurethane tersusun dari senyawa diisocyanate dan polyol, terutama polypropylene glycol dan polyester polyol.

C. Bambu

Bambu adalah salah satu potensi bahan baku alternatif yang sangat menjanjikan karena ketersediaannya yang melimpah, pertumbuhannya yang cepat, serta mudah dibudidayakan (Muin et al. 2006). Pertumbuhan bambu yang sangat cepat tersebut membuatnya telah tercatat dalam Guinness Book of Record (1999) dimana beberapa jenis bambu termasuk dalam kelompok tumbuhan yang pertumbuhannya paling cepat. Beberapa jenis diantaranya bahkan tumbuh luar biasa dengan pertambahan tinggi 91 cm per hari.

Bambu merupakan ‘perennial grasses’ yang termasuk dalam subfamili Bambusoidae, famili Graminiae dengan batang berkayu dan beruas-ruas.

Terdapat sekitar 87 genera dan lebih dari 1500 jenis bambu di dunia, dan sekitar 100 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi yang penting (Diver, 2001). Data yang dikemukakan Maoyi and Bay (2004) menunjukkan semakin banyak jenis bambu yang dikenal, yaitu lebih dari 1200 jenis diantaranya ditemukan di Asia.

Bambu memiliki banyak manfaat, baik manfaat ekologis maupun sebagai bahan baku industri. Secara ekologis, bambu sangat menguntungkan bagi lingkungan karena menghasilkan biomassa yang sangat tinggi. Hutan bambu dapat menghasilkan biomassa tujuh kali lebih banyak daripada pepohonan. Oleh karenanya peranan hutan bambu sebagai penghasil oksigen (O2) dan penyerap

karbon dioksida (CO2) bagi kepentingan ekosistem global sangat penting,

(6)

drastis. Fungsi ekologis lain adalah kemampuannya dalam mencegah erosi karena dapat memperkuat ikatan partikel tanah dan menahan limpasan air. Karena fungsi ekologisnya yang beragam, bambu merupakan tanaman yang dapat digunakan untuk pembudidayaan tanah marjinal (PT. Bambu Nusantara).

Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku industri sering dijumpai pada produk-produk konstruksi, tangga, pagar, kontainer, mebel, dan beberapa produk kerajinan tangan. Selain pemanfaatan bambu yang umum tersebut, maka untuk menggunakan bambu secara lebih tepat guna dan lebih luas, beberapa penelitian tentang karakteristik dan sifat-sifat dasarnya telah dilaksanakan.

Dransfield dan Widjaya (1995) menuliskan dalam penelitiannya tentang anatomi bambu yaitu kolom bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sive tubes). Parenkim dan sel

penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar. Sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sedangkan parenkimnya berkurang. Hasil penelitian (Londono et al.,

2002) menunjukkan bahwa batang bambu jenis Guadua angustifolia dari

Kolumbia terdiri atas 40% serat, 51% parenkim dan 9% jaringan vascular. Hasil penelitian Latif et al. (1990) pada jenis Bambusa vulgaris, Bambusa bluemeana,

dan Gigantochloa scortechinii berumur 1 – 3 tahun menunjukkan bahwa ukuran

vaskular bundle (rasio radial : tangensial) dan panjang serat berkorelasi positif

terhadap MOE dan tegangan pada batas proporsi. Ia menjelaskan bahwa bambu yang memiliki serat yang lebih panjang akan lebih kaku jika ukuran vascular bundle-nya lebih besar. Adapun hubungan antara panjang serat dengan keteguhan

geser adalah negatif. Tebal dinding serat berkorelasi positif dengan keteguhan tekan dan MOE akan tetapi berkorelasi negatif dengan MOR.

Li et al. (2004) melaporkan bahwa sifat mekanis bambu meningkat dengan

peningkatan umurnya. Penelitian yang ia lakukan lebih lanjut menunjukkan bahwa konsentrasi vascular bundle meningkat dari bagian dalam ke luar (Li et al.

2007). Dalam penelitian yang sama ditemukan pula bahwa terdapat peningkatan berat jenis yang signifikan antara bambu berumur 1 tahun dan 3 tahun yang disebabkan oleh peningkatan jumlah sel dalam vascular bundle dan penebalan

(7)

sekunder dinding sel. Akan tetapi meskipun kandungan holosellulosa dan lignin klason juga meningkat pada umur 3 tahun akan tetapi nilainya relatif kecil. Demikian halnya dengan kandungan ekstraktif yang juga meningkat dari umur 1 tahun ke umur 3 tahun.

Hasil penelitian tentang sifat kimia bambu dikemukakan oleh Gusmailina dan Suwardi 1988 dalam Krisdianto dkk., 2000 yang menyatakan bahwa bambu memiliki kadar selulosa yang berkisar antara 42,4% - 53,6%, kadar lignin berkisar antara 19,8% - 26,6%, sedangkan kadar pentosan 1,24% -3,77%, kadar abu 1,24% - 3,77%, kadar silika 0,10% - 1,28%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air dingin) 4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3% - 11,8% dan kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzene) 0,9% - 6,9%. Penelitian Li et al. (2007) menunjukkan bahwa bambu Phyllostachys pubescens mengalami

peningkatan kandungan holosellulosa dan α-sellulosa dari pangkal ke ujung batang, akan tetapi kandungan lignin (klason) dan kadar abunya tidak berbeda nyata. Lapisan luar batang memiliki kadar holosellulosa, α-sellulosa, dan lignin (klason) yang paling tinggi dibandingkan bagian lainnya dan memiliki kadar ekstraktif dan kadar abu yang paling rendah. Di sisi lain, kandungan silika epidermis tiga kali lebih tinggi dari lapisan paling dalam bambu.

Selanjutnya penelitian tentang sifat fisik bambu dikemukakan oleh Dransfield dan Widjaja (1995) yang menyatakan bahwa kadar air bambu meningkat dari bawah ke atas dari umur 1 – 3 tahun, tetapi kemudian menurun pada bambu yang berumur lebih dari 3 tahun. Kadar air meningkat pada musim hujan jika dibandingkan dengan pada musim kemarau. Selanjutnya dikemukakan oleh Hadjib dan Karnasudirdja (1986) bahwa beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisik dan mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas), posisi radial dari luar sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu. Berbeda dengan kayu yang mengalami perubahan dimensi setelah kadar air menurun di bawah titik jenuh serat, dinding sel dan diameter bambu mengalami penyusutan segera setelah bambu kehilangan air (Tewari, 1992). Bambu yang berumur lebih tua (3 tahun) memiliki stabilitas dimensi yang lebih tinggi dibandingkan bambu yang lebih muda (1 tahun) (Latif, 1993). Hasil penelitian Lee et al. (1994) menunjukkan bahwa penyusutan pada

(8)

arah radial jauh lebih besar yaitu dual kali lipat dibandingkan arah tangensial, sementara penyusutan pada arah longitudil relatif dapat diabaikan.

Berdasarkan pemahaman yang lebih baik tentang karakteristik dan sifat-sifat bambu, maka dewasa ini, penggunaan bambu telah berkembang semakin luas diantaranya menjadi bahan baku produk panel. Panel bambu multi fungsi yang dibuat dengan cara menggabungkan produk bilik rakyat dengan bambu bulat menggunakan perekat telah dikembangkan oleh Purwito (2005). Jenis panel bambu tersebut dapat digunakan sebagai komponen dinding, lantai, balok, penutup atap dan pencetak beton. Noermalicha (2005) telah mengembangkan suatu rancang bangun laminasi lengkungan bambu sebagai sebuah fenomena desain berbasis teknologi menggunakan bambu betung, bambu tali dan bambu andong. Pemanfaatan bambu sebagai bahan baku papan semen komposit telah dilakukan oleh Suhasman et al. (2008). Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa penggunaan bambu pada berbagai kelas umur (bambu muda, dewasa dan tua) dengan metode konvensional ternyata menghasilkan papan semen dengan kualitas yang relatif sama.

C.1. Risalah Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne))

Bambu betung memiliki nama latin Dendrocalamus asper (Schult,) Backer ex Heyne. Bambu betung juga memilik banyak nama daerah diantaranya untuk kultivar hijau disebut Betung, Beto (manggarai), Bheto (Bajawa), Oo Patu (Bima) dan Patung (Tetun), sedangkan untuk kultivar hitam disebut Bheto Laka (Bajawa). Di kepulauan Sunda Kecil, bambu betung tersebar di segala tempat, namun tumbuh paling baik di tempat yang kurang berair tetapi diameter batangnya lecil. Jenis bambu ini berhabitat di tanah alluvial di daerah tropika yang lembab dan basah, tetapi bambu ini juga tumbuh di daerah yang kering dataran rendah maupun tinggi (Widjaya 2001).

Bambu betung merupakan bahan bangunan yang murah dan kuat, tetapi dalam penggunaannya bambu jenis ini sangat disukai oleh bubuk. Serangan bubuk ini erat sekali hubungannya dengan kandungan amilum atau zat pati dalam bambu betung. Untuk mengurangi kandungan zat pati yang ada, perlu dilakukan

(9)

perlakuan yang efektif sebelum bambu tersebut digunakan sebagai bahan bangunan (Prawirohatmojo 1979 dalam Krisdianto dkk., 2000).

C.2. Risalah Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz)) Bambu tali dengan nama latin Gigantochloa apus (J.A. dan J.H. Schultes) Kurz memiliki nama daerah pring tali, pring apus (Jawa), awi tali (Sunda). Bambu tali ini tersebar di seluruh Jawa, tetapi juga tumbuh liar di Taman Nasional Alas Purwo dan Meru Betiri. Habitat asli bambu tali adalah daerah tropis yang lembab dan kering. Rumpun bambu tali ini adalah simpodial, rapat, dan tegak (Widjaya 2001).

C.3. Risalah Bambu Andong (Gigantochloa verticillata (Willd.) Munro)) Bambu andong memiliki nama daerah pring gombong, pring andong, pring surat (Jawa), awi andong, dan awi gombong (Sunda). Bambu ini tersebar di seluruh Pulau Jawa dengan habitat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 1500 mdpl dan tumbuh baik di daerah tropis yang lembab dengan rumpun simpodial, tegak dan padat (Widjaya 2001).

D. Limbah Kayu

Limbah kayu merupakan bagian kayu juvenil dari kayu karet (Hevea brasiliensis (Willd. Ex A. Juss.) Mull. Arg.). Secara umum kayu karet memiliki karakteristik sebagai berikut: ciri umum dari kayu karet adalah teras berwarna putih sampai kuning muda; sedikit bercorak, tekstur yang dimilikinya agak kasar sampai kasar dengan arah serat lurus; kerapatan kering oven dan kering udara berturut-turut adalah 0,56 g/cm3 dan 0,6 g/cm3, keawetan alaminya rendah (mudah terserang jamur pewarna), memiliki MOR 601 kg/cm2 dan MOE 61853 kg/cm2, kekuatan tekan sejajar dan tegak lurus serat rendah yaitu 336 kg/cm2 dan 102 kg/cm2, kekerasan yang sedang (663 kg/cm2), memiliki kekuatan geser yang tinggi (107 kg/cm2), serta penyusutan yang sedang ke arah radial dan tangensial (3,1% dan 6,7%) (Kikata et al. 2002). Sifat lain dari kayu karet yang menarik adalah mempunyai sifat perekatan yang baik dengan semua jenis perekat industri (Boerhendhy dan Agustina 2006). Kayu juvenil adalah massa xylem atau bagian

(10)

kayu yang dibentuk oleh kambium vascular pada tahun-tahun pertama pertumbuhan, saat kambium vascular masih dipengaruhi oleh kegiatan meristem pucuk (meristem apikal). Kayu juvenil dibentuk oleh kambium sebagai hasil perpanjangan pengaruh meristem apical pada daerah tajuk yang aktif (Panshin dan de Zeeuw, 1980).

Kayu juvenil telah diberi batasan sebagai xilem sekunder yang dihasilkan oleh aktifitas kambium yang dipengaruhi oleh kegiatan dalam meristem apikal. Batasan ini berguna untuk menerangkan mengapa terdapat perubahan yang berangsur-angsur dalam sifat kayu antara kayu juvenil dan kayu dewasa (Bowyer dan Haygreen et.al., 2003). Istilah kayu juvenil kurang tepat disebut sebagai kayu muda atau kayu remaja, karena bagian ini justru dibentuk pada tahun-tahun pertama pertumbuhan pohon. Nama dan istilah lain untuk kayu juvenil mungkin lebih tepat disebut kayu inti atau kayu hati, karena selalu terdapat di bagian tengah di sekitar empulur, sedangkan kayu dewasa terletak di bagian luarnya (Pandit, 2000).

Banyak hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa mutu kayu juvenil jauh lebih rendah dibandingkan kayu dewasa. Sebagai gambaran, pada kayu daun jarum dan kayu daun lebar, sel-sel kayu juvenil lebih pendek dibandingkan kayu dewasa. Sel-sel dewasa pada kayu daun jarum dapat mencapai 3 – 4 kali panjang sel-sel kayu juvenil, sedangkan panjang sel-sel dewasa pada kayu daun lebar dapat mencapai dua kali panjang sel-sel yang terdapat dekat empulur.

Demikian juga dengan kerapatan dan berat jenis kayu juvenil yang lebih rendah dibandingkan kayu dewasa. Tebal dinding sel yang lebih tipis dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian Sugiharti (2001), Hartono, dkk. (2003), Widiarty (2003), Darwis, dkk. (2005) kayu cepat tumbuh pada umur 7 dan 10 tahun seluruhnya masih tergolong kayu juvenil.

Kretschmann et.al. (1993) menulis bahwa laminated veneer lumber (LVL) yang dibuat dari kayu juvenil memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan LVL yang terbuat dari kayu dewasa.

(11)

E. Finir

Menurut Perry (1948), finir adalah lembaran tipis yang diperoleh dari pemotongan secara kupas atau sayat ataupun gergaji yang mempunyai ketebalan tertentu dan seragam berkisar dari 0,24 mm sampai 6,00 mm dan jarang dibuat finir yang tebal.

Finir kualitas rendah dari kayu lunak (softwood) yang tebal digunakan secara luas untuk kayu lapis konstruksi, sedangkan finir kayu keras (hardwood) digunakan untuk pembuatan kayu lapis sebagai panil, bagian-bagian bahan industri, perabot rumah tangga dan sebagai konstruksi (Haygreen & Bowyer, 1996).

Haygreen dan Bowyer (1996) mengungkapkan bahwa secara garis besar pembuatan finir dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) pemanasan blok, (2) pemotongan finir, (3) penyimpanan dan pengguntingan finir, (4) pengeringan finir.

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian latar belakang permasalahan dalam peningkatan layanan dan pengumpulan data PWS KIA tersebut diatas dan dari beberapa hasil penelitian terkait PWS KIA dan pengembangan

Bagi kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/bagian proyek/pejabat yang disamakan/ditunjuk serta anggota panitia pengadaan yang terbukti melanggar ketentuan dalam Keputusan

Oleh sebab itu, agar hubungan antar peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya dapat terjalin dengan harmonis, baik vertikal, maupun

Pada bulan Mei, inflasi terjadi terutama disebabkan karena kenaikan harga yang ditunjukkan oleh kenaikan indeks pada kelompok bahan makanan sebesar 2,01 persen, kelompok

Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa AFB 1 dosis 4,5 mg/kg BB yang diberikan pada mencit bunting selama masa organogenesis dapat menghambat pertumbuhan

Hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kompensasi yang diberikan oleh Cargill Tropical Palm (ISK Lake View Estate) kepada karyawan lapangan sudah besar sehingga

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi 1) Upaya peningkatan kesiapan kerja peserta didik lulusan SMK Negeri 1 Karanganyar; 2) Kendala yang menghambat

Agustin (2010) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif STAD merupakan pembelajaran yang memandang keberhasilan individu diorientasikan dalam keberhasilan