• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PELAKSANAAN RUJUKAN PESERTA BPJS KESEHATAN DI PUSKESMAS TIKALA BARU DAN PUSKESMAS TELING ATAS DI KOTA MANADO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAMBARAN PELAKSANAAN RUJUKAN PESERTA BPJS KESEHATAN DI PUSKESMAS TIKALA BARU DAN PUSKESMAS TELING ATAS DI KOTA MANADO"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

GAMBARAN PELAKSANAAN RUJUKAN PESERTA BPJS KESEHATAN DI PUSKESMAS TIKALA BARU DAN PUSKESMAS TELING ATAS DI KOTA MANADO

Geby Goniwala*, Grace D. Kandou*,Ardiansa A.T. Tucunan* *Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi

ABSTRAK

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta BPJS Kesehatan dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan. Persentase rujukan menurut data Dinas Kesehatan kota Manado tahun 2015, sebesar 16,9 % dari jumlah kunjungan pasien, di Puskesmas Tikala Baru rujukan mencapai 51,6 % dari jumlah kunjungan pasien, dan di Puskesmas Teling Atas rujukan mencapai 23.5 % dari jumlah kunjungan pasien. Data tersebut menunjukkan tingginya angka rujukan pasien di Puskesmas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan rujukan peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas Tikala Baru dan Puskesmas Teling Atas. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Dilaksanakan pada bulan November – Desember 2016. Informan sebanyak 8 orang. Instrumen yaitu pedoman wawancara, alat perekam suara, kamera dan alat tulis menulis. Sumber data yang digunakan yaitu data primer dan data sekunder. Menetapkan kebenaran data dilakukan pemeriksaan dengan triagulasi sumber dan triagulasi metode. Hasil penelitian diketahui bahwa informan mengetahui syarat dan prosedur standar merujuk pasien sesuai dengan Pedoman Sistem Rujukan Nasional. Namun didapati bahwa kedua Puskesmas ini tidak ada informed concent rujukan pasien. Surat rujukan hanya dicetak 1 rangkap. Sebelum merujuk, fasyankes tujuan rujukan tidak dihubungi. Serta masih ada juga pasien yang sudah di RS, kemudian anggota keluarganya yang minta rujukan. Puskesmas perlu membuat informed concent untuk rujukan pasien, surat rujukan 2 rangkap dan menghubungi fasyankes tujuan rujukan agar pelakanaan rujukan peserta BPJS Kesehatan berjalan efektif dan efisien.

Kata Kunci : Syarat Rujukan, Prosedur Standar Rujukan ABSTRACT

Health care referral system was implemented in stages according to personal medical conditions. First, members of BPJS healthcare will be going to the community health centre (Puskesmas) and/or Family’s doctor listed by BPJS. According to the public health department of Manado in 2015, number of referrals are 16.9% from total visitors of Puskesmas. 51.6% in Puskesmas Tikala Baru and 23.5% in Puskesmas Teling Atas. The data shows high percentages or refferals from Puskesmas as the first stage of medical healthcare. This research are describes the implementation of healthcare referral system by Puskesmas Tikala Baru and Puskesmas Teling Atas for members of BPJS. This research is a qualitative study conducted in November to December 2016. There are 8 participants in this research as informants. Interview using voice recorders, camera and stationaries. The sources of data are primary and secondary data. Data validation applied by using triangulatian sources and methods. This research reveales that informant was known the procedures and requirements of referral system according to National Referral System Guidelines. The fact is, both Puskesmas Tikala Baru and Puskesmas Teling atas doesn’t provide informed concent of referral system. The referral are printed as a letter without another copy and early information to the next stage destination. Another fact are revealed in this research is many patients going to the hospital first, and then request the referral from Puskesmas. Puskesmas should make informed concent for referral according to National Referral System Standard and Procedures. 2 copies of letter and inform the next stage destination. Thus, the referral healthcare for BPJS members will be applied efectively and effiently.

(2)

2 PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial ekonomis (Riskesdas, 2015). Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang diselenggarakan melalui mekanisme asuransi sosial yang bertujuan agar seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan (PMK RI No. 28 tahun 2014).

Pusat Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama yang memiliki peranan penting dalam sistem kesehatan nasional, khususnya subsistem kesehatan (PMK RI No. 75 tahun 2014). Puskesmas merupakan pusat pelayanan kesehatan primer yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan. Jika dilihat dari sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa, Puskesmas

merupakan ujung tombak sistem pelayanan kesehatan di Negara ini. Sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia maka Puskesmas harus bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayahnya dengan mengutamakan promotif dan preventif disamping kuratif dan rehabilitatif.

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, peserta BPJS Kesehatan dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer yang tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan. Pelayanan rujukan bisa dilakukan secara horisontal maupun vertikal. Rujukan horisontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan jika perujuk (fasilitas kesehatan) tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan atau ketenagaan yang sifatnya semetara atau menetap. Sedangkan rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi, atau sebaliknya (PMK RI No. 001 tahun 2012).

(3)

3 Menurut Puspitaningtyas (2014), sistem rujukan merupakan permasalahan yang belum terselesaikan di sistem kesehatan kita. Salah satu kelemahan pelayanan kesehatan yaitu pelaksanaan rujukan yang kurang cepat dan tepat. Masih banyak dijumpai menumpuknya pasien pada Rumah Sakit rujukan tingkat ketiga dengan kasus-kasus yang sebenarnya masih bisa diselesaikan di Rumah Sakit di bawahnya. Ini merupakan permasalahan yang tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan serta akan berpengaruh terhadap pencapaian kinerja dibidang kesehatan serta keseluruhan. Saat ini, kasus rujukan ke layanan sekunder untuk kasus-kasus yang masih dapat dituntaskan di layanan primer termasuk cukup tinggi. Berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain kompetensi dokter, pembiayaan, dan sarana prasarana yang belum mendukung (Ali, 2015).

Dalam Harian Kompas (26 Maret 2016) hingga triwulan pertama 2015, tercatat 9,5% dari total jumlah pasien yang menjadi peserta program dianggap salah rujukan, yakni berupa rujukan nonspesialistik yang masih bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional Chazali Husni Sitomorang dalam diskusi yang digelar

BPJS “Memahami Lebih Dalam Sistem Rujukan dan Pola Pembayaran BPJS” mengatakan bahwa sistem rujukan jalan, tapi belum maksimal. Pada data BPJS Kesehatan, pada triwulan pertama 2015 ada 14.619.528 kunjungan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Dari data itu, 2.236.379 kunjungan dirujuk dari pelayanan primer ke tingkat pelayanan sekunder, 214.706 kunjungan diantaranya merupakan rujukan nonspesialistik yang seharusnya tidak perlu dirujuk dan bisa diselesaikan di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Taher (2016), dikutip pada harian kompas (26 Maret 2016) mengatakan bahwa idealnya hanya 10 % pasien yang dirujuk ke pelayanan sekunder. Namun, saat ini jumlah rujukan ke pelayanan sekunder mencapai 15,3 %.

Savithri (2016) dikutip dalam koran harian Republika (6 April 2016) sebagai Kepala Seksi Pengelolaan Pelayanan Rujukan, Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan Rujukan Kemenkes, mengatakan bahwa sampai saat ini masih banyak permasalahan tentang pemberian rujukan di lapangan, 27 % Rumah Sakit yang bekerjasama secara vertikal dengan BPJS selama ini menangani penyakit batuk pilek, mengakibatkan beban biaya yang ditanggung oleh BPJS menjadi lebih besar. Padahal, skala penyakit ini masih bisa ditangani di Puskesmas.

(4)

4 Data Dinas Kesehatan Kota Manado tahun 2015, jumlah kunjungan pasien peserta JKN di Kota Manado sebanyak 87.657 kunjungan dan pasien rujukan peserta JKN sebanyak 14.835 rujukan. Di Puskesmas Tikala Baru sendiri ada 3.585 kunjungan pada tahun 2015, dan 1.852 pasien diantaranya dirujuk. Di Puskesmas Teling Atas ada 8850 kunjungan pada tahun 2015, dan 2085 pasien diantaranya dirujuk. Persentase rujukan di kota Manado yaitu 16,9 % dari jumlah kunjungan pasien, di Puskesmas Tikala Baru rujukan mencapai 51,6 % dan di Puskesmas Teling Atas angka rujukan mencapai 23.5 %. Dari data di tersebut bisa dilihat tingginya angka rujukan pasien dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama baik secara nasional, bahkan di Kota Manado dan lebih spesifik lagi di Puskesmas Tikala Baru dan Puskesmas Teling Atas. Data yang diperoleh dari Dinas Kehatan Kota Manado menunjukan bahwa angka rujukan dari Puskesmas di kota Manado khususnya di Puskesmas Tikala Baru dan Puskesmas Teling Atas cukup tinggi. Tingginya angka rujukan di atas bisa berdampak pada rumah sakit penerima rujukan.

Belum optimalnya sistem rujukan bisa dilihat pada rujukan yang tidak sesuai dengan indikasi rujukan dan rujuk balik yang tidak berjalan. Semua itu berakibat pada penumpukan pasien di

RSUD dan akhirnya berakibat pada menurunnya kualitas pelayanan kesehatan (Primasari, 2015). Latar belakang di atas merupakan landasan dalam penelitian mengenai Gambaran Pelaksanaan Rujukan peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas Tikala Baru dan Puskesmas Teling Atas di Kota Manado.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi mendalam dengan melakukan wawancara mendalam dan terbuka, observasi langsung dan penelaahan terhadap dokumen tertulis (Susila & Suyanto, 2014). Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara, yaitu di Puskesmas Tikala Baru dan Puskesmas Teling Atas pada bulan November – Desember 2016. Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Puskesmas Tikala Baru, Dokter Puskesmas Tikala Baru, Staf Puskesmas Tikala Baru, Kepala Puskesmas Teling Atas, Dokter Puskesmas Teling Atas, Staf Puskesmas Teling Atas, dan Pasien/ Keluarga Pasien peserta BPJS Kesehatan di Puskesmas Tikala Baru dan Puskesmas Teling Atas. Instrument penelitian yang digunakan berupa pedomann wawancara mendalam yang dilengkapi dengan daftar pertanyaan mengenai pelaksanaan rujukan dan

(5)

5 dibantu dengan alat perekam suara serta alat tulis menulis agar data dan informasi yang diperoleh tercatat dengan jelas, lengkap dan akurat.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer hasil wawancara mendalam terhadap para narasumber, yang berhubungan dengan pelaksanaan rujukan peserta BPJS Kesehatan, di Puskesmas Tikala Baru dan Puskesmas Teling Atas. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan telaah dokumen. Setelah penelitian selesai dilakukan, data-data yang diperoleh akan diolah secara manual dengan membuat transkrip lalu disusun dalam bentuk matriks dan selanjutnya di analisis .

Memeriksa keabsahan data yang diperoleh, penulis menggunakan teknik triagulasi data. Triagulasi merupakan teknik pemerisaan keabsahan data penelitian dengan cara membanding-bandingkan antara sumber, teori, maupun metode/teknik penelitian. Triagulasi sumber merupakan salah satu teknik pemeriksaan keabsahan data yang diperoleh dari masing-masing narasumber. Triagulasi metode dilakukan dengan membandingkan data yang dihasilkan dari berbagai metode yang beda, yang digunakan dalam penelitian. Triagulasi data dilakukan melalui hasil rekaman wawancara

mendalam yang dibuat menjadi transkrip wawancara dan selanjutnya dijadikan bahan dalam pembuatan matriks wawancara mendalam.

HASIL DAN PEMBAHASAN Syarat Merujuk Pasien

Sebelum merujuk pasien dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan dijelaskan bahwa pasien yang akan dirujuk sudah diperiksa, dan disimpulkan bahwa kondisi pasien layak serta memenuhi syarat untuk dirujuk, tanda-tanda vital berada dalam kondisi baik/stabil serta transportable. Memenuhi salah satu syarat diantaranya, hasil pemeriksaan pertama sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi secara tuntas di fasyankes, hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis, ternyata pasien tidak mampu diatasi secara tuntas ataupun tidak mampu dilayani karena keterbatasan sarana dan prasarana, memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan harus disertai pasien yang bersangkutan, dan apabila telah diobati di fasyankes tingkat pertama dan atau dirawat di fasyankes perawatan tingkat pertama di puskesmas perawatan/ RS D Pratama, ternyata masih memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan di fasyankes rujukan yang lebih mampu,

(6)

6 untuk dapat menyelesaikan masalah/ kesehatannya dan dapat dikembalikan ke fasyankes perujuk.

Penelitian yang dilakukan oleh Zulhadi (2013), menyatakan bahwa kesiapan Puskesmas dan RSUD sebagai pusat rujukan belum sepenuhnya optimal, diantaranya keterbatasan sumber daya di pelayanan dasar berupa fasilitas dan alat, walaupun tidak significan memengaruhi sistem rujukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ali (2015), menyatakan bahwa rujukan terjadi atas permintaan pasien, pelaksanaan rujukan yang terjadi di lapangan berbeda, pasienpun menentukan dalam pemberian rujukan. Pasien bisa sangat menuntut jika menginginkan seperti dari hasil wawancara. Umumnya mereka kurang percaya dengan pelayanan kesehatan di fasilitas tingkat pertama, sehingga walaupun telah dijelaskan berulang-ulang bahwa penyakitnya dapat diobati di Puskesmas, namun mereka tetap bersikeras meminta rujukan, bahkan ada yang mengancam kalau tidak dirujuk akan keluar dari puskesmas. Keadaan ini biasanya dapat menyulitkan dokter dalam mengambil keputusan dan akhirnya dokterpun akan memberikan rujukan.

Sistem rujukan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan kebutuhan

medis. Pada pelayanan kesehatan tingkat pertama, pasien dapat berobat ke FKTP yang tercantum pada kartu BPJS Kesehatan. Apabila pasien memerlukan pelayanan lanjutan maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua. Peserta BPJS Kesehatan harus mengikuti sistem rujukan yang ada. Apapun penyakitnya, jika tidak dalam keadaan darurat, maka harus berobat ke fasilitas kesehatan tingkat pertama terlebih dahulu, tidak bisa langsung ke rumah sakit.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi dokumen menggambarkan bahwa informan sudah mengetahui tentang syarat-syarat dalam proses pelaksanaan rujukan pasien. Para informan meyatakan bahwa sebelum dirujuk, pasien diperiksa terlebih dahulu. Kalau penyakitnya masih bisa ditangani di puskesmas maka akan ditangani dipuskesmas, tapi jika tidak dapat diitangani di puskesmas maka akan dirujuk. Beberapa informan yang menjelaskan bahwa ada 155 penyakit yang seharusnya menjadi kompetensi puskesmas dan tidak bisa dirujuk. Informan juga mengetahui bahwa dalam pelaksanaan rujukan, pasien harus datang dan diperiksa terlebih dulu, dua orang informan diantaranya mengatakan bahwa memang ada banyak keluarga pasien yang datang minta rujukan, tapi tidak bisa karena syaratnya memang

(7)

7 harus ada pasien lalu diperiksa oleh dokter dan dokter yang akan memberikan rujukan kalau memang harus dirujuk, dan dijelaskan kalau memang benar sakit, maka bisa langsung ke rumah sakit, karena dalam keadaan darurat tidak memerlukan rujukan.

Dari hasil wawancara dengan pasien dan keluarga pasien juga dikatakan bahwa sebelum dirujuk, pasien diperiksa terlebih dahulu dan dokter menjelaskan bahwa, kalau masih bisa ditangani di puskesmas akan ditangani puskesmas tapi kalau tidak dapat ditangani, maka akan dirujuk. Ada juga informan yang mengatakan bahwa bisa tidak diperiksa terlebih dahulu.

Prosedur Standar Merujuk Pasien Berdasarkan hasil wawancara mendalam terhadap informan yang ada tentang prosedur standar merujuk pasien dan hasil observasi dokumen, kebanyakan informan sudah mengetahui dan mengikuti prosedur standar merujuk pasien. Sesuai dengan Pedoman Sistem Rujukan Nasional, bahwa prosedur standar merujuk pasien terbagi atas, prosedur klinis, prosedur administrasi dan prosedur operasional merujuk pasien. Namun juga masih ada dokumen yang tidak lengkap bahkan tidak ada di Puskesmas.

Peneltian yang dilakukan oleh Bitjoli (2015) tentang Gambaran Pelaksanaan Rujukan Lanjut Berjenjang pada Pasien BPJS di Puskesmas Ngesrep Kota Semarang Tahun 2015 yang menyatakan bahwa penerapan prosedur rujukan di Puskesmas Ngesrep Kota Semarang sudah sesuai dengan standar operasional prosedur eternal puskesmas dan prosedur BPJS tentang pedoman sistem rujukan berjenjang. Walaupun masih ada pasien yang meminta rujukan dengan paksa namun dokter tidak memberikan rujukan tanpa didiagnosa penyakitnya terlebih dahulu.

Prosedur Klinis

Dari hasil wawancara dengan informan mengenai prosedur klinis yang dilakukan pada pasien nonemergensi untuk memutuskan layak atau tidaknya pasien dirujuk, satu orang informan menjelaskan dengan detail tentang prosedur klinis merujuk pasien bahwa harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisik, diagnostic dan terapi, sedangkan informan lainnya tidak menjelaskan dengan rinci mengenai prosedur klinis merujuk pasien nonemergensi. Untuk pasien emergensi sendiri tiga orang informan mengatakan bahwa pasien yang datang dalam kondisi emergensi harus ditangani terlebih dahulu untuk diberikan pertolongan pertama setelah itu dirujuk. Sementara yang satu

(8)

8 informan mengatakan bahwa harus langsung dirujuk ke rumah sakit. Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa informan melakukan prosedur yang sesuai untuk pasien emergensi sekalipun hanya satu informan yang dengan rinci bisa menjelaskan prosedur klinis yang harus dilakukan.

Penelitian yang dilakukan oleh Kesumawati (2012) dikatakan bahwa mengenai kasus apa saja yang dapat dirujuk, kedua Puskesmas yaitu Puskesmas Nanggeleng dan Gedong Panjang sudah melaksanakan sesuai prosedur yaitu rujukan diberikan atas indikasi medis, seperti pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan dinyatakan layak untuk dirujuk sesuai dengan kriteria pasien yang dirujuk.

Dalam prosedur operasional sendiri, informed concent merupakan bagian dari prosedur teknis pelayanan pasien yang harus ada, sesuai dengan Pedoman Sistem Rujukan Nasional. Jadi informed concent seharusnya ada dalam persetujuan tindakan rujukan, namun dari hasil wawancara dan observasi di lapangan didapati bahwa di kedua Puskesmas ini tidak ada informed concent untuk rujukan pasien. Satu orang informan mengatakan bahwa informed concent penting sekali, apalagi kalau tindakan tapi kalau dalam merujuk mereka tidak menggunakan inform

concent. Satu orang informan

mengatakan bahwa itulah kelemahan mereka karena tidak ada informed concent, tapi tetap diminta persetujuan pasien kalau mau dirujuk atau tidak.

Putusan akhir atas rencana pelaksanaan rujukan ada pada pasien/ keluarga pasien sendiri. Apakah yang bersangkutan setuju atau menolak dirujuk ke salah satu fasyankes rujukan sesuai dengan alur sistem rujukan yang ditetapkan. Kesepakatan akhir atas hasil penjelasan dinyatakan dengan pembubuhan tanda tangan kedua belah pihak dalam format informed concent sesuai dengan prosedur. Tapi karena tidak ada informed concent untuk pelaksanaan rujukan di puskesmas maka dari hasil wawancara yang diperoleh dari informan menyatakan bahwa dokter yang memutuskan untuk merujuk pasien. Namun satu orang informan menyatakan bahwa sekalipun dokter yang merujuk tapi tetap diserahkan ke pasien/ keluarga pasien, apakah mau dirujuk atau tidak. Itu tergantung pasien, sebagai dokter hanya menganjurkan. Sementara hasil wawancara dengan pasien dan keluarga pasien, mereka mengatakan bahwa dokter yang menyetujui rujukan tapi karena diminta pasien. Setelah pasien/ keluarga pasien setuju dirujuk, informan mengatakan bahwa petugas kesehatan mengurus administrasi rujukan pasien.

(9)

9 Hasil wawancara dengan informan mengenai menghubungi kembali unit fasyankes tujuan rujukan atau langsung dirujuk. Kebanyakan informan menyatakan bahwa fasyankes tujuan rujukan tidak dihubungi dan langsung saja dirujuk. Tapi satu orang informan mengatakan bahwa untuk pasien BPJS karena sudah pakai aplikasi, jadi fasyankes tujuan rujukan seharusnya bisa tahu kalau puskesmas akan merujuk kesana. Dalam Pedoman Sistem Rujukan Nasional dinyatakan bahwa penting menghubungi kembali unit pelayanan fasyankes tujuan rujukan untuk memastikan bahwa pasien dapat diterima di fasyankes rujukan atau harus menunggu sementara, ataupun mencarikan fasyankes rujukan lainnya sebagai alternatif.

Peragkat Teknologi Komunikasi/ Teknologi Informasi Komunikasi di Puskesmas apabila tersedia dalam suatu sistem rujukan dapat dimanfaatkan untuk kelancaran merujuk pasien yaitu, Untuk mendapatkan saran-saran dalam mempersiapkan rujukan pasien, melakukan tindakan pra-rujukan sebelum pasien dirujuk, proses konsultasi melalui Radio-Komunikasi Medik, dapat dilanjutkan selama perjalanan rujukan ke fasyankes rujukan bila pasien tidak dapat dirujuk (transportable), serta bila kondisi pasien tidak dapat dirujuk, atau kondisi

geografis tidak memungkinkan melakukan rujukan segera, maka fasyankes rujukan dapat memberikan saran atas permintaan rujukan dari fasyankes perujuk, dan atau panduan atas tindakan yang terpaksa harus dilakukan segera pada pasien bersangkutan. Komunikasi ke fasilitas kesehatan perujuk merupakan prosedur standar yang harus dijalankan sebelum melakukan rujukan pasien.

Dari hasil wawancara dengan informan, dua orang informan mengatakan bahwa, kalau pasien BPJS sudah pakai sistem online yaitu primary care. Jadi fasyankes tujuan rujukan harusnya sudah tahu kalau akan dirujuk kesana. Tapi kalau untuk menghubungi langsung faskyankes tujuan rujukan sebelum pasien dirujuk, dua orang informan mengakatakan bahwa belum dilakukan. Sementara satu orang informan mengatakan belum tahu seputar perangkat teknologi komunikasi/ teknologi informasi komunikasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Primasari (2015) dikatakan bahwa sebelum JKN, tidak semua kasus yang akan dirujuk dikonfirmasikan terlebih dahulu ke RSUD, namun pada era JKN dengan semakin ketatnya aturan-aturan JKN tentang ketentuan indikasi rujukan, rumah sakit rujukan semakin selektif dalam menerima pasien-pasien rujukan, sehingga komunikasi sebelum merujuk

(10)

10 pasien terus menerus diintensifkan. Hal ini menunjukan bahwa keberadaan JKN membawa pengaruh yang baik terhadap sistem komunikasi yang dilakukan sebelum merujk pasien, yakni menjaga kesinambungan pelayanan sesuai dengan yang diharapkan dalam JKN.

Administrasi Rujukan

Untuk administrasi rujukan berdasarkan wawancara dengan informan didapati bahwa dalam menjelaskan prosedur administrasi rujukan sudah baik. Para informan mengakatakan bahwa untuk administrasi rujukan bagi pasien BPJS Kesehatan mulai dari pendaftaran di loket untuk pasien nonemergensi. Setelah itu kemudian diperiksa dan dinyatakan harus dirujuk maka untuk rujukan pasien BPJS Kesehatan itu dilaksanakan secara online, karena sudah ada sistem yang mengatur untuk rujukan pasien BPJS, namanya yaitu primary care.

Sesuai dengan Pedoman Sistem Rujukan Nasional bahwa prosedur administratif rujukan seharusnya dilakukan sejalan dengan prosedur teknis pada pasien. Melengkapi catatan rekam medis pasien setelah tindakan untuk menstabilkan kondisi pasien pra-rujukan merupakan bagian dari prosedur administratif rujukan. Format informed concent secara prosedur administrative rujukan juga harus dicek ulang

kelengkapannya, antara lain adanya tanda tangan dua belah pihak, provider berwenang dan pasien/keluarga. Baik bagi pasien/keluarga yang setuju dirujuk maupun yang menolak untuk dirujuk. Tapi karena di Puskesmas Tikala Baru maupun Puskesmas Teling Atas tidak ada informed concent untuk rujukan maka prosedur tersebut tidak dilakukan. Satu orang informan yang merupakan pasien mengatakan bahwa administrasinya sudah ketat sekarang. Kalau dulu bisa langsung ke rumah sakit tipe A, tapi sekarang harus melewati proses rujukan terlebih dahulu. Satu orang anggota keluarga juga mengatakan bahwa prosedur administrasi rujukan dilakukan sejalan dengan prosedur teknis.

Dari hasil wawancara dan observasi dokumen, dalam membuat surat rujukan pasien didapati bahwa kedua Puskesmas ini hanya mencetak satu surat rujukan dan diberikan kepada pasien/ keluarga pasien. Sekalipun surat rujukan tersebut tersimpan soft copynya di computer namun sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan juga dijelaskan bahwa surat rujukan pasien harus dibuat dua rangkap. Lembar pertama dikirim ke fasyankes rujukan bersama pasien, dan lembar kedua disimpan sebagai arsip,

(11)

11 bersama rekam medik pasien bersangkutan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ali (2015), sesuai dengan Permenkes No 001 tahun 2013 tentang sistem rujukan berjenjang, pasien berhak meminta dirujuk tetapi harus berdasarkan diagnosa atau indikasi medis dari dokter pemeriksa, apabila dirujuk bukan berdasarkan indikasi medis dan masih terdapat dalam 144 diagnosa berarti rumah sakit akan menolak pasien. Hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa akan memberikan pengertian kepada pasien kalau penyakit yang bisa ditangani di Puskesmas, dan yang masih terdapat dalam 144 diagnosa akan ditolak rumah sakit, satu informan menyatakan apabila sudah diberi penjelasan tapi pasien tetap mau dirujuk disuruh keluarga tanda tangan surat pernyataan bahwa ini atas permintaan pasien. Empat informan lain menyatakan kalau masih masuk dalam 144 diagnosa penyakit pasti rumah sakit menolak.

Menurut hasil wawancara dengan pasien dan keluarga pasien mengenai administrasi rujukan, apakah harus menyelesaikan dulu atau bisa langsung ke rumah sakit. Informan mengatakan bahwa harus menyelesaikan administrasi terlebih dahulu sesudah itu bisa ke rumah sakit. Bagaimana dengan kasus pasien yang sudah di rumah sakit terlebih dahulu baru minta rujukan dari

puskesmas. Empat orang informan menyatakan bahwa harus meyelesaikan administrasi terlebih dulu, tiga informan diantaranya mengatakan bahwa tidak bisa seperti itu, karena kalau tidak emergensi harus diperiksa dulu dan menyelesaikan administrasi rujukan. Sedangkan tiga orang informan mengatakan bahwa ada pasien yang sudah di rumah sakit lebih dulu dan anggota keluarganya yang meminta rujukan. Untuk keluarga pasien yang minta rujukan itu diminta surat keterangan dari rumah sakit terlebih dulu baru dibuat rujukannya. Seorang informan mengatakan bahwa ada yang sudah di rumah sakit terlebih dulu kemudian minta rujukan.

Prosedur Operasional Merujuk Pasien

Dalam Pedoman Sistem Rujukan Nasional menyiapkan sarana transportasi rujukan, dan akan lebih baik bila dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio yang dapat menghubungkan fasyankes perujuk termasuk puskesmas keliling/ambulans yang sedang berjalan merujuk pasien. Setiba pasien di fasyankes penerima rujukan, bila selanjutnya diputuskan bahwa pasien akan ditangani di fasyankes rujukan, maka akan menyerahkan tanggung jawab

(12)

12 penanganan pasien pada provider berwenang di fasyankes rujukan.

Dalam penelitian Kartika (2015), menyatakan bahwa pasien harus didampingi oleh 1 orang perawat senior yang telah menguasai teknik BLS (Basic

Live Support). Hal ini sudah

dilaksanakan ketika perawat mengantar pasien, tidak dalam kondisi gawat saja namun pada semua kondisi, ini dikarenakan semua perawat harus mempunyai kemampuan teknik BLS tersebut. Dan untuk menghubungi rumah sakit yang dituju sudah dilaksanakan berdasarkan SOP yang ada. Bahwa pihak UGD sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit lain sebelumnya telah menghubungi rumah sakit yang akan dituju, untuk mengetahui apakah rumah sakit tujuan bersedia menerima rujukan. Telah sesuai dengan PMK No. 001 pasal 13 tentang melakukan komunikasi dengan penerima rujukan dan memastikan bahwa penerima rujukan dapat menerima pasien dalam hal keadaan gawat darurat.

Dalam prosedur operasional merujuk pasien dari hasil wawancara dengan informan, dimana informan menyatakan bahwa puskesmas menyediakan sarana transportasi rujukan berupa ambulans untuk mengantar pasien yang membutuhkan kendaraan rujukan seperti pasien gawat darurat. Dan juga ada perawat yang akan

mendampingi dalam perjalanan rujukan gawat darurat hingga tiba di rumah sakit. Tapi belum ada perangkat komunikasi Radio yang dapat menghubungkan fasyankes perujuk termasuk ambulans yang sedang berjalan merujuk pasien.

KESIMPULAN

1. Informan mengetahui syarat merujuk pasien sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Adapun penerapannya sudah baik namun belum maksimal. Masih ada keterbatasan alat kesehatan di Puskesmas, didapati juga masih ada pasien yang tidak datang ke Puskesmas untuk pemeriksaan tapi hanya meminta anggota keluarganya untuk minta surat rujukan di Puskesmas.

2. Kebanyakan informan sudah mengetahui dan mengikuti prosedur standar merujuk pasien.

3. Hasil wawancara dan observasi dokumen juga menunjukkan bahwa informan sudah tahu prosedur merujuk pasien, namun masih ada beberapa hal yang tidak dilakukan dalam prosedur merujuk diantaranya, informed concent untuk rujukan pasien, surat rujukan pasien hanya dibuat satu rangkap

(13)

13 4. Dalam prosedur operasional

merujuk pasien belum ada perangkat komunikasi Radio yang dapat menghubungkan fasyankes perujuk termasuk ambulans yang sedang berjalan merujuk pasien.

SARAN

1. Bagi Puskesmas Tikala Baru dan Puskesmas Teling Atas, agar pelaksanaan rujukan yang dilakukan sesuai dengan syarat dan prosedur yang telah ditetapkan. Bagi kedua Puskesmas untuk membuat informed concent untuk rujukan pasien, surat rujukan 2 rangkap dan menghubungi fasyankes tujuan rujukan sebelum merujuk.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kota Manado, agar melengkapi fasilitas sarana alat kesehatan sesuai dengan kebutuhan untuk menunjang pelaksanaan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan rujukan di puskesmas.

3. Bagi peneliti lain, penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan referensi dalam penelitian mengenai Pelaksanaan Rujukan Peserta BPJS Kesehatan dan perlu dikembangkan dan disempurnakan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, F,A. 2015. Analisis Pelaksanaan

Rujukan Rawat Jalan Tingkat

Pertama Peserta Program Jaminan

Kesehatan Nasional (JKN) di

Puskesmas Siko dan Puskesmas Kalumata Kota Ternate tahun 2014. Pascasarjana FKM.UNSRAT

Anonim. 2016. Sistem Rujukan BPJS Belum Maksimal. Jakarta : Kompas. Diakses 26 Mei 2016.

Anonim. 2016. Rujukan BPJS Banyak

Masalah di Lapangan.

Jakarta:

Republika. Diakses 26 Mei 2016.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI. 2015.

Rencana Strategis Kementrian

Kesehatan Tahun 2015-2019.

Bitjoli, D. 2015. Gambaran

Pelaksanaan Rujukan Lnjutan

Berjenjang Pada Pasien BPJS di Puskesmas Ngresep Kota Semarang Tahun 2015.

Dinas Kesehatan Kota Manado. 2016.

Data Kunjungan dan Rujukan

Pasien Peserta JKN di Puskesmas-Puskesmas di Kota Manado tahun 2015.

Kartika, B.L. 2015. Tinjauan Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur Paien Gawat Darurat yang Dirujuk di RSU Jati Husada

(14)

14

Karanganyar. APIKES Mitra

Husada Karanganyar.

Keputusan Menteri Kesehatan No. 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas.

Kesumawati, I.M. 2012. Analisis Pelaksanaan Rujukan RJTP Peserta Askes Sosial PT. Askes (Persero)

Kantor Cabang Sukabumi di

Puskesmas Nanggeleng dan Gedong Panjang tahun 2012.

Peraturan Menteri Kesehatam No. 001 tahun 2012, tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan

Nasional. Jakarta: Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia.

Primasari, K.L. 2015. Analisis Sistem

Rujukan Jaminan Kesehatan

Nasional RSUD. Dr. Adjidarmo Kabupaten Lebak.

Puspitaningtyas, A. 2014. Pelaksanaan

Sistem Rujukan di RSUD

Banyudono.

Susila dan Suyanto. 2014. Metode

Penelitian Epidemiologi Bidang

Kedokteran dan Kesehatan.

Surabaya: Bursa Ilmu.

Zulhadi. 2013. Problem dan

Tangntangan Puskesmas dan

Rumah Sakit Umum di Daerah Dalam Mendukung Sistem Rujukan Maternal di Kabupaten Karimun

Provinsi Kepri Tahun 2012.

Universitas Gadja Mada. Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

dan karena itu, kepada semua pihak terkait seperti perusahaan pelayaran maupun asuransi serta galangan kapal untuk secara bersama-sama dapat memiliki aturan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu bagaimana proses pembuatan bioetanol dari limbah ampas

 Dosen IAIN Metro Lampung.. bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang digunakan oleh banyak negara di dunia ini. Banyak buku-buku referensi yang menggunakan

Hal ini dapat dilakukan dengan fitur-fitur canggih WINISIS dalam hal teknik pengindeksan dan penelusuran sehingga sistem dapat digunakan untuk meningkatkan layanan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai konsistensi buruh tani terhadap mata pencahariannya di wilayah peri urban Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo, maka

Untuk dapat dimasukkan ke dalam DPTb Pemilih harus menunjukkan KTP-el atau Surat Keterangan dan salinan bukti telah terdaftar sebagai Pemilih dalam DPT di TPS asal

menginfeksi benih dengan cara mengaitkan pengait atau hook pada permukaan tubuh ikan maupun insang ikan sehingga parasit ini akan menempel pada inang dan akan

Didapatkan