• Tidak ada hasil yang ditemukan

klasifikasi kapal.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "klasifikasi kapal.pdf"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kajian Pemenuhan Persyaratan Klasifikasi

Kapal Berbendera Indonesia

Khafendi*)

Pusat Penelitian dan pengembangan Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan

Jalan Merdeka Timur N0. 5 Jakarta Pusat Email:

SARI

Seiring dengan pelaksanaan azas cabotage (INPRES Nomor 5 Tahun 2005) menyebabkan peningkatan jumlah armada nasional dimana diperlukan peran lembaga klasifikasi kapal terkait dengan keselamatan dan keamanan pelayaran. Dan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 20 Tahun 2006 tentang Kewajiban bagi kapal berbendera Indonesia untuk masuk klas pada Biro Klasifikasi Indonesia menyatakan bahwa Kapal berbendera Indonesia dengan ukuran panjang antar garis tegak depan dan belakang 20 meter atau lebih atau tonase kotor GT. 100 atau lebih atau yang digerakkan dengan tenaga penggerak utama 250 PK atau lebih wajib diklaskan pada Biro Klasifikasi Indonesia.

Oleh karena itu, sistem dan prosedur pemenuhan persyaratan pengklasifikasian kapal berbendera Indonesia perlu dievaluasi untuk melihat sejauhmana sistem dan prosedur tersebut diterapkan didalam pemberian klasifikasi kapal berbendera Indonesia sehingga dapat diketahui kendala dan hambatan didalam penerapannya.

Hasil atau output yang diharapkan diperoleh dalam proses analisis dan evaluasi ini, adalah upaya dan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan dan kendala didalam penerapan sistem dan prosedur pengklasifikasian kapal berbendera Indonesia.

(2)

2

ABSTRACT

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional, transportasi laut memiliki karakteristik sebagai pengangkutan massal dan dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu, perlu dikembangkan potensi dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah baik nasional maupun internasional guna menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional. Akan tetapi belakangan ini pelayaran dalam negeri seakan mengalami penurunan kepercayaan sebagai akibat banyaknya kecelakaan kapal yang terus terjadi. Masalah kecelakaan transportasi sedang menjadi pembahasan mass media akhir-akhir ini, termasuk transportasi laut. Kejadian kecelakaan laut tidak hanya menimpa kapal tenggelam saja, tetapi juga karena tabrakan kapal. Ada 2 aspek yang dapat ditarik dari kejadian kecelakaan kapal, yaitu kerugian akibat jiwa dan materi, serta menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah selaku regulator dan perusahaan pelayaran selaku penyelenggara transportasi laut sekaligus terhadap pelayanan jasa transportasi laut itu sendiri. Berdasarkan atas data yang berhasil dihimpun dari Ditjen Hubla menyatakan bahwa pada tahun 2002 s.d. 2008 telah terjadi 676 kecelakaan kapal. Dengan demikian untuk kurun tersebut terjadi rata-rata 97 kapal setiap tahun atau setiap minggu terjadi 2 kali kecelakaan kapal. Hal ini menunjukkan kinerja keselamatan transportasi laut tidak memuaskan, dikarenakan banyak kapal yang belum memperoleh sertifikasi klas karena dinilai belum memenuhi persyaratan oleh lembaga klasifikasi kapal nasional (BKI). Harian Bisnis Indonesia (30 Januari 2009) memberitakan bahwa BKI menangguhkan sekitar 40 % dari 11.974 kapal yang mengajukan permohonan untuk klasifikasi kapal karena dinilai belum memenuhi persyaratan.

(3)

3

Dalam pasal 3 UU Nomor 17 tahun 2008 dijelaskan bahwa pelayaran diselenggarakan dengan tujuan antara lain :

* Memperlancar arus perpindahan memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;

* Menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional.

Dengan aturan ini Pemerintah terus berupaya untuk terus mengangkat dan menguatkan peran armada nasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya penerapan asas cabotage dengan tujuan agar dapat mengupayakan untuk mengangkat/membangkitkan pelayaran nasional akibat keterpurukan dan perannya yang masih kecil dalam angkutan luar negeri (hanya berkisar 3%) maupun angkutan dalam negeri (hanya berkisar 46%), sedangkan sisanya diangkut oleh kapal-kapal asing. Hal mana menunjukkan bahwa kapal-kapal asing mendominasi baik angkutan dalam negeri maupun angkutan laut luar negeri

Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 20 Tahun 2006 tentang Kewajiban bagi kapal berbendera Indonesia untuk masuk klas pada Biro Klasifikasi Indonesia menyatakan bahwa Kapal berbendera Indonesia dengan ukuran panjang antar garis tegak depan dan belakang 20 meter atau lebih atau tonase kotor GT. 100 atau lebih atau yang digerakkan dengan tenaga penggerak utama 250 PK atau lebih wajib diklaskan pada Biro Klasifikasi Indonesia.

Oleh karena itu, sistem dan prosedur pemenuhan persyaratan pengklasifikasian kapal berbendera Indonesia perlu dievaluasi untuk melihat sejauhmana sistem dan prosedur tersebut diterapkan didalam pemberian klasifikasi kapal berbendera Indonesia sehingga dapat diketahui kendala dan hambatan didalam penerapannya.

Hasil atau output yang diharapkan diperoleh dalam proses analisis dan evaluasi ini, adalah upaya dan langkah-langkah untuk mengatasi

(4)

4

permasalahan dan kendala didalam penerapan sistem dan prosedur pengklasifikasian kapal berbendera Indonesia. Secara diagram, uraian di atas dapat dilihat pada Gambar 1.

(5)

5

Gambar 1. Diagram Alur Pikir Penelitian INPRES 5 TAHUN 2005

TENTANG AZAS CABOTAGE

Peningkatan Jumlah Armada Nasional (Kapal Berbendera Indonesia)

SUBYEK OBYEK METODA

BKI Perusahaan Pelayaran Adpel Sistem dan Prosedur Pengklasifikasian Kapal Berbendera Indonesia Analisis Deskriptif Analisis CSI

Kendala dan Hambatan Pelaksanaan Sistem dan Prosedur

Analisis dan Evaluasi REKOMENDASI

(6)

6

METODOLOGI

Pengertian Klasifikasi Kapal

Klasifikasi kapal adalah salah satu elemen didalam jaringan maritim sebagai partner dalam hal keselamatan kapal. Elemen-elemen lain, seperti pemilik kapal, awak kapal, galangan kapal, Flag State, Port State, Penjamin (asuransi), Institusi finansial dan pencharter adalah pihak-pihak terlibat dan memiliki andil dalam jaminan keselamatan kapal.

Dasar Hukum Kegiatan Klasifikasi Kapal

 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pasal 124 dan 129

 Pasal 124 UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

 Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal.

 Persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : Material, Kontruksi, Bangunan, Permesinan dan perlistrikan, Stabilitas, Tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, dan Elektronika kapal.

 Pasal 129 UU No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

 Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal.

 Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal.

(7)

7

 Pengakuan dan penunjukan badan klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri.

 Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada Menteri.

 Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.

Bagian Ketiga tentang Klasifikasi Kapal, Pasal 59 menyatakan bahwa :

 Untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal, kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu, wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi.

 Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk untuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal dengan jenis dan ukuran tertentu yang berkenaan dengan pemenuhan persyaratan keselamatan kapal.

 Penunjukan dan pengakuan badan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Menteri.

 Menteri dapat menggunakan hasil pemeriksaan tersebut dalam ayat (2) dalam proses penerbitan sertifikat keselamatan kapal.

 Badan klasifikasi yang melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan keselamatan kapal wajib melaporkan kegiatannya kepada Menteri.

 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan ukuran kapal yang wajib diklasifikasikan, tata cara pemanfaatan hasil pengujian dan pemeriksaan yang dilakukan oleh badan klasifikasi dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Keputusan Menteri.

 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM. 20 Tahun 2006 tanggal 2 Mei 2006 tentang Kewajiban Bagi Kapal Berbendera Indonesia untuk masuk Klas pada Biro Klasifikasi Indonesia.

(8)

8 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Kegiatan klasifikasi kapal

Kegiatan klasifikasi adalah pengklasifikasian kapal sesuai dengan konstruksi lambung, mesin dan listrik kapal dengan tujuan untuk memberikan penilaian terhadap laik tidaknya suatu kapal dapat berlayar. Kapal secara teknis terikat oleh banyaknya peraturan yang tujuannya adalah untuk menjaga tingkat kelaiklautan kapal tersebut dan diharapkan kapal akan berada dalam kondisi tingkat keselamatan yang layak sesuai dengan batasan teknis operasional kapal.

Kelaiklautan kapal menurut UU 17/2008 adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan dan kesejahteraan awak kapal, serta penumpang dan status hukum kapal untuk berlayar di perairan tertentu. Peraturan-peraturan teknis yang mengikat kapal antara lain adalah peraturan badan klasifikasi dan peraturan pemerintah flag state administration yang biasanya adalah adopsi dari konvensi internasional seperti Safety Of Life At Sea (SOLAS), Marine Pollution Prevention

(MARPOL), International Convention on Collision Prevention (COLREG), dan

banyak lagi konvensi internasional yang diadopsi dari International Maritime

Organization (IMO). Terkait dengan semua ini, kelaiklautan kapal sangat

ditentukan oleh kemampuan kapal dalam memenuhi ketentuan yang dihasilkan dalam konvensi tersebut, sehingga perlu pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga klasifikasi kapal yang ditunjuk baik nasional maupun internasional untuk melaksanakan pengklasifikasian kapal.

Oleh karena itu dalam UU 17/2008 tentang Pelayaran pasal 129 dijelaskan bahwa :

* Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal.

(9)

9

* Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal.

* Pengakuan dan penunjukan badan klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri.

* Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada Menteri.

Klasifikasi kapal merupakan kewajiban para pemilik kapal berbendera Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan yang menyatakan bahwa kapal yang wajib klas mengikuti ketentuan sebagai berikut :Panjang > 20 m, Tonase > 100 m3, Mesin Penggerak > 100 PK, Yang melakukan pelayaran Internasional meskipun telah memiliki Sertifikat dari Biro Klasifikasi Asing.

Lingkup klasifikasi kapal meliputi : Lambung kapal, instalasi mesin, instalasi listrik, perlengkapan jangkar,Instalasi pendingin yang terpasang permanen dan merupakan bagian dari kapal, Semua perlengkapan dan permesinan yang di pakai dalam operasi kapal, Sistem konstruksi dan perlengkapan yang menentukan tipe kapal.

Kelaiklautan kapal (seaworthiness)

Sejak kapal mulai dibangun hingga dioperasikan, selalu ada aturan yang harus dipatuhi, dan dalam proses pembangunannya ada badan independen yang melakukan pengawasan. Pada saat kapal dirancang kemudian pemilihan bahan, dan selama proses pembangunannya, selain pemilik kapal, pihak galangan kapal, dan pihak pemerintah selaku administrator ada pihak klasifikasi yang akan melakukan pengawasan dalam rangka pemberian kelas bagi kapal jika selesai dibangun. Ketika kapal beroperasi mereka juga akan melakukan survey dan audit atas pelaksanaan

(10)

10

semua aturan keselamatan yang perlu dipenuhi karena semuanya mesti dapat meyakinkan bahwa kapal tetap dalam kondisi laik laut (seaworthiness). Klasifikasi kapal wajib dilakukan untuk kepentingan keselamatan pelayaran dan sebagai salah satu alat ukur kapal layak atau tidak untuk berlayar.

Persyaratan klasifikasi lebih fokus kepada persyaratan dan kalkulasi teknis terhadap suatu konstruksi lambung kapal, stabilitas, permesinan, kelistrikan dan sistem penunjang operasi kapal yang lain, seperti sistem boiler, sistem kemudi, dll. Peraturan IMO sendiri lebih bertitik berat kepada peraturan tentang keselamatan jiwa di laut atau Safety of Life At Sea

(SOLAS) dan pencegahan pencemaran di laut yang mengacu pada Marine Pollution Prevention (MARPOL) serta beberapa peraturan international lain

yang diadopsi, seperti peraturan garis muat (International Load Line

Convention/ILLC, 1966), pencegahan tabrakan di laut (Convention on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea/COLREG), dan

peraturan yang secara spesifik berlaku untuk type kapal tertentu seperti IGC

Code (International Gas Carrier Code) untuk kapal-kapal pengangkut gas

dalam bentuk cair (liquefied gas), IBC Code International Bulk Carrier Code) untuk kapal kapal curah, International Safety Management Code (ISM Code),

International Ship and Port facility Security Code (ISPS Code).

Kondisi Implementasi Klasifikasi Kapal

Awal tahun 2005, melalui Instruksi Presiden tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional, pemerintah mengeluarkan aturan baru bagi industri perkapalan yang beroperasi di perairan Indonesia. Arahannya adalah agar semua kapal kapal yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia wajib menggunakan bendera Indonesia. Sepintas aturan tersebut tampak sederhana karena yang dimintakan adalah perubahan bendera. Namun banyak operator yang belum sepakat oleh karena berdampak pada kepemilikan saham terhadap pengoperasian kapal. Meskipun demikian, agar asas cabotage ini berjalan dengan sempurna maka semua kapal harus

(11)

11

berbendera Indonesia dan konsekuensinya adalah harus dikelaskan dalam klasifikasi kapal dalam negeri.

Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan aturan untuk semua kapal berbendera Indonesia wajib diklasifikasikan pada lembaga klasifikasi nasional (BKI). Akan tetapi tidak semua kapal dapat dikalsifikasikan karena lembaga klasifikasi ini melihat masih banyaknya kapal yang belum memenuhi standar klasifikasi yang dimiliki oleh lembaga tersebut.

Kondisi penerapan klasifikasi di masing-masing daerah berbeda-berbeda meskipun pemerintah tetap mengupayakan agar peraturan keselamatan pelayaran dapat diterapkan sebagaimana mestinya. dan karena itu, kepada semua pihak terkait seperti perusahaan pelayaran maupun asuransi serta galangan kapal untuk secara bersama-sama dapat memiliki aturan yang sesuai dengan kondisi peraiaran Indonesia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi Pemenuhan Persyaratan Klasifikasi

Aspek teknis kelaiklautan kapal

Kelaiklautan kapal (seaworthiness) pada umumnya secara teknis (diluar status hukum dan pengawakannya) ditentukan berdasarkan integritas struktur (structural integrity), kekuatan lambung, dan bagaimana atau seberapa besarnya kemampuan kerja dari sistem dalam kapal seperti misalnya sistem propulsi dan kemudi, permesinan (power generation), navigasi & komunikasi, pemadam kebakaran, penangangan awal kecelakaan kapal (safety drilling), dll. Acuan digunakan dalam menilai semua hal tersebut adalah sejauh mana kapal mampu memenuhi persyaratan/ peraturan teknis klasifikasi kapal (rules of classification) serta persyaratan-persyaratan lainnya dari IMO (International Maritime Organization - salah satu bagian dari PBB yang memusatkan perhatian di bidang keselamatan dan keamanan serta pencegahan pencemaran laut).

Persyaratan klasifikasi kapal lebih fokus kepada persyaratan dan kalkulasi teknis terhadap suatu konstruksi lambung kapal, stabilitas,

(12)

12

permesinan, kelistrikan dan sistem penunjang operasi kapal lainnya, seperti

boiler system, sistem kemudi, dll. Peraturan IMO lebih bertitik berat kepada

keselamatan dan keamanan pelayaran melalui peraturan yang dimuat didalam konvensi Safety of Life At Sea – SOLAS Convention dan pencegahan pencemaran di laut yang mengacu pada Marine Pollution

Prevention - MARPOL dan beberapa peraturan international lain yang telah

diadopsi antara lain peraturan garis muat (International Load Line

Convention, 1966), pencegahan tabrakan di laut (Convention on the International Regulation for Preventing Collisions at Sea - COLREG), dan

peraturan yang secara spesifik berlaku untuk type kapal tertentu seperti IGC

Code (International Gas Carrier Code) untuk kapal-kapal pengangkut gas

dalam bentuk cair (liquefied gas), IBC Code (International Bulk Carrier Code) untuk kapal kapal curah, IMDG Code (International Maritime Dangerous Goods) bagi muatan yang berbahaya dan beracun. Serta ada peraturan-peraturan tambahan dari negara tempat kapal tersebut teregister (flag

administration) seperti Non Convention Vessel Standard (NCVS) yang

sedang disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Semua peraturan dan persyaratan kapal diluar persyaratan klasifikasi lebih dikenal dengan peraturan statutory.

Aspek Sumber Daya Manusia

Kecelakaan kapal tidak hanya berakibat fatal pada kapal, muatan dan awak kapal saja. Pada beberapa kondisi, kecelakaan kapal juga memberi dampak langsung pada lingkungan, baik laut maupun pesisir, serta juga mempengaruhi kinerja industri maritim. Demikian halnya dalam kaitan dengan kerugian yang ditimbulkan akibat adanya kecelakaan kapal tidak hanya pada kerugian nominal karena ketidakmampuan beroperasinya kapal serta hilangnya nilai dari muatan yang di angkut, akan tetapi juga pada kerugian yang terkait dengan biaya penanggulangan pencemaran, kompensasi terhadap industri maritim yang terganggu tersebut, serta kerugian akibat hilangnya kesempatan berusaha akibat pencemaran yang diakibatkannya. Oleh karena itu cukup beralasan jika pemerintah melalui

(13)

13

Kementerian perhubungan mengeluarkan kebijakan tersebut diatas sebagai salah satu contoh awal yang nantinya akan dapat diteruskan kepada jenis kapal lainnya.

Dari sisi operator, keselamatan pelayaran tidak hanya dilihat dari kondisi kapalnya, sebab banyak faktor lain yang memengaruhi. Salah satu faktor penting, yakni penerapan sistem perawatan terencana (planned

maintenance system/PMS). Dalam pelaksanaannya, PMS ditentukan oleh

kualitas galangan. Artinya, galangan harus memiliki sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi dan standar. Untuk menjamin PMS berkualitas, pelaksanaannya harus diawasi oleh lembaga klasifikasi yang independen. Dalam hal ini Pemerintah telah menunjuk BKI sebagai lembaga yang melakukan klasifikasi bagai kapal-kapal berbendera Indonesia, dan menjadi kewajiban bagi mereka untuk mengklaskan kapalnya ke lembaga klasifiksi nasional.

Oleh karena itu yang sangat penting dilakukan adalah perawatan kapal dan alat keselamatannya secara reguler dan teratur demi menjaga kelaiklautan dan keselamatan kapal. Komitmen perusahaan untuk menjalankan sistem keselamatan kapal antara lain tercermin dari audit setiap tahun oleh lembaga independen yang mewakili pemerintah, yaitu BKI berupa manajemen keselamatan internasional (ISM Code). Dengan sistem manajemen keselamatan itu, SDM dapat mengoperasikan kapal dengan aman dan dapat melakukan tindakan penyelamatan bila terjadi kecelakaan. Semua unsur di atas harus benar-benar sah dan layak berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh pemeriksa yang ditunjuk oleh pemerintah, baik lembaga klasifikasi maupun marine inspector.

Aspek Regulasi

Dunia pelayaran nasional dalam beberapa tahun belakangan ini terus dikabari tentang berita yang kurang menyenangkan karena banyaknya terjadi kecelakaan. Kondisi kecelakaan kapal yang terjadi di tanah air, akhirnya memunculkan pertanyaan tentang bagaimana kinerja Marine

(14)

14

kelaiklautan kapal. Mereka tampaknya telah menerapkan seluruh regulasi yang terkait dengan upaya meningkatkan kelaiklautan kapal.

Marine Inspector telah bekerja sejak dari awal sebuah kapal akan

dibangun di galangan. Mereka memeriksa apakah konstruksi lambung, perlistrikan dan permesinan kapal, serta peralatan lainnya telah memenuhi standar keselamatan yang tercantum di dalam Safety of Life at Sea

(SOLAS). Dalam prakteknya, setiap negara seperti di Indonesia dapat saja

mendelegasikan pekerjaan yang dilakukan oleh marine inspector kepada pihak lain, biasanya kepada klasifikasi negara bersangkutan. Kecuali pada negara-negara yang menerapkan flag of convenience, dimana pendelegasian pemeriksaan aspek keselamatan kapal yang mengibarkan bendera mereka diberikan kepada klasifikasi asing karena pada umumnya tidak memiliki lembaga klasifikasi sendiri.

Di Indonesia, Kementerian Perhubungan (administration) sebagai pihak yang memegang otoritas penerapan SOLAS telah melimpahkan pemeriksaan konstruksi lambung, perlistrikan dan permesinan kapal kepada lembaga klasifikasi nasional (BKI). Sementara aspek lainnya, seperti instalasi radio, kelaikan alat-alat keselamatan di atas kapal, masih menjadi kewenangannya dan dilaksanakan oleh marine inspector. Kondisi semacam ini yang mungkin oleh operator domestik disebut sebagai multiple classification oleh karena pada mulanya kapal diklasifikasi oleh BKI kemudian oleh Dephub. Sedangkan di negara lain regulasi atau aturan klasifikasi lazimnya dilakukan oleh lembaga klasifikasi terhadap hampir seluruh pekerjaan terkait dengan aspek keselamatan kapal oleh karena pemerintah negaranya telah melimpahkan kepada lembaga tersebut. Kendati telah dilimpahkan kepada klasifikasi, tanggung jawab tetap berada di pihak pemerintah. Dan oleh karena itu lembaga ini secara terus menerus diaudit untuk tetap mempetahankan kinerjanya.

Aspek Kelembagaan

Kasus kecelakaan yang terjadi belakangan ini adalah yang umumnya dialami oleh kapal yang belum mendapatkan klasifikasi. Saat ini

(15)

kapal-15

kapal yang telah terklasifikasi adalah sebanyak 13.346 kapal dengan komposisi kapal yang masih aktif sebanyak 5.422 kapal dan yang pasif sebanyak 7.926 kapal (Suara Karya, 3 Februari 2010). Hal ini menunjukkan bahwa secara kelembagaan peran klasifikasi sebetulnya sudah cukup baik, apalagi dengan telah terbentuknya asosiasi lembaga klasifikasi di tingkat Asia sehingga seharusnya sudah semakin baik kinerjanya dan menjadi harapan masyarakat akan tegaknya peraturan keselamatan dan kelaikalutan kapal. Akan tetapi dengan gambaran data di atas dimana sebagian besar kapal tidak secara aktif mengkalskan kapalnya pada lembaga klasifikasi kapal nasional menunjukkan kurangnya tingkat kepercayaan operator kapal terhadap keberadaan lembaga ini.

Selanjutnya ada beberapa factor kelemahan yang terindikasikan di bawah ini :

 Tingkat pengakuan dari institusi asuransi nasional/domestik dan asing kepada lembaga klasifikasi di Indonesia.

 Pengaturan peran lembaga klasifikasi yang diatur dalam PP No.51/2002 tentang Perkapalan.

 Penunjukan pemerintah Indonesia terhadap lembaga klasifikasi di Indonesia.

 Permenhub No. KM 20/2006 yang mengatur tentang lembaga klasifikasi Indonesia.

Klasifikasi kapal merupakan kewajiban bagi para pemilik kapal berbendera Indonesia sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan. Klasifikasi ini meliputi lambung kapal, instalasi listrik, permesinan, perlengkapan jangkar serta instalasi pendingin yang terpasang permanen dan merupakan bagian dari kapal. Instrumen pengakuan atau pemerintah terhadap legalitas kegiatan klasifikasi tampaknya masih belum banyak ditaati sehingga menjadi nyata bahwa peusahaan pelayaran yang aktif menjalankan peraturan klasifikasi dengan lingkup kegiatan seperti dijelaskan diatas presentasenya sangat kecil (40,6%).

(16)

16

Hal ini juga dapat menjadi indikasi kurangnya kepercayaan atau pengakuan yang diberikan kepada lembaga klasifikasi. Oleh sebab itu maka perlu lembaga ini meningkatkan kinerjanya agar Indonesia dapat memiliki suatu badan klasifikasi yang mampu besaing secara internasional dan tidak terus menerus mengharapkan bantuan pemerintah seperti tertuang dalam ketentuan atau peraturan menteri.

Dalam kaitan dengan Lembaga Klasifikasi : Lembaga atau Badan klasifikasi Indonesia masih belum sempurna sebagai sebuah negara maritim. Indonesia belum termasuk sebagai anggota IACS yakni sebuah organisasi yang menghimpun lembaga klasifikasi dunia dengan standar peraturan dan organisasi tentang industri perkapalan, layaknya seperti OPEC di bidang perminyakan, dll. Akibat dari Indonesia belum menjadi anggota IACS adalah kapal-kapal berbendera Indonesia akan mengalami kendala jika terjadi kerusakan atau hal-hal yang terkait dengan kelaiklautan. Kapal-kapal tersebut harus memiliki surat ijin ganda dari Negara yang didatangi. Hal ini tentunya menjadi point penting bagi berkembangnya kemaritiman Indonesia. Oleh karena itu badan klasifikasi nasional mengadakan kerjasama pengklasifikasian dengan klas anggota IACS agar kapal berbendera Indonesia tidak mengalami kesulitan namun para operator mengeluhkan adanya tambahan biaya dengan sistem dual class tersebut. Hal lain adalah lembaga klasifikasi nasional bersama dengan negara-negara Asia lainnya membentuk membentuk masyarakat klasifikasi sesama negara Asia (Asia Classification Society).

Untuk mengendalikan keselamatan pelayaran secara internasional diatur dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

 International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1974, sebagaimana telah disempurnakan: Aturan internasional ini menyangkut ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

 Konstruksi (struktur, stabilitas, permesinan dan instalasi listrik, perlindungan api, detoktor api dan pemadam kebakaran);

(17)

17

 Komunikasi radio, keselamatan navigasi

 Perangkat penolong, seperti pelampung, keselamatan navigasi.

 Penerapan ketentuan-ketentuan untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran termasuk didalamnya penerapan of the International Safety Management (ISM) Code dan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code).

 International Convention on Standards of Training, Certification dan Watchkeeping for Seafarers, tahun 1978 dan terakhir dirubah pada tahun 1995.

 International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979.

 International Aeronautical and Maritime Search and Rescue Manual (IAMSAR)

PENUTUP

Beberapa Kesimpulan dari kajian ini sbb:

1. Data yang terkumpulkan menunjukkan bahwa jumlah kapal yang telah terklasifikasi sebanyak 12.546 kapal namun yang sertifikatnya masih aktif yaitu 5.244 kapal, sedangkan sebanyak 7.124 kapal yang beroperasi di perairan Indonesia telah habis masa aktif sertifikasi kelaiklautan yang diperolehnya (yang berlaku selama 5 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 40,6 % saja terdaftar secara aktif yang berarti teraudit dan terpantau oleh badan klasifikasi nasional (BKI). 2. Kasus-kasus kecelakaan kapal yang belakangan ini terjadi pada

umumnya dialami oleh kapal yang belum mendapatkan sertifikat klasifikasi dari badan klasifiksi yang diakui oleh pemerintah. Padahal dengan klasifikasi pemilik kapal dan masyarakat pengguna jasa akan dapat mengetahui kekuatan dan stabilitas kapal serta peruntukannya.

(18)

18

Dan klasifikasi kapal merupakan kewajiban bagi setiap pemilik kapal dengan ketentuan tertentu.

3. Gambaran responden terhadap aspek-aspek yang terkait dengan SDM, Regulasi dan Kelembagaan menunjukkan masih adanya kelemahan pada klasifikasi kapal di Indonesia yakni:

Aspek SDM : Tingkat kedisiplinan dan kepatuhan para pengguna jasa klasifikasi, Pelaksanaan survei secara periodik untuk memastikan kapal masih memenuhi, Pengakuan masyarakat terhadap pelaksanaan survey dan sertifikasi kapal berbendera Indonesia.

Aspek Regulasi : Pengaturan peran lembaga klasifikasi telah diatur dengan baik dalam PP, Keberadaan Inpres No.5/2005 terhadap peningkatan peran lembaga klasifikasi Indonesia, Permenhub No. KM 20/2006 yang mengatur tentang lembaga klasifikasi Indonesia.

Aspek Kelembagaan : Tingkat pengakuan dari institusi asuransi nasional/domestik dan asing kepada lembaga klasifikasi di Indonesia, Pengaturan peran lembaga klasifikasi yang diatur dalam PP No.51/2002 tentang Perkapalan, Penunjukan pemerintah Indonesia terhadap lembaga klasifikasi di Indonesia, Permenhub No. KM 20/2006 yang mengatur tentang lembaga klasifikasi Indonesia.

Hasil kajian ini membrikan beberapa Saran.

1. Data yang menunjukkan bahwa sekitar 40,6 % saja terdaftar secara aktif yang berarti teraudit dan terpantau oleh badan klasifikasi nasional, sangat rentan terhadap kejadian kecelakaan kapal, sehingga perlu strategi dari pihak yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada para operator yang tidak mengklaskan kapalnya karena adanya risiko terhadap terjadinya kecelakaan

(19)

19

kapal apalagi dengan jumlah yang cenderung meningkat jika melihat anga kecelakaan untuk kurun waktu 2000-2009.

2. Hingga saat ini banyak kapal yang dibangun di galangan yang tidak disertifikasi oleh badan klasifikasi yang ditunjuk oleh pemerintah dan tidak sesuai dengan standar keselamatan pelayaran. Oleh karena itu diharapkan koordinasi dengan antara Kementerian Perhubungan dan Kemeterian terkait lainnya untuk lebih menegakkan aturan dan yang terkait dengan keselamatan kapal dan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan maupun perawatan kapal agar kecelakaan yang terus terjadi dapat dikurangi.

3. Masih banyaknya kelemahan yang ditemukan dari analisis terhadap aspek-aspek baik SDM, regulasi maupun kelembagaan klasifikasi kapal perlu menjadi masukan untuk lebih memperbaiki kinerja masing-masing aspek tersebut agar program pemerintah untuk mengurangi angka kecelakaan kapal dapat terealisasi, mengingat klasifikasi merupakan bagian integral dari sistem keselametan kapal.

DAFTAR PUSTAKA

---, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pelayaran;

---, INPRES Nomor 5 Tahun 2005, tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional;

---, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002, tentang Perkapalan;

---, Peraturan Menteri Perhubungan No. KM. 20 Tahun 2006 tanggal

2 Mei 2006, tentang ”Kewajiban bagi kapal Berbendera Indonesia untuk

(20)

20

---, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1964, tentang Pendirian BKI; ---, Keputusan Dirjen Perhubungan Laut PY.65/1/3-86 tanggal 7 Juli 1986, tentang Wewenang Pemeriksaan Marka dan Penerbitan Sertifikat

Garis Muat Kapal Indonesia untuk Pelayaran Dalam Negeri;

---, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.78 tahun 1989 tanggal 4 Desember 1989, tentang Penunjukan Pelayanan Jasa Pemeriksaan

dan Sertifikasi Peti Kemas kepada PT. (Persero) Biro Klasifikasi Indonesia; ---, MAPEL 14 No. 09/PHBL/I/1995 tanggal 17 Januari 1995, tentang Penegasan Instruksi Menteri Perhubungan No. IM.8/AL.407/PHB-81 wajib klasifikasi bagi kapal bendera Indonesia dengan ukuran tertentu; ---, MAPEL 15 No. 12 /PHBL/I/1995 tanggal 18 Januari 1995, tentang Kapal-kapal dengan Bendera Flag of Convinience yang beroperasi terus menerus diperairan Indonesia wajib memiliki kelas BKI;

---, Keputusan Dirjen Perhubungan Laut No. PY.68/1/3-95 tanggal 6 April 1995, tentang Pemberian wewenang kepada BKI untuk

melaksanakan pemeriksaan Keselamatan Kapal dan Pencegahan Pencemaran pada Kapal Barang Berbendera Indonesia dengan Tonase Kotor (GT) 500 atau lebih besar yang dikelaskan pada BKI;

---, Keputusan Dirjen Perhubungan Laut No. PY.67/1/7-96 tanggal 12 Juni 1996, tentang Penunjukan BKI sebagai Pelaksana Sertifikasi ISM

Code atas nama Pemerintah Republik Indonesia;

---, Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No.KL.93/1/9-04 tanggal 3 Maret 2004, tentang Penetapan BKI sebagai Organisasi

Keamanan yang diakui (RSO) ISPS Code di Bidang Kapal;

---, Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No.KL.93/2/2-04 tanggal 14 Mei 2004, tentang Pemberian Kewenangan kepada BKI

untuk menerbitkan Sertifikat Sementara (Short Term Certificate) dan Interim Certificate ISSC atas nama Pemerintah Republik Indonesia; ---, Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut No.KL.93/2/11-04 tanggal 23 Juni 2004, tentang Penetapan BKI sebagai Organisasi

Keamanan yang diakui (RSO) ISPS Code di Bidang Pelabuhan;

---, Surat Direktur Perkapalan dan Kepelautan No. PY.67/1/7.05 tanggal 6 April 2005, tentang Otorisasi Pelaksanaan Survey dan

(21)

21

Sertifikasi Annex VI Marpol 73/78 oleh BKI atas nama Pemerintah Republik Indonesia;

---, Surat Direktur Perkapalan dan Kepelautan No. UM.485/3/13/DII-05 tanggal 27 Juni 2005, tentang Otorisasi Pelaksanaan Survey dan

Sertifikasi Condition Assessment Scheme sesuai Annex I Marpol 73/78;

---, Koda Internasional Tentang Keamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan ISPS Code, Humas dan Kerjasama Luar Negeri, Direktorat

Jenderal Perhubungan Laut, 2003;

Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), http://www.klasifikasiindonesia.com;

The International Association of Classification Societies (IACS),

(22)

Gambar

Gambar 1. Diagram Alur Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

4(1) Suatu perjanjian mendatar atau menegak antara perusahaan dilarang setakat yang perjanjian itu mempunyai matlamat atau kesan menghalang, menyekat atau mengganggu persaingan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung ramah lingkungan telah dilakukan secara efektif sesuai dengan standar

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah titer antibodi terhadap Newcastle Disease (ND) dan Avian Influenza (AI) pada itik petelur fase starter di

sebagai pengenalnya. Syam’un, Divisi II / Cirebon dipimpin oleh Kolonel Asikin, dan Divisi III / Priangan dipimpin oleh Arudji Kartawinata. Posisi Arudji sebagai Panglima

tnmi daerah adalah perlu kepemimpinan yang kuat pada tingkat pertama dengan 5isi yang jelas" Selain itu tnmi daerah. memerlukan pr*esinalisme dalam

Imam An-Nawawi lahir pada pertengahan bulah Muharam tahun 631 H di kota Nawa 44. Nama lengkap beliau adalah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin husain

Sumber Data: Keperluan penelitian dipilih lima kelompok informan dengan catatan masing- masing diperlukan antara dua atau tiga orang. Informannya yaitu ; pelaksana program

Penjelasan tentang tangga nada yang ada pada gamelan jawa di atas khususnya tangga nada pelog karena penulis mengambil tangga nada pelog sebagai salah satu