• Tidak ada hasil yang ditemukan

LASKAR PUTRI INDONESIA: PENGGABUNGAN DENGAN LASKAR WANITA INDONESIA DAN PERANANNYA DALAM REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA ( ) Ringkasan Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LASKAR PUTRI INDONESIA: PENGGABUNGAN DENGAN LASKAR WANITA INDONESIA DAN PERANANNYA DALAM REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA ( ) Ringkasan Skripsi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

LASKAR PUTRI INDONESIA: PENGGABUNGAN DENGAN LASKAR WANITA INDONESIA DAN PERANANNYA DALAM REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA

(1948-1949)

Ringkasan Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta Untuk

Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan

Oleh: Indri Prasetya Wati

10406241023

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

(2)

LASKAR PUTRI INDONESIA: PENGGABUNGAN DENGAN LASKAR WANITA INDONESIA DAN PERANANNYA DALAM REVOLUSI FISIK

DI YOGYAKARTA (1948-1949). Oleh

Indri Prasetya Wati

Pembimbing: Terri Irenewaty, M. Hum ABSTRAK

Tujuan penulisan ini yaitu: (1) Mengetahui latar belakang berdirinya Laskar Putri Indonesia di Surakarta; (2) Mengetahui dan mengkaji latar belakang penggabungan Laskar Putri Indonesia dengan Laskar Wanita Indonesia; (3) Menjelaskan perjuangan Laskar Putri Indonesia pada Revolusi Fisik di Yogyakarta (1948-1949).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis, dengan metode sejarah meliputi empat langkah. Pertama, heuristik yang merupakan tahap pengumpulan data atau sumber-sumber sejarah yang relevan. Kedua, kritik sumber merupakan tahap pengkajian terhadap otentisitas dan kredibilitas sumber-sumber yang diperoleh yaitu dari segi fisik dan isi sumber-sumber. Ketiga, interpretasi yaitu dengan mencari keterkaitan makna yang berhubungan antara fakta-fakta yang telah diperoleh sehingga lebih bermakna. Keempat, historiografi atau penulisan yaitu penyampaian sintesis dalam bentuk karya sejarah.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang berdirinya LPI adalah karena Srini mendapatkan Ilham bahwa kemerdekaan Indonesia akan terwujud apabila para wanitanya juga ikut berperang bersama-sama dengan laki-laki, maka dari itu LPI di didirikan oleh Srini pada 30 Oktober 1945 di Surakarta; (2) Perpindahan Laswi ke Yogyakarta merupakan langkah awal dari penggabungannya dengan LPI. Keputusan penggabungan LPI ke dalam Laswi, sebagai bentuk penyatuan kekuatan tidak dapat bertahan lama. Perbedaan ideologi induk laskar dan faktor kepemimpinan dari masing-masing laskar mengakibatkan berakhirnya kerjasama kedua laskar wanita tersebut; (3) Selepas dari Laswi, LPI masih melanjutkan perjuangannya dengan bergabung pada badan perjuangan lain di Surakarta. Bahkan setelah LPI resmi dibubarkan semangat itu tidak pernah goyah, hal itu terbukti dari bergabungnya beberapa anggota LPI dengan Sub Wehrkreise 102 dan 105 sebagai koordinator dapur umum, PMI, kurir, mata-mata, pekabaran serta merakit senjata di bengkel persenjataan Negara.

(3)

A. LATAR BELAKANG

Revolusi fisik tahun 1948-1949 di Indonesia telah menguras tenaga seluruh rakyat Indonesia, baik laki-laki maupun wanita. Waktu itu, rakyat merupakan kekuatan utama dalam menghadapi musuh. Pada masa revolusi ini, tidak sedikit kaum wanita menunjukkan kemampuannya untuk ikut berjuang bersama para gerilyawan Republik Indonesia. Revolusi fisik tersebut mendorong lahirnya kelompok atau organisasi pejuang wanita, yang turut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Keputusan untuk membentuk badan perjuangan atau laskar-laskar wanita merupakan langkah yang cukup berani pada waktu itu, sebab prespektif masyarakat menyatakan bahwa wanita merupakan makhluk yang lemah. Kebudayaan masyarakat Jawa juga menempatkan wanita sebagai the second sex. Ungkapan-ungkapan swarga nunut neraka katut, yang berarti bahwa kebahagiaan atau penderitaan isteri hanya tergantung pada suaminya, adalah suatu contoh kondisi wanita-wanita pada saat itu dianggap tidak mempunyai peranan yang berarti.1

Pada bidang kemiliteran kemudian banyak berdiri kelaskaran-kelaskaran wanita, sebagian besar anggotanya adalah pemudi. Diantara laskar-laskar wanita di Indonesia terdapat Laskar Wanita Indonesia Bandung, Laskar Pocut Baren Aceh, Laskar Muslimat Palembang, dan Laskar Putri Indonesia Surakarta.2 Lahirnya laskar-laskar wanita tersebut membuktikan bahwa mereka juga ingin menjadi bagian dari revolusi atau “menjadi Republikan”.

Topik yang akan dibahas yakni tentang dua laskar wanita yaitu, Laskar Putri Indonesia (LPI) dan Laskar Wanita Indonesia (Laswi). Penelitian ini menjelaskan tentang hubungan antara LPI dengan Laswi, yang pada tahun 1948 pernah melakukan penggabungan guna tercapainya tujuan perjuangan, serta membahas tentang kegiatan LPI selepas dari Laswi dalam membantu perjuangan melawan serangan Belanda yang ke II di Yogyakarta.

Penulis sangat tertarik membahas tentang Laskar Putri Indonesia ini. Alasan pertama, perjuangan LPI di front depan yang begitu berani, memanggul senjata api dan merakitnya sendiri bagi penulis adalah hal istimewa padahal mereka perempuan. Kedua,

1Fauzie Rizal, dkk, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta:

Tiara Wacana, 1993, hlm. 50.

2Djumarwan, Laskar Putri Indonesia. Yogyakarta: Lembah Manah, 2010, hlm.

(4)

kelaskaran wanita ini juga mengalami proses fusi (penggabungan) dengan kelaskaran lain yaitu Laskar Wanita Indonesia (LASWI) namun penggabungan dibawah nama LASWI ini hanya bertahan sebentar, maka dari itu penulis ingin mengetahui konflik dan kegiatan-kegiatan LPI di dalam LASWI dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

B. LATAR BELAKANG BERDIRINYA LASKAR PUTRI INDONESIA 1. Laskar Putri Indonesia

Kemerdekaaan Republik Indonesia telah memberikan kesempatan luas bagi kaum wanita untuk lebih maju ke depan membela negaranya secara nyata. Muncullah sejumlah laskar bersenjata yang anggotanya para perempuan seperti, Laskar Putri Indonesia (LPI) di Surakarta, Pusat Tenaga Perjoangan Wanita Indonesia (PTPWI), Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI), Laskar Wanita Indonesia (Laswi), serta Wanita Pembantu Perjuangan (WPP) di Yogyakarta. Penempaan mental mereka sebagai perempuan tidak kalah dengan laki-laki, sehingga menggambarkan bahwa perjuangan kaum wanita pada waktu itu bersifat internal untuk memperbaiki diri dan bersifat egaliter.3 Para wanita ikut turun ke medan pertempuran melawan Belanda, mereka bertempur bahu-membahu bersama kaum laki-laki Indonesia.

Laskar Putri Indonesia (LPI) merupakan kelaskaran wanita yang ada di Surakarta. Sebelum Jepang berkuasa, di Surakarta telah berdiri perkumpulan-perkumpulan wanita yang bersifat golongan. Organisasi-organisasi tersebut bersifat kemiliteran, semua kegiatannya berkaitan dengan tujuan militer Jepang. Setelah Jepang kalah, semua organisasi bentukannya dibubarkan dan digantikan dengan organisasi yang dibentuk pemerintah Indonesia, tidak terkecuali dalam bidang kemiliteran wanita.

Munculnya LPI berawal dari Ibu Srini sebagai paranormal wanita yang memiliki ilmu kebatinan mendapat sebuah ilham dari mimpinya. Ilham tersebut berisi, Indonesia akan merdeka apabila para wanitanya juga ikut berpartisipasi dalam perjuangan, maka dari itulah Ibu Srini mendirikan sebuah laskar dengan anggota pelajar wanita.4Tugas LPI di medan perang yaitu dengan menjadi kurir makanan dan

barang untuk front depan, membantu PMI, serta menkoordinir dapur umum.

3 Fauzie Ridjal, Lusi Margiani, & Agus Fahri H (ed), Dinamika Gerakan

Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993, hlm. 103.

4 Wawancara dengan Ibu Sri Temoe (eks Anggota LPI) tanggal 12 Maret 2014

(5)

Faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya kelaskaran wanita ini antara lain, faktor pendidikan dan kepemimpinan. Pendidikan yang dimaksud adalah latar belakang anggota LPI, yang kesemuanya adalah pelajar. Para pelajar diberbagai kota secara aktif menjadi pelopor perjuangan Indonesia pada waktu revolusi. Faktor selanjutnya yaitu kepemimpinan, dalam susunan keanggotaan LPI yang paling berpengaruh bagi terbentuknya kelaskaran ini karena sosok Ibu Srini yang dianggap sebagai sesepuh5 LPI. Kharisma Ibu Srini inilah yang membuat pemudi-pemudi

Surakarta yang ikut bergabung dalam LPI.6 Ketenaran Srini tersebut membawa

pengaruh baik bagi pertumbuhan LPI. Para orang tua percaya menitipkan anak-anaknya untuk berjuang dengan Srini. Mengingat tidak semua orang tua mengijinkan anak perempuannya keluar rumah untuk berperang. Dengan demikian terbukti bahwa keberhasilan kepemimpinan Srini telah mendapat pengakuan dari warga LPI dan masyarakat sekitarnya.

Anggota LPI berjumlah kurang lebih 200 orang terdiri dari pelajar putri yang kesemuanya diasramakan. Markas LPI berada di Kompleks Balai Prajurit Batangan, Kelurahan Kedunglumbu Surakarta. Sebelum mendapatkan asrama, LPI telah membuka pendaftaran di Danukusuman No. 4 dan di kantor Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI) di Surakarta.7 LPI memiliki karaben hanya 2 pucuk, pistol, beberapa granat tangan, dan bambu runcing. Selain itu beberapa senjata yang terbuat dari kayu juga dimiliki LPI, senjata ini berfungsi sebagai alat dalam latihan perang.8

Kegiatan LPI tidak hanya di wilayah Surakarta saja, lokasi perjuangan LPI tersebar di beberapa wilayah yakni Boyolali, Salatiga, Mranggen, Demak, Malang, Semarang, dan Yogyakarta. Perjuangan prajurit LPI sempat terhenti karena pembubarannya oleh Kolonel Gatot Subroto, sehubungan dengan adanya RERA (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) di kalangan militer. LPI resmi dibubarkan pada tanggal 27 Oktober 1948, namun meski dibubarkan sebagian anggota LPI tetap

5 Sesepuh /se·se·puh/ orang yang tertua di masyarakat, orang yang dituakan

atau dijadikan pemimpin karena banyak pengalaman dalam suatu organisasi.

6 Djumarwan, op.cit., hlm. 21-22.

7 KOWANI, Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 100.

8 Irna H. N dan Hadi Soewito, Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati

(6)

berjuang di beberapa tempat.9 Sebagian anggota LPI kembali ke rumah masing-masing, melanjutkan sekolah atau pekerjaannya, namun ada pula yang masih bertahan di front. Meskipun secara nama LPI sudah dibubarkan namun secara batiniah mereka tetap kokoh membantu perjuangan Indonesia.

2. Laskar Wanita Indonesia

Laswi merupakan salah satu laskar wanita yang berdiri di Bandung, Jawa Barat. Meskipun Laswi dibentuk di Kota Bandung namun secara kondisional laskar ini mampu membangun perluasan ke daerah-daerah lain yang membutuhkan tenaga pejuang. Laswi dibentuk di beberapa daerah lainnya seperti di Yogyakarta dan Aceh.

Munculnya Laswi sebagai badan perjuangan wanita merupakan ide dari Sumarsih Subiyati atau lebih dikenal dengan Ny. Arudji Kartawinata yang merasa prihatin atas nasib Bangsa Indonesia karena terkukung oleh penjajahan. Terinspirasi dari sosok Kartini, beliau mendirikan Laswi dengan modal perjuangan Kartini. Pelajaran Kartini merupakan pelajaran pertama yang beliau berikan untuk menggugah semangat perjuangan para anggota Laswi yang memanggul senjata di front Jawa Barat.10

Laswi resmi berdiri pada tanggal 12 November 1945 dan bermarkas di Gedung Mardihardja, jalan Pangeran Sumedang No. 91 Bandung. Diketuai oleh Sumarsih Subiyati Arudji Kartawinata,11 Laswi merekrut anggota dari beragam kalangan mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, hingga janda.12 Susunan kepengurusannya Laswi terbagi menjadi 6 seksi yaitu seksi perlengkapan, dapur umum, palang merah, sosial, intelejen, dan penghubung. Sedangkan kelaskaran dibagi menjadi dua seksi (peleton) dan 8 Brigade (regu) yang masing-masing peleton beranggotakan 4 regu.

Seluruh anggotanya berjumlah 100 orang yang rata-rata adalah pelajar. Persenjataan yang dimiliki Laswi pada waktu itu berupa bambu runcing, pistol,

9Ibid., hlm. 42.

10 Annie Bertha S., “Ibu Aruji Mendirikan Laskar Wanita” dalam Satu Abad

Kartini 1879-1979. Jakarta: Sinar Harapan, 1979, hlm.167.

11 Beliau merupakan istri dari Arudji Kartawinata yang merupakan komandan

Badan Keamanan Rakyat (BKR) Divisi III Jawa Barat yang kemudian menjadi Divisi Siliwangi.

12Tim Redaksi Majalah Historia,“Perempuan di Garis Depan”, dalam Majalah

(7)

mouser, dan keris. Meskipun dalam bidang persenjataan Laswi tertinggal jauh dibandingkan dengan senjata musuh, namun semangat mereka tidak pernah surut. Kekurangan mereka dalam persenjataan dapat disiasati dengan melakukan taktik gerilya serta mengadakan penyusupan secara diam-diam.

Tidak jauh berbeda dengan LPI kegiatan-kegiatan Laswi meliputi bidang sosial, intel dan pertempuran. Di bidang sosial antara lain ikut serta dalam membantu para korban banjir di daerah Cikapundung, membantu untuk menyediakan makanan dan Palang Merah. Kegiatan anggota Laswi di bidang intel yaitu diperbantukan untuk menjadi mata-mata ataupun kurir, sedangkan dalam bidang pertempuran mereka terbagi menjadi beberapa kelompok untuk dikirim ke front perjuangan.13 Sebagai

bekal di medan perang mereka dilatih dan menerima pelajaran kemiliteran.

Tujuan pembentukan Laswi adalah untuk membantu para pejuang laki-laki baik di garis depan maupun di garis belakang, maka dari itu, sebelum terjun ke medan perang anggota Laswi yang sebagian besar pelajar putri tersebut mendapat beberapa latihan. Latihan-latihan yang tersebut meliputi pembinaan fisik dan mental, kemiliteran (baris-berbaris, penggunaan senjata, taktik gerilya), palang merah, intel, dll.14Hal tersebut diharapkan agar anggota Laswi dapat melindungi diri dari serangan musuh.

C. PENGGABUNGAN LASKAR PUTRI INDONESIA DENGAN LASKAR WANITA INDONESIA DI YOGYAKARTA.

1. Kondisi Umum Yogyakarta Tahun 1948-1949

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di Jawa Tengah sebelah selatan di pulau Jawa. Terletak pada posisi 7˚30’- 8˚15’ Lintang Selatan (LS) dan 110˚-110˚50’ Bujur Timur (BT). Luas wilayahnya sekitar 3.185,80 km²,15 yang secara administratif dibagi

menjadi 5 Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) yaitu Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, Kabupaten Wonosari, Kabupaten Sleman, dan Kotamadya Yogyakarta yang termasuk juga menjadi ibukota propinsi ini. Yogyakarta merupakan

13KOWANI, op.cit., hlm. 100. 14Ibid.

15 Profil Propinsi Republik Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta.

(8)

sebuah wilayah yang kurang lebih berbentuk segitiga, secara administratif mempunyai status sebagai Daerah Tingkat I. Bagian barat dan utara berbatasan dengan Karesidenan Kedu, sedangkan bagian timur dan timur-laut berbatasan dengan Karesidenan Surakarta. Secara geografis, daerah ini dikelilingi oleh wilayah Propinsi Jawa Tengah, kecuali disebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia.16

Pada tahun 1948 masyarakat Yogyakarta yang beragama islam 90,2 %, kristen 7,2%, hindu 0,2%, budha 0,1% dan yang lain merupakan penanut aliran kebatinan.17

Terjalinnya kerukunan dalam masyarakat yang beragam tersebut tentunya tidak terlepas dari sosok pemimpin di masyarakat. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dianggap sebagai raja yang mampu menganyomi dan melindungi rakyatnya.

. Tanggal 4 Januari 1946 Ibukota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Pemindahan ibukota/pusat pemerintahan ke Yogyakarta itu mempengaruhi perpindahan sebagian besar masyarakat ke daerah ini. Tidak hanya para pemimpin dan pegawai-pegawai pemerintahan yang pindah, akan tetapi diikuti oleh beberapa kaum Republik yang ingin melanjutkan perjuangan. Akibatnya jumlah penduduk Yogyakarta bertambah, yang semula sekitar 170.000 jiwa jadi 600.000 jiwa.18 Perpindahan ibukota ke Yogyakarta juga berpengaruh besar terhadap semangat perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan masyarakat Yogyakarta khususnya. Pada saat itu pula kota Yogyakarta menjadi kota perjuangan dan kota revolusi yang sangat penting bagi sejarah bangsa.

Keadaan militer Yogyakarta 1948-1949 juga tidak stabil dikarenakan adanya serangan dari Belanda atau lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda II. Penduduk Yogyakarta awalnya tidak menyadari bahwa Belanda sedang menyerang kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak ada pengumuman dari pemerintah sebelumnya. Siaran RRI pada tanggal 18 Desember 1948 malam tidak ada pengumuman tentang peristiwa penyerbuan apapun, radio bersiaran seperti biasa. Jalan-jalan dipusat kota seperti Jalan Malioboro cukup ramai mengingat malam itu adalah malam minggu.19

16 Ki Nayono, Sejarah Perjuangan: Yogya Benteng Proklamasi. Jakarta:

Perwakilan, 1979, hlm. 221.

17Ibid., hlm 118.

18Ibid., hlm. 7.

19 Sutopo Jasamiharja, dkk, 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat

(9)

Akan tetapi keesokan harinya, setelah mendengar suara bom dan melihat begitu banyak pesawat udara di atas Yogyakarta mulai timbul berbagai kekacauan. Agresi Militer Belanda yang kedua atas Yogyakarta ini merupakan tindakan lanjut atas polemik pelanggaran Perjanjian Renville.

Kerugian yang ditanggung rakyat karena Agresi Militer II ini sangat besar. Rakyat menjadi korban, sebagian besar mereka mengungsi keluar kota/daerah-daerah yang dirasa aman dari serbuan tentara Belanda. Namun, tidak sedikit rakyat yang meninggal akibat serangan Belanda secara membabi buta ke segala penjuru kota dengan melepaskan tembakan di sepanjang jalan yang mereka lewati.20 Dari catatan

Pemerintah Daerah akibat serangan Agresi Militer Belanda II tersebut tercatat 2.718 orang meninggal, 736 luka-luka, 539 hilang serta kerugian harta benda mencapai Rp.252.648.430,00.21

2. Latar Belakang dan Proses Perpindahan Laskar Wanita Indonesia ke Yogyakarta

Pada tanggal 4 Januari 1946 pemerintah pusat Republik Indonesia memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan keluar dari Ibukota Jakarta menuju Yogyakarta. Hal tersebut dilakukan mengingat kondisi keamanan Jakarta, pertempuran antara pihak Republik dengan Belanda terjadi semakin sengit. Tentunya masalah seperti itu dapat mengganggu dan menghambat jalanya pemerintahan Republik Indonesia yang masih muda. Akibatnya, ibukota dipindahkan dari Jakarta menuju Yogyakarta.

Pada masa pemerintahan Kabinet Syahrir yang kedua, Arudji Kartawinata yang semula menjabat sebagai Panglima Divisi III diangkat menjadi Menteri Muda Pertahanan.22 Pengangkatan Arudji Kartawinata menjadi pejabat pemerintahan mengharuskan beliau untuk pindah ke Ibukota Yogyakarta dan Soemarsih Yati sebagai istrinya juga harus ikut pindah. Dengan berbagai pertimbangan serta

20 A. H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia 9: Agresi Militer

Belanda II. Bandung:Penerbit Angkasa, 1996, hlm. 206.

21Sutopo Jasamiharja, dkk, loc.cit.

22Pada tanggal 20 Mei 1946 komandemen Jawa Barat memakai nama Siliwangi

sebagai pengenalnya. Susunan dan personilnya yaitu, Divisi I / Banten dipimpin oleh K. H. Syam’un, Divisi II / Cirebon dipimpin oleh Kolonel Asikin, dan Divisi III / Priangan dipimpin oleh Arudji Kartawinata. Posisi Arudji sebagai Panglima Divisi III digantikan oleh A. H. Nasution yang kemudian menjadi Panglima Divisi Siliwangi.

(10)

dukungan dari banyak pihak di Yogyakarta Ny. Arudji Kartawinata melanjutkan perjuangannya yaitu dengan mendirikan Laswi cabang Yogyakarta. Sehingga Laswi pecah menjadi dua, yakni Laswi Pusat di Bandung dan Laswi cabang Yogyakarta. Ketua Laswi yaitu Ny. Arudji Kartawinata dan 24 orang anggota mendirikan Laswi cabang Yogyakarta, sedangkan Laswi Pusat yang ada di Bandung tetap melanjutkan perjuangan.23 Meskipun berada di kota yang berbeda, antara Laswi pusat dengan Laswi cabang Yogyakarta tetap ada hubungan kerjasama, baik dalam penyaluran tenaga maupun bahan logistik.

Laswi cabang Yogyakarta mendapat sambutan hangat dari masyarakat Yogyakarta, hal tersebut terbukti dengan adanya wanita baik remaja, ibu rumah tangga yang mau bergabung kedalam Laswi. Di Yogyakarta Laswi bermarkas di Gondokesuman No. 35 Yogyakarta (kediaman Ny. Arudji Kartawinata), dan asrama berada di Bintaran Tengah. Pimpinan Laswi di Yogyakarta yaitu Ibu Awibowo dan Ibu Pangeran Hadinegoro.24 Sasaran utama perekrutan anggota Laswi semula adalah remaja putri atau pelajar putri, namun tidak menutup kemungkinan Laswi juga dibuka untuk kalangan ibu-ibu rumah tangga atau wanita yang bersuami. Sebagian dari anggota Laswi di Yogyakarta adalah istri-istri dari pejabat pemerintahan dan istri-istri pejuang. Namun hal ini tidak lantas membuat kesenjangan di dalam keanggotaan Laswi.

Laskar Wanita Indonesia merupakan kesatuan perjuangan yang berada dibawah naungan Divisi Siliwangi di Bandung. Banyak anggota Laswi yang merupakan istri atau keluarga dari pasukan-pasukan Siliwangi. Berkenaan dengan pembumihangusan Bandung dan sewaktu pasukan Siliwangi diharuskan hijrah ke Yogyakarta sebagian anggota Laswi juga turut hijrah bersama pasukan Siliwangi. Mereka yang tidak turut hijrah bersama pasukan Siliwangi, tinggal di pengungsian dan melanjutkan perjuangan Laswi dalam bidang sosial.

Peristiwa Hijrah Siliwangi terjadi pada awal bulan Februari 1948, dilatarbelakangi oleh perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948. Salah satu keputusan utamanya yaitu menarik satuan TNI dari kantong-kantong

23 Disjarahdam VI/Siliwangi, Siliwangi dari Masa ke Masa Edisi ke-2.

Bandung: Angkasa Bandung, 1979, hlm.53.

(11)

gerilya masing-masing menuju keseberang garis Van Mook.25 Menurut pasal-pasal perjanjian yang ditetapkan oleh Belanda dan RI, mengharuskan pasukan Siliwangi meninggalkan kantong-kantong di Jawa Barat dan Divisi Brawijaya yang ada di Jawa Timur.26 Perintah ini kemudian menjadi pedoman bagi anggota TNI untuk menuju daerah Republik.

Wanita yang terpaksa ikut, atau memilih meninggalkan rumahya di wilayah-wilayah yang diduduki militer Belanda, harus mengatasi segala jenis kesulitan hidup, termasuk menyandarkan diri pada keramahtamahan penduduk desa, melahirkan dan merawat anak atau saudara yang sakit dalam perjalanan yang jauh dari rumah dan sanak keluarga.27 Begitu juga dengan anggota Laswi yang melakukan hijrah bersama

anggota Siliwangi, mereka turut tampil bersama suami atau saudara mereka dalam revolusi. Perjuangan anggota Laswi tetap berjalan meskipun berada di daerah yang baru. Mereka turun sebagai pejuang gerilya, kurir, dan bergerak di dapur umum ataupun di PMI.

Ketika TNI hijrah, maka sebagian besar anggota Laswi ikut hijrah ke Yogyakarta. Mereka bertugas membantu dan mengurus keluarga TNI yang ikut hijrah dipimpin oleh Ibu Nasution, karena tidak semua anak istri tentara pergi bersama-sama dengan keluarganya. Dengan menumpang kereta api rombongan Laswi tiba di Stasiun Tugu, dan disambut oleh Ny. Arudji Kartawinata yang telah berada di Yogyakarta.28 Setibanya di Yogyakarta anggota Laswi yang ikut hijrah bergabung dengan Laswi pusat Yogyakarta di Gondokusuman No. 53, dan mereka ikut dalam Panitia Sosial yang bertugas dalam penyelenggaraan dapur umum.29

25Garis Van Mook diambil dari nama Letnan Gubernur Jenderal HJ. Van Mook,

garis tersebut menghubungkan pos-pos militer Belanda terdepan yang dianggap sebagai batas wilayahnya dan merupakan garis demarkasi antara daerah kekuasaan RI dan Belanda.

26 Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat, Hijrah Siliwangi. Jakarta:

Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat, 2008, hlm. 2.

27Anton Lucas, “Pengalaman Wanita Selama Zaman Pendudukan dan revolusi,

1942-1950”. dalamPrisma, N0.5 Tahun XXV, 5 Mei 1996, hlm. 27.

28Sri Minarti, op.cit., hlm. 76.

29 Suhatno, “Sumbangan Wanita Yogyakarta Pada Masa Revolusi”. dalam

(12)

3. Usaha Penggabungan Laskar Putri Indonesia dengan Laskar Wanita Indonesia serta Kegiatannya

Hubungan LPI dengan Laswi bermula dari penggabungan beberapa anggota LPI dengan Laswi pada awal tahun 1948. Kerjasama antara LPI dengan Laswi hanya mampu bertahan 3 bulan, dari Maret sampai Mei 1948.30 Laswi diwakili oleh Ny.

Arudji Kartawinata (Ketua Laswi) sedangkan LPI diwakili oleh Sri Kanah Kumpul (sesepuh LPI) dan Sdr. Prasasti (Wakil Ketua LPI), maka bergabunglah LPI dengan Laswi menjadi Laswi. Nama LPI dihilangkan, karena LPI telah menjadi satu dengan Laswi.31 Hubungan kerjasama diantara keduanya, yaitu dengan pengiriman pasukan

ke front yang membutuhkan bantuan tenaga.

Pada saat LPI bergabung dengan Laswi, LPI dipimpin oleh Dartijah, sedangkan Laswi dibawah kepemimpinan Ny. Arudji Kartawinata. Dartijah merupakan ketua kedua di LPI setelah menggantikan Sudijem, pada masa kepemimpinanya LPI berkembang lebih pesat.32 Kecerdasan Dartijah sebagai seorang ketua berhasil memperluas sepak terjang LPI itu sendiri, salah satunya yaitu dengan penggabungan LPI dengan Laswi, meskipun hanya berlangsung tiga bulan saja. Dalam waktu yang singkat yakni tiga bulan masa penggabungan, maka antara kedua laskar belum sempat terbentuk suatu kepengurusan yang baik.

Para pengurus LPI tidak serta merta langsung menerima ajakan Laswi untuk bergabung, mereka menimbang dan memutuskan penggabungan tersebut secara matang. Sebab, penggabungan dua kelaskaran ini bukanlah hal yang mudah, dua badan kelaskaran dengan segala perbedaannya harus berjalan beriringan satu sama lain. Maka dari itu, sebelum memutuskan untuk menerima penggabungan, wakil-wakil dari LPI perlu meninjau markas dan kinerja Laswi, maka dari itu dikirimlah Sri Kanah Kumpul dan Sdr. Prasasti ke markas besar Laswi di Bandung.33 Setelah

berkunjung ke Bandung dan dukungan dari banyak pihak LPI memutuskan bersedia

30Djumarwan, op.cit., hlm. 65.

31R. T. Condronagoro, Riwayat Laskar Putri Indonesia di Surakarta. Surakarta:

Wirjowitono, 1976, hlm. 6.

32 Wawancara dengan Sri Temoe eks anggota LPI (84 tahun), dan diperkuat

dengan pengakuan Ibu Endang keponakan Srini dan anak Ibnoe Oemar (56 tahun) tanggal 12 Maret 2014.

(13)

bergabung dengan Laswi, meskipun dengan konsekuensi nama LPI dihilangkan dan akan tunduk dengan peraturan Laswi.

Latar belakang bergabungnya LPI dan Laswi bermula dari kurangnya tenaga Laswi di front-front Jawa Barat akibat dari pembumihangusan kota Bandung. Peristiwa tersebut menyebabkan penduduk harus mengungsi keluar kota Bandung. Laswi dalam hal ini bertugas membantu penduduk yang mengungsi, mendirikan dapur umum untuk sektor perjuangan, mencari bahan makanan dan mengirimkannya ke garis depan.34 Pihak musuh semakin mendesak ke wilayah-wilayah yang diduduki

pasukan Republik, serangan Belanda yang semakin sengit membuat tempat pengungsian berpindah-pindah, selain itu tenaga perjuangan juga semakin berkurang. Guna mengisi kekurangan tenaga, maka Laswi Bandung meminta bantuan kepada Laswi Yogyakarta untuk mengirimkan pasukannya.35 Menanggapi situasi tersebut maka Laswi Yogyakarta langsung kontak dengan LPI di Surakarta dan meminta sebagian anggotanya untuk bergabung dengan Laswi.

Kegiatan-kegiatan LPI setelah bergabung dengan Laswi yaitu pengiriman pasukan guna membantu perjuangan di front Jawa Barat. Perjuangan LPI-Laswi36 di front yaitu membantu menyelenggarakan dapur umum dan mengirimkan makanan ke garis depan serta palang merah. Front yang berhasil dituju pada saat penggabungan antara lain Ciparay. Meskipun LPI sudah bergabung dan berada di bawah nama Laswi, namun perjuangan antara LPI dan Laswi masih berjalan sendiri-sendiri. Hanya beberapa anggota dari LPI yang dikirim untuk bergabung dengan Laswi di front, sedangkan lainnya masih berada di Surakarta.37

Kegiatan LPI-Laswi yang pertama kali setelah penggabungan yakni pengiriman pasukan ke Ciparay, dengan tugas membantu para pengungsi dari Bandung. Peristiwa Bandung Lautan Api menyebabkan Kota Bandung dengan radius 11 km dari pusat kota harus dikosongkan. Pemerintah Kota Bandung beserta masyarakatnya terpaksa mengungsi keluar kota dan berkedudukan berturut-turut di

34KOWANI, Ibid., hlm. 100.

35Disjarahdam VI/Siliwangi, op.cit., hlm. 52.

36 Penulis menggunakan nama LPI-Laswi untuk menyebut Laswi dengan

struktur kepengurusan yang baru, dimana setelah LPI bergabung dengan Laswi dan berubah nama menjadi Laswi.

(14)

Soreang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciparay.38 Rakyat Bandung bertahan di pengungsian dalam waktu yang cukup lama, sejak peristiwa Bandung Lautan Api 1946 hingga akhir 1948, ketika Bandung dinyatakan aman mereka baru kembali ke kampung halaman.39

Di Ciparay inilah markas LPI-Laswi berada, selama di Ciparay mereka mengurus pengungsi yang hidup seadanya. Pengungsi hidup berbagi dengan penduduk desa dan sebagian dari mereka ada yang melanjutkan sekolah serta pekerjaannya sebagai pedagang.40 Di pengungsian ini kita dapat menyaksikan proses

sosialisasi jiwa kejuangan mempertahankan kemerdekaan di kalangan penduduk desa. 4. Pisahnya Laskar Putri Indonesia dari Laskar Wanita Indonesia

Penggabungan antara dua laskar wanita yaitu LPI dengan Laswi, tidak berjalan lama. Kerjasama itu hanya bertahan 3 bulan saja, terhitung dari bulan Maret sampai dengan Mei 1948. Penggabungan tersebut telah dibubarkan oleh kedua belah pihak, karena tidak ada kecocokan. Ketidakcocokan disebabkan adanya hal-hal yang menyangkut prinsip perjuangan yang tidak dapat disatukan.

Penggabungan LPI dengan Laswi yang menghilangkan nama LPI secara tidak langsung mempengaruhi semangat anggota LPI. Menghilangkan identitas LPI dan meleburkannya dibawah kekuasaan Laswi merupakan pukulan psikis bagi anggotamya, sebab dalam Laswi mereka dianggap sebagai anggota baru dan harus tunduk kepada anggota lama atau senior (anggota Laswi).41 Ketidakcocokan ini lebih dititikberatkan pada masalah identitas kelompok, sebagian anggota LPI tidak menghendaki nama dan kegiatan laskarnya hanya ada dibelakang Laswi. Perasaan di nomor duakan dalam kelompok dapat mempengaruhi sikap anggota LPI yang harus bekerjasama dengan anggota Laswi lainnya, sehingga hal tersebut mempengaruhi hasil kerja mereka di front.

Tidak diikutsertakannya anggota LPI dalam setiap rapat atau musyawarah kelompok membuat mereka merasa dirugikan. Mereka bekerja hanya menunggu

38Edi Ekadjati, S. dkk, Sejarah Kota Bandung: 1945-1979. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1985, hlm. 75.

39 Ratnayu Sitaresmi, dkk., “Saya Pilih Mengungsi” Pengorbanan Rakyat

Bandung untuk Kedaulatan. Bandung: Bunaya, 2002, hlm. 121-122.

40Ibid., hlm. 138.

(15)

komando dari atasan, sedangkan anggota LPI sudah terbiasa untuk selalu berkegiatan baik itu di front ataupun latihan. Semangat yang menggebu-gebu mereka tidak cocok apabila hanya disuruh untuk menunggu komando saja.42Sifat-sifat seperti itu maklum terjadi, karena sebagian besar dari mereka masih remaja.

Faktor usia juga mempengaruhi sikap seseorang dalam kelompok. Pada dasarnya anak perempuan pada usia remaja lebih banyak didorong oleh rasa ingin tahu yang kuat ditambah dengan keinginan untuk menjadi dewasa, serta hasrat berprestasi. Mereka akan merasa tertekan dan bertindak menentang atau memberontak terhadap sesuatu yang dirasa kurang baik ataupun kurang memuaskan dalam lingkungannya.43 Wajar apabila anggota LPI begitu kecewa atas tindakan Laswi yang

hanya menganggap mereka sebagai junior. Kekecewaan yang mendalam tersebut dapat menimbulkan konflik-konflik batin dan dapat juga menimbulkan gangguan psikis dalam kepribadian setiap anggota.

Anggota LPI sebagian besar adalah remaja putri yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Unsur eksklusifitas dan kesetiaan sangat dijunjung tinggi, khususnya mereka menghargai rasa loyalitas dan solidaritas terhadap penderitaan sesama rekannya.44 Anak gadis juga cenderung tidak puas dengan otoritas orang tua atau pengasuhnya yang dianggap “berkuasa” atas dirinya.45 Tidak salah jika mereka sangat setia berjuang di bawah naungan LPI, dan merasa kecewa atas penghapusan nama LPI. Wajar apabila anggota LPI merasa tertekan dengan sikap anggota Laswi yang merasa berkuasa. Perpisahan LPI dari Laswi juga didorong oleh keinginan menuntut hak-hak dan pengakuan atas diri atau kelompoknya (LPI).

Latar belakang ketidakcocokan lainnya, antara LPI dan Laswi lebih mendasar pada perbedaan prinsip kepemimpinan yang tidak dapat disatukan. Hal ini dapat ditelusuri dari latar belakang kepercayaan kedua tokoh pencetus ide pendiri masing-masing laskar. Ny. Arudji Kartawinata sebagai pendiri Laswi adalah seorang Islam yang taat, sehingga Laswi dijiwai oleh semangat keagamaan, sedangkan Srini sebagai

42Sri Temoe, 12 Maret 2014.

43 Kartini Kartono, Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja & Wanita

Dewasa Jilid 1. Bandung: Mandar Madu, 1992, hlm. 44-45.

44Ibid., hlm. 42.

(16)

pencetus ide pendirian LPI beraliran ilmu kebatinan.46 Perbedaan-perbedaan tersebut tentunya mempengaruhi corak dan kegiatan perjuangan masing-masing laskar.

Pemimpin merupakan kunci utama kesuksesan suatu kelompok. Otoritas pemimpin badan perjuangan menurut Sartono Kartodjirjo bersumber pada prestige (wibawa) pribadi antara lain, karena sifat-sifat keunggulan, seperti pengetahuan, keterampilan, kreativitas, inisiatif, keberanian moral, dan sebagainya, arti lainnya yaitu suatu keunggulan pada pribadinya. Pemimpin tersebut juga diakui oleh komunitas atau kelompoknya. Keunggulan itu juga dapat dikatakan sebagai kharismatis.47

Kharisma Srini dan ketenarannya dalam bidang kebatinan membawa pengaruh baik bagi pertumbuhan LPI. Kepemimpinan kharismatis dari Srini lah yang tidak didapatkan ketika mereka bergabung dengan Laswi. Ny. Arudji Kartawinata sebagai pemimpin Laswi memang seorang pemimpin yang berdedikasi dan disiplin tinggi. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang keras dan tegas dalam kepengurusan juga hal agama, namun cukup menjaga jarak dengan masyarakat.48Sifat Ny. Arudji yang keras dan tegas dalam hal perjuangan serta agama, sangat dipengaruhi dari lingkungan keluarganya. Keluarga besarnya merupakan keluarga pejuang Islam, begitu juga suaminya adalah seorang anggota militer. Peranan orang tua dan keluarga cukup besar dalam hal menanamkan semangat seseorang dalam berorganisasi.

Latar belakang Srini yang Kejawen dan Ny. Arudji Kartawinata yang Islamis, cukup mempengaruhi corak pergerakan masing-masing laskar. Semangat keagamaan Laswi tercermin dalam ADRT Laswi yang menyebutkan bahwa setiap anggota Laswi diwajibkan membaca dua kalimat syahadat. Hal ini menunjukkan bahwa semua anggota Laswi adalah mereka yang beragama Islam, dan ajaran Islam menjadi dasar perjuangan Laswi. Berbeda dengan LPI yang lebih bercorak pada kejawen didukung dengan ilmu kebatinan Srini. Perbedaan ADRT laskar tersebut juga menjadi salah satu pemicu keretakan hubungan kerjasama LPI dan Laswi.49

46R. T. Condronegoro, op.cit., hlm. 15.

47 Sartono Kartodjirjo, Peranan Badan-badan Perjuangan dalam Revolusi

Indonesia. Makalah Seminar Revolusi Kepahlawanan dan Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: Museum Benteng Yogyakarta, hlm.15.

48Tim Redaksi Majalah Historia, op.cit., hlm.130.

(17)

Di setiap kegiatan LPI dalam perjuangan tidak terlepas dari tradisi-tradisi budaya Kejawen yang melekat pada Srini. Hal-hal yang berbau mistik seperti yang dilakukan anggota LPI tentu dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi tersebut juga dianggap bertentangan dengan prinsip anggota Laswi, seperti yang tercantum dalam ADRT nomor satu, yang menyebutkan bahwa tidak ada yang boleh disembah selain Tuhan.

Perbedaan pandangan serupa juga terjadi antara anggota LPI dengan anggota Laswi, dan sampai memunculkan konflik batin anggotanya. Apabila konflik tersebut telah sampai pada harga diri atau identitas kelompok, terlebih pada pertentangan paham atau adat yang telah melembaga, penyelesaian konflik secara damai akan sulit ditempuh. Salah satu cara penyelesaian konflik antara LPI dan Laswi yakni dengan berpisah secara baik-baik.

Pada dasarnya masing-masing badan kelaskaran cenderung berorientasi pada ideologi induk laskarnya, yang menjadi ciri pembeda diantara masing-masing organisasi. Disamping itu pada saat kritis menghadapi Belanda sering timbul konflik antar laskar misalnya konflik berasal dari masalah-masalah isu identitas sosial, perasaan stereotype yang tidak logis, dan salah paham yang berasal dari prasangka timbal balik yang mendalam.50 Konflik-konflik tersebut juga turut mewarnai pola perjuangan LPI dan Laswi selama masa penggabungan mereka.

D. PERAN LASKAR PUTRI INDONESIA DALAM REVOLUSI FISIK DI YOGYAKARTA

Menghadapi aksi militer Belanda yang kedua, Pemerintah RI melakukan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) yang berdasar pada Penetapan Presiden N0.9 pada 27 Februari 1948, Penetapan Presiden No.14 pada 2 Mei 1948, dan Undang-undang No.3 pada 5 Maret 1948.51Pemerintah menghendaki adanya RERA dalam segala bidang,

termasuk dalam angkatan bersenjata RI.52 Perintah ini dilaksanakan atas perhitungan

50 Eric A. Nordlinger, Militer dalam Politik Kudeta dan Perjuangan.

Diterjemahkan oleh Sahat Simamora, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 55.

51Djumarwan, op.cit., hlm. 69.

(18)

bahwa RI merupakan Negara miskin dan daerahnya telah dipersempit, maka segala penggunaan kekuatan dan sumber daya harus secara efisien.

Sebagian besar Biro Perjuangan Daerah Surakarta masuk kedalam TNI bagian masyarakat dan menjadi bibit bagi kesatuan-kesatuan territorial. Demikianlah laskar-laskar perjuangan telah dilebur ke dalam tubuh TNI, hanya LPI yang tidak dapat dilebur ke dalam TNI. Pada waktu itu selain LPI berada di naungan Divisi IV, juga karena belum ada ketentuan tentang kesatuan-kesatuan wanita (Korps Wanita) dalam angkatan bersenjata, maka dengan terpaksa LPI dibubarkan oleh Kolonel Gatot Subroto. Secara resmi LPI dibubarkan pada 27 Oktober 1948, LPI baru meninggalkan asrama pada akhir November 1948.53 Pembubaran LPI sebagai organisasi perjuangan, tidak menghapus

jiwa perjuangan para anggotanya.

Selepas LPI dibubarkan anggotanya pun kembali melanjutkan sekolah, sebab anggota LPI adalah pelajar. Namun, sebagian dari mereka juga ada yang tidak kembali ke bangku sekolah, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjuangan. Guna melanjutkan perjuangan, pertemuan dan koordinasi para eks LPI dilakukan di rumah Srini yakni di Danukusuman. Srini selalu menyerukan kepada eks anggota LPI bahwa perjuangan tidak ada batasnya, maka siapa pun yang masih ingin berjuang tetap bergabung dengan LPI.54

Satu setengah bulan setelah pembubaran LPI, Pasukan Belanda menyerang dan menduduki Ibukota Yogyakarta pada 19 Desember 1948. Para eks anggota LPI kembali terketuk hatinya untuk melanjutkan perjuangan, sehingga dikoordinasilah warga LPI untuk kembali memanggul tugas. Anggota LPI bersedia kembali berjuang karena mendengar kabar bahwa Srini telah mendapat ilham kalau Kota Yogyakartalah yang pertama akan diserahkan kepada Republik. Oleh sebab itulah mereka turut serta bergerilya ke Yogyakarta bersama Srini.55

Perjalanan gerilya Srini dan anggota LPI tidak lepas dari serbuan pasukan musuh, pesawat Belanda berterbangan di setiap perjalanan yang mereka lewati. Setiap malam mereka beristirahat di makam-makam, dan untuk kapan berangkat melanjutkan

53 Sejarah Militer Angkatan Darat Resimen Infanteri 15, Sejarh TNI di dalam

Daerah Karesidenan Surakarta Periode Pertama:Tahun 1942-1948. Surakarta: tanpa penerbit, 1960.

54Djumarwan, op.cit., hlm. 71.

(19)

perjalanan selalu menunggu perintah dari Srini. Baik pagi, siang, sore, ataupun tengah malam, kalau Srini menghendaki untuk melanjutkan perjalanan maka mereka semua pasti mengikuti, sebab hal tersebut juga menyangkut keselamatan bersama.56

Rombongan LPI bersama Srini berangkat ke Yogyakarta melalui Ndawung, Baki, dan Ngrombo, selanjutnya melalui Majasto, mBayat, kemudian menyeberang ke perbatasan Yogyakarta di Pathuk.57 Sesampainya di Imogiri, Srini tinggal bersama dengan keluarganya. Di Imogiri terdapat banyak keluarga dari Srini, tidak lupa sebelum ikut bergerilya Srini berkunjung ke makam Imogiri dan sempat tinggal sebentar disana.58

Anggota LPI di tampung di rumah saudara-saudara Srini yang ada Imogiri, sebagian ada yang tinggal di rumah kabupaten, dan lainnya berada di rumah Tukijan Reksowardoyo.59

Anggota LPI yang turut ke Imogiri kemudian bergabung dengan pasukan gerilya, baik dengan TNI maupun pejuang gerilya lainnya.

Markas Wehrkreise III pada saat terjadi revousi fisik 1948-1949 dan terjadi aksi militer Belanda II bermarkas semertara di Ngoto, Kasihan, Bantul. Kemudian pidah ke Segoroyoso, Pleret, Bantul. Pada tanggal 16 Januari 1949 terjadi perubahan dari 6 SWK menjadi 7 SWK. Kota Yogyakarta yang belum masuk dalam wadah SWK, dirasa perlu membentuk SWK kota. SWK 01 daerah Bantul Timur dimasukkan ke dalam SWK 102 yang dipimpin Mayor Sarjono. Bagian SWK 102 adalah seluruh wilayah yang berada di Bantul, kemudian SWK 101 dipergunakan untuk daerah Kota Yogyakarta.60

Perubahan SWK dari 6 SWK menjadi 7 SWK, sebagai berikut:61

1. SWK 101 daerah Kota Yogyakarta dengan komandan Letnan Marsudi. 2. SWK 102 daerah Bantul dengan komandan Mayor Sarjono.

3. SWK 103 daerah Gamping dengan komandan Letkol Suhud.

56Ibid.

57 Irna Hadi Soewito (peny), Seribu Wajah Wanita Pejuang Dalam Kancah

Revolusi ’45. Jakarta: Grasindo, 1995, hlm. 16.

58 Sri Temoe Soegioto, Otobiografi: Potret Seorang Lasykar Muslimah

Teladan. Solo: Tanpa Penerbit, 2006, hlm. 22.

59 Tukijan Reksowardoyo merupakan saudara Srini, Pada saat itu Beliau

menjabat sebagai Lurah Imogiri. Lihat, Djumarwan, op.cit., hlm. 73.

60 Suhatno, “Peranan Rakyat Tirtonirmolo, Kabupaten Bantuk Pada Masa

Perang Kemerdekaan II Tahun 1948-1949”. dalam Patra-Widya, Vol. 6 No. 3. September 2005, hlm. 19.

(20)

4. SWK 103A daerah Godean dengan komandan Mayor H. N. Sumual. 5. SWK 104 daerah Sleman dengan komandan Mayor Sukasno.

6. SWK 105 daerah Gunungkidul dengan komandan Mayor Sujono. 7. SWK 106 daerah Kulonprogo dengan komandan Letkol Sudarto.

Kegiatan gerilya di Imogiri dilakukan dengan penggabungan semua kesatuan perjuangan. Termasuk kegiatan LPI, dilakukan secara penggabungan pula, baik kegiatan dapur umum, palang merah, maupun pemasokan bahan makanan. Secara khusus LPI mempunyai hubungan kerjasama dengan pasukan TNI SWK 102, LPI membantu di bagian pekabaran dan seksi usaha. Anggota LPI yang diperbantukan ke SWK 102 ialah Sarwenten, Dartijah, Hartati, Pramani, Mastuti, dan Siti Muljani.62

Serangan Belanda ke Imogiri sempat mengakibatkan pasukan gerilya bercerai berai. Setelah penyerangan pasukan berhasil di kumpulkan kembali oleh komandan SWK 102. Anggota LPI yang masih ingin berjuang bergabung dengan SWK 102, adapun tugas yang diemban oleh anggota LPI yaitu sebagai pembantu pos palang merah di Karangtengah, sebagai pembantu kurir dan perkabaran di markas gerilya Pundong Bantul, sebagai pembantu pembuatan senjata di pabrik senjata Panggang Wonosari, dan sebagai pembantu pos Polisi Militer Kompi Sentul Yogyakarta.63

Selain bergabung dengan SWK 102 ada beberapa anggota LPI yang bergabung dengan gerilyawan dengan markas di Demangan yang dipimpin oleh bapak Tukiman. Tugas di markas Demangan yaitu sebagai pembantu bagian penerangan ke desa-desa.64 Anggota LPI yang bergabung di demangan salah satunya adalah Sri Temoe. Selama perjuangan di Yogyakarta, kontak antara anggota LPI dengan Srini masih berjalan, walaupun sekedar sowan ataupun meminta bantuan kepada Srini.

Kegiatan kaum wanita di Yogyakarta dalam perjuangan pada umumnya berada di garis belakang seperti dapur umum, palang merah, dan sebagai kurir. Dapur umum yang berada di luar kota seperti Bantul, Sleman, Kulonprogo, dan Gunungkidul ditanggung oleh penduduk desa yang dikoordinir oleh lurah-lurah setempat. Peranan lurah pada masa gerilya sangat penting, karena sikap dan kesetiaan lurah akan menentukan pula sikap dan kesetiaan penduduk daerahnya. Pelaksanaan dapur umum di

62Djumarwan, op.cit., hlm. 73. 63Djumarwan, op.cit., hlm. 75.

(21)

daerah-daerah tersebut tetap dilakukan oleh kaum wanita. Selain berjuang melalui dapur umum, kaum wanita saat itu juga berjuang melalui kepalangmerahan. Anggota LPI yang tergabung dalam SWK 102 dan bertugas sebagai pembantu pos palang merah adalah Hartati, Sriyati, dan Suntarti.65

Tenaga LPI yang bergabung dengan SWK 102 selain sebagai petugas palang merah, ada juga yang bertugas sebagai kurir dan pekabaran di markas gerilya Bantul. Adapun yang bertugas sebagai kurir dan pekabaran tersebut ialah Sutami, Katiyem, dan Irsamasri.66 Memang kurir atau caraka dan pekabaran pada masa revolusi mempunyai

peranan yang sangat penting. Tugas mereka yaitu sebagai penghubung untuk menyampaikan surat atau berita sari satu markas ke markas yang lain. Hal itu disebabkan belum ada alat komunikasi yang canggih. Pada saat itu satu-satunya penghubung hanya kurir dengan jalan kaki.67

Menghadapi gencatan dari Belanda dibutuhkan senjata dalam jumlah banyak, mengingat senjata dari Pasukan Belanda jauh lebih canggih dibandingkan dengan Pasukan RI. Usaha yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan persenjataan maka didirikanlah pabrik atau bengkel persenjataan. Pabrik atau bengkel senjata yang ada di Yogyakarta pada masa agresi kedua tersebar di beberapa wilayah seperti di Bantul dan Demak Ijo. Pabrik persenjataan yang dibantu oleh tenaga LPI berada di Panggang Wonosari, adapun anggota LPI yang bertugas di pabrik senjata tersebut antara lain Pramani, Mastuti, Siti Muljani, dan Supiyah.68

Di pabrik senjata Panggang, Wonosari anggota LPI tergabung dalam kesatuan SWK 105 yang dipimpin oleh Mayor Sujono. Semula pabrik senjata tersebut berada di Desa Dempul, lalu dipindahkan ke Desa Gebang, Kecamatan Panggang. Pemindahan tersebut dikarenakan letak pabrik yang kurang strategis sehingga mudah dijangkau musuh. Lokasi pabrik senjata di Panggang terletak ditengah hutan jati yang cukup lebat dan sulit diketahui umum.69

65Djumarwan, loc.cit. 66Djumarwan, loc.cit.

67Suhatno, 2005, op.cit., hlm. 35. 68Djumarwan, loc.cit.

(22)

Bagian persenjataan di pimpin oleh Kolonel A. A. Wiwi. Di bengkel tersebut, anggota LPI bekerja sama dengan anak-anak sekolah teknik dalam merakit senjata. Mereka tergabung dalam kesatuan geweermaaksters (pembuat senapan). Bagian-bagian senjata seperti Loop amunisi dan bagian lainnya dibuat dari bekas pipa-pipa/besi dari pabrik-pabrik70 gula yang dibongkar atau dibumihanguskan.71 Para petugas bekerja di

bengkel dari pagi sampai petang, setelah selesai mereka kembali ke penginapan yang terletak di Desa Dempul, Gebang, Gunungkidul. Anggota LPI yang bertugas di sana tinggal bersama penduduk di desa tersebut.

Senjata-senjata yang biasa dirakit dan diperbaiki di pabrik senjata tersebut antara lain, Karabein panjang dan pendek, Mitraliur, senjata otomatis, dll. Mengenai pengetahuan dalam bidang persenjataan, termasuk teknik bongkar pasang senjata, anggota LPI tidak ketinggalan. Bekal pengetahuan yang diperoleh selama di asrama cukup berguna untuk diterapkan dalam tugasnya pada waktu itu. Peralatan sederhana yang digunakan untuk merakit senjata, para petugas mampu menciptakan senjata api ringan. Pabrik senjata tersebut betahan sampai awal Agustus 1949.72

Seminggu setelah penyerbuan Belanda ke Imogiri, Srini dan beberapa anggota LPI yang tidak memperoleh tugas secara khusus kembali ke Surakarta. Di Surakarta mereka bergabung dengan TP dan Brigade Slamet Riyadi. Pada pertengahan Februari 1949 anggota LPI yang bertugas di pos palang merah juga ikut menyusul ke Surakarta. Anggota yang tetap tinggal di Yogyakarta adalah mereka yang tergabung dengan pabrik senjata Panggang dan Pos Polisi Militer Kompi Sentul.73

Berakhirnya perjuangan LPI dalam revolusi fisik menghadapi serangan Belanda II, seiring dengan kembalinya Pemerintahan Republik ke Yogyakarta. Persiapan-persiapan untuk kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta sudah berjalan, hingga

70Pada waktu Belanda menyerang Bantul, banyak pabrik-pabrik gula di wilayah

itu terpaksa di hancurkan/dibumihanguskan oleh Pasukan RI, supaya pabrik-pabrik tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh Pasukan Belanda. Seperti hal nya pabrik gula Plered. Sasaran taktik bumi hangus gerilya tidak terbatas pada bangunan-bangunan yang mempunyai arti militer saja, tetapi juga obyek-obyek yang mempunyai arti ekonomis semacam pabrik gula tersebut, sebab jika dibiarkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber devisa perekonomian Belanda.

71Irna Hadi Soewito (peny), 1992, op.cit., hlm. 196. 72Djumarwan, loc.cit.

(23)

Pemerintah Belanda akan menarik semua pasukan-pasukannya dan mengosongkan Karesidenan Yogyakarta pada 24 Juni. Apabila pengosongan tersebut tidak mengalami hambatan, maka Pemerintah RI dapat kembali ke Yogyakarta kira-kira tanggal 1 Juli 1949.74

LPI kembali ke Surakarta dengan rasa bangga, perjuangan mereka tidak berakhir sia-sia. Sebagaimana diketahui, LPI merupakan satu-satunya laskar wanita di Surakarta yang mayoritas anggotanya terdiri dari pelajar putri. Sekembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta, untuk menjamin kehidupan para pejuang pelajar yang turut mempertahankan kemerdekaan, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 32/49.75 Peraturan tersebut merupakan penghargaan terhadap pelajar pejuang di

seluruh Indonesia (termasuk LPI dan Laswi) setelah turut serta mempertahankan kemerdekaan RI. Hal ini dimaksudkan supaya pelajar pejuang memperoleh jaminan akan pendidikan dan pekerjaannya.

E. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. LPI merupakan badan perjuangan wanita yang berdiri pada 30 Oktober 1945 di Surakarta bergerak di kegiatan militer. Munculnya LPI berawal dari Ibu Srini sebagai paranormal wanita yang memiliki ilmu kebatinan mendapat sebuah ilham dari mimpinya. Ilham tersebut berisi, Indonesia akan merdeka apabila para wanitanya juga ikut berpartisipasi dalam perjuangan, maka dari itulah Ibu Srini mendirikan sebuah laskar dengan anggota pelajar wanita. Tugas LPI di medan perang yaitu dengan menjadi kurir makanan dan barang untuk front depan, membantu PMI, serta menkoordinir dapur umum.

2. Penggabungan LPI dengan Laswi dilatarbelakangi karena Laswi membutuhkan bantuan tenaga untuk dikirim ke front Jawa Barat, untuk itu Laswi Yogyakarta menghunungi pimpinan LPI dan menawarkan usaha penggabungan dua laskar wanita supaya tujuan perjuangan mereka cepat tercapai. Dalam penggabungan tersebut nama LPI dihapuskan dan digantikan dengan Laswi. Peleburan nama LPI di bawah Laswi merupakan salah satu penyebab pisahnya LPI dari Laswi.

3. Belanda menduduki ibukota Yogyakarta pada 19 Desember 1948, ketika itu LPI sudah dibubarkan oleh TNI. Namun karena semangat perjuangan yang tinggi, mereka kembali lagi dalam perjuangan. Anggota LPI dibawah pimpinan Srini turut bergerilya menuju Yogyakarta dan bergabung dengan badan perjuangan lainnya. Anggota LPI yang turut ke Yogyakarta bergabung dnegan Sub Wehrkreise 102 dan 105, mereka mengampu tugas sebagai koordinator dapur umum, pembantu di PMI, kurir, mata-mata, pers, perkabaran, sampai dengan bekerja merakit senjata di pabrik persenjataan Negara.

74 Ide Anak Agung Gde agung, Renville. Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm.

277-278.

(24)

DAFTAR PUSTAKA ARSIP

Arsip ANRI. Kementerian Penerangan. No. 86. Berisi tentang Penjelasan Perihal Kedudukan Daerah-daerah yang Dinamakan “Daerah Renville” Republik.

Arsip Monumen Perjuangan Mandala Bhakti Semarang. Berisi tentang Susunan Keanggotaan Laskar Putri Indonesia.

BUKU

Aan Ratmanto. (2012). Pasukan Siliwangi; Loyalitas.Patriotisme. dan Heroisme. Yogyakarta: Matapadi Pressindo.

Anwar Sanusi, dkk. (1983). Replika Sejarah Perjuangan Rakyat Yogyakarta Jilid I. Yogyakarta: Dinas Sosial Propinsi DIY Proyek Pemeliharaan Tempat Bersejarah Perjuangan Bangsa.

Condronagoro, R. T. (1976). Riwayat Laskar Putri Indonesia di Surakarta. Surakarta: Wirjowitono.

Cora Vreede-De Stuers. (2008). Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu.

Daliman. (2003). Pedoman penulisan Tugas Akhir skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Sejarah FISE UNY.

Daud Sinjal. (1996) Laporan Kepada Bangsa Militer Akademi Yogya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1979). Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta:Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.

Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat. (2008). Hijrah Siliwangi. Jakarta:Dinas Pengembangan Mental Angkatan Darat.

Dinas Sejarah Militer Kodam VII/ Diponegoro. (1977). Sejarah Rumpun Diponegoro dan Pengabdiannya. Semarang: CV Borobudur Megah.

Disjarahdam VI/Siliwangi. (1979). Siliwangi dari Masa ke Masa Edisi ke-2. Bandung: Angkasa Bandung.

Djumarwan. (2010). Laskar Putri Indonesia. Yogyakarta: Lembah Manah.

Dudung Abdurrahman. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Edi Ekadjati. S. dkk. (1985). Sejarah Kota Bandung: 1945-1979. (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Eric A. Nordlinger. (1994). Militer dalam Politik Kudeta dan Perjuangan. Diterjemahkan oleh Sahat Simamora. Jakarta: Rineka Cipta.

(25)

Fauzie Ridjal. Lusi Margiani. & Agus Fahri H (ed). (1993). Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Helius Sjamsuddin. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Himawan Soetanto. (2006). Yogyakarta 19 desember 1948: Jenderal Spoor (Operatie Kraai) versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No. 1). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

I Gde Widja. (1998). Sejarah Lokal dan Prespektif dalam pengajaran Sejarah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Ide Anak Agung Gde agung. (1983). Renville. Jakarta: Sinar Harapan.

Irna Hadi Soewito (peny). (1992). Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca. Jakarta: Yayasan Wirawati Catur Panca.

_______. (1995).Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45. Jakarta: Grasindo.

Julius Pour. (2009). Doorstoot Naar Djokja; Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Jakarta: Kompas.

Kartini Kartono. (1992). Psikologi Wanita: Mengenal Gadis Remaja & Wanita Dewasa Jilid 1. Bandung: Mandar Madu.

Ki Nayono. (1979). Sejarah Perjuangan: Yogya Benteng Proklamasi. Jakarta: Perwakilan. KOWANI. (1986). Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka.

Kuntowijoyo. (1994). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lapian. A.B. dkk. (1996). Termologi Sejarah 1945-1950&1950-1959. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Miftah Thoha. (2005). Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo.

Moehkardi. (1977). Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945-1949. Jakarta: P.T. Inaltu.

Mohamad Roem, dkk. (2011). Takhta untuk Rakyat; Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mulder, Niels. (1986). Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nasution, A. H. (1966). Sedjarah Perdjuangan Nasional Dibidang Bersendjata. Jakarta: Mega Bookstore.

(26)

_______. (1978). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia 9: AgresiMiliter Belanda II. Bandung: Penerbit Angkasa.

_______. (2012). Pokok-Pokok Gerilya: Dan Pertahanan Republik Indonesia di Masa yang Lalu dan yang akan Datang. Yogyakarta: Penerbit Narasi.

Nugroho Notosusanto. (1971). Norma-norma Dasar Penelitian penulisan Sejarah. Jakarta: Dephankam.

Panitia Peresmian Monumen. (1989). Buku Kenang-kenangan Peresmian Monumen Laskar Putri Indonesia. Surakarta: Kartika Tama.

Profil Propinsi Republik Indonesia. (Tanpa Tahun). Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara.

Ratnayu Sitaresmi, dkk. (2002). “Saya Pilih Mengungsi” Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan. Bandung: Bunaya.

Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sartono Kartodirdjo. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sayidiman Suryohardiprojo. (1981). Suatu Pengantar dalam Ilmu Perang: Masalah Pertahanan Negara. Jakarta: Intermasa.

Sejarah Militer Angkatan Darat Resimen Infanteri 15. (1960). Sejarah TNI di dalam Daerah Karesidenan Surakarta Periode Pertama: Tahun 1942-1948. Surakarta: tanpa penerbit.

Selo Soemardjan. (2009). Perubahan Sosial di Yogyakarta. Jakarta: Komunitas Bambu. Soebagio I. N. (1982). S. K. Trimurti Wanita Pengabdi Bangsa. Jakarta: Gunung Agung. Sri Temoe Soegioto. (2006). Otobiografi: Potret Seorang Lasykar Muslimah Teladan. Solo:

Tanpa Penerbit.

Sutopo Jasamiharja. dkk. (1998). 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta. Jakarta: Yayasan 19 Desember.

Tanpa Pengarang. Gerilya Wehrkreise III. (Tanpa Tahun). Yogyakarta: Percetakan Keluarga. _______. Ibu Srini. Tanpa Tahun. Tanpa Penerbit.

Tashadi. (1995). Buku Kenangan: 50 Tahun Republik Indonesia di Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia HUT 50 Tahun RI di Yogyakarta.

(27)

Muhammad Khamdi. (2012). “Kisah Suharni, Anggota Laskar Putri Berjuang Bersama Tien Soeharto, Ingin Ada Reuni, Soloraya, Edisi Senin, 24 Desember 2012, hlm. II.

Tanpa Pengarang. (1946). Peraturan Dewan Pimpinan Negara No. 19 tentang Lasjkar dan Barisan, Laskar No. 224, 4 Oktober 1946 Tahun Republik yang ke II, hlm. 1-2.

MAKALAH

Maladi, R. (1994). Perang Rakyat Semesta 1948-1949. Makalah Seminar Revolusi Kepahlawanan Dan Pembangunan Bangsa, Di Museum Benteng Yogyakarta. Di Seminarkan Pada 16 November 1994.

Sartono Kartodirdjo. Peranan Badan-badan Perjuangan dalam Revolusi Indonesia. Makalah Seminar Revolusi Kepahlawanan dan Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: Museum Benteng Yogyakarta.

MAJALAH/JURNAL

Anton Lucas. (1996). “Pengalaman Wanita Selama Zaman Pendudukan dan revolusi, 1942-1950”,Prisma, N0.5 Tahun XXV, 5 Mei 1996, hlm. 17-27.

Djatikusumo, G. P. H. “TNI Lahir oleh Semangat ‘Cinta Bangsa’”, Teknologi & Strategi Militer. Nomor 4 Tahun I/1987, hlm. 110-114.

Hisbaron Muryantoro. (2006). “Pemberontakan Rakyat Indonesia Putri 1945-1948”, Jantra Vol 1, No. 2, Desember 2006, hlm. 61-66.

_______. (2007). “Aktivitas Tentara Pelajar dalam PHB Pada Masa Perang Kemerdekaan Tahun 1945-1949”.Patrawidya, Vol. VIII, No. 3, September 2007, hlm. 586-607.

Suhatno, (2005). “Peranan Rakyat Tirtonirmolo, Kabupaten Bantuk Pada Masa Perang Kemerdekaan II Tahun 1948-1949”. Patra-Widya, Vol. 6 No. 3. September 2005, hlm. 3-62.

_______. (2006).“Sumbangan Wanita Yogyakarta Pada Masa Revolusi”,Jantra, Vol. 1, No. 2, Desember 2006, hlm. 67-74.

Tim Redaksi. (2012). “Perempuan di Garis Depan”, Majalah Historia, No.1. Th.2012, hlm. 123-125.

_______. (2012). “Bertahan di Tanah Sultan”, MajalahHistoria, No. 1, Th. 2012, hlm. 126-128.

_______. (2012).“Kartini Revolusi”, MajalahHistoria, No. 1, Th. 2012, hlm. 130-131.

ARTIKEL/BAB DARI BUKU

Annie Bertha S. (1979). “Ibu Aruji Mendirikan Laskar Wanita” dalam Satu Abad Kartini 1879-1979. Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 167-171.

(28)

SKRIPSI

Sri Minarti. (1994). Laskar Wanita Indonesia (Laswi) Pada Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949): Peran Laswi di Yogyakarta Periode 1945-1949. Yogyakarta: Skripsi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada,

Tri Pamungkas Pemiluwati. (2004). Peranan Laskar Wanita Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 Di Yogyakarta. Surakarta: Skripsi Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

NARASUMBER No

.

Nama Alamat Umur Pekerjaan

(dahulu)

Pekerjaan (sekarang) 1. Sri Temoe Kompleks Alun-alun

Kidul Surakarta

84 Tahun

Ketua Regu LPI Pensiunan 2. Endang Danukusuman No. 4 56

Tahun

Keponakan Ibu Srini dan anak dari Ibnu Oemar Wiraswasta 3. Iman Soedijat Jln. Teratai Baciro Yogyakarta 94 Tahun Sekretaris KOWANI Pensiunan

Referensi

Dokumen terkait

(4) Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang- Undang.. Sudah menjadi kodrat, bahwa manusia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat mahasiswa untuk menjadi anggota koperasi mahasiswa dengan studi kasus Kopma FE UII,

Kemudian, calon dikehendaki membetulkan perkataan yang disalah imbuh dengan imbuhan yang betul dan menggantikan perkataan yang disalah guna dengan perkataan yang sesuai

elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik. Masalah yang terjadi adalah Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau

Mengundang anggota Musik Gereja untuk hadir dalam pertemuan bersama Ketua Majelis Jemaat pada hari Minggu, 10 April 2016 pukul 11.00 WIB ( setelah Ibadah Minggu) bertempat di

Tutkimuksen tehtävänä on selvittää toisen vuosiluokan oppilaiden kokemuksia siitä, miten he kokevat luonnon/maaston oppimisympäristönä. Tarkoituksena on

static bicycle fungsinya sebagai alat bantu latihan yang di gunakan untuk melatih otot tungkai atas dan bawah pada pasien yang mengalami penyakit stroke (kelemahan). Prinsip kerja.

11 Novita, Nawawi, dan hakiem , “Pengaruh Pembiayaan Murabahah Terhadap Perkembangan UMKM di Kecamatan Leuwiliang (Studi pada BPRS Amanah UMMAH)”. Jurnal Ekonomi Islam