Toksin dari Bakteri Gram Positif
A. Bakteri Gram Positif
Bakteri merupakan uniseluler, pada umumnya tidak berklorofil, ada beberapa yang fotosintetik dan produksi aseksualnya secara pembelahan dan bakteri mempunyai ukuran sel kecil dimana setiap selnya hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop. Bakteri pada umumnya mempunyai ukuran sel 0,5-1,0 µm kali 2,0-5,0 µm, dan terdiri dari tiga bentuk dasar yaitu bentuk bulat atau kokus, bentuk batang atau Bacillus, bentuk spiral (Dwidjoseputro,1985).
Pada tahun 1884, seorang dokter dan Denmark, Hans Christian Gram, mengembangkan teknik untuk membedakan jenis bakteri berdasarkan ketebalan lapisan peptidoglikan pada dinding sel dengan sistem pewarnaan. Bakteri diwarnai dengan zat warna violet dan yodium, kemudian dibilas (dicuci) dengan alkohol, dan diwarnai sekali lagi dengan zat warna merah. Bila bakteri menunjukkan warna ungu, maka dikelompokkan pada jenis bakteri gram positif, dan bila bakteri menunjukkan warna merah maka dikelompokkan pada jenis bakteri Gram negatif. Namun, ada pula bakteri yang pada usia tertentu berubah dari gram positif menjadi gram negatif, yang disebut gram variable.
Ciri-ciri Bakteri Gram Positif
1. Dinding sel. Homogen dan tebal (20-80 nm) sebagian besar tersusun dari peptidoglikan sebagian lagi terdiri dari polisakarida lain dan asam teikoat.
2. Bentuk sel. Bulat, batang atau filament. 3. Reproduksi. Pembelahan biner.
4. Alat gerak. Kebanyakan nonmotil, bila memiliki motil maka tipe flagelnya adalah petritrikus.
Toksikologi adalah pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh bahan kimia yang merugikan bagi organisme hidup. Dari definisi diatas, jelas terlihat bahwa dalam Toksikologi terdapat unsur-unsur yang saling berinteraksi dengan suatu cara-cara tertentu untuk menimbulkan respon pada system biologi yang dapat menimbulkan kerusakan pada system biologi tersebut. Salah satu unsur Toksikologi adalah agent-agent kimia atau fisika yang mampu menimbulkan respon pada system biologi. Selanjutnya cara-cara pemaparan merupakan unsur lain yang turut menentukan timbulnya efek-efek yang tidak diinginkan ini. Biotoksin adalah zat racun yang terbentuk dari jaringan jasad hidup, berasal dari biota, dan dapat berupa racun asli atau racun primer (biota memang beracun) atau racun sekunder yaitu akibat kontaminasi dengan lingkungannya.
Menurut penggolongan toksin, toksin bakteri dibagi menjadi 2 yaitu: 1. Eksotoksin
Merupakan toksin yang dikeluarkan dari tubuh sel. Pada infeksi bakteri yang tergolong ke dalam eksotoksin, eksotoksin yang dikeluarkannya menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh, keadaan ini dinamakan taksoemia. Eksotoksin mudah dipisahkan dari sel bakteri dengan jalan penyaringan. Kebanyakan eksotoksin mudah terurai dengan perebusan atau penyinaran yang kuat. Eksotoksin tidak begitu berbahaya jika tertelan, akan tetapi akan berbahaya jika masuk dalam peredaran darah. Pengalaman menunjukkan bahwa, penyuntikan binatang dengan sedikit eksotoksin menyebabkan timbulnya zat antitoksin dalam tubuh binatang tersebut. Antitoksin ini tidak membunuh bakteri, akan tetapi hanya sekadar menawar toksinnya saja. Inilah prinsip pengobatan dengan serum (serum therapy).
Menurut Ehrilich,eksotoksin mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: - Mudah dilarutkan dalam air.
- Termasuk golongan protein, meskipun tidak memberikan semua putih telur dan dengan larutan sulfas magnesikus yang pekat membuat endapan.
- Bila disuntikkan kepada jasad hidup yang peka, jasad ini akan menjadi sakit sesudah masa inkubasi tertentu dan menunjukkan gejala dan mengenai alat-alat tertentu.
- Kekuatan toksin untuk memberi dampak sakit dapat hilang jika dipanaskan pada 56℃ (bersifat termolabil). Akan hilang juga kekuatannya apabila disimpan dalam waktu yang lama dalam suhu kamar atau dicampur dengan bahan kimia.
- Bila toksin disuntikkan kepada jasad hidup, maka jasad ini di dalam badannya akan membuat bahan-bahan penentang (antitoksin).
2. Eksotoksin
Merupakan toksin yang tidak dikeluarkan dari tubuh sel namun tetap diproduksi dan tersimpan didalam tubuh sel. Banyak juga bakteri yang tidak menghasilkan eksotoksin, meskipun sifatnya sangat panas. Dalam hal ini dianggap bahwa bakteri itu dapat menyebabkan sakit apabila bahan-bahan toksin keluar setelah bakteri itu mati atau hancur, toksin tersebut dinamakan endotoksin dengan sifat umumnya ialah :
- Tahan terhadap panas (termostabil), juga terhadap temperatur yang tinggi ysng lazim dipergunakkan di dalam otoklaf.
- Menyebabkan sakit dengan gejala-gejala yang sama sehingga tidak spesifik.
- Ada perioda inkubasi pada jasad yang disuntikan racun.
Endotoksin sukar sekali penyelidikannya dan hingga beberapa tahun lalu belum ditemukan jalan untuk memisahkannya dari bakteri. Jikadi lewatkan suatu suspensi bakteri melalui saringan halus, maka cairan yang lewat itu tidak mengandung toksin, akan tetapi jika kita ambil bakteri yang sudah mati,nyatalah adanya toksin.
B. Biotoksin dari Bakteri Gram Positif
1. Clostridium botulinum
Salah satu bakteri mesophile yang mungkin masih bisa tahan karena pemanasanyang tidak sempurna dan yang sering dijumpai pada makanan dalam kaleng yaitu Clostridium botulinum. Spesifikasi bakteri tersebut adalah sebagai berikut: - Termasuk ke dalam bakteri gram positif.
- Bersifat saprophut. - Berbentuk batang. - Dapat membentuk spora. - Dapat menghasilkan gas.
- Bersifat proteolitic atau saccharolitic. - Dapat menyebabkan pembususkan. - Dapat menghasilkan racun.
Gambar bakteri Clostridium botulinum
Organisme ini umumnya ditemukan pada tanah dan sedimen laut diseluruh dunia. Distribusi dari bakteri mungkin ditemukan pada sebagian dunia, semenjak ditemukan pada tanah mungkin bisa juga mengkontaminasi sayuran yang dibudidaya. Dia juga berkoloni pada saluran pencernaan ikan, burung, dan mamalia.
Botulinin merupakan senyawa beracun yang dihasilkan oleh bakteri ini. Keracunan yang ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung botulinin ini disebut botulisme. Organisme yang dapat menghasilkan neurotoksin botulinum berbeda. Meskipun mereka menunjukkan karakteristik fenotifik yang dipunya berbeda, semua organisme mampu menghasilkan neurotoksin botulinum yang diklasifikasikan sebagai Clostridium botulinum (Prevot, 1953). Berikut karakteristik dari clostridia yang mampu menghasilkan neurotoksin botulinum:
Berdasarkan racun yang dihasilkan serta sifat penyerangannya ini digolongkan menjadi tujuh tipe yaitu: tipe A, B, C, D, E, F, dan G. Diantara tipe-tipe tersebut, tipe A, B, E, dan F dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Tipe C dan D dapat menyebabkan penyakit pada binatang, misalnya sapi dan unggas; sedangkan tipe G tidak menyebabkan penyakit.
Sifat Khas Bakteri Tipe A, B, dan E
Terdapat lima kategori klinik dari botulisme yang mana makanan bawaan adalah yang paling umum. Makanan kaleng atau yang di botolkan, terutama yang buatan rumahan, mungkin terkontaminasi botulinum (cherington, 1998; Slovis & Jones, 1998).
a. Foodborne Botulism
Makanan yang dibuat dan disediakan dari rumahan (sering sayuran yang tidak dipasterisasi) adalah yang paling sering banyak menyebabkan keracunan. Berikut maknan yang termasuk dalam catatan secara geografi dan kultural: - Bau yang kuat pada dadih kacang yang diawetkan di Cina
(Ying&Shuyan, 1986).
- Sayuran yang dikalengkan di U.S.A (MacDonald et al, 1986)
- Daging dari hewan laut atau ikan; atau telur ikan yang difermentasi secara tradisional di Kanada ( Hauschild&Gauvreau, 1985).
- Ham yang diawetkan (Lecour et al, 1988; Roblot et al, 1994).
- Saus produksi rumahan; kentang panggang yang dijual dengan aluminium foil; saus keju; tumis bawang yang diletakkan dibawah lapisan mentega; bawang putih dalam minyak; sediaan yang diasinkan atau ikan asin.
b. Wound Botulism
Ulasan dari 40 kasus wound botulism yang telah diterbitkan dalam literatur (Mechem&Walter, 1994) menunjukkan bahwa kebanyakan dari kasus tergolong dalam luka tusukan, fraktur terbuka, laserasi, luka bakar, luka senapan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan sayatan bedah. Toksin yang telah diisolasi dari 13 buah kasus tersebut adalah 11 kasus tipe A dan satunnya tipe B serta sisanya tidak dijelaskan.
c. Infant Botulism
Pada kebanyakan kasus, sumber konsumsi tidak diketahui tapi 15% dari kasus, sumber dari madu dicurigai (Shapiro et al, 1998). Tipe toksin pada infant botulism umumnya A atau B, dan kelompok organismenya adalah I C.botulinum. Dua kasus yang telah dilaporkan di USA termasuk C.baratii yang menghasilkan suatu neurotokin yang sama dengan tipe F dan dua kasus yang telah dilaporkan di Itali disebabkan karna C.butyricum yang dihasilkan oleh neurotoksin tipe E (Hatheway, 1995).
d. Adult Infectious Botulism
Dua pasien dengan tanda dan gejala klinis botulisme menghasilkan C.botulinum tipe A dalam kultur tinja mereka selama 119 dan 130 hari setelah onset penyakit (Hatheway,1995).
Faktor yang terkait dengan bentuk botulisme ini adalah operasi usus, penyakit crohn, atau paparan makanan yang terkontaminasi sebelumnya tanpa penyakit.
e. Inadvertent botulism
Ini adalah bentuk botulisme yang lebih baru yang disebabkan oleh penggunaan toksin untuk mengobati gangguan gerak sistonik dan gerakan lainnya (Cherington, 1998; Bhatia et al 1999). Pada pasien dengan torticollis yang diobati dengan botulinum A toksin yang disuntikkan ke dalam otot leher disfagia dapat berkembang dari racun yang menembus otot faring di dekatnya. penetrasi toksin ke disfagia otot jauh dapat berkembang dari racun yang menembus otot faring di dekatnya. Penetrasi toksin ke otot jauh atau kelemahan umum karena distribusi toksin sistemik jarang terjadi (Bakheit et al, 1997; Bhatia et al, 1999).
Rute distribusi saat pemaparan diamana toksin botulinum disbsorsi dari saluran intestinal atau bagian yang terinfeksi dan dibawa melalui sistem limfa, dan dari saluran intestinal oleh aliran darah dibawa ke ujung saraf otot. Tipe toksin berbeda pada afinitasnya untuk jaringan saraf, dengan tipe A punya afinitas yang sangat baik (Midura, 1996). Toksin harus masuk pada ujung saraf agar bisa memberikan pengaruh.
Bakteri Clostridium botulinum umum terdapat pada makanan kaleng dengan pH lebih dari 4,6. Kerusakan makanan kaleng dipengaruhi oleh jenis makanan dan jenis mikroba yang terdapat didalamnya. Toksin botulinum tipe A adalah eksotoksin yang pertama kali dapat dihablurkan. Toksin ini didapatkan pada makanan yang basi. Orang akan mati jika meelan 0,0024 mg toksin ini.
Kerusakan bahan pangan termasuk makanan dalam kaleng dapat dideteksi dengan beberapa cara, yaitu:
1. Uji organoleptik dengan melihat tanda-tanda kerusakan seperti perubahan tekstur atau kekenyalan, kekentalan, warna, bau, pembentukkan lendir, dan lain-lain.
2. Uji fisik untuk melihat perubahan-perubahan fisik yang terjadi karena kerusakan oleh mikroba maupun oleh reaksi kimia, misalnya perubahan pH, kekentalan, tekstur, indeks refraktif, dan lain-lain.
3. Uji kimia untuk menganalisa senyawa-senyawa kimia sebagai hasil pemecahan komponen pangan oleh mikroba atau hasil dari reaksi kimia.
4. Uji mikrobiologis, yang dapat dilakukan dengan metode hitungan cawan, MPN, dan mikroskopis.
Material Sampling Plan
a. Sampling dan Koleksi Spesimen
Spesimen dari serum, feses, muntah, dan isi lambung, bersama dengang makanan yang terlibat harus dikoleksi untuk uji percobaan terhadap toksin dan kehadiran dari C.botulinum (Shapiro et al, 1998). Pada eksudat wound botulism, jaringan debrided, atau sampel swab harus diperoleh untuk kultur anaerobik. Serum juga harus dikumpulkan untuk uji toksin serum dan spesimen tinja harus dikumpulkan untuk menyingkirkan food botulism. Pada infant botulism, tinja harus dikumpulkan untuk kultur dan identifikasi toksin.
Serum harus dikumpulkan sebelum pemberian antitoksin diberikan, jika tidak mungkin akan terdapat hasil negatif. Jika mungkin minimal 3mL dari serum harus dikumpulkan, meskipun sebanyak 0,5mL mungkin sudah cukup. Bolume besar, ideaknya 10-15mL, akan mempermudah identifiaksi spesisik dari toksin
botulinum dan pengulangan percobaan jika dibutuhkan (CDC, 1998).
b. Analisis Toksikologi
Mencit yang diinokulasi masih merupakan metode yang paling handal. Jenis toksin, terutama A, B, dan E dapat terdeteksi melalui injeksi antitoksin spesifik dalam kombinasi dengan serum pasien ke dalam mencit (Griffin et al, 1997).
c. Analisis Biomedikal
Perbedaan diagnosis botulisme dengan penyakit saraf lainnya mungkin memerlukan elektromiografi berulang yang cepat, tusukan lumbal, tes resonansi resonansi magnetik edrophonium chloride atau computed tomography otak (Shapiro et al, 1998; Cherington, 1998).
Selain dapat menyebabkan berbagai hal negatif, penggunaan toksis botulini juga pada sediaan-sediaan farmasi. Botulinum toksin (BNT) adalah obat yang sangat menarik yang secara khusus menargetkan pelepasan asetil kolin. BNT diproduksi oleh bakteri anaerobik Clostridium botulinum. Agar bisa digunakan sebagai obat toksin harus diisolasi, dimurnikan dan distabilkan.
Botulin toksin A digunakan dalam pengobatan kondisi otot spastik seperti torticollis, dystonia tungkai dan distrofi atas, strabismus masa kanak-kanak, apraxia pembukaan mata, kejang hemifacial, kram penulis, spastisitas pada cerebral palsy pada anak-anak, tetapi juga dalam pengobatan. hiperhidrosis (Munchau & Bhatia, 2000). Hal ini juga digunakan untuk keperluan kosmetik untuk mengurangi keriput atau botox.
2. Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultati f anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning keemasan berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90% isolat klinik menghasilkan S.aureus yang mempunyai kapsul polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et al., 1995 ; Novick et al., 2000).
Bentuk mikroskop S.aureus
Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol (Warsa, 1994).
Staphylococcus aureus adalah patogen yang umum dikaitkan dengan penyakit serius dan penyakit yang diakibatkan oleh rumah sakit dan sudah lama telah dianggap sebagai masalah utama kesehatan masyarakat (Pesavento et al., 2007).
Beberapa strain organisme ini dapat menyebabkan keracunan makanan dengan produksi enterotoksin (SEs) saat tumbuh dalam makanan; SE telah terbagi menjadi jenis serologis yang berbeda pada awalnya SEA sampai SEE dan kemudian keberadaan tipe baru SE juga telah dilaporkan (Monday and Bohach, 1999; Omoe et al.,2005; Chiang et al., 2006; Chiang et al., 2008).
Oleh karena itu, ada juga kekhawatiran yang semakin meningkat infeksi nosokomial, karena dengan mewakili kontak langsung dari lingkungan eksternal dengan daerah intravaskular,
Instrumen semacam itu berfungsi sebagai benda asing, sering memicu proses inflamasi di situs penyisipan.
Sebagian besar infeksi S. aureus nosokomial disebabkan oleh strain methicillin-resistant S. aureus (MRSA) dan telah menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang diketahui secara luas di seluruh dunia d (Ardic et al., 2006; Pesavento et al., 2007; Ho et al., 2008). Selain itu, strain MRSA yang resisten terhadap quinolones atau multi resisten terhadap antibiotik lain telah muncul, sehingga pilihan terbatas untuk kontrol mereka (Mee-Marquet et al., 2004; Nejma et al., 2006; Pesavento et al., 2007).
Suhu optimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 35 – 37℃ dengan suhu minimum 6,7℃ dan suhu maksimum 45,4℃. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4,0 – 9,8 dengan pH optimum 7,0 – 7,5. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komposisi yang baik untuk pertumbuhannya. Bakteri ini membutuhkan asam nikotinat untuk tumbuh dan akan distimulir pertumbuhannya dengan adanya thiamin. Pada keadaan anaerobik, bakteri ini juga membutuhkan urasil. Untuk pertumbuhan optimum diperlukan sebelas asam amino, yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin. Bakteri ini tidak dapat tumbuh pada media sintetik yang tidak mengandung asam amino atau protein. Selain memproduksi koagulase, S. aureus juga dapat memproduksi berbagai toksin, diantaranya :
· Eksotoksin-a yang sangat beracun.
· Eksotoksin-b yang terdiri dari hemosilin, yaitu suatu komponen yang dapat menyebabkan lisis pada sel darah merah.
· Toksin F dan S, yang merupakan protein eksoseluler dan bersifat leukistik.
· Hialuronidase, yaitu suatu enzim yang dapat memecah asam hyaluronat di dalam tenunan sehingga mempermudah penyebaran bakteri ke seluruh tubuh. · Enterotoksin yang terdiri dari protein sederhana.
Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuan berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler.beberapa zat ini adalah enzim.sedangkan yang lain di duga toksin,meskipun berfungsi sebagai enzim kebanyakan toksin berada di bawah pengendalian genetik plasmid atau DNA yang berbentuk cekuler yang terdapat dalam kromosom.
Hemolisa:Staphylococcus aureus dapat di bedakan menjadi 3 hemolisa yang di sebut alfa,beta dan gama.Semua hemolisa ini antigennya berbeda.Hemolisa alfa dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah kelinci dan domba dengan cepat,hemolisa alfa di
sebabkan oleh jenis koagulase positif dan penting pada patogenesis infeksi pada manusia.
Koagulase:Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase suatu protein yang mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang telah di beri oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat pada banyak serum.Faktor serum bereaksi dengan koagulase untuk menghasilkan enterase dan menyebabkan aktivitas pembekuan.Koagulase dapat mengendapakan fibrin pada permukaan Staphylococcus.Staphylococcus aureus membentuk koagulase positif di anggap mempunyai potensi menjadi patogen invasive.
Katalase:Staphylococcus menghasilkan katalase yang mengubah hydrogen peroksida (H2O2) menjadi air dan oksigen.Tes katalase membedakan Staphylococcus positif dan Streptococcus yang negatif.
Patogenesis
Kemampuan patogenik dari galur Staphylococcus aureus adalah pengaruh gabungan antara faktor ekstraseluler dan toksin bersama dengan sifat daya sebar invasif. Pada satu sisi semata-mata diakibatkan oleh ingesti enterotoksin dan pada sisi lain adalah bakteremia dan penyebaran abses pada berbagai organ. Peranan sebagai bahan ekstraseluler pada patogenesis berasal dari sifat masing-masing bahan tersebut.
Staphylococcus aureus yang patogenik dan hanya bersifat invasif menghasilkan koagulase dan cenderung untuk menghasilkan pigmen kuning dan menjadi hemolitik. Staphylococcus aureus yang nonpatogenik dan tidak bersifat invasif seperti Staphylococcus epidermidis adalah koagulase negatif dan cenderung nonhemolitik. Organisme semacam itu jarang menyebabkan supurasi tetapi dapat menginfeksi proteosa di bidang ortopedi atau kardiovaskular atau menyebabkan penyakit pada orang yang mengalami penurunan daya tahan tubuh (Jawetz, dkk, 2005 : 322).
Staphylococcus aureus ini terbawa di hidung, tenggorokan, aksila, sela jari kaki, dan perineum pada 30-50% orang sehat tanpa menyebabkan infeksi klinis. Pembawa asimtomatik ini penting secara klinis karena bakteri dapat dipindahkan ke bagian tubuh yang rentan (misalnya dari hidung ke luka) atau dari individu asimtomatik sehat ke seseorang yang kurang sehat yang akan menderita infeksi klinis (Gould, 2003 : 152).
Sebagian bakteri Stafilokokus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan manitol.
Infeksi oleh S. aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh
S. aureus adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindroma syok toksik (Ryan, et al., 1994; Warsa, 1994). Bisul atau abses setempat, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat. Mula-mula terjadi nekrosis jaringan setempat, lalu terjadi koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening, sehingga terbentuk dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga terjadi peradangan pada vena, trombosis, bahkan bakterimia. Bakterimia dapat menyebabkan terjadinya endokarditis, osteomielitis akut hematogen, meningitis atau infeksi paru-paru.
Kontaminasi langsung S. aureus pada luka terbuka (seperti luka pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka) dan meningitis setelah fraktur tengkorak, merupakan penyebab infeksi nosokomial Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 μg/gr makanan. Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam.
Sindroma syok toksik (SST) pada infeksi S. aureus timbul secara tiba-tiba dengan gejala demam tinggi, muntah, diare, mialgia, ruam, dan hipotensi, dengan gagal jantung dan ginjal pada kasus yang berat. SST sering terjadi dalam lima hari permulaan haid pada wanita muda yang menggunakan tampon, atau pada anakanak dan pria dengan luka yang terinfeksi stafilokokus. S. aureus dapat diisolasi dari vagina, tampon, luka atau infeksi lokal lainnya, tetapi praktis tidak ditemukan dalam aliran darah.
Faktor Virulensi S. aureus :
S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya :
1. Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda egnus Staphylococcus dari Streptococcus (Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995). 2. Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma oksalat atau plasma sitrat, karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase yang
dihaslki an dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis.
3. Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisisn, dan delta hemolisisn. Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin adalah toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba.
4. Leukosidin
Toksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Stafilokokus patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis.
5. Toksin eksfoliatif
Toksin ini mempunyai aktivitas proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyebab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai dengan melepuhnya kulit.
6. Toksin Sindrom Syok Toksik
Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toks in ini menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh.
7. Enterotoksin
Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan, terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.
Eksotoksin bakteri Staphylococcus aureus
a. α-Hemolisin
Merupakan protein heterogen yang bekerja dengan spektrum luas pada membran sel eukariot.
- Melisiskan sel darah merah kelinci, kambing, domba,dan sapi.
- Tidak melisiskan sel darah merah manusia, karena pada manusia toksin ini sensitif terhadap trombosit dan monosit.
- Menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia. - Dapat membunuh manusia dan hewan apabila terdapat
dalam dosis yang cukup besar.
- Menghancurkan sel darah putih kelinci.
- Bersifat sitotoksik terhadap biakan jaringan mamalia. Semua sifat tersebut dapat dinetralkan oleh imunoglobulin G ( IgG ), tetapi tidak dapat dinetralkan oleh IgA dan IgM. b. β-Hemolisin
Toksin ini terutama dihasilkan oleh jenis Staphylococcus yang berasal dari hewan. β-hemolisin dapat melisiskan sel darah domba dan sapi. Lisis terjadi setelah inkubasi selama 1 jam pada suhu 370C dan 18 jam pada suhu 100C. Toksin dapt dibuat toksoid. β-hemolisin dapat menguraikan sfingomielin sehingga toksik untuk berbagai sel, termasuk sel darah merah manusia
c. γ-Hemolisin
Toksin ini dapat melisiskan sel darah merah manusia dan hewan.
d. δ-Hemolisin
Toksin ini bersifat heterogen dan terurai menjadi beberapa subunit pada detergen nonionik. Toksin tersebut mengganggu membran biologik dan dapat berperan pada penyakit diare akibat Staphylococcus aureus.
e. Leukosidin
Toksin ini dapat merusak sel darah putih berbagai jenis binatang. Ada tiga tipe leukosidin yaitu :
- Toksin yang identik dengan α-Hemolisin
- Toksin yang identik dengan δ-hemolisin, bersifat termostabil, dan menyebabkan perubahan morfologi semua tipe sel darah putih, kecuali yang berasal dari domba.
Toksin yang hanya merusak sel darah putih manusia dan kelinci tanpa aktivitas hemolitik. Toksin ini terdapat pada 40 – 50 % jenis Staphylococcus.
f. Sitotoksin
Toksin ini mempengaruhi arah gerak sel darh putih dan bersifat termostabil.
g. Toksin eksfoliatin
Toksin Staphylococcus ini merupakan suatu protein ekstraselluler yang tahan panas tetapi tidak tahan asam dan dapat menyebabkan dermatitis eksfoliatif pada bayi baru
lahir (Staphylococcal Scalded Skin Syndrome), impetigo, dan nekrosis pada kulit.
Enterotoksin Bakteri Staphylococcus aureus
Terdapat berbagai enterotoksin (A-E, G-I, K-M). Sekitar 50% strain Staphylococcus aureus dapat menghasilkan satu enterotoksin atau lebih. Seperti TSST-1 (Toksin Sindrom-Syok-Toksik-1), enterotoksinnya merupakan superantigen. Enterotoksin tahan terhadap panas dan resisten terhadap kerja enzim usus. Enterotoksin merupakan penyebab penting keracunan makanan, enterotoksin dihasilkan bila Staphylococcus aureus tumbuh di makanan yang mengandung karbohidrat dan protein.
Enterotoksin ini terbentuk jika bakteri ditanam dalam perbenihan semisolid yang mengandung CO2 30%. Toksin ini terdiri atas protein yang bersifat berikut ini :
· Non hemolitik · Non dermonekrotik · Non paralitik
· Termostabil, dalam air mendidih tahan selama 30 menit · Tahan terhadap pepsin dan tripsin
Belum ditemukan cara yang mudah untuk mendeteksi bakteri Staphylococcus yang mengandung enterotoksin, tetapi ada hubungan antara pembentukan enterotoksin dengan koagulase.
Analisa Laboratorium A. Cara Pengambilan Sampel
Sampel diambil dengan menggunakan kapas steril dan di swab pada luka bernanah atau sample lainnya, dimasukkan ke media Nutrient Broth, lidi dipatahkan untuk menghindari kontaminasi serta dihomogenkan. Lakukan pewarnaan sederhana untuk memastikan ada tidaknya bakteri, kemudian inkubasi pada inkubator dengan suhu 37℃ selama 18 – 24 jam.
B. Metode yang dilakukan: 1. Pewarnaan Sederhana
- Dibuat sediaan, fiksasi di atas api.
- Warnai dengan Methilen Blue selama 1 – 2 menit. - Buang sisa zat warna menggunakan air mengalir.
- Objek glass dikeringkan dengan cara diangin – anginkan. - Amati dibawah mikroskop.
2. Penanaman pada Media Nutrient Agar
Media ini berfungsi untuk melihat warna koloni, bentuk koloni dan untuk mendapatkan koloni yang terpisah dari biakan koloni.
- Ambil 1 ose steril sampel dari biakan Nutrient Broth, kerjakan dekat api bunsen.
- Goreskan pada media Nutrient Agar dengan menggunakan metode gores.
- Inkubasikan pada inkubator dengan suhu 370C selama 18 – 24 jam.
- Amati bentuk, tepi, permukaan, warna, diameter dan aspek koloni.
3. Pewarnaan Gram
Tujuan dari Pewarnaan Gram adalah untuk membedakan dunia bakteri menjadi dua kelompok yaitu gram positif (+) dan gram (-). Adapun cara pewarnaan dilakukan sebagai berikut:
- Teteskan NaCl fisiologis pada objek glass, selanjutnya diambil koloni yang terpisah dari Nutrient Agar dengan menggunakan ose steril dan campurkan pada NaCl di atas objek glass. Aduk dan fiksasi di atas api bunsen.
- Kemudian pada objek glass tersebut tambahkan Kristal Violet selama 3-5 menit, bilas dengan air mengalir.
- Teteskan larutan lugol selama 1 menit, lalu cuci dengan air mengalir.
- Lunturkan dengan alkohol 96 % selama 10 detik hingga zat warna menghilang, cuci dengan air mengalir.
- Teteskan larutan Fuchsin atau Safranin selama 1 menit, cuci dengan air mengalir.
- Keringkan dan amati di bawah mikroskop.
- Bakteri Gram positif akan mempertahankan zat warna biru kristal violet sehingga dibawah mikroskop terlihat warna ungu, sedangkan bakteri gram negatif zat warna kristal violet akan larut oleh penambahan alkohol 95 % dan mengikat zat warna kedua yaitu Safranin/fuchsin sehingga dibawah mikroskop akan terlihat berwarna merah.
4. Uji Katalase
- Teteskan H2-O2 3 % diatas objek glass.
- Dengan menggunakan ose steril, ambil 1 koloni terpisah (koloni yang sama) pada Nutrient Agar dan homogenkan dengan H2-O2 3 %.
- Amati hasil yang diperoleh.
5. Penanaman pada Nutrient Agar Miring
- Dengan menggunakan ose steril, ambil 1 koloni terpisah (koloni yang sama) dari Nutrient Agar.
- Bekerja secara asepsis di dekat lampu spiritus.
- Tanamkan pada media Nutrient Agar Miring membentuk zig zag.
- Inkubasikan pada inkubator dengan suhu 37℃ selama 24 jam. 6. Uji Gula – gula (Glukosa dan Manitol)
- Larutan glukosa dan manitol dimasukkan kedalam tabung yang berisi tabung durham yang telah dibalik.
- Ambil satu ose steril biakan dari koloni terpisah (koloni yang sama) pada Nutrient Agar.
- Masukkan ose ke dalam tabung yang berisi glukosa, kocok hingga bakteri terlepas dari ose.
- Ose disterilkan kembali dan diambil bakteri dari koloni yang sama, dimasukkan ke dalam tabung yang berisi Manitol. - Inkubasikan pada inkubator selama 18 – 24 jam dengan suhu
37 ℃.
- Tujuan dari uji gula-gula yaitu untuk melihat kemampuan bakteri dalam memfermentasikan glukosa dan Mannitol, hasil proses fermentasi berupa asam akan menurunkan pH media dan merubah warna indikator.
7. Penanaman pada Blood Agar
- Dengan menggunakan ose steril, ambil bakteri dari koloni terpisah (koloni yang sama) yang terdapat pada media Nutrient Agar.
- Ditanam pada media Blood Agar dengan menggunakan metode gores.
- Inkubasikan dalam inkubator selama 18 – 24 jam pada suhu 37℃.
8. Uji Sensitivitas terhadap Antibiotika
- Sehari sebelum dilakukan uji sensitivitas, lakukan biakan dari Nutrient Agar disegarkan kembali kedalam Nutrient Broth dan diinkubasikan kedalam inkubator selama 24 jam pada suhu 37 ℃.
- Lidi kapas steril dicelupkan kedalam biakan bakteri Nutrient Broth, kemudian diswab merata keseluruh permukaan media Muller-Hinton Agar (MHA).
- Diamkan beberapa saat, setelah itu letakkan pada permukaan media MHA beberapa jenis cakram antibiotik untuk melihat sensitivitas bakteri tersebut terhadap antibiotik.
- Inkubasikan selama 24 jam pada suhu 37℃ dalam inkubator. - Kemudian diamati dan diukur diameter zona yang terbentuk
disekitar cakram antibiotik.
Pengobatan
Pengobatan terhadap infeksi S. aureus dilakukan melalui pemberian antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal sangat dibutuhkan untuk menangani furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat, diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti penisilin, metisillin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin. Sebagian besar galur Stafilokokus sudah resisten terhadap berbagai antibiotik tersebut, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti kloramfenikol, amoksilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994; Jawetz et al., 1995).
3. Bacillus cereus
Bacillus cereus telah dikenali sebagai salah satu penyebab keracunan pada makanan sejak tahun 1955, sejak saat itu
mikroorganisme ini telah menarik banyak perhatian dan menjadi salah satu penyebab keracunan pada pangan yang termasuk sering ditemukan. Sekitar 5% dari semua kasus keracunan pangan di Eropa tahun 1990 yang telah dilaporkan ke World Health Organization Survaillance Programme disebabkan oleh Bacillus cereus (WHO, 1990). Menurut data kasus jumlah minimal Bacillus cereus yang dapat menimbulkan keracunan pada pangan adalah sekitar 105 sel/gram pangan (CDCP,1979).
Bacillus cereus merupakan golongan bakteri gram positif (bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu proses pewarnaan gram), aerob fakultatif (dapat menggunakan oksigen tetapi dapat juga menghasilkan energi secara anaerobik), dan dapat membentuk spora (endospora). Spora Bacillus cereus lebih tahan pada panas kering dari pada pada panas lembab dan dapat bertahan lama pada produk yang kering. Selnya berbentuk batang besar (bacillus) dan sporanya tidak membengkakkan sporangiumnya.
Gambar Mikroskospik Bacillus cereus
Sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik lainnya, termasuk sifat-sifat biokimia, digunakan untuk membedakan dan menentukan keberadaan Bacillus cereus, walaupun sifat-sifat ini juga dimiliki oleh Bacillus cereus var. mycoides, Bacillus
thuringiensis dan Bacillus anthracis. Organisme-organisme ini
dapat dibedakan berdasarkan pada motilitas / gerakan (kebanyakan Bacillus cereus motil / dapat bergerak), keberadaan kristal racun (pada Bacillus thuringiensis ), kemampuan untuk menghancurkan sel darah merah (aktivitas hemolytic) (Bacillus
cereus dan lainnya bersifat beta haemolytic sementara Bacillus anthracis tidak bersifat hemolytic), dan pertumbuhan rhizoid
(struktur seperti akar), yang merupakan sifat khas dari Bacillus
cereus var. mycoides .
Beberapa strain dari Bacillus cereus bersifat patogen dan berbahaya bagi manusia karena dapat menyebabkan foodborne
illness, namun beberapa diantaranya yang bersifat saprofitik dapat bermanfaat sebagai probiotik dan juga penghasil antibiotik yang potensial. Bacillus cereus kebanyakan ditemukan terkandung dalam bahan pangan dan menyebabkan 2 tipe keracunan makanan: 1) emetic yang merupakan keracunan yang dimediasi oleh toksin yang sangat stabil yang dapat bertahan pada temperatur tinggi, pH ekstrim serta tahan terhadap enzim pencernaan seperti: trypsin, pepsin. 2) diarrhoeal yang dimediasi oleh enterotoksin yang labil terhadap panas dan asam. Bacillus cereus merupakan mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kisaran temperatur yang luas dan terdapat strain yang tergolong psychrophilic hingga thermophilic. Karena kebanyakan strain
Bacillus cereus hidup dalam gastro-intestinal dan menyebabkan
infeksi diarrhoeal, maka temperatur 37℃ merupakan temperatur pertumbuhan yang optimal.
Dua tipe toksin yang dihasilkan oleh Bacillus cereus, yaitu toksin yang menyebabkan diare (disebabkan oleh protein dengan berat molekul besar) dan toksin yang menyebabkan muntah atau emesis (disebabkan oleh peptida tahan panas dengan berat molekul rendah). Bacillus cereus menghasilkan satu muntah toksin (ETE) dan tiga enterotoksin yang berbeda: HBL, Nhe, dan EntK.
Dua dari tiga enterotoksin yang terlibat dalam keracunan makanan. Mereka berdua terdiri dari tiga subunit protein berbeda yang bertindak bersama-sama. Salah satu enterotoksin ini (HBL) menyebabkan hemolisin, enterotoksin kedua (Nhe) tidak menyebabkan hemolisin dan enterotoksin ketiga (EntK) adalah protein komponen tunggal yang belum terbukti terlibat dalam keracunan makanan. Ketiga enterotoksin racun aktif sitotoksik dan membran sel yang akan membuat lubang atau saluran dalam membrane sel.
Toksin emetik (ETE) adalah struktur berbentuk cincin dimana tiga cincin mengulangi dari empat asam amino dengan berat molekul 1,2 kDa. Ion K+ nya memiliki sinyal ionophoric serta sangat tahan terhadap pH antara 2 dan 11.
Enterotoksin nonhemolitik (Nhe) adalah salah satu dari enterotoksin tiga komponen yang bertanggung jawab untuk diare pada keracunan makanan Bacillus cereus. Nhe terdiri dari NheA, NheB dan NheC. Tiga gen yang mengkode komponen Nhe merupakan suatu operon. Gen NHE telah diklon secara terpisah, dan dinyatakan dalam baik Bacillus subtilis atau Escherichia coli. Ekspresi terpisah menunjukkan bahwa ketiga komponen yang diperlukan untuk aktivitas biologis, sedangkan enterotoksin hemolitik (HBL), dikodekan oleh operon hblCDA. Tiga komponen protein, L1, L2 dan B, merupakan hemolisin a. B adalah untuk mengikat; L1 dan L2 adalah komponen litik. Racun
ini juga memiliki kegiatan permeabilitas dermonecrotic dan pembuluh darah, dan menyebabkan akumulasi cairan dalam loop ileum dari kelinci.
Mekanisme Pembentukan Toksin
Bacillus cereus memanfaatkan karbohidrat sederhana, seperti glukosa, fruktosa, maltosa dan sukrosa untuk menghasilkan hidrogen dan produk asam. Bacillus cereus mengubah glukosa pada makanan yang mengandung karbohidrat tinggi menjadi asam laktat yang menyebabkan bau busuk pada makanan. Cara bakteri Bacilus cereus mengkontaminasi makanan yaitu dimulai dari spora bakteri ini yang menetap dan hidup di tanah selama bertahun-tahun, dimana spora bakteri tersebut menghasilkan toksin emetik, hemolitik dan nonhemolitik yang kemudian kemungkinan terbawa oleh angin yang kemudian akan menempel pada makanan tersebut sehingga akan terjadi kontaminasi antara bateri B.cereus dan makanan yang kurang terjaga hygienitasnya disamping itu bila makanan berkarbohidrat tinggi jika dipanaskan terus menerus bakteri tersebut akan mengkontaminasi makanan tersebut. B.cereus membutuhkan glukosa untuk menghasilkan asam-asam organik (seperti asam asetat, asam laktat, asam format, asam suksinat), alkohol, senyawa karbonil, dan karbon dioksida sebagai hasil metabolismenya.
Glukosa (glikolisis) Asam piruvat (siklus TCA) Asam Suksinat + format Tipe Keracunan
1. Diare (Diarrheal form)
Sindrom diarrhetic diamati pada pasien diperkirakan berasal dari tiga racun hemolisin BL (HBL), enterotoksin Nonhemolytic NHE dan Cytotoxin K CytK. Toksin NHe/HBL/ cytK gen terletak pada kromosom bakteri. Transkripsi dari gen dikendalikan oleh PlcR.. Enterotoksin semua diproduksi di usus kecil dari tuan rumah, sehingga menggagalkan masalah pencernaan dengan enzim endogen dari host. Racun HBL dan NHe adalah pori pembentuk racun berhubungan erat dengan ClyA dari E. coli. Protein menunjukkan konformasi dikenal sebagai "barel beta" yang dapat memasukkan ke dalam membran selular karena hidrofobik eksterior, sehingga menciptakan pori-pori dengan hidrofilik interior. Efeknya adalah hilangnya seluler potensial membran sel dan kematian akhirnya. CytK adalah protein pembentuk pori lebih terkait dengan hemolysins lainnya.
Diperkirakan sebelumnya bahwa waktu produksi toksin mungkin bertanggung jawab atas dua program yang berbeda dari penyakit, namun kenyataannya sindrom emetik disebabkan oleh toksin yang disebut cereulide yang hanya ditemukan di strain emetik dan bukan bagian dari "standar toolbox" B. cereus. Cereulide adalah polipeptida siklik yang mengandung 3 ulangan dari 4 asam amino D-Oxy-Le-D-Ala-L-Oxy-Val-L-Va (mirip dengan valinomisin dihasilkan oleh Streptomyces griseus ) yang diproduksi oleh sintesis peptida
nonribosomal (NRPS) . Cereulide diyakini mengikat 5-hidroksitriptamin 3 (5-HT3) serotonin reseptor mengaktifkan mereka dan menyebabkan peningkatan aferen stimulasi saraf vagus. Hal ini ditunjukkan secara independen oleh dua kelompok penelitian yang akan dikodekan pada beberapa plasmid: pCERE01 atau pBCE4810. Periodontal isolat B. cereus juga memiliki berbeda pXO1 seperti plasmid. Seperti kebanyakan peptida siklik yang mengandung asam amino nonproteinogenic, cereulid tahan terhadap kesehatan, proteolyis dan kondisi asam. B. cereus juga diketahui menyebabkan infeksi kulit kronis yang sulit untuk memberantas meskipun kurang agresif dibandingkan necrotizing fascitis. Bakteri B. cereus juga dapat menyebabkan keratitis . Hal ini disebut sebagai mikroflora patogen pada produk farmasi di Phamacopaeia Brasil.
Spora Bakteri Bacillus cereus
2. Muntah (Emetic Form)
Bila seseorang mengalami keracunan yang disebabkan oleh toksin penyebab muntah atau toksin emetik (ETE), gejala yang timbul akan bersifat lebih parah dan akut serta berhubungan dengan saluran pencernaan bagian atas, berupa mual dan muntah yang dimulai 1-6 jam setelah mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi oleh Bacillus cereus. Kadang-kadang kram perut dan atau diare dapat juga terjadi. Umumnya gejala terjadi selama kurang dari 24 jam. Bacillus cereus menghasilkan racun yang sangat tahan panas.
Bakteri penghasil toksin penyebab muntah bisa mencemari pangan berbahan beras, kentang tumbuk, pangan yang mengandung pati, dan tunas sayuran. Sedangkan bakteri penghasil toksin penyebab diare bisa mencemari sayuran dan daging. Tindakan pengendalian khusus bagi rumah tangga atau penjual makanan terkait bakteri ini adalah pengendalian suhu yang efektif untuk mencegah pertunasan dan pertumbuhan spora. Bila tidak tersedia lemari pendingin, disarankan untuk memasak pangan dalam jumlah yang sesuai untuk segera dikonsumsi. Toksin yang berkaitan dengan sindrom muntah bersifat
resisten terhadap panas dan pemanasan berulang, proses penggorengan pangan juga tidak akan menghancurkan toksin tersebut.
Karakteristik Penyakit Akibat Bacillus cereus (Granum dan Lund, 1997).
Koloni Bacillus cereus pada agar
4. Bacillus anthracis
Antraks adalah penyakit menular akut dan sangat mematikan yang disebabkan bakteri Bacillus anthracis dalam bentuknya yang paling ganas Antraks bermakna "batubara" dalam bahasa yunani , dan istilah ini digunakan karena kulit para korban akan berubah hitam. Antraks paling sering menyerang herbivora-herbivora liar dan yang telah dijinakkan. Penyakit ini bersifat zoonosis yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia , namun tidak dapat ditularkan antara sesama manusia.
Beberapa alasan yang mendasari penyakit anthrax menjadi penting dan strategis karena: kemampuan menular yang tersifat zoonotik, bakteri mampu membentuk spora yang mempunyai ketahanan tinggi di lingkungan, sehingga sulit dieradikasi.
Pandangan umum anthrax identik dengan kematian menyebabkan kepanikan tersendiri. Dewasa ini penyakit anthrax semakin populer karena dapat digunakan sebagai senjata biologis.
Bacillus anthracis ditemukan tahun 1849 oleh Davaine dan
Bayer, dan pada tahun 1855 diidentifikasi oleh Pollender. Braver pada tahun 1857, mampu mendemonstrasikan pemindahan penyakit anthrax dengan melakukan inokulasi darah hewan yang terinfeksi anthrax. Pada tahun 1877, Robert Koch mampu membuat biak murni Bacillus anthracis, membuktikan kemampuan bakteri tersebut membentuk endospora dan mengenali lebih lanjut sifat-siat bakteri anthrax tersebut.
B.anthracis tersifat sebagai gram positif, non motil, bentuk
batang yang berukuran besar 1-1,3 X 3-10 mikron meter, dengan keempat sudutnya membentuk siku-siku. Bakteri anthrax mampu membentuk spora, bentuk oval, yang berukuran 0,75 X 1,0 mikron meter. Adanya spora tersebut tidak menyebabkan pembengkaan sel. Sel vegetatif bakteri dilengkapi kapsula yang erat kaitannya dengan virulensi bakteri anthrax.
Bacillus anthracis dengan pewarnaan gram
Faktor virulensi {kemampuan suatu mikroorganisme (virus) untuk menimbulkan penyakit} dari penyakit ini disebabkan oleh B. anthracis yang berasal dari kapsul dan toksin . Kapsul dari B. anthracis terdiri dari The poly-γ-d-glutamic acid (PGA) yang tidak berbahaya (non toksik) bagi dirinya sendiri. Kapsul ini dihasilkan oleh plasmid ( lingkaran DNA yang berukuran lebih kecil dan mempunyai kemampuan untuk keluar masuk dari sel ke sel lainnya) pX02 dan berfungsi untuk melindungi sel dari fagositosis (pencaplokan partikel seperti bakteri atau mikroorganisme lain, sel darah merah yang menua, benda asing, dll oleh fagosit, yaitu jenis-jenis leukosit yaitu seperti neutrofil dan monosit) dan lisis (hancurnya suatu sel oleh aktivitas virus, enzim, atau mekanisme osmotik). Aktivitas virus yang menyebabkan lisis adalah ketika virus menginfeksi sel, maka virus akan
menyatukan gennya dengan gen sel guna memanfaatkan mekanisme sel dalam menyusun protein, untuk menyusun komponen2 virus. Komponen2 itu alu disusun dan menjadi individu2 virus yang baru, dan virus2 itu harus keluar dari sel yang terinfeksi dengan cara memecah membran sel. Dengan demikian, isi dari sel tersebut akan ikut keluar dan sel menjadi pecah. . Toksin yang dihasilkan oleh B. anthracis berasal dari plasmid ( lingkaran DNA yang berukuran lebih kecil dan mempunyai kemampuan untuk keluar masuk dari sel ke sel lainnya) pX01 yang memiliki AB model (activating dan binding, mengaktifkan dan mengikat). Toksin dari B. anthracis terdiri dari tiga jenis, yaitu protective antigen {zat (msl protein atau toksin) yg dapat merangsang pembentukan antibodi jika diinjeksikan ke dalam tubuh} (PA) yang berasal dari kapsul poly D- glutamic acid, edema (pembengkakan jaringan krn kandungan cairannya bertambah) factor (EF), dan lethal (mematikan) factor (LF). Ketiga toksin ini tidak bersifat racun secara individual , namun dapat bersifat toksik bahkan mematikan jika ada dua atau lebih. Toksin PA dan LF akan mengakibatkan aktivitas yang letal, EF dan PA akan mengakibatkan penyakit edema (nama lain dari penyakit anthrax), toksin EF dan LF akan saling merepresi (penekanan; pengekangan; penahanan; penindasan) (inaktif), sedangkan jika ada ketiga toksin tersebut (PA, LF, dan EF), maka akan mengakibatkan edema, nekrosis {kematian patologis satu atau lebih sel atau sebagian jaringan atau organ, yang dihasilkan dari kerusakan ireversibel (yang tak dapat dirubah)}dan pada akhirnya mengakibatkan kematian (letal).
Bila spora anthrax masuk ke dalam tubuh dan kemudian sudah tersebar di dalam peredaran darah, akan tercipta suatu mekanisme pertahanan dari leukosit (sel darah putih) , namun sifatnya hanya sementara. Setelah spora dari pembuluh darah terakumulasi dalam sistem limpa (kelenjar tanpa saluran (ductless) yang berhubungan erat dengan sistem sirkulasi dan berfungsi menghancurkan sel darah merah tua), maka infeksi akan mulai terjadi. Racun dari toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif {cara reproduksi makhluk hidup secara aseksual (tanpa adanya peleburan sel kelamin jantan dan betina)} tersebut akan mengakibatkan pendarahan internal (internal bleeding) sehingga mengakibatkan kerusakan pada beberapa jaringan bahkan organ utama. Jika racun dari toksin tersebut telah tersebar, maka antibiotik apapun tidak akan berguna lagi.
Penularan dan Gejala
Manusia dapat terinfeksi bila kontak dengan hewan yang terkena anthraks, dapat melalui daging, tulang, kulit, maupun kotoran. Meskipun begitu, hingga kini belum ada kasus manusia tertular melalui sentuhan atau kontak dengan orang yang mengidap antraks. Infeksi antraks jarang terjadi namun hal yang sama tidak berlaku kepada herbivora-herbivora seperti ternak, kambing, unta dan antelop (mamalia yang bentuknya menyerupai kambing dengan tanduk tegak lurus ke atas) . Antraks dapat ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini lebih umum terjadi di negara-negara berkembang atau negara-negara tanpa program kesehatan umum untuk penyakit-penyakit hewan. Beberapa daerah di dunia seperti ( Amerika Selatan dan Tengah, Eropa Selatan dan Timur, Asia, Afrika, Karibia dan Timur Tengah) melaporkan
kejadian antraks yang lebih banyak terhadap hewan-hewan
dibandingkan manusia.
Antraks biasa ditularkan kepada manusia disebabkan pengeksposan kepada hewan yang sakit atau hasil ternakan seperti kulit dan daging, atau memakan daging hewan yang tertular antraks. Selain itu, penularan juga dapat terjadi bila seseorang menghirup spora dari produk hewan yang sakit misalnya kulit atau bulu yang dikeringkan. Pekerja yang tertular kepada hewan yang mati dan produk hewan dari negara di mana antraks biasa ditemukan dapat tertular B. anthracis, dan antraks dalam peternakan liar dapat ditemukan di Amerika Serikat . Walaupun banyak pekerja sering tertular kepada jumlah spora antraks yang banyak, kebanyakan tidak menunjukkan simptom (gejala).
Penyakit yang ditimbulkan
Penyakit yang ditimbulkan oleh Bacillus anthracis yaitu anthraks kulit, anthraks saluran pencernaan, anthraks saluran pernapasan, dan dapat sampai ke otak yang disebut anthraks otak atau meningitis. Anthraks kulit terjadi karena disebabkan infeksi pada kulit sehingga
spora Bacillus anthracis dapat masuk melalui kulit. Anthraks saluran pencernaan yang disebabkan karena spora Bacillus anthracis yang tebawa oleh makanan yang telah terinfeksi dan sampai ke saluran pencernaan. Anthraks saluran pencernaan yang disebabkan karena spora Bacillus anthracis yang terhirup.
a. Penyebaran
Hampir semua hewan berdarah panas bisa terkena penyakit antraks. Di Indonesia, penyakit ini sering dijumpai pada kerbau, sapi, kambing, domba, kuda, dan babi. Dari segi epidemiologi bacillus anthracis ini menyukai tanah berkapur dan tanah yang bersifat basa (alkalis). Umumnya antraks menyerang hewan pada musim kering (kemarau), dimana rumput sangat langka, sehingga sering terjadi pada ternak (terutama kuda) tertular lewat makan rumput yang tercabut sampai akarnya. Lewat akar rumput inilah bisa terbawa pula spora dari antraks.
b. Penularan
Penyakit Antrhax merupakan penyakit zoonis yang menyerang sapi, domba, kuda, dan lain-lain bahkan dapat menyerang manusia. Pada umumnya ada 3 cara penularan penyakit anthrax ke manusia, yaitu :
• Kontak langsung dengan bibit penyakit yang ada di tanah/rumput, hewan yang sakit, maupun bahan-bahan yang berasal dari hewan yang sakit seperti kulit, daging, tulang dan darah.
• Bibit penyakit terhirup orang yang mengerjakan bulu hewan (domba dll) pada waktu mensortir. Penyakit dapat ditularkan melalui pernapasan bila seseorang menghirup spora Antraks. • Memakan daging hewan yang sakit atau produk asal hewan
seperti dendeng, abon dll. c. Gejala
1. Anthrax Kulit
Biasanya terjadi pada permukaan lengan atau tangan sering diikuti pada wajah dan leher.
Papul pruritik timbul 1-7 hari setelah masuknya organisme atau spora lewat luka. Pada awalnya menyerupai gigitan serangga. Papul dengan cepat berkembang menjadi vesikel, kemudian pastul, dan akhirnya menjadi ulkus nekrotik. Khas lesi berdiameter 1-3 cm dan memiliki eschar hitam di tengah.
Kemudian timbul edema, limfangitis, limfadenopati dan gejala sistemik.
Setelah 7-10 hari, eschar berkembang penuh, menjadi kering, lusen dan terpecah-pecah.
2. Anthrax Saluran Pencernaan
Gejala awal rasa sakit perut yang hebat, mual, muntah, tidak nafsu makan dan suhu tubuh meningkat.
onstipasi diikuti diarhe akut berdarah. Hematemesis
Toxemia.
Shock dan meninggal biasanya kurang dari 2 hari. 3. Anthrax Saluran Pernapasan
Sangat jarang terjadi biasanya akibat dari perluasan antraks.
Tipe kulit atau karena menghirup udara yang mengandung spora antraks.
Gejala awal ringan dan spesifik
Dimulai dengan lemah, lesu, subfebril, batuk non produktif (seperti tanda-tanda bronchitis)
Kemudian mendadak dispnoe, sianosis, stridor dan gangguan respirasi berat.
Shock, meninggal biasanya dalam waktu 24 jam.
B.anthracis mudah dikultur, baik menggunakan media biasa seperti: plat agar, kaldu nutrisi maupun media yang diperkaya dengan serum ataupun darah. Kisaran suhu pertumbuhan bakteri B.anthracis cukup luas, antara 12 ℃ sampai 44℃, tetapi suhu optimumnya adalah 37 ℃. Inkubasi dilakukan selama 24 sampai 48 jam pada kondisi aerobik
maupun anaerobic. Pertumbuhan bakteri anthrax pada media PAD tidak teramati sifat hemolitik, bilamana ada biasanya hemolisis lemah, membentuk koloni kasar berwarna putih keabu-abuan, dan mempunyai tepi koloni tidak beraturan. Pada perbesaran lemah terlihat sebagai rambut yang terurai atau dikenal sebagai caput medusa. Bentuk koloni tersebut disebabkan bakteri anthrax membentuk formasi rantai panjang dan tersusun secara pararel.
Koloni Bacillus cereus di sebelah kiri, koloni Bacillus anthracis di sebelah kanan.
Kultur yang bertujuan untuk mengamati kapsula bakteri anthrax, biasanya dengan menumbuhkan bakteri tersebut pada media yang diperkaya dengan serum atau 0,5% sodium bikarbonat dan diinkubasi dengan peningkatan 5 sampai 10 % CO2. Pembentukan kapsula bakteri menyebabkan koloni menjadi lebih halus, mukoid, konveks dan tepinya rata. Pertumbuhan bakteri anthrax pada media cair tidak menyebabkan kekeruhan tetapi teramati sebagai gumpalan yang mengapung dalam media dan teramati dapat naik atau turun ketika digoyangkan.
Patogenisitas B. anthracis ditentukan oleh dua faktor virulensi yaitu kapsula poly-D glutamat polipeptida, yang bersifat antigenik dan untuk produksi toksin anthrax. Kapsula bakteri tersebut erat kaitannya dengan karakter fenotip koloni bakteri anthrax, tipe S atau halus atau dikenal sebagai tipe virulen, sedangkan koloni tipe R secara umum avirulen. Protein kapsula bakteri anthrax tidak bersifat toksik tetapi berfungsi memberikan perlindungan bakteri terhadap aktifitas fagositosis, oleh karena itu peran kapsula ini sangat penting dalam proses inisiasi infeksi.
Sifat toksigenik Bacillus anthracis belum dikenali sampai pada tahun 1954. Pada mulanya kematian yang disebabkan oleh B. anthracis diduga karena blokade bakteri dalam kapiler darah, dalam jumlah yang sangat banyak mencapai 109 bakteri per ml. Teori ini dikenal sebagai teori log-jam, namun dalam perkembangan penelitian diketahui bahwa B.anthracis yang berjumlah 3 x 106 bakteri per ml sudah mampu menyebabkan kematian. Lebih lanjut diketahui bahwa plasma darah hewan yang mati tersebut mengandung toksin, dan ketika diinokulasikan pada marmut mampu menimbulkan gejala anthrax. Pada akhirnya sampai pada suatu kesimpulan adanya eksotoksin yang berperan dalam patogenisitas B. anthracis.
Satu komponen pada toksin antraks memiliki ‘lethal mode’, yang pada waktu itu belum dapat terlalu dimengerti. Kematian diduga adalah akibat dari deplesi oksigen, syok sekunder, peningkatan permeabilitas vaskuler, kegagalan pernafasan dan jantung. Kematian akibat antraks pada manusia dan hewan sering sekali timbul secara tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi. Tingkat toksin lethal di dalam sirkulasi meningkat secara drastis pada akhir durasi penyakit, dan diduga berkaitan erat dengan konsentrasi organisme di dalam darah.
Akhir-akhir ini banyak penelitian pada antraks yang melibatkan pemeriksaan toksin dengan tingkat kedetailan yang cukup tinggi, membuat perubahan kecil pada strukturnya dan mengamati bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi efek toksin tersebut. Para peneliti mencoba mengerti setiap langkah mengenai bagaimana toksin tersebut memberikan pengaruh. Jika
mekanisme tersebut bisa dimengerti, kemudian para peneliti bisa mencari langkah spesifik dimana mereka bisa memblok pengaruh toksin. Artikel pada jurnal Critical Reviews in Microbiology (vol. 27, no.3, pp. 167-200) oleh R. Bhainagar dan S. Batra mengkaji mengenai toksin antraks.
Toksin anthrak tersusun atas tiga protein, yaitu: protective antigen (PA) yang berikatan dengan reseptor sel dan menjadi mediator terhadap komponen lainnya untuk masuk ke dalam sitoplasma sel, lethal factor (LF) adalah faktor virulensi dominan yang terkait dengan toksin, secara proteolitik menginaktifasi mitogen-activated protein kinase kinases (MAP kinase kinases), yang sangat penting dalam transduksi sinyal intraseluler dan edema factor (EF) yang dinamakan karena kemampuannya dalam menyebabkan edema, suatu calcium/calmodulin-dependent adenylate cyclase. Tiga komponen protein terpisah tersebut, bekerja secara kombinasi biner untuk menghasilkan dua reksi yang berbeda pada hewan percobaan: edema (PA+EF) dan kematian (PA+LF).
Diagram kerja dari toksin antraks yang disekresikan
Ketiga jenis toksin tersebut bekerja secara sinergis. PA menempel pada reseptor permukaan (biasa disebut sebagai reseptor toksin anthrax) pada sel target, kemudian aktif membelah membentuk suatu heptamer. Heptamer tersebut sebagai tempat penempelan EF atau LF atau kombinasi keduanya. Kompleks heptamer tersebut kemudian memasuki kompartmen
seluler yang disebut endosom. Aktivitas endosom menyebabkan heptamer melepaskan EF dan LF ke dalam sitosol. EF bekerja dengan mengubah ATP menjadi cAMP, berakibat cAMP dalam sel meningkat, menyebabkan edema seluler dalam jaringan target. Kerja LF belum dapat diketahui dengan pasti tetapi kemungkinan erat kaitannya dengan penghambatan aktivitas fagositosis neutrofil, makrofag, pelepasan faktor nekrosis dan interleukin-1 sitokin. Tampaknya kematian anthrax karena mekanisme shock sepsis sebagai akibat pelepasan sitokin tersebut. Sel endotel sepanjang kapiler darah dan pembuluh limfe juga peka terhadap LF dan termanifestasi sebagai nekrosis jaringan pada pembuluh tersebut. Lesi nekrotik tersebut mempunyai peranan penting dalam pelepasan B.anthracis secara sistemik dan mencirikan gejala anthrax dengan adanya hemorhagi pada pembuluh darah terminal, di lubang alami tubuh penderita.
5. Streptococcus mutans
Streptococcus mutans merupakan bakteri gram positif, bersifat nonmotil (tidak bergerak), bakteri anaerob fakultatif. Memiliki bentuk kokus yang sendirian berbentuk bulat atau bulat telurdan tersusun dalam rantai..Bakteri ini tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 180-400 Celsius. Streptococcus mutans biasanya ditemukan pada rongga gigi manusia yang luka dan menjadi bakteri yang paling kondusif menyebabkan karies untuk email gigi. (Nugraha, 2008).
Streptococcus mutans dikemukakan pertama kali oleh Jk Clark pada tahun 1924 setelah ia mengisolaisnya dari suatu lubang luka tetapi sampai pada tahun 1960-an mikroba tersebut tidak ditemukan. Mikroba tersebut dihasilkan ketika peneliti mulai belajar kerusakn pada gigi. Secara biokimia sangat serupa tetapi setelah membawa juru gambar antigenic berbeda, semuanya menjadi 7 serotypes yaitu a, b, c, d, e, f dan g yang diuraikan.
Streptococcus mutans, yang umumnya dikenal sebagai patogen utama karies gigi, juga merupakan agen penyebab
bakteremia dan endokarditis infektif. S. mutans dikelompokkan menjadi serotipe c, e, f dan k berdasarkan komposisi kimia dari polisakarida spesifik serotipe, dengan sekitar 70-80% strain ditemukan di rongga mulut yang diklasifikasikan sebagai serotipe c, diikuti oleh e (sekitar 20% ), dan f dan k (masing-masing kurang dari 5%). Serotipe k baru-baru ini ditunjuk sebagai serotipe baru dan terbukti memiliki ciri unik, yang paling menonjol adalah defek rantai sisi glukosa dalam polimer rhamnose-glukosa serotipe spesifik, yang terkait dengan insiden deteksi yang lebih tinggi pada spesimen kardiovaskular, karena terhadap resistensi fagositosis. Analisis molekuler spesimen kardiovaskular menunjukkan frekuensi deteksi tinggi untuk DNA S. mutans, di antaranya tingkat deteksi serotipe k cukup tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa serotipe k S. mutans mungkin memiliki tingkat virulensi yang tinggi untuk penyakit sistemik. (Nakano et al, 2009)
Streptococcus mutans bersifat asidogenik yaitu menghasilkan asam, asidodurik, mampu tinggal pada lingkungan asam, dan menghasilkan suatu polisakarida yang lengket disebut dextran. Oleh karena kemampuan ini, Stertococcus mutans bias menyebabkan lengket dan mendukung bakteri lain menuju ke email gigi, lengket mendukung bakteri- bakteri lain, pertumbuhan bakteri asidodurik yang lainnya, dan asam melarutkan email gigi. (Nugraha, 2008).
Streptococcus mutans juga memiliki sifat-sifat khusus yang berperan pada patogenesis karies yaitu mampu memproduksi polisakarida ekstraseluler (dekstran) yang memfasilitasi perlekatannya ke permukaan gigi dengan bantuan adhesin serta polimer glukan yang tidak larut oleh air. Sebagai konsekuensinya, Streptococcus mutans akan menempel pada komponen-komponen yang terdapat pada permukaan gigi, seperti substrat, glikoprotein saliva, matriks ekstraseluler, komponen serum, sel inang serta mikroorganisme lain.Interaksi tersebut akan menyebabkan penurunan pH pada lingkungan di sekitar tempat pembentukan koloni Streptococcus mutans pH 5,2-5,5 merupakan ‘critical point”, karena dapat mempercepat proses demineralisasi gigi dan memungkinkan terjadinya karies. Interaksi molekuler yang menjelaskan proses karies gigi, melibatkan molekul adhesion (protein permukaan) Streptococcus mutans dengan reseptor inang, seperti komponen saliva dan juga protein permukaan sel bakteri lainnya.
Protein permukaan sel Streptococcus mutans yang dilaporkan paling banyak terlibat dalam proses karies gigi adalah Glucan binding protein (Gbp) dan antigen I/II (Ag I/II). Selain itu, Streptococcus mutans juga mengekspresikan molekul yang berperan sebagai enzim dalam proses fermentasi karbohidrat, yaitu 15 Glucosyltransferase (Gtf), Dextranase (Dex), dan Fruktosilatranferase (Ftf). Setiap enzim tersebut akan memecah sukrosa untuk membentuk glukan, dextran dan fruktan. Terdapat pula protein lain yang berperan dalam penyediaan cadangan energi Streptococcus mutans agar mampu bertahan di dalam rongga mulut, yaitu Dextranase A (Dex A), Dextranase B (Dex B). Fruktanase, dan Dlt 1-4 (protein intaseluler sel Streptococcus mutans).
6. Streptococcus equi
Streptococcus equi merupakan bakteri pathogen yang memiliki karakteristik Gram positif dan bersifat obligat. Bakteri dapat masuk melalui mulut atau hidung menyerang sel kripta tonsil juga menyerang limfonodus superfisial. Setelah beberapa jam bakteri akan sulit dideteksi di permukaan mukosa, karena telah berpindah ke limfatik lokal yaitu satu atau beberapa limfonodus. Identifikasi Streptococcus equi dapat dilakukan dengan pembiakan bakteri yang diambil dari swab hidung, pencucian hidung atau pengambilan cairan nanah dari limfonodus. (Jonson & Tunkell 2000).
Streptococcus equi merupakan bakteri yang memiliki karakteristik Gram positif, katalase negatif, β- hemolisis positif, dan dapat memfermentasikan maltosa dan sukrosa (Sweeney et al. 2005). sebabkan oleh bakteri Streptococcus equi subspesies equi (S. equi) terus menjadi penyakit infeksi yang paling sering didiagnosis dari kuda di seluruh dunia. Penyakit yang sangat menular ini ditandai dengan abscessation dari kelenjar getah bening di kepala dan leher, dan mengarah ke morbiditas yang tinggi dan sesekali kematian (Timoney, 1993).
S. equi menghasilkan streptolysin S (SLS), yang bertanggung jawab untuk zona karakteristik b-hemolisis sekitarnya koloni di piring agar darah (Flanagan et al., 1998). Toksin hampir identik dengan yang dihasilkan oleh sebagian besar strain S. pyogenes, yang memiliki efek sitopatik langsung pada banyak jenis sel inang (Wannamaker, 1983). S. pyogenes juga menghasilkan streptolysin O (SLO), yang tidak dibuat oleh S. equi atau S. zooepidemicus (Flanagan et al., 1998). Penghapusan SLO atau SLS sendiri atau dalam kombinasi telah menunjukkan bahwa masing-masing berkontribusi pada tahap awal infeksi S. pyogenes dalam model infeksi tikus subkutan (Fontaine et al., 2003). Dalam perjanjian dengan hasil ini, penghapusan SAGA, encoding SLS di S. equi ketegangan 4047 dihapuskan aktivitas b-hemolitik in vitro dan menunda timbulnya tanda-tanda klinis dalam model infeksi intranasal murine oleh 24 h (C. Robinson, data tidak dipublikasikan).
Data ini menunjukkan bahwa SLS berperan dalam S. equi virulensi, tapi menunjukkan bahwa faktor-faktor lain yang juga penting untuk kemampuan organisme Penambahan zat warna kedua atau safranin tidak menyebabkan perubahan warna pada bakteri Gram positif, karena persenyawaan komplekskristal violet-yodium tetap terikat pada dinding sel. Pada bakteri Gram negatif, penambahan safranin menyebabkan sel bakteri berwarna merah, karena persenyawaan kompleks kristal violet-yodium larut dan dinding sel kemudian mengikat zat warna kedua. Fungsi zat warna safranin hanyalah sebagai pembeda (kontras) terhadap zat warna kristal violet.ini untuk menyebabkan penyakit.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara isolasi danidentifikasi bakteri dari 20 sampel swab mukosa Gambar 1 Pertumbuhan bakteri di agar darah yang menunjukkan hemolisis (24 jam). Kegiatan isolasi dan identifikasi bakteri dilakukan dengan metode kultur, pewarnaan Gram, uji katalase, dan uji gula-gula Pada bakteri Gram positif akan terbentuk persenyawaan kompleks kristal violet yodium ribonukleat yang tidak larut dalam larutan pemucat. Persenyawaan ini tidak terbentuk pada bakteri Gram negatif sehingga diduga adanya perbedaan kandungan asan ribonukleat antara bakteri Gram positif dan Gram negatif. Pemberian larutan mordan atau yang digunakan adalah larutan lugol dimaksudkan untuk meningkatkan afinitas pengikatan zat warna oleh bakteri sehingga pengikatan zat warna oleh bakteri menjadi lebih kuat. Setelah penambahan larutan lugol zat warna akan lebih jelas terlihat dan zat warna lebih sulit dilarutkan.