• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK AGRARIA ANTARA PTP NUSANTARA XIV KEBUN AWAYA DENGAN MASYARAKAT NEGERI TANANAHU, KABUPATEN MALUKU TENGAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONFLIK AGRARIA ANTARA PTP NUSANTARA XIV KEBUN AWAYA DENGAN MASYARAKAT NEGERI TANANAHU, KABUPATEN MALUKU TENGAH"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

KONFLIK AGRARIA ANTARA PTP NUSANTARA XIV

KEBUN AWAYA DENGAN MASYARAKAT NEGERI

TANANAHU, KABUPATEN MALUKU TENGAH

AGRARIAN CONFLICT BETWEEN PTP NUSANTARA XIV AWAYA

GARDEN AND THE PEOPLE OF TANANAHU VILLAGE , CENTRAL MALUKU DISTRICT

Oktovan Tipak, Jeter D. Siwalette, Noviar F. Wenno

Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura Jln. Ir. M. Putuhena, Kampus Poka, Ambon, 97233

E-mail : oktovantipak@gmail.com jetersiwalette@yahoo.com noviwenno@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab dan dampak terjadinya konflik antara PTP Nusantara XIV Kebun Awaya dengan Masyarakat Negeri Tananahu, Kabupaten Maluku Tengah. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yakni observasi, wawancara dan dokumentasi. Jumlah informan sebanyak 41 orang dipilih dengan menggunakan teknik Purposive Sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab konflik agraria antara PTP Nusantara XIV Kebun Awaya dengan masyarakat Negeri Tananahu adalah faktor sosial ekonomi dan status kepemilikan lahan. Dampak ekonomi yang ditimbulkan akibat terjadinya konflik adalah dampak positif bagi masyarakat Negeri Tananahu yaitu peningkatan pendapatan karena perluasan lahan dibandingkan saat bekerja di perusahaan dan dampak negative bagi perusahaan yaitu terjadinya penurunan produksi komoditi kelapa dan kakao yang disebabkan umur tanaman yang sudah tidak produktif dan konflik agraria antara masyarakat negeri Tananahu dengan perusahaan. Dampak sosial yang ditimbulkan akibat konflik agraria yaitu hubungan antara masyarakat Negeri Tananahu dan pihak perusahaan menjadi tidak harmoni.

Kata kunci: Dampak lingkungan; dampak sosial ekonomi; Penyebab Konflik

Abstract

This study aimed to determine the causes and impacts of the conflict between PTP Nusantara XIV Awaya Gardens and the people of Tananahu village, Central Maluku Regency. This study used qualitative data collection methods carried out in several ways, namely observation, interviews and documentation. The informants as many as 41 people were selected using the Purposive Sampling technique. The results showed that the factors causing agrarian conflict between PTP Nusantara XIV Awaya Garden and the people of Tananahu village were socio economic factors and land ownership status. The economic impacts caused by the conflict were positive impact to the people of Tananahu village, which is the increasing income of the people of Tananahu Village due to agricultural land expansion compared to when working in the company and negative impact to the company which is the decreasing production of cocoa and coconut due to the unproductive plant age and the conflict between the people of Tananahu and the company. Social impact caused by agrarian conflicts was an inharmonious relationship between the people of Tananahu village and the company

(2)

Pendahuluan

Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Alasannya sederhana, karena banyak pihak yang berkepentingan terhadap alam, sementara masing-masing pihak berbeda kebutuhan dan tujuannya. Kebutuhan akan sumberdaya alam mengalami peningkatan bersamaan dengan berbagai perkembangan yang terjadi. Konflik agraria yang terjadi di pedesaan bahkan seringkali menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan memunculkan adanya kontak fisik antara pelaku hingga akhirnya menyebabkan ketidakstabilan keamanan. Konflik yang sering muncul dalam masyarakat yaitu konflik penguasaan lahan. Yang disebut juga konflik agraria, yaitu konflik yang disebabkan oleh ketidakmerataan, ketidakadilan, dan ketidakberdayaan mengakses faktor dan alat produksi pertanian (Setiarsih, 2012).

Struktur agraria merupakan bentukan sosial dalam hubungan sosial terkait dengan akses terhadap lahan. Akses terhadap lahan memiliki dua kemungkinan yaitu merata (kesempatan yang sama untuk menguasai lahan) atau timpang (kesempatan yang tidak sama dalam akses menguasai lahan). Konflik agraria seringkali mengakibatkan hilangnya mata pencaharian kelompok masyarakat yang berbasis pada pertanian (Reskiawan, 2016).

Konflik agraria di Indonesia tak habis-habisnya dalam masyarakat, bahkan cenderung meningkat setiap tahun dan terjadi hampir di seluruh daerah secara nasional, baik di daerah perkotaan maupun di pedesaan. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) konflik Agraria yang terjadi di Indonesia pada periode 2015-2018 adalah:

Tabel 1. Data konflik menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Tahun Kejadi an/ kasus Luasan (ha) Sektor (kasus)

Perkebunan Properti Infrastruktur Pertanian kehutanan Pertambangan kelautan

2015 252 400.430 127 9 70 4 24 14 4 2016 450 1.265.027 163 117 100 14 25 21 10 2017 659 520.491,87 208 199 94 78 30 22 28 2018 410 807.177, 613 144 137 16 53 19 29 12 Total 1.771 2.993.126,03 642 462 280 149 98 86 54

(3)

Dari data diatas menunjukkan bahwa konflik agraria di Indonesia dari tahun 2010-2018 didominasi oleh sektor perkebunan dengan jumlah kasus 642 konflik agraria yang terjadi pada sektor perkebunan sebagian besar melibatkan masyarakat dengan Perkebunan atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan penelitian-penelitian terdahulu tentang konflik agraria yang melibatkan masyarakat dengan perkebunan atau Badan Usaha milik Negara (BUMN) yang dilakukan oleh: Meliani Puji Suharto pada tahun 2018 tentang Konflik Agraria Dalam Pengelolaan Tanah Perkebunan Pada PT Hevea Indonesia (PT Hevindo) Dengan Masyarakat di Kabupaten Bogor, Mutolib dkk tahun 2015 tentang Konflik Agraria dan Pelepasan Tanah Ulayat Di Sumatera Barat, Sukardi Reskiawan 2016 tentang Konflik Agraria Pada PTPN XIV dengan Serikat Tani Polongbangkeng di Kabupaten Takalar dan Sobri, S.IP, MA 2017 tentang Konflik Agraria Antara Masyarakat Dengan Perusahaan Pemegang HPHTI Di Kabupaten Pelalawan.

Maluku juga merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang tidak terlepas dari konflik agraria, baik itu horizontal maupun vertikal, baik antara masyarakat, maupun masyarakat dengan perusahaan, sehingga menimbulkan dampak kurang baik bagi masyarakat di mana konflik tersebut terjadi.

Di Provinsi Maluku, Kabupaten Maluku Tengah, Kecamatan Teluk Elpaputih ada satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PTP Nusantara XIV Kebun Awaya perusahaan ini pada awalnya adalah kebun tradisional dengan komoditi andalan kelapa rakyat pendiri atau pemilik pertama adalah Mr. Borman dan Mr. Jansen melalui pembelian tanah dari Raja Elpaputih bernama Moses Laturiuw beroperasi sejak tahun 1912. Dan pada tahun 1957 di Nasionalisasi oleh pemerintah Negara Republik Indonesia dengan status tanah Erpracht/konsensi berdasarkan Undang-Undang No 86 Tahun 1958 (LN 162 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda. Dan sejak tahun 1982, Berdasarkan Surat Keputusan Manteri Dalam Negeri (Mandagri) No: 5/HGU/BA1982 Tanggal 31 Maret 1982 Status Tanah Dari Erpacht berubah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 10.000 ha, berlaku hingga 31 Desember 2012 (Kantor PTP Nusantara XIV Kebun Awaya, 2019).

(4)

Fakta yang terjadi saat ini adalah setelah berakhirnya Hak Guna Usaha PTP Nusantara XIV Kebun Awaya pada tanggal 31 Desember 2012. Dan pihak perusahaan telah melakukan proses perpanjangan sejak tahun 2010 namun masyarakat Negeri Tananahu menolak perpanjangan HGU tersebut. Masyarakat mengklaim tanah seluas 3.458 ha adalah tanah petuanan mereka, sehingga terjadi saling klaim antara kedua belah pihak, hal tersebut merupakan salah satu faktor pemicu konflik dan diduga ada faktor lainnya sehingga penelitian ini perlu dilakukan.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas maka, peneliti tertarik melakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya konflik agraria antara PTP Nusantara XIV Kebun Awaya dengan masyarakat Negeri Tananahu, dampak konflik terhadap sosial ekonomi masyarakat Negeri Tananahu dan pihak PTP Nusantara XIV Kebun Awaya.

Metode Penelitian

Peneliti secara sengaja (purposive) menentukan PTP Nusantara XIV Kebun Awaya dan Negeri Tananahu sebagai lokasi penelitian, dengan alasan karena lahan Hak Guna Usaha perusahaan berada Negeri Tananahu dan setelah berakhirnya Hak Guna Usaha PTP Nusantara XIV Kebun Awaya pada 31 Desember 2012 dan pihak perusahaan telah melakukan proses perpanjangan HGU dari tahun 2010. Penelusuran data yang dilakukan oleh peneliti menggunakan teknik Purposive Sampling. Purposive Sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pada acuan dan pertimbangan tertentu, seperti orang tersebut di anggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan dalam penelitian, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek yang diteliti (Sugiyono, 2014).

Dalam penelitian ini peneliti telah menentukan informan kunci yang akan di wawancarai yaitu dari Negeri Tananahu terdiri dari Ibu Raja, Staf Pemerintahan dan Tokoh Adat karena mereka lebih mengetahui terkait dengan masalah penelitian yang dilakukan sedangkan dari PTP Nusantara XIV Kebun Awaya

(5)

informan yang ditentukan yaitu Manajer dan Para Staf Perusahaan, hal tersebut dipilih berdasarkan posisi dan wewenangnya dalam struktur jabatan dalam perusahaan karena mereka lebih mengetahui tentang perusahaan dan masalah penelitian yang dilakukan.

Tabel 2. Daftar jumlah informan kunci dan informan

Responden Jabatan Inisial Umur Jumlah

PTP Nusantara XIV Kebun Awaya

1. Manajer MP 49 1

2. Kepala Tata Usaha (KTU) MI 54 1

3. Asisten Kepala (ASKA) PT 55 1

4. Asisten (Nari dan Moti) JW 50 1

5. Asisten Keuangan LO 44 1 6. Kuasa Hukum SL 37 1 7. Karyawan 15 Masyarakat Negeri Tananahu 1. Sekretaris Desa PM 38 1 2. Kasi Pemerintahan FL 33 1 3. Ketua Saniri YA 61 1 4. Perangkat Saniri MP 55 1 5. Ketua Soa MT 59 1 6. Masyarakat 15 Total 41

Hasil dan Pembahasan

Faktor-faktor Penyebab Konflik Agraria antara PTP Nusantara XIV Kebun Awaya dengan Masyarakat Negeri Tananahu

Menurut Christoulou, 2008 dalam Almega, 2019 Konflik agraria biasanya melibatkan masyarakat, pemerintah dan swasta yang semuanya memperebutkan sumber-sumber agraria. Masyarakat melakukan perlawanan terhadap negara dan bisnis untuk menuntut apa yang menurut mereka adalah haknya. Sedangkan Negara dan Swasta juga berusaha melakukan perlawanan dan penekanan terhadap masyarakat untuk mempertahankan hak-haknya atas sumber-sumber agraria, di mana keduanya pada umumnya memiliki bukti-bukti yuridis.

Menurut Soerjono Soekanto, 2006 dalam Reskiawan, 2016 ada 4 faktor penyebab konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam yaitu : perbedaan pengetahuan, perbedaan nilai, perbedaan kepentingan dan perbedaan latar belakang personal dan sejarah kelompok yang berkepentingan. Sama seperti yang dikatakan Dorcey (2014), berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pihak

(6)

PTP Nusantara XIV dan masyarakat Negeri Tananahu ada beberapa faktor penyebab dasar konflik agararia antara PTP Nusantara XIV dengan Masyarakat Negeri Tananahu, yaitu antara lain:

Faktor Sosial Ekonomi

PTP Nusantara XIV Kebun Awaya memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No : 5/HGU/DA/1982 Tanggal 31 Maret 1982 status tanah dari Erpacht berubah menjadi tanah HGU (Hak Guna Usaha) dengan luas 10.000 Ha , berlaku hingga 31 Desember 2012. Sejak tahun 2010 pihak PTP Nusantara XIV telah melakukan proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) karena beberapa faktor yaitu membuka lapangan pekerjaan (menguranggi pengangguran) dan untuk peningkatan perekonomian masyarakat sekitar.

Hasil wawancara dengan Manajer keuangan PTP Nusantara XIV Kebun Awaya Bapak (LO) mengatakan bahwa:

“Perusahaan selama ini berkontribusi dalam menguranggi

pengangguran, karena dapat menyerap tenaga kerja, apabila pihak perusahaan tidak melakukan proses perpanjangan Hak Guna Usaha maka masyarakat yang selama ini yang bekerja diperusahaan akan menjadi pengangguran selain itu PTP Nusantara XIV Kebun Awaya setiap bulannya memberi upah kepada karyawan dan stafnya 1 milyar, otomatis uang yang beredar dimasyarakat setiap bulannya bisa mencapai 1 milyar hal tersebut akan memperbaiki perekonomian masyarakat sekitar”.

Pada tahun 2010 PTP Nusantara XIV Kebun Awaya melakukan proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) namun masyarakat Negeri Tananahu menolak perpanjangan HGU di tanah petuanan mereka yang diklaim seluas 3.458 hektar karena sejak perusahaan menguasai tanah petuanan mereka, masyarakat harus kehilangan mata pencaharian sebagai petani karena sulit untuk mendapatkan akses lahan untuk melakukan kegiatan pertanian dan membangun fasilitas perumahan. Masyarakat sebagian besar harus bekerja pada PTP Nusantara XIV untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu saat membebaskan tanah petuanan yang diklaim seluas 3.458 masuk dalam HGU perusahaan ada perjanjian

(7)

tertulis dan tidak tertulis yang dijanjikan oleh pihak perusahaan namun perjanjian tersebut tidak terealisasi.

Hasil wawancara dengan Tokoh Adat (Kepala Soa) Negeri Tananahu Bapak (MT) mengatakan bahwa:

“Setelah tanah petuanan Negeri Tananahu seluas 3.458 hektar masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PTP Nusantara XIV sejak tahun 1982 masyarakat harus kehilangan mata pencaharian mereka sebagai petani karena sulit untuk mendapatkan lahan untuk melakukan kegiatan pertanian. Masyarakat hanya bisa beraktifitas pada lahan seluas 100 ha untuk membangun fasilitas perumahan dan melakukan kegiatan pertanian, mereka hanya bisa memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk bercocok tanam dan masyarakat saat itu dalam satu rumah bisa tempati dua sampai tiga keluarga, selain itu sebagian besar masyarakat yang bekerja di perusahaan hanya sebagai Tenaga Kerja Harian Lepas (THL) yang pendapatannya tidak menentu”

Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat (Kepala Saniri) Negeri Tananahu Bapak (YA) mengatakan bahwa:

“Pada saat masyarakat Negeri Tananahu membebaskan tanah Petuanan seluas 3.458 hektar masuk dalam Hak Guna Usaha perusahaan ada perjanjian tertulis dan tidak tertulis. Perjanjian tertulis berupa Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau bagi hasil dan perjanjian tidak tertulis berupa pembangunan perumahan untuk rakyat, air bersih, Fasilitas pendidikan, beasiswa (pemondokan) dan pembangunan Infrastruktur lain, namun perjanjian tertulis dan tidak tertulis tidak terealisasi sehingga masyarakat merasa kecewa terhadap pihak PTP Nusantara XIV Kebun Awaya”

Pihak PTP Nusantara XIV Kebun Awaya menyatakan bahwa Perkebunan Inti Rakyat (PIR) tersebut tidak terealisasi karena masyarakat Negeri Tananahu tidak memiliki lahan diluar areal Hak Guna Usaha (HGU) PTP Nusantara XIV seluas 10.000 hektar, Perkebunan Inti Rakyat tersebut dapat terealisasi apabila masyarakat memiliki lahan diluar Hak Guna Usaha tersebut. Selain itu perjanjian tidak tertulis hanya dilaksanakan dalam lingkup perusahaan (afdeling) dan hanya di tujukan untuk masyarakat yang bekerja sebagai karyawan pada perushaaan.

Hasil wawancara dengan Manajer keuangan PTP Nusantara XIV Kebun Awaya Bapak (LO) mengatakan bahwa:

“Perkebunan Inti Rakyat (PIR) tersebut tidak terealisasi karena masyarakat Negeri Tananahu tidak memiliki lahan diluar dari Hak Guna

(8)

Usaha (HGU) perusahaan seluas 10.000 hektar, PIR tersebut dapat terealisasi apabila masyarakat memiliki lahan diluar dari HGU perusahaan seluas 10.000 hektar tapi masyarakat tidak memiliki lahan sehingga tidak terealisasi, selain itu janji pihak perusahaan untuk pembangunan perumahan, fasilitas pendidikan, air bersih, beasiswa (pemondokan) hanya dilaksanakan dalam lingkup perusahaan atau afdeling dan untuk masyarakat yang bekerja di PTP Nusantara XIV Kebun Awaya”

Masyarakat Negeri Tananahu saat bekerja di PTP Nusantara XIV mereka hanya bekerja sebagai Tenaga Kerja Harian Lepas (THL) dan Tenaga Kerja Harian Tetap (THT) yang sumber pendapatan tidak menentu karena ada target produksi perhari yang di tentukan oleh pihak perusahaan yaitu kakao (basah) 50 kg, kelapa 350 butir dan karet 413 kg. Upah yang diberikan apabila memenuhi target produksi perhari yang ditentukan untuk Tenaga Harian Tetap (THT) Rp. 120.000 dan Tenaga Harian Lepas Rp. 88.000.

Untuk Tenaga Harian lepas (THL) upah perkg untuk kakao basah yaitu Rp. 1.760, kelapa upah per butir yaitu Rp. 251,43, dan karet upah per kg Rp 213,07 sedangkan untuk Tenaga Harian Tetap (THT) upah perkg untuk kakao basah yaitu Rp. 2.400, kelapa upah per butir yaitu Rp. 342,86, dan karet upah per kg Rp 290,55.

Tabel 3. Pendapatan informan masyarakat negeri tananahu saat bekerja pada PTP Nusantara XIV Kebun Awaya

Informan Tenaga Kerja Hari Kerja/bln Komoditi/ produksi yang dicapai/hari Pendapatan/hari (Rp) Pendapatan /perbulan (Rp) PM THL 20 kelapa 150 butir 37.714 754.280 RL THL 15 kakao basah 25 kg 44.000 660.000 AL THT 20 kelapa 100 butir 34.286 685.720 I THT 20 kakao basah 20 kg 48.000 960.000 ML THL 21 kelapa 200 butir 50.286 1.056.006 YM THL 20 kelapa 150 butir 37.714 754.290 EM THL 15 kelapa 100 butir 25.143 377.145 YW THL 20 kakao basah 30 kg 52.800 1.056.000 SL THL 10 kakao basah 20 kg 35.200 352.000 MP THL 15 kelapa 200 butir 50.286 754.290 PM THT 15 kelapa 150 butir 51.429 771.435 SR THL 15 kelapa 100 butir 25.143 377.145 SM THL 15 kakao basah 35 kg 61.600 924.000 MW THL 20 kelapa 100 butir 25.143 502.860 YA THT 20 karet 200 kg 58.110 1.162.200

(9)

Pendapatan masyarakat Negeri Tananahu saat bekerja di PTP Nusantara XIV tidak menentu karena apabila masuk kerja dan memenuhi target yang di tentukan maka mendapatkan upah dan apabila tidak masuk kerja maka tidak mendapatkan upah. Masyarakat Negeri Tananahu menolak perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) ditanah petuanan yang diklaim seluas 3.458 hektar, karena selama 30 tahun beroperasi tidak memberikan kontribusi bagi Negeri Tananahu, masyarakat mengiginkan tanah tersebut dikembalikan kepada masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian.

Hasil wawancara dengan masyarakat Negeri Tananahu yang pernah bekerja pada PTP Nusantara XIV Bapak (PM) mengatakan bahwa:

“Masyarakat Negeri Tananahu yang dulu bekerja di PTPN XIV Kebun Awaya sebagian besar bekerja sebagai Tenaga Harian Lepas (THL), pendapatannya tidak menentu karena sulit untuk mencapai target produksi dan upah dibayar secara Proporsional artinya apabila masuk kerja dan memenuhi standar target produksi yang telah ditentukan maka upah akan diberikan sesuai standar pengupahan, apabila tidak masuk kerja maka tidak mendapatkan upah, jadi pendapatan tidak menentu”

Status Kepemilikan Lahan

Pada tahun 1982 dikerjakan proyek perkebunan menggunakan dana bantuan Bank Dunia yaitu Proyek NES VI mensukseskan program pemerintah yaitu rencana penanaman komoditi karet seluas 4.000 hektar, kelapa Hybrida seluas 3.000 hektar dan kebun induk kelapa hybrida seluas 100 hektar. untuk perluasan perkebunan masyarakat Negeri Tananahu membebaskan tanah Petuanan yang diklaim seluas 3.458 hektar masuk dalam Hak Guna Usaha perusahaan dan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No : 5/HGU/DA/1982 Tanggal 31 Maret 1982 status tanah dari Erpacht berubah menjadi tanah HGU (Hak Guna Usaha) dengan luas 10.000 Ha , berlaku hingga 31 Desember 2012.

Masyarakat Negeri Tananahu pada saat itu membebaskan Tanah Petuanan seluas 3.458 hektar masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) karena mendapatkan ancaman dan intimidasi sehingga masyarakat dengan terpaksa membebaskan tanah tersebut untuk di gunakan dalam HGU Perusahaan.

(10)

Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat (Kepala Soa) Negeri Tananahu Bapak (MT) mengatakan bahwa:

“Pada Tahun 1982 masyarakat Negeri Tananahu pada saat itu terpaksa membebaskan tanah Petuanan seluas 3.458 hektar masuk dalam Hak Guna Usaha PTP Nusantara XIV karena di intimidasi dan di ancam apabila tidak membebaskan tanah Petuanan masyarakat akan di trasnsmigrasikan”

Disisi lain pihak perusahaan tetap melakukan proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU), karena telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau regulasi yang berlaku, selain itu pihak perusahaan menyatakan bahwa tanah yang diklaim masyarakat Negeri Tananahu seluas 3.458 hektar adalah tanah milik Negara.

Hasil wawancara dengan kuasa hukum PTP Nusantara XIV Kebun Awaya Bapak (SL) mengatakan bahwa:

“Perusahaan melakukan proses perpanjangan HGU dasar hukum yang digunakan yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan Menteri ATR/BPN No 7 Tahun 2017 Tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha (HGU)”

Hasil wawancara dengan Manajer keuangan PTP Nusantara XIV Kebun Awaya Bapak (LO) mengatakan bahwa:

“Tanah yang diklaim masyarakat Negeri Tananahu adalah tanah milik Negara, tanah tersebut dulunya adalah tanah tanah jajahan belanda sejak tahun 1957 di nasionalisasi menjadi tanah Erpacht/konsensi dan pada tahun 1982 memperoleh Hak Guna Usaha, berlaku sejak 31 Maret 1982 sampai dengan 31 Desember 2012. Pihak perusahaan memiliki bukti berupa sertifikat HGU dan pembayaran pajak bumi bangunan milik belanda dan sejak Tahun 1957 telah di Nasionalisasi dan pada Tahun 1982 memperoleh Hak Guna Usaha, sejak 1982 sampai dengan 2012 pihak perusahaan memiliki bukti berupa sertifikat HGU”

(11)

Setelah Hak Guna Usaha PTP Nusantara XIV Berakhir 31 Desember 2012, dan sejak tanggal 1 Januari 2013 pemerintah Negeri Tananahu bersama masyarakat telah melakukan pencanangan kepemilikan kembali tanah Petuanan seluas 3.458 hektar yang digunakan dalam HGU perusahaan. Tetapi pihak perusahan tetap melakukan proses perpanjangan Hak Guna Usaha sehingga masyarakat Negeri Tananahu melakukan penolakan dengan melakukan bentuk perlawanan atau aksi berupa penebangan pohon kelapa, kakao untuk pembangunan fasilitas perumahan dan perluasan lahan untuk melakukan kegiatan pertanian dan memanen hasil produksi yang diusahakan oleh perusahaan berupa kelapa dan kakao untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hal tersebut merupakan perlawanan masyarakat Negeri Tananahu menolak perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU). Karena setelah berakhirnya Hak Guna Usaha (HGU) pada 31 Desember 2012 tanah Petuanan yang diklaim masyarakat Negeri Tanananu seluas 3.458 hektar tidak kunjung dikembalikan oleh pihak perusahaan.

Dalam memperjuangkan tanah Petuanan yang diklaim seluas 3.458 hektar masyarakat sering mendapatkan intimidasi dari pihak perusahaan dan keamanan, selain itu masyarakat Negeri Tananahu yang bekerja di perusahaan sebagai karyawan tetapi melakukan perlawanan terhadap pihak perusahaan karena menolak perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) terpaksa di berhentikan oleh pihak perusahaan karena telah melanggar aturan. Meskipun masyarakat Negeri Tananahu sudah menyatakan sikap menolak perpanjangan HGU namun pihak perusahaan tetap melakukan proses perpanjangan secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat Negeri Tananahu.

Hasil Wawancara dengan Tokoh Adat (Kepala Soa) Negeri Tananahu Bapak (MT) mengatakan bahwa:

“Masyarakat Negeri Tananahu dalam memperjuangan tanah Petuanan mereka sering mendapatkan intimidasi dari pihak perusahaan dan keamanan, pihak perusahaan melakukan proses perpanjangan hanya sepihak tanpa melalui masyarakat Negeri Tananahu, masyarakat Negeri Tananahu akan tetap berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mengembalikan tanah petuaanan kami demi kesejahteraan masyarakat dan demi masa depan anak cucu kami kedepannya”.

(12)

Dampak Konflik Terhadap Sosial Ekonomi PTP Nusantara XIV dan Masayakat Negeri Tananahu

Masyarakat Negeri Tananahu terlibat langung dalam konflik sejak PTP Nusantara XIV Kebun awaya melakukan proses perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) pada tahun 2010. Masyarakat Tananahu menolak perpanjangan HGU perusahaan karena selama perusahaan beroperasi selama 30 tahun tidak memberikan kontribusi bagi masyarakat Negeri Tananahu, selain itu selama tanah Petuanan masyarakat Negeri Tananahu yang diklaim seluas 3.458 hektar dikuasai oleh pihak perusahaan masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan akses lahan untuk melakukan kegiatan pertanian dan pembangunan fasilitas perumahan, dan setelah Hak Guna Usaha PTP Nusantara berakhir pada 31 Desember 2012 dan pihak perusahaan terus melakukan upaya perpanjangan Hak Guna Usaha dan tanah Petuanan masyarakat Negeri Tananahu yang diklaim seluas 3.458 hektar tidak kunjung dikembalikan sehingga masyarakat melakukan bentuk perlawanan atau aksi sehingga menyebabkan terjadinya konflik. Konflik tersebut berdampak terhadap aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Dampak Ekonomi

Masyarakat Negeri Tananahu terlibat langsung dalam konflik agraria karena masyarakat beranggapan bahwa sejak PTP Nusantara XIV Kebun Awaya beroperasi dalam tanah petuanan mereka selama 30 tahun sebagian besar masyarakat Negeri Tananahu hanya bekerja sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) dan Tenaga Harian Tetap (THT) yang pendapatannya tidak menentu karena ada target produksi per hari yang ditentukan oleh pihak perusahaan yaitu untuk kakao (basah) 50 kg, kelapa 350 butir dan karet 413 kg dan upah yang diberikan apabila memenuhi target produksi per hari yaitu untuk Tenaga Harian Lepas (THL) sebesar Rp. 88.000 sedangkan untuk Tenaga Harian Tetap (THT) sebesar Rp. 120.000. Untuk Tenaga Harian Lepas (THL) upah per hari untuk per kg kakao (basah) Rp. 1.760, kelapa upah per butir Rp. 251,43 dan karet upah per kg Rp 213,07 sedangkan Tenaga Harian Tetap (THT) upah per hari untuk per kg kakao (basah) Rp. 2.400, kelapa upah per butir Rp. 342,86 dan karet upah per kg Rp. 290,55.

(13)

Menurut hasil wawancara informan masyarakat Negeri Tananahu yang pernah bekerja pada PTP Nusantara XIV Kebun Awaya menyatakan bahwa mereka sangat sulit untuk mencapai target produksi yang ditentukan oleh pihak perusahaan, produksi yang dicapai per hari tidak menentu sehingga apabila tidak mencapai target produksi yang ditentukan oleh pihak perusahaan maka upah yang mereka peroleh juga tidak menentu. Karena sistem pengupahan per hari pihak perusahaan apabila tidak mencapai target produksi yaitu (total produksi yang dicapai per hari kakao basah, kelapa dan karet) × (upah per kg, per butir untuk kakao basah, kelapa dan karet yang telah ditentukan untuk Tenaga Harian Lepas dan Tenaga Harian Tetap).

Menurut Mitchell, et al. 2000 dalam Suharto, 2019 Dampak konflik dapat bersifat negatif dan positif. Dampak konflik terhadap masyarakat Negeri Tananahu bersifat positif karena dengan adanya perlawanan atau aksi-aksi yang dilakukan sehingga sekarang ini perekonomian sudah bisa membaik karena masyarakat telah memperluas lahan pertanian dengan mengusahakan tanaman perkebunan (kelapa) sebagai sumber pendapatan dan tanaman pangan, dan tanaman holtikultura sayur-sayuran dan buah-buahan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain itu juga masyarakat sudah bisa mendapatkan akses lahan untuk pembangunan fasilitas perumahan, dan melakukan kegiatan peternakan, pendapatan masyarakat sekarang lebih baik dibandingkan saat bekerja di PTP Nusantara XIV Kebun Awaya.

Hasil wawancara dengan pemerintahan Negeri Tananahu (Sekretaris Negeri) Bapak (PM) mengatakan bahwa:

“Masyarakat Negeri Tananahu saat ini sudah memperluas akses lahan untuk melakukan kegiatan pertanian dan pembangunan fasilitas perumahan dan jalan. Masyarakat memperluas lahan pertanian untuk mengusahakan tanaman perkebunanan (Kelapa) sebagai sumber pendapatan dan tanaman pangan dan tanaman hortikultura sayur-sayuran dan buah-buahan untuk dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, selain itu masyarakat yang dulunya rumah terbuat dari papan, bambu dan masih lantai sekarang sudah bisa menggunakan beton

(14)

dan tehel, perekonomian masyarakat Negeri Tananahu sekarang ini lebih baik di bandingkan saat bekerja pada PTP Nusantara XIV Kebun Awaya. Tabel 4. Pendapatan informan masyarakat Negeri Tananahu sebelum dan sesudah

konflik agraria

Tabel 4 menunjukkan bahwa pendapatan informan masyarakat Negeri Tananahu yang pernah bekerja pada PTP Nusantara XIV Kebun Awaya mengalami peningkatan setelah terjadinya konflik agraria hal tersebut disebabkan karena masyarakat Negeri Tananahu saat ini telah memperluas akses lahan pertanian sehingga pendapatan mereka lebih baik dibandingkan saat bekerja pada pihak perusahaan. Hal ini disebabkan karena selama ini tanah petuanan masyarakat Negeri Tananahu yang diklaim seluas 3.458 hektar masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) PTP Nusantara XIV Kebun Awaya sejak 31 Maret 1982 sampai dengan 31 Desember 2012 sehingga masyarakat Negeri Tananahu saat itu sangat sulit mendapatkan akses lahan untuk melakukan kegiatan pertanian dan membangun fasilitas perumahan, karena apabila masyarakat memperluas akses

Nama

Sebelum Konflik Agraria Sesudah Konflik Agraria

Tenaga kerja Pendapatan/Bln Mata Pencaharian Luas lahan (Ha) Komoditi Produktifitas (kg/ikat) Pendapatan/bln (Rp)

PM THL 754.280 Petani 0,5 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 2.000 2.133.333 RL THL 660.000 Petani 1 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 4.000 4.266.666 AL THT 685.720 Petani 1 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 4.000 4.266.666 I THT 960.000 Petani 0,5 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 2.000 2.133.333 ML THL 1.056.00 Petani 1

Kelapa (Kopra)

/3 bulan 4.000 4.266.666 Jagung 10 Konsumsi YM THL 754.290 Petani 0,5 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 2.000 2.133.333 EM THL 377.145 Petani 1 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 3.000 3.200.000 YW THL 1.056.000 Petani 1 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 3.000 3.200.000 SL THL 352.000 Petani 1 Kelapa (Kopra) /3 bulan 2.000 2.133.333 0,5 Holtikultura

(kagkung, sawi) 20 (30 ikat) 150.000 Ubi Kayu 20 Konsumsi MP THL 754.290 Petani 0,5 Kelapa 2.000 2.133.333 PM THT 771.435 Petani 1 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 4.000 4.266.666 SR THL 377.145 Petani 1,5 Kelapa (Kopra)

/3 bulan 2.000 2.133.333 SM THL 924.000 Petani 1 Kelapa 3.000 3.200.000 Ubi Kayu 20 Konsumsi MW THL 502.860 Petani 0,5 Kelapa 2.000 2.133.333 YA THT 1.162.200 Petani 1 Kelapa 4.000 4.266.666

(15)

lahan pertanian dan membangun fasilitas perumahan dalam areal Hak Guna Usaha

(HGU) perusahaan maka akan dikenakan sanksi bahkan bisa dipidanakan. Tabel 5. Data Produksi Kelapa, Kakao, Karet dan Pala PTP Nusantara XIV

Konflik berdampak Negatif terhadap PTP Nusantara XIV karena produksi kelapa dan kakao menurun selain karena faktor umur tanaman yang tidak dapat berproduksi secara maksimal tetapi juga disebabkan karena sebagian masyarakat Negeri Tananahu melakukan aksi penolakan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) dengan memanen hasil produksi kelapa dan kakao milik perusahaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena komoditi kakao sudah tidak bisa berproduksi maka sebagian karyawan yang bekerja di PTP Nusanatara XIV Kebun Awaya telah berhenti bekerja dan memilih hijrah kedaerah lain untuk mencari pekerjaan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.

Produksi Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 Kelapa Kebun (Butir) Kopra (kg) 8.503. 475 8.783.304 5.458.65 9 5.387.0 96 4.176.4 08 1.437. 640 1.502. 555 1.229. 577 441. 881 1.710. 292 1.020. 339 1.086.871 618. 654 616.075 525.10 3 172.89 4 174.54 3 64.332 22.6 47 138.25 9 Kakao Kakao, BCB (kg) Kakao, BCK (kg) 2.437. 432 1.381.550 1.137.49 6 1.188.1 48 1.059. 693 635.21 3 174.92 4 9.774 0 0 673.52 9 292. 695 209.071 244.100 200.00 0 56.710 24.425 1.260 0 0 Karet Lump (kg) SIR 20 (kg) 1.274. 292 1.150.147 1.150.59 0 941.286 945.31 9 664.88 0 672.83 9 678.271 793. 589 720.25 4 775.06 4 746.855 690.357 486.002 519.92 5 365.68 4 370.06 1 373.721 431. 713 391.81 9 Pala Fuli (kg) Isi Biji Pala (kg)

0 174 0 135 55 36 24 0 32 0 257 1.536 275 606 227,5 151 57 0 1

(16)

Hasil wawancara dengan staf perusahaan (Asisten) bagian tanaman kelapa dan kakao Bapak (JL) mengatakan bahwa:

“Konflik Agraria mengakibatkan produksi kelapa dan kakao menjadi menurun. bahkan komoditi kakao saat ini sudah tidak berproduksi lagi selain disebabkan karena faktor umur tanaman yang tidak produktif lagi tetapi juga karena masyarakat Negeri Tananahu melakukan aksi penolakan Hak Guna Usaha (HGU) dengan memanen hasil komoditi kelapa milik perusahaan, selain itu karyawan PTP Nusanatara XIV sebagian sudah berhenti bekerja dan lebih memilih hijrah kedaerah lain untuk mencari pekerjaan”

Dampak Sosial dan Lingkungan

Konflik agraria antara PTP Nusantara XIV Kebun Awaya dengan masyarakat Negeri Tananahu juga mengakibatkan dampak sosial dan lingkungan terhadap pihak perusahaan maupun kepada masyarakat Negeri Tananahu. Tabel 18 di bawah ini menunjukkan dampak sosial dan lingkungan sebelum dan sesudah konflik agraria.

Tabel 6. Dampak sosial dan lingkungan sebelum dan sesudah konflik agraria terhadap pihak PTP Nusantara XIV Kebun Awaya dan masyarakat Negeri Tananahu.

Variabel Sebelum Konflik

Agraria Sesudah Konflik Agraria Hasil Wawancara Informan

Dampak Sosial

 Hubungan Sosial

Hubungan sosial antara masyarakat dengan

pihak perusahaan

masih harmoni karena masyarakat Negeri

Tananahu masih

bekerja pada pihak perusahaan.

Komunikasi antara masyarakat dengan

pihak perusahaan

masih terjalin dengan baik.

Hubungan masyarakat

menjadi renggang sejak Hak Guna Usaha (HGU)

berakhir pada 31

Desember 2012.

Masyarakat Negeri

Tananahu menolak

perpanjangan HGU di tanah Petuanan yang diklaim seluas 3.458

hektar sehingga

masyarakat Negeri

Tananahu yang bekerja pada pihak perusahaan secara perlahan mulai berhenti bekerja.

Tokoh Adat Negeri Tananahu Bapak (PM) mengatakan bahwa:

“Setelah Hak Guna Usaha perusahaan berakhir 31 Desember 2012 masyarakat Negeri Tananahu bersepakat untuk menolak perpanjangan HGU ditanah Petuanan seluas 3.458 hektar yang digunakan dalam HGU PTP Nusantara XIV Kebun Awaya. Namun pihak perusahaan tetap

melakukan proses

(17)

Tabel 6. Lanjutan

Variabel Sebelum Konflik Agraria Sesudah

Konflik Agraria

Hasil Wawancara Informan

hal tersebut yang mengakibatkan hubungan sosial menjadi renggang karena masyarakat berhenti bekerja untuk memperjuangan tanah petuanan mereka”

• Pendidikan Selama masyarakat Negeri

Tananahu bekerja di

perusahaan sebagian besar hanya bekerja sebagai

Tenaga Harian Lepas

(THL) sedangkan pihak perusahaan memberikan beasiswa (pemondokan) kepada anggota keluarga karyawan yang bekerja sebagai Tenaga Harian Tetap (THT) beasiswa diberikan mulai dari tingkat SMP-Perguruan Tinggi. Hal

tersebut yang

mengakibatkan masyarakat Negeri Tananahu sangat sulit untuk melanjutkan

pendidikan anggota keluarga mereka. Setelah Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan berakhir pada 31 Desember 2012 masyarakat telah memperluas akses lahan pertanian. Melalui usaha pertanian masyarakat Negeri Tananahu sudah bisa memperbaiki tingkat pendidikan anggota keluarga mereka.

Masyarakat Negeri Tananahu yang pernah bekerja di PTP Nusantara XIV Kebun Awaya Bapak (PM) mengatakan bahwa:

“Melalui usaha pertanian masyarakat Negeri Tananahu sudah bisa memperbaiki tingkat pendidikan anggota keluarga mereka. Masyarakat Negeri Tananahu saat bekerja di perusahaan sebagian besar hanya bekerja sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) sedangkan pihak perusahaan memberikan beasiswa kepada anggota keluarga karyawan yang bekerja sebagai Tenaga Harian Tetap (THT)”

• Kesehatan Masyarakat Negeri

Tananahu saat bekerja pada perusahaan mereka dapat

mengakses layanan

kesehatan karena

mendapatkan kartu berupa

BPJS kesehatan.

Masyarakat juga dapat menggunakan fasilitas yang di bangun pihak perusahaan dalam lingkup emplasemen perusahaan. Setelah masyarakat Negeri Tananahu berhenti bekerja dari perusahaan mereka sudah tidak dapat mengakses layanan kesehatan dan fasilitas kesehatan yang di berikan dan bangun oleh pihak perusahaan. Layanan dan fasilitas kesehatan hanya di berikan dan dapat diakses oleh masyarakat yang bekerja pada perusahaan

Salah satu staf PTP Nusantara XIV Kebun Awaya mengatakan bahwa:

“Pihak PTP Nusantara XIV Kebun Awaya memberikan kartu BPJS kesehatan dan membangun fasilitas kesehatan hanya di berikan dan dapat di akses oleh masyarakat yang bekerja pada perusahaan dan apabila masyarakat tersebut berhenti bekerja maka sudah tidak dapat mengakses layanan kesehatan dan fasilitas kesehatan yang di bangun oleh perusahaan”

(18)

Fakta diatas seperti yang dikemukakan oleh Wirawan (2010) beberapa dampak yang ditimbulkan akibat konflik yaitu hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok, hancurnya harta benda dan jatunya korban jiwa konflik yang berujung pada kekerasan maupun peperangan akan menimbulkan kerugian, baik secara materi maupun jiwa raga manusia.

Kesimpulan

Faktor penyebab konflik agraria antara PTP Nusantara XIV Kebun Awaya dengan masyarakat Negeri Tananahu disebabkan oleh faktor sosial ekonomi dan status kepemilikan lahan.

Dampak konflik terhadap sosial ekonomi dan lingkungan terhadap masyarakat Negeri Tananahu dan PTP Nusantara XIV Kebun Awaya. Konflik berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat Negeri Tananahu karena masyarakat saat ini sudah bisa memperluas lahan pertanian sehingga pendapatan mereka lebih baik dibandingkan saat bekerja di PTP Nusantara XIV Kebun

Tabel 6. Lanjutan

Variabel

Sebelum Konflik Agraria

Sesudah Konflik Agraria

Hasil Wawancara Informan  Dampak Lingkungan Lahan perkebunan PTP Nusantara XIV Kebun Awaya untuk komoditi kakao dan kelapa masih tertata dengan baik.

Lahan perkebunan komoditi kakao dan kelapa menjadi

tidak tertata atau rusak, karena lahan yang diklaim masyarakat Negeri Tananahu seluas 3.458 hektar berada pada areal komoditi kelapa dan kakao. Setelah Hak Guna Usaha perusahaan berakhir 31 Desember 2012 pihak melakukan proses perpanjangan HGU namun masyarakat Tananahu menolak pihak perusahaan memperpanjang HGU ditanah petuanan yang diklaim seluas 3.458 hektar namun pihak perusahaan tetap melakukan upaya perpanjangan HGU hal tersebut yang mengakibatkan masyarakat melakukan aksi penolakan dengan menebang dan membakar pohon kelapa dan kakao untuk digunakan memperluas akses lahan

pertanian, membangun fasilitas

perumahan dan jalan.

komoditi kelapa dan kakao Bapak(JL)mengat akanbahwa: “Masyarakat Neger iTananahu melakukan aksi penolakan Hak Guna Usaha (HGU) dengan menebang dan membakar lahan HGU pada areal komoditi kelapa dan kakao untuk memperluas areal pertanian, membangun fasilitas perumahan dan jalan

(19)

Awaya sedangkan konflik berdampak negatif terhadap PTP Nusantara XIV Kebun Awaya karena produksi komoditi kelapa dan kakao menjadi menurun selain disebabkan karena umur tanaman yang sudah tidak produktif tetapi juga akibat konflik agararia. Akibat konflik agraria hubungan masyarakat Negeri Tananahu dengan pihak PTP Nusantara XIV Kebun Awaya menjadi tidak harmoni lagi dan juga mengakibatkan lahan areal perkebunan kelapa dan kakao PTP Nusantara XIV Kebun Awaya menjadi rusak atau tidak tertata lagi karena masyarakat Negeri Tananahu melakukan aksi penolakan perpanjangan Hak Guna Usaha dengan menebang dan membakar lahan tersebut untuk dibangun fasilitas perumahan dan jalan.

Daftar Pustaka

Almega, M. A. 2019. “Resolusi Konflik Antar Desa (Studi Kasus Sengketa Tanah Masyarakat Transmigrasi Candra Kencana Dengan Masyarakat Pribumi Bandar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat)”. Skripsi. Bandar Lampung : Sekolah Pascasarjana, Universitas Lampung.

Mutolib, A., Yonariza, Mahdi & Ismono, H. 2015. “Konflik Agraria Dan Pelepasan Tanah Ulayat (Studi Kasus Pada Masyarakat Suku Melayu Di Kesatuan Pemangkuan Hutan Dharmasraya, Sumatera Barat”. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol 1 (2): 213-225.

Reskiawan, S. 2016. “Konflik Agraria (Studi Pada PTPN XIV Dengan Serikat Tani Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar)”. Skripsi. Makassar: Universitas Hasanuddin Makassar.

Setiarsih. K.A. 2012. “Konflik perebutan lahan antara masyarakat Dengan TNI periode tahun 2002-2011 (Studi Kasus di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen)”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Suharto, M.P., G.K. Basar. 2019. “Konflik Agraria Pada PT Havea Indonesia (PT Hevindo) Dengan Masyarakat Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor”. Jurnal kolaborasi resolusi konflik. Vol 1 (1): 59-70.

Sobri, S. 2017. “Konflik Agraria Antara Masyarakat Dengan Perusahaan Pemegang HPHTI di Kabupaten Pelawan”. Jurnal Kriminologi. Vol 3 (1): 36-50.

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&. Bandung: Alfabeta, 23-25.

(20)

Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori. Aplikasi, dan Penelitian. Salemba Humanika. Jakarta, 34-39

Gambar

Tabel 2. Daftar jumlah informan kunci dan informan
Tabel 3. Pendapatan informan masyarakat negeri tananahu saat bekerja pada PTP  Nusantara XIV  Kebun Awaya
Tabel 4.  Pendapatan informan masyarakat Negeri Tananahu sebelum dan sesudah  konflik agraria
Tabel 5. Data Produksi Kelapa, Kakao, Karet dan Pala PTP Nusantara XIV
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil deskripsi kapang dan merujuk pada Barnett & Hunter (1972), Samsons, et al (1984) dan Pitt & Hocking (1985) diketahui bahwa kapang endofit isolat

Namun jika seseorang bertayamum untuk shalat wajib, maka dengan tayamum yang sama ia bisa melaksanakan shalat sunnah, atau menyentuh Al ¬ Qur‘an, namun tayamumnya tersebut tidak

Berdasarkan hasil analisis data yang menggunakan teknik analisis linier berganda dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dukungan manajemen

Implementasi Komunikasi Pemasaran Terpadu yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jepara yang terdiri dari beberapa komponen seperti periklanan, public relation,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, 1peran guru madrasah diniyah dalam implementasi pendidikan karakter melalui kegiatan hadrah al-banjari di Madrasah Diniyah Darul Hijrah

Ekstraksi minyak kelapa sawit dilakukan dengan beberapa tahap yaitu sebagai berikut: Labu alas bulat untuk sokletasi sebagai penampung minyak sawit hasil ekstrak

Sistem dimulai input sebuah citra asli berupa citra wajah di mana akan melalui 5 proses dan akan menghasilkan output akhir sebuah citra hasil berupa citra wajah dengan

Berdasarkan penelitian tentang pengaruh komunikasi kelompok dan kader posyandu terhadap minat ibu mengunjungi posyandu kepada 33 responden ibu-ibu yang mengunjungi