A. Pengertian Perjanjian dan Unsur Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian
Hukum Perjanjian diatur dalam buku III KUHPerdata terdiri dari dua bagian, yaitu bagian umum yang memuat peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, dan bagian khusus yang memuat peraturan mengenai perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan telah memiliki nama-nama tertentu. Pengaturan secara khusus mengenai perjanjian diatur pada Buku III KUHPerdata, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351.
Dalam sehari-hari istilah perjanjian disepadankan dengan istilah kontrak. Dalam penulisan ini istilah perjanjian disamakan dengan perjanjian berlandaskan pada KUHPerdata buku III titel kedua tentang “perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian atau kontrak”. Contract adalah: an agreement between two or more
persons which creates an obligation to do or no to do a particular thing.10
Unsur-unsur esensial kontrak yaitu: component parties, subject matter, a legal
consideration, and mutuality of obligation.11
Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan definisi mengenai perjanjian yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
10 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing.Co., ST. Paul
Minnesota, USA, 2000. hal.293
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan bahwa suatu perjanjian adalah:12
1. Suatu perbuatan;
2. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang);
3. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut.
Kata “perbuatan” dalam rumusan di atas menjelaskan bahwa suatu perjanjian hanya mungkin tercapai bila ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Selanjutnya pengertian “antara sekurangnya dua orang” menunjukkan bahwa suatu perjanjian tidak mungkin dibuat sendiri. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-pihak yang berjanji tersebut. Perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut.13
Dengan demikian, rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana salah satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi (debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak berhak atas prestasi tersebut (kreditur). Masing-masing pihak tersebut dapat
12Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, cet.V,
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010, hal.7.
13Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata, Jakarta:
terdiri dari satu atau lebih orang. Bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.14
1. Menurut Subekti
Selain yang diberikan oleh Pasal 1313 KUHPerdata, beberapa sarjana juga memberikan perumusan mengenai perjanjian:
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.15 2. Menurut Wirjono Prodjodikoro
Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.16
3. Menurut Herlien Budiono
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah perjanjian, orang-orang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.17
Berdasarkan uraian pengertian perjanjian menurut beberapa para sarjana, maka dapat dipahami bahwa: pertama, perjanjian adalah perbuatan hukum dalam
14Ibid., hal 286 15
Subekti, Op..cit., hal 21
16 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cet. IX, Bandung: Mandar Maju,
2011, hal.4.
17Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung:
lapangan hukum harta kekayaan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu atau lebih orang; kedua, perjanjian menimbulkan akibat hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban yang konkrit dalam hubungan tersebut.
Pasal 1338 KUHPerdata mengatur mengenai akibat suatu perjanjian bagi para pihak, yaitu:
a. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya,
b. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu,
c. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Agar kepentingan pihak lain terlindungi karena pada saat dibuat berdasarkan kepada kesepakatan antara kedua belah pihak, maka pada saat pembatalannnya pun harus atas kesepakatan kedua belah pihak. Pasal 1339 KUHPerdata menentukan bahwa dalam suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh kepatutuan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian yang mengikat para pihak dalam perjanjian adalah:
a. isi perjanjian; b. kepatutan; c. kebiasaan; dan d. undang-undang.18
18Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai
2. Unsur-unsur dalam perjanjian
Dalam perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam Perjanjian. Unsur-unsur tersebut diuraikan oleh Ahmadi Miru sebagai berikut :19
a. Unsur esensialia, adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, karena jika tidak ada unsur ini maka perjanjian tidak ada;
b. Unsur naturalia, adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undang-undang yang mengaturnya;
c. Unsur aksidentalia, adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Demikian pula klausul-kalusul lainnya yang sering ditentukan dalam perjanjian, yang bukan merupakan unsur esensial dalam perjanjian.
Sedangkan menurut Herlien Budiono20
a. Bagian esensialia, adalah bagian dari perjanjian yang harus ada. Apabila bagian tersebut tidak ada, bukan merupakan perjanjian (bernama) yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain. Kata sepakat merupakan bagian esensialia yang harus ada. Misalnya dalam perjanjian sewa-menyewa bagian esensialianya adalah:
menggunakan istilah “bagian” dari perjanjian dan bukan unsur-unsur perjanjian. Pendapatnya terhadap bagian dari perjanjian tersebut adalah :
19 Ahmadi Miru, Hukum Perjanjian dan Perancangan Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007, hal.31-32.
1) Sepakat dari para pihak; 2) Objek sewa;
3) Jangka waktu sewa; dan 4) Uang sewa.
b. Bagian naturalia, adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak, yang galibnya bersifat mengatur termuat di dalam ketentuan perundang-undangan untuk masing-masing perjanjian bernama. Ini berarti bahwa para pihak bebas untuk mengaturnya sendiri, bahkan karena ketentuan tersebut tidak bersifat memaksa, bebas untuk menyimpanginya. Sebaliknya, jika para pihak tidak mengatur sendiri di dalam perjanjian, ketentuan perundang-undangan tentang perjanjian tersebut akan berlaku. Bagian naturalia dari perjanjian sewamenyewa adalah ketentuan-ketentuan, baik Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman jo. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 maupun KUHPerdata yang sifatnya tidak memaksa. Contoh dari ketentuan yang bersifat mengatur yang merupakan bagian naturalia dari perjanjian sewa-menyewa adalah: perjanjian sewa-menyewa tidak putus dengan dijualnya objek sewa, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Jika ada perjanjian demikian, penyewa tidak berhak menuntut ganti rugi apabila tidak diperjanjikan dengan tegas (Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1994 jo. Pasal 1576 KUHPerdata).
c. Bagian aksidentalia, adalah bagian dari perjanjian berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Misalnya termin (jangka waktu)
pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum, dan cara penyerahan barang. Contoh dari ketentuan aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah: 1) Pilihan hukum dan pilihan domisili.
2) Cara pembayaran uang sewa.
3) Denda atas keterlambatan penyerahan kembali setelah sewa berakhir. 4) Pengaturan pembayaran rekening listrik, air, telepon, pajak bumi dan
bangunan, iuran RT, dan asuransi. Singkatnya bagian aksidentalia pada perjanjian sewa-menyewa adalah bagian yang tidak termasuk, baik ke dalam bagian essentialia maupun naturalia dari perjanjian sewa-menyewa.
B. Asas-asas Perjanjian
1. Asas kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Leasing
Pasal 1320 KUHPerdata menyatakan bahwa kepada lessor selama jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama-sama. Memahami isi perjanjian sewa guna usaha (lease agreement) tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi (kontra prestasi) dalam perjanjian leasing adalah suatu kewajiban dan syarat (promissory condition). Dikatakan demikian karena salah satu pihak, dalam hal ini lessor, terlebih dahulu wajib menyetujui memberikan fasilitas kepada lessee (prestasi), dengan sejumlah syarat tertentu yang pada akhirnya merupakan suatu kewajiban maka perjanjian leasing dapat juga disebut perjanjian bilateral". Dalam Black's Law Dicitonary perjanjian bilateral diartikan sebagai : Bilateral (or resiprocal) contracts are those by -which the parties expressly enter
into mutual engangements, such as sale of hire (perjanjian bilateral, atau timbal
misalnya dalam jual beli dan sewa). Hal ini membedakan arti perjanjian yang
unilateral dimana salah satu pihak saja yang melakukan prestasi tanpa menerima
balasan janji atau berjanji untuk melakukan kontra prestasi dari lawannya.
Subyek hukum yang cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian, menurut para ahli hukum Indonesia ada dua yaitu:
a. Orang-orang pribadi
b. Badan Hukum (legal entity)21
Pasal 1654 KUHPerdata adalah dasar hukum yang menyatakan badan apa saja yang dapat melakukan perbuatan hukum atau menjadi pihak/subyek dalam suatu hubungan hukum. Ketentuan ini menegaskan bahwa "semua perkumpulan yang sah, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata" selanjutnya tidak ada penjelasan dalam KUHPerdata tentang apa yang merupakan badan yang sah itu, tetapi mengkualifisir perkumpulan atau badan yang sah itu dalam dua golongan yaitu:
a. Perseroan sejati (badan usaha);
b. Perhimpunan orang (badan/organisasi sosial) atau perkumpulan dalam arti sempit.
Keberadaan perkumpulan-perkumpulan ini harus diakui oleh kekuasaan umum dan dibolehkan atau didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang/kesusilaan (Pasal 1653 KUH Perdata). Dihadapkan dengan leasing, maka Surat Keputusan Menteri Keuangan R.I. No. Kep-448/KMK.017/2000 tentang perizinan usaha leasing menetapkan bahwa
21 Rusly Hardijan, Badan Hukum dan Bentuk Perusahaan di Indonesia, Huvepindo 1989,
usaha leasing hanya dapat dilakukan oleh lembaga keuangan dan badan usaha baik yang untuk perusahaan nasional maupun perusahaan campuran, yang sebelumnya harus mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan didirikan berdasarkan hukum Indonesia khusus untuk usaha sebagai agen tunggal harus mendapat Izin Departemen Perdagangan dan atau Departemen Perindustrian (Pasal 2 ayat (1) dan (2); Pasal 4 ayat( 2). Sedangkan pihak lainnya (lessee) adalah orang-orang tertentu yang bertindak untuk dan atas nama badan usaha yang dipimpinnya, yang tentu pula didirikan atas hukum Indonesia. Oleh sebab itu pada pembukaan perjanjian sewa guna usaha telah disebutkan siapa saja yang menjadi subyek perjanjian yaitu, perusahaan sebagai pihak lessee dan orang- perorangan sebagai pihak lessor. Kemudian tentang syarat-syarat "hal yang tertentu" atau "sebab yang halal" disini diartikan bahwa dalam suatu perjanjian harus mempunyai pokok (obyek) sesuatu barang, jumlahnya dapat ditentukan pada waktu dibuatnya perjanjian (Pasal 1333 KUH Perdata). Bila dilihat dari bahasa belanda, maka terjemahan kata "Barang" dalam Pasal 1333 tersebut berasal dari kata "zaak" , yang menurut kamus Umum Indonesia:
1) Benda (barang); 2) Usaha (Perusahaan); 3) Sengketa (perkara); 4) Pokok persoalan;
5) Sesuatu yang diharuskan22
22Ibid., hal 219
Perihal "sebab yang halal" dijelaskan sebagai sebab yang tidak terlarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang, sebab yang sesuai dengan kesusilaan, sebab yang sesuai dengan ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata). Dengan demikian, maka sebab yang bertentangan dengan undang-undang akan menyebabkan perjanjian menjadi batal, bila ternyata perjanjian itu menimbulkan akibat yang bertentangan dengan undang-undang atau membahayakan kepentingan umum (publik interest). Hal tertentu dalam perjanjian leasing lebih tepat kita sebut sebagai pokok persoalan, hal mana antara lainnya dapat kita temukan dalam Pasal 2, Pasal 5 dan Pasal 6 perjanjian sewa guna usaha (lease
agreement). Sedangkan perihal "sebab yang halal" dapat disimpulkan dari amar
menimbang S.K. bersama tiga Menteri yang mengatur tentang perizinan usaha
leasing, yang antara lain dikemukakan:
a. Bahwa leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan yang dianggap penting peranannya dalam peningkatan pembangunan perekonomian Nasional;
b. Bahwa usaha leasing termaksud memerlukan pengaturan dan pengawasan untuk dapat mengarahkan perkembangannya sesuai dengan pola umum kebijaksanaan pemerintah di bidang pembangunan.
Dari ketentuan Pasal 2, Pasal 5 dan Pasal 6 perjanjian sewa guna usaha tersebut di atas diketahui bahwa "hal tertentu" dalam perjanjian leasing adalah pengadaan barang modal oleh lessor yang kemudian diserahkan kepada lessee sebagai angsuran. Sedangkan "sebab yang halal" tidak lain daripada upaya meningkatkan pembangunan infrastruktur ekonomi yang halal dalam konteks
pembangunan perekonomian nasional. Dengan demikian, leasing dari segi syarat obyektif memenuhi kriteria atau syarat sahnya perjanjian.
Memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian baik syarat subyektif maupun syarat obyektif berarti pula suatu perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang telah membuatnya. Dengan kata lain, memenuhi unsur tertentu Pasal 1338 KUHPerdata yang mengandung asas kebebasan berkontrak.
Adapun yang dimaksud syarat subyektif disini ialah para pihak dalam perjanjian leasing sekurang-kurangnya ada dua pihak yaitu lessor yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk menyediakan barang modal, dan pihak lessee yang menggunakan barang modai dengan pembayaran harga sewa guna secara berkala sebagai imbalannya.23
Di negara-negara common law system asas kebebasan berkontrak atau
freedom of contract dikenal dengan istilah Laissez Fairs yang pengertiannya
secara garis besar adalah sebagai berikut: “...men of full age and understanding shall have the at most liberty of contracting and that contracts which are freely and voluntary entered into shall be held sacred and enforced by the courts...you
are notlightly to interfere with this freedom of contract” (setiap orang dewasa
yang waras mempunyai hak kebebasan berkontrak sepenuhnya dan kontrak-kontrak yang dibuat secara bebas dan atas kemauan sendiri dianggap mulia dan
23Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Buku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,
harus dilaksanakan oleh pengadilan dan kebebasan berkontrak ini tidak boleh dicampuri).24
Kriteria tersebut di atas bila dihadapkan dengan perjanjian leasing kedua hal yang dipersoalkan ini sekiranya telah terakomodir dalam perjanjian sewa guna usaha (lease agreement). Masa sewa guna usaha dalam perjanjian biasanya dihitung sejak ditandatanganinya perjanjian dan berakhir pada waktu lessee menyelesaikan secara tuntas seluruh kewajibannya kepada lessor sesuai dengan perjanjian yang dibuat pada Pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha wajib melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling lama 40 (empat puluh) Hari terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan.. Dalam Pasal 3 S.K. Menteri Keuangan Nomor 1169/ KMK.01/ 1991 dinyatakan kegiatan sewa guna (leasing)
Berdasarkan praktek di negara-negara common law system, indikasi dari ketiadaan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian dapat dilihat pada ada tidaknya menyebutkan jangka waktu tertentu untuk pokok permasalahan (obyek) yang diperjanjiakan dan atau disebut tidaknya besar/ jenis prestasi/kontra prestasi dari pihak-pihak dalam perjanjian. Kedua hal ini dipandang penting karena jika tidak secara tegas disebutkan jangka waktu dan besar / jenis prestasi (kontra prestasi) dalam suatu perjanjian, dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak karena membatasi usaha/perdagangan tanpa batas waktu serta besar jenis prestasinya.
digolongkan sebagai sewa guna dengan hak opsi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Jumlah pembayaran sewa guna selama masa sewa guna pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan yang menyewa gunakan;
b. Masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya dua tahun untuk barang modal golongan satu, tiga tahun untuk barang golongan dua dan tiga, dan tujuh tahun untuk golongan bangunan;
c. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi penyewa gunaan.
Adapun mengenai penggolongan barang modal yang disewa-guna usaha diatur dalam Pasal 5 Keputusan menteri Keuangan Nomor 1169/ KMK. 01/1991 tentang kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) dengan berlandasakan pada Pasal 11 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang pajak penghasilan. Perihal prestasi dan kontra prestasi pun jelas dalam perjanjian leasing, yaitu lessor memberi prestasi berupa barang modal kepada lessee dan sebaliknya lessee memberi kontra prestasi fce pada lessor berupa pembayaran secara berkala selama jangka waktu yang telah disepakati bersama. Hal menarik dalam perjanjian
leasing (perjanjian sewa guna usaha /lease agreement) adalah kedudukan lessee
yang boleh dikatakan cukup lemah jika dibandingkan dengan lessor. Pasal 18 tentang simpanan jaminan, Pasal 10 tentang asuransi atas barang modal, dan Pasal 12 tentang pernyataan-pernyataan dan janji-janji dalam perjanjian sewa guna usaha, merupakan bukti bahwa kedudukan lessee sebagai pihak yang
membutuhkan barang modal, ditempatkan pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. Pasal 18 menentukan bahwa lessee wajib membayar sejumlah uang simpanan kepada lessor pada permulaan masa sewa untuk menjamin kelancaran pembayaran lease dan hak untuk menggunakan uang jaminan itu ada pada lessor baik untuk pembayaran yang menurut pertimbangan lessor wajib dibayar oleh lessee.
Pasal 10 menentukan bahwa lessee sebagai pemakai barang modal wajib mengasuransikan obyek lease atas biaya sendiri, tetapi dalam polis asuransi tersebut harus ditegaskan antara lain bahwa:
a. Secara eksplisit menetapkan bahwa obyek lease adalah milik lessor; b. Polis dikeluarkan atas tanggungan lessor dan lessee;
c. Melepaskan setiap hak atas ganti rugi perusahaan asuransi terhadap lessor, sekalipun kerusakan diakibatkan oleh cacat konstruksi atau force majeure atau disebabkan oleh mala petaka;
d. Menetapkan bahwa bagi hak lessor untuk menggantikan dirinya terhadap
lessee bagi pembayaran premi selama lessor menganggap perlu.
Kemudian dalam Pasal 5 ditegaskan bahwa pemeliharaan obyek lease, pemberian label pada obyek lease sebagai milik lessor, larangan melakukan perubahan pada obyek lease, larangan menjual /menggadaikan atau menawarkan kredit obyek lease, larangan mempercayakan obyek lease kepada pihak ketiga memberikan laporan kepada lessor jika terjadi sesuatu kejadian atau kelalaian,
lessee harus melakukan usahanya dengan wajar dan lain-lain mengindikasikan
ini terkesan terpaksa harus diterima oleh lessee karena sangat membutuhkan barang modal dan kondisi inilah yang dimanfaatkan oleh lessor untuk mengikat
lessee dengan ketentuan dan kewajiban yang mau tidak mau menguntungkan pada
posisi lessor.
Dari perspektif “Unjust Enrichment Doctrine" dalam Common Law
System (suatu prinsip umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya diri
sendiri secara tidak adil dari biaya pihak lain). Pada leasing posisi lessee tersebut khususnya dengan kewajiban membayar semua beban yang timbul dalam perjanjian yang seyogyanya ditanggung bersama lessor dapat dikualifikasikan sebagai upaya lessor untuk memperkaya diri sendiri secara tidak adil.
Kriteria yang diajukan untuk rnenentukan apakah seseorang telah memperkaya diri sendiri menurut doktrin ini adalah:
a. Ada sesuatu manfaat atau keuntungan yang diperbuat salah satu pihak kepada pihak lain;
b. Manfaat atau keuntungan ini berharga atau dimengerti oleh pihak lain; c. Pihak lain menahan manfaat itu adalah merupakan hal yang tidak patut
bila tidak disertai dengan pembayaran.
2. Asas Kepribadian (Privity of contract) dalam Perjanjian Leasing
Asas kepribadian dalam suatu perjanjian berintikan pada ruang lingkup berlakunya perjanjian yang hanya terbatas pada pihak dalam perjanjian itu saja. Pengecualian terhadap asas ini terdapat dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang memperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seseorang (pihak ketiga). Ketentuan untuk meminta ditetapkannya suatu janji
guna kepentingan pihak ketiga tidak dapat ditarik kembali bila pihak ketiga itu telah menyatakan menerimanya.
Satu-satunya ketentuan dalam perjanjian sewa guna usaha (lease
agreement) yang menyebut-nyebut janji terhadap pihak ketiga termuat dalam
Pasal 10 ayat (1):
"...pelanggan bersedia menanggung seluruh biaya/ kerugian yang timbul..". Lessee sebagai pemakai bertanggung jawab untuk lessor".
Lessee sebagai pemakai bertanggung jawab untuk mengasuransikan
kendaraan/ peralatan atas biaya sendiri. Sedangkan lessor sebagai pemilik bertanggungjawab untuk hal-hal cacat pada orang atau badan yang disebabkan oleh kendaraan/ peralatan terhadap pegawai-pegawai dari lessee atau dari pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksudkan disini adalah pihak perusahaan (asuransi dalam kaitannya dengan polis asuransi antara lessee dan pihak ketiga lainnya, karena hal-hal atau kerugian-kerugian yang disebabkan oleh kendaraan/ peralatan dalam hubungannnya dengan lessor, pertanggung jawaban lessor terhadap pihak ketiga lainnya, sebagaimana tersebut di atas adalah karena kepatutan atau kepantasan. Kepatutan oleh banyak ahli hukum menduduki tata urutan terakhir setelah undang-undang dan kebiasaan.25
Namun, demikian kepatutan adalah hal yang sangat penting dan dibutuhkan sebelum pelaksanaan perjanjian itu, hal ini untuk menghindari ketidakpatutan dan ketidak adilan dalam perjanjian. Sedangkan suatu peijanjian
25 Vollmar,H.F,S, Pengantar studi HukumPerdata jilid ll, Jakarta: Rajawali, 2001 hal.
yang tidak patut atau tidak adil dapat dipahami dari adanya hubungan atau keadaan yang tidak seimbang. 26
C. Syarat sahnya Perjanjian
Berlakunya perjanjian dalam sewa guna usaha adalah terdapatnya kondisi
"Unconscionability" atau keadaan yang berat sebelah. Kondisi tersebut dalam
perjanjian sewa guna usaha dapat dilihat dari perlakuan pihak yang mempunyai kedudukan yang kuat dalam usahanya memaksakan atau memanfaatkan transaksinya terhadap pihak lain yang lemah kedudukannya. Fullagar J. menjelaskan kedudukan yang lemah atau orang lemah (under a special disability) dapat disebabkan oleh kemiskinan, sedang membutuhkan, sakit, usia, ketidak stabilan jasmani dan rohani, mabuk, kurang mendapat bantuan atau penjelasan yang mana bantuan atau penjelasan itu sekarang setelah keluarnya undang-undang No. 4 Tahun 1996, pembebanannya dilakukan dengan surat kuasa memasang hak tanggungan. Dari kedua pendapat di atas hal yang penting adalah memberikan perlindungan yang kuat terhadap debitur sebagai pemilik kredit dengan cara mengikat obyek leasing melalui pembebanan lembaga jaminan yang sesuai dengan sistem hukum jaminan.
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji dengan suatu kata sepakat kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dengan adanya pengertian perjanjian seperti ditentukan di atas, dapat diketahui bahwa kedudukan antara para pihak yang
26 Wiryono Prodjokodikoro, Azas-azasHukum-Hukum Perjanjian, Cet. ke 2, Bandung:
mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan jika pengertian perjanjian tersebut dibandingkan dengan kedudukan para pihak dalam perjanjian kerja.27
Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur yaitu:28 1. Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak
sebagai subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan hubungan hukum. Jika yang membuat perjanjian adalah suatu badan hukum, maka badan hukum tersebut harus memenuhi syarat-syarat badan hukum yang antara lain adanya harta kekayaan yang terpisah, mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri, ada organisasi29
2. Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar-menawar diantara mereka;
;
3. Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum;
27
Djumadi, Perjanjian Kerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 13.
28Mohd.Syaufii Syamsuddin, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Jakarta:
Sarana Bhakti Persada, 2005, hal 5-6.
29Herman Rasyid, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian, http:// hermansh. blogspot.
4. Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi prestasi, bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya; 5. Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun
tertulis. Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan yang ada;
6. Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah apabila memenuhi empat syarat sebagai berikut : 30
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal
Dua syarat pertama disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjeknya atau para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat terakhir adalah syarat objektif. Berikut ini uraian masing-masing syarat tersebut:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
30Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan,
Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan dan penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para pihak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika undang-undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah tidak cakap, orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang ditaruh di bawah pengampunan.31
c. Suatu hal tertentu
Menurut Pasal 1332 KUHPerdata dinyatakan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Pasal 1334 KUHPerdata dinyatakan bahwa barang-barang yang baru akan ada, di kemudian hari dapat menjadi suatu pokok perjanjian.
d. Suatu sebab yang halal
Pengertian suatu sebab yang halal ialah bukan hal yang menyebabkan perjanjian, tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kesusilaan maupun ketertiban umum menurut Pasal 1337 KUHPerdata.32
31Ibid.
32Ibid. hal 29
Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam:33
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan;
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya34
Perbedaan antara dapat dibatalkan dengan batal demi hukum dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
.
33Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal 93 34Ibid. hal 94
Sedangkan batal demi hukum artinya adalah dari semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.35
D. Prestasi dan Wanprestasi 1. Prestasi
Pada tahap pelaksanaan suatu perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah disebut sebagai prestasi.36
Prestasi dalam suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Di dalam hukum perjanjian, itikad baik itu mempunyai dua pengertian yaitu: 37
a. Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata.
b. Itikad baik dalam arti obyektif, yaitu pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, dimana hakim diberikan suatu kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai
35 Diana Kusumasari, Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, diakses dari
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4141/pembatalan-perjanjian-yang-batal-demi-hukum, pada tanggal 21 Juni 2013.
36Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, Cetakan ketiga, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010, hal 67.
37M. Hariyanto, Asas-asas perjanjian, diakses dari http://blogmhariyanto.blogspot.com/
pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan. Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, harus adanya keseimbangan. Keadilan artinya bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang telah diperjanjikan dengan memperhatikan norma-norma yang berlaku.
Demikian pula suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang (Pasal 1339 KUHPerdata).38
Prestasi dapat berwujud sebagai :39 a. Benda
Prestasi berupa benda harus diserahkan kepada pihak lainnya. Penyerahan tersebut dapat berupa penyerahan hak milik atau penyerahan kenikmatannya Sedangkan prestasi yang berupa tenaga atau keahlian harus dilakukan oleh pihak-pihak yang menjual tenaga atau keahliannya. Contoh dari penyerahan hak milik adalah jual-beli mobil, dimana setelah salah satu pihak membayar harga yang disepakati untuk mobil tersebut, pihak yang lain harus menyerahkan mobil dan mobil tersebut menjadi milik seutuhnya dari pihak yang telah melakukan pembayaran sedangkan contoh penyerahan kenikmatan adalah sewa menyewa rumah dimana yang diberikan hanya kenikmatan dari rumah tersebut yang setelah berakhir perjanjiannya, rumah tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya.
38 Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Hukum Perjanjian Khusus, Bandung: Nuansa
Aulia, 2012, hal. 98
Prestasi yang berupa benda yang harus diserahkan kepada pihak lain, apabila benda tersebut belum diserahkan, pihak yang berkewajiban menyerahkan benda tersebut berkewajiban merawat benda tersebut bebagaimana dia merawat barangnya sendiri atau yang sering diistilahkan dengan “sebagai bapak rumah yang baik”.
Sebagai konsekuensi dari kewajiban tersebut adalah apabila ia melalaikannya, ia dapat dituntut ganti rugi apalagi kalau ia lalai menyerahkannya. b. Tenaga atau keahlian
Antara prestasi yang berupa tenaga dan prestasi yang berupa keahlian ini terdapat perbedaan karena prestasi yang berupa tenaga pemenuhannya dapat diganti oleh orang lain karena siapapun yang mengerjakannya hasilnya akan sama, sedangkan prestasi yang berupa keahlian, pemenuhannya tidak dapat diganti oleh orang lain tanpa persetujuan pihak yang harus menerima hasil dari keahlian tersebut. Oleh karena itu, apabila diganti oleh orang lain, hasilnya mungkin akan berbeda. Sebagai contoh suatu kontrak dengan prestasi berupa tenaga adalah kalau seorang yang disuruh memindahkan tumpukan pasir dari pinggir jalan ke dalam pekarangan seseorang, siapa pun yang mengangkat pasir tersebut, hasilnya pasir tersebut akan berada di pekarangan sesuai harapan orang yang menyuruh.
Sementara itu, contoh suatu kontrak yang prestasinya berupa keahlian, adalah kalau seorang yang meminta pelukis untuk melukis wajahnya si pelukis tidak begitu saja dapat meminta orang lain untuk melukis wajah orang tersebut karena kemungkinan orang yang diminta menggantikannya tidak memiliki
keahlian yang sama sehingga kalau pelukis tersebut diganti, kemungkinan lukisan wajah tersebut tidak sama bahkan mungkin tidak mirip dengan wajah aslinya. c. Tidak berbuat sesuatu
Adapun prestasi tidak berbuat sesuatu menuntut sikap pasif salah satu pihak karena dia tidak dibolehkan melakukan sesuatu sebagaimana yang diperjanjikan.
Prestasi dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat:40
a. Harus diperkenankan, artinya prestasi itu tidak melanggar ketertiban, kesusilaan, dan Undang-undang;
b. Harus tertentu atau dapat ditentukan;
c. Harus memungkinkan untuk dilakukan menurut kemampuan manusia.
Namun yang sering dijumpai dalam pelaksanaan suatu perjanjian adalah ketika salah satu pihak tidak mematuhi dan melaksanakan apa yang telah diperjanjikan/ wanprestasi.
2. Wanprestasi
Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak si berhutang ini harus dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan si berhutang itu, bahwa si berpiutang menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek.41
“Si berutang dinyatakan dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia berada dalam keadaan lalai demi
Hal ini diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang dinyatakan bahwa :
40 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009,
hal.79.
perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang ditentukan saja“. Kata “perintah“ (bevel) dalam Pasal 1238 KUHPerdata di atas mengandung suatu peringatan dan karenanya “bevel“ juga bisa diterjemahkan dengan “peringatan“. Karena di sana dikatakan, bahwa perintah/peringatan itu ditujukan kepada debitur (si berhutang) dan debitur (si berhutang) adalah pihak yang dalam perikatan mempunyai kewajiban prestasi, maka tentunya “ perintah/peringatan“ itu datang dari krediturnya, yaitu pihak yang dalam perikatan mempunyai hak (tuntut) atas prestasi. Sekalipun pasal yang bersangkutan tidak secara tegas mengatakan apa isi perintah kreditur, namun demikian, sehubungan kedudukan para pihak dalam perikatan yang bersangkutan bisa disimpulkan, bahwa perintah kreditur adalah agar debitur memenuhi kewajiban perikatannya. Jadi debitur berada dalam keadaan lalai setelah ada perintah/peringatan agar debitur melaksanakan kewajiban perikatannya. Perintah atau peringatan (surat teguran) itu dalam doktrin dan yurisprudensi disebut “somasi“.42
Suatu somasi harus diajukan secara tertulis yang menerangkan apa yang dituntut, atas dasar apa serta pada saat kapan diharapkan pemenuhan prestasi. Hal ini berguna bagi kreditur apabila ingin menuntut debitur di muka pengadilan. Dalam gugatan inilah, somasi menjadi alat bukti bahwa debitur betul-betul telah melakukan wanprestasi.43
42
Satrio, Beberapa Segi Hukum tentang Somasi (Bagian I), diakses dari
somasi-bagian-i-brioleh-jsatrio-, pada tanggal 24 Mei 2014`
43PNH Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta : Djambata, 1999,
Somasi tidak perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada pengadilan akan tetapi pengirim somasi wajib membuat suatu berita acara penerimaan somasi kepada pihak calon tergugat, hal ini untuk membuktikan bahwa penggugat telah beritikad baik menyelesaikan perkaranya secara damai sebelum akhirnya berperkara dipengadilan (hal ini memberikan penilaian permulaan kepada hakim bahwa tergugat beritikad buruk).44
Dalam hal tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasi telah ditentukan, maka Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Bentuk wanprestasi/ ketiadalaksanaan dapat terwujud dalam beberapa bentuk yaitu:45
a. Debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya;
b. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/ melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya;
c. Debitur tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; d. Debitur melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.
Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitur untuk tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitur untuk tidak melaksanakannya.46
dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu :
Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan wanprestasi,
47
a. Menuntut pemenuhan perikatan;
44
Somasi atau Teguran, diakses dari
45Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit., hal.70. 46Ibid.
b. Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat timbal-balik, menuntut pembatalan perikatan;
c. Menuntut ganti rugi;
d. Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi;
e. Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Perlunya diketahui apakah penyebab dari terjadinya wanprestasi mengingat akibat yang terjadi karena tindakan wanprestasi itu dilakukan, semuanya dibuktikan dihadapan hakim. Seorang debitur yang dituduh lalai dan dimintakan supaya kepadanya diberikan hukuman atas kelalaiannya, ia dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman itu. Pembelaan tersebut ada tiga macam, yaitu: a. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau Force
majeure);
b. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exceptio
non adimpleti contractus);
c. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (pelepasan hak: bahasa Belanda: rechtsverwerking).
Menurut Subekti, ada empat akibat dari terjadinya wanprestasi yaitu : a. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti rugi;
b. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian; c. Peralihan Risiko;
d. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim. Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi di atas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut :48
Akibat-akibat dari terjadinya wanprestasi di atas, lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut :49
1) Ganti rugi
Ganti rugi sering diperinci dalam tiga unsur yakni biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran dan perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak. Misalnya Jika seorang sutradara mengadakan perjanjian dengan seorang pemain sandiwara untuk mengadakan suatu pertunjukkan, dan pemain ini kemudian tidak datang sehingga pertunjukkan terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa gedung, sewa kursi dan lain-lain. Yang dimaksudkan dengan istilah rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya dalam hal jual beli sapi. Kalau sapi yang dibelinya itu mengandung suatu penyakit yang menular kepada sapi-sapi lainnya milik si pembeli, hingga sapi-sapi ini mati karena penyakit tersebut. Yang dimaksudkan dengan bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya dalam hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih tinggi dari harga pembeliannya.50
48Subekti, Op.cit, hal.55. 49Ibid, hal 45.
50Ibid., hal 54
dinyatakan bahwa bunga sebagai "...untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya.."
Pasal 1247 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya” Dan Pasal 1248 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, bunga, sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perjanjian”
Dari dua pasal di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ganti rugi itu dibatasi, hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.
b. Pembatalan perjanjian
Mengenai pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian, sebagai sanksi kedua atas kelalaian seorang debitur, mungkin ada orang yang tidak dapat melihat sifat pembatalannya atau pemecahan tersebut sebagai suatu hukuman karena debitur menganggap dibebaskan dari kewajiban memenuhi prestasi. Pembatalan perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan. Pasal 1266 KUHPerdata dinyatakan bahwa:
“Syarat batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”
Berdasarkan ketentuan pasal di atas maka jelas bahwa pembatalan perjanjian tidak terjadi secara otomatis pada waktu debitur nyata–nyata melalaikan kewajibannya, akan tetapi harus dimintakan kepada hakim dan disebutkan dengan jelas, bahwa perjanjian itu tidak batal demi hukum.
c. Peralihan risiko
Peralihan risiko sebagai sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata. Risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan risiko dapat digambarkan demikian: Menurut Pasal 1460 KUHPerdata, maka risiko dalam jual-beli barang tertentu dipikulkan kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau penjual itu terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan risiko
tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya si penjual, risiko itu beralih kepada dia.
d. Pembayaran biaya perkara
Tentang pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara (Pasal 181 ayat 1 HIR). Seorang debitur yang lalai tentu akan dikalahkan kalau sampai terjadi suatu perkara di depan hakim. Dari pembahasan-pembahasan di atas dapat dilihat apabila wanprestasi yang dilakukan dalam perjanjian itu terjadi akibat dari keadaan memaksa (Force majeure), maka dapat melepaskan pihak yang tidak memenuhi kewajiban itu dari tuntutan ganti kerugian.