• Tidak ada hasil yang ditemukan

CACAT KELUARGA BUKAN KARENA GEN TUNGGAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CACAT KELUARGA BUKAN KARENA GEN TUNGGAL"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

C

ACAT

K

ELUARGA

B

UKAN

K

ARENA

G

EN

T

UNGGAL

anyak cacat penting bersifat familial –cacat ini mengenai anggota keluarga, yang berarti bahwa kejadian antar kerabat dari ternak yang cacat lebih besar daripada kejadian dalam populasi di mana mereka berada. Jika suatu cacat diturunkan dalam keluarga, ini bisa disebabkan karena pengaruh lingkungan atau pengaruh gen atau kombinasi dari pengaruh lingkungan dan pengaruh gen.

B

Dengan cacat gen tunggal dari jenis yang telah dibahas pada bab terdahulu, tidak ada kesulitan dalam menentukan kenapa cacat ini diturunkan dalam keluarga: hal ini karena pengaruh gen. Namun demikian, ada beberapa cacat yang diturunkan dalam keluarga yang tidak sesuai dengan kategori pewarisan gen tunggal.

Tujuan dari bab ini adalah untuk menjelaskan apa yang telah diketahui tentang cacat/kelainan tersebut.

Kecenderungan

(

Liabilitas

)

dan Batas Ambang

(

Threshold

)

Untuk alasan-alasan yang nantinya segera menjadi bukti, akan lebih baik dengan menganggap setiap ternak memiliki kecenderungan (liabilitas) tertentu terhadap sebuah cacat, dimana liabilitas mengacu pada kombinasi efek dari seluruh faktor, baik lingkungan maupun genetika, yang membuat seekor ternak kurang lebih berpotensi dalam memunculkan cacat tersebut.

Harus dimengerti dengan jelas bahwa istilah ‘lingkungan’ yang digunakan di sini dan keseluruhan buku ini dalam pengertian luas, yang secara harfiah berarti non-genetika. Oleh karena itu, faktor lingkungan adalah faktor apapun yang tidak bisa dihubungkan dengan aksi gen

(2)

Liabilitasadalah variabel kontinyu yang, pada prinsipnya, bisa diukur pada skala kontinyu, dengan cara yang sama seperti kita menentukan bobot badan. Tapi dalam bab ini kita membahas sifat yang diskontinyu dimana selalu ada dua kelas: cacat dan normal. Kita bisa memuat seluruh-atau-tidak sama sekali sifat dalam skala kontinyu dengan menggunakan konsep batas ambang (threshold), yaitu level tertentu dari liabilitas pada bagian atas di mana seluruh ternak memunculkan cacat, dan pada bagian bawah di mana seluruh ternak adalah normal.

Meskipun tujuan dari bab ini adalah untuk menjelaskan pewarisan cacat yang tidak disebabkan gen tunggal, cara termudah untuk mengenalkan konsep penting adalah mengawali dengan memfokuskan pada cacat gen tunggal. Dengan cacat resesif autosom, sebagai contoh, posisi ketiga genotipe dapat diwakilkan pada skala liabilitas yang berubah-ubah seperti ditunjukkan pada Gambar 6.1.

(3)

Penetrasi Tidak Lengkap (

Incomplete penterance

)

Malignant hyperthermia syndrom (MHS) dicirikan dengan kenaikan suhu tubuh yang progresif, kekakuan otot, dan asidosis pernapasan dan metabolisme, yang menyebabkan kematian dengan cepat. Ini terjadi pada babi-babi tertentu jika mereka menderita stres ringan seperti dalam proses pengangkutan dan/atau selama perjalanan di atas kendaraan. Babi-babi yang mengalami kejadian ini adalah homozigot untuk mutasi mis-sens dalam gen untuk jalur pelepasan kalsium (lihat Lampiran 3.1 dan Bab 9); MHS adalah cacat gen tunggal, resesif, autosom. Tes standar untuk menilai fenotipe klinis dalam hubungannya dengan MHS adalah dengan mengarahkan babi-babi untuk menghirup gas halothane melalui suatu alat penutup moncong hidung yang sangat ketat. Babi-babi yang rentan (reaktor) menunjukkan gejala kekakuan otot kaki belakang setelah dua menit, tapi jika penutup segera dilepaskan pada saat ini terjadi, sebagian besar reaktor kembali pulih setelah lima menit. Jika tidak ada kekakuan setelah tiga menit dari pembukaan terhadap halothane, ternak dikelompokkan sebagai non-reaktor, dan dianggap resisten terhadap MHS. Permasalahan praktis dalam mengarahkan halothane terhadap babi dapat menyebabkan variasi dalam efisiensi tes, bahkan dari babi ke babi dalam satu kelompok tes. Oleh karena itu, diperkirakan bahwa tes halothane kadang-kadang bisa menunjukkan hasil positif yang salah dan hasil negatif yang salah. Dengan kata lain klasifikasi fenotipe bisa tidak akurat.

Sebagai contoh, saat sebuah organisasi penelitian besar memulai tes halothane, peluang terjadinya kesalahan dalam pengelompokkan reaktor sebagai non-reaktor sebesar 25%. Satu tahun kemudian, saat para operator telah memperoleh pengalaman, dan peluang terjadinya kesalahan dalam penggolongan berkurang secara substansial.

Tapi meskipun terdapat peningkatan dalam hal keakuratan, masih ada beberapa masalah dalam menafsirkan hasil perkawinan tertentu. Sebagai contoh, perkawinan di antara keturunan dari tetua cacat x cacat dalam suatu survey, 98% dikelompokkan sebagai cacat (reaktor).

Dengan hasil seperti ini, satu-satunya cara untuk menjelaskan pewarisan MHS pada gen resesif adalah dengan menganggap bahwa seluruh keturunan perkawinan dari tetua cacat x cacat adalah homozigot untuk gen resesif, tapi hanya 98% yang menunjukkan efek gen.

Hasil tersebut telah menyebabkan digunakannya istilah penetrasi, dimana proporsi ternak dengan genotipe tertentu yang menunjukkan fenotipe normal dihubungkan dengan genotipe tersebut. Sebagai contoh, hasil di atas menunjukkan penetrasi genotipe homozigot resesif 98%. Jika penetrasi kurang dari 100%, disebut penterasi tak lengkap (incomplete penetrance). Dalam kaitannya dengan liabilitas, keberadaan penetrasi tak lengkap berarti bahwa ternak dengan genotipe sama (aa) bisa mempunyai

(4)

liabilitas berbeda, yaitu ternak penderita MHS yang mempunyai liabilitas pada bagian cacat dari batas ambang, dan ternak normal yang mempunyai liabilitas pada sisi lain dari batas ambang. Penyebab yang mungkin untuk perbedaan liabilitas ini termasuk variasi faktor non-genetika (lingkungan), seperti keahlian dan pengalaman operator dalam melakukan tes, dan usia ternak pada saat tes (pada babi muda ada kecenderungan terjadi salah pengelompokan). Ada juga beberapa bukti bahwa alel pada lokus lain (tidak diketahui) juga mempengaruhi kesempatan ternak untuk dikelompokkan sebagai MHS setelah tes standar halothane.

Model Multifaktor

Kita akan mulai bagian ini dengan membahas salah satu cacat dalam keluarga yang paling dikenal yaitu, hip dysplasia pada anjing. Dahulu, cacat ini diduga oleh para dokter hewan dan pemulia disebabkan oleh gen tunggal, autosom, resesif. Dalam beberapa penelitian berbeda mengenai hip dysplasia pada anjing Jerman Shepherd, hasil perkawinan cacat x cacat rata-rata 86 % anak adalah cacat. Perkawinan serupa pada Labrador cacat x cacat menghasilkan rata-rata 63% anak cacat.

Jika kita menggunakan argumen yang sama seperti sebelumnya untuk MHS pada babi, kita dapat menghubungkan hip dysplasia dengan gen resesif (a) dengan 86% penetrasi pada Jerman Shepherd dan 63% penetrasi pada Labrador. Pada kasus selanjutnya, sebagai contoh, kita bisa memiliki 63% Labrador aa dengan liabilitas cukup tinggi untuk ditempatkan pada sisi cacat dari batas ambang dan 37% dengan liabilitas yang cukup rendah untuk ditempatkan pada sisi normal. Seperti MHS pada babi, kita bisa bertanya: faktor apa saja yang mungkin bertanggung jawab untuk perbedaan dalam liabilitas ini di antara ternak bergenotip aa?

Karena hip dysplasia ditentukan dengan evaluasi subjektif dari radiograf (Gambar 6.2) atau dengan palpasi, misklasifikasi merupakan satu faktor. Faktor lainnya seperti tingkat pemberian pakan, keseimbangan

dietary electrolyte, dan kesinambungan latihan selama pertumbuhan awal telah ditunjukkan dapat mempengaruhi liabilitas ternak pada hip dysplasia. Perbedaan liabilitas dapat juga menyebabkan sebagian aksi alel pada lokus lain yang dengan cara bervariasi menentukan cara hip joint terbentuk.

Situasi ini sekarang terlihat seperti ditunjukkan pada Gambar 6.3 dimana ada bentuk lonceng atau distibusi Normal dari nilai liabilitas untuk ternak aa. Ternak yang kelebihan makan dan kelebihan latihan, dan mempunyai alel pada lokus lain yang cenderung menghasilkan ill-fitting hip joints, mempunyai liabilitas relatif tinggi. Ternak dengan beberapa faktor

predisposing ini lebih umum daripada dengan seluruh faktor disposing, yang menjelaskan catatan untuk peningkatan frekuensi ternak dengan liabilitas

(5)

lebih dekat pada titik tengah distribusi. Liabilitas yang sama diharapkan pada sisi lain dari titik tengah: ternak diberikan pakan yang paling disukai dan sistem latihan yang paling sesuai, dan juga yang mempunyai alel pada lokus lain yang cenderung menghasilkan suara pada persendian tulang paha, mempunyai liabilitas lebih rendah. Tapi ternak seperti itu kurang umum dibandingkan dengan ternak yang hanya memiliki beberapa faktor untuk menjalankan penurunan liabilitas.

Gambar 6.2. Radiograf persendian tulang paha anjing normal (kiri) dan hip (kanan)

yang menunjukkan bilateral coxofemoral subluxation karena

ketidak-stabilan atau kelemahan yang merupakan gejala awal hip dysplasia pada

anjing.

Aspek penting untuk dipahami adalah bahwa ternak apapun yang mempunyai nilai liabilitas kurang dari nilai ambang batas, dengan berbagai kombinasi antara faktor lingkungan dan genetika, tidak akan menyebabkan

hip dysplasia.

Ketika sebuah sifat ditentukan oleh kombinasi efek dari beberapa faktor, baik faktor genetika maupun lingkungan, ini disebut multifaktor. Pada umumnya, jika ada indikasi awal mengenai dugaan pada pewarisan gen tunggal, akan lebih sesuai untuk menggambarkan cacat sebagai multifaktor dibandingkan membahasnya dalam bentuk lokus tunggal dengan penetrasi tak lengkap.

Untuk memahami hubungan antara kedua metode yang menggambarkan pewarisan sifat untuk semua atau tidak sama sekali (

(6)

all-or-none) ini, kita harus memperluas konsep yang diilustrasikan pada Gambar 6.3.

Gambar 6.3. Konsep liabilitasdan threshold untuk cacat gen tunggal, autosom, resesif

dimana genotipe homozigot resesif (aa) mempunyai penetrasi tak

lengkap. Dalam kasus khusus ini pada level 63%.

Jika alel pada lokus lain dan/atau faktor lingkungan menghasilkan distribusi normal liabilitas untuk homozigot aa seperti Gambar 6.3, maka beralasan untuk menduga distribusi yang sama pada liabilitas untuk genotipe AA dan Aa, seperti ditunjukkan pada Gambar 6.4. Jika dominan tidak lengkap (yaitu rata-rata liabilitas heterozigot adalah diantara rata-rata liabilitas homozigot), ada overlap yang tinggi dari distribusi liabilitas di antara tiga genotipe, yang menyebabkan distribusi liabilitas overall (garis tebal pada Gambar 6.4) mendekati distribusi Normal tunggal, dimana distribusi diharapkan untuk cacat multifaktor.

Dalam pembahasan di atas, kita mengawali dengan menganggap hip dysplasia sebagai cacat gen tunggal dengan penetrasi tak lengkap, dan menutupnya dengan menggambarkannya sebagai multifaktor. Deskripsi atau model mana yang paling cocok? Sudah jelas bahwa model terakhir lebih mendekati dibandingkan dengan yang pertama. Tentunya ada banyak

(7)

faktor non-genetika yang memberi kontribusi liabilitas terhadap hip dysplasia, dan ada permulaan yang sangat luas dari pewarisan gen tunggal, yang kurang berarti untuk menjelaskan pewarisan hip dysplasia dalam bentuk lokus tunggal dengan penetrasi tak lengkap.

Gambar6.4. Kesamaan antara model gen tunggal dengan dominansi penetrasi tak

lengkap (garis putus-putus), dan model multifaktor (garis utuh). Garis utuh menunjukkan frekuensi total ternak dengan liabilitas tertentu, dan diperoleh dengan menjumlahkan frekuensi tiga genotipe dari model gen tunggal.

Satu keunggulan model multifaktor adalah bahwa model ini memungkinkan dugaan sederhana dibuat dari kepentingan relatif faktor genetika dan lingkungan sebagai kontributor pada etiologi suatu cacat. Ini telah dilakukan dengan menduga sebuah parameter yang disebut heritabilitas, yang untuk tujuan ini didefinisikan sebagai proporsi dari variasi total dalam sebuah sifat yang bisa dikaitkan dengan variasi dalam faktor genetik.

Pada kasus ini, sifat tersebut adalah liabilitas. Variasi liabilitas mengacu pada perbedaan antar ternak pada liabilitas terhadap cacat tertentu. Dengan demikian, heritabilitas dari liabilitas adalah proporsi perbedaan dalam liabilitas yang disebabkan oleh perbedaan genetik antar ternak.

(8)

Sebagian besar cacat dalam keluarga mempunyai heritabilitas tengah (intermediate) yang menunjukkan bahwa faktor lingkungan dan genetik memberikan kontribusi pada etiologinya.

Lebih dari Satu Batas Ambang

Penyakit jantung bawaan terjadi dalam berbagai bentuk, yang paling penting adalah yang diturunkan dalam keluarga pada manusia dan ternak. Dalam suatu analisis ekstensif dan sangat teliti yang dilakukan oleh Don Peterson dan teman-teman, pewarisan dari penyakit jantung bawaan pada anjing telah didemonstrasikan secara jelas untuk dapat digabungkan dengan model multifaktor.

Penyakit jantung bawaan yang paling umum adalah patent ductus arteriosus (PDA) yang dihasilkan dari ketidaksempurnaan penutupan ductus arterious.

Seperti banyak cacat lainnya yang dapat digabungkan dengan model multifaktor, ketidaksempurnaan penutupan ductus arterious merupakan fenomena terukur dengan meningkatnya tingkat keparahan yang berhubungan dengan peningkatan liabilitas.

Ini diindikasikan secara jelas dari hasil berbagai perkawinan antar

Poodles, yang menghasilkan beberapa keturunan normal, sedangkan lainnya dengan penutupan sebagian (disebut ductus diverticulum atau DD), dan lainnya lagi dengan PDA. Adanya tiga tingkat ini dapat direpresentasikan dalam model multifaktor dengan dua batas ambang, seperti diilustrasikan pada Gambar 6.5a. Dalam kasus ini perkawinan PDA x PDA menghasilkan 66% keturunan dengan PDA, 17% dengan DD, dan 17% keturunan normal.

Bahkan suatu pengertian yang lebih baik tentang model multifaktor dapat diperoleh dari tipe perkawinan lainnya, yang hasilnya juga diberikan pada Gambar 6.5.

Dari sudut pandang praktis, perbedaan kejadian keturunan cacat dari dua jenis perkawinan yang melibatkan anjing normal merupakan sesuatu yang sangat penting: anjing normal yang berkerabat dekat dengan anjing cacat (Gambar 6.5.b) menghasilkan lebih dari tiga kali terjadinya keturunan cacat, dan lebih dari empat kali terjadinya keturunan cacat parah, jika dibandingkan dengan anjing normal yang tidak berkerabat dekat dengan anjing cacat (Gambar 6.5c)

Pada umumnya, kecenderungan ternak normal menghasilkan turunan cacat dan tingkat keparahannya diantara turunannya yang cacat, tergantung pada seberapa dekat kekerabatan antara ternak normal tersebut dengan ternak cacat.

(9)

Kesimpulan penting ini adalah konsekuensi langsung dari model multifaktor.

Bentuk lain penyakit jantung bawaan yang relatif umum, conotruncal septum defects (CSD) pada Keeshond, secara jelas menggambarkan implikasi penting lainnya dari model multifaktor, yaitu bahwa frekuensi dan tingkat keparahan cacat paling besar akan terjadi di antara saudara dari ternak yang cacatnya lebih parah.

Cacat conotruncal septum yang secara khusus berguna pada konteks ini, bisa dibagi menjadi empat tingkat keparahan yang berbeda seperti digambarkan pada Gambar 6.6. Jika CSD disebabkan gen tunggal, adanya lebih dari satu tingkat keparahan cacat mengindikasikan adanya variable expressivity gen tersebut. Tapi kasus yang mungkin dari ekspresivitas variabel tersebut adalah sama seperti pada penetrasi tak lengkap: faktor lingkungan, alel pada lokus lain, atau kombinasi keduanya. Oleh karena itu, pada umumnya, cacat gen tunggal dengan ekspresivitas variabel dapat lebih bermanfaat untuk diperhatikan sebagai multifaktor.

(10)

Gambar 6.5 Tampilan grafis dari tiga populasi Poodles (a) dari perkawinan PDA x PDA; (b) perkawinan PDA x normal, dimana induk normal memiliki hubungan dekat dengan ternak cacat, yakni: tetua atau anak atau saudara laki-laki kandung atau saudara perempuan kandung; (c) perkawinan PDA x normal , dimana tetua normal tidak memiliki hubungan dekat dengan ternak cacat. Posisi distribusi relatif pada threshold ditentukan dengan kejadian setiap tingkat cacat.

Gambar 6.6. Rangkaian tingkat cacat conotruncal septum pada anjing Keenshond.

Dari perkawinan ekstensif di antara Keeshond dengan tingkat CSD yang bervariasi, keseluruhan kejadian CSD dan kejadian tiap tingkat dari CSD pada turunan ditentukan untuk jenis variasi perkawinan, berdasarkan tingkat rata-rata CSD tetua. Hasil CSD secara keseluruhan dan untuk kejadian bentuk paling parah (tingkat 3) ditunjukkan pada Gambar 6.7. Ini adalah bukti bahwa frekuensi keseluruhan CSD dan frekuensi tingkat 3 hampir proporsional terhadap rata-rata tingkat keparahan tetua. Secara keseluruhan hasil ini konsisten dengan model multifaktor, dimana frekuensi dan tingkat keparahan saudara pada ternak cacat diharapkan meningkat seiring dengan meningkatnya liabilitas.

Beberapa Poin Akhir

Heritabilitas

Karena konsep heritabilitas diperkenalkan ketika model multifaktor diperkenalkan, bisa diduga bahwa heritabilitas merupakan konsep yang

(11)

valid hanya dalam hubungannya dengan sifat multifaktor. Tapi ini tidak begitu: kenyataannya itu merupakan suatu parameter valid yang sama untuk semua sifat apa saja (termasuk cacat) yang ditentukan oleh gen tunggal.

Seperti telah diperkenalkan pada awal bab ini, heritabilitas 100% untuk semua sifat ditentukan oleh lokus tunggal, sebab seluruh perbedaan fenotipe antar hewan dalam hubungannya dengan sifat-sifat tersebut disebabkan perbedaan genotipe pada lokus yang ditanyakan. Saat heritabilitas ditetapkan pada pengertian ini, kita mengacunya sebagai heritabilitas dalam arti yang luas atau tingkat determinasi genetik.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0

Average severity of CSD in parent

in c idend e in o ff s pr in g All grades of CSD (1+2+3) Grade 3 CSD

Gambar 6.7. Kejadian keseluruhan dari conotruncal septum defects atau CSD (tingkat 1, 2, dan 3) dan kejadian CSD tingkat 3 pada turunan, sebagai fungsi dari rata-rata tingkat keparahan dari CSD pada tetua.

Meskipun demikian, ada pengertian lain dimana istilah heritabilitas digunakan. Dikenal dengan heritabilitas dalam arti sempit, itu melukiskan seberapa jauh fenotipe dipindahkan dari tetua pada turunannya. Dengan

(12)

kata lain, ini melukiskan seberapa jauh turunan menyerupai tetuanya atau dalam bentuk lebih umum, seberapa jauh diantara sesaudara menyerupai satu sama lain.

Karena kita sangat tertarik dalam memahami dan menduga bagaimana sifat-sifat dipindahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, heritabilitas dalam arti sempit lebih berguna dibandingkan heritabilitas dalam arti luas. Kenyataannya, kapanpun kita menemui kata 'heritabilitas’ itu sendiri, kita dapat mengartikannya sebagai heritabilitas dalam arti sempit, kecuali dinyatakan sebaliknya.

Pendugaan heritabilitas melibatkan penggunaan teknik statistika untuk menduga seberapa jauh diantara sesaudara menyerupai satu sama lain untuk sifat yang diinginkan, dibandingkan dengan hewan yang tidak ada hubungan kekerabatan. Metodologi yang sebenarnya bukan urusan mudah, dan penjelasan tentang metode tersebut di luar cakupan buku ini. Tabel 6.1. Nilai representatif heritabilitas dari liabilitas, yang diekspresikan

dengan persentase. Karena ada keragaman cukup tinggi dalam pendugaan aktualnya, nilai telah dibulatkan ke 5% terdekat).

Sapi Nilai Bloat 10 Cystic ovaries 10 Displaced abomasum 10 Foot problems 10 Ketosis 20 Leg problems 10 Metritis 5 Milk fever 40 Retained placenta 5 Ayam Tibial dyschondroplasia 45 Anjing

Calcified intervertebral discs 20

Elbow osteochondrosis 50

Hip dysplasia 35

Itik

Chronic interstitial nephropathy 45

(13)

Osteochondrosis in the tibiotarsal joint 50

Bony fragments in the palmar plantar portion of the metacarpophalangeal

and metatarsophalangeal joints 20

Babi

Cryptorchidism 55

Hernia 50

Kalkun

Tibial dyschondroplasia 15

Tabel 6.1 menunjukkan daftar beberapa nilai representatif heritabilitas dari liabilitas untuk berbagai macam cacat pada ternak domestik. Kepentingan praktis dari tabel ini adalah jika heritabilitas dari liabilitas lebih besar dari nol, maka dimungkinkan untuk menurunkan kejadian cacat melalui seleksi; dan semakin tinggi heritabilitas, semakin besar respon seleksi. Penggunaan seleksi untuk mengontrol cacat yang diwariskan telah dibahas pada Bab 11.

Penetrasi dan ekspresivitas

Kita telah melihat pada bab ini bahwa konsep penetrasi tak lengkap dan ekspresivitas variabel sering digunakan untuk menjelaskan beberapa permulaan dari pewarisan gen tunggal sederhana. Dalam banyak kondisi, ini merupakan suatu pendekatan yang secara keseluruhan valid dan bermanfaat. Namun demikian, dengan sedikit manipulasi, sebagian besar data tentang sebagian besar cacat dapat dibuat untuk mencocokkan model gen tunggal dengan memilih nilai penetrasi yang sesuai untuk setiap genotipe, dengan mendalilkan sejumlah tertentu dominansi tak lengkap dan jika perlu dengan melibatkan ekspresivitas variabel juga. Tapi dengan melaksanakan ini, apakah kita lebih bijak? Kerugian untuk terus berpikir dalam hal model gen tunggal jika secara jelas data tersebut tidak sesuai dengan model gen tunggal, adalah bahwa kita terus berpikir dalam hal

carrier dari gen tunggal, dan oleh karenanya kita cenderung untuk percaya bahwa jika kita dapat menghilangkan gen tersebut, cacat akan hilang.. Pendekatan ini akan menyebabkan kekecewaan besar bagi pemulia. Sebaliknya, dengan menilai cacat sebagai multifaktor, kita bisa melupakan mengenai pendeteksian carrier atau menghilangkan gen dari suatu populasi, dan memusatkan pada tugas-tugas yang lebih bermanfaat. Untuk cacat-cacat seperti itu, keinginan kita untuk menggunakan ternak cacat dari perkawinan apapun akan bergantung pada keparahan cacat itu sendiri dan pada hubungannya dengan ternak-ternak cacat lainnya. Kita tidak akan membuang waktu kita mencari rasio Mendel. Alih-alih, kita akan berlanjut dengan berbagai perkawinan, dengan menggunakan kejadian ternak-ternak

(14)

cacat yang diperoleh dalam perkawinan sebelumnya dari tipe tersebut sebagai pedoman kita

Sebagai tambahan, dengan memikirkan istilah model multifaktor untuk cacat tersebut, kita akan menghindari kesalahan konsep yang biasanya terjadi bahwa jika pewarisan cacat tidak sesuai dengan pewarisan dominan sederhana atau resesif sederhana, model pewarisannya tidak diketahui. Kenyataannya, model pewarisan telah diketahui, dan rencana pemuliaan yang tepat untuk pengurangan kejadian cacat tertentu bisa digambarkan dengan mudah dan dipraktekkan berdasarkan pengertian itu (seperti dijelaskan pada Bab 11).

Resolusi masa depan dari faktor-faktor ganda

Tujuan utama penelitian dalam cacat multifaktor adalah untuk mengindentifikasi faktor-faktor penting, lingkungan dan genetik, yang menentukan liabilitas. Kemajuan besar telah dibuat dalam bidang ini, terutama mengenai faktor-faktor lingkungan. Semakin banyak kemajuan dapat diharapkan di masa depan. Pada sisi genetik, sebagai contoh, banyak upaya dicurahkan untuk mencari gen tunggal yang membuat kontribusi utama pada variasi dalam liabilitas. Hal ini telah dilaksanakan dengan menganalisis kejadian cacat dalam keluarga (disebut analisis segregasi kompleks; lihat Bab 7). Sayangnya, ini adalah ilmu yang tidak pasti, dan beberapa tuntutan atas gen tunggal yang telah diidentifikasi tidak akan tetap. Walaupun demikian, seperti digambarkan pada Bab 7, metode analisis berkembang cepat, dan penelitian akan menjadi lebih efektif di masa depan. Dengan bertambahnya anggota-anggota keluarga dimana cacat yang terjadi menjadi genotipe untuk penanda DNA, memungkinkan diadakannya analisis keterpautan antara penanda dan fenotipe cacat. Ini mengantarkan pada identifikasi penanda DNA yang dihubungkan dengan cacat, dan pada akhirnya mengidentifikasi gen-gen yang memegang peranan penting dalam menentukan liabilitas terhadap cacat tersebut (lihat Bab 11).

Penting untuk dicatat bahwa penemuan gen tunggal atau bahkan beberapa gen yang mengkontribusikan variasi liabilitas untuk cacat tidak menggugurkan konsep multifaktor, dan tidak menghilangkan kebutuhan untuk mengendalikan program berdasarkan model multifaktor. Meskipun demikian, pengetahuan tentang penanda DNA yang terkait dengan liabilitas, dan gen-gen yang berkontribusi pada liabilitas, bisa digunakan untuk meningkatkan efektivitas mengendalikan program.

Resiko kambuh lagi

Pada beberapa kesempatan dalam bab ini, kita telah berbicara tentang persentase turunan cacat akibat dari jenis perkawinan tertentu. Persentase

(15)

ini disebut resiko kambuh lagi (recurrence risk), sebab mereka memberikan indikasi resiko cacat tertentu yang timbul kembali (yaitu terjadi lagi), jika jenis pekawinan itu diulangi. Resiko kemunculan kembali yang disajikan dalam bab ini disebut empirical recurrence risk, sebab kejadian itu telah diperoleh dengan cara mengobservasi hasil-hasil perkawinan yang actual.

Empirical recurrence risk bisa sangat berguna dalam perencanaan dan pengadaan program pemuliaan yang bertujuan mengurangi frekuensi cacat tertentu. Sebagai contoh, gambaran untuk kejadian CSD yang ditunjukkan dalam Gambar 6.7, yang betul-betul empirical recurrence risk, secara jelas menunjukkan bahwa frekuensi semua tingkatan CSD akan menurun paling cepat dengan mengawinkan hanya dari tetua yang tidak memiliki tanda-tanda CSD. Jika ini tidak mungkin, misalnya karena kejadian CSD sangat tinggi pada populasi anjing tertentu, empirical recurrence risk pada Gambar 6.7 menunjukkan bahwa pemulia seharusnya memiliki tujuan untuk perkawinan dimana rata-rata tingkat keparahan CSD serendah mungkin.

Meskipun demikian, ada keterbatasan untuk empirical recurrence risk, misalnya mereka tidak bisa menunjukkan resiko untuk jenis perkawinan yang catatan mengenai anak-anaknya tidak tersedia saat ini.

Keadaan yang merugikan ini bisa diatasi dengan menggunakan theoretical recurrence risk, yang merupakan prediksi yang diperoleh secara langsung dari model gen tunggal atau model multifaktor, yang sesuai. Karena prediksi itu diduga dari model, theoretical recurrence risk bisa dihitung untuk jenis perkawinan apapun yang mungkin, apakah perkawinan itu pernah terjadi sebelumnya atau tidak. Pada kasus paling sederhana,

theoretical recurrence risk sama dengan rasio segregasi untuk model gen tunggal, dan, untuk model multifaktor, resiko itu bisa dihitung dari kejadian dalam populasi dan heritabilitas. Namun demikian, pada sebagian besar kasus, penghitungan theoretical recurrence risk sangat rumit yang di luar cakupan buku ini, dan sebaiknya diserahkan ke orang-orang yang berpengalaman di wilayah ini.

Bacaan Lebih Lanjut

Umum

Falconer, D. S. (1989). Introduction to quantitative genetics, (3rd edn), Chapter 18. Longman, London.

Patterson, D. F., Haskins, M. E., Jezyk, P. F., Giger, U., Meyers-Wallen, V. N., Aguirre, G., Fyfe, J. C., and Wolfe, J. H. (1988). Research on genetic diseases: reciprocal benefits to animals and man. Journal of the American Veterinary Medical Association, 193, 1131--44.

(16)

Hip dysplasia

Brass, W. (1989). Hip dysplasia in dogs. Journal of Small Animal Practice, 30, 166--70.

Rettenmaier, J. L. and Constantinescu, G. M. (1991). Canine hip dysplasia.

Compendium on Continuing Education for the Practicing Veterinarian, 13, 643--54.

Penyakit jantung bawaan

Darke, P. G. G. (1989). Congenital heart disease in dogs and cats. Journal of Small Animal Practice, 30, 599.

Patterson, D. F. (1989). Hereditary congenital heart defects in dogs. Journal of Small Animal Practice, 30, 153--65.

Gambar

Gambar 6.1. Konsep liabilitas dan threshold untuk cacat gen tunggal, resesif, autosom
Gambar 6.2.  Radiograf persendian tulang paha anjing normal (kiri) dan hip (kanan)  yang menunjukkan bilateral coxofemoral subluxation karena  ketidak-stabilan atau kelemahan yang merupakan gejala awal hip dysplasia pada  anjing
Gambar 6.3.  Konsep liabilitas dan threshold untuk cacat gen tunggal, autosom, resesif  dimana genotipe homozigot resesif (aa) mempunyai penetrasi tak  lengkap
Gambar 6.5 Tampilan grafis dari tiga populasi Poodles (a) dari perkawinan PDA x  PDA; (b) perkawinan PDA x normal, dimana induk normal memiliki  hubungan dekat dengan ternak cacat, yakni: tetua atau anak atau  saudara laki-laki kandung atau saudara perempu
+4

Referensi

Dokumen terkait

kecemasan yang ditanam oleh dirinya sendiri. Atlet akan dituntut oleh diri sendiri untuk mewujudkan sesuatu yang mungkin berada di luar kemampuannya. Keadaan ini

Menurut Jorgensen dan Stedman (2001) terdapat tiga konsep utama dari sense of place untuk memahami hubungan antara suatu tempat atau lokasi dengan individu,

bahwa Peraturan Bupati Bantul Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul sebagaimana telah diubah

Dari hasil penelitian tersebut di atas pengetahuan responden sangat berpengaruh terhadap penggunaan alat kontrasepsi melihat data analisis jumlah responden

Oleh sebab itu, 20th Pesta Buku Jakarta 200 menjadi ajang promosi yang baik tidak hanya bagi penerbit dan pemangku kepentingan dunia perbukuan, tetapi sarana yang sangat tepat bagi

Tabel 2 : Kinetika pertumbuhan isolat bakteri pada medium mengandung berbagai konsentrasi metil merkuri klorida (CH 3 HgCl)... Identifikasi Bakteri

Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa sapi Bali (Bos javanicus) memiliki kemampuan yang lebih baik dengan sapi Simmental (Bos taurus) dalam melakukan

Sebuah cara kreatif, inovatif, dan solutif mahasisa Pendidikan Biologi yang tergabung dalam suatu organisasi Himpunan Mahasiswa Biologi Formica, menjadikan semangat baru