• Tidak ada hasil yang ditemukan

Inkontinensia Urin pada Geriatri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Inkontinensia Urin pada Geriatri"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Inkontinensia Urin pada Geriatri

Nevy Olianovi (102013101)

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Telephone: (021) 5694-2061, fax: (021) 563-1731 nevy.olianovi@yahoo.com

Abstrak

Inkontinensia urin merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Gejala inkontinensia urin tergantung pada jenis kondisi yang dimiliki. Ada 2 jenis inkontinensia urin, pertama yaitu inkontinensia stres. Bisa dikatakan inkontinensia stres ketika otot-otot dasar panggul terlalu lemah untuk mencegah buang air kecil, yang menyebabkan urin bocor ketika kandung kemih berada di bawah tekanan, misalnya ketika batuk atau tertawa. Yang kedua yaitu inkontinensia urgensi. Inkontinensia urgensi terjadi ketika kebocoran urin saat merasakan dorongan kuat untuk buang air kecil. Hal ini juga memungkinkan terjadi inkontinensia campuran (inkontinensia stres dan inkontinensia urgensi). Komplikasi yang dapat menyertai inkontinensia urin adalah infeksi saluran kemih, lecet pada area pantat sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer, serta dehidrasi akibat kurang asupan air.

Kata kunci: inkontinensia stres, inkontinensia urgensi, urin

Abstract

Urinary incontinence is one of the main complains in patients with advanced age. Urinary incontinence symptomps depend on the type of condition you have. There are two types of urinary incontinence, the first is stress incontinence. Stress incontinence can be said when the pelvic floor muscles are too weak to prevent urination, which causes urine to leak when the bladder is under pressure, for example when coughing or laughing. The second is urge incontinence. Urge incontinence occurs when urine leaks when she felt a strong urge to urinate. It also allows the case of mixed incontinence (stress incontinence and urge incontinence). Complications that can accompany urinary incontinence is a urinary tract infection, blisters on the buttocks area until decubitus ulcers because it is always moist, falls and fractures due to slip by urine were scattered, and dehydration due to lack of water intake.

(2)

Pendahuluan

Inkontinensia urin adalah masalah yang sangat umum dan dianggap mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Kebanyakan penderita menganggap inkontinensia urin adalah akibat yang wajar dari proses usia lanjut, dan tidak ada yang dapat dikerjakan kecuali dengan tindakan pembedahan dan umumnya orang tidak menyukai tindakan ini.1

Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut juga bisa menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir akan mengompol. Untuk itu, makalah ini dibuat, agar pembaca dapat lebih mengerti dan memahami penyebab, gejala, patofisiologi, penatalaksanaannya serta hal-hal lainnnya yang berkaitan dengan inkontinensia urin.

Anamnesis

Kemahiran mengambil anamnesis tentang keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang pasien memerlukan kecermatan supaya jangan sampai informasi mengenai keluhan utama justru bukan keluhan utama sebenarnya. Bagi pasien dengan masalah inkontinensia urin, yang perlu ditanyakan semasa anamnesa adalah:2

a. Identitas pasien

- Nama lengkap, tempat/tanggal lahir, status perkawinan, pekerjaaan, suku bangsa, agama, pendidikan dan alamat tempat tinggal.

- Digunakan untuk data penelitian, asuransi, dan sebagainya. b. Keluhan utama

- Keluhan yang mendorong pasien untuk berobat. Contoh dari kasus: tidak dapat menahan kencing.

c. Keluhan penyerta

- Keluhan lain yang dirasakan pasien selain keluhan utama. Pada kasus, pasien merasakan nyeri sendi lutut pada saat berjalan.

d. Riwayat penyakit sekarang

- Merupakan ceritera yang kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan.

- Bagi masalah inkontinensia urin, hal-hal yang ditanyakan adalah:

 Lama inkontinensia

 Keadaan yang menyebabkan kebocoran urin: rasa urgensi, batuk, tegang.

(3)

 Gejala berkemih: aliran urin yang keluar lambat, hanya keluar beberapa tetes urin.

e. Riwayat penyakit dahulu

- Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.

f. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi traktus urinarius bagian bawah.

Pemeriksaan Fisik

Pada kasus didapati seorang wanita 70 tahun datang dengan keluhan sering tidak dapat menahan keinginan berkemih sehingga sering miksi di celana terutama saat tertawa hingga kemudian miksi tanpa sadar. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis dengan berat badan 60 kg dan tinggi badan 150 cm. Denyut nadi 85 kali/menit dengan tekanan darah 130/80 mmHg serta suhu 37oC dan respiratory rate 20 kali/menit.

Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, pelvis, rectum, dan evaluasi persyaratan lumbosakral. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.3

Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan ialah palpasi dan perkusi. Pada kebanyakan pasien, kandung kemih yang terdistensi dapat dipalpasi. Perkusi untuk mendeteksi kandung kemih yang terdistensi dapat membantu pada pasien yang kurus tetapi mempunyai sedikit atau tidak mempunyai manfaat pada pasien yang gemuk. Pemeriksaan pelvis pada perempuan juga penting untuk menemukan beberapa kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penanganan pasien yang holistic. Pencatatan aktivitas berkemih baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap dapat membantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta evaluasi respon terapi.3,4

Pemeriksaan Penunjang 1. Urinalysis

(4)

Urinalysis dapat berguna untuk menghapuskan diagnosis banding seperti urinary tract infection yang merupakan suatu reaksi inflamasi lokal yang dapat menyebabkan tidak terhambatnya kontraksi kandung kemih akibat endotoksin yang diproduksi oleh bakteri yang memiliki alpha-blocking effect pada sphincter uretra sehingga menurunkan tekanan intrauretra yang kemudian berujung pada inkontinensia urin.5

2. Pemeriksaan Cystometry

Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk mengevaluasi pengisian dan penyimpanan urin pada kandung kemih. Cystometogram merupakan suatu hasil dari

cystometry yang merupakan kurva dari tekanan atau volume intravesikal dengan cara pengisian kandung kemih dengan air steril atau karbon dioksida pada laju infusi konstan sambil memonitor perubahan tekanan intravesikal. Pasien harus menahan setiap rasa ingin berkemihnya selama pemeriksaan berlangsung. Kontraksi muskulus detrusor yang melebihi 15 cm H2O dianggap kondisi abnormal. Data yang didapat pada grafik terdiri dari lima fase yakni sensasi propriosepsi, sensasi merasa kandung kemih penuh, sensasi ingin berkemih, munculnya kontraksi muskulus detrusor volunter dan kemampuan untuk menghentikan kontraksi muskulus detrusor. Kondisi negatif dapat merupakan salah satu indikasi adanya inkontinensia urin.6

3. Tes diagnostik lanjutan

Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah:8

 Tes urodinamik: untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah.

 Tes tekanan urethra: mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis.

 Imaging: tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah. Working Diagnosis

Berdasarkan kasus yang ada dapat disimpulkan bahwa ibu tersebut menderita inkontinensia campuran. Yaitu jenis inkontinensia gabungan antara inkontinensia urgensi dan inkontinensia stress.

Inkontinensia urgensi disebabkan oleh aktivitas kandung kemih yang berlebihan. Inkontinensia tipe urgensi ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah

(5)

sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa urgensi, frekuensi dan nokturia. Kelainan ini dibagi menjadi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik.3

Subtipe motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti yang terjadi pada stroke, parkinsonism, tumor otak dan sklerosis multipel maupun adanya lesi pada medula spinalis daerah suprasakral. Subtipe sensorik dapat disebabkan oleh hipersensitivas kandung kemih akibat cystisis, uretritis dan diverkulitis.3

Sedangkan inkontinensia stress disebabkan pengaruh melemahnya otot dasar panggul. Hal ini dapat terjadi pada lansia karena pengaruh umur yang menyebabkan semakin lemahnya fungsi otot-otot panggul. Faktor resiko sebagai wanita juga meningkatkan kemungkinan terjadinya inkontinensia stress. Wanita yang sering hamil dan melahirkan akan membutuhkan kerja otot panggul yang lebih sering untuk menahan janin selama usia kehamilan dan untuk membantu kontraksi pada proses partus atau melahirkan. Peningkatan resiko pada wanita lansia juga dapat disebabkan karena penurunan kerja hormon estrogen pasca menopause.1,3

Differential Diagnosis Inkontinensia Overflow

Inkontinensia ini paling jarang dijumpai. Dapat idiopatik atau akibat gangguan persyarafan sacrum (neurogenic bladder). Bila mengakibatkan inkontinensia, ditandai dengan sering berkemih, malam hari lebih sering, dengan jumlah urin sedikit-sedikit. Sisa urin residu setelah berkemih (biasanya sekitar 450 cc) yang membedakannya dari inkontinensia tipe urgensi dan tipe stress.1

Inkontinensia Fungsional

Ditandai dengan keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun macam-macam hambatan situasi atau lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor-faktor psikologi seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe fungsional ini.1

Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung

(6)

kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih.9

Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan atau keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti kafein.9

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Obat-obatan ini bisa sebagai ‘biang keladi’ mengompol pada orang-orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian obat.9

Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urin juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.9

Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko

(7)

terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.9

Gejala Klinis

Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan telah diketahui mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar estrogen pada perempuan dan hormone androgen pada laki-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi dan mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel.3

Atrofi mukosa, perubahan vascularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan out-flow. Pada laki-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina.3

Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul mempunyai peran penting dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan oleh banyak factor baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi, denervasi neurologic).3

Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua pada sistem urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekanan atau tekanan akhiran kemih keluar serta perubahan struktur anatomi dan fisiologis merupakan factor contributor terjadinya inkontinensia tipe stress, urgensi, dan luapan (overflow).3

(8)

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik yakni fase penyimpanan dan fase pengosongan. Ketika pengisian kandung kemih terjadi, otot dalam kandung kemih yang dinamakan muskulus detrusor berelaksasi, sebaliknya saat pengosongan. Kontraksi kandung kemih disebabkan karena aktivitas parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sphincter uretra internal akan tertutup karena akvitas saraf simpatis yang dipicu oleh nor-adrenalin.3

Inervasi sphincter uretra interna dan eksterna terjadi oleh persarafan nervus pudendal somatik setinggi sakral 4. Pada inkontinensia urin, inervasi tidak terjadi dengan baik menyebabkan uretra tidak dapat menutup dengan baik sehingga urin dapat keluar, yang dapat menyebkan inkontinensia urin tipe urgensi akibat tidak dapat menahan keinginan berkemih dan dengan melemasnya sphincter uretra eksterna (dipersarafi oleh saraf motorik). Sebaliknya, dengan pemberian adrenergik-alfa dapat menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Atau apabila adanya tekanan intra abdomen dan kandung kemih yang penuh serta dengan otot serat dasar pelvis yang tidak suportif lagi menyebabkan urin dapat keluar menyebabkan inkontinensia stress (akibat adanya tekanan intra abdominal yang naik).3

Epidemiologi

Kasus inkontinensia urin cenderung tidak dilaporkan, karena penderita merasa malu dan menganggap tidak ada yang dapat dilakukan untuk menolongnya. Penderita juga mendapat benturan sosial yaitu kondisi masyarakat sekitar yang akan menjauhinya bila ia diketahui menderita penyakit ini. Penelitian epidemiologi terhadap penyakit ini pun sulit untuk dilakukan karena beragamnya subjek penelitian, metode kuisioner dan definisi inkontinensia yang digunakan. Namun secara umum prevalensinya meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Sekitar 50% lansia di instalasi perawatan kronis dan 11-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Sedangkan berdasarkan gender, penyakit ini cenderung lebih sering dialami oleh wanita dengan perbandingan 1,5 : 1 terhadap pria.3

Berdasarkan survei oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSCM tahun 2002 pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga di Jakarta, didapati bahwa angka inkontinensia stress mencapai 32,2%. Sedangkan survei yang dilakukan oleh Poliklinik Geriatri RSCM pada tahun 2003 terhadap 179 pasien didapati angka kejadian inkontinensia urin stress pada laki-laki sebesar 20,5% dan pada perempuan sebesar 32,5%.3

Pada penelitian yang dilakukan di Australia, didapatkan 7% pria dan 12% wanita diatas usia 70 tahun mengalami inkontinensia. Sedangkan mereka yang dirawat, terutama di unit psiko-geriatri, 15-50% diantaranya menderita inkontinensia. Sedangkan melalui

(9)

penelitiannya, seorang ahli bernama Fonda mendapatkan 10% pria dan 15% wanita diatas 65 tahun di Australia menderita inkontinensia.1

Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat oleh National Overactive Bladder Evaluation (NOBLE) dengan 5204 orang sebagainya sampelnya, menyimpulkan suatu perkiraan bahwa 14,8 juta perempuan dewasa di Amerika Serikat menderita inkontinensia urin dengan sepertiganya (34,4%) merupakan inkontinensia urin tipe campuran.3

Seorang ahli bernama Dioko serta timnya melakukan penelitian pada 1150 orang secara acak dan mendapati 434 orang diantaranya menderita inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin, didapati bahwa 55,5% diantaranya merupakan tipe campuran, 26,7% merupakan tipe stress saja, 9% tipe urgensi saja dan 8,8% memiliki komplikasi lain.3

Seringkali penderita inkontinensia berpikir dengan mengurangi asupan cairan berupa minuman akan mengurangi frekuensi miksi. Namun hal ini akan berbahaya karena menganggu keseimbangan cairan dan elektrolit. Kapasitas kandung kemih pun semakin lama akan semakin menurun yang justru akan memperberat keluhan inkontinensianya. Sebenarnya bila penyakit ini diobati secara tepat maka inkontinensianya dapat diupayakan menjadi lebih ringan sehingga penderita menjadi lebih nyaman dan memudahkan juga bagi yang merawat serta mengurangi kemungkinan komplikasi serta biaya perawatan.1,3

Penatalaksanaan

Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan dengan inkontinensia urin. Baik penatalaksanaan farmakologis maupun non-farmakologis. Terapi non-medika-mentosa yang biasanya dikerjakan adalah terapi suportif nonspesifiks eperti edukasi, manipulasi lingkungan, serta pads. Juga dapat diberikan intervensi tingkah laku seperti latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih dan lainnya.3 1. Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah:3

Bladder training: melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 kali dalam 1 hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 3-4 jam.

(10)

Habit training: membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.

Promted voiding: dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir).

Biofeedback therapy : melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara: Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik.

Neuromodulasi: merupakan terapi dengan stimulasi saraf sakral. Dengan kegiatan interneuron medulla spinalis atau neuron adrenergik beta yang menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa meuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan inkontinensia yang cukup berhasil.

2. Terapi farmakologi

Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah inikontinensia tersebut. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan menjadi: antikolinergik-antispasmodik, agonis adrenergic α, estrogen topical, dan antagonis adrenergic α. Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin:3

Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping

Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urgensi atau campuran Mulut kering, mata kabur, glaukoma, derilium, konstipasi

Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi atau OAB Mulut kering, konstipasi Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Derilium, hipotensi ortostatik Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, hipertensi Topikal estrogen Urgensi dan Stress Iritasi lokal

Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan Urgensi Hipotensi postural Tamsulosin 1 x 0,4-0,8 mg

(11)

Terazosin 4 x 1-5 mg

Tabel 1. Obat yang digunakan untuk inkontinensia urin3

Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress sekarang telah dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca penggunaan obat ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin karena dapat meningkatkan tekanan sfingter uretra, sehingga dapat menghambat pengeluaran urin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun jarang ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung dan angina.3

3. Tindakan Operasi

Tindakan operasi dilakukan pada wanita dengan inkontinensia tipe stress yang tidak membaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif. Tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan adalah ileosistoplasti dan miektomi detrusor. Teknik pembedahan yang dilakukan untuk inkontinensia tipe stres adalah injectable intraurethral bulking agents, suspensi leher kandung kemih, urethral slings dan artificial urinary sphincters. Sedangkan untuk tipe urgensi adalah augmentation cystoplasty dan juga stimulasi elektrik.3

4. Modalitas Lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia, antara lain:7

Pampers. Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

Kateter. Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih, abses ginjal bahkan proses keganasan pada saluran kemih.

Alat bantu toilet. Seperti urinal dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong

(12)

lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat menyertai inkontinensia urin adalah infeksi saluran kemih, lecet pada area pantat sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer, serta dehidrasi akibat kurang asupan air.3

Prognosis

Baik dengan perawatan yang baik pula dari tim medis. Pada Inkontinensi tipe stress dengan terapi alpha-agonist keadaan dapat membaik sekitar 19-74%, dengan terapi dan operasi dapat membaik sekitar 88%. Sedangkan pada inkontinensi tipe urgensi, keadaan dapat membaik sekitar 75% dengan pelatihan kandung kemih dan 44% dengan obat golongan antikolinergik. Tindakan pembedahan memiliki angka morbiditas yang tinggi pada inkontinensia tipe urgensi.10

Pada inkontinensia campuran, pelatihan kandung kemih dan lantai pelvis dinilai lebih meningkatkan angka keadaan baik daripada penggunaan obat-obatan antikolinergik. Tanpa pengobatan, inkontinensia dapat berujung pada dehidrasi dan hal lainnya yang tidak diinginkan. Morbiditas yang dapat ditemukan pada inkontinensia adalah infeksi bakteri

candida sp. pada perineum, selulitis, iritasi kulit, sepsis, jatuh karena terpeleset urinnya sendiri, dan kurang tidur akibat nokturia.10

Pencegahan

Tidak mengangkat barang yang berat sewaktu muda serta menjalani tindakan-tindakan operasi yang melemahkan dasar panggul dapat menjadi tindakan pencegahan inkontinensia urin. Mengurangi kejadian obesitas juga dapat mengurangi prevalensi inkontinensia, sejalan dengan tidak merokok dapat mengurangi prevalensi inkontinensia. 11

Kesimpulan

Hipotesis diterima. Wanita lebih rentan terhadap inkontinensia urin dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan berbagai resiko yang dialami wanita seperti melemahnya otot dasar panggul akibat terlalu sering melahirkan. Selain itu seiring lanjutnya usia maka fungsi

(13)

fisiologis tubuh makin berkurang yang berakibat rentannya seseorang yang lanjut usia untuk terkena suatu penyakit.

Wanita berusia 70 tahun pada skenario menderita inkontinensia urin campuran dan osteoartritis. Hal ini menyebabkan pasien tersebut menjadi depresi sehingga tidak mau keluar rumah.

Daftar Pustaka

1. Martono HH, Pranaka K. Geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. h. 226-4.

2. Gleadle J. At a glance anamnesis. Jakarta: Erlangga; 2005. h. 93.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L, Simadribata M, Setiati S, penyunting. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 865-74.

(14)

4. Morgan G, Hamilton C. Obstetric dan ginekologi: panduan praktik. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2009. h. 292-5.

5. Baradero M, Dayrit MW, Siswadi Y. Klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC; 2008. h. 100-8.

6. Macfarlane MT. Urology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. h. 137.

7. Aziz F, Witjaksono J, Rasjidi H I. Panduan pelayanan medic: model interdisiplin penatalaksanaan kanker serviks dengan gangguan ginjal. Jakarta: EGC; 2008. h. 62-3. 8. Darmojo B. Geriatri ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2009. h. 258-64.

9. Maryam S. Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Salemba Medika; 2008. h. 865-75.

10. Vasavada SP, Kim ED [editor]. Urinary Incontinence. Diunduh dari Medscape for iPad. 14 Desember 2013.

11. Anies. Seri kesehatan umum pencegahan dini gangguan kesehatan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo; 2005. h. 93-4.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan sosialisasi lalu lintas adalah penyampaian pendidikan lalu lintas tentang peraturan lalu lintas, tata cara berlalu lintas yang baik dan benar, kebijakan pemerintah atau

Empat tahun yang akan datang 2 kali umur pak Ahmad sama dengan 5 kali umur Damar ditambah 9 tahun.. Umur pak Ahmad sekarang

Untuk membuat bel listrik, beberapa komponen yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: 1. Satu lembar papan kayu (ukuran 30×25 cm dengan ketebalan sekitar 1

Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apa apa yang menimpa seorang muslim baik

Daerah DKI Jakarta (Kwarda) dan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (Kwarnas) dirasa masih kurang memadai untuk menarik minat mahasiswa untuk menjadi anggota pramuka. 2)

mengungkapkan kesan yang diperoleh dari teks cerita inspiratif yang dibaca dengan benar.. rasa empati yang diperoleh dari teks cerita inspiratif yang dibaca

Jadi dapat kita simpulkan bahwa Pengertian Sistem Informasi Eksekutif adalah Merupakan suatu sistem yang menyediakan informasi bagi Eksekutif mengenai