MITIGASI DAN ADAPTASI MASYARAKAT KENAGARIAN BAYUR TERHADAP TUBO BELERANG DI DANAU MANINJAU
KABUPATEN AGAM
Restu Firdaus¹, Elvi Zuriyani², Rozana Eka Putri²
¹Mahasiswa Program Studi Pendidikan Geografi STKIP PGRI Sumatera Barat ² Dosen Program Studi Pendidikan Geografi STKIP PGRI Sumatera Barat
restunakayama@gmail.com ABSTRACT
This research is motivated by the existence of Tubo Sulfur disaster problem experienced by Fisherman community. This research aims to know and analyze the form of Mitigation and Adaptation of Fisherman Society in Bayur subdistrict. The type of this research is descriptive qualitative. The population in this research is Fisherman Society in Bayur subdictrict. The application of respondent sample in this study using Proportional Random Sampling technique with the sample size 15% from 663 to 99.45. Data analysis technique used is descriptive that is used statistical analysis in the form of percentage and second analysis using qualitative analysis. The results of the first study shows the fishing community mitigation activities as follows namely 1) alert to symptoms of changes in lake water conditions, in order to take action before the death of fish, 2) if there is symptoms of sulfur tubo / umbalan / upwelling immediately do cultivation of fish cultivation to a more secure place like a swift or pond pond storage, 3) if the weather conditions are not good or the water surface of the lake does not ripple, then KJA is empty to be postponed to spread the seeds, 4) Set the stocking stock of fish seeds in KJA maximum 3000 KJA KJA with 5x5 meter KJA size,5) apply KJA placement rules with a minimum distance of 100 meters from the edge of the lake and a water depth of over 20 meters,6) not to throw away the fish that died to the waters of the lake but buried them on land. The form of adaptation of fishing communities as follows:1) Toggle ground work.2) Doing cleaning is like throwing away the dead fish .3) Move the contents of KJA to small pools.4) Giving a floating feed is not a set.5) Delaying the inflow of seeds until the water condition returns clean.6) Perform shifting period of seedling entry.
Keyword: Mitigation, Adaptation, Tubo Sulfur, Fishing Communities
PENDAHULUAN
Berbagai permasalahan perairan terkait pemanfaatannya untuk pengembangan keramba jaring apung (KJA) akan berdampak pada perubahan kondisi lingkungan di
sekitarnya dan pada akhirnya berpengaruh pada aktivitas KJA itu sendiri.
Di perairan yang digunakan untuk pengembangan budidaya ikan pada (KJA), fluktuasi kadar oksigen
harian yang lebar di wilayah permukaan sering terjadi, yang mana kadar oksigen minimum hingga kritis terjadi menjelang matahari terbit (Lukman 2013).
Akumulasi bahan organik di dasar perairan memungkinkan terbentuknya lapisan anaerob yang makin besar, diikuti terbentuknya senyawa beracun seperti H2S dan NH3. Penumpukan bahan organik yang terjadi baik di kolom air maupun di dasar perairan memungkinkan terjadinya penurunan ketersediaan oksigen yang terus berlanjut dan di kolom perairan bagian bawah kondisi anoksik atau ketidaksediaan oksigen (hypoxia; hipoxia) akan terus meningkat. Budidaya ikan pada KJA di Danau Maninjau telah cukup intensif, dengan jumlah KJA yang beroperasi mencapai10.243 petak telah melebihi batas maksimum dari yang seharusnya dianjurkan (Dinas Perikanan Kab. Agam,2009; Tidak dipublikasikan).
Racun belerang menyebabkan matinya berton-ton ikan keramba setiap tahun, seolah telah menjadi rutinitas Danau Maninjau yang terus
dilestarikan Pemkab dan Masyarakat Agam. Bukannya malah berkurang, siklus racun belerang yang biasanya lima tahunan kini bisa berulang kembali terjadi dalam setahun.
Racun belerang yang tejadi sejak 1990-an itu, hingga kini tiada berhenti mencemari Danau Maninjau. Hasil penelitian Lipi Kabupaten Agam telah tegas menyatakan pencemaran Danau Maninjau disebabkan oleh keramba jaring apung (KJA) yang menumpuk pada lokasi tertentu. Sisa pelet ikan yang terus bertambah tidak mampu lagi di filter oleh kondisi danau, sehingga air danau rentan terhadap racun yang berasal dari belerang maupun residu sisa pakan.
Pada tanggal 20 Oktober 2016 lalu telah terjadi bencana Tubo Belerang di Danau Maninjau, Bencana ini merupakan bencana yang terbesar bagi masyarakat sekitar Danau Maninjau, karena melanda semua kenagarian yang ada di sekitar Danau Maninjau. Khususnya Kenagarian Sungai Batang, Maninjau, Bayur, dan Koto Malintang yang mengalami kerugian yang cukup besar.
Berikut laporan kerugian yang disebabkan oleh Tubo Belerang di Danau Maninjau yang dapat dilihat pada tabel:
Tabel 1 Laporan kerugian perbulan di Danau Maninjau Bulan Jumlah Januari 20 ton Februari 30 ton Maret 30 ton April 10 ton Agustus 1250 ton September 450 ton Oktober 1400 ton November 1400 ton Desember 100 ton
Sumber: UPT BP4K2P (Kecamatan Tanjung Raya 2016)
Di ketahui pada tabel di atas kerugian masyarakat kenagarian bayur terjadi pada tiap bulannya, dan mengalami kerugian yang cukup besar pada bulan oktober dan november yang mencapai 1400 ton kerugian tersebut terjadi karena perubahan iklim yang tidak menentu. Untuk lebih jelasnya berikut kerugian masyarakat perkenagarian yang terjadi pada bulan Oktober:
Tabel 2 Laporan kerugian perkenagarian di Danau Maninjau Nagari Jumlah Sungai Batang 350 ton
Tanjung Sani 100 ton Koto
Malintang
500 ton
Bayur 300 ton Maninjau 300 ton Koto Kaciak 300 ton Duo Koto 30 ton
Sumber: UPT BP4K2P
(Kecamatan Tanjung
Raya 2016)
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Agam kematian massal ikan dapat terjadi karena adanya Tubo Belerang dan pengembangan keramba di perairan-perairan tergenang seperti danau ini terjadi dikarenakan masyarakat tidak pernah memperhatikan daya dukung perairan, terutama ditinjau dari kemampuan perairan tersebut dalam menyediakan oksigen, baik untuk proses respirasi biota yang dipelihara maupun untuk proses degradasi feses ikan dan sisa pakan.
Kematian massal ikan merupakan akibat dari proses kompleks sebagai dampak dari akumulasi bahan organik baik pada dasar perairan maupun kolom air. Pada tahap awal akibat penumpukan bahan organik di dasar perairan adalah pembentukan lapisan anaerobik yang makin besar, diikuti terbentuknya senyawaan beracun seperti H2S dan NH3. Pada kondisi tertentu akan terjadi ”umbalan” yang mendorong naiknya kolom air yang tidak mengandung oksigen (anaerob) dan mengancam ikan-ikan yang dipelihara.
Akibat Tubo Belerang di Danau Maninjau ini berdampak pada lingkungan kumulatif seperti sifat fisik kimia air sampai ke hilir, sosial yang mengakibatkan menurunnya tingkat wisatawan yang datang, dan juga banyak petani ikan keramba yang mengalami kerugian. Banyak dari para petani ikan tidak memiliki usaha lagi, mereka banyak mengandalkan usaha sampingan seperti mengojek dan berkebun. Hal ini menyebabkan perekonomian para petani ikut turun drastis, bukan hanya para petani nelayan yang
terkena dampak dari Tubo Telerang tersebut tetapi masyarakat sekitar juga merasakan dampak dari Tubo Belerang tersebut seperti bau dan beracun karena bentuk morfologi danau dengan ke dalaman 165 meter menyebabkan tidak terhindarnya endapan bahan organik dari pakan ikan yang terendapkan di dasar danau yang secara alamiah akan terdegradasi anaerob (degradiasi migrobiologis pada kondisi tanpa adanya udara) yang menghasilkan beberapa gas dan bau (Praditya: 2013).
Observasi awal penulis di lapangan, bahwa masih banyaknya kerugian yang dialami oleh petani keramba jaring apung terkait dengan adanya Tubo Belerang tersebut.
Maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul ‟Mitigasi dan Adaptasi Masyarakat Kenagarian Bayur terhadap Tubo Belerang di Danau Maninjau″.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini:
1. Bagaimana bentuk mitigasi masyarakat Kenagarian Bayur terhadap tubo belerang di Danau Maninjau?
2. Bagaimana bentuk adaptasi masyarakat Kenagarian Bayur terhadap tubo belerang di Danau Maninjau?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis: 1. Mitigasi masyarakat Kenagarian
Bayur terhadap tubo belerang di Danau Maninjau.
2. Adaptasi masyarakat Kenagarian Bayur terhadap tubo belerang di Danau Maninjau.
Menurut (Hermon: 2012) Bencana merupakan suatu gejala alamiah dan non alamiah yang sangat meresahkan masyarakat akibat hilangnya kenyamanan, keamanan, dan ketentraman dalam kehidupanya. Bencana gempa bumi dan tsunami, serta letusan gunung api, dapat menjadi pemicu terjadinya bencana hidrometeorologi seperti longsor, banjir, degradasi lahan, kekeringan, ekologi, dan puting beliung.
Menurut Zen dalam Guspardi (2015) jenis-jenis bencana adalah sebagai berikut:
1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung meletus, longsor, kekeringan. 2) Bencana non alam adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang anatara lain berupa kegaalan teknologi, kegagalan modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. 3) Bencana sosial adalah bencana
yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial, antar komunitas, antar kelompok masyarakat dan teror.
Menurut Latif dkk dalam Guspardi (2015) mitigasi bencana didefinisikan secara umum bahwa segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh suatu bencana, baik sebelum, saat atau setelah terjadinya suatu bencana. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Tahun
2008 No 4 Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Menurut Gerungan dalam Dewi (2016), adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan. Penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai keinginan diri pribadi.
Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini di namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial (Maclver dan page). Menurut Ralph linton masyarakat selalu berubah. Masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah lama hidup dan bekerjasama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka sebagai kesatuan sosial dengan batas-batas yang di rumuskan dengan jelas.
Maninjau adalah sebuah kaldera runtuhan, yang terbentuk oleh letusan yang sangat besar, kaldera Maninjau (34,5 km x 12 km) ditempati oleh sebuah danau yang berukuran 8 km x 16,5 km (132 km2), terletak di barat laut gunung api strato Singgalang – Tandikat. Kawasan ini dikenal sebagai depresi volcano-tektonik, mirip dengan kawasan Danau Toba, dalam ukuran yang lebih kecil. Dinding kaldera Maninjau mempunyai ketinggian 1200 - 1400 mdpl, atau 459 m dari permukaan danau yang mempunyai kedalaman mencapai 157 m. Danau ini merupakan danau tipe vulkano tektonik, yang diduga masih terdapat aktivitas vulkanik di daerah tersebut dengan ditandai munculnya belerang pada saat tertentu.
Tubo Belerang yaitu proses yang membawa kotoran dan gas-gas beracun dari dasar perairan ke kolam air bagian atas (nurelfitri,2002).
Menurut Lukman,dkk (2015) Tubo Belerang adalah istilah yang ditandai dengan adanya kematian massal ikan yang dipelihara pada Karamba Jaring Apung (KJA) di Danau Maninjau, secara umum sering digambarkan sebagai upwelling tetapi sebenarnya kemungkinan merupakan proses turnover. Danau Maninjau diketahui memiliki aktivitas KJA yang intensif dan fenomena kematian massal ikan di perairan tersebut sering terjadi. Untuk mengenali indikasi "Tubo Belerang" di Danau Maninjau, telah melakukan pengamatan pola stratifikasi beberapa parameter kualitas air, meliputi suhu, oksigen terlarut (DO; Dissolved Oxygen) dan kadar total bahan organik (TOM; Total Organic Matter). Pengamatan dilakukan pada Agustus 2011, Oktober 2011, Desember 2011 dan Maret 2012 di lima stasiun yang berbeda, pada strata 0 m, 25 m, 50 m, 75 m, 100 m, 125 m dan 150 m, yang sesuai dengan kedalaman masing-masing stasiun.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah salah satu jenis penelitian yang bertujuan mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat populasi tertentu.
Penelitian ini lebih mengarah pada pengungkapan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang di berikan interpretasi atau analisis. ( Pabundu Tika: 2005). Sedangkan penelitian kualitatif yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motifasi, tindakan secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai metode ilmiah Moleong dalam Guspardi (2015).
Lokasi yang menjadi objek penelitian yaitu masyarakat nelayan
di Danau Maninjau, populasi dalam penelitian ini, yaitu:
Tabel 3 Jumlah pembudidaya ikan di Nagari Bayur
Adapun jumlah masyarakat petani Bibit Ikan di Nagari Bayur sekitar 236 orang dan jumlah masyarakat petani Nelayan sekitar 663 orang berada di masing-masing jorong Nagari Bayur. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu proportional random sampling, jadi sampel responden pada penelitian ini adalah:
Informan penelitian ini adalah UPT BP4K2P dan Wali Nagari Bayur Kabupaten Agam serta 102 masyarakat KJA.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tingkat pengetahuan mitigasi masyarakat di danau maninjau terhadap bencana tubo belerang bisa dikatakan keseluruhan masyarakat mengetahui atau menjalankan apa itu mitigasi bencana, sesuai atau relevan dengan penilitian latif dkk (dalam Guspardi,Femi: 2015) “mitigasi bencana didefinisikan secara umum bahwa segala upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh suatu bencana, baik sebelum, saat atau setelah terjadinya suatu bencana.
Tingkat keseluruhan masyarakat kenagarian bayur sangat mengetahui dan berpengalaman dalam melakukan adaptasi bencana tubo belerang karena dari data yang didapat pengalaman masyarakat yang berprofesi sebagai petani keramba yang telah bekerja 8 tahun keatas sebesar 40% dan bisa dikatakan sangat berpengalaman dalam melakukan adaptasi dan 61% masyarakat melakukan perubahan jenis pekerjaan. Sesuai atau relevan dengan buku yang di kemukakan
oleh gerungan 2004 yaitu Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat bararti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan diri pribadi.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian penelitian di atas, maka kesimpulan adalah sebagai berikut:
1. keseluruhan masyarakat mengetahui atau menjalankan apa itu mitigasi bencana sebesar 95% responden menjawab mengetahui. Adapun bentuk mitigasi yang dilakukan meliputi: a. Waspada terhadap gejala perubahan kondisi air danau, agar dapat diambil tindakan sebelum terjadinya kematian ikan
b. Bila terjadi gejala tubo belerang/ umbalan/ upwelling segera lakukan pemindahan ikan budidaya ketempat yang lebih aman seperti kolam air deras atau bak penampungan
c. Apabila kondisi cuaca kurang baik atau permukaan air danau tidak beriak, maka Keramba Jaring Apung yang masih kosong agar ditunda melakukan penebaran bibit d. Mengatur padat tebar benih
ikan di KJA maksimal 3.000 ekor per petak KJA dengan ukuran KJA 5x5 meter
e. Menerapkan peraturan penempatan KJA dengan jarak minimal 100 meter dari pinggir danau dan kedalaman air diatas 20 meter
f. Tidak membuang ikan yang mati keperairan danau, tetapi menguburnya di darat
2. Dari data yang didapat pengalaman masyarakat yang berprofesi sebagai petani keramba yang telah bekerja 8 tahun keatas sebesar 40%. Adapaun bentuk adaptasi yang dilakukan masyarakat sebagai berikut:
a. Mengalihkan pekerjaan kedarat
b. Melakukan pembersihan seperti membuang sisa ikan yang telah mati,
c. Memindahkan isi KJA ke kolam-kolam kecil
d. Memberikan pakan terapung bukan yang terbenam
e. Melakukan penundaan pemasukan bibit sampai kondisi air kembali bersih f. Melakukan pergeseran masa
pemasukan bibit.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Rahma, Ayu (2016). “Adaptasi
Masyarakat Mengenai
Pencemaran Lingkungan Akibat Penambangan Batu Kapur Di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang”, Skripsi STKIP PGRI SUMBAR (Tidak dipublikasikan)
Guspardi Femi, (2015). “Starategi Pemerintah Daerah Untuk Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Dalam Mitigasi Bencana Gempa Bumi Dan Tsunami Studi Di Kabupaten Padang Pariaman”, Skripsi STKIP PGRI SUMBAR (Tidak dipublikasikan)
Hermon, Dedi. (2012). “Bencana Hidrometeorologi”. Padang: UNP Press
Praditya Doni, (2013). “Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Ikan Keramba Di Desa Tanjung Sani Maninjau Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam”, Skripsi STKIP PGRI SUMBAR
Sutrisno Lukman dan Hamdani Agung (2013). “Pengamatan Pola Stratifikasi Di Danau Maninjau Sebagai Potensi Tubo Belerang. Jurnal Pusat Penelitian Limnologi (LIPI)
Tika, Pabundu(2005). “Metodologi Penelitian Geografi”. PT Bumi Aksara Jakarta