• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN STATUS ANEMIA DAN USIA MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI PERKOTAAN DAN DI PERDESAAN FITHRIANI BATUBARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN STATUS ANEMIA DAN USIA MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI PERKOTAAN DAN DI PERDESAAN FITHRIANI BATUBARA"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN STATUS

ANEMIA DAN USIA MENARCHE PADA REMAJA PUTRI

DI PERKOTAAN DAN DI PERDESAAN

FITHRIANI BATUBARA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia dan Usia Menarche pada Remaja Putri di Perkotaan dan di Perdesaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Fithriani Batubara

(3)

ABSTRAK

FITHRIANI BATUBARA. Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia

dan Usia Menarche pada Remaja Putri di Perkotaan dan di Perdesaan. Dibimbing oleh CESILIA METI DWIRIANI dan NAUFAL MUHARRAM NURDIN.

Kebiasaan makan yang tidak sehat membuat remaja rentan terhadap anemia dan keterlambatan usia menarche. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kebiasaan makan dengan status anemia dan usia menarche pada remaja putri di Jakarta Selatan (mewakili perkotaan) dan Jasinga (mewakili perdesaan). Penelitian menggunakan desain cross sesctional study, melibatkan 100 siswi kelas VIII SMP dari 4 sekolah. Metode yang digunakan dalam penarikan contoh adalah

Cluster Random Sampling. Remaja putri kota lebih sering mengonsumsi ikan,

susu, dan fast food, serta memiliki asupan karbohidrat dan vitamin A yang lebih

tinggi dibandingkan remaja putri di desa. Selain itu usia menarche remaja putri di kota lebih dini dibandingkan usia menarche di desa. Kadar Hb remaja putri di kota dan di desa tidak berbeda nyata. Tidak terdapat hubungan bioavailabilitas besi dengan status anemia (p>0.05), namun terdapat hubungan positif frekuensi konsumsi telur dan sawi dengan anemia. Terdapat juga hubungan negatif asupan lemak dan IMT dengan usia menarche (p<0.05).

Kata kunci: kebiasaan makan, remaja putri, status anemia, usia menarche.

ABSTRACT

FITHRIANI BATUBARA. The Association of Food Habit with Anemia Status

and Age of Menarche of Adolescent Girls in the Urban and Rural Areas. Supervised by CESILIA METI DWIRIANI dan NAUFAL MUHARRAM

NURDIN

Unhealthy food habits may cause adolescent girls to be vulnerable to anemia and delayed age of menarche. The objective of this study was to analyze the association of food habit with anemia status and age of menarche of adolescent girls in South Jakarta (represent urban) and in Jasinga (represent rural). A cross sectional study was conducted involving 100 girls of 8th grade junior high school from four schools. The sampling method was Cluster Random Sampling. Adolelescent girls in urban area were more frequently consumed fish, milk, and fast food, as well as having higher intake of carbohydrate and vitamin A compared with adolescent girls in rural area. In addition, age of menarche of adolelescent girls in urban area were earlier than that in rural area. Haemoglobin concentration of adolelescent girls in both rural and urban areas were not different. There was no correlation between iron bioavailability and anemia status (p>0.05), but positive correlation were found between frequency of egg and green mustard consumption with anemia. There was also negative correlation of fat intake and body mass index and age of menarche (p<0.05).

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

HUBUNGAN KEBIASAAN MAKAN DENGAN STATUS

ANEMIA DAN USIA MENARCHE PADA REMAJA PUTRI

DI PERKOTAAN DAN DI PERDESAAN

FITHRIANI BATUBARA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia dan Usia Menarche Pada Remaja Putri di Perkotaan dan di Perdesaan Nama : Fithriani Batubara

NIM : I14090010

Disetujui oleh

Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc Pembimbing I

dr Naufal Muharam, S Ked Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Rimbawan Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia dan Usia Menarche Pada Remaja Putri di Perkotaan dan di Perdesaan” dengan baik. Penelitian ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk melaksanakan penelitian tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana di Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani, M.Sc dan dr. Naufal Muharram Nurdin, S.Ked selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan.

2. dr. Karina Rahmadia Ekawidyani, S.Ked. M.Sc selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah memberikan koreksi demi perbaikan skripsi.

3. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS; Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS; Dr Hadi Riyadi, MS; Dr. Ir. Cesilia Meti Dwiriani dan dr Mira Dewi sebagai tim peneliti payung yang telah membimbing dalam pengambilan data lapang. 4. Keluarga tercinta : ayah tercinta (Alm.Ikhwan Batubara), ibunda tersayang

(Ibu Afidah Lubis) dan Nur Azizah Batubara (Adik) serta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan moril dan kasih sayangnya.

5. Teman–teman penelitian payung : Weny Anggreny, Mega Seasty Handayani, Heti Sondari banyak membantu dalam memberikan semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

6. Sahabat seperjuangan: Mei Rini Safitri, Uthu Dwifitri, Rizki Ardiansyah, Ewin, Sateliter’s, dan IKMAMADINA-BOGOR.

7. Teman–teman Gizi Masyarakat 46, 47 dan 48 serta kakak kelas 45 dan teman–teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala perhatian, dukungan, semangat dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis.

Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kekurangan penyusunan karya ilmiah. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2014

(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Kegunaan Penelitian 2 KERANGKA PEMIKIRAN 3 METODE PENELITIAN 4

Desain, Tempat dan Waktu 4

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh 5

Jenis dan Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 6

Definisi Operasional 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Karakteristik Contoh 9

Karakteristik Keluarga 10

Kebiasaan Makan 13

Bioavailabilitas Zat Besi 18

Status Gizi 20

Status Anemia 21

Usia Menarche 21

Hubungan Bioavailabilitas Zat Besi dengan Status Anemia 22

Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia 23

Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Menarche 23

SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 24

(8)

LAMPIRAN 27

RIWAYAT HIDUP 28

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan cara pengumpulan data 5

2 Contoh perhitungan bioavailabilitas besi pangan metode Du et al.

(1999) 7

3 Sebaran contoh berdasarkan umur di kota dan desa 9 4 Sebaran contoh berdasarkan uang jajan letak demografi 10 5 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga di kota dan desa 10 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan letak

demografi 11

7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ibu di kota dan desa 11 8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah di kota dan desa 12 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ibu di kota dan desa 12 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dan letak

demografi 13

11 Kebiasaan makan contoh di kota dan desa 14

12 Frekuensi konsumsi pangan contoh per minggu 16 13 Rata-rata asupan dan TKG contoh per hari di kota dan desa 17 14 Perhitungan bioavailabilitas besi contoh di kota dan desa 18 15 Bioavailabilitas besi contoh di kota dan desa 19 16 Sebaran contoh berdasarkan bioavailabilitas besi di kota dan desa 19 17 Sebaran contoh berdasarkan status gizi di kota dan desa 20 18 Sebaran contoh berdasarkan status anemia di kota dan desa 21 19 Sebaran contoh berdasarkan usia menarche di kota dan desa 22

DAFTAR LAMPIRAN

(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Remaja merupakan sumber daya manusia bagi pembangunan di masa yang akan datang. Usia remaja merupakan fase pertumbuhan pesat kedua (second

growth spurt). Tubuh yang mengalami pertumbuhan perlu mendapat asupan zat

gizi yang memadai untuk menunjang pertumbuhannya (Khomsan 2003), dan pada remaja putri juga untuk menstruasi dan sebagai persiapan menjelang usia reproduksi dan calon ibu.

Pada masa remaja terjadi perubahan gaya hidup, salah satunya adalah perubahan kebiasaan makan. Kebiasaan makan remaja sangat khas karena cenderung memilih-milih makanan sehingga ada makanan yang disukai dan tidak disukai. Aktivitas yang banyak dilakukan di luar rumah membuat seorang remaja lebih dipengaruhi rekan sebayanya dan pemilihan makanan lebih sekedar untuk bersosialisasi, untuk kesenangan dan supaya tidak kehilangan teman. Hal ini bisa menyebabkan remaja termasuk dalam kelompok yang rentan terhadap masalah gizi (nutritionally vulnerable group) (Khomsan 2003). Kebiasaan makan yang menyimpang banyak terjadi di perkotaan dipengaruhi oleh ketersediaan makanan yang siap saji. Makanan siap saji umumnya tinggi energi dan lemak, sedangkan vitamin dan mineralnya rendah.

Menarche adalah tanda awal dimulainya pubertas pada wanita. Berdasarkan

data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) 2010 (Depkes 2010) usia menarche remaja putri di perkotaan sebagian besar yaitu 24% pada usia 11-12 tahun dan 39.8% usia 13-14 tahun, sedangkan remaja putri di perdesaan sebagian besar (34.8%) memiliki usia menarche 13-14 tahun dan 21.3% usia 15-16 tahun. Modernisasi dan gaya hidup yang serba instan dipercaya sebagai faktor yang memegang andil cukup besar sehingga usia menarche lebih dini (Rokade 2009). Rogol (2000) menyatakan bahwa usia menarche yang lebih dini juga dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi keluarga yang tinggi. Selain itu perbaikan asupan zat gizi akan berdampak usia menarche lebih dini. Usia menarche yang lebih dini cenderung ditemui pada wanita dengan status gizi baik sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lusiana dan Dwiriani (2007). Usia menarche yang lebih dini atau lebih lambat berdampak negatif bagi remaja putri. Menarche dini beresiko terhadap kanker payudara (Surbakti 2012), sedangkan menarche lambat beresiko osteoporosis (Rogol 2000).

Remaja putri juga mulai memperhatikan penampilan fisik, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makanannya dan bahkan banyak yang berdiet tanpa nasehat atau pengawasan seorang ahli, sehingga pola konsumsinya sangat menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi. Pola konsumsi yang tidak teratur dapat menyebabkan anemia. Penelitian Nirmala (2005) pada remaja putri di pondok pesantren di Surabaya melaporkan bahwa pola makan remaja putri berpengaruh terhadap kejadian anemia. Remaja merupakan usia yang sangat rentan terhadap penyakit anemia. Anemia gizi terutama anemia defesiensi besi merupakan salah satu masalah gizi yang belum terselesaikan (un-finished) di Indonesia dan masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (public health problem). Riskesdas 2007

(10)

(Depkes 2007) menyebutkan prevalensi anemia tingkat nasional cukup tinggi yaitu yaitu 28% (remaja putri 10-18 tahun). Sebanyak 44% wanita di negara berkembang (10 negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia) mengalami anemia defisiensi besi. Penyebab anemia defisiensi besi diantaranya rendahnya asupan besi, gangguan absorpsi, peningkatan kebutuhan zat besi untuk pembentukan sel darah merah yang terjadi pada masa pubertas, dan perdarahan (Arisman 2004).

Kebiasaan makan yang salah pada remaja putri dapat mempengaruhi kecenderungan status anemia seseorang terutama pada remaja putri yang berada dalam masa pertumbuhan dan sudah mengalami menstruasi. Dampak yang terjadi akibat anemia sangat merugikan kualitas kerja dan mutu sumber daya manusia di masa mendatang yaitu menurunkan daya tahan tubuh sehingga lebih mudah terserang penyakit, menurunkan aktivitas yang berkenaan dengan kemampuan fisik dan prestasi belajar. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk membandingkan pengaruh kebiasaan makan terhadap status anemia dan menarche pada remaja putri di perkotaan dan di perdesaan.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Tujuan penelitian umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan kebiasaan makan dengan status anemia dan usia menarche pada remaja putri di perkotaan dan di perdesaan.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini, antara lain:

1. Mengidentifikasi karakteristik contoh di SMP kota dan SMP desa (umur dan uang saku) dan karakteristik keluarga contoh di SMP kota dan SMP desa (besar keluarga, pendidikan orangtua, pendapatan, dan pekerjaan orangtua)

2. Mengetahui kebiasaan makan, asupan zat gizi contoh, dan bioavailabilitas zat besi dari makanan yang dikonsumsi contoh di SMP kota dan SMP desa 3. Mengetahui status gizi, status anemia, dan usia menarche contoh di SMP

kota dan SMP desa

4. Menganalisis hubungan bioavailabilitas zat besi yang dikonsumsi dengan status anemia contoh di SMP kota dan SMP desa

5. Menganalisis hubungan kebiasaan makan dengan status anemia dan usia

menarche contoh di SMP Kota dan SMP desa

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kebiasaan makan dengan status gizi dan usia

menarche untuk pengambil kebijakan terkait gizi pada remaja untuk perbaikan

kebiasaan makannya. Secara keilmuan, peneliti dapat mengetahui hubungan kebiasaan makan dengan status anemia dan usia menarche pada remaja putri.

(11)

KERANGKA PEMIKIRAN

Usia remaja merupakan fase pertumbuhan yang sangat pesat (growth

spurt). Pertumbuhan yang sempurna harus didorong dengan pemenuhan asupan

zat gizi yang optimal, khususnya pada remaja putri yang membutuhkan persiapan menjelang usia reproduksi dan persiapan menjadi calon Ibu. Pemenuhan asupan zat gizi yang dapat dicapai sejalan dengan kebiasaan makan yang baik. Pada masa remaja, kebiasaan makannya sangat khas karena cenderung memilih-milih makanan sehingga ada makanan yang disukai dan tidak disukai. Aktivitas yang banyak dilakukan di luar rumah membuat remaja lebih dipengaruhi rekan sebayanya. Kebiasaan makan awalnya tercipta dari keluarga, oleh karena itu kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan orang tua).

Kebiasaan makan akan menentukan tingkat kecukupan zat gizi individu, dan dalam kurun waktu tertentu akan berkontribusi membentuk status gizi individu. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan cara antropometri (IMT/U dan TB/U) dan cara biokimia yaitu pemeriksaan spesimen darah. Pemeriksaan kadar hemoglobin merupakan salah satu parameter untuk menentukan status anemia.

Pada remaja putri akan terjadi menarche (menstruasi pertama). Usia

menarche setiap remaja berbeda-beda dipengaruhi oleh faktor genetika (usia menarche ibu), faktor ekonomi, dan faktor gizi (asupan zat gizi dan status gizi).

Remaja putri yang sudah mengalami menstruasi setiap bulannya akan kehilangan darah dan cenderung beresiko anemia. Anemia yang terjadi pada remaja pada umumnya yaitu anemia gizi besi. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan zat gizi yang mempengaruhi kadar hemoglobin yaitu protein, zat besi, vitamin C, vitamin A dan energi. Asupan zat gizi tersebut mempengaruhi bioavailabilitas zat besi dan berkontribusi dalam pembentukan hemoglobin. Bioavailabilitas zat besi dipengaruhi oleh berbagai zat pendorong dan penghambat penyerapan zat besi yaitu pangan hewani, asam askorbat (vitamin C), sayuran dan buah (pendorong) dan serealia, kacang-kacangan, serta teh (penghambat).

Karakteristik responden : - Umur = 15-18 tahun - Status gizi - Usia menarche - Siklus menstruasi - Lama menstruasi

(12)

Gambar 1 Hubungan kebiasaan makan dengan kejadian status anemia dan usia

menarche pada remaja putri

Keterangan :

: variabel yang diteliti : hubungan yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang tidak diteliti

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross

sectional study. Penelitian ini menggunakan sebagian data dari penelitian yang

berjudul “Lifestyle and Nutrition Aspect of Rural and Urban Adolescents” (Dwiriani et al. 2013). Penelitian ini dilakukan di 4 SMP, yang terdiri dari 2 SMP

Karakteristik Responden  Umur  Uang Jajan Karakteristik Keluarga  Besar keluarga  Pendapatan/Kapita/Bulan  Pendidikan Orangtua  Pekerjaan Orangtua Kebiasaan Makan Tingkat Kecukupan  Energi  Protein  Zat Besi  Vitamin C  Vitamin A Status Gizi  Antropometri (IMT/U, TB/U)  Biokimia (Anemia-Hb) Usia Menarche Bioavailabilitas Zat Besi  Enhancer Inhibitor Genetik (Usia Menarche ibu)

(13)

kota dan 2 SMP desa yaitu SMP 98 Jakarta, SMP 242 Jakarta, SMP 01 Jasinga dan SMP Giri Taruna Jasinga. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari-Mei 2013.

Jumlah dan Cara Pengambilan Contoh

Contoh pada penelitian ini adalah remaja putri siswi kelas VIII di 2 SMP kota dan 2 SMP desa yaitu SMP 98 Jakarta dan SMP 242 Jakarta mewakili perkotaan, SMP 01 Jasinga dan SMP Giri Taruna Jasinga mewakili perdesaan. Metode yang digunakan dalam penarikan remaja adalah dengan metode Cluster

Random Sampling. Contoh remaja putri dikelompokkan ke dalam dua kelompok

yaitu remaja putri kota dan remaja putri desa, kemudian dilakukan pemilihan sekolah yang didasarkan pertimbangan dari Dinas Pendidikan setempat, dan penarikan contoh remaja putri kelas VIII secara acak dengan proporsi jumlah yang sama. Jumlah remaja yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 yang terdiri 25 remaja putri dari masing-masing sekolah.

Jenis dan Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan merupakan data sekunder. Data yang dikumpulkan meliputi data umur, berat badan, tinggi badan, karakteristik keluarga, status anemia, usia menarche, status gizi, kebiasaan makan, dan konsumsi pangan (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Indikator Cara dan alat

pengumpulan Skala data 1. Karakteristik contoh  Usia  Uang jajan Wawancara dan kuesioner Rasio Rasio 2. Karakteristik keluarga  Besar keluarga Wawancara dan kuesioner Rasio

 Pendidikan orangtua Ordinal

 Pendapatan/kap/bulan Rasio

Pekerjaan orangtua Nominal

3. Kebiasaan Makan

 Asupan Energi dan zat gizi (protein, KH, lemak, vitamin A, vitamin C, dan Fe)

 Frekuensi Makan

Recall 2x24

jam dan FFQ Rasio

4. Status Gizi  IMT/U, TB/U  Hb Pengukuran langsung Rasio 5. Usia

Menarche Usia menarche contoh

Wawancara

dan kuesioner Rasio 6. Bioavailabili

tas besi

 Besi heme

 Besi non heme

Recall 2x24

(14)

Pengolahan dan Analisis Data

Tahap pengolahan data dilakukan dengan kegiatan-kegiatan seperti pemberian kode, pengeditan data, entri data, skoring data, dan cleaning data. Data-data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Analisis data menggunakan Statistical Product and Service Solution (SPSS) versi 19.0 for Windows. Hubungan uji beda dianalisis menggunakan

Independent Sample t–test dan Mann Whitney dan hubungan antar variabel

dianalisis menggunakan uji korelasi Pearson dan Spearman.

Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh terdiri atas besar keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan keluarga. Kategori besar keluarga berdasarkan (BKKBN 2009) dibagi menjadi tiga, yaitu kecil (≤4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (>7 orang). Kategori pendidikan orangtua dikelompokkan menjadi SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, dan Perguruan tinggi. Pekerjaan ayah dibagi menjadi tidak bekerja, PNS/Polisi/ABRI, karyawan swasta, buruh, wiraswasta/pedagang, jasa (penjahit, supir, ojeg, dan reparasi), dan lainnya. Demikian juga dengan pekerjaan ibu yang terbagi menjadi tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga), PNS/Polisi/ABRI, karyawan swasta, buruh, wiraswasta/pedagang, jasa (penjahit/salon), dan lainnya. Menurut BPS DKI Jakarta dan BPS Jawa Barat, pendapatan keluarga dikategorikan berdasarkan pendapatan/kapita/bulan yaitu miskin (<Rp 392 571) dan tidak miskin (>Rp392 571) untuk contoh kota sedangkan pendapatan/kapita/bulan untuk desa yaitu miskin (<Rp 252 496) dan tidak miskin (>Rp 252 496).

Data konsumsi contoh diperoleh melalui Food Recall 2x24 jam. Jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi dalam satuan Ukuran Rumah Tangga (URT) kemudian dikonversi menjadi gram. Selanjutnya ditentukan asupan energi dan zat gizi (protein, lemak, karbohidrat, vitamin A vitamin C, dan Fe) menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Rumus yang digunakan untuk menghitung jumlah konsumsi zat gizi tersebut adalah:

KGj = (Bj/100) x Gj x (BDDj/100)

Keterangan:

KGij : kandungan zat gizi dalam bahan makanan j yang dikonsumsi

Bj : berat bahan makanan j yang dikonsumsi (gram)

Gj : kandungan zat gizi dalam 100 gram BDD bahan makanan j BDDj : persen bahan makanan j yang dapat dimakan (%BDD)

Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) dihitung dengan membandingkan asupan energi dan zat gizi dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Perhitungan AKG contoh dengan status gizi kurang atau lebih menggunakan berat badan ideal, sedangkan contoh dengan status gizi normal menggunakan berat aktual dan berat badan ideal dihitung dengan rumus Brocca:

BB ideal = (TB - 100 ) – 10% (TB - 100) Perhitungan AKG menggunakan rumus:

(15)

Keterangan:

BBi = berat badan ideal atau aktual contoh

BBj = berat badan standar bedasarkan AKG (WNPG 2004)

Penilaian status gizi dilakukan dengan metode antropometri melalui pengukuran berat badan dan tinggi badan. Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan diolah menggunakan WHO Anthroplus untuk menentukan nilai

z-score IMT/U dan TB/U. Pengukuran hemoglobin dengan alat hemocue metode azidmethemoglobin. Status anemia ditentukan berdasarkan nilai Hb <12 g/dl.

Data yang diolah dan dianalisis secara statistik deskriptif yaitu data karakteristik contoh (umur dan uang jajan), data karakteristik keluarga (besar keluarga, pendapatan, pendidikan, dan pekerjaan), status gizi, status anemia, usia

menarche, kebiasaan makan, asupan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin

A, vitamin C, dan zat besi. Analisis statistik inferensia digunakan untuk hubungan antara kebiasaan makan dengan status anemia dan usia menarche pada remaja putri dan hubungan antara asupan energi, protein,vitamin A, vitamin C, dan zat besi dengan status anemia dan usia menarche pada remaja putri.

Bioavailabilitas besi dapat dihitung menggunakan metode Du et al. (1999), WHO (1969), dan Monsen et al. (1978). Metode Du et al. (1999) dipilih dalam perhitungan bioavailabilitas besi pada penelitian ini karena tidak hanya memperhitungkan faktor pendorong penyerapan besi seperti pada dua metode lain, tetapi juga memperhitungkan faktor penghambat penyerapan besi yaitu bioavailabilitas non heme (Kolom 8) (Tabel 2).

Tabel 2 Contoh perhitungan bioavailabilitas besi pangan metode Du et al. (1999)

Total Hewani Fe (mg) Vit C (mg) Heme Faktor Besi Heme (mg) Besi Non Heme (mg) Bioavailabilitas

(%) Besi Terserap Perse

n Total (%) heme Non Heme Heme (mg) Non Heme (mg) Total (mg) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 117.0 19.9 9.12 0.4 8.0 11.9 23 0.65 1.83 0.08 1.91 9.95

Keterangan cara perhitungan:

1. Kolom pertama yaitu jumlah berat bahan pangan hewani yang dikonsumsi selama satu hari.

2. Kolom kedua yaitu total zat besi (mg) yang dijumlahkan dari nilai zat besi pada setiap pangan yang dikonsumsi.

3. Kolom ketiga yaitu total vitamin C (mg) yang dijumlahkan dari nilai vitamin C pada setiap pangan yang dikonsumsi

4. Kolom keempat yaitu heme faktor dengan nilai tetapan literatur 0.4. 5. Kolom kelima yaitu besi heme (mg), dihitung dengan perkalian antara

heme faktor (kolom 4) dan total zat besi (kolom 2).

6. Kolom keenam yaitu besi non heme (mg), merupakan selisih antara total zat besi (kolom 2) dengan besi heme (kolom 5).

7. Kolom ketujuh yaitu bioavailabilitas heme (%), nilai bioavailabilitas sesuai dengan literatur sebesar 23%.

8. Kolom kedelapan yaitu bioavailabilitas non-heme (%) dihitung dari rumus :

(16)

Keterangan:

EFs = Asam askorbat (mg) + sumber hewani (g) + sayuran dan buah (g) + 1 IFs = Serealia (g) + kacang-kacangan (g) + teh (g) + 1

Contoh perhitungan:

EFs = 9.12+11.7+98+1= 225.12 IFs = 480+115+10+1= 606

9. Kolom kesembilan yaitu penyerapan besi heme (mg), dihitung dari perkalian antara bioavailabilitas heme (kolom 7) dengan besi heme (kolom 5).

10. Kolom kesepuluh yaitu penyerapan besi non heme (mg), dihitung dari perkalian antara bioavailabilitas non heme (kolom 8) dengan besi heme non heme (kolom 6).

11. Kolom kesebelas yaitu total penyerapan (mg), dihitung dari jumlah penyerapan heme (kolom 9) dan penyerapan non heme (kolom 10). 12. Kolom keduabelas yaitu persen total (%), dihitung dari perbandingan

total penyerapan (kolom 11) dengan jumlah zat besi (kolom 1) dikalikan 100.

Hubungan kebiasaan makan dengan status anemia dan usia menarche diuji dengan korelasi Pearson jika variabel normal. Jika variabel tidak normal berdasarkan uji normalitas uji hubungan diuji dengan korelasi Spearman. Selanjutnya setiap variabel dikorelasikan dengan variabel status anemia dan usia

menarche. Berdasarkan uji korelasi ini maka dapat diketahui ada tidaknya

hubungan antara variabel independent dengan variabel dependent (status anemia dan usia menarche).

Definisi Operasional

Kebiasaan Makan adalah informasi mengenai frekuensi makan, jenis, dan

jumlah makanan yang dikonsumsi contoh pada waktu tertentu.

Konsumsi Pangan adalah jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi contoh

dalam satu hari yang diukur dengan metode Recall 2x24 jam serta dihitung jumlahnya zat gizinya (energi, protein, vitamin C, dan zat besi).

Tingkat kecukupan energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin A, vitamin C, dan Fe adalah konsumsi pangan sumber energi, protein, lemak,

karbohidrat, vitamin A, vitamin C, dan Fe contoh yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004.

Bioavaibilitas zat besi adalah ketersediaan biologis Fe yang terkandung dalam

makanan yang dapat digunakan tubuh untuk menjalankan metabolisme dan fungsi fisiologis. Cara perhitungan bioavailabilitas Fe didapatkan menggunakan metode Du et al. 1999.

Status anemia contoh adalah keadaan kadar Hb contoh yang menunjukkan

kondisi contoh anemia dan non anemia. Contoh dikatakan anemia jika kadar Hb <12 g/dL darah. Kadar Hb diukur menggunakan alat Hemocue.

Usia Menarche adalah menstruasi yang terjadi pertama kali dan umumnya terjadi

pada usia remaja awal (10-12 tahun).

(17)

Karakteristik Contoh adalah karakteristik yang dimiliki contoh yang

membedakannya dengan yang lain (umur dan uang jajan contoh).

Uang Jajan adalah uang yang diberikan oleh orangtua contoh untuk digunakan

membeli makanan dan minuman oleh contoh.

Karakteristik sosial ekonomi keluarga adalah karakteristik yang dimiliki

sebuah rumah tangga (besar keluarga, pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan orangtua contoh).

Status Gizi adalah keadaan gizi contoh yang dinilai dengan pengukuran indeks

TB/U dan IMT/U.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Contoh Umur

Contoh dalam penelitian berumur antara 13–15 tahun, dengan median 14 tahun. Contoh dalam penelitian termasuk dalam kelompok remaja awal (Hurlock 2004). Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara umur remaja putri di SMP kota dan SMP di desa (p>0.05). Sebaran contoh berdasarkan umur lebih dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan umur di kota dan desa

Umur (tahun) SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n % n % n % p=0.06 13 25 50 23 46 48 48 14 24 48 21 42 45 45 15 1 2 6 12 7 7 Total 50 100 50 100 100 100

Sharlin dan Edelstein (2011) menyatakan bahwa ada tiga kriteria perubahan pada remaja yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Pada masa remaja awal terjadi pertumbuhan yang paling pesat diantara kelompok remaja lainnya. Selain itu pada remaja awal terjadi pemantapan konsep diri yang diperoleh dari pengalaman seperti keluarga. Pada masa remaja awal juga merasa lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebas, dan lebih banyak memperhatikan bentuk tubuhnya. Hal tersebut memberi berdampak terhadap kebiasaan makan remaja putri.

Uang jajan

Besar uang jajan merupakan sejumlah uang yang diterima siswa dalam sehari untuk membeli jajanan. Jajan untuk anak sekolah menjadi suatu kebiasaan (Sinaga et al. 2012). Kisaran uang jajan contoh di SMP kota yaitu Rp 2 000-Rp 16 000. Rata-rata uang jajan contoh di SMP kota yaitu Rp 8 680 ± Rp 3 190. Kisaran uang jajan contoh di SMP desa yaitu Rp 2 000-Rp 12 000. Rata-rata uang jajan contoh di SMP desa yaitu Rp 4 800 ± Rp 2 740. Sebagian besar remaja putri

(18)

(67%) di kota dan di desa mempunyai uang jajan berkisar antara Rp 5 000 - Rp 12 000. Contoh di SMP desa lebih banyak yang mempunyai uang jajan <Rp 5 000 dibandingkan contoh di SMP kota (Tabel 4). Hasil uji beda menggunakan

Independent Sample T–test menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara

uang jajan contoh di SMP kota dan SMP di desa (p<0.05). Uang jajan contoh di kota lebih tinggi daripada uang jajan contoh di desa.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan uang jajan di kota dan desa

Uang Jajan SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n % n % n % p=0.001 < Rp 5 000 1 2 24 48 25 25 Rp 5 000 - Rp Rp 12 000 42 84 25 50 67 67 > 12 000 7 14 1 2 8 8 Total 50 100 50 100 100 100 Karakteristik Keluarga Besar keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Kisaran besar keluarga contoh di SMP kota yaitu 3–8 orang dengan median 5 orang. Kisaran besar keluarga contoh di SMP desa yaitu 2–14 orang dengan median 6 orang. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar contoh di SMP kota maupun di SMP desa mempunyai keluarga sedang terdiri dari 5-7 orang. Contoh di SMP kota lebih banyak mempunyai keluarga kecil dibandingkan dengan contoh di SMP desa. Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara besar keluarga contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05).

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga di kota dan desa

Besar keluarga SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n % n % n % p=0.01 Kecil (< 4 orang) 21 42 15 30 36 36 Sedang (5-7 orang) 28 56 22 44 50 50 Besar (>7 orang) 1 2 13 26 14 14 Total 50 100 50 100 100 100

Arisman (2004) menyatakan pemenuhan pangan dan gizi dipengaruhi oleh besar kecilnya keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga maka kebutuhan pangan yang harus tercukupi akan semakin meningkat sehingga biaya yang diperlukan untuk pengeluaran pangan keluarga akan semakin tinggi.

Pendidikan orangtua

Sebagian besar (56%) pendidikan ayah contoh di SMP kota sampai SMA sedangkan pendidikan ayah contoh di SMP desa sebagian besar (46%) sampai SD.

(19)

Di SMP desa masih ada ayah contoh yang tidak sekolah. Pendidikan ayah tertinggi di SMP kota yaitu perguruan tinggi sedangkan di SMP desa SMA (Tabel 6). Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pendidikan ayah contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05), yaitu pendidikan ayah di kota lebih tinggi daripada pendidikan ayah di desa.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ayah di kota dan desa

Pendidikan ayah SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n % n % n % Tidak sekolah 0 0 2 4 2 2 p=0.000 SD 4 8 23 46 27 27 SMP 5 10 16 32 21 21 SMA 28 56 9 18 37 37 Perguruan tinggi 13 26 0 0 13 13 Total 50 100 50 100 100 100

Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar (50%) pendidikan ibu contoh di SMP kota sampai SMA sedangkan pendidikan ibu contoh di SMP desa sebagian besar (52%) sampai SD. Di SMP desa masih ada ibu contoh yang tidak sekolah. Pendidikan ibu tertinggi di SMP kota dan desa yaitu perguruan tinggi. Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat pendidikan ibu contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05), yaitu pendidikan ibu contoh di SMP kota lebih tinggi daripada di SMP desa.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ibu di kota dan desa

Pendidikan ibu SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n % n % n % p=0.000 Tidak sekolah 0 0 4 8 2 2 SD 9 18 26 52 27 27 SMP 6 12 10 20 21 21 SMA 25 50 9 18 37 37 Perguruan tinggi 10 20 1 2 13 13 Total 50 100 50 100 100 100 Pekerjaan orangtua

Pendidikan sangat menentukan pekerjaan. Pendidikan yang tinggi mempunyai peluang untuk memperoleh pekerjaan yang baik sehingga pendapatan yang diperoleh juga semakin baik. Pekerjaan orangtua dikategorikan menjadi tujuh macam yaitu: tidak bekerja (ibu rumah tangga), PNS/Polisi/ABRI, karyawan swasta, buruh, wiraswasta/pedagang, jasa (penjahit, salon) dan lainnya. Tabel 8 menunjukkan bahwa contoh di SMP kota lebih banyak memiliki ayah yang

(20)

bekerja sebagai karyawan swasta sedangkan di SMP desa lebih banyak memiliki ayah yang bekerja sebagai buruh.

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah di kota dan desa

Pekerjaan ayah SMP Kota SMP Desa Total

n % n % n % Tidak bekerja 0 0 7 14 7 7 PNS/Polisi/ABRI 4 8 1 2 5 5 Karyawan swasta 22 44 6 12 28 28 Buruh 10 20 18 36 28 28 Wiraswasta/pedagang 10 20 5 10 15 15 Jasa (Penjahit,salon) 3 6 9 18 12 12 Lainnya 1 2 4 8 5 5 Total 50 100 50 100 100 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa contoh di SMP kota dan di SMP desa lebih banyak memiliki ibu yang tidak bekerja yaitu sebagai ibu rumah tangga. Ibu yang bekerja baik di kota maupun di desa lebih banyak sebagai wiraswasta atau pedagang. Pekerjaan orangtua terutama ibu yang bekerja akan mempengaruhi kebiasaan makan dalam keluarga. Hal ini disebabkan karena umumnya ibu terlibat langsung dalam perencanaan menu dan penyediaan makanan keluarga. Ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan bagi keluarganya. Hal ini yang membuat remaja sering memilih untuk makan di luar (Sinaga et al. 2012).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ibu di kota dan desa

Pekerjaan ibu SMP Kota SMP Desa Total

n % n % n % Tidak bekerja 39 78 42 84 81 81 PNS/Polisi/ABRI 1 2 1 2 2 2 Karyawan swasta 3 6 0 0 3 3 Buruh 0 0 0 0 0 0 Wiraswasta/pedagang 5 10 6 12 11 11 Jasa (Penjahit,salon) 1 2 1 2 2 2 Lainnya 1 2 0 0 1 1 Total 50 100 50 100 100 100

Pendapatan per kapita

Kisaran pendapatan per kapita di SMP kota yaitu Rp80 000–Rp4 750 000 dengan median yaitu Rp541 667. Kisaran pendapatan per kapita di SMP desa yaitu Rp28 571–Rp1 000 000 dengan median yaitu Rp146 429. Sebagian besar keluarga contoh di SMP kota (62%) tergolong dalam kategori tidak miskin, sedangkan di SMP desa sebagian besar (68%) tergolong miskin (Tabel 10). Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara pendapatan per kapita contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05).

(21)

Braithwaite et al. (2009) menyatakan bahwa pendapatan keluarga mempengaruhi status gizi, hal ini terkait dengan daya beli terhadap bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Pada penelitian didapatkan bahwa pendapatan berhubungan negatif dengan usia menarche (p=0.03), artinya semakin tinggi pendapatan maka usia menarche semakin dini. Hal ini sejalan dengan penelitian Rogol (2000) yang menyatakan penurunan usia menarche juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi yang tinggi.

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita di kota dan desa

Pendapatan per kapita SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n % n % n % p=0.000 Miskin 19 38 34 68 53 53 Tidak miskin 31 62 16 32 47 47 Total 50 100 50 100 100 100 Kebiasaan Makan Frekuensi makan lengkap

Frekuensi makan lengkap dalam penelitian ini adalah seperti makan sereal, roti, mie, nasi dan lauk pauk. Sebagian besar contoh (46%) memiliki frekuensi makan lengkap 2 kali sehari, yaitu tepatnya makan siang dan makan malam. Frekuensi makan lengkap pada remaja banyak yang tidak teratur (Arisman 2004). Kisaran frekuensi makan lengkap di SMP kota yaitu 2–4 kali/hari dengan median yaitu 3 kali/hari. Kisaran frekuensi makan lengkap di SMP kota yaitu 2–4 kali/hari dengan median yaitu 2 kali/hari.

Berdasarkan Tabel 11 contoh di SMP kota sebagian besar (52%) memiliki frekuensi makan lengkap 3 kali sehari, sedangkan contoh di SMP desa sebagian besar (54%) memiliki frekuensi makan lengkap 2 kali sehari. Contoh dengan frekuensi makan lengkap 2 kali sehari adalah contoh yang sering meninggalkan sarapan, sedangkan yang memiliki frekuensi makan lengkap 4 kali contoh yang sering membawa bekal. Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi makan lengkap contoh di SMP kota dan SMP desa (p>0.05).

Makan bersama keluarga

Kisaran frekuensi makan bersama keluarga di SMP kota yaitu 2–7 kali/minggu dengan median 3 kali/minggu. Kisaran frekuensi makan bersama keluarga di SMP desa yaitu 0–7 kali/minggu dengan median 3 kali/minggu. Berdasarkan Tabel 11 frekuensi makan bersama keluarga contoh sebagian besar (73%) tergolong dalam kategori jarang (2-3 kali/minggu) di SMP kota maupun di SMP desa. Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi makan bersama keluarga contoh di SMP kota dan SMP desa (p>0.05). Kegiatan makan bersama keluarga mulai ditinggalkan oleh remaja. Hal ini disebabkan aktivitas yang banyak dilakukan di luar rumah yang menyebabkan kebiasaan makan remaja dipengaruhi rekan sebayanya (Khomsan 2003). Sharlin dan Edelstein (2011) menyatakan Individu yang sering makan bersama keluarga lebih terkontrol jenis dan jumlah makanan.

(22)

Tabel 11 Kebiasaan makan contoh di kota dan desa

Kebiasaan makan SMP Kota SMP Desa Total Uji

beda

n % n % n %

Frekuensi makan lengkap

p=0.270

2 kali 19 38 27 54 46 46

3 kali 26 52 18 36 44 44

4 kali 5 10 5 10 10 10

Total 50 100 50 100 100 100

Makan bersama keluarga

p=0.062

Selalu (setiap hari) 16 32 9 18 25 25

Kadang-kadang (2-3 kali/minggu) 34 68 39 78 73 73

tidak pernah 0 0 2 4 2 2

Total 50 100 50 100 100 100

Jumlah air yang diminum

p=0.000 <8 gelas 33 66 46 92 79 79 > 8 gelas 17 34 4 8 21 21 Total 50 100 50 100 100 100 Frekuensi sarapan p=0.792 setiap hari 17 34 17 34 34 34 kadang-kadang(2-3x/minggu) 28 56 31 62 59 59 tidak pernah 5 10 2 4 7 7 Total 50 100 50 100 100 100 Konsumsi suplemen P=0.125 Ya 16 32 8 16 24 24 Tidak 34 68 42 84 76 76 Total 50 100 50 100 100 100

Frekuensi makan camilan/snack

p=0.688

setiap hari 29 58 27 54 56 56

kadang-kadang(2-3x/minggu) 21 42 23 46 44 44

tidak pernah 0 0 0 0 0 0

Total 50 100 50 100 100 100

Konsumsi fast food(1 minggu terakhir)

p=0.028 tidak pernah 0 0 8 16 8 8 1 kali 18 36 18 36 36 36 2-3 kali 30 60 23 46 53 53 >3kali 2 4 1 2 3 3 Total 50 100 50 100 100 100

Jumlah air diminum

Air merupakan zat gizi, air mempunyai fungsi penting bagi tubuh salah satunya yaitu air sebagai pembentuk sel, termasuk sel darah. Kebutuhan air untuk remaja awal (13-15 tahun) yaitu sekitar 2L setara dengan 8 gelas (Santoso 2011). Jumlah air yang diminum dalam penelitian ini adalah air putih. Kisaran jumlah air

(23)

yang diminum contoh di SMP kota yaitu 3–17 gelas/hari dengan median 7 gelas/hari. Kisaran jumlah air yang diminum contoh di SMP desa yaitu 1–11 gelas/hari dengan median 5 gelas/hari. Sebagian besar contoh di SMP kota maupun SMP desa (79%) minum air putih dalam sehari <8 gelas. Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah air yang diminum contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05) yaitu konsumsi air contoh di SMP kota lebih tinggi dibandingkan di SMP desa.

Frekuensi sarapan

Kisaran frekuensi sarapan contoh di SMP kota dan SMP desa yaitu 0–7 kali/minggu dengan median yaitu 3 kali/minggu. Sharlin dan Edelstein (2011) menyatakan bahwa remaja merupakan kelompok umur yang paling sering melewatkan sarapan terutama remaja putri. Hal tersebut terjadi karena remaja putri beranggapan bahwa mereka dapat mengontrol berat badan dengan cara mengabaikan sarapan. Idealnya sarapan memenuhi seperempat hingga sepertiga kebutuhan energi dan zat gizi harian (Almatsier 2011).

Contoh yang rutin setiap hari sarapan hanya 34 %. Sebagian besar contoh (59%) melakukan sarapan hanya kadang-kadang (2-3 kali/minggu), bahkan masih ada contoh (7% ) yang tidak pernah sarapan. Berdasarkan hasil wawancara pada contoh menu yang paling sering waktu sarapan yaitu nasi, ayam goreng, dan susu. Hasil wawancara juga menunjukkan alasan contoh meninggalkan sarapan yaitu karena pagi hari selera makan belum ada dan terkadang buru-buru berangkat ke sekolah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hermina (2009), kesibukan orangtua di pagi hari atau belum adanya selera makan di pagi hari menjadi alasan dari sejumlah anak berangkat ke sekolah tanpa sarapan. Hasil uji beda menggunakan

Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata frekuensi

sarapan contoh di SMP kota dan SMP desa (p>0.05).

Konsumsi suplemen

Berdasarkan hasil wawancara, contoh yang mengonsumsi suplemen 24 orang (24%). Sebagian besar contoh (76%) tidak mengonsumsi suplemen saat ini. Contoh di SMP kota lebih banyak (32%) yang mengonsumsi suplemen daripada contoh di SMP desa (16%). Suplemen yang dikonsumsi oleh contoh berupa suplemen yang berfungsi untuk pertumbuhan dan daya tahan tubuh. Hasil analisis konsumsi suplemen didapat bahwa contoh di SMP kota mengonsumsi enervon-C 7 orang (44%), scott emulsion 5 orang (31%), dan zevit grow 4 orang (25%), sedangkan contoh di SMP desa mengonsumsi Vit C 4 orang (50%), scott emulsion 2 orang (25%), dan zevit grow 2 orang (25%). Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara konsumsi suplemen contoh di SMP kota dan SMP desa (p>0.05).

Frekuensi fast food

Fast food adalah makanan yang dapat diolah dan disajikan dalam waktu

yang singkat dan mudah dalam hitungan beberapa menit. Fast food dipilih karena keterbatasan waktu maupun fasilitas untuk menyiapkan makanannya sendiri. Remaja disibukkan pada jadwal pelajaran yang padat di sekolah, ditambah lagi banyak diantara remaja yang mengambil les tambahan di luar jam sekolah. Pada

(24)

hari libur remaja cenderung mengalokasikan waktu dengan menonton televisi atau jalan-jalan ke mall dan memilih mengkonsumsi fast food.

Sharlin dan Edelstein (2011) menyatakan bahwa remaja merupakan kelompok yang sangat senang dengan makanan jenis fast food. Kemudahan memperoleh makanan siap santap (fast food) yang sekarang sudah banyak, terutama di kota-kota besar seperti fried chicken, burger, dan pizza. Sharlin dan Edelstein (2011) menyatakan umumnya makanan ini tinggi energi, lemak, karbohidrat, dan garam, tetapi rendah vitamin A, vitamin C, riboflavin, asam folat, kalsium, dan serat.

Kisaran frekuensi konsumsi fast food contoh di SMP kota yaitu 1–7 kali/minggu dengan median 2 kali/minggu. Kisaran frekuensi konsumsi fast food contoh di SMP desa yaitu 0–5 kali/minggu dengan median 1 kali/minggu. Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar contoh (53%) mengonsumsi fast food 2-3 kali seminggu. Terdapat 8% contoh yang tidak mengonsumsi fast food satu minggu terakhir yaitu contoh di SMP desa. Contoh fast food yang paling dominan dikonsumsi yaitu fried chicken. Rata-rata fast food dalam sehari menyumbangkan energi 42 kkal, protein 3.8 g, zat besi 0.4 mg. Hasil uji beda menggunakan Mann

Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara frekuensi

mengonsumsi fast food contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05).

Frekuensi konsumsi pangan contoh

Frekuensi konsumsi pangan diukur menggunakan metode FFQ. Frekuensi konsumsi pangan menggambarkan kualitas pangan yang dikonsumsi. Tabel 12 menunjukkan frekuensi konsumsi pangan contoh per minggu dalam sebulan terakhir. Tampak bahwa frekuensi konsumsi daging sapi, ikan, dan susu lebih sering di SMP kota, sedangkan di SMP desa lebih sering mengonsumsi lauk nabati, telur, sayuran, teh, dan makanan tinggi lemak. Hasil uji beda frekuensi konsumsi pangan contoh menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata pada frekuensi konsumsi daging sapi, ikan, susu, dan makanan tinggi lemak.

Tabel 12 Frekuensi konsumsi pangan contoh per minggu

Jenis Pangan Frekuensi (minggu) Uji beda

SMP kota SMP desa

Serealia dan umbi-umbian 14 (7, 21) 14(7, 21) p=0.140

Lauk nabati 3.8 (0.5, 14) 4.2 (1.8, 12) p=0.091 Daging sapi 0.5 (0, 2.8) 0.2 (0, 1.2) p=0.000 Ayam 1.9 (0, 7) 1.9 (0.2, 3.7) p=0.102 Telur 2.8 (0.5, 7) 3.7 (0.9, 7) p=0.567 Ikan 2.3 (0, 3.7) 1.8 (0, 6.6) p=0.005 Sayuran 5.5(0.6, 13) 9 (0.4, 12) p=0.080 Buah-buahan 1.9(0, 7) 1.9 (0.2, 3.7) p=0.165 Susu 2.8 (0, 14) 1.9 (0, 7) p=0.001 Teh 1.9 (0.2, 14) 2.8 (0, 3.7) p=0.234

(25)

Rekomendasi Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) untuk kelompok remaja (13-15 tahun) yaitu konsumsi nasi per hari sebesar 400g/hari (4 porsi), lauk nabati sebesar 150 g/hari (3 porsi), lauk hewani sebesar 150 g/hari (3 porsi), sayuran sebesar 300 g/hari (3 porsi), buah-buahan sebesar 200 g/hari (4 porsi), dan untuk konsumsi susu tidak ada batasannya untuk remaja. Jika dibandingkan dengan anjuran PUGS, konsumsi contoh masih berada di bawah anjuran.

Asupan dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi (TKG)

Asupan zat gizi contoh merupakan hasil konversi dari semua konsumsi pangan. Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh di SMP kota per hari yaitu 1342± 359.7 kkal dengan asupan terendah 468 kkal dan asupan tertinggi 2121 kkal. Asupan protein 36±12.7 g dengan asupan terendah 14 g dan asupan tertinggi 75 g. Nilai median asupan lemak 38.9 g, karbohidrat 393.7 g, zat besi 8.4 mg, vitamin A 280,7 RE, dan vitamin C 13.1 mg. Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh di SMP desa per hari yaitu 1314± 408 kkal dengan asupan terendah 696 kkal dan asupan tertinggi 2689 kkal. Asupan protein 31.6±10.5 g dengan asupan terendah 13 g dan asupan tertinggi 62 g. Nilai median asupan lemak 34.7 g, karbohidrat 211.4 g, zat besi 9.1 mg, vitamin A 194.3 RE, dan vitamin C 22.1 mg (Tabel 13).

Tabel 13 Rata-rata asupan dan TKG contoh per hari di kota dan desa

Zat Gizi SMP Kota SMP Desa Uji beda Asupan Tingkat Kecukupan Asupan Tingkat Kecukupan Energi 1342± 359.7 61±18.7 1314± 408 60±19.7 p=0.717 Protein 36±12.7 68±25.5 31.6±10.5 61±20.4 p=0.051 Lemak 38.9 (7, 101) 66 (11, 176) 34 (11, 122) 60 (18, 234) p=0.123 Karbohidrat 393 (93, 2839) 127 (29, 853) 211.4 (80, 812) 73 (33, 251) p=0.000 Zat besi 8.4 (2, 25) 32 (7, 100) 9.1 (4, 30) 36 (1.118) p=0.301 Vitamin A 280 (39, 1762) 52 (6, 294) 194.3 (0,16) 38 (0,123) p=0.007 Vitamin C 13.1 (0, 202) 21 (0, 302) 22.1(0,83) 34 (0, 232) p=0.078

Setelah nilai asupan diperoleh, maka Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) akan dapat dihitung. Rata-rata Tingkat Kecukupan Gizi energi contoh di SMP kota dan desa adalah defisit tingkat berat (<70%), TKG protein juga berada dalam defisit tingkat berat (<70%), TKG lemak defisit tingkat berat (<70%), sedangkan Tingkat Kecukupan karbohidrat contoh di SMP kota tergolong lebih (>119%) dan di SMP desa tergolong defisit sedang (<79%). TKG zat besi, vitamin A, dan vitamin C contoh di SMP kota dan desa tergolong dalam kategori kurang (<77%). Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara asupan vitamin A contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05).

Berdasarkan konsumsi contoh, asupan zat gizi makro dan mikro masih rendah dibandingkan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG). Remaja putri mulai memperhatikan bentuk badannya, sehingga banyak yang membatasi konsumsi makanannya. Bahkan banyak yang berdiet tanpa nasehat atau pengawasan seorang ahli, sehingga pola konsumsinya sangat menyalahi kaidah-kaidah ilmu gizi. Contoh di SMP kota yang sedang melakukan diet untuk menurunkan berat badan

(26)

ada 7 orang (14%). Sebanyak 7 orang contoh yang melakukan diet, ternyata hanya 1 orang yang berstatus gizi gemuk yang lainnya berstatus gizi normal. Rata-rata contoh sudah melakukan diet 1 bulan lamanya. Contoh melakukan diet dengan cara megurangi jumlah makan, membatasi jenis makanan tertentu, dan olahraga. Jenis makanan yang dibatasi contoh saat diet yaitu susu, gorengan, fast

food dan snack. Semua contoh di SMP desa yang melakukan diet berstatus gizi

normal. Rata-rata contoh sudah melakukan diet selama 1 bulan lamanya. Contoh melakukan diet dengan cara mengurangi jumlah makan, membatasi jenis makanan tertentu, olahraga, dan mengurangi frekuensi makan. Jenis makanan yang dibatasi contoh saat diet yaitu susu, gorengan, dan snack.

Bioavailabilitas Zat Besi

Pengukuran bioavailabilitas besi menggunakan metode Du et al. (1999). Faktor pendorong bioavailabilitas besi yaitu asupan vitamin C, konsumsi pangan hewani, dan konsumsi sayur serta buah sedangkan faktor penghambat adalah konsumsi serealia, kacang-kacangan, dan teh. Tabel 14 menunjukkan bahwa konsumsi pangan hewani di kota lebih tinggi (132 g), akan tetapi asupan Fe dan vitamin C di desa lebih tinggi masing-masing 9.1 mg dan 22.1 mg. Hal ini disebabkan pemilihan jenis pangan yang berbeda, dimana contoh di kota lebih banyak mengonsumsi pangan hewani berupa ikan (kota 23 g, desa 12.5 g), sedangkan di desa adalah telur (kota 25 g, desa 30 g) yang menyumbangkan Fe lebih tinggi. Tingginya asupan vitamin C disebabkan konsumsi sayur dan buah yang berbeda. Jenis sayur yang paling sering dikonsumsi contoh di SMP kota yaitu sayur sop yang terdiri dari wortel, kol, dan kentang, sedangkan di SMP desa yaitu sayur sawi yang menyumbangkan Fe dan vitamin C lebih tinggi. Contoh di SMP kota lebih sering mengonsumsi buah jeruk, sedangkan contoh di SMP desa yaitu buah pisang. Tabel 14 menunjukkan nilai bioavailabilitas besi dari pangan yang dikonsumsi contoh di SMP kota dan di SMP desa.

Tabel 14 Perhitungan bioavailabilitas besi contoh di kota dan desa

Total Pangan Hewani (g) Fe (mg) Vit C (mg) Heme Faktor Besi Heme (mg) Besi Non Heme (mg) Bioavailabilitas (%) Besi Terserap Total (%) heme Non Heme Heme (mg) Non Heme (mg) Total (mg) Kota 132,0 8,4 13,1 0,4 3,4 5,1 23,0 1,5 0,78 0,08 0,89 10,1 Desa 81,5 9,1 22,1 0,4 3,7 5,5 23,0 2,0 0,8 0,1 1,0 10,4

Tampak bahwa median persentase bioavailabilitas besi contoh di kota yaitu 10.1%, persentase bioavailabilitas berkisar dari 9.3% - 11.2% dari total asupan zat besi makanan yang dikonsumsi. Median persentase bioavailabilitas besi contoh di desa yaitu 10%, persentase bioavailabilitas berkisar dari 9.5% - 12% dari total asupan zat besi makanan yang dikonsumsi. Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara bioavailabilitas besi contoh di SMP kota dan SMP desa. Persentase bioavailabilitas besi contoh di SMP kota dan desa termasuk dalam kategori penyerapan besi sedang. Nathan (1987) mengklasifikasikan makanan sehari-hari berdasarkan kemampuan tubuh dalam mengabsorbsi zat besi dari makanan

(27)

tersebut, yaitu absorbsi besi rendah atau sama dengan 5%, absorbsi besi sedang atau sama dengan 10% dan absorbsi besi tinggi atau sama dengan 15%.

Berdasarkan Tabel 15, kisaran bioavailabilitas besi heme contoh di SMP kota yaitu 0.16–2.31 mg dengan median 0.78 mg dan bioavailabilitas besi heme di SMP desa lebih kurang sama yaitu 0.4–2.8 mg dan median 0.8 mg. Kisaran bioavailabilitas besi non heme contoh di SMP kota yaitu 0.01–0.4 mg dengan median 0.08 mg dan bioavailabilitas besi non heme di SMP desa lebih kurang sama yaitu 0–0.3 mg dan median 0.1 mg. Hasil uji beda menggunakan Mann

Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara bioavailabilitas

besi total contoh di SMP kota dan SMP desa (p>0.05).

Tabel 15 Bioavailabilitas besi contoh di kota dan desa

Bioavailabilitas besi SMP Kota SMP Desa Uji beda

(mg) (mg)

Heme 0.78(0.16, 2.31) 0.8(0.4, 2.8) p=0.280

Non-heme 0.08(0.01, 0.40) 0.1(0, 0.30) p=0.006

Total 0.89(0.18, 2.71) 0.9(0.5, 3.0) p=0.249

Rata-rata bioavailabilitas besi heme dan non-heme berturut-turut 23% dan 1.7%. Zat besi heme banyak terdapat pada pangan hewani dan zat besi non-heme dalam bahan pangan nabati (Du et al. 1999). Zat besi heme dan non-heme memiliki perbedaan dalam bioavailabilitasnya. Zat besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu sekitar 15-30% karena diserap secara utuh dalam cincin porfirin dan tidak terekspos ligan – ligan penghambat (pengikat) yang ada dalam makanan. Zat besi non-heme dalam bahan pangan masuk ke dalam pool yang memudahkan dipertukarkan (exchangeable pool). Pool ini menyebabkan adanya efek dari ligan - ligan pendorong dan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu hanya 2-20% besi non-heme yang dapat diserap tergantung pada ligan dan status zat besi seseorang (Nathan 1987).

Kebutuhan zat besi seorang remaja putri adalah 1.68 mg/hari yang dihitung berdasarkan kehilangan basal 0.65 mg, menstruasi 0,48 mg, dan pertumbuhan 0.55 mg. (FAO/WHO 2001). Berdasarkan kebutuhan zat besi tersebut. Sebagian besar contoh di SMP kota (88%) memiliki bioavailabilitas yang kurang, sedangkan contoh di SMP desa sebagian besar (64%) memiliki bioavailbabilitas lebih (Tabel 16). Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara bioavailabilitas besi berdasarkan kebutuhan elementer contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan bioavailabilitas besi di kota dan desa

Bioavailabilitas besi

SMP kota SMP desa Total Uji beda

n % n % n %

p=0.000

< 1.68 mg 44 88 18 36 62 62

> 1.68 mg 6 12 32 64 38 38

(28)

Status Gizi

Menurut Supariasa et al. (2001) penilaian status gizi dapat dilakukan melalui pengukuran langsung (survei konsumsi pangan, statistik vital, dan faktor ekologi) dan tidak langsung (antropometri, biokimia, biofisk, dan klinis). Metode penilaian status gizi yang sering digunakan adalah antropometri, yaitu dengan pengukuran dimensi dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Indeks antropometri yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun adalah Indeks Massa Tubuh berdasarkan Umur (IMT/U).

Berdasarkan Tabel 17, status gizi contoh di SMP kota menurut TB/U sebagian besar (86%) tergolong dalam kategori normal, sedangkan 14% lainnya tergolong dalam kategori pendek. Angka prevalensi stunting pada penelitian ini lebih rendah daripada prevalensi stunting di perkotaan dan nasional yaitu 18.5% dan 35.2% pada kategori umur 13-15 tahun (Riskesdas 2010). Contoh di SMP desa sebagian besar (64%) tergolong dalam kategori normal, sedangkan 32% contoh pendek dan 4% lainnya tergolong dalam kategori sangat pendek. Angka prevalensi stunting pada penelitian ini lebih rendah daripada prevalensi stunting di perdesaan yaitu 52.7% dan lebih tinggi dibandingkan prevalensi sunting nasional yaitu 35.2% pada kategori umur 13-15 tahun (Riskesdas 2010). Prevalensi stunting di SMP desa dua kali lebih tinggi dibandingkan di SMP kota. Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara status gizi (TB/U) contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05).

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan status gizi di kota dan desa

Status gizi SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n % n % n % p=0.000 TB/U Sangat Pendek 0 0 2 4 2 2 Pendek 7 14 16 32 23 23 Normal 43 86 32 64 75 75 Total 50 100 50 100 100 100 IMT/U p=0.193 Sangat Kurus 0 0 0 0 0 0 Kurus 0 0 3 6 3 3 Normal 38 76 46 92 84 84 Overweight 12 24 1 2 13 13 Obes 0 0 0 0 0 0 Total 50 100 50 100 100 100

Selain itu, pengukuran status gizi contoh juga diukur berdasarkan IMT/U diperoleh bahwa sebagian besar contoh di SMP kota (76%) termasuk dalam kategori normal, sedangkan yang lainnya (24%) tergolong overweight. Angka prevalensi overweight pada penelitian ini lebih tinggi daripada prevalensi

overweight di perkotaan dan nasional yaitu 3.2% dan 2.5% pada kategori umur

(29)

lebih tinggi dibandingkan di SMP desa. Tingginya prevalensi overweight pada penelitian ini diduga disebabkan pengkategorian overweight berdasarkan nilai

z-score yang berbeda pada WHO (2007) dan Riskesdas, dimana Riskesdas

menggunakan nilai score untuk kategori overweight yaitu >2 sedangkan nilai

z-score untuk kategori overweight WHO (2007) yaitu 1-2.

Contoh di SMP desa sebagian besar (92%) tergolong dalam kategori normal, sedangkan 6% contoh kurus dan 2% lainnya tergolong dalam kategori overweight. Prevalensi contoh yang status gizinya kurus di SMP desa pada penelitian ini lebih rendah dari prevalensi status gizi kurus di perdesaan yaitu 7.6% dan prevalensinya sama dengan prevalensi nasional yaitu 6% (Riskesdas 2010). Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara status gizi (IMT/U) contoh di SMP kota dan SMP desa (p>0.05).

Status Anemia

Remaja putri sangat rentan terhadap anemia terutama anemia gizi besi karena berada dalam masa pertumbuhan dan sudah mengalami menstruasi. Berdasarkan hasil penelitian kisaran kadar Hb contoh di SMP kota yaitu 7.4 –14.8 mg/dl. Rata-rata kadar Hb contoh di SMP kota yaitu 12.0 ± 1.5 mg/dl. Kisaran kadar Hb contoh di SMP desa yaitu 7.7–14.4 mg/dl. Rata-rata kadar Hb contoh di SMP desa yaitu 12.0 ±1.3 mg/dl. Hasil uji beda menggunakan Independent

Sample T–test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kadar Hb

contoh di SMP kota dan SMP di desa (p>0.05).

Berdasarkan Tabel 18 status anemia sebagian besar contoh di SMP kota (60%) berada dalam kategori normal (Hb>12 g/dl) dan yang lainnya (40%) berada dalam kategori anemia (Hb<12 g/dl). Contoh di SMP desa yang berada pada status anemia yaitu 44% dan 56% berada dalam kategori normal. Hasil uji beda menggunakan Mann Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara status anemia contoh di SMP kota dan SMP desa (p>0.05).

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan status anemia di kota dan desa

Status anemia SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n % n % n % p=0.423 Normal (Hb > 12 g/dl) 30 60 26 52 56 56 Anemia (Hb < 12 g/dl) 20 40 24 48 44 44 Total 50 100 50 100 100 100 Usia Menarche

Menarche adalah saat terjadinya perdarahan pertama dari uterus yang terjadi

pada seorang wanita. Menstruasi pertama (menarche) biasanya dimulai antara usia 10 sampai 16 tahun. Berdasarkan Riskesdas (2010) usia menarche remaja putri di perkotaan sebagian besar yaitu 24% di usia 11-12 tahun dan 39.8% usia 13-14 tahun, sedangkan remaja putri di perdesaan sebagian besar 34.8% memiliki usia

(30)

kisaran usia menarche contoh di SMP kota yaitu 10–14 tahun dengan median 12 tahun. Kisaran usia menarche contoh di SMP desa yaitu 12–15 tahun dengan median 13 tahun. Usia menarche dikatakan normal jika terjadi pada umur 12 – 14 tahun (Simon 2003).

Tabel 19 menunjukkan bahwa 82% contoh di SMP kota dan 98% contoh di SMP desa mengalami menarche pada usia 12-14 tahun tergolong kategori nomal menurut Simon (2003). Contoh lainnya di SMP kota 18% mengalami menarche pada usia 10-11 tahun (menarche dini), sedangkan 2% lainnya di SMP desa mengalami menarche pada usia 15 tahun. Pacadara et al. (2008) menyatakan remaja di perdesaan mengalami menarche lebih lama (13.09±0.89) dibandingkan dengan remaja di perkotaan (12.91±0.93). Hasil uji beda menggunakan Mann

Whitney menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antara usia menarche

contoh di SMP kota dan SMP desa (p<0.05).

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan usia menarche di kota dan desa

Usia menarche SMP Kota SMP Desa Total Uji beda

n (%) n (%) n (%) p=0.001 10 tahun 1 2 0 0 1 1 11 tahun 8 16 0 0 8 8 12 tahun 21 42 14 28 35 35 13 tahun 13 26 22 44 35 35 14 tahun 7 14 13 26 20 20 15 tahun 0 0 1 2 1 1 Total 50 100 50 100 100 100

Modernisasi dan gaya hidup yang serba instan dipercaya sebagai faktor yang memegang andil cukup besar dalam percepatan usia menarche (Rokade 2009). Rogol (2000) menyatakan bahwa penurunan usia menarche juga dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi keluarga dan aktifitas fisik yang tinggi. Selain itu perbaikan asupan zat gizi akan berdampak kepada penurunan usia menstruasi pertama. Menarche dini lebih cenderung ditemui pada wanita dengan status gizi baik sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lusiana dan Dwiriani (2007).

Menarche dini beresiko terhadap kanker payudara, hal ini disebabkan oleh

paparan hormon estrogen yang terus-menerus pada sel-sel kelenjar atau saluran kelenjar pada payudara yang akan menyebabkan pertumbuhan tidak normal pada sel-sel tersebut (Surbakti 2012), sedangkan keterlambatan usia menarche dapat menyebabkan kegagalan penimbunan mineral pada tulang sehingga beresiko osteoporosis, selain itu menarche yang terlambat akan membuat remaja cenderung mengalami retardasi (Rogol 2000).

Hubungan Bioavailabilitas Zat Besi dengan Status Anemia

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara bioavailabilitas besi dengan status anemia pada contoh (p= 0.641; r=0.327). Hal ini diduga disebabkan oleh perhitungan bioavailabilitas besi yang diukur hanya berasal dari pangan yang dikonsumsi selama 2 hari yang menggunakan metode recall 2x24 jam. Selain itu, diduga

(31)

bahwa walaupun bioavailabilitas besi tinggi akan tetapi tidak didukung dengan asupan zat besi yang memadai seperti dalam contoh penelitian ini, maka akan tetap anemia. Berdasarkan Sulistyorini (2006) asupan zat besi berhubungan dengan status anemia. Selain itu terdapat faktor lain yang menyebabkan anemia yaitu infeksi cacing tambang pada usus (Nirmala 2005).

Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Anemia

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif signifikan antara frekuensi konsumsi telur ayam dengan status anemia (kadar Hb) pada contoh (p= 0.020; r= 0.232). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering mengonsumsi telur ayam maka kadar Hb semakin tinggi. Telur ayam merupakan pangan hewani yang tinggi protein. Protein hewani banyak mengandung besi heme. Zat besi heme memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu sekitar 15-30% karena diserap secara utuh dalam cincin porifin dan tidak terekspos ligan-ligan penghambat yang ada dalam makanan (Nathan 1987).

Selain itu frekuensi konsumsi sawi juga berhubungan positif signifikan dengan status anemia (kadar Hb) contoh (p= 0.037; r=0.209). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering mengonsumsi sawi maka kadar Hb semakin tinggi. Sawi merupakan jenis sayuran yang banyak mengandung vitamin A dan vitamin C. Vitamin A berperan dalam diferensiasi sel darah merah sedangkan vitamin C dapat meningkatkan penyerapan besi non-heme yaitu agen pereduksi besi feri menjadi fero yang mudah diabsorbsi (Nathan 1987).

Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Menarche

Hasil analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif signifikan antara asupan lemak dengan usia menarche (p= 0.044; r= -0.209). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi asupan lemak maka usia

menarche semakin dini. Selain itu Kebiasaan makan yang tinggi protein hewani,

tinggi lemak, dan rendah serat merupakan faktor resiko terjadinya menarche dini. Susanti (2012) menyatakan bahwa contoh dengan asupan asupan lemak yang tinggi mengalami menarche 4 kali lebih cepat. Salah satu faktor yang mempengaruhi usia menarche adalah konsumsi pangan, konsumsi pangan yang berlebihan akan disimpan dalam jaringan tubuh (jaringan adiposa) yang berkorelasi positif dengan peningkatan kadar leptin (Laitinen et al. 2001). Hormon leptin juga berperan dalam masa pertumbuhan anak perempuan yang dihasilkan oleh jaringan lemak untuk mengatur kebiasaan makan serta berperan dalam mengatur masa awal pubertas (Batubara 2010). Leptin diduga sebagai perantara jaringan lemak dengan sumbu hipotalamus hipofise-gonad yang memberikan sinyal kepada sentral untuk dimulainya peningkatan sekresi GnRH sebagai awal dimulainya pubertas (Bulter et al. 2000). Lassek dan Gaulin (2007) menyatakan peningkatan level leptin yang signifikan (28%) selama 6 bulan merupakan pemicu terjadinya menarche.

Variabel lain yang berhubungan dengan usia menarche yaitu IMT (p= 0.033; r= -0.213). Hal ini menunjukkan semakin tinggi IMT maka usia menarche semakin dini. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Cho et al. (2010) yang dilakukan di Korea Selatan dengan metode kohort menunjukkan bahwa semakin

Gambar

Gambar 1  Hubungan kebiasaan makan dengan kejadian status anemia dan usia  menarche pada remaja putri
Tabel 1  Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 3  Sebaran contoh berdasarkan umur di kota dan desa
Tabel 6  Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ayah di kota dan desa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Burung Kepodang cukup dikenal dalam budaya Jawa, khususnya Jawa Tengah, selain hanya karena Burung Kepodang merupakan fauna identitas provinsi Jawa Tengah, Burung Kepodang juga

Dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan sumber data berupa daftar gaji pegawai, bukti pemotongan, SPT tahun 2015 dan wawancara dengan staf administrasi maka hasil

Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuansistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas ridho-Nya, penulis bisa menyelesaikan skripsi dengan judul “ MITOS DAN KOMUNIKASI (Studi Tentang Mitos Pernikahan dan

Penambahan glutathione pada medium maturasi ataupun medium kultur dengan konsentrasi yang tepat untuk melindungi embrio dari serangan radikal bebas yang mungkin terjadi saat gamet

Penelitian ini diharapkan menambah ilmu pengetahuan, menjadi refrensi untuk pengembangan keilmuan dan dapat menambah informasi untuk yang berkaitan dengan faktor

Hasil belajar pada hakekatnya adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari proses belajar.Hasil belajar meliputi pemahaman konsep (aspek kognitif), keterampilan

PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Suluttenggo dengan cara menganalisis pengendalian intern aktiva tetap yang diterapkan seperti mulainya penyusutan, metode penyusutan,