• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB l PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan pertemuan antara daratan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB l PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan pertemuan antara daratan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB l PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir merupakan suatu kawasan pertemuan antara daratan dan laut. Ke arah darat, cakupan wilayah pesisir meliputi bagian daratan (baik yang. kering rnaupun basah terendam air) yang masih dipengaruhi oleh karakteristik laut, seperti; pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan, seperti; sedimentasi, aliran air tawar, serta dampak yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti; pencemaran, dan erosi akibat penggundulan hutan (Soegiarto, 1976 ; Supriharyono, 2000 ; Bengen, 2001).

Scope kewilayahan pesisir yang demikian global seperti di atas, jelas berimplikasi pada ketidakpastian (fuzzy) jangkauan pengelolaan, sehingga

pada dinamikanya potensial menimbulkan konflik pengelolaan oleh pihak-pihak yang berkepentingan ierhadap wilayah pesisir. Hal ini sangat mungkin terjadi, karena keberadaan berbagai pengguna, serta berbagai entitas pengelola wilayah pesisir mempunyai kepentingan dan cara pandang yang berbeda-beda mengenai pernanfaatan sumberdaya pesisir. Pemicu utama potensi konflik bertolak dari tingkat produktivitas primer rata-rata di perairan pesisir, yang dapat mencapai lebih dari 500gr ~ l m ~ l t h . Nilai produktivitas primer ini sangat tinggi, bila dibandingkan dengan produktivitas primer di perairan laut dangkal

(2)

pada urnurnnya, yaitu sekitar 100 gr ~ l r n ~ l t h , ataupun di perairan laut dalarn, yang hanya rnencapai 50gr ~ l r n ~ l t h (Ryther, 1959 ; Man, 1982 dalam Supriharyono, 2000).

Di sarnping sangat tingginya tingkat produktivitas tersebut, secara konvensional dalarn rnasyarakat telah pula rnenyublirn persepsi dan perilaku sosial yang beragarn terhadap surnberdaya pesisir. Apabila persepsi yang berirnplikasi pada perilaku sosial dirnaksud berkeianjutan, rnaka pada rnuaranya akan menimbulkan dampak pada terjadinya ketidakseirnbangan kualitas kehidupan berbagai ekosistem yang berada di kawasan pesisir, yang pada gilirannya akan mengganggu kesejahteraan rnanusia.

Persepsi dan perilaku sosial dimaksud, antara lain adalah; Pertama, pesisir dan laut rnerupakan surnberdaya yang berkarakter common pool resources. Persepsi ini, berkonsekuensi pada perilaku sosial ernpiris, bahwa surnberdaya pesisir hanya dapat dirnanfaatkan secara mutual dan eksklusif oleh sejurnlah individu dalarn tatanan kelompok tertentu, yaEg pada urnurnnya di bawah kelernbagaan adat. Meskipun dalarn perspektif ini, telah terdapat konsep "properfy right" yang memberikan batasan tentang hak dan kewajiban bagi kelornpok tersebut dalarn rnernanfaatkan surnberdaya pesisir, dan keberadaannya diakui oleh kelornpok yang lain, narnun karena akses terhadap surnberdaya ini tidak dibatasi, rnaka persepsi sosial kolektif ini dapat rnenjadi pernicu terjadinya eksploitasi yang berlebihan. Fenornena perilaku sosial tersebut, cenderung sangat rentan mernunculkan pertentangan dan diliputi oleh

(3)

berbagai ketidakcocokan (incompatibility), sehingga potensial mengarah kepada konflik pemanfaatan antarberbagai kepentingan, terutama antarberbagai kelompok dalarn kesatuan tata ruang pesisir.

Kedua, persepsi tentang wilayah pesisir dan laut sebagai sumberdaya yang berkarakter open access, yang berimplikasi pada perilaku sosial, bahwa kawasan pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang dapat digunakan dan dimanfaatkan secara bebas, tanpa ada konsep property right yang membatasi penggunanya, serta tidak ada aturan pengelolaannya karena berorientasi pada kemudahan bersama. Akibatnya adalah; setiap orang akan cenderung berperilaku ekonomis, untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan dan benefit sumberdaya pesisir, tanpa ada rasa tanggung jawab dan insentif untuk melestarikan keberadaan sumberdaya tersebut. Dalam ha1 ini, berlaku prinsip " siapa yang datang duluan, akan dapat duluan" (first come, first serve). Oleh karena itu, persepsi bahwa sumberdaya pesisir dan laut berkarakter open access ini, hanya akan memberikan benefit yang lebih besar bagi pihak yang memiliki kernampuan untuk mengeksploitasinya, dan cenderung merupakan pemicu utama rnunculnya perilaku sosial masyarakat yang destruktif dan merupakan embriyo deplisi dan degradasi surnberdaya pesisir dengan berbagai ekosisternnya.

Hal lain yang sangat esensial untuk diperhatikan, dalam kaitannya dengan fenomena di atas adalah dampak yang ditimbulkan oleh perilaku alam yang eksistensinya tidak terlepas dari akumulasi perilaku komunitas

(4)

rnasyarakat pada bentang alam tersebut. Sebagairnana diketahui, bahwa secara ekologis kondisi kawasan pesisir erat kaitannya dengan sistern ecoregion daerah aliran sungai (DAS), yang berrnuara di wilayah itu. Perubahan karakter daerah aliran sungai, baik yang disebabkan oleh proses alarniah, rnaupun sebagai darnpak aktivitas rnanusia di kawasan hulu rnaupun hilir, akan rnernpengaruhi stabilitas wilayah pesisir yang bersangkutan. Dengan kata lain, agregasi perilaku kornunitas rnasyarakat di kawasan daerah aliran sungai (DAS), sangat rnernpengaruhi stabilitas wilayah pesisir.

Fenornena tersebut terjadi, karena secara alarniah daerah aliran sungai beserta kornunitas rnasyarakat yang bernaung dalarn bentang ruangnya rnerupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistern ekologi kawasan pesisir, sebagairnana dinyatakan oleh Bengen (2001), bahwa ekosistern pesisir rnerupakan suatu hirnpunan integral dari variabel abiotik dan biotik yang berhubungan satu sarna lain, dan saling berinteraksi rnernbentuk suatu struktur fungsional. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua kornponen tersebut, seperti akibat perilaku rnasyarakat pada daerah aliran sungai, rnaka akan rnempengaruhi keseluruhan sisiern yang ada, baik dalarn kesatuan struktur fungsional rnaupun dalarn keseimbangannya.

Mernperhatikan beberapa paparan di atas dapat dinyatakan, bahwa penyebab paling dorninan pada instabilitas kawasan pesisir adalah perilaku manusia. Oleh karena itu, untuk rnensinergikan pengelolaan wilayah pesisir, agar berlangsung secara sustainable, serta dapat rnerninirnalisir potensi konflik

(5)

antar berbagai kepentingan, maka dalam rancang bangunnya harus melibatkan secara intens harkat kemanusiaan dengan berbagai atribut perilakunya, dalam perspektif holistik yang merefleksikan integrated complex of interdependent antara region dan living organism. Perspektif tersebut, harus didukung oleh hierarkhi program, yang menempatkan perilaku keruangan komunitas pada posisi penentu tertinggi. Dengan demikian, skenario pernanfaatan kawasan pesisir tidak hanya didasarkan atas kajian fisik, tetapi juga didasarkan atas kajian pada perilaku komunitas yang berada dalam bentang ruangnya.

Pendekatan yang berorientasi pada perilaku komunitas tersebut, dijadikan sebagai bahan kajian mendasar yang rnenentukan tolok ukur dan langkah berikutnya. Program susulan, perlu fokuskan pada pemahaman akan berbagai jenis dan proses-proses yang terlibat dalam tata ruang wilayah pesisir yang membentuk suatu human landscape. Langkah tersebut, kemudian didukung oleh berbagai tindakan memperkenalkan dan mensosialisasikan berbagai konsep pengelolaan pesisir, seperti; ketentuan batas-batas wilayah pesisir yang berupa batas perencanaan, batas administrasi, dan batas ekologis (Gunawan, 2001).

Batasan operasional konsep-konsep pengelolaan di atas, perlu dipahami secara tepat, sinergis, dan komprehensif antarberbagai stakeholders, sehingga irnplementasi pengelolaan yang dilakukan oleh berbagai pihak (stakeholder), terkoordinir simultan dalam kesatuan interaksi yang berlangsung secara terus-menerus. Dengan demikian, operasionalisasinya dapat menekan

(6)

berbagai dampak negatif bagi pertumbuh kembangan segenap sumberdaya potensial yang berada di kawasan pesisir. Setiap tahapan program, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi, senantiasa diupayakan secara terpadu dengan memperhatikan berbagai kepentingan, baik dari sisi tema fisik maupun terna sosial.

Dalam ha1 tema sosial, salah satu komponen rnendasar yang merefleksikan perilaku manusia dalam kesatuan komunitasnya adalah aspek sosiolinguistik, yang direpresentasikan dalam bentuk guyup-tutur komunitas pada region atau areanya. Aspek ini sangat urgen, karena pada dasarnya merupakan dokumentasi yang merepresentasikan perilaku verbal manusia pada kurun waktu di unit region tertentu. Oleh karena itu, aspek ini perlu digunakan sebagai salah satu tolok ukur dalam menelusuri histori dinamika perilaku kemanusiaan, termasuk fenomena yang rnerepresentasikan hubungan antara komunitas dengan habitatnya. Hal tersebut perlu dilakukan, karena setiap guyup tutur dalam tataran sosial-komunikasi merepresentasikan adanya perbuatan atau perilaku yang terjadi pada komunitas masyarzlkat itu (Suwito. 1996). Demikian juga, guyup tutur yang merepresentasikan keterkaitan perilaku antara komun~tas masyarakat dengan bentang lahan sekitarnya.

Perilaku sosial-komunikasi dalam bentuk guyup tutur yang berlaku pada satu komunitas dalam unit area bentanglahan tertentu disebut dialect topography. Karena penyebaran variasi dialect topography ada keterkaitannya dengan habitat alam, kornunitas masyarakat, dan perkembangan komunalnya

(7)

dalarn suatu dernensi spasial, rnaka Claude Fauchat menyatakan, bahwa dialect topography adalah "Mots de leur temirl kata-kata di atas tanahnya" (dalam Chaurand, 1972).

Dalarn subsistern sernesta kebahasaan, dialect topography rnerupakan bagian esensial dari sosiolinguistik terapan. Dengan dernikian, penelitian yang urgen tentang dialect topography, yang irnplikasinya diproyeksikan untuk kepentingan pernbangunan dalarn perspektif kernanusiaan, rnaka harus menernpatkan komponen sosiolinguistik tersebut pada herarki yang paling rnendasar. Karena dialect topography secara eksplisit rnencerminkan hubungan tirnbal balik internal, antara perilaku kornunitas rnasyarakat dengan bentang ruang habitat alamnya (Chambers, 1994).

Fenornena sosiolinguistik subsistern dialect topography, yang pada dasarnya juga rnerupakan kornponen rnendasar dari terbentuknya tatanan dernograti dengan karakter kemanusiaannya pada suatu bentang ruang, belum direpresentasikan sebagai aspek pernbatas (boundary) perilaku keruangan dalarn rnelengkapi pengkajian terna sosial, perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zona Planing and Management). Oleh karena dialect tcpography, secara inhern rnencerminkan kecenderungan perilaku keruangan yang unik dari kornunitas pernakainya pada suatu bentanglahan, rnaka atribut ini penting untuk dikaji sebagai upaya rnelengkapi terna sosial pada pola perencanaan dan pengelolaan terpadu wilayah pesisir. Substansi ini dipandang penting dan sangat urgen, sebab

(8)

bentang ruang dialect topography memiliki karakter perilaku keruangan yang spesifik, karena melibatkan manusia dengan berbagai dinamika dan karakter kemanusiaannya pada suatu bentanglahan tertentu, termasuk bentang lahan pesisir dengan berbagai fenomena potensial yang melingkupinya.

Realitas spasial yang terjadi di kawasan pesisir Selatan dan Timur Propinsi Lampung, secara empiris dihuni oleh berbagai komunitas masyarakat dengan beragarn dialect topographynya. Fenomena faktual ini tentunya berdampak pada mosaik keruangan kawasan pesisir Propinsi Lampung. Namun demikian, fakta tersebut belurn direpresentasikan sebagai substansi pembatas dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management) di kawasan tersebut. Tidak mustahil, akibat tidak disertakannya komposisi ini, berdampak negatif pada sinergi keberlangsungan dan hasil yang tidak dirasakan oleh masyarakat lokal. Konsekuensinya adalah masyarakat lokal masih saja dihadapkan pada ketertinggalan dan ketidakmerataan pendapatan, sementara akses terhadap sumberdaya di lingkungan sekitamya sudah diatur sedemikian rupa, sehingga mernbatasi ruang gerak mereka dalarn rnemenuhi kebutuhan ekonorninya. Dikawatirkan fenomena ini akan berdampak pada munculnya kekurangpedulian masyarakat lokal, bahkan keantipatian pada keberlanjutan program pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Integrated Coastal Zona Management), di kawasan tersebut.

(9)

1.2

ldentifikasi Permasalahan

Kurang diperhitungkannya faktor manusia dengan berbagai dinarnika dan atribut kernanusiaanya, dalarn rnerepresentasikan penataan ruang pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, diprediksikan rnerupakan kelernahan yang sangat rnendasar dan rnerupakan akar dari perrnasalahan pengelolaan ekosistern tersebut. Asurnsi ini didasarkan atas kondisi riil, bahwa dinarnika kernanusiaan dalarn berbagai tataran perilakunya, khususnya dalarn menyikzpi bentang alarn untuk mernenuhi kebutuhan ekonorninya berpengaruh signifikan pada perubahan ekosistern.

Dernikian pula yang tejadi pada ekosistern sumberdaya pesisir, sebagai kawasan alarniah yang spesifik, produktif, rnernpunyai nilai ekologis, dan ekonornis yang sangat tinggi, serta rnerniliki daya aksesibilitas yang tak terbatas, tentu sangat rentan dengan berbagai konflik kepentingan, khususnya yang berakar dari aspek sosial. Apalagi bila dicermati, dibalik potensi dan kekayaan yang melirnpah tersebut, rnasih sangat banyak diternukan penduduk pesisir yang kehidupannya terkukung dalarn tragedi kerniskinar: absolut, di tengah sukses dan pesatnya industrialisasi di sekitarnya. Kondisi ini rnerupakan ancaman serius, karena keterbelengguan dalarn lilitan kemiskinan akan rnernaksa seseorang rnengeksploitasi surnberdaya hanya untuk rnernenuhi kebutuhan prirnernya tanpa perlu terbebani lagi dengan akibat perilakunya. Fenomena kernasyarakatan yang mernilukan ini rnerupakan sebagian kecil dari

(10)

preseden buruk akibat tidak diperhitungkannya tema sosial secara ~ H m a t dalam rancang bangun pemanfaatan ruang pesisir.

Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan yang berpedoman dan terpusat pada harkat perilaku kemanusiaan yang berakar dari dialect topography sangat penting dilakukan, sebagai upaya pengkajian yang dapat memberikan nilai esensial, sekaligus memberikan alternatif solusi mendasar dalam memecahkan kompleksitas problematika laten pengelolaan ekosistem sumberdaya pesisir Untuk maksud tersebut, dari sisi karakter manusia penelusuran dan pengkajian melalui dialect topography, sangat penting dilakukan.

Pada sisi penerapan teknologi, maka untuk keperluan dimaksud, diperlukan penggunaan perangkat Sistem lnformasi Geografis, sebagai upaya untuk mencapai tingkat akurasi yang konstan, sehingga informasi keruangan yang disajikan dalam perangkat tersebut, dapat digunakan untuk memandu tahapan perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan berikutnya, agar berkesinambungan (sustainable development) dalam keadilar, dan pemerataan akses terhadap sumberdaya. Pada muaranya, berbagai respon lanjutan yang berimplikasi pada perencanaan dan pengelolaan ekosistem sumberdaya pesisir, dapat dilakukan berdasarkan rujukan grafis dan atribut yang telah dideskripsikan di dalam perangkat sistem teknologi tersebut, yang tentunya secara terus menerus selalu disempumakan, baik basis data maupun

(11)

perangkatnya, sehingga akan rnencapai tingkat kernutakhiran dalarn rnendukung pengarnbilan keputusan yang lebih efektif dan efisien.

Dalarn teknologi Sistern lnforrnasi Geografi dikenal adanya dua terna pernetaan, yaitu pernetaan tema fisik dan pernetaan tema sosial. Pernetaan tema fisik, pendelineasiannya berorientasi pada batas-batas dalarn bentang alarn di suatu wilayah yang dapat didefinisikan secara fisik. Pernetaan tema sosial pendelineasiannya rnencakup sekurnpulan subterna yang batas- batasnya tidak atau belurn narnpak jelas secara fisik, karena terkait dengan faktor rnanusia dengan berbagai dinarnika kernanusiaannya, baik sebagai individu rnaupun sebagai kelornpok (Gunawan. 2001).

Seiiring dengan kornpleksitas perilaku kernanusiaan, pendelineasian terna sosial rnerniliki tingkat kerentanan ketidakpastian inforrnasi yang tinggi. Oleh karena itu, perlu diternpuh beberapa alternatif pernetaan sehingga tingkat kerentanan tersebut dapat dielerninir. Dengan dernikian, pernetakan yang dilakukan dapat rnencerrninkan kedekatannya pada deskripsi perilaku keruangan yang sebenarnya.

Lebih lanjut, Gunawan (2001) rnenyatakan, terdapat dua alternatif dalarn pendelineasian batas-batas terna sosial, yakni dengan observasi lapangan dan interpretasi data statistik. Pada penggunaan data statistik dapat dibagi lagi ke dalarn tiga pendekatan, yakni; pendekatan social network analysis, economic network analysis, dan sociolinguistic.

(12)

1.3

Masalahan Penelitian

Simplifikasi pendekatan sociolingistic dalam suatu wilayah keruangan, dapat dikonfigurasikan dari struktur etnis yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan dialect topographynya. Keragaman perilaku dialect topography komunitas masyarakat pada suatu bentang ruang berimplikasi pada berbagai dimensi, yang apabila dikonfigurasikan dalam batasan keruangan akan memiliki perilaku yang spesifik. Fenomena ini cukup urgen dikaji karena demensi tersebut, relevan dengan komp!eksitas perilaku yang terjadi di wilayah pesisir, termasuk juga yang terjadi di kawasan pesisir Selatan dan Timur Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi lampung Selatan.

Berkaitan dengan paparan di atas, dapat dirumuskan masalah umum penelitian sebagai berikut: "Bagaimanakah perilaku sosial-komunikasi komunitas yang membentuk suatu topografi dialek dalam merepresentasikan profil perilaku pengelolaan terpadu sumberdaya alam pesisir di Kabupaten Lampung Selatan?"

Agar permasalahan tersebut, dapat diidentifikasikan secara jelas dan operasional, maka perlu dijabarkan ke dalam beberapa deskripsinya, yaitu;

bahwa struktur ruang sosial di Pesisir Timur dan Selatan Kabupaten Lampung Selatan, memiliki karakter yang hiterogen. Hiterogenitas yang terjadi, merupakan implikasi dari struktur ruang sosial yang dibentuk oleh multi-etnis dengan berbagai latar belakang dan perilaku keruangan yang mendasarinya.

(13)

Pada sisi lain, hiterogenitas yang terjadi, juga rnerupakan efek aksesibilitas, daya dukung alam, dan prospek ekonorni kawasan tersebut. Dengan demikian, deskripsi perilaku ruang sosial pada kawasan tersebut, akan selalu berubah secara fungsional dan berlangsung secara terus rnenerus, sesuai dengan kuantitas dan kualitas komponen multi-etnis pembentuk strukturnya.

Fenomena perubahan masyarakat yang dernikian dinarnis, berirnplikasi pada kornpleksitas upaya delineasi, sehingga pada satu kurun waktu tertentu, tidak mernungkinkan tempo pendelineasian dapat rnendeskripsikan secara akurat perilaku keruangan multi-etnis dalam satu atribut yang spesifik dan berlangsung secara konstan sepanjang waktu. Dengan demikian, sifat temporalis sangat mengikat lingkup delineasi tema sosial, demikian halnya dengan penelitian ini.

Seiring dengan fenomena tersebut, penelitian dialect topography dalarn perspektif pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu ini, mensyaratkan bahwa fokus teritori penelitian hams terkonsentrasi pada kawasan tertentu yang secara ecoregion rnerniliki keterkaitan fungsional dengan sistern ekologi kawasan pesisir. Pada sisi lain, karena entitas dialect topography adalah community of man and human, dalam sudut pandang kornunal, maka entitas tersebut rnerupakan parameter, yang variabelnya ditentukan oleh berbagai perilaku kebahasan setiap komunitas pada unit topografi dialeknya. Narnun demikian, ke-2 (dua) entitas dirnaksud, yakni fisik ekoregion dan topografi

(14)
(15)
(16)

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah rnengidentifikasikan perilaku sosial- komunikasi komunitas dialek bahasa Larnpung yang mernbentuk suatu dialek topografi dalam rnerepresentasikan profil pengelolaan surnberdaya alarn pesisir secara terpadu berdasarkan pendekatan sosiolinguistik.

Pengidentifikasian tersebut dirnaksudkan untuk rnemforrnulasikan data grafis dan data atribut perilaku keruangan dialek topografi dalarn perangkat Sistem lnformasi Goegrafi yang kernudian ditransposisikan sebagai informasi representasi kawasan dalarn rnendukung penentuan wilayah pengelolaan pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zona Management) di Kabupaten Larnpung Selatan, Propinsi Larnpung.

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menyajikan karakter ruang sosial yang dapat dimanfaatakan dalarn rnensinergiskan program pengelolaan pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zona Management) dengan mernpertimbangkan karakter perilaku rnasyarakat lokal yang berlandaskan sosiolinguistik. Karena dengan kesinergisan tersebut, diasurnsikan dapat rnendorong munculnya prakarsa yang rnencerminkan partisipasi rnasyarakat !okal, yang pada dinarnikanya akan berdarnpak positip pada rnunculnya rasa kepedulian rnasyarakat terhadap program pernbangunan yang tengah berlangsung, sehingga akan bermuara pada terwujudnya rasa keadilan dan

(17)

pemerataan yang interaksi simultannya dapat menjaga keberlangsungan pengelolaan sumberdaya alam yang berada di wilayah pesisir timur dan selatan Kabupaten Lampung Selatan.

1.7 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini, dapat dirurnuskan sebagai berikut:

- Ada keterkaitan antara kelestarian sumberdaya alarn pesisir dengan perilaku komunitas masyarakat yang menempatinya.

-

Ada keterkaitan antara perilaku komunitas rnasyarakat dengan etnisitasnya - Dialek topografi suatu wilayah pesisir dapat dijadikan sebagai indikator

konfigurasilstruktur kenrangan dari etnisitas dan perilaku sosial dalarn pengelolaan Sumberdaya Alam.

Referensi

Dokumen terkait

Namun setelah UUD 1945 diamandemen, proses legislasi dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan merujuk kepada Pasal 20 ayat 1 yang berbunyi, “Dewan Perwakilan

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis

c* Pemeriksa harus meailih terapat dan snat pemeriksaan yang scauai dan tepat* Pemeriksa tersangka lebih kurang adalah sebaliknya dari pada pemeriksa saksi* Terean^a pada uaua-

Berdasarkan hasil pemantauan BPS, dengan menggunakan penghitungan dan tahun dasar (2012 = 100), di Kota Manokwari pada bulan September 2016 terjadi deflasi sebesar -0,67 persen,

Uji regresi ganda antara kompetensi pedagogik guru secara bersama-sama dengan penggunaan media pembelajaran terhadap prestasi belajar Pendidikan Agama Islam

Hal ini menjadi layak dan harus didiskusikan untuk mendapat kesimpulan mengenai desa berdikari di wilayah masing-masing yang disajikan melalui presentasi makalah dari

1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah

Adanya organisasi non struktural dalam susunan organisasi Rumah Sakit Umum Daerah merupakan bagian dari kekhususan karekteristik organisasi rumah sakit yang