• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal dari birokrasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. perubahan lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal dari birokrasi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Permasalahan

Salah satu agenda penting bagi pemerintah adalah melaksanakan reformasi birokrasi. Reformasi secara absolut diperlukan mengingat tantangan dan perubahan lingkungan baik lingkungan internal maupun eksternal dari birokrasi itu sendiri. Terlebih jika melihat karakteristik birokrasi Indonesia yang seringkali dipandang sebagai birokrasi yang inefisien, partisan, berorientasi pada kekuasaan, dan menjadi sarang korupsi.96 Perlunya transformasi manajemen sektor publik dilatarbelakangi oleh suatu masalah yang krusial yaitu bagaimana menciptakan efisiensi kerja serta mendorong kinerja sektor publik, sebab kondisi aktual maupun faktual selama ini menunjukkan bahwa organisasi pemerintah masih cenderung bersifat organik dengan mekanisme kerja yang tidak efisien serta kurang memiliki daya saing yang memadai dibanding sektor privat.97

Selain itu masyarakat menuntut pelayanan publik yang berkualitas. Caiden dalam Thoha pernah juga mengatakan pekerjaan organisasi pemerintah tidak bisa dihindari oleh manusia. Ciri khas kegiatan birokrasi menelisik sampai relung-relung kehidupan manusia. Ciri ini yang membedakan antara birokrasi pemerintah dengan organisasi non pemerintah, termasuk organisasi perusahaan. Tidak peduli apakah pelayanan itu cepat atau lambat, memuaskan atau menjengkelkan,

                                                                                                                         

96   Agus   Dwiyanto,   et   all,   2006,  Reformasi   Birokrasi   Publik   di   Indonesia,  Jogjakarta   :   Gajah  

Mada  University  Press,  hal  2  

97  Tri  Widodo  Wutomo,    2010,  Globalisasi,  Perdagangan  Bebas  dan  Peran  Pemerintah  diakses  

dari  http://triwididiwutomo.blogspot.com/2010/05/globalisasi-bebas-dan-peran.html,  pada   tanggal  24  November  2013  

(2)

menghargai manusia atau tidak peduli kepada manusia yang dilayani.98 Model birokrasi ini yang sering dikenal dengan birokrasi klasik. Sehingga jelas sudah arah reformasi birokrasi adalah menjadikan pemerintah memiliki karakteristik good governance sebagai kerangka acuan dalam setiap pembuatan kebijakan publik dan pelayanan publik.

Dalam melaksanakan agenda reformasi birokrasi termasuk didalamnya reformasi pelayanan publik, pemerintah tentu perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Infrastruktur tersebut diperoleh pemerintah melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pengadaan barang dan jasa pemerintah adalah tindakan pemerintah yang signifikan karena banyak menghabiskan uang negara. Di Amerika, misalnya, menurut Thailand dan Grimm dalam Moon, pengadaan publik bisa mencapai seperlima Gross Domestic Product (GDP). Sebuah penelitian memperkirakan bahwa pemerintah federal dan negara Amerika Serikat menghabiskan sekitar $ 1 triliun untuk membeli barang dan jasa dari sektor swasta. Pemerintah federal sendiri menghabiskan sekitar $ 550 miliar pada tahun 2000.99

Di Indonesia, pengadaan barang dan jasa pemerintah bukan hanya penting karena jumlah nominalnya yang cukup besar menguras anggaran di setiap lembaga pemerintah, namun juga dari aspek kemungkinan terjadinya penyimpangan. Sektor pengadaan memegang porsi yang cukup besar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jumlahnya terus

                                                                                                                         

98  Miftah  Thoha,    2012,  Birokrasi  Pemerintah  dan  Kekuasaan  di  Indonesia,  Yogyakarta  :  Thafa  

Media,  hal  57  

99  M.Jae   Moon,   2005,  E-­‐procurement   Management   in   State   Government:   Diffusion   of  E-­‐

procurement  Practices  and  Its  Determinants,  Journal  of  Publik  Procurement,  Vol  5  Issue  1,  pp   54-­‐72.  Diakses  pada  tanggal  30  Oktober  2012  dari  Proquest,  hal  56  

(3)

berkembang dari tahun ke tahun. Dalam APBN 2009, total belanja negara adalah sebesar Rp 1037 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 443 triliun adalah merupakan belanja pemerintah pusat dan Rp 594 triliun mengalir ke daerah. Total nilai belanja yang melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah adalah sebesar Rp 347 triliun atau sekitar 33,4 persen dari total, dan Rp 180 triliun merupakan bagian dari belanja pemerintah pusat, dan Rp 167 triliun adalah belanja daerah dan jika dikaitkan dengan hasil laporan Bank Dunia, maka potensi kebocoran pengadaan barang/jasa pemerintah adalah 69,4 T.100 Pengelolaan barang dan jasa pemerintah dinilai sangat strategis dan krusial dalam penciptaan good governance. Nilai strategis dikarenakan akan berdampak pada penciptaan efisiensi dan efektivitas, sementara terkait dengan krusial akan mengkonstruksikan pengurangan angka korupsi, kolusi, dan nepotisme serta pengingkatan akuntabilitas dan transparansi.101

Hasil kajian Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia sejak tahun 2001-2006 (Country Procurement Assesment Report) menyebutkan telah terjadi kebocoran uang negara dalam pengadaan barang/jasa berkisar antara 10-40% (Naskah Pakta Integritas Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan.102 Data Mabes POLRI mencatat, hingga September 2012, sebanyak 353 kasus korupsi berhasil diungkap penyidik. Dari jumlah itu, sekitar

                                                                                                                         

100  Yudo   Giri   Sucahyo   dan   Yova   Ruldeviyani,   2009,  Implementasi   E-­‐Procurement   sebagai  

Inovasi  Pelayanan  Publik,  Jakarta  :  LKPP,  hal  30  

101  Bintoro   Wardiyanto,   2010,  E-­‐Government  dan  E-­‐Procurement   :  Konstruksi   Akuntabilitas  

dan  Transparansi  Birokrasi  dalam  Revitalisasi  Administrasi  Negara:  Reformasi  Birokrasi  dan   E-­‐Governance,  Yogyakarta  :  Graha  Ilmu,  hal  89  

102   Transparency   International   Indonesia,   2007,  Pakta   Integritas   Kota   Banjar   Baru,  diakses  

dari   http://www.ti.or.id/publikasi/buku/NaskahPIBanjarbaru.pdf,   pada   tanggal   23   November   2012  

(4)

tujuh puluh persen (70%) di antaranya merupakan temuan di bidang pengadaan barang dan jasa.103 Data-data tersebut menyiratkan kelemahan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang selama ini dilaksanakan sehingga masih terdapat penyimpangan yang tentu saja merugikan neraca keuangan negara. Permasalahan korupsi dan efisiensi penggunaan anggaran memang kerap kali muncul dalam persoalan pengadaan barang dan jasa. Selain itu mekanisme pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara manual tidak sepenuhnya efektif jika dilihat dari proses dan lamanya pengadaan barang dan jasa tersebut. Kemudian muncullah apa yang dikenal dengan istilah electronic procurement (e-proc) atau yang disebut dengan pengadaan secara elektronik.

E-proc pertama kali digunakan oleh para pelaku sektor bisnis. Kehadiran e-procurement pada sektor bisnis mulai berkembang pesat sejak pertengahan tahun 1999. Sejak saat itu, e-procurement mulai lebih berarti dibandingkan dengan pelelangan kepada konsumen secara online maupun katalog versi digital.104 E-procurement muncul melalui proliferasi internet sebagai platform antar-sistem organisasi (IOS) pada akhir tahun 1990 dan telah memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap rantai pasokan dan jaringan. Bagi sektor bisnis keberadaan e-procurement berimplikasi pada manajemen rantai pasokan, Tan (dalam Croom dan Jones) mengidentifikasi potensi perbaikan dalam manajemen rantai pasokan yang timbul dari penerapan sistem e-procurement terhadap empat hal yakni;

                                                                                                                         

103  Jayadin  Supriyadi,    2012,  Mayoritas  Korupsi  dari  Pengadaan  Barang  dan  Jasa,  Tempo  24  

September   2012   diakses   dari  

http://www.tempo.co/read/news/2012/09/24/090431590/Mayoritas-Korupsi-dari-Pengadaan-Barang-Jasa  pada  tanggal  23  November  2012  

104  Erwan  Agus  Purwanto,  et  all,  2008,  E-­‐Procurement  di  Indonesia:  Pengembangan  Layanan  

Pengadaan  Barang  dan  Jasa  Pemerintah  Secara  Elektronik.  Jakarta  :  Kemitraan  dan  LPSE   Nasional,  hal  11  

(5)

pertama; biaya kinerja (dari peningkatan produktivitas dan harga input yang lebih

rendah), kedua; layanan pelanggan (kualitas pelayanan), ketiga; proses

kemampuan (konsistensi kualitas), dan keempat; produktivitas dan

ketergantungan (dari kontrol peningkatan aliran material di sepanjang rantai pasokan).105

Alasan teoritis utama e-procurement adalah ingin menjelaskan biaya transaksi. Croom meyakini penggunaan sistem informasi yang terbuka dapat menyediakan tingkat informasi yang lebih besar kepada pembeli, sehingga membuka daya saing yang lebih besar antara penyedia.106 Dalam istilah sederhana, pasar elektronik memberikan kondisi mendekati model ekonomi pasar persaingan sempurna. Sehingga asimetri informasi antara pembeli dan penjual teratasi.107 Biaya transaksi pastinya meningkat karena informasi yang tidak sempurna di pasar tidak

sempurna. E-procurement membantu menurunkan biaya-biaya transaksi dengan

membuat berbagai informasi yang tersedia untuk pembeli sekaligus penjual dan

menghemat sumber daya berharga.108

Suksesnya implementasi e-procurement pada sektor bisnis dalam

meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas perusahaan; pada akhirnya menstimulus sektor publik untuk menerapkan model e-proc dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Aplikasi e-proc di sektor pemerintahan mulai

                                                                                                                         

105  Simon R Croom and Brandon Jones, 2005, Key Issues in E-Procurement : Procurement

Implementation and Operation in Publik Sector, Journal of Publik Procurement Vol 5 Issue 3, pp. 367-387 Diakses dari ProQuest, hal 370

106 Christopher G Reddick, 2004, Growth of E-Procurement in American State Government : A Model and Empirical Evidence, Journal of Publik Procurement, Vol 4 Issue 2, pp. 151-176. Diakses dari ProQuest, hal 159  

107  Ibid,  hal  159   108  Ibid,  hal  160  

(6)

berkembang pesat dan sebelum resesi pada awal tahun 2000.109 Sejalan juga dengan perkembangan kemajuan teknologi dan informasi (TIK), pemerintah memanfaatkan kemajuan tersebut untuk mengubah paradigma pengadaan barang dan jasa pemerintah dari semula konvensional (paper based) menjadi elektronik (paper less). Pengadaan barang dan jasa secara elekronik (e-procurement)

diharapkan mampu membantu pemerintah untuk mewujudkan good governance.

E-procurement menjadi alternatif pemecahan masalah pengadaan konvensional yang kerapkali banyak penyimpangan seperti inefisiensi, korupsi, tidak akuntabel, tidak transparan, dan kurang memberikan persaingan yang kondusif bagi sektor swasta.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan cara konvensional memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut diantaranya adalah terkait masalah akuntabilitas, transparansi, efektivitas, dan efisiensi. Masalah transparansi berhubungan dengan informasi tentang seluruh penyedia yang potensial kepada panitia pengadaan. Pengadaan konvensional juga tidak menyediakan mekanisme pengawasan kepada khalayak umum. Sekaligus mekanisme pertanggungjawaban kepada publik. Akibatnya persaingan menjadi terbatas, dampak terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi melemah, terjadi ekslusi terhadap penyedia yang potensial dan pemberian hak khusus terhadap penyedia tertentu. Faktanya dari 4,2 juta perusahaan di Indonesia hanya 3,5% (150.000 perusahaan) saja yang ikut berpartisipasi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah.110 Efisiensi yang rendah acapkali terjadi dalam procurement. Indikasinya adalah waktu pelaksanaan

                                                                                                                         

109  Erwan  Agus  Purwanto,  et  all,  Op,  Cit.,  hal  11   110  Yudo,  Op,  Cit.,  hal  11  

(7)

dan biaya administrasi pengadaan. Belum lagi jika terjadi “deal-deal” antara penyedia dan pengguna sehingga dampaknya adalah mark up atau penyediaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak.

Dikemukakan oleh Bank Dunia, faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di Indonesia adalah pertama; belum jelasnya aturan hukum yang mengatur kegiatan pengadaan barang dan jasa, Kedua; lemahnya implementasi karena pemahaman prosedur yang kurang baik, ketiga; lemahnya penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran, keempat;

kapasitas pelaksana di lapangan belum memadai, kelima; lemahnya pengawasan,

dan terakhir keenam; tidak transparannya proses tender. Selain bersumber dari birokrasi, persoalan pengadaan barang dan jasa juga muncul karena para vendor belum memahami secara baik hak dan kewajiban mereka. Upaya memenangkan tender untuk mendapatkan pekerjaan seringkali dilakukan dengan cara-cara yang tidak wajar misalnya menjanjikan “pembagian keuntungan”.111

Terobosan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi

persoalan pengadaan barang dan jasa adalah dengan mengadopsi e-procurement.

Pengadopsian e-procurement di berbagai pemerintah daerah dan kementerian di Indonesia telah membuah hasil yang menggembirakan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Direktorat Jenderal Penelitian dan Pengembangan terhadap LPSE Kota Surabaya tahun 2007.

Hasil penelitian yang dilakukan membuktikan aplikasi e-procurement yang

diimplementasikan di Kota Surabaya berhasil dalam menghemat APBN.

                                                                                                                         

(8)

procurement baru diadopsi oleh Kementerian Kehutanan pada bulan Februari 2012 bersamaan dengan peluncuran LPSE Kementerian Kehutanan. Pengadopsian SPSE pada Kementerian Kehutanan dilihat dari peluncurannya jelas tertinggal dibandingkan Pemerintahan Daerah maupun kementerian yang lain. Seperti yang dijabarkan pada tabel di bawah ini :

Tabel 1.1. Progres Tahapan Implementasi E-Procurement Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sampai dengan Januari 2010

No Nama Instansi Status

1. Status 1 (Leads) : Instansi Pemerintah sedang Melakukan Koordinasi Awal dengan LKPP

- 2. Status 2 (Inisiasi) : Instansi

telah mengirimkan surat minat implementasi e-procurement dan melaksanakan sosialisasi

-

3. Status 3 (Pra Operasional) : Instansi pemerintah yang masih tahap persiapan operasional telah melakasanakan manajemen training bagi pengelola LPSE, terbitnya regulasi tentang LPSE, telah tersedianya infrastruktur dan aplikasi SPSE yang dapat diakses oleh publik

Kementerian Kesehatan, Institut

Teknologi Sepuluh November Surabaya, Kota Cilegon, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Bogor, Kota

Tasikmalaya, Kabupaten Brebes,

Kabupaten Kebumen, Kabupaten

Pemalang, Kabupaten Salatiga, Kota

Semarang, Kabupaten Madiun,

Kabupaten Pacitan, Kota Malang, Kabupaten Ketapang, Kota Pontianak, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Kota Baru,

4. Status 4 (Pra Tender) : Instansi pemerintah yang segera

melakukan lelang

e-procurement dengan LPSE (persiapan lelang

e-procurement)

POLRI, PPATK, Universitas Negeri Medan, Politeknik Negeri Lampung, Kabupaten Bintan, Provinsi Papua,

(9)

Tabel 1.1. (lanjutan) 5. Status 5 (Operasional dan

Tender) : Telah melaksanakan lelang

Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan Nasional, LKPP, KPK, Komisi Yudisial, PT Kawasan Berikat

Nusantara, Universitas Diponegoro,

Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Provinsi Bali, Kota

Denpasar, Kabupaten Bangka, Provinsi

DIY, Kabupaten Gunung Kidul,

Kabupaten Kulon Progo, Kota

Yogyakarta, Provinsi Gorontalo,

Kabupaten Pohawato, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Kuningan, Kabupaten

Purwakarta, Kota Depok, Kota

Sukabumi, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur, Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Berau, Provinsi Kepulauan Riau, Kota Batam, Kota Banda Aceh, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kota Pekanbaru, Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Agam, Kabupaten Sijunjung, Kota Padang, Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Utara

Sumber: Data LKPP Tahun 2010

Selain itu masalah pengadopsian e-procurement di Kementerian Kehutanan

yang sangat prematur karena tidak didukung oleh persiapan yang matang. Pada tahap persiapan pelembagaan e-procurement boleh dikatakan tergesa-gesa; hanya dalam waktu 9 hari berdirilah LPSE Kementerian Kehutanan dengan personil dari staf Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan (waktu itu masih Badan Planologi Kehutanan) dan personil Biro Umum. Working group (WG) pun lebih banyak diwarnai oleh staf Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan karena staf-staf

(10)

tersebut telah memperoleh pelatihan di LPSE Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Sedangkan personil dari Sekretariat Jenderal yang menjadi anggota WG belum pernah memperoleh pelatihan mengenai LPSE. Prasyarat dari pendirian LPSE adalah harus bernaung dibawah organisasi kesekretariatan bukan organisasi teknis karena itulah keberadaan personil dari Sekretariat Jenderal hanya untuk melengkapi prasyarat berdirinya berdirinya LPSE Kementerian Kehutanan yakni berada di organisasi kesekretariatan (Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan).

Berdirinya LPSE Kementerian Kehutanan juga terkesan dipaksakan yakni

setelah diwajibkannya Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi (K/L/D/I)

menggunakan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dengan mendirikan LPSE masing-masing atau bergabung dengan LPSE Nasional dan targetnya adalah 75% belanja modal untuk kementerian/lembaga dan 40% seperti yang tercantum Inpres No 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Hal yang dilakukan selanjutnya adalah membuat peraturan atau payung hukum pelaksanaan pengadaan secara elektronik dan akhirnya keluarlah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No 8 Tahun 2012 tanggal 23 Februari 2012 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik di Lingkungan Kementerian Kehutanan (LPSE Kementerian Kehutanan).

Prematurnya pembentukan WG juga berdampak pada pengimplementasian e-procurement di Unit Pelaksana Teknis (UPT-UPT) yang tersebar di seluruh Indonesia terlebih karena Kemenhut tidak mempunyai Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang secara khusus melaksanakan pengadaan barang jasa melainkan masih

(11)

menggunakan sistem kepanitian di masing-masing UPT. Pada akhirnya struktur yang terbentuk adalah sub admin agency yang menduplikasi dari Kementerian Keuangan mengingat struktur organisasi Kemenhut sendiri yang memiliki banyak UPT yang tersebar di seluruh nusantara serta tidak mempunyai ULP seperti yang diamanatkan di Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah dan Peraturan Presiden No 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tantang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.

Sejak peluncuran LPSE Kemenhut, (sampai dengan tanggal 27 November 2012) jumlah paket yang telah dilelang melalui e-procurement sebanyak 373 paket yang terdiri atas 181 pengadaan barang, 8 pengadaan jasa konsultansi, 109 pengadaan jasa konstruksi, 38 pengadaan jasa lainnya, dan 37 lelang gagal yang kemudian menjadi penunjukan langsung. Berikut adalah paket pelelangan berdasarkan sub admin agency yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan.

(12)

Tabel 1.2. Data Paket Pekerjaan Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian Kehutanan yang menggunakan E-Procurement

No Provinsi/Sub  Agency Lelang   Barang Lelang  Jasa   Konsultansi Lelang  Jasa   Konstruksi Jasa   Lainnya Lelang   Gagal Jumlah 1 Kalimantan  Selatan 9 0 0 4 2 15 2 P2SDM 1 0 0 0 0 1 3 Jawa  Barat 2 0 6 0 0 8 4 Sekretariat  Jenderal 8 0 1 2 1 12 5 Ditjen  Planologi 12 7 0 2 0 21 6 NTB 1 0 2 0 0 3 7 Sumatera  Selatan 9 0 6 0 3 18 8 Sulawesi  Tengah 0 1 1 3 8 13 9 Bengkulu 13 0 17 0 0 30 10 Maluku 1 0 2 2 1 6 11 Jawa  Timur 8 0 2 0 0 10 12 NTT 18 0 3 0 1 22 13 Sulawesi  Selatan 3 0 16 0 0 19 14 Jambi 7 0 8 0 0 15 15 Jawa  Tengah 21 0 7 0 0 28 16 Sulawesi  Utara 1 0 2 2 1 6 17 Sumatera  Utara 10 0 5 2 0 17 18 Lampung 24 0 4 0 1 29 19 Papua  Barat 2 0 0 0 5 7 20 Bali 2 0 4 0 1 7 21 Kalimantan  Barat 4 0 9 1 0 14 22 Kalimantan  Timur 2 0 7 6 3 18 23 Maluku  Utara 1 0 0 0 1 2 24 Kepulauan  Riau 4 0 3 8 0 15 25 DIY 1 0 0 0 0 1 26 Balitbang 4 0 3 0 1 8 27 Papua 0 0 0 6 3 9 28 Sulawesi  Tenggara 0 0 0 0 2 2 29 Kalimantan  Tengah 13 0 1 0 3 17 Jumlah   181 8 109 38 37 373

Sumber : Data diolah dari LPSE Kemenhut

LPSE Kementerian Kehutanan baru dilaunching pada tahun 2012. Keterlambatan pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan tentu menimbulkan pertanyaan apa yang menyebabkan Kementerian Kehutanan resisten untuk

(13)

mengadopsi e-procurement. Padahal telah diketahui pengadopsian e-procurement

dapat menghemat anggaran sampai 20 persen. Dari manfaat keberadaan

e-procurement seharusnya Kementerian Kehutanan tidak ragu dalam mengadopsi LPSE. E-procurement juga bisa meminimalisir kecurangan yang dilakukan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Sebelum diadopsinya e-procurement banyak temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) mengenai proses pengadaan barang dan jasa, seperti temuan BPK RI terhadap pemenang lelang pengadaan alat kantor dan renovasi gedung Balai Pemantauan Pemeliharaan Hasil Hutan Produksi (BPPHP) Wilayah X Pontianak tahun 2010. Kecurangan pengadaan barang dan jasa lebih sulit jika telah mengadopsi e-procurement. Hal ini tentu menarik untuk diteliti lebih lanjut. Faktor apa saja yang

sebenarnya membuat Kementerian Kehutanan resisten dalam mengadopsi

e-procurement. Beranjak dari hipotesis bahwa Kementerian Kehutanan resisten terhadap reformasi pengadaan barang dan jasa, maka tema besar inilah yang akan dijawab dalam penelitian ini.

1.2.Rumusan Permasalahan

LPSE Kementerian Kehutanan merupakan unit pelayanan yang melayani pengadaan barang dan jasa di lingkup Kementerian Kehutanan. LPSE Kementerian Kehutanan sebagai bagian dari portal pengadaan nasional (INAPROC) telah didirikan sejak tahun 2012. Sehingga, pengadaan barang dan jasa yang dahulu dilakukan secara manual di semua UPT Kementerian Kehutanan sekarang telah menggunakan fasilitas SPSE. Namun, pengadopsian LPSE

(14)

Kementerian Kehutanan bisa dikatakan terlambat. Keterlambatan pengadopsian ini disebabkan oleh resistensi Kementerian Kehutanan terhadap reformasi birokrasi (reformasi pengadaan barang dan jasa) dijadikan topik menarik untuk penelitian ini.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana bentuk resistensi pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan?

2. Apa saja yang menyebabkan terjadinya resistensi reformasi birokrasi terkait dengan pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan?

1.3.Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Menjabarkan alasan terjadinya resistensi reformasi birokasi terkait dengan pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan

2. Menganalisis faktor penghambat pengadopsian LPSE Kementerian Kehutanan

sehingga dapat menjadi rekomendasi LPSE Kementerian Kehutanan di masa mendatang

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini mempunyai dua manfaat yakni manfaat akademis, dan manfaat praktis. Manfaat akademis dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan pengetahuan terkait dengan

(15)

2. Memperkaya khazanah pengetahuan mengenai pengadopsian LPSE dan faktor-faktor yang menghambat pengadopsian tersebut.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan (stakeholder) di

Kementerian Kehutanan terhadap beberapa permasalah yang masih terjadi setelah dilaksanakannya e-procurement di Kementerian Kehutanan.

Gambar

Tabel 1.1. Progres Tahapan Implementasi E-Procurement Pemerintah Pusat  dan Pemerintah Daerah sampai dengan Januari 2010
Tabel 1.2. Data Paket Pekerjaan Pengadaan Barang dan Jasa Kementerian  Kehutanan yang menggunakan E-Procurement

Referensi

Dokumen terkait

(d) Menyediakan informasi mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau penurunan, sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama

Dalam kerangka ini, maka pertanyaan yang mengmuka adalah kondisi seperti apa yang 

Hasil pengolahan data melalui SPSS.22, terkait Persamaan regresi berganda dan estimasinya, dapat diketahui persamaan regresi berganda dalam penelitian ini adalah:

1) Sudah memenuhi indikator keluarga sejahteraI. 2) Anggota keluarga melaksanakanibadah agama secara teratur. 3) Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging/telur/ikan. 4)

Pada kenyataanya dalam proses pembelajaran permainan di sekolah masih dalam bentuk permainan yang sesuai dengan peraturan yang baku, baik dalam hal peralatan,

Sistem Peringatan Dini ini dirancang dengan menerapkan prinsip-prinsip perancangan database, dan menggabungkan dengan metode Unified Modeling Language, konsep

Masa kerja Pengurus Cabang di tentukan 4 (empat ) tahun, dalam hal MUSCAB tidak dapat diadakan dalam waktu yang telah ditetapkan maka penggantian pengurus Cabang dapat

Terapannya Dalam Penelitian, (Surakarta : Universitas Sebelas Maret, 2002), hlm.. دصم في تانايبلا ر ةساردلا هذه ردصم يساسلأا تانايبلا ردصم