• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum SMAN 1 Ciampea

SMAN 1 Ciampea, merupakan salah satu sekolah negeri yang terdapat di kota Bogor beralamat di Jl. Raya Cibadak Km 15 Ciampea Bogor.

Visi dari sekolah ini adalah: “Terbentuknya peserta didik yang berprestasi berlandaskan iman dan taqwa”. Sedangkan misinya adalah:

1. Melaksanakan pembelajaran yang efektif bagi semua guru dan peserta didik. 2. Menumbuhkan semangat berprestasi warga sekolah dalam berkarya.

3. Mendukung peserta didik mengenali potensi dirinya unutk meningkatkan motivasi berprestasi .

4. Menumbuhkan penghayatan dan pengalaman terhadap ajaran agama yang dianut.

SMAN 1 Ciampea dipimpin oleh ibu Dra. Ai Nurhayati, sekolah ini mempunyai 31 guru dan siswa Kelas X terdapat 234 siswa (116 perempuan dan 119 laki-laki) , kelas XI terdapat 243 siswa (137 perempuan dan 109 laki-laki), kelas XII terdapat 221 siswa (109 perempuan dan 112 laki-laki).

Fasilitas yang terdapat di sekolah ini antara lain, lab komputer, perpustakaan, mushola, ruang guru, ruang OSIS, ruang wakasek, ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, lapangan parkir dan lapangan upacara, serta terdapat 18 kelas.

Karakteristik Responden

Responden penelitian adalah siswa kelas X (sepuluh) SMA, dengan distribusi responden menurut karakteristik yang sangat beragam (tabel 3). Hasil penelitian terhadap 80 siswa di SMAN 1 Ciampea memperlihatkan, bahwa umur rata-rata siswa adalah 17-19 tahun serta sebagian berumur 14-16 tahun. pengetahuan terhadap penyakit Chikungunya dikategorikan rendah, dimana sebanyak 81.25 persen siswa SMA tidak memahami apa itu Chikungunya.

(2)

Tabel 3. Karakteristik Responden

Karakteristik Responden Kategori Frekuensi (orang) Persentase Jenis Kelamin Umur Pengetahuan tentang Chikungunya Kebutuhan informasi tentang Chikungunya.

Kepemilikan media masssa

Frekuensi keterdedahan terhadap media rata-rata sehari dalam 1 minggu

Laki-laki Perempuan Jumlah 14 – 16 tahun 17 – 19 tahun > 19 tahun Jumlah Tahu Tidak Tahu Jumlah Sangat diperlukan Cukup diperlukan Kurang diperlukan Tidak diperlukan Jumlah Surat kabar Majalah/tabloid Radio Televisi VCD/DVD Komputer Surat kabar < 1 Jam I jam–3 jam > 3 jam Jumlah Majalah/tabloid < 1 Jam I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah Radio < 1 Jam 38 42 80 35 45 80 15 65 80 63 17 80 48 40 80 80 72 32 66 14 80 41 39 80 17 47.5 52.5 100 43.75 56.25 100 18.75 81.25 100 78.75 21.25 100 60 50 100 100 90 40 82.5 17.5 100 52.25 48.75 100 21.25

(3)

I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah Televisi < 1 Jam I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah VCD/DVD < 1 Jam I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah Internet < 1 Jam I jam – 3 jam > 3 jam Jumlah 58 5 80 2 51 27 80 15 55 10 80 5 61 14 80 72.5 6.25 100 2.5 63.75 33.75 100 18.75 68.75 12.5 100 6.25 76.25 17.5 100

Tabel 3 menunjukkan bahwa ada 6 jenis media yang diteliti dalam keterkaitannya pada keterdedahan media terhadap responden, yaitu: surat kabar, majalah/tabloid, radio, televisi, VCD/DVD, dan internet. Dengan frekuensi rata-rata berapa jam dalam sehari selama satu minggu, mereka terdedah oleh media tersebut.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa siswa SMA sangat terbuka terhadap informasi, hal ini terlihat dari frekuensi siswa yang sering mengakses media serta mudah menerima berbagai informasi. Kepemilikan akan media menjadi salah satu faktor yang menunjang kondisi tersebut, dimana dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki media televisi dan radio (100 persen). Sedangkan frekuensi keterdedahan media diperoleh dari penggunaan media oleh responden yaitu: televisi, majalah, radio, VCD/DVD, dan internet selama satu minggu. Keterdedahan akan media digunakan untuk mengetahui penggunaan media responden dalam mendapatkan informasi yang dihitung perjam (< 1 jam, 1- 3 jam dan

(4)

> 3 jam), pengukuran ini menggunakan skala ordinal yaitu jumlah satuan waktu yang digunakan responden dalam menggunakan media massa.

Untuk kepemilikan dan keterdedahan responden pada surat kabar, menunjukkan ada 60 persen siswa yang biasanya secara rutin di dalam keluarganya membeli surat kabar, kepemilikan majalah/tabloid 50 persen responden selalu rutin membeli majalah atau tabloid, pada kepemilikan radio dan televisi mencapai 100 persen serta kepemilikan VCD/DVD 90 persen respoden memilikinya. Dari data di atas terlihat bahwa untuk kepemilikan media massa elektronik sangat tinggi dibanding media cetak. Kepemilikan media sangatlah beragam, artinya bahwa masyarakat lebih menyukai media yang mempunyai unsur audio dan visual, secara tidak langsung responden yang sering melihat atau meyaksikan media elektronik terbiasa dengan simbol-simbol yang diberikan oleh media elektronik ini.

Angka kepemilikan komputer merupakan skor yang paling rendah dari media yang lain yaitu hanya sebesar 40 persen. Walaupun siswa SMA yang memiliki komputer tidak terlalu banyak, akses dan frekuensi siswa pada penggunaan internet cukup tinggi, dimana siswa yang mengakses media ini mencapai 76.25 persen dengan frekuensi 1 jam sampai dengan 3 jam apabila mereka sedang menggunakan internet. Kini internet sudah menjangkau segala penjuru daerah, masyarakat khususnya para remaja pada saat ini terbiasa dalam menggunakan media massa yang satu ini. Terbiasanya responden dalam mengakses media sangat berpengaruh dalam proses pensimbolan (decoding) dari suatu isi pesan yang diterima oleh khalayak.

Pengetahuan Awal dan Akhir Responden

Pengukuran pengetahuan awal responden tentang informasi Chikungunya, dilakukan sebelum diberikan perlakuan. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum pengetahuan awal responden relatif rendah, dengan skor terendah 12 dan skor tertinggi 30. Skor terendah 12 diperoleh pada kelompok responden dengan menggunakan perlakuan bahasa Indonesia dan penggunaan pesan visual realistik, sedangkan skor tertinggi didapatkan oleh kelompok perlakuan bahasa Sunda dan visual realistik. Perolehan skor diukur sebelum responden menyaksikan tayangan

(5)

video, sehingga dalam kondisi ini responden sama sekali belum mengetahui apa yang dimaksud dengan penyakit Chikungunya.

Tabel 4 menunjukkan bahwa ada perbedaan rataan pengetahuan awal pada tiap kelompok responden. Untuk mengetahui apakah perbedaan pengetahuan awal responden tersebut berbeda nyata atau tidak nyata, maka pada tahap selanjutnya dilakukan analisa sidik ragam (tabel 4).

Tabel 4. Skor pengetahuan awal responden menurut kelompok perlakuan Visualisasi Faktor Perlakuan R D Rata-rata Indonesia 12.75 12.85 12.80 Bahasa Sunda 13.15 13.10 13.13 Rata-Rata 12.95 12.98 12.96

Tabel 5. Hasil analisa sidik ragam terhadap skor pengetahuan awal responden Sumber Keragaman db JK KT F-Hit F-Tabel Nilai-P Antar Kelompok 3 2.238 0.746 0.178tn 2.727 0.911

Dalam Kelompok 76 318.650 4.193

Total 79 320.888

Ket : tn = tidak berbeda nyata

Hasil analisa sidik ragam pada tabel 5 di atas menunjukkan bahwa nilai rata-rata pengetahuan awal responden pada keempat perlakuan tidak berbeda nyata (F hitung < F tabel pada tabel 0.05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan awal responden pada setiap kelompok perlakuan terhadap penyakit Chikunguya adalah sama. Mereka sama-sama belum terlalu mengerti apa yang dimaksud dengan Chikungunya serta bagaiman pencegahan dan pengobatannya. Setelah dilakukan pengujian serta pengukuran awal (pre-test) kepada setiap kelompok, selanjutnya diberikan perlakuan perkelompok responden berupa presentasi

(6)

video informasi Chikungunya, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran pengetahuan akhir (post-test) responden. Skor rataan post-test berdasarkan kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6 menunjukkan skor rataan responden pada tiap kelompok perlakuan tidak terlalu berbeda, skor yang cukup tinggi adalah kombinasi perlakuan video visual diam dengan bahasa narasi Indonesia (DI), dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lainnya. Untuk mengetahui signifikansi beda pengetahuan akhir (post-test) responden pada tiap kelompok perlakuan, tahap selanjutnya dilakukan analisa sidik ragam (tabel 7).

Tabel 6. Skor pengetahuan akhir (post-test) respoden menurut kelompok perlakuan Visualisasi Faktor Perlakuan R D Total Indonesia 27.60 26.60 27.10 Bahasa Sunda 27.70 26.65 27.18 Total 27.65 26.63 27.14

Tabel 7. Hasil analisa sidik ragam terhadap skor pengetahuan akhir responden Sumber Keragaman db JK KT F-Hit F-Tabel Nilai-P Antar Kelompok 3 21.138 7.046 1.002tn 2.727 0.397

Dalam Kelompok 76 534.350 7.031

Total 79 555.488

Ket : tn = tidak berbeda nyata

Hasil analisa sidik ragam pada tabel 7, memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada skor pengetahuan akhir (post-test) responden. Pada taraf P = 0.05 menunjukkan tidak ada pengaruh diantara keempat perlakuan terhadap peningkatan pengetahuan responden.

(7)

Peningkatan Pengetahuan Responden

Penelitian ini merancang 4 taraf perlakuan pesan video yang diujikan pada responden, yaitu: penggunaan bahasa narasi dengan dua perlakuan, terbagi atas Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia, serta penggunaan pesan visual yang terdiri dari visual realistik dan visual diam.

Data peningkatan pengetahuan responden diperoleh dari selisih skor pre-test dan post-test setelah mendapat perlakuan (tabel 8).

Tabel 8. Skor pre-test, post-test dan peningkatan pengetahuan

Nomor Faktor Perlakuan Pre test Post test Peningkatan pengetahuan

1 Diam dan Indonesia 2

3 . . .

21 Diam dan Sunda 22

23 . . .

41 Realistik dan Indonesia 42

43 . . .

61 Realistik dan Sunda 62 63 . . . 15 13 13 15 13 14 13 15 14 15 15 14 29 27 29 28 29 26 28 22 27 29 27 27 14 14 16 13 16 12 15 7 13 14 12 13 Total 1037 2171 1134 Rata-rata 12.96 27.14 14.17

(8)

Tabel 8 menunjukkan skor rataan pengetahuan responden sebelum menerima perlakuan adalah 12.96 dan nilai rata-rata setelah menerima perlakuan (post-test) adalah 27.13. Rata-rata peningkatan pengetahuan memperoleh nilai 14.17.

Untuk mengetahui apakah perbedaan skor pre-test dan post-test tersebut berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji dua sampel berpasangan (Paired Sample T-Test).

Tabel 9. Hasil analisa t test skor rataan pre-test dan post-test responden

Nilai Rata-rata T-tabel T-tabel

Postest Pretest Thit α=0.05 α=0.01

27.14 12.96 38.078** 1.96 2.576

Ket : berbeda nyata pada taraf α=0.01

Hasil uji t Test menunjukkan bahwa nilai pre-test dan post-test berbeda sangat nyata yakni 2.576 pada α=0.01 dan nilai t hitung (38.078) dengan t tabel (2.576). Nilai t hitung yang lebih besar dari t tabel dapat diartikan bahwa terdapat pengaruh yang sangat nyata dari penggunaan video dalam proses penyampaian pesan. Penggunaan bahasa narasi (Sunda dan Indonesia) dan bentuk pesan visual (realistik dan diam) dapat meningkatkan pengetahuan responden (siswa SMA) tentang penyakit Chikungunya.

Sehubungan dengan hasil peningkatan pengetahuan yang diperoleh dari data di atas, hipotesis pertama ini adalah:

H1= Media video mampu meningkatkan pengetahuan siswa SMA tentang informasi Chikungunya. Hipotesis dapat diterima.

Hasil yang diperoleh dari pengujian diatas, sejalan dengan pendapat Tiffon dan Combes dalam Schramn (1974) yang menyatakan bahwa video mampu menyampaikan pesan dengan cara-cara yang lebih konkrit dan jelas daripada pesan yang disampaikan melalui kata-kata yang terucap atau kata-kata yang tercetak.

Dalam sebuah tulisannya Fardiaz dalam Jahi (1988) mengemukakan, video telah banyak dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi dibidang pendidikan dan

(9)

kesehatan di negara-negara dunia ketiga. Medium ini juga digunakan secara efektif untuk merangsang motivasi penduduk pedesaan agar berpartipasi aktif dalam proses pembangunan.

Pembuatan video yang didesain semudah mungkin untuk dicerna, merupakan salah satu faktor yang membuat para siswa mudah dalam penerimaan pesan. Penggunaan bahasa yang tidak terlalu sulit dan penggunaan visual yang mudah dipahami, menimbulkan daya tarik bagi responden. Kondisi inilah yang merupakan faktor penentu dalam proses penerimaan pesan informasi Chikungunya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian serupa yang dilakukan sebelumnya, dimana penelitian Iskandar (2005) mengungkapkan bahwa medium video yang mengandung unsur suara dan pesan visual dapat meningkatkan pengetahuan petani tentang pupuk Agrodyke di Kecamatan Mandonga Kota Kendari. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan Muhammad Nasir (2006) terhadap petani Kakao di kecamatan Amahi, Maluku Tengah.

Grafik rata-rata peningkatan pengetahun responden berdasarkan kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 2.

12.85 26.6 13.1 26.65 12.75 27.6 13.15 27.7 0 5 10 15 20 25 30 DI DS RI RS Pre-test post-test

Tabel 10. Hasil Rataan skor peningkatan pengetahuan responden menurut kelompok perlakuan Visualisasi Faktor Perlakuan R D Rata-rata Indonesia 14.85 13.75 14.30 Bahasa Sunda 14.55 13.55 14.05 Rata-rata 14.70 13.65 14.18

(10)

Tabel 10 memperlihatkan bahwa secara keseluruhan skor rata-rata peningkatan pengetahuan kelompok responden yang melihat video menggunakan bahasa Indonesia sedikit lebih tinggi dari kelompok responden yang melihat video menggunakan bahasa daerah (Sunda). Responden yang melihat video dengan video realistik sedikit lebih tinggi dibanding mereka yang melihat video dengan visual diam.

Untuk mengetahui tingkat signifikansi dari faktor bahasa dan ilustrasi serta interaksinya terhadap peningkatan pemahaman responden, selanjutnya dilakukan analisa sidik ragam dua arah (tabel 11)

Tabel 11. Hasil analisa sidik ragam dua arah skor peningkatan pengetahuan responden.

Ket : tn = tidak berbeda nyata Peningkatan Pengetahuan

F-Tabel

Sumber Keragaman db JK KT F-Hit

0.05 0.01

Nilai-P

FAKTOR

BAHASA 1 1.250 1.250 0.115tn 3.969 6.986 0.735 JENIS PESAN VISUAL 1 22.050 22.050 2.033tn 3.969 6.986 0.158 INTERAKSI

BAHASA*JENIS PESAN

VISUAL 1 0.050 0.050 0.005tn 3.969 6.986 0.946

GALAT PERCOBAAN 76 824.200 10.845

T0TAL 79 847.550

Berdasarkan hasil analisa ragam pada tabel 11, berikutnya akan dilakukan pengujian hipotesa terhadap faktor bahasa, pesan visual dan interaksinya.

Pengaruh Bahasa Narasi

Bahasa yang digunakan di duga berpengaruh nyata terhadap peningkatan pengetahuan responden (siswa) di SMAN 1 Ciampea. Bahasa narasi terbagi atas dua jenis, yaitu bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia.

(11)

H2 = Skor peningkatan pengetahuan siswa SMA yang menyaksikan video dengan

menggunakan jenis bahasa narasi Sunda lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan bahasa Indonesia.

Hasil penelitian (tabel 11) menunjukkan skor rata-rata peningkatan pengetahuan yang disebabkan oleh faktor bahasa narasi (Sunda dan Indonesia) tidak berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan oleh nilai f hitung (0.115) < dari f tabel pada tingkat kepercayaan 0.05 dan 0.01. Secara statistik ini artinya bahasa yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan pemahaman responden. Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis kedua dalam penelitian ini ditolak.

Penelitian ini mengungkapkan bahwa informasi tentang penyakit Chikungunya yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Sunda maupun bahasa Indonesia tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA. Pendugaan awal bahasa Sunda lebih efektif dalam menyampaikan informasi yang berkaitan dengan kesehatan, khususnya tentang penyakit Chikungunya ternyata tidak terbukti.

Hasil penelitian ini merupakan pengujian penggunaan narasi bahasa dengan menggunakan media yang berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan menggunakan media video. Sebelumnya, beberapa penelitian telah melakukan pengujian pada narasi bahasa dengan menggunakan medium folder dan buklet, serta format kaset audio. Penelitian yang dilakukan oleh Linda Yanti di Jambi, menunjukkan bahasa Indonesia lebih efektif dibanding bahasa daerah (Jambi) sebagai bahasa pengantar melalui medium buklet yang memuat pesan tentang pendayagunaan melinjo. Sejalan dengan penelitian Linda Yanti, penelitian Evanita (1992) di Sumatera Barat mengungkapkan medium folder dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia lebih efektif dibanding bahasa daerah (Minang).

Demikian pula dengan hasil penelitian Bakar (1999) yang menggunakan bahasa Sunda pada rekamaan audio, menunjukkan hasil yang kurang efektif dibanding bahasa Indonesia dalam menyampaikan pesan kepada petani di Sukabumi.

Perbedaan bahasa pada hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, dimana hasilnya

(12)

memang agak sedikit berbeda dengan penelitian sebelumnya yang mengungkapkan terlihat perbedaan nyata pada kedua jenis bahasa narasi tersebut. Hasil tersebut dapat kita terima karena, bila melihat kepemilikan atas media yang cukup tinggi, dimana kepemilikan televisi dan radio mencapai 100 persen serta frekuensi menonton, mendengar radio dan mengakses internet juga dikategorikan tinggi yaitu 1-3 jam (Internet 76.25 persen, Televisi 63.75 persen, Radio 72.5 persen). Hal ini menunjukkan bahwa semakin sering siswa mengakses media massa, maka semakin tinggi juga keterbukaan siswa terhadap segala macam informasi. Kondisi ini mengakibatkan keterdedahan terhadap media tidak dapat dihindari, dimana pada tahap selanjutnya penerima pesan media (siswa) mulai akrab dan mudah menerima informasi dengan penggunaan bahasa yang disajikan media tersebut. Hal ini juga mempengaruhi siswa dalam praktek penggunaan bahasa yang dipakai dalam percakapan sehari-hari di lingkungannya.

Selain itu lokasi penelitian yang lebih dekat dengan kota Jakarta, dimana penduduknya heterogen, sehingga penggunaan bahasa Indonesia lebih dominan dipakai dalam percakapan sehari-hari juga banyak mempengaruhi penggunaan bahasa pada siswa SMAN 1 Ciampea. Hal lain yang juga mempengaruhi keberadaan penggunaan bahasa daerah bagi siswa SMA adalah bahasa pengantar yang wajib dipakai dalam proses belajar dengan menggunakan bahasa Indonesia. Fenomena penggunaan bahasa ini bisa dikaji lebih lanjut, apakah ada indikasi mulai terjadinya transformasi budaya terutama bahasa pada era globalisasi ini. Bila ditinjau dari segi aspek demografis dan kehidupan sosial masyarakat di SMAN1 Ciampea, selain lebih dekat ke Ibukota Negara (Jakarta) siswa SMAN 1 Ciampea juga banyak yang bukan berasal dari daerah Ciampea, ada yang berasal dari Bogor Kota, Cimanggu, Dramaga, serta daerah-daerah diluar Ciampea.

Dari segi sosial masyarakat, siswa SMAN 1 Ciampea lebih banyak menerima informasi dari media massa seperti televisi dan internet. Penggunaan bahasa “Betawi” (identik dengan pemakaian kata lu-gue) pun banyak digunakan oleh siswa SMA, ini dikarenakan penggunaan bahasa tersebut saat ini lebih bisa disebut “keren” dibandingkan bahasa daerah. Kondisi ini memperlihatkan bahwa media massa

(13)

berpengaruh sangat besar pada perilaku siswa SMA yang setiap harinya selalu mengakses media massa untuk memenuhi kebutuhan informasinya, sehingga secara langsung juga mempengaruhi penggunaan bahasa yang dipakai dalam lingkungan sosialnya. Keadaan ini tidaklah mengherankan, karena seperti yang telah dijelaskan pada latar belakang penelitian ini, bahwa siswa SMA merupakan saluran komunikasi yang tepat untuk menyebarkan informasi dimana pada usianya yang menginjak remaja merupakan masa usia yang mudah untuk dipengaruhi, selalu ingin tahu dan selalu ingin mencoba, serta ingin selalu diperhatikan orang lain dan tidak mau dikatakan ketinggalan jaman. Perkembangan era globalisasi yang membuka keterbukaan informasi menjadi lebih luas dan mudah diakses, berimplikasi pada perubahan budaya yang memang tidak dapat dihindarkan lagi. Perubahan-perubahan yang terjadi, secara tidak langsung dapat merubah masyarakat khususnya generasi muda dalam mempertahankan budayanya (bahasa)

Hasil yang ditunjukkan dalam penelitian ini, juga sejalan dengan pendapat Gunarwan dalam Bakar (1999) yang menunjukkan bahwa sejumlah bahasa daerah (terutama Lampung dan Jawa) mengalami pergeseran yang cukup berarti, karena terdesak oleh bahasa Indonesia. Artinya bahwa ada kecendrungan pergeseran bahasa daerah juga terjadi pada keberadaan bahasa Sunda.

Pendapat tersebut juga diperkuat dengan pemberitaan dari koran Kompas (13 November 2007), yang mengungkapkan saat ini sebanyak 726 bahasa daerah dari 746 bahasa daerah di Indonesia terancam punah. Itu terjadi akibat keengganan generasi muda penutur memakai bahasa daerah itu. Saat ini di Indonesia hanya ada 13 bahasa daerah dengan lebih dari satu juta penutur. Di antaranya bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Sunda, dan bahasa Lampung. Namun, tidak sedikit bahasa daerah yang jumlah penuturnya kurang dari satu juta bahkan hanya tinggal puluhan penutur. Di antaranya bahasa di Halmahera, Maluku Utara, yang jumlah penuturnya hanya 40 orang, akibatnya, kini semakin banyak bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur kurang dari satu juta.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dimana pengaruh budaya globalisasi menjadi salah satu faktor penyebab penurunan jumlah penutur bahasa

(14)

daerah. Pengaruh budaya tersebut menyebabkan generasi muda cenderung lebih suka berbicara menggunakan bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia yang sesekali diselingi menggunakan bahasa asing, daripada menggunakan bahasa daerah.

Pengaruh Pesan Visual

Jenis pesan visual adalah faktor ketiga yang diduga mempunyai perbedaan nyata terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA. Ada dua jenis pesan visual yang diberikan perlakuan yaitu visual realistik (bergerak) dan visual diam (tidak bergerak). Hasil penelitian (tabel 10) menunjukkan bahwa skor rata-rata peningkatan pengetahuan responden yang melihat video realistik (14.70) lebih tinggi dibanding responden yang melihat video dengan visual diam (13.65).

Hipotesis ketiga penelitian tentang pengaruh pesan visual terhadap peningkatan pengetahuan siswa SMA adalah:

H3 = Skor peningkatan pengetahuan siswa SMA yang menyaksikan video dengan

menggunakan visualisasi realistik lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan visualisasi diam.

Selanjutnya untuk menguji apakah pengaruh pesan visual ini nyata maka di uji dengan analisa sidik ragam dua arah (tabel 9). Hasil analisa menunjukkan bahwa skor rata-rata peningkatan pengetahuan yang disebabkan oleh jenis pesan visual tidak berbeda nyata. Ini terlihat dengan f hitung (2.033) < dari f tabel pada tingkat kepercayaan 0.05 dan 0.01. Secara statistik berarti jenis pesan visual menunjukkan pengaruh yang tidak nyata, tetapi apabila ditelusuri lebih lanjut, skor rata-rata video dengan menggunakan jenis visual realistik (14.70) lebih tinggi dibandingkan responden yang melihat video dengan visual diam (13.65). Dengan demikian siswa SMA yang menyaksikan video dengan menggunakan visualisasi realistik lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan visualisasi diam, tetapi tidak ada pengaruh nyata dalam penggunaannya pada media video. Dari uji hipotesa ketiga ini, maka hipotesa ditolak.

(15)

Meskipun skor responden yang melihat video dengan menggunakan visualisasi realistik lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan dalam penggunaan visualisasi diam, tetapi diantara keduanya tidak ada perbedaan yang nyata.

Wikinanxon (1974) dan Dwyer (1978) mengemukakan bahwa dalam pendidikan formal menemukan cukup bukti yang menunjukkan bahwa pemakaian video efektif untuk untuk memperlancar proses belajar siswa. Hal itu dapat terjadi karena medium video memiliki karakteristik dapat merangsang minat belajar siswa, menarik dan dapat mempertahankan perhatian mereka, serta mempertinggi daya ingat yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi mereka.

Pendapat tersebut diatas, sejalan dengan kondisi yang ditunjukkan dari penelitian ini dimana siswa SMA ternyata lebih mudah menerima segala informasi, baik secara gambar bergerak ataupun diam (foto/tidak bergerak). Hal ini juga dapat dilihat dari frekuensi responden dalam mengakses media dan juga pada kepemilikan atas media yang dikategorikan cukup tinggi. Dimana kepemilikan televisi dan radio mencapai 100 persen, koran (60 persen), majalah (50 persen) serta frekuensi menonton dan mendengar radio, membaca dan mengakses internet juga termasuk tinggi yaitu rata-rata 1-3 jam perhari dalam seminggu (internet 76.25 persen, televisi 63.75 persen, radio 72.5 persen) sedangkan frekuensi penggunaan media kurang dari 1 jam perhari dalam seminggu adalah surat kabar (82.5 persen) dan majalah (43.34 persen).

Data di atas memperlihatkan bahwa frekuensi penggunaan media dapat menjadi salah satu faktor tidak adanya pengaruh yang nyata diantara kedua jenis pesan visual. Karena semakin seringnya siswa mengakses media, maka semakin mudah siswa menerima berbagai jenis pesan atau informasi. Siswa menjadi lebih familiar atau terbiasa dan akrab dengan lambang-lambang yang disajikan media, khususnya lambang visual sehingga mereka mudah mengenali dan menangkap pesan yang disampaikan media tersebut.

Sejalan dengan hasil penelitian yang diperoleh, penelitian Olson dalam Solomon (1974) menunjukkan bahwa kecerdasan juga berpengaruh pada penguasaan sistem-sistem simbol yang digunakan untuk membuat ilustrasi. Dalam hal ini bahwa

(16)

semakin tinggi pendidikan dan akses terhadap media, semakin tinggi pula pengusaan dengan berbagai macam bentuk ilustrasi sehingga menghasilkan suatu interpretasi yang tepat jika menyaksikan ilustrasi tersebut. Pambudy (1988) menyatakan bahwa pengalaman sangat penting dalam memahami suatu sistem simbol yang digunakan dalam penyampaian pesan visual. Pemahaman seseorang terhadap suatu sistem simbol yang digunakan dalam suatu visual akan menghasilkan persepsi yang tepat dari suatu ilustrasi.

Penjelasan diatas bertentangan dengan penelitian Iskandar (2005), yang mengatakan bahwa medium video yang mengandung unsur suara dan pesan visual dapat meningkatkan pengetahuan petani tentang pupuk Agrodyke di Kecamatan Mandonga Kota Kendari. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan Muhammad Nasir (2006) terhadap petani Kakao di Kecamatan Amahi, Maluku Tengah serta penelitian Pera Nurfatiyah (2006) terhadap ibu tani tentang pengolahan dodol nanas dengan media web .

Hasil penelitian sebelumnya mengungkapkan ada perbedaan nyata antara gambar bergerak dan diam, ini dikarenakan karakteristik respondennya yang belum semua mengakses segala macam media. Selain itu informasi yang disampaikan bersifat instruksional bukan bersifat informatif. Medium video yang bersifat instruksional merupakan video yang harus dibuat secara bergerak, karena apabila pesan yang disampaikan secara diam, responden akan lebih cepat lupa dan tidak bisa menerima pesan secara optimal. Hasil penelitian sebelumnya banyak mengungkap, penggunaan visual dalam penjelasan materi intsruksional melalui media apapun cenderung memperlancar proses belajar (AECT, 1997).

Dengan demikian frekuensi responden dalam mengakses media massa, merupakan salah satu faktor yang menentukan pengaruh penerimaan pesan visual baik visual realistik maupun visual diam. Dimana penggunaan visual memang dirancang untuk membuat konsep atau obyek yang diterangkan menjadi lebih jelas, sederhana dan mudah dimengerti. Dengan adanya visual dalam medium ini proses komunikasi akan lebih mudah dicerna, apalagi dengan responden yang mempunyai pendidikan, serta akses terhadap media cukup tinggi.

(17)

Diketahui selain faktor jenis pesan visual (gambar) pada medium video yang menyebabkan peningkatan pengetahuan responden, terdapat pula unsur-unsur karakteristik responden yang secara langsung dapat mempengaruhi penenerimaan informasi seperti umur, kepemilikan media, serta frekuensi keterdedahan media. Siswa yang memiliki media massa dan frekuensi keterdedahan akan media massa yang tinggi memiliki skor peningkatan pengetahuan lebih tinggi.

Faktor lainnya yang cukup mendukung dalam jenis pesan visual realistik dan diam adalah adanya narator (narasi). Penyajian pesan oleh kedua narator lebih cenderung sama antara kecepatan dan kejelasan suara, yang membedakan hanyalah irama, bahasa dan intonasi.

Penggunaan jenis pesan visual dalam memvisualkan ide merupakan usaha untuk merangsang emosi individu agar terlibat dan memiliki persepsi, dan apabila informasi melalui visual dapat dipersepsikan secara jelas, konkrit dan sesuai dengan yang diketahui maka akan lebih mudah untuk diingat. Hal ini diperkuat oleh Haryono dalam Erlina (2001) bahwa daya ingat individu melalui stimuli visual mencapai 72 persen setelah 3 jam dan respon hasil belajar 32 persen.

Selain karena tingginya frekuensi siswa SMA terhadap akses media, pada video yang menggunakaan visualisasi diam (tidak bergerak) ini, proses pengambilan gambar diambil dengan mengcapture langsung dari video realistik, Pada visualisasi realistik frame per secondnya adalah 25 fps, lalu dari visualisasi realistik ini di ambil (capture) gambarnya untuk dijadikan gambar diam, lalu di dapat 111 gambar diam dan frame per second 1.85 fps, dengan durasi yang sama antara visualiasai realistik dan visualisasi diam, yaitu 10 menit. dari segi isi pesan dan gambar tidak ada perbedaan yang mencolok diantara kedua jenis pesan visual ini, penggunaan visualiasasi tidak kontras atau gambar yang disajikan tidak jauh berbeda satu sama lainnya, pembuatan media video yang mudah dimengerti pun berpengaruh dalam penerimaan pesan informasi, selain itu dengan samanya durasi antara visualiasai realistik dan visualisasi diam juga berpengaruh, dengan adanya suara nasari dalam video ini, mampu mendeskripsikan visual ke dalam bentuk suara atau narasi

(18)

Berkenaan dengan hasil penelitian, maka ada perbedaan skor antara pesan visual realistik dengan visual diam, tetapi tidak terdapat perbedaan yang nyata. Faktor lainnya yang mempengaruhi hasil tersebut adalah siswa SMA lebih terbuka terhadap media sehingga menyebabkan tidak ada pengaruh yang nyata antara penggunaan jenis pesan visual.

Dengan demikian, dari hasil penelitian yang diperoleh meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata pada penggunaan kedua jenis pesan visual bagi siswa SMA, tetapi hasil tersebut bisa dijadikan referensi bagi perancang media komunikasi untuk menyebarkan informasi melalui media visual dengan waktu yang lebih singkat. Dimana visual diam dengan kualitas gambar yang sama dengan visual realistik dapat digunakan untuk pengiriman pesan pada khalayak dan memperoleh hasil yang sama dengan penggunaan visual realistik. Sehingga kelebihannya adalah waktu yang digunakan dapat lebih cepat, khususnya apabila pesan tersebut disebarkan kembali melalui media internet, khalayak dapat dengan mudah mengakses pesan yang disampaikan dengan waktu yang relatif singkat dibandingkan apabila pesan diakses dengan visual realistik. Dengan waktu yang lebih singkat isi pesan diharapkan bisa diterima dengan baik

Pengaruh Interaksi Bahasa Narasi dan Bentuk Pesan Visual

Hasil analisa sidik ragam pada tabel 11 menunjukkan bahwa secara statistik interaksi bentuk bahasa narasi dan bentuk pesan visual tidak berbeda nyata pada p = 0.05. Hal ini ditunjukkan oleh F hitung (0.005) < dari F tabel. Dapat diartikan bahwa pengaruh bahasa narasi dengan bentuk pesan visual tidak terkait satu sama lain terhadap peningkatan pengetahuan responden. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 3.

(19)

Gambar 3. Peningkatan pengetahuan

Keterangan

_______________ = Perlakuan dengan bahasa Indonesia --- = Perlakuan dengan bahasa Sunda

Gambar 3 menunjukkan perlakuan bahasa narasi Indonesia memberikan skor agak tinggi dibanding penggunaan bahasa Sunda, demikian pula dengan penggunaan visual realistik memberikan skor agak tinggi dibanding visual diam. Tetapi untuk membuktikan skor tersebut berbeda nyata atau tidak, maka digunakanlah uji wilayah berganda Duncan (tabel 11).

Tabel 12. Hasil Uji Wilayah Berganda Duncan

Perlakuan N Subset for alpha = .05 1 DS 20 13.55 DI 20 13.75 RS 20 14.55 RI 20 14.85 Sig. .262

Keterangan : Skor rata-rata semua perlakuan tidak berbeda nyata pada p:0.05 15 14 13 12 11 Peningkatan pengetahuan

Diam Realistik Visual 13.5

14.55 14.85

(20)

Dari tabel 12 dan tabel 11 diatas, dapat disimpulkan hipotesa keempat yakni : H4 = Skor peningkatan pengetahuan siswa SMA yang menyaksikan video dengan

menggunakan visualisasi realistik dengan menggunakan narasi bahasa Sunda lebih tinggi dari mereka yang menyaksikan penyajian video dalam bentuk lain. Hipotesa ini ditolak.

Pada tabel 10 menunjukkan bahwa F hitung (0.05) < dari F tabel, artinya tidak ada perbedaan nyata antara semua perlakuan (faktor bahasa dan faktor pesan visual). Selain itu pada tabel 11 terlihat skor rata-rata peningkatan pengetahuan siswa SMA juga tidak berbeda nyata diantara keempat kelompok perlakuan pada taraf p= 0.05. Artinya bahwa hipotesa keempat ditolak, dengan demikian peningkatan pengetahuan siswa SMA yang menggunakan visualisasi realistik dengan menggunakan narasi bahasa Sunda tidak berbeda dengan kelompok lainnya.

Hal ini dapat dijelaskan, bahwa kemungkinan siswa SMA atau responden lebih cenderung sama (homogen) terhadap terpaan medianya serta lebih banyak yang sebaya atau berumur sama. Selain itu, karakteristik yang sama juga bisa meyebabkan tidak adanya pengaruh diantara kelompok perlakuan.

Kepemilikan dan frekuensi terhadap terpaan media merupakan faktor yang paling penting dalam proses penyampaian informasi, semakin sering siswa SMA mengakses media, maka semakin tinggi juga keterbukaan siswa SMA terhadap segala jenis informasi. Disinilah peran media massa sangat mempengaruhi pembentukan persepsi dan pengetahuan yang mengarah pada perubahan perilaku.

Faktor pendidikan siswa SMA merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan keterkaitannya dalam mempengaruhi intrepertasi suatu sistem simbol yang digunakan untuk memberi ilustrasi media visual. Dimana semakin tinggi pendidikan, makin tinggi penguasaan materi yang disampaikan melalui media visual tersebut (Penelitian LPSP-IPB dan DEPPENRI, 1977).

Tabel 12 memperlihatkan juga adanya indikasi skor rata-rata kelompok perlakuan yang menggunakan kombinasi bahasa narasi Indonesia dan pesan visual realistik agak tinggi dibanding yang lain, meskipun skor ini tidak bisa dikatakan

(21)

berpengaruh diantara keempatnya. Tetapi hasil ini dapat menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi ini bisa dikatakan paling efektif dibanding yang lainnya.

Salah satu faktor yang menyebabkan pengaruh bahasa narasi Indonesia dan Sunda tidak berbeda adalah sudah mulai berkurangnya penggunaan bahasa Sunda dikalangan siswa SMA. Penggunaan visual realistik dan visual diam yang cenderung tidak jauh berbeda atau tidak berbeda nyata, dikarenakan proses pengambilan gambar (visualisasi diam) langsung mengcapture langsung dari visualisasi realistik sehingga gambar yang disajikan tidak jauh berbeda satu sama lainnya. Ini dilakukan agar tidak ada perbedaan yang mencolok dari segi isi pesan diantara keduanya.

Perlakuan pesan visual realistik dan visual diam menunjukkan hasil tidak ada perbedaan yang nyata, penyebabnya antara lain adalah isi pesan yang bersifat informatif bukan instruksional, dan siswa SMA atau responden yang lebih terbuka akan media serta frekuensi mengakses media yang lebih sering atau lebih lama.

Dihubungkan dengan faktor karakteristik responden, penelitian ini menunjukkan bahwa semua jenis perlakuan yang diberikan sangat efektif bagi siswa SMAN I Ciampea, selain itu kepemilikan dan frekuensi keterdedahan media massa, mempunyai peran besar dalam penerimaan pesan informasi penyakit Chikungunya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil wawancara tersebut diketahui narasumber Desa Adat Tengkudak memiliki tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan narasumber Desa Adat

századig azonban az angol irodalom mint olyan nem volt in- tézményes diszciplína tárgya, annak ellenére, hogy angol szerzők már a 18.. szá- zadban megjelentek az

Ratus $embilan tuluh Ribu Rupiah) $tdah termasuk pajak dan platwatanresmi lainnya. Harga

Hipotesis dalam peneilitian ini remaja putri yang mengalami obesitas ringan memiliki kepercayaan xv diri yang lebih tinggi dibandingkan remaja putri yang mengalami obesitas

Terjadinya peningkatan adsorpsi logam timbal pada berat arang aktif 20-80 mg menunjukkan bahwa berat adsorben berpengaruh terhadap proses adsorpsi karena semakin bertambahnya

Penutupan daerah penangkapan ikan merupakan alternatif dari penutupan musim penangkapan. Sebagai salah satu contoh adalah larangan melakukan.. penangkapan ikan di daerah

The result of this study shows that teaching writing by using picture series as media can improve the students’ writing ability in recount text.. So the hypothesis is

4.2.1.4 Pengaruh positif tekanan terhadap kemungkinan terjadinya manipulasi laba akan lebih kecil dengan adanya pengadopsian IFRS dibandingkan sebelum pengadopsian IFRS. Berdasarkan