• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kelompok lanjut usia (lansia) merupakan salah satu populasi terbesar yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kelompok lanjut usia (lansia) merupakan salah satu populasi terbesar yang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kelompok lanjut usia (lansia) merupakan salah satu populasi terbesar yang menempati bumi ini. Dari 7 miliar populasi manusia yang menghuni bumi, 1 miliar di antaranya adalah penghuni lansia. Meningkatnya jumlah populasi di dunia ini tidak terlepas dari meningkatnya harapan hidup manusia yang kini mencapai usia rata-rata 77 tahun (Wahyuningsih, 2011). Melalui perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 ditemukan bahwa jumlah penduduk lansia di tanah air Indonesia sendiri adalah sekitar 23.992.553 jiwa (9,77 %) dari total jumlah penduduknya dan bahkan Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk lansia terbanyak keempat setelah negara RRC, Amerika Serikat dan India (Wahyuningsih, 2011).

Begitu besarnya jumlah penduduk lansia di Indonesia, kualitas pelayanan sosial terhadap lansia yang tersedia di Indonesia seharusnya lebih baik dibandingkan kualitas pelayanan sosial di beberapa negara lain. Faktanya, ada sekitar 24 juta lansia di Indonesia yang kurang diperhatikan masyarakat dan negara sehingga hidupnya terlantar. Kurangnya perhatian masyarakat dan negara Indonesia terhadap kaum lansia ini dapat terlihat dari masih banyaknya jalan-jalan atau fasilitas umum yang bertangga-tangga di Indonesia sehingga para lansia membutuhkan usaha yang lebih banyak untuk menggunakannya di tengah-tengah keterbatasan fisik mereka, berbeda dengan negara tetangga kita Singapura yang

(2)

telah memodifikasi jalanan dan berbagai sarana umumnya dengan pola yang lebih melandai karena menyadari bahwa lansia sudah tidak bisa melompat-lompat (Wahyuningsih, 2011).

Kurangnya perhatian dari masyarakat dan negara Indonesia terhadap kaum lansia sedikit banyak dipengaruhi oleh berbagai prasangka negatif yang dianut secara sadar maupun tidak sadar oleh masyarakat terhadap kaum lansia. Kuntjoro mencantumkan beberapa prasangka negatif masyarakat Indonesia terhadap para lansia, yaitu lansia dianggap berbeda dengan orang lain, sukar memahami informasi baru, dan sebagainya (Kuntjoro, 2010). Prasangka-prasangka tersebut membuat masyarakat memandang kelompok lansia sebagai kelompok masyarakat yang tidak produktif lagi dan hanya menambah beban masyarakat. Hal ini tentu saja dapat membuat masyarakat tidak lagi memberikan pelayanan yang seharusnya diterima lansia sebagai kelompok yang paling senior. Perlakuan negatif masyarakat juga mempengaruhi lansia untuk menganggap dirinya tidak berguna lagi dan hanya menjadi beban masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Schmidt dan Boland, yang kemudian direplikasi oleh Hummert terhadap partisipan kaum muda, kaum paruh baya, dan kaum lansia di Amerika untuk menemukan prasangka terhadap kaum lansia ditemukan hasil bahwa ada berbagai prasangka negatif dan positif yang diasosiasikan terhadap kaum lansia. Adapun beberapa prasangka negatif yang ditemukan para ahli ini adalah lansia cenderung lamban berpikir, tidak kompeten, depresi, putus asa, dan sebagainya. Beberapa prasangka positif yang ditemukan adalah berorientasi pada keluarga, suportif, religius,

(3)

cerdas, bijaksana dan sebagainya (Schaie & Willis, 2011). Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa ternyata masyarakat juga dapat memandang lansia dari perspektif yang lebih positif, seperti suportif dan bijaksana.

Kebijaksanaan (wisdom) merupakan topik yang telah dibahas sejak zaman Yunani kuno. Para filsuf besar seperti Aristoteles, Plato, dan sebagainya sampai peneliti dari berbagai disiplin ilmu telah berusaha untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kebijaksanaan berdasarkan ranah ilmunya masing-masing, namun sampai saat ini belum ada suatu definisi universal untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebijaksanaan. Paul Baltes mendefinisikan kebijaksanaan sebagai keahlian dalam mengatasi permasalahan mendasar yang berkaitan dengan perilaku dan makna hidup. Menurut Baltes, kebijaksanaan merupakan perpaduan dari intelek dan karakter. Penjelasan Baltes tentang intelek adalah pengetahuan tentang aspek kognitif, motivasi dan emosi dalam perilaku dan pemaknaan hidup (Sternberg & Jordan, 2005).

Baltes dan Staudinger merancang lima kriteria yang harus dipenuhi semuanya untuk disebut bijaksana (Sternberg & Jordan, 2005). Kelima kriteria ini bertujuan untuk memenuhi dua komponen dasar kebijaksanaan, yaitu intelek dan karakter (Sternberg & Jordan, 2005). Adapun kelima kriteria kebijaksanaan tersebut, yaitu memiliki memiliki banyak pengetahuan umum (rich factual knowledge), memiliki banyak pengetahuan praktis (rich procedural knowledge), memahami konteks rentang kehidupan manusia (lifespan contextualism), relativisme atau toleransi nilai (values relativism/tolerance), dan menyadari serta

(4)

mampu mengelola ketidakpastian (awareness/management of uncertainty) (Snyder & Lopez, 2002).

Siddharta Gautama, atau lebih dikenal dengan gelar Sang Buddha, termasuk orang yang memiliki banyak pengetahuan umum (rich factual knowledge). Melalui proses meditasi yang lama, Siddharta akhirnya berhasil mencapai kebenaran sejati dan memperoleh pengetahuan yang benar tentang kehidupan manusia, masa lalu, masa kini, dan masa depan dirinya serta dunia (Tyle, 2003).

Kebijaksanaan juga dimanifestasikan dalam hidup orang yang memiliki banyak pengetahuan praktis (rich procedural knowledge). Florence Nightingale, seorang wanita Italia yang mempelopori berdirinya sekolah keperawatan, mengikuti panggilan hidupnya dengan menjadi seorang perawat yang dipandang sebagai pekerjaan paling hina pada masa itu. Pada masa awal kerjanya, keberadaan Florence dan perawat lainnya tidak diterima oleh para dokter militer di medan perang. Namun, aksi diplomasi yang sering dilakukan Florence dan meningkatnya jumlah pasukan yang terluka dan jatuh sakit akhirnya membuat Florence berhasil mengubah sikap dokter militer terhadap keberadaan tim perawat tersebut di medan perang (Tyle, 2003). Tindakan Florence ini merefleksikan pengetahuannya tentang cara mendekati orang lain.

Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang mengabdikan dirinya pada ilmu perkembangan anak, menyadari bahwa proses belajar pada anak sangatlah berbeda dengan proses belajar pada orang dewasa. Anak-anak lebih sering belajar dengan mengeksplorasi lingkungan sekitar daripada memahaminya dalam bentuk

(5)

linguistik. Peran hereditas dan lingkungan memiliki proporsi yang sama dalam proses pembelajaran tersebut. Piaget juga mempercayai bahwa kesan anak tentang dunia sekitar tidaklah diwariskan secara genetik atau dipelajari, tetapi merupakan konstruksi dari pengalaman hidup dan struktur mentalnya (Tyle, 2003). Pemahaman Jean Piaget tersebut mencerminkan pemahamannya tentang konteks kehidupan manusia (lifespan contextualism).

Bunda Teresa adalah seorang biarawati Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk melayani penduduk termiskin di kota Kalkuta, India. Pelayanan kasihnya terhadap orang miskin di India menuntut pengorbanan untuk lebih mementingkan kesejahteraan orang lain di atas kepentingan pribadinya, apalagi melayani masyarakat yang berbeda budaya dan agama dengannya. Banyak masyarakat sekitar yang menuduh Bunda Teresa mengubah kepercayaan pasiennya menjelang ajal mereka. Namun, pada akhirnya mereka dapat melihat sendiri bahwa Bunda Teresa mendukung pasiennya untuk berdoa menurut kepercayaannya dan Bunda Teresa berdoa menurut ajaran Katoliknya sehingga mereka berdua dapat mempersembahkan doa yang indah kepada Tuhan. (Greene, 2004). Hal ini membuktikan bahwa Bunda Teresa sangat menghormati kebudayaan dan agama orang yang dilayaninya tanpa memaksakan nilai pribadinya. Tindakan beliau ini telah menunjukkan relativisme atau toleransi nilai (values relativism/tolerance).

Perjuangan Mahatma Gandhi untuk menghapus diskriminasi agama dan rasisme serta memperoleh kemerdekaan bagi negara India dari penjajahan negara Inggris mengandung beberapa tindakan yang bijaksana. Walaupun Gandhi tidak

(6)

mengetahui kapan India akan merdeka atau bagaimana tanggapan pemerintahan Inggris terhadap gerakan sosial yang dilakukannya, Gandhi terus-menerus melakukan berbagai gerakan sosial yang penuh perdamaian bersama rakyat India yang dikumpulkannya untuk melawan ketidakadilan Inggris demi mencapai kemerdekaan India tanpa kekerasan (Wolpert, 2001). Tindakan Gandhi tersebut menunjukkan kesadarannya serta persiapannya menghadapi ketidakpastian (awareness/management of uncertainty).

Pembahasan tentang kebijaksanaan tentunya tidak terlepas dari karakteristik orang yang bijaksana. Beberapa tokoh dunia di atas dapat menjadi contoh untuk menyimpulkan bahwa orang yang dipandang bijaksana biasanya memiliki karakteristik pribadi yang penuh dengan kedamaian dan belas kasih terhadap manusia dan dunia (Sternberg & Jordan, 2005). Dari contoh tersebut kita juga dapat melihat bahwa kebijaksanaan umumnya dimiliki oleh individu yang bekerja di bidang kemanusiaan, seperti aktivis sosial dan guru spiritual. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis pekerjaan tertentu berkontribusi terhadap kebijaksanaan seseorang.

Brezina (2010) melakukan sebuah penelitian tentang konsep kepribadian orang yang bijaksana menurut kebudayaan Asia. Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa ada pengaruh budaya, yaitu etnisitas dan agama, terhadap kebijaksanaan individu. Selain itu, konsep kebijaksanaan dalam budaya Timur lebih berfokus kepada hubungan antarmanusia dan spiritualisme. Sifat altruisme yang diukur dalam penelitian ini juga cenderung identik dengan kriteria lifespan contextualism yang dikemukakan Baltes. Kedua konsep tersebut menggambarkan

(7)

individu yang bijaksana sebagai orang yang berusaha memandang masalah dari banyak perspektif, yaitu pengaruh berbagai aspek kehidupan manusia lainnya.

Jenis kelamin merupakan variabel yang juga dianggap berpengaruh terhadap kebijaksanaan selain faktor budaya. Denney menyatakan bahwa kebijaksanaan pria berbeda dengan kebijaksanaan wanita, yaitu kebijaksanaan pria lebih bersifat intelektual dan kebijaksanaan wanita lebih bersifat sosial (Sternberg & Jordan, 2005). Benedikovicova & Ardelt (2008) melakukan penelitian tentang adaptasi skala kebijaksanaan mereka, 3-D Wisdom Scale, terhadap mahasiswa Slovakia dan membandingkan hasilnya dengan hasil mahasiswa Amerika Serikat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok wanita sedikit lebih bijaksana daripada kelompok pria. Hal ini mungkin dikarenakan budaya Eropa mendidik kaum wanita untuk lebih mementingkan hubungan sosial dibandingkan kaum pria. Masyarakat pada umumnya memiliki pandangan bahwa kebijaksanaan adalah aset yang umumnya dimiliki para lansia. Hal ini dapat dilihat dari munculnya pepatah kuno “Wisdom comes with age” dan berbagai pepatah kuno tentang kebijaksanaan lainnya. Menurut tinjauan literatur, generasi yang telah memasuki masa lansia mengalami banyak kemunduran secara fisik. Salah satu dampak dari kemunduran fisik yang dialami lansia adalah berkurangnya sel-sel otak sehingga akan mempengaruhi proses kognitif individu, seperti ingatan dan kecepatan mencerna informasi yang diterima (Schaie & Willis, 2011). Jikalau benar demikian, masyarakat mungkin telah keliru untuk menjadikan lansia sebagai model kebijaksanaan di tengah-tengah keterbatasan kognitif mereka. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari

(8)

masyarakat Indonesia sendiri sering mendatangi kaum lansia untuk meminta nasihat ketika menghadapi masalah. Hal ini dikarenakan masyarakat menganggap usia sebagai faktor utama yang menentukan kebijaksanaan, artinya semakin tua seseorang, semakin bijaksanalah dirinya di mata masyarakat.

Berikut ini adalah sebuah penelitian yang dilakukan oleh Basri (2006) untuk mengkaji karakteristik dan faktor-faktor kearifan menurut pandangan tiga kelompok usia, yaitu kelompok usia dewasa muda, dewasa madya, dan lansia. Dalam penelitiannya, Basri menggunakan kata kearifan untuk menyatakan wisdom yang sebenarnya bersinonim dengan kebijaksanaan. Secara kuantitatif, Basri (2006) menemukan ada lima karakteristik kearifan, yaitu kondisi spiritual-moral, kemampuan hubungan antarmanusia, kemampuan menilai dan mengambil keputusan, kondisi personal, serta kemampuan khusus/istimewa. Secara kualitatif, tiga tokoh lansia yang ditemukan menyetujui arti kearifan, yaitu kemampuan untuk menanggapi, memutuskan dan menyelesaikan permasalahan dengan cara yang tidak menyinggung dan dapat diterima pihak manapun yang terlibat. Dalam kehidupan ketiga tokoh tersebut terlihatlah manifestasi dari kelima faktor kearifan yang ditemukan sebelumnya. Basri juga menyimpulkan bahwa tokoh-tokoh yang dipandang bijaksana biasanya adalah orang yang bersifat ideal, yang karismatik dan diharapkan dapat menjadi panutan bagi masyarakat (Basri, 2006).

Pengaruh usia dengan tingkat kebijaksanaan individu mungkin didasari asumsi bahwa semakin lama individu hidup, semakin banyak pengalaman hidup yang dimilikinya sehingga dia akan lebih bijaksana dibandingkan individu yang lebih muda. Banyak juga ahli yang telah meneliti kaitan antara usia dan

(9)

kebijaksanaan, namun kebanyakan hasil penelitian mereka menyatakan bahwa usia tidak terlalu berpengaruh terhadap kebijaksanaan secara signifikan. Penelitian yang dilakukan Baltes dan Staudinger menyatakan bahwa masih ada banyak faktor lain selain usia yang benar-benar lebih mempengaruhi perkembangan kebijaksanaan individu, seperti pengalaman hidup yang mampu mengasah ketajaman wawasan, pendidikan dan jenis pekerjaan yang dipilih, dan sebagainya (Dacey & Travers, 2002).

Penelitian lain yang dilakukan Ardelt dan Jacobs menyatakan bahwa pertumbuhan kebijaksanaan tidak bersifat normatif pada usia dewasa, artinya setiap individu memiliki pertumbuhan kebijaksanaan yang berbeda-beda. Pertumbuhan ini sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh usia sebagaimana yang banyak dipercayai masyarakat dan para ahli, namun juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti kondisi sosial, hubungan keluarga, kesempatan memperoleh pendidikan, jalur karir, pengalaman hidup, motivasi individu, dan gaya pendekatan terhadap dunia juga turut berkontribusi terhadap pertumbuhan kebijaksanaan (Schaie & Willis, 2011). Kedua penelitian di atas menunjukkan bahwa ada banyak faktor lain yang lebih mempengaruhi perkembangan kebijaksanaan selain usia, salah satunya adalah pengalaman hidup dan jalur karir.

Baltes dan Staudinger pernah meneliti kebijaksanaan dipandang dari perbedaan usia serta spesialisasi profesi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa profesi yang melayani manusia (human services) memperoleh nilai yang lebih baik dalam kriteria kebijaksanaan dibandingkan profesi yang tidak melayani manusia (nonhuman services). Di samping itu, kelompok profesional lansia juga

(10)

mendapatkan lebih banyak manfaat dari pelatihan profesi dibandingkan kelompok profesional yang lebih muda (Sternberg & Jordan, 2005). Hal ini dikarenakan pelayanan terhadap manusia mengharuskan pekerja bersikap lebih empatik terhadap permasalahan pelanggannya yang kadang kompleks dan bervariasi, tidak monoton seperti individu yang bekerja dengan mesin atau berbagai benda yang tidak tergolong manusia.

Beberapa contoh pekerjaan yang melayani manusia (human services) adalah dokter, psikolog, hakim, guru, pekerja sosial dan sebagainya. Pekerjaan tersebut pada umumnya berkaitan dengan kesejahteraan fisik dan mental individu yang mereka layani. Kesalahan sekecil apapun yang mereka lakukan dapat sangat berdampak terhadap kesejahteraan fisik dan mental pelanggan yang mereka layani, sehingga pekerja perlu mempertimbangkan banyak hal dalam mengambil suatu keputusan.

Pengalaman sehari-hari dari pekerjaan tersebut dapat melatih kemampuan pekerja untuk mengambil keputusan yang lebih bijaksana dalam berbagai aspek kehidupannya. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa kebijaksanaan merupakan konstruk yang berkembang secara sosial sehingga perkembangan kebijaksanaan dalam kehidupan individu berlangsung lebih lancar ketika sering berdiskusi dengan orang lain (Sternberg & Jordan, 2005). Dengan sering berdiskusi dengan orang lain, kita dapat memperluas perspektif kita dalam memandang suatu masalah sehingga kita memiliki pemahaman yang lebih komprehensif dan mampu membuat suatu keputusan dengan lebih bijaksana.

(11)

Pekerjaan yang tidak melayani manusia (nonhuman services), misalnya kuli bangunan, mekanik, insinyur, petugas ekspor dan impor, petugas kehutanan, dan sebagainya. Jenis pekerjaan ini pada umumnya memiliki tugas yang kurang bervariasi dan kurang mendesak pekerja untuk mengambil keputusan penting atau sering bertukar pikiran dengan manusia lain. Kurangnya kegiatan berdiskusi dengan individu lain membuat wawasan pekerja tidak banyak berkembang dan mereka cenderung jarang diharuskan untuk mengambil keputusan penting dalam situasi yang kompleks sehingga pekerjaannya kurang melatih kebijaksanaan. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa individu tidak dapat menjadi bijaksana apabila individu jarang terlibat secara sosial (Sternberg & Jordan, 2005).

Perbedaan pekerjaan yang melayani manusia (human services) dan pekerjaan yang tidak melayani manusia (nonhuman services) terletak pada keharusan pekerja untuk berinteraksi secara sosial dengan orang lain. Pada umumnya, pekerjaan yang tergolong human services mengharuskan pekerjanya untuk berinteraksi sosial dengan masyarakat untuk menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan interaksi sosial bukanlah suatau keharusan dalam pekerjaan nonhuman services untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Berbagai uraian dan beberapa sajian hasil penelitian di atas telah menjelaskan bahwa jenis pekerjaan merupakan satu di antara sejumlah faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan kebijaksanaan dalam kehidupan individu. Dengan demikian, peneliti hendak melihat perbedaan kebijaksanaan (wisdom) pada lansia ditinjau dari jenis pekerjaannya, yaitu lansia yang pernah bekerja di bidang pekerjaan yang melayani manusia (human services) dan lansia

(12)

yang pernah bekerja di bidang pekerjaan yang tidak melayani manusia (nonhuman services).

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan, permasalahan yang hendak dijawab adalah:

1. Apakah terdapat perbedaan kebijaksanaan (wisdom) pada lansia ketika ditinjau dari jenis pekerjaannya, yaitu pekerjaan yang melayani manusia (human services) dan pekerjaan yang tidak melayani manusia (nonhuman services)? 2. Lansia dari kelompok jenis pekerjaan manakah yang lebih bijaksana?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian tersebut adalah untuk melihat perbedaan kebijaksanaan (wisdom) pada lansia ditinjau dari jenis pekerjaannya, yaitu lansia yang pernah bekerja di bidang pekerjaan yang melayani manusia (human services) dan lansia yang pernah bekerja di bidang pekerjaan yang tidak melayani manusia (nonhuman services).

(13)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan teori dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan Psikologi Perkembangan tentang kebijaksanaan pada lansia. 2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis kepada: a. Lansia

Lansia lebih menghargai dirinya sendiri sebagai pribadi yang berpengalaman dan bijaksana.

b. Masyarakat dan Pemerintah

Masyarakat mengetahui bahwa banyak faktor yang berkontribusi terhadap kebijaksanaan selain dari faktor usia. Masyarakat juga mampu mengembangkan kesan yang lebih positif tentang lansia. Pemerintah dapat memperoleh ide program untuk meningkatkan pelayanan yang lebih baik bagi lansia.

(14)

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah: BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: LANDASAN TEORI

Bab ini berisi uraian teori yang melandasi variabel penelitian. Teori yang diuraikan adalah teori kebijaksanaan, jenis pekerjaan, dan lansia. Dalam bab ini juga disajikan kerangka berpikir penelitian dan hipotesa penelitian.

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan metode yang digunakan dalam penelitian, yang terdiri dari identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas penelitian, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisis data.

BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan analisis data berupa gambaran umum subjek dan hasil penelitian, serta pembahasan.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menjelaskan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini di Desa Bukit Makmur adat yang digunakan adalah adat masyarakat pendatang.Adat yang telah ada lama kelamaan tergerus oleh pengaruh kaum pendatang yang membawa pengaruh bagi

disimpulkan bahwa Gaya Kepemimpinan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Karena probabilitas signifikansi lebih kecil dengan sig. 0,05 maka model

Skripsi ini merupakan laporan penelitian penulis untuk mendapatkan gambaran mengenai “Strategi Public Relations PT PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya dan

Dengan menggunakan pendekatan vernakular kontemporer dalam desain ini, terciptalah sebuah bangunan pasar wisata yang adaptif terhadap site eksisting, dimana bangunan merespon site

 Metode pembuktian untuk pernyataan perihal bilangan bulat adalah induksi matematik..  Cara pembuktian

CHAPTER III: THE APPROPRIATE SUBJECT MATTERS WITH LEVEL AGES 8-12 YEARS IN INTERACTIVE CD BY AKAL INTERAKTIF (SERIES: ENGLISH? NO PROBLEM!).. Subject Matters

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh brand credibility dan self-image congruence terhadap purchase behaviour dengan brand knowledge sebagai

STAD dengan media gambar adalah adanya pemberian penghargaan berupa sertifikat dan hadiah pada tim yang memperoleh rata-rata skor tertinggi, kegiatan ini paling