• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA

RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT

UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR

FEMY AMALIA ARIZI PUTRI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2013 Femy Amalia Arizi Putri NIM I34090065

(4)
(5)

ABSTRAK

FEMY AMALIA ARIZI PUTRI. Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh WINATI WIGNA.

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha WKRT; menganalisis hubungan karakteristik WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha; dan menganalisis hubungan peluang bekerja dan berusaha WKRT dengan tingkat upah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan didukung dengan kualitatif. Secara umum WKRT memiliki ideologi gender kuat, peluang bekerja dan berusaha yang sulit, dan tingkat upah rendah. Ideologi gender berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, peluang bekerja dan berusaha tidak berhubungan dengan tingkat upah, karakteristik usia berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, karaktersitik lamanya menjadi WKRT tidak berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha, dan karakteristik tanggungan anak tidak berhubungan dengan peluang bekerja dan berusaha.

Kata kunci: wanita kepala rumah tangga, ideologi gender, karakteristik, peluang bekerja dan berusaha, tingkat upah

ABSTRACT

FEMY AMALIA ARIZI PUTRI. The Opportunity to work and business Women Head of Household (WHH) and Influence to wage rate in Cihideung Udik’s village, Bogor’s regency. Supervised by WINATI WIGNA.

The objectives of this research are: to analyze gender's ideology associated with opportunity to work and business WHH, to analyze characteristic associated with opportunity to work and business WHH, to analyze opportunity to work and business associated with wage rate WHH. This research was using quantitative method and supported by qualitative. In common show that respondent majority have categorised gender’s ideology strong, opportunity to work and business are hard, dan low wage rate. Gender's ideology is associated with opportunity to work and business, opportunity to work and business is not associated with wage rate, age characteristic is associated with opportunity to work and business, the duration as WHH and child responsibility characterisic are not associated with opportunity to work and business.

Keywords: women head of household, gender's ideology, characteristic, opportunity to work and business, wage rate

(6)

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA

RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT

UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

FEMY AMALIA ARIZI PUTRI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)

Judul Skripsi: Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor

Nama : Femy Amalia Arizi Putri

NIM : I34090065

Disetujui oleh

Dra. Winati Wigna, MDS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2012 ini ialah gender, dengan judul Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dosen pembimbing skripsi penulis, yaitu Dra. Winati Wigna, MDS yang telah memberikan masukan dan bimbingan kepada penulis; dan dosen penguji utama, yaitu Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS; serta dosen penguji wakil departemen, yaitu Ir. Sutisna Riyanto, MS yang telah memberikan masukan kepada penulis. Lalu pembimbing akademik saya, yaitu Dr. Ir.Lala M. Kolopaking, MS. Tidak lupa kedua orang tua Ayahanda Zulkifli H.S dan Ibunda Nurarini orang tua tercinta serta Zulfahmi A.P. dan Nada K.A.P., kakak dan adik tersayang yang selalu memberi semangat, dukungan, doa, dan materi kepada penulis dengan penuh keikhlasan. Malik, Rizka A, Zela, Ninis, M. Septiadi, Ayu A, Ayu J, Anggi, Asti, Zona dan teman-teman Departemen SKPM yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis selama proses penyusunan penelitian. Serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2013 Femy Amalia Arizi Putri

(10)
(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN x PENDAHULUAN 1  Latar Belakang 1  Masalah Penelitian 2  Tujuan Penelitian 3  Kegunaan Penelitian 3  PENDEKATAN TEORETIS 5  TINJAUAN PUSTAKA 5  Kerangka Pemikiran 15  Hipotesis Penelitian 16  Definisi Operasional 17  METODOLOGI PENELITIAN 19  Lokasi dan Waktu 19  Teknik Sampling 19  Teknik Pengumpulan Data 20  Teknik Pengolahan dan Analisis Data 21  GAMBARAN UMUM LOKASI 23  Kondisi Geografis 23  Demografi 23  Pendidikan dan Mata Pencaharian 25  Agama 27  Lingkungan dan Kesehatan 27  Potensi wisata 29  Pembangunan Ekonomi dan Infrastruktur 29  IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH

TANGGA (WKRT) 31  Ideologi Gender 31  Kehidupan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) 34  Karakteristik Responden 35 

(12)

Ikhtisar 37  PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP TINGKAT UPAH WANITA KEPALA RUMAH TANGGA

(WKRT) 39  Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) 39  Hubungan Ideologi Gender dengan Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita

Kepala Rumah Tangga (WKRT) 43  Hubungan Karakteristik dengan Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) 44  Hubungan Peluang Bekerja dan Berusaha dengan Tingkat Upah Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) 46  Ikhtisar 48  SIMPULAN DAN SARAN 51  Simpulan 51  Saran 51  DAFTAR PUSTAKA 53  LAMPIRAN 55  RIWAYAT HIDUP 57 

(13)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan antara gender dan seks 6 

2 Pola penggunaan tanah di Desa Cihideung Udik tahun 2009 23  3 Jumlah dan persentase komposisi penduduk berdasarkan kelompok usia

di Desa Cihideung Udik tahun 2012 24  4 Jumlah rukun tetangga dan rukun warga di Desa Cihideung Udik tahun

2000, 2002, 2010, dan 2012 24  5 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Cihideung

Udik tahun 2012 25  6 Jumlah sarana pendidikan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 26  7 Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian di Desa Cihideung

Udik tahun 2012 26  8 Jumlah rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan utama di Desa

Cihideung Udik tahun 2002 dan 2010 27  9 Jumlah sarana peribadatan di Desa Cihideung Udik tahun 2002 dan

2010 27  10 Jumlah dan persentase bangunan berdasarkan jenis bangunan di Desa

Cihideung Udik tahun 2002 dan 2010 28  11 Jumlah sarana kesehatan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 28  12 Jumlah sarana dan prasarana ekonomi di Desa Cihideung Udik tahun

2012 29  13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan ideologi gender di Desa

Cihideung Udik tahun 2012 31  14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia di Desa Cihideung

Udik tahun 2012 36  15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan lamanya menjadi

WKRT di Desa Cihideung Udik tahun 2012 36  16 Jumlah dan persentase berdasarkan beban keluarga responden di Desa

Cihideung Udik tahun 2012 37  17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan peluang bekerja dan

berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 39  18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usaha mencari

pekerjaan di Desa Cihideung Udik tahun 2012 39  19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan faktor pendukung

berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 40  20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaan di Desa

Cihideung Udik tahun 2012 40  21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pekerjaan di Desa

Cihideung Udik tahun 2012 41  22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis upah di Desa

(14)

23 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kesulitan mencari pinjaman di Desa Cihideung Udik tahun 2012 42  24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan ideologi

gender dengan peluang bekerja dan berusaha di Desa Cihideung Udik tahun 2012 43  25 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik usia

responden dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 44  26 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik lamanya

menjadi WKRT responden dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 45  27 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan karakteristik

tanggungan anak dengan peluang bekerja dan berusaha responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 45  28 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat upah di Desa

Cihideung Udik tahun 2012 46  29 Jumlah dan persentase berdasarkan hubungan peluang bekerja dan

berusaha dengan tingkat upah responden di Desa Cihideung Udik tahun 2012 47 

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka analisis 16  2 Peta Desa Cihideung Udik 55 

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 55  2 Jadwal penelitian 56 

(15)
(16)
(17)

PENDAHULUAN

Bab ini menjelaskan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian ini. Subbab latar belakang menjelaskan alasan penelitian ini dilakukan. Subbab perumusan masalah menjelaskan hal-hal apa saja yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Sementara itu, subbab tujuan penelitian mengarahkan untuk menjawab perumusan masalah yang telah dibuat dan mengarahkan pencari data yang dibutuhkan. Subbab yang terakhir dalam bab ini adalah kegunaan penelitian yang menjelaskan manfaat dari penelitian ini.

Latar Belakang

Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang yang biasanya tinggal bersama dalam satu bangunan serta pengelolaan makan dari satu dapur, maksudnya jika pengurusan kebutuhan sehari-harinya dikelola bersama-sama jadi satu (BPS 2012). Satu rumah tangga dapat terdiri dari hanya satu anggota rumah tangga. Rumah tangga memiliki kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas rumah tangga yang dipimpinnya. Kepala rumah tangga identik dengan pria yang memimpin, namun di dalam masyarakat juga terdapat wanita yang berperan sebagai kepala rumah tangga.

Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) dapat dijelaskan baik secara de jure maupun secara de facto. Definisi WKRT yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) ialah secara de jure, yaitu wanita yang memang hidup berumah tangga sendiri dalam arti tidak menikah, atau bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Sementara itu secara de facto, wanita yang menjadi kepala rumah tangga ialah karena wanita itu merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri, dan wanita yang suaminya tidak mampu secara fisik atau mental sebagai pengelola rumah tangga.

Jumlah WKRT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011.

Budaya yang paling dominan di Indonesia ialah budaya patriarkhi. Menurut Rianingsih (2005), patriarkhi secara luas mengacu pada dominasi pria pada hubungannya dengan kekuasaan, yaitu pria mendominasi wanita dengan berbagai cara tetap berada di bawah (subordinat). Negara juga turut mempertegas dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 31 dan 34, dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan di Indonesia, kepala rumah tangga adalah suami atau pria. Kedua hal tersebut menempatkan wanita dalam posisi subordinat apalagi wanita yang menjadi kepala rumah tangga.

Konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin

(18)

2

dari segi seks bukan dari segi kemampuan. Kuatnya nilai sosial budaya patriarkhi di Indonesia lalu didukung dengan adanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyebabkan semakin kuatnya ideologi gender di masyarakat. Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam akses dan kontrol. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Adanya ideologi gender yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial budaya mengakibatkan ketidakadilan gender, seperti subordinasi, marginalisasi, beban kerja banyak, kekerasan, dan stereotipe (Handayani dan Sugiarti 2008). Hal tersebut seringkali merugikan wanita begitu pula WKRT. Posisi WKRT menjadi sulit baik dalam hukum yang berlaku maupun dalam kehidupan sosialnya. WKRT yang secara de jure dipersulit oleh ideologi gender sedangkan WKRT secara de facto statusnya tidak diakui secara hukum dan dipersulit juga dengan ideologi gender. Hal tersebut menyebabkan kepala rumah tangga wanita sering didiskriminasi haknya dalam berbagai bidang seperti sosial politik, ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Sementara itu, WKRT harus memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan bekerja dan berusaha. Namun, dalam proses bekerja dan berusaha tersebut mereka mengalami kesulitan, status yang seringkali dianggap negatif membuatnya menjadi tidak percaya diri dan Wigna (1990) menyatakan bahwa status pekerjaan mereka cenderung sektor tradisional dan informal. Tak heran apabila rumah tangga yang dikepalai wanita umumnya miskin dengan tingkat pendapatan yang rendah dalam strata sosial ekonomi di Indonesia.

Wanita sebagai pencari nafkah utama di Indonesia sebesar 14%-17% dan akan terus bertambah karena migrasi musiman, keluarga berantakan, kematian atau permanen migran dari male breadwinner, inilah alasan bertambahnya WKRT (Hubeis 2010). Hubeis (2010) juga menambahkan bahwa WKRT yang termasuk dalam kelompok termiskin secara langsung terkait pada status ekonomi, yaitu tidak adanya peluang ekonomi dan otonomi, kurangnya akses ke pendidikan, dan jasa pendukung, serta minimnya partisipasi dalam penentuan keputusan. Sementara itu WKRT menjadi penopang dalam memenuhi rumah tangganya dengan bekerja dan berusaha. Namun, wanita dalam hal ini WKRT kurang diberikan kesempatan kerja. BPS (2011) melalui Susenas tahun 2009-2011, angka partisipasi kerja wanita yang menjadi kepala rumah tangga lebih rendah (61.72%) dibandingkan angka partisipasi kerja pria yang menjadi kepala rumah tangga (92.80%). Oleh karena itu, perlu digali lebih dalam gambaran kesulitan wanita bila menjadi kepala rumah tangga yang umumnya berada dalam kelompok termiskin ketika bekerja dan berusaha.

Masalah Penelitian

Secara umum perkembangan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) telah mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya

(19)

3 kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Selain itu juga terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada perceraian hidup atau mati baik di desa maupun di kota. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu adanya industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan secara universal yang menyebabkan ketidakadilan gender. Banyak aplikasi gender di masyarakat yang belum sesuai dengan yang diharapkan karena masih dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya dan telah menghasilkan ketidakadilan gender. Ideologi gender merupakan suatu pemikiran yang dianut oleh masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Ideologi gender akan menghasilkan ketidakadilan gender. Perumusan masalah yang pertama adalah sejauh mana ideologi gender berhubungan dengan peluang berusaha dan bekerja WKRT. Lalu perumusan kedua adalah sejauh mana karakteristik WKRT berhubungan dengan peluang berusaha dan bekerja WKRT.

Nilai sosial dan budaya yang berlaku cenderung merugikan wanita apalagi WKRT, masih saja ada label negatif di masyarakat terhadap status WKRT. Hal tersebut berpengaruh terhadap rumah tangga yang dikepalai wanita sehingga mereka menjadi pihak yang tidak diuntungkan. Posisi ini tentunya akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha di mana hal ini berhubungan dengan tingkat upah yang diperolehnya. Perumusan masalah yang ketiga adalah sejauh mana peluang bekerja dan berusaha WKRT berhubungan dengan tingkat upah.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini akan melihat peluang bekerja dan berusaha kepala rumah tangga. Fokus penelitiannya, yaitu peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga dan pengaruhnya terhadap tingkat upah di Desa Cihideung Udik Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan dalam menganalisis hubungan ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha WKRT; menganalisis hubungan karakteristik WKRT dengan peluang bekerja dan berusaha; dan menganalisis hubungan peluang bekerja dan berusaha WKRT dengan tingkat upah.

Kegunaan Penelitian

Kegunaan teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu gender khususnya terfokus pada Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT). Selanjutnya kegunaan praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi bagi beberapa kalangan, antara

(20)

4

lain: (1) bagi kalangan pemerintah Kabupaten Bogor, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi yang bermanfaat dalam menentukan arah kebijakan yang turut memperhitungkan WKRT pada masa yang akan datang; (2) bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan mampu menyumbang penelitian dan mampu mendorong berkembangnya penelitian mengenai WKRT; (3) bagi masyarakat Desa Cihideung Udik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan mereka mengenai gambaran WKRT dalam bekerja dan berusaha dan pengaruhnya terhadap tingkat upah.

(21)

5

PENDEKATAN TEORETIS

Bab ini menjelaskan tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Subbab tinjauan pustaka berisi bahan pustaka yang dirujuk berasal dari beberapa sumber berupa buku dan hasil penelitian sebelumnya. Subbab kerangka pemikiran menjelaskan variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini. Subbab hipotesis penelitian memaparkan proposisi yang diuji dalam penelitian ini dan subbab definisi operasional memaparkan kriteria dan standar pengkategorian masing-masing variabel yang diuji.

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka memuat telaah singkat, jelas, dan sistematis tentang kerangka teoretis, hasil-hasil penelitian yang relevan yang melandasi masalah penelitian atau gagasan guna menggali pemahaman mengenai masalah penelitian dan pemecahan masalahnya. Subbab ini terdiri dari gender dan ketidakadilan gender, wanita kepala rumah tangga, karakteristik wanita kepala rumah tangga, faktor yang menyebabkan peningkatan wanita kepala rumah tangga, posisi wanita kepala rumah tangga terhadap hukum di Indonesia, peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga,

Gender dan Ketidakadilan Gender

Analisis gender merupakan alat analisis untuk memahami realitas sosial, serta memahami bahwa pokok persoalannya ialah sistem dan struktur yang tidak adil. Pemahaman antara konsep gender dengan konsep seks diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum wanita. Handayani dan Sugiarti (2008) menyatakan,

“..di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi akibat ketidakadilan gender sementara kaum lelaki mengalami dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender”.

Seks ialah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis antara pria dan wanita yang memiliki fungsi organisme yang berbeda, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, ketentuan Tuhan (kodrati). Handayani dan Sugiarti (2008) juga menjelaskan konsep gender, yaitu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang terbentuk oleh faktor sosial maupun budaya, pembedaan peran dan fungsi antara pria dan wanita menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Fungsi dan peranan antara pria dan wanita dapat dipertukarkan. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor sosial, geografis, dan kebudayaan suatu masyarakat seperti pada Tabel 1. Hubeis (2010) juga menyatakan, bahwa gender adalah suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara pria dan wanita yang ditentukan oleh sosial budaya, politik dan ekonomi di mana cara dan proses implementasi gender

(22)

6

dikonstruksikan di masyarakat. Jadi, gender dapat diartikan sebagai perbedaan antara pria dan wanita dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya, adat istiadat dari kelompok masyarakat.

Proses sosialisasi yang berjalan secara turun temurun akan mempengaruhi perkembangan visi, emosi, ideologi, fisik dan biologis masing-masing jenis kelamin. Hal inilah yang akhirnya melahirkan keyakinan masyarakat tentang bagaimana pria dan wanita berpikir, bertindak, serta terciptanya norma-norma atas “pantas” atau “tidak pantas” masing-masing jenis kelamin yang sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Perbedaan gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya seringkali telah melahirkan berbagai ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender. Hubeis (2010) menyatakan bahwa sosialisasi nilai-nilai gender yang mencakup sosialisasi sifat, cara bertingkah laku dan peran telah ditanamkan sejak masih dalam kandungan hingga berakhir masa hidup. Kebanyakan kepercayaan yang muncul di masyarakat -seperti wanita berfungsi 3 m (masak, macak, manak) sedangkan pria pantang memasak, mencuci, dan melakukan kegiatan rumah tangga- menguntungkan kaum pria dan meminggirkan kaum wanita. Hal tersebut juga mengakibatkan wanita sudah tersosialisasi untuk melakukan peran domestik, yaitu mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan melayani suami. Sementara pria disosialisasikan untuk berperan publik, yaitu melindungi dan menafkahi anak dan istri.

Tabel 1 Perbandingan antara gender dan seks

Karakteristik Seks Gender

Sumber pembeda Tuhan Manusia (masyarakat)

Visi, misi Kesetaraan Kebiasaan

Unsur pembeda Biologis (alat reproduksi) Sosiologis (tingkah laku) Sifat Kodrat, tertentu, tidak

dapat dipertukarkan

Harkat, martabat, dapat dipertukarkan

Dampak Terciptanya nilai-nilai

(kesempurnaan,

kenikmatan, kedamaian) sehingga menguntungkan kedua belah pihak

Terciptanya norma-norma/ ketentuan tentang

kepantasan, seringkali merugikan salah satu pihak dan biasanya adalah

perempuan Keberlakuan Sepanjang masa, di mana

saja, tidak mengenal pembedaan kelas

Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas Sumber: Handayani dan Sugiarti (2008)

Perbedaan gender mengakibatkan ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja lebih berat. (1)Marginalisasi disebut juga pemiskinan ekonomi, sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan. (2)Subordinasi adalah anggapan bahwa wanita tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini terlihat dalam prosentase jumlah pekerja wanita, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak-hak wanita

(23)

7 yang berkaitan dengan kodratnya belum terpenuhi. Bentuk subordinasi terlihat juga dengan pengkategorian semua pekerjaan yang termasuk domestik dan reproduksi yang dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi terhadap pekerjaan produksi. (3)Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan antara pria dan wanita. Hal ini mengakibatkan peluang wanita bekerja di luar rumah sangat terbatas. (4)Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang. Budaya yang didominasi oleh pria menyebabkan kekerasan sering terjadi terhadap wanita seperti untuk memenangkan perbedaan pendapat dan menyatakan rasa tidak puas yang menunjukkan bahwa pria berkuasa atas wanita. (5)Beban kerja wanita lebih berat karena peran wanita yang berkembang justru menambah perannya, dan umumnya wanita mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan (Handayani dan Sugiarti 2008).

Persentase wanita yang berada di sektor publik masih lebih rendah dibandingkan pria. Wanita yang berada di sektor publik berarti telah melakukan kegiatan produktif, yaitu menghasilkan produksi barang atau jasa, namun seringkali dipersulit. Konstruksi sosial budaya juga menentukan jenis pekerjaan yang cocok dan tidak cocok untuk dilakukan seorang wanita karena dianggap lemah maka hanya dapat melakukan pekerjaan ringan, sedangkan pria dapat dianggap dapat melakukan pekerjaan berat. Terdapat permasalahan ketika yang bekerja di sektor publik adalah wanita yang bertujuan menopang kehidupan rumah tangganya atau dapat disebut sebagai wanita kepala rumah tangga. Mereka akan memiliki beban yang lebih berat karena di samping bekerja di sektor publik, mereka juga bekerja di sektor domestik. Stereotipe terhadap status WKRT dari masyarakat bahkan konstruksi sosial di masyarakat (yang menempatkan wanita di sektor domestik) akan menghambat kegiatan wanita sebagai kepala rumah tangga yang pada akhirnya mempersulit mereka dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut akan berbeda ketika yang berada di sektor publik adalah pria apalagi pria sebagai kepala rumah tangga. Pria lebih mudah melakukan kegiatan produktif karena konstruksi sosial di masyarakat memandang pria pantas bekerja di sektor publik. Hal ini memudahkan pria sebagai kepala rumah tangga memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehingga kesejahteraan mereka lebih tinggi dibandingkan wanita kepala rumah tangga. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan secara universal yang menyebabkan ketidakadilan gender.

Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT)

Secara umum perkembangan Wanita sebagai Kepala Rumah Tangga (WKRT) telah mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Jumlah WKRT yang meningkat terutama bagi mereka yang muda atau berusia 10-24 tahun dan bertempat tinggal di daerah perkotaan serta berstatus belum kawin. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya

(24)

8

kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Selain itu juga terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada perceraian hidup atau mati baik di desa maupun di kota.

Perubahan status sosial wanita menjadi kepala rumah tangga dapat disebabkan oleh perceraian (cerai mati atau cerai hidup) atau proses migrasi. Menurut Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991), status sosial wanita kepala rumah tangga dapat dijelaskan, baik secara de jure maupun secara de facto. Secara de jure menggambarkan wanita sebagai kepala rumah tangga karena memang hidup berumah tangga sendiri, dalam arti tidak menikah atau karena bercerai (cerai hidup, cerai mati). Secara de facto menggambarkan wanita sebagai kepala rumah tangga karena wanita merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri. Wanita kepala rumah tangga adalah wanita yang belum kawin, cerai atau janda, dan tinggal sendiri atau bersama anak-anak atau anggota rumah tangga lainnya, serta mengurus rumah tangganya sendiri terpisah dari orang lain. Berdasarkan status sosial tersebut, wanita menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas rumah tangganya dan menjadi pencari nafkah utama. Hal tersebut akan berlaku juga bagi wanita yang memiliki suami yang tidak mampu secara fisik atau mental untuk mengelola rumah tangganya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wanita dapat disebut sebagai kepala rumah tangga apabila bercerai (cerai mati atau cerai hidup), ditinggal merantau suami atau merantau tanpa suami, belum menikah (lajang), suami yang tidak mampu secara fisik atau mental memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

Karakteristik Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT)

Karakteristik yang melekat pada diri WKRT terkait dengan usia, status perkawinan, pendidikan, dan lamanya menjadi WKRT. Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan bahwa sebagian besar WKRT berusia 45 tahun atau lebih dibandingkan Pria Kepala Rumah Tangga (PKRT), status perkawinan WKRT lebih beragam dibandingkan PKRT yang secara umum statusnya menikah, pendidikan WKRT jauh lebih rendah dibandingkan PKRT, dan perbedaan pendidikan WKRT dan PKRT di desa lebih besar dari di kota. Pendidikan WKRT umumnya lebih rendah dibandingkan PKRT karena budaya pada saat mereka muda lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki. Pendidikan WKRT yang rendah memberikan peluang kecil dalam memasuki pasaran kerja. Perbedaan jumlah anggota yang mencari nafkah, pendidikan, dan peluang bekerja juga menyebabkan ketimpangan kesejahteraan antar WKRT yang berstatus cerai mati.

Hasil penelitian Wigna (1990) juga menyatakan bahwa umumnya tingkat pendidikan WKRT rendah, yaitu mayoritas berpendidikan SD ke bawah, sedangkan sebagian kecil berpendidikan SMP dan SMA. Berdasarkan status perkawinannya, PKRT banyak yang mempunyai status kawin, sedangkan cerai mati dan hidup lebih banyak dimiliki oleh WKRT. Sajogyo et al. (1989) menyatakan bahwa pendidikan WKRT yang umumnya rendah menyebabkan mereka baru mampu meraih pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan.

(25)

9 Hasil penelitian Rianingsih (2005) menunjukkan bahwa pendidikan perempuan yang menjadi kepala rumah tangga mayoritas tidak sekolah. Pendidikan perempuan rata-rata rendah karena berbagai sebab, yaitu alasan ekonomi orang tua, pandangan terhadap pendidikan yang masih minim, anggapan pendidikan bukan investasi namun pemborosan pada zaman ketika mereka masih kecil. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa mayoritas usia WKRT sekitar 41-50 tahun, berdasarkan status perkawinan mayoritas cerai mati, jumlah tanggungan mayoritas sebesar 1-3 orang, berdasarkan lamanya menjadi kepala rumah tangga mayoritas 1-10 tahun.

Aplikasi gender di masyarakat turut mempengaruhi kondisi wanita kepala rumah tangga. WKRT seringkali kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang menghasilkan upah tinggi karena pendidikan mereka yang umumnya rendah. Pendidikan yang rendah menyebabkan mereka baru mampu meraih pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan. Secara umum, hasil penelitian mengenai wanita kepala rumah tangga memperlihatkan kenyataan di lapangan bahwa pendidikan WKRT lebih rendah dibandingkan pria kepala rumah tangga. Pandangan orang tua dulu, pendidikan yang tinggi diperuntukan untuk anak laki-laki karena anak perempuan diasumsikan akan bekerja di sektor domestik. Penelitian Wigna (1990) menunjukkan bahwa pendidikan wanita kepala rumah tangga umumnya rendah dan status pekerjaan wanita kepala rumah tangga cenderung sektor tradisional dan informal. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan, pengaruh pendidikan cukup berkaitan erat dengan perbedaan lapangan kerja antara wanita kepala rumah tangga dan pria kepala rumah tangga. Faktor umur, status perkawinan dan terutama pendidikan WKRT yang lebih rendah dari PKRT menyebabkan WKRT kurang terwakili sebagai tenaga pengelola. Menurut Sajogyo et al. (1989), tingkat pendidikan kepala rumah tangga wanita berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan mereka:

“Jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan rendah ialah kurang menuntut keterampilan dari hasil pendidikan yang tidak tinggi, yaitu buruh tani dan petani tak bertanah. Jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan menengah sudah mulai menuntut keahlian yang terkait dengan pendidikan, yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Sedangkan jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan tinggi menuntut keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, yaitu sektor non pertanian”.

Tingkat pendidikan wanita kepala rumah tangga juga memiliki ikatan dengan tingkat status sosial ekonomi, makin tinggi pendidikan wanita makin tinggi pula status sosial ekonomi rumah tangganya. Wigna (1990) juga menyatakan bahwa pekerjaan tambahan lebih beragam untuk PKRT dibandingkan WKRT.

Faktor yang Menyebabkan Peningkatan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT)

Seringkali wanita yang menjadi kepala rumah tangga bukan secara sukarela tetapi situasi buruklah yang telah memaksa mereka memimpin rumah tangga. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Gejala peningkatan jumlah WKRT yang ada di Indonesia sebagian besar karena usia dan perbedaan mortalitas antara pria dan wanita sehingga gejala WKRT didominasi oleh mereka

(26)

10

yang tua dan berstatus cerai mati. Hubeis (2010) menyatakan bahwa wanita sebagai pencari nafkah utama di Indonesia sebesar 14%-17% dan akan terus bertambah karena migrasi musiman, keluarga berantakan, kematian atau permanen migran dari male breadwinner, inilah alasan bertambahnya WKRT. Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan bahwa perubahan masyarakat dari masyarakat pertanian ke industri telah mendorong berkembangnya rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di pedesaan dan perkotaan. Industrialisasi turut mengubah pandangan wanita di mana wanita menjadi lebih individu dan mementingkan pekerjaannya. Hal ini berdampak pada pandangan bahwa waktu adalah uang dan wanita yang bekerja memungkinkan akan memperpanjang masa lajangnya. Dengan demikian akan semakin banyak wanita yang mandiri dan mengundurkan usia pernikahannya.

Banyaknya migrasi keluar kampungnya juga turut menyumbang peningkatan jumlah wanita kepala rumah tangga. Hal tersebut berlaku pada kondisi wanita yang telah kawin bermigrasi tanpa suaminya atau ditinggal bermigrasi oleh suaminya. Data di salah satu daerah penelitian yang berlokasi di Kabupaten Kubu Raya, Karawang menunjukkan bahwa banyak wanita yang mencari nafkah di Arab Saudi sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Akhmadi et al. 2011). Banyak dari mereka yang pergi meninggalkan kampungnya. Mata pencaharian sebagai buruh migran tersebut menyebabkan mereka merantau ke luar dari kampung halamannya sehingga mereka menjadi kepala rumah tangga. Sajogyo (1989), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan rumah tangga maka semakin jauh meninggalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Tidak heran jika banyak wanita yang merantau keluar kampung halamannya mencari pekerjaan yang lebih baik untuk penghidupan rumah tangganya.

Perceraian juga turut menyumbang peningkatan wanita kepala rumah tangga, baik cerai hidup maupun cerai mati. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita menjadi kepala rumah tangga karena suami mereka secara finansial tidak bertanggung jawab (ditinggal suami karena menikah lagi dengan perempuan lain, suami tidak mau bekerja atau tidak mau menafkahi). Penelitian Akhmadi et al. (2011) mengidentifikasikan 265 kasus perceraian di 4 lokasi penelitian. Kasus yang terjadi disebabkan berbagai alasan, yaitu kekerasan dalam rumah tangga, kawin kontrak, pernikahan dini, dan perselingkuhan. Perceraian tidak hanya terjadi di daerah pedesaan tetapi juga terjadi di perkotaan. Proporsi wanita kepala rumah tangga yang berstatus cerai mati dan cerai hidup lebih tinggi di desa dibandingkan di kota. Status cerai mati umumnya lebih banyak dimiliki oleh wanita kepala rumah tangga karena pria kepala rumah tangga umumnya berstatus kawin, Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991); Wigna (1990); Rianigsih (2005) juga memperlihatkan bahwa usia wanita kepala rumah tangga lebih tua dari pria kepala rumah tangga.

Posisi Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) terhadap Hukum di Indonesia

Dalam sebuah rumah tangga terdapat peran-peran yang melekat bagi anggotanya. Peran-peran tersebut muncul karena ada pembagian peran tugas di dalam rumah tangga. Umumnya di Indonesia, suami berperan sebagai kepala

(27)

11 rumah tangga dalam mencari nafkah dan istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah. Pembagian peran ini tidak lain berdasarkan atas ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia, di mana pria ditempatkan sebagai jenis kelamin yang memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan jenis kelamin lainnnya, yakni wanita. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar dari kebijakan pemerintah, seperti kebijakan yang mengatur pembagian peran antara suami dan istri yang tertuang dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Seiring perkembangan zaman, nilai-nilai budaya di Indonesia mengalami pergeseran. Hal ini dapat dilihat dari fakta di lapangan di mana Data Susenas Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang dikepalai wanita mencapai 13.60% atau sekitar 6 juta rumah tangga yang mencakup lebih dari 30 juta penduduk. Sementara berdasarkan penelitian PEKKA data tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). Data terbaru tahun 2012 dari Lombok menyatakan bahwa 973 perempuan di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat berperan menjadi kepala rumah tangga karena menggantikan peran kaum pria dalam mencari kebutuhan hidup keluarga (Republika 2012). Fakta tersebut menunjukkan bahwa peran wanita sebagai kepala rumah tangga mengalami peningkatan.

Keberadaan rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di Indonesia umumnya belum diakui di masyarakat terutama WKRT secara de facto. Beberapa penelitian di lapangan menunjukkan bahwa posisi wanita lemah jika dibandingkan oleh pria, sehingga rumah tangga yang dikepalai oleh wanita seringkali dikaitkan dengan kemiskinan. Munti (1999) menjelaskan bahwa:

“Seringkali perempuan sebagai kepala rumah tangga harus melakukan upaya ekstra (lebih) agar hak-haknya terlindungi. Seperti dalam mengurus pajak, untuk mendapatkan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), ia harus terlebih dahulu membuktikan dirinya sebagai kepala keluarga melalui surat keterangan yang menerangkan hal tersebut” (Munti 1999:8).

Kondisi wanita kepala rumah tangga mengakibatkan tidak adanya pembagian kerja yang seimbang dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap beban berlebih yang harus ditanggung oleh wanita, karena di satu sisi ia harus menghidupi rumah tangganya, sementara di satu sisi tetap dituntut sebagai istri yang melakukan kegiatan domestik. Menurut Munti (1999), tidak adanya pengakuan terhadap wanita kepala rumah tangga juga terlihat dari berbagai kebijakan-kebijakan negara lainnya, yaitu:

1. Kebijakan mengenai peran dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Pengaturan mengenai peran dan fungsi suami dan istri tercantum dalam beberapa pasal, yaitu pada pasal 31 ayat 3 yang berbunyi: “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”. Pasal ini secara jelas mendukung pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan mutlak menguatkan pola pikir masyarakat. Selain itu, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi: “suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”. Pada satu sisi, menurut Munti (1999) pasal 31 dan 34 dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini tidak sejalan dengan kebijakan lainnya, yaitu kebijakan

(28)

12

mengenai peran ganda yang tercantum didalam GBHN tahun 1993 yang menyebutkan:

“Wanita, baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber daya insani pembangunan, mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban, serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di segala bidang dan tingkatan. Peranan wanita sebagai mitra sejajar dengan pria diwujudkan melalui peningkatan kemandirian peran aktifnya dalam pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga beriman dan bertakwa, sehat, sejahtera, dan bahagia serta untuk pengembangan anak, remaja, dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya” (Munti 1999:14).

2. Kebijakan UU Nomor 25 Tahun 1997 mengenai ketenagakerjaan

Menurut Munti (1999), peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan umumnya melarang diadakannya perbedaan imbalan antara pekerja pria dengan pekerja wanita, namun kenyataan di lapangan berbeda. Buruh wanita sering dianggap sebagai lajang, sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga seperti yang didapatkan oleh buruh pria. Dalam penelitian Sajogyo et al. (1989) juga menyatakan bahwa hanya 15 responden dari 60 responden yang telah kawin dan dicatat kawin ditempat kerjanya sehingga berpengaruh terhadap penghasilan mereka. Hal tersebut karena ada asumsi atau pandangan bahwa pria sebagai pencari nafkah utama dan wanita hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, pada UU Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 98 melarang wanita untuk bekerja pada malam hari dengan alasan harus melayani keluarga. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh pengaturan pembagian peran suami dan istri yang terpola dalam masyarakat dan UU Perkawinan. Adanya peraturan tersebut jelas membatasi hak dan ekonomi perempuan dalam bekerja.

Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa posisi wanita terutama wanita sebagai kepala rumah tangga sangat lemah jika dibandingkan dengan pria sebagai kepala rumah tangga. Lemahnya posisi tersebut merupakan akibat dari adanya nilai-nilai tertentu yang dikembangkan oleh masyarakat maupun oleh negara. Selain itu, hubungan antar jenis kelamin yang yang tidak seimbang juga diperkuat oleh negara dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Nilai-nilai dan kebijakan tersebut pada akhirnya mempengaruhi wanita kepala rumah tangga dalam ekonomi, politik, dan sosial.

Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Bekerja diartikan sebagai aktivitas melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atatu membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (BPS 2012). Sajogyo et al. (1989) menyatakan bahwa setiap perubahan yang menggeser wanita dari pekerjaan yang ada tanpa menggantinya dengan kesempatan kerja yang lebih baik dan juga sistem administrasi yang membatasi wanita untuk menjangkau berbagai kemudahan berarti akan merugikan rumah tangga miskin. Peluang berusaha dari lapisan rumah tangga yang mampu atau tidak mampu dalam pola nafkah yang berganda, yaitu usaha tani sendiri, berburuh tani, berdagang, usaha kerajinan tangan dan mencari pangan serta keperluan dari alam bebas.

(29)

13 Kegiatan di nonpertanian semakin bertambah jumlahnya. Namun, peluang kerja di sektor pertanian belum dibarengi dengan kenaikan peluang kerja di sektor nonpertanian sehingga berkembangnya sektor informal sangat penting untuk menguatkan perekonomian negara, apalagi partisipasi wanita dalam sektor ini tidak bisa diabaikan. Hal ini diungkapkan oleh Sajogyo et al. (1989), bahwa kegiatan di bidang industri dan perdagangan merupakan kegiatan yang ideal bagi wanita di pedesaan yang memiliki peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah. Widayati (1991) juga menyatakan bahwa maksimisasi pendapatan dipraktekkan oleh banyak WKRT melalui berbagai cara, seperti mengkaryakan tenaga kerja keluarga secara maksimal dan pekerjaan ganda, sistem bagi hasil dan penyerahan hak garap kepada anak dengan imbalan terserah anak, memberi tumpangan tempat tinggal dan makan pada menantu dan anak tirinya dengan imbalan tenaga. Usaha-usaha yang dilakukan oleh WKRT memberikan sumbangan terhadap peluang kerja dan usaha di sektor lainnya yang terkait, seperti industri pembuatan kue yang menyumbang peningkatan akan permintaan komoditas pertanian, industri kerajinan yang memberikan peluang usaha kerajinan. Sajogyo et. al (1989) menyatakan bahwa peluang bekerja bagi wanita di pedesaan di sektor dagang, industri, dan jasa dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya, meningkatkan potensi wanita untuk mengambil keputusan di berbagai aspek kehidupan.

Data sensus penduduk menunjukkan bahwa persentase kepala rumah tangga wanita yang bekerja di pedesaan dari tahun 2009 hingga 2011 meningkat sebesar 1.29% dibandingkan kepala rumah tangga pria di pedesaan yang meningkat sebesar 0.53% dalam kurun waktu 2009 hingga 2011. Namun, jika dilihat persentasenya wanita kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan masih terbilang sedikit, yaitu sebesar 67.32% tahun 2011 dibandingkan pria kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan, yaitu sebesar 95.33% tahun 2011. Sementara itu jika dilihat pada provinsi Jawa Barat, persentase kepala rumah tangga wanita yang bekerja di pedesaan dari tahun 2009 hingga 2011 meningkat sebesar 4.44% dibandingkan kepala rumah tangga pria di pedesaan yang meningkat sebesar 1.40% dalam kurun waktu 2009 hingga 2011. Namun, jika dilihat persentasenya pada provinsi Jawa Barat wanita kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan masih terbilang sedikit, yaitu sebesar 57.84% tahun 2011 dibandingkan pria kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan, yaitu sebesar 95.05% tahun 2011 (BPS 2011).

Peluang pekerjaan bagi WKRT sangat terbatas dan didukung dengan minimnya keterampilan sehingga pekerjaan yang banyak tersedia ialah pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan sebagian besar responden berpenghasilan rendah (Habib 2010). Sementara itu, kehidupan WKRT di pedesaaan cenderung karena tuntutan yang berasal dari dalam diri. Widayati (1991),mengatakan bahwa “..wanita sebagai kepala keluarga di pedesaan sudah terkondisi untuk memikul beban ekonomi rumah tangga (membantu mencari nafkah).” Namun, masih ada kesulitan WKRT dalam memperoleh pekerjaan karena lapangan pekerjaan yang kurang beragam dan lebih didominasi oleh pria. Kesulitan dalam bekerja, jenis pekerjaan yang mayoritas informal pada akhirnya mengakibatkan tingkat pendapatan yang diperolehnya tergolong rendah.

Hubeis (2010) menyatakan bahwa “sebagian besar angkatan kerja wanita bekerja di sektor informal, dengan alasan fleksibilitas durasi kerja, tidak

(30)

14

mensyaratkan pendidikan tinggi, dan dapat diakhiri kapan saja dikehendaki”. Pekerjaan wanita yang berada di sektor informal terkait dengan usaha di bidang pangan dan nonpangan serta jasa. Banyaknya wanita yang bekerja di lingkup rumah tangga atau di lahan pertanian milik keluarga diakibatkan stereotipe peran wanita yang menganggap bahwa pekerjaan tersebut sebagai perpanjangan pekerjaan domestik yang mereka lakukan. Hubeis (2010) juga menyatakan bahwa kesenjangan lapangan pekerjaan berbasis gender antara pria dan wanita semakin melebar dari tahun ke tahun pada sektor sekunder dan tersier (nonpertanian).

Wanita yang berusaha seringkali mengalami kesulitan dalam hal permodalan terutama dalam mengaksesnya. Akses permodalan yang diberikan pemerintah sudah cukup banyak, namun tidak semua program ditujukan khusus kepada wanita sehingga sedikit wanita pengusaha (terutama yang kecil) yang terjaring oleh program tersebut. Jika ada sebagian besar diorientasikan pada pekerjaan-pekerjaan domestik yang biasa dilakukan wanita. Hubeis (2010) berdasarkan studi tentang penyempurnaan kredit dari Menneg dan studi program di Aceh-Nias menyatakan beberapa hal, sebagai berikut:

1. Sebagian besar wanita pengusaha informal dengan skala usaha sangat kecil dan tidak memiliki aspek legalitas yang disyaratkan dalam pengajuan kredit ke bank;

2. Banyak kepemilikan wanita pengusaha terdaftar atas nama pria (suami), walaupun pengelolaan usaha dilakukan oleh wanita;

3. Secara legalitas dan regulasi perbankan tidak ditemukan adanya diskriminasi gender pada prosedur dan persyaratan calon debitur perbankan;

4. Minimal besaran kredit menjadi hambatan utama bagi wanita karena kebanyakan dari mereka berusaha dalam skala yang kecil sehingga sulit memenuhi persyaratan perbankan;

5. Kebanyakan pinjaman yang langsung ke masyarakat dibuat untuk pedagang dan pemuka masyarakat yang menjadi anggota dan yang mengatur pinjaman yang diterima oleh masyarakat yang bersangkutan.

Dalam kehidupan sosialnya WKRT kurang mendapatkan perhatian karena masih adanya pandangan bahwa pria yang berperan dalam pencari nafkah utama. Hal ini menyebabkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rumah tangga yang dikepalai wanita kurang mendapat perhatian dalam pembangunan. Hal tersebut juga berdampak pada keterbatasan perempuan mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Rianingsih (2005) menyatakan,

“Kehidupan perempuan kepala keluarga merupakan persoalan kelas dimana perempuan berada pada strata yang paling rendah dibawah garis kemiskinan, selain itu juga persoalan gender yang menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan sehingga perempuan berada pada posisi marginalisasi, stereotipe, kekerasan, sub-ordinat, dan beban ganda”.

Asumsi tersebut seringkali berlaku juga di perusahaan di mana WKRT bekerja. Penelitian Ihromi (1990) memperlihatkan bahwa wanita kurang diperhatikan dan kurang mendapatkan haknya. Hasil penelitian di dua provinsi memperlihatkan bahwa terdapat pembedaan gaji antara pria dan wanita, suami atau pria dianggap sebagai pencari nafkah, tenaga kerja wanita yang sudah kawin dianggap sebagai lajang, surat perjanjian pada umumnya sudah ditetapkan oleh

(31)

15 perusahaan lebih dahulu dan tidak disusun berdasarkan hasil perundingan dengan penerima kerja. Hal-hal ini berdampak pada wanita kepala rumah tangga yang tidak dapat memperoleh tunjangan keluarga, karyawan wanita mendapat perlakuan yang kurang adil dalam hal tunjangan dan fasilitas kesehatan, bantuan dana ketika seorang tenaga kerja meninggal juga tidak dapat diterima oleh duda dari tenaga kerja wanita karena jelas dalam peraturan dimuat bahwa jandalah yang berhak menerima dana. Pada beberapa perusahaan, tenaga kerja wanita yang sudah kawin dianggap sebagai lajang, jika wanita tersebut menjadi janda dan ingin mendapat tunjangan untuk anak-anaknya maka harus membuktikan lewat hukum. Hal tersebut berbeda dengan pria yang memiliki tanggungan anak-anak, mereka tidak perlu membuktikannya lewat hukum. Selain itu, masih terdapat asumsi bahwa yang berperan di sektor publik adalah pria. Hal ini diperlihatkan pada penelitian LP3ES (1998) di mana wanita kepala rumah tangga yang akan berhubungan dengan birokrasi lembaga keuangan memanfaatkan anak laki-laki terutama yang pendidikannya tertinggi di rumah tangga.

Kerangka Pemikiran

Jumlah WKRT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode 1971-1980 dan 1980-1985. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun 2011. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu industrialisasi, perceraian, dan migrasi.

Kuatnya nilai sosial budaya patriarkhi di Indonesia lalu didukung dengan adanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyebabkan semakin kuatnya ideologi gender di masyarakat. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Adanya ideologi gender yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial budaya mengakibatkan ketidakadilan gender, seperti subordinasi, marginalisasi, beban kerja banyak, kekerasan, dan stereotipe. Hal tersebut menyebabkan kepala rumah tangga wanita sering didiskriminasi haknya dalam berbagai bidang seperti sosial politik, ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Sementara itu, WKRT harus memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan bekerja dan berusaha. Posisi yang kurang menguntungkan ini tentunya akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha WKRT di mana hal ini berhubungan dengan tingkat upah yang diperolehnya. Namun, wanita dalam hal ini WKRT kurang diberikan kesempatan kerja. BPS (2011) melalui Susenas tahun 2009-2011, angka partisipasi kerja wanita yang menjadi kepala rumah tangga lebih rendah (61.72%) dibandingkan angka partisipasi kerja pria yang menjadi kepala rumah tangga (92.80%).

Ideologi yang tidak sadar gender akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha WKRT yang sulit, yaitu sulit dalam bekerja, sulit mencari pinjaman, dan jenis pekerjaan yang termasuk nonformal. Peluang bekerja dan berusaha akan

(32)

16

berpengaruh terhadap tingkat upah yang diperoleh oleh WKRT. Berdasarkan uraian sebelumnya maka akan dijelaskan keterkaitan antara beberapa variabel sehingga dapat menggambarkan kajian peluang bekerja dan berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) yang digambarkan sebagai berikut:

Faktor penyebab : 1. Industrialisasi

2. Perceraian (cerai hidup dan cerai mati) 3. Migrasi

Peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga 1. Usaha mencari pekerjaan 2. Faktor pendukung berusaha 3. Kesulitan pinjaman

4. Jenis pekerjaan

Ideologi gender Tingkat upah

Karakteristik wanita kepala rumah tangga 1. Usia 2. Lamanya menjadi WKRT 3. Tanggungan anak Keterangan : : mempengaruhi

: mempengaruhi (tidak diuji statistik) : mempengaruhi (tidak diuji statistik) Gambar 1 Kerangka analisis

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan hasil kerangka pemikiran di atas, dapat disusun hipotesis uji sebagai berikut:

1. Diduga terdapat hubungan antara ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga;

2. Diduga terdapat hubungan antara karakteristik dengan peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga;

(33)

17 3. Diduga terdapat hubungan antara peluang bekerja dan berusaha wanita kepala

rumah tangga dengan tingkat upah.

Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur variabel. Masing-masing variabel terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut, yaitu: 1. Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang yang biasanya

tinggal bersama dalam satu bangunan serta pengelolaan makan dari satu dapur, maksudnya jika pengurusan kebutuhan sehari-harinya dikelola bersama-sama jadi satu.

2. Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) secara de jure, yaitu wanita yang memang hidup berumah tangga sendiri dalam arti tidak menikah, atau bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Sementara itu secara de facto, wanita yang menjadi kepala rumah tangga ialah karena wanita itu merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri, dan wanita yang suaminya tidak mampu secara fisik atau mental sebagai pengelola rumah tangga.

3. Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Lalu ideologi gender akan dikelompokkan menjadi ideologi tidak sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol, sedangkan ideologi sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Cara mengukurnya:

a. Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan.

Akses diukur dengan pernyataan “tidak setuju” (skor 2), dan “setuju” (skor 1)

b. Kontrol adalah kewenangan dalam mengambil keputusan. Kontrol diukur dengan pertanyaan “tidak setuju” (skor 2), dan “setuju” (skor 1)

Jadi, ideologi gender diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur akses dan kontrol, skor terendah 1 x 10 = 10; dan skor tertinggi 2 x 10 = 20

Maka ideologi tidak sadar gender bila skor: 10-15 Maka ideologi sadar gender bila skor: 16-20

4. Peluang bekerja dan berusaha adalah kesempatan bagi seseorang untuk memperoleh pekerjaan dan melakukan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pokoknya untuk membina kesejahteraan rumah tangganya agar lebih baik dari keadaan sebelumnya. Peluang bekerja dan berusaha diukur dengan menggunakan alat ukur, yaitu usaha mencari pekerjaan, faktor pendukung berusaha, kesulitan pinjaman, dan jenis pekerjaan. Cara mengukurnya:

a. Usaha mencari pekerjaan diukur dengan pertanyaan “tidak” (skor 2), dan “ya” (skor 1)

Jadi, kesulitan usaha dalam mencari pekerjaan diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur, skor terendah 1 x 6 = 6; dan skor tertinggi 2 x 6 = 12

(34)

18

Maka kesulitan usaha mencari pekerjaan sulit (skor 1) bila skor: 6-9 Maka kesulitan usaha mencari pekerjaan mudah (skor 2) bila skor: 10-12 b. Faktor pendukung berusaha diukur dengan pertanyaan “tidak” (skor 2),

dan “ya” (skor 1)

Jadi, faktor pendukung berusaha diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur proses pekerjaan, skor terendah 1 x 5 = 5; dan skor tertinggi 2 x 5 = 10

Maka faktor pendukung berusaha rendah (skor 1) bila skor: 5-7 Maka faktor pendukung berusaha tinggi (skor 2) bila skor: 8-10

c. Kesulitan pinjaman adalah kondisi di masyarakat dalam mencari pinjaman berupa uang, diukur dengan pertanyaan “tidak” (skor 2), dan “ya” (skor 1).

d. Jenis pekerjaan dibagi menjadi pekerjaan nonformal dan formal. Jenis pekerjaan nonformal, yaitu pekerjaan yang tidak memiliki aturan tertulis dan pekerjaan formal, yaitu pekerjaan yang memiliki aturan tertulis. Cara mengukurnya, jenis pekerjaan “nonformal” (skor 1) dan “formal” (skor 2). Jadi, total keseluruhan peluang bekerja dan berusaha diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur, skor terendah 1x4= 4; dan skor tertinggi 2x4=8

Maka peluang bekerja dan berusaha sulit (skor 1) bila skor: 4-6 Maka peluang bekerja dan berusaha mudah (skor 2) bila skor: 7-8

5. Tingkat upah adalah besarnya penghasilan yang diperoleh dari kegiatan bekerja dan berusaha yang dinilai dengan uang yang diperoleh selama satu bulan (dalam satuan rupiah). Tingkat upah dilihat berdasarkan upah rata-rata WKRT yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (data emik), yaitu: Upah tinggi (skor 2) : > Rp76 0683

Upah rendah (skor 1) : ≤ Rp76 0683

6. Karakteristik WKRT adalah sesuatu hal yang melekat pada diri WKRT dan menggambarkan diri WKRT. Karakteristik dilihat dari usia, lamanya menjadi WKRT, dan tanggungan anak. Penentuan skor 1 digunakan untuk kategori yang tidak diinginkan oleh peneliti sedangkan skor 2 digunakan untuk kategori yang diinginkan oleh peneliti.

a. Usia adalah jumlah tahun sejak responden lahir hingga penelitian ini berlangsung. Usia dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu:

Usia muda (skor 2) : ≤47 tahun Usia tua (skor 1) : >47 tahun

b. Lamanya menjadi WKRT adalah jumlah tahun sejak menjadi WKRT hingga penelitian ini berlangsung. Lamanya menjadi WKRT dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu:

Baru (skor 1) : ≤14 tahun Lama (skor 2) : >14 tahun

c. Tanggungan anak adalah jumlah anak yang dimiliki oleh WKRT. Tanggungan anak dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu:

Sedikit (skor 2) : ≤3 anak Banyak (skor 1) : >3 anak

(35)

19

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini menjelaskan lokasi dan waktu penelitian, teknik sampling, teknik pengumpulan data, dan teknik pengolahan serta analisis data. Subbab lokasi dan waktu penelitian menjelaskan tempat penelitian dan waktu penelitian ini dilakukan. Subbab teknik sampling menjelaskan unit analisis dan populasi sasaran penelitian. Subbab teknik pengambilan data menjelaskan data yang digunakan dalam penelitian ini dan cara pengambilan sampel. Selanjutnya subbab teknik pengolahan dan analisis data memaparkan teknik yang digunakan dalam pengolahan data yang telah diperoleh untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan kebutuhan penelitian.

Penelitian ini merupakan penelitian sensus, yaitu informasi yang dikumpulkan berasal dari seluruh populasi dengan menanyakan langsung ke 15 RW dan 48 RT. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan (explanatory research) peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga dengan menggunakan metoda kuantitatif dan didukung dengan kualitatif untuk memperkaya analisis. Penelitian ini bersifat eksplanatori karena akan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun & Effendi 2008). Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Penelitian kuantitatif ini menggunakan kuesioner (pertanyaan) terstruktur sebagai alat pengumpulan data yang pokok, lalu jawaban dicatat, diolah dan dianalisis dan didukung kualitatif yang dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam dibantu dengan panduan kuesioner dan observasi lapang untuk mempertajam analisis.

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian dilakukan di Desa Cihideung Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat (lampiran 1). Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan terdapat Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT). Selain itu, kemudahan akses penelitian keterbatasan biaya, tenaga, dan waktu juga memudahkan peneliti dalam memperoleh data dan informasi.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei 2012 hingga Januari 2013 (lampiran 2). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, perbaikan proposal, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan skripsi.

Teknik Sampling

Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Populasi sasarannya adalah Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) sebagai pencari nafkah utama, dan memiliki anak usia sekolah hingga usia setara SMA/sederajat. Kerangka sampling dari penelitian ini berasal dari populasi sasaran. Populasi sasaran tersebut hanya ada 41 WKRT maka seluruhnya diambil untuk dijadikan

(36)

20

responden. Besarnya sampel suatu penelitian bergantung pada keseragaman populasi, presisi yang dikehendaki, rencana analisa, tenaga, biaya dan waktu (Singarimbun dan Effendi 2008). Namun, berhubung sampel yang memenuhi kriteria hanya sedikit maka diambil seluruhnya, yaitu 41 responden.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui kuesioner, wawancara mendalam kepada responden dan informan, dan melakukan observasi lapang. Data sekunder diperoleh dari data profil desa dan kajian pustaka. Berikut penjelasan pengumpulan datanya:

1. Kuesioner; teknik mengumpulkan informasi tentang peluang bekerja dan berusaha wanita sebagai kepala rumah tangga dan pengaruhnya terhadap tingkat upah dengan mendata responden secara keseluruhan dan menanyakan responden melalui kuesioner terstruktur;

2. Wawancara mendalam; teknik wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data primer dan deskriptif yang dilakukan terhadap responden dan informan. Pemilihan informan dilakukan secara sengaja (purposive) pemerintah desa, dan tokoh masyarakat, maka peneliti membuat panduan pertanyaan yang digunakan sebagai pedoman dalam pengumpulan data. Dalam membantu proses wawancara mendalam terkadang digunakan alat perekam suara (recorder) yang akan digunakan untuk memudahkan merekam hasil wawancara;

3. Observasi lapang; hal ini dilakukan agar peneliti dapat melihat dan mengamati kejadian dan proses sosial yang terjadi di sekitar objek penelitian. Observasi lapang ini dilakukan untuk menjaga kealamian kejadian atau pendapat responden sehingga informasi yang didapat sesuai dengan apa yang dilakukan responden;

4. Penelusuran dokumen atau literatur; data sekunder diperoleh dari melakukan kajian pustaka dan menganalisis terhadap berbagai literatur, yaitu skripsi, tesis, disertasi, buku, jurnal dan internet yang terkait dengan wanita kepala rumah tangga baik itu dokumen pribadi ataupun dokumen resmi.

Pertama kali dikumpulkan informasi mengenai profil Desa Cihideung Udik dari Kantor Desa Cihideung Udik. Profil desa ini untuk melihat data desa secara keseluruhan baik berdasarkan batas-batas wilayah maupun kependudukannya. Kedua, dilakukan pendataan secara manual kepada ketua Rt dan Rw karena data mengenai rumah tangga yang dikepalai oleh wanita kurang lengkap di Kantor Desa Cihideung Udik. Setelah itu data-data akan dimasukkan ke Excel untuk dibuat kerangka sampling. Namun, karena data di lapangan ternyata hanya sedikit maka diambil seluruhnya, yaitu sejumlah 41 responden dan akan dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner. Selain mengumpulkan data dari responden, maka untuk menunjang ketajaman analisis perlu dilakukan juga wawancara mendalam kepada responden dan informan. Pemilihan informan dilakukan dengan menggunakan metode pengambilan sistem bola salju

(37)

21 (snowbalI) dan purposive. Selain itu, akan dicari data sekunder yang akan diperoleh dari penelusuran literatur atau dokumen.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan setelah data telah diberi kode. Pertama, data yang telah dikode perlu dipindahkan ke dalam berkas data, yaitu komputer dengan aplikasi program Statistic Program for Social Sciences (SPSS versi 17.0). Kedua, dibuat tabel frekuensi dan tabulasi silang yang digunakan untuk menelaah hubungan antar variabel. Sementara itu, data yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam disajikan secara deskriptif dengan mengutip hasil pembicaraan yang telah dilakukan. Ketiga, melakukan pengeditan untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang ditemukan (Singaribun dan Effendi 2008).

Data yang diperoleh dari beberapa instrumen akan dianalisis dengan beberapa teknik, antara lain:

1. Tabulasi silang, untuk menerangkan hubungan antar variabel dengan metode analisa sederhana berupa tabel tiruan;

2. Tabel frekuensi untuk menggambarkan variabel-variabel yang ada;

3. Microsoft Excel untuk mengolah data sementara sebelum diolah dengan aplikasi SPSS;

4. Statistic Program for Social Sciences (SPSS version 17.0) untuk mengolah data hasil kuesioner.

(38)
(39)

23

GAMBARAN UMUM LOKASI

Bab ini menjelaskan keadaan lokasi penelitian yang terdiri dari kondisi geografis, demografi, pendidikan dan mata pencaharian, agama, lingkungan dan kesehatan, potensi wisata, pembangunan ekonomi dan infrastruktur.

Kondisi Geografis

Kabupaten Bogor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kabupaten ini terdiri dari 40 kecamatan yang terbagi lagi atas sejumlah kelurahan/desa, salah satunya Kecamatan Ciampea. Kecamatan Ciampea berlokasi di Kabupaten Bogor wilayah Barat. Kecamatan ini dikenal dengan kondisi alamnya yang relatif sejuk sehingga cocok sebagai areal pertanian dan perkebunan. Waktu yang dapat ditempuh dari Kecamatan Ciampea ke Kota Bogor ialah sekitar 45 menit. Wilayah administrasi Kecamatan Ciampea terdiri dari 13 kelurahan/desa, salah satunya Desa Cihideung Udik. Desa Cihideung Udik berbatasan dengan:

sebelah utara : Desa Cihideung Ilir, Kecamatan Ciampea sebelah selatan : Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya sebelah timur : Desa Sinar Sari, Kecamatan Dramaga sebelah barat : Desa Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea

Jarak Desa Cihideung Udik dengan ibukota kecamatan adalah 7 Km, sementara jarak ke ibukota kabupaten adalah 30 Km dan jarak ke ibukota provinsi adalah 122 Km. Desa Cihideung Udik memiliki permukaan yang datar dengan ketinggian 600 m di atas permukaan laut, dengan curah hujan 300-600 mm, dan suhu rata-rata harian 30-350C. Luas wilayah Desa Cihideung Udik ialah sebesar 284 Ha dengan perincian pola penggunaan tanahnya seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Pola penggunaan tanah di Desa Cihideung Udik tahun 2009

No Pola penggunaan Luas wilayah (Ha/m2) Persentase

1 Pemukiman 57.0 20.07 2 Persawahan 183.0 64.44 3 Perkebunan 24.2 8.52 4 Kuburan 2.5 0.89 5 Pekarangan 2.0 0.70 6 Perkantoran 0.5 0.18

7 Luas prasarana umum lainnya 14.8 5.21

Total 284.0 100.00

Sumber: Desa Cihideung Udik (2009)

Demografi

Data terakhir tahun 2012 bulan Mei, jumlah penduduk Desa Cihideung Udik adalah 13.887 jiwa yang terdiri dari 7.209 laki-laki dan 6.678 perempuan. Data penduduk berdasarkan pengelompokkan usia memperlihatkan bahwa jumlah

(40)

24

penduduk paling banyak adalah penduduk berusia 0-4 tahun (1.433 jiwa atau 10.3%) dan paling sedikit adalah penduduk berusia 60-64 tahun (553 jiwa atau 3.9%). Distribusi sebaran penduduk Desa Cihideung Udik dapat dilihat perinciannya pada Tabel 3.

Tabel 3 Jumlah dan persentase komposisi penduduk berdasarkan kelompok usia di Desa Cihideung Udik tahun 2012

No Kelompok

usia Laki-laki Persentase Perempuan PersentaseJumlah (jiwa) Jumlah (jiwa)

1 0-4 784 10.9 649 9.7 1433 2 5-9 633 8.8 572 8.6 1205 3 10-14 738 10.2 602 9.0 1340 4 15-19 670 9.3 595 8.9 1265 5 20-24 610 8.5 577 8.6 1187 6 25-29 465 6.5 430 6.4 895 7 30-34 485 6.7 470 7.0 955 8 35-39 434 6.0 469 7.0 903 9 40-49 426 5.9 410 6.1 836 10 50-54 377 5.2 416 6.2 793 11 55-59 423 5.9 418 6.3 841 12 60-64 300 4.2 253 3.8 553 13 65-69 353 4.9 321 4.8 674 14 70-ke atas 511 7.1 496 7.4 1007 Jumlah 7209 100.0 6678 100.0 13887 Sumber: Desa Cihideung Udik (2012)

Desa Cihideung Udik terbagi dalam dua dusun, 15 rukun warga dan 48 rukun tetangga. Jumlah KK (Kepala Keluarga) desa ini bertambah pesat yang saat ini sejumlah 3.428 KK, sehingga tidak dipungkiri desa ini mengalami perkembangan pemekaran wilayah yang berbeda dari tahun ke tahun dengan bertambahnya jumlah penduduk. Perkembangan tersebut dapat dilihat perinciannya pada Tabel 4.

Tabel 4 Jumlah rukun tetangga dan rukun warga di Desa Cihideung Udik tahun 2000, 2002, 2010, dan 2012

No Lembaga Tahun

2000 2002 2010 2012

1 Rukun Tetangga (RT) 36 30 45 48

2 Rukun Warga (RW) 9 5 14 15

Sumber: Badan Pusat Statistik (2000; 2002; 2010)

Lokasi Desa Cihideung Udik terbilang cukup luas dengan letak RW yang saling berdekatan. Setiap RW berbeda kampung dan memiliki jumlah RT yang berbeda-beda. Lokasi tiap RW di Desa Cihideung Udik adalah sebagai berikut : RW 1 : Kampung Cinangneng I RW 9 : Kampung Cihideung Udik RW 2 : Kampung Cinangneng I RW 10 : Kampung Cihideung Udik

Gambar

Gambar 1 Kerangka analisis
Tabel 3 Jumlah dan persentase komposisi penduduk berdasarkan kelompok usia  di Desa Cihideung Udik tahun 2012
Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jenis upah di Desa  Cihideung Udik tahun 2012
Gambar 2 Peta Desa Cihideung Udik

Referensi

Dokumen terkait

Beliau mengungkapkan bahwa bayi prematur sangat rentan mengalami penyakit karena organ tubuh mereka yang belum berfungsi secara sempurna, seperti kendala saat

Pemerintah Kota Gorontalo telah menerapkan pengadaan barang dan jasa secara elektronik atau e-procurement yakni melalui e-tendering dan e-purchasing dan Pada pelaksanaan

2 Ada siswa menanyakan hal-hal yang belum dipahami namun kurang sesuai dengan materi yang dipelajari.. 1 Tidak ada siswa yang menanyakan hal-hal yang belum dipahami sesuai

Maka berdasarkan hasil pembahasan peneliti dan pengamat diketahui penyebab keaktifan siswa kelas III dalam belajar pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada siklus

Obs*R-squared yang masing-masing nilainya dibawah 0.10 maka kita tolak hipotesis nol yang homokedastis sehingga kita terima hipotesis alternatif yang menyatakan

(2) Dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui keberadaannya atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya maka kewajiban dan

Sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kelas yang diajar oleh guru yang belum sertifikasi dan guru yang sudah sertifikasi terhadap

tukar.Dimana komodifikasi ini terjadi pada bagian tubuh atas endorser ketika endorser itu berhijab, dan seluruh tubuh untuk endorser yang tidak berhijab.Akan