• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. 1. Hasil

IV.1.1. Identifikasi lokasi

Identifikasi lokasi sesuai dengan kajian oleh Setiasih dkk., 2006 merupakan analisis awal terhadap wilayah yang akan dikaji.Wilayah kajian salah satu bagian dari ”Coral Triangle”, dimana wilayah ini merupakan pusat keanekeragaman terumbu karang di dunia yang meliputi 6 negara yakni Indonesia, Malaysia, Philipina, Timor leste, Papua New Guinea, dan Kepulauan Salomon (Gambar IV.1). Indonesia sendiri memiliki terumbu karang yang terluas diantara negara-negara tersebut dan salah satu lokasi terumbu karang yang terletak di wilayah Indonesia adalah Bali Barat National Park (BBNP) yang berada di Bali bagian Barat Daya dan Utara. Wilayah ini sangat penting karena merupakan daerah pariwisata yang banyak didatangi oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Gambar IV.1. Posisi BBNP yang termasuk dalam coral triangle (Sumber: TNC, 2007)

Secara lebih spesifik, wilayah yang dikaji dibagi dalam 4 area sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Setiasih dkk., 2006, yakni 1 wilayah berada di Taman Nasional Bali Barat (BBNP) dan terbagi dalam 10 lokasi sedangkan 3 lagi

(2)

berada di wilayah lain berada disekitar BBNP yang terbagi dalam 5 lokasi (Gambar IV.2). Data tutupan karang (cover area) berasal dari observasi, LIT, kuadrat transek yang dilakukan secara kontinu selama 4 tahun yang dimulai pada bulan Oktober 2003 hingga Februari 2006.

Gambar IV.2. Lokasi wilayah kajian yang terbagi dalam 4 wilayah besar

Keterangan :

1. Wilayah 1 : Taman Nasional Bali Barat (BBNP) dibagi dalam 10 lokasi yakni: a. Lokasi 1 : Utara Pulau (8006’S 114026’E – 8009’S 114026’E),

b. Lokasi 2 : Wreck (8005’S 114026’ E – 80 05’S 114029’E), c. Lokasi 3 : Mangrove (8005’S 114030’E),

d. Lokasi 4 : Pos 2 (8005’S 1140 31’E),

e. Lokasi 5 : Tanjung Gelap (8005’S 114030’E), f. Lokasi 6 : Labuhan Lalang (8006’S 114031’E),

g. Lokasi 7 : Takad Saru (80 05’S 114029’E – 8008’S 114031’E), h. Lokasi 8 : Kotal (8008’S 114031’E),

i. Lokasi 9 : Batu Licin (8008S 114032’E), dan j. Lokasi 10 : Teluk Kelor (8007’S 1140 33’E) 2. Wilayah 2 : Sumber Kima dibagi dalam 2 lokasi:

a. Lokasi 11 : Sumber Kima Takad (8007’S 114035’E), dan b. Lokasi 12 : Sumber Kima Tanjung (8007’S 1140 36’E) 3. Wilayah 3 : Pemuteran dibagi dalam 2 lokasi:

a. Lokasi 13 : Pemuteran Timur 8007’S 114038’E), dan b. Lokasi 14 : Pemuteran Barat 8007’S 114039’E)

4. Wilayah 4 : P.Tabuhan hanya terdapat 1 lokasi yakni North Tabuhan (Lokasi 15; 8002’S 114027’E).

(3)

Secara umum, panjang lingkar terumbu karang yakni 28,26 km dari Timur hingga Barat, sedangkan untuk wilayah tutupan karangnya 48,18 km di pesisir Bali, 7,78 km di pulau Menjangan, dan 2,21 km di Tabuhan dengan elevasi daratan 3 hingga 20 m (150 m kearah darat). Hasil gambaran wilayah terumbu karang di wilayah Bali pada tahun 2007 yang didapatkan dengan citra Landsat 7. dapat dilihat pada Gambar IV.3.

dibawah ini.

Gambar IV.3. Hasil citra Landsat Mission untuk wilayah kajian: Landsat 7 Path: 117 Row: 66 (Sumber: Landsat TM, 2007)

Ket. 1) Utara pulau, 2) Kotal, Batu Licin, 3) Teluk Kelor, Sumber Kima Takad, Sumber Kima Tanjung, 4) Mangrove, Pos 2, Tanjung Gelap, Labuhan Lalang, Takad Saru.

Pada Gambar diatas, berdasarkan hasil citra satelit bahwa terumbu karang yang berada di wilayah kajian, umumnya berada di daerah perairan dekat pantai. Masing-masing wilayah yang terdapat di Taman Nasional Bali Barat (BBNP) maupun yang berada diluar taman nasional mempunyai kondisi lingkungan dan karakteristik yang berbeda-beda. Wilayah BBNP merupakan kawasan konservasi yang melarang masyarakat melakukan aktivitas pengelolaan sumber daya alam secara kontinu, sedangkan wilayah lain masih dihuni oleh masyarakat yang mata pencahariannya sebagai nelayan dan pelaku pariwisata.

(4)

IV.1.2. Data terumbu karang

IV.1.2.1. Line Intercept Transect (LIT)

Jenis karang yang sudah dikelompokkan dalam bentuk taxa dan level dapat dilihat pada Tabel IV.1.LIT tersebut mendeskripsikan spesies terumbu karang yang berada di wilayah kajian pada kedalaman 3 dan 10 m. Tabel dibawah juga dilengkapi dengan kode yang berlaku secara internasional. Secara detail metode pengumpulan data karang diperlihatkan pada Lampiran H.

Tabel IV.1. Hasil LIT yang sudah dikelompokkan dalam berbagai level dan taxa. Level 1 Level 2 Level 3 Level 4 Level 5

Hard corals HC

Acropora ACR Acropora ACR Acropora ACR

Table Bush Arborescent Sub massive Encrusting Branching ACT ACR ACA ACS ACE ACB Non-acropora NAC

Pocilloporid POC Pocilloporid POC

Pocilliopora Seriatopora Styolophora PCL SER STY

Faviid FAV Faviid FAV Faviid FAV

Other Hard Corals HCO

Fungiid FNG Fungiid FNG

Mussid MUSLobophyllia Other Mussids

LOB MSO

Galaxea GAL Galaxea GAL

Merulina MER Merulina MER

Porites POR Porites massive Porites branching Porites encrusting PMS PBR PEN Goniopora/

Alveopora GON Goniopora/Alveopora GON

Agariciid AGR Pachyseris Pavona Other Agaricids PAC PAV AGO

Turbinaria TUR Turbinaria TUR

Euphylliid EUP Euphylliid EUP

Pectinia PEC Pectinia PEC

Montipora MNT Montipora MNT

Misc. hard corals OHC Misc hard corals OHC Soft Corals* SC Soft Corals SC Soft Corals SC Soft Corals SC Soft Corals SC Fleshy Macro

algae* MA

Fleshy Macro

algae MA Fleshy Macro Algae MA Fleshy Macro Algae MA Fleshy Macro Algae MA

Other* OT Other OT Other Benthos OT Other Benthos OT

Crustose coraline Algae Sponges

Zoanthids Gorgonians

Misc. Benthic Invertabrates CCA SPG ZOA GOR OTB 4 5 7 18 34 Sumber: Setiasih dkk., 2006. Keterangan : * = tidak dikaji

(5)

Dari Tabel diatas dapat dilihat bahwa identifikasi utama terletak pada hard corals

(ACT hingga OHC). Jumlah spesies yang terdapat pada level 5 adalah 27 (hard

corals) dimana 6 spesies merupakan Acropora dan 21 spesies adalah non Acropora.

Contoh spesies Acropora sp. adalah Pink acropora (kiri) dan Porites (Gambar IV.4.), dimana kedua jenis ini umumnya mendominasi di wilayah yang dikaji baik didalam maupun diluar BBNP. Dari hasil observasi yang dilakukan di Great Barrier Reef

bahwa Porites mempunyai ciri khas yakni lebih tebal, mempunyai massive skeleton,

dan termasuk pada low susceptability. Hasil penelitian yang dilakukan di India dan Australia menunjukkan bahwa umumnya spesies ini lebih tahan terhadap stress lingkungan.

Gambar IV.4.Contoh jenis Acropra yakni Pink Acropora (kiri) (Sumber: CRC Reef centre, 2007) dan Porites (kanan) (Sumber: Arthur, 2006).

Pada gambar diatas dapat dilihat jenis karang Acropora, dimana pada umumnya warna karang adalah kuning kecoklatan. Hal ini dipengaruhi oleh pigmen yang ada dalam jaringan tubuhnya. Selanjutnya terumbu karang yang berada di wilayah kajian termasuk dalam tipe "shallow water and hermatypic" yakni karang yang dapat menghasilkan terumbu dan hidup pada perairan yang hangat dan air yang relatif tenang, sedangkan tipe lainnya adalah "deep water dan ahermatypic" dimana jenis karang ini merupakan karang yang tidak dapat menghasilkan terumbu dan berada di

(6)

perairan dalam (lebih dari 50 m) sehingga tidak terdapatnya simbiosis antara karang dan terumbu sehingga karang ini tidak membutuhkan sinar matahari untuk membantu proses metabolisme tubuhnya. Lokasi karang yang berada di wilayah kajian berada di dekat pantai (inner reef) hingga outer reef ( Gambar IV.2. ; Lokasi 12).

IV.1.2.2. Persentase tutupan karang (% Hard Coral Cover)

Persentase tutupan karang atau yang lebih dikenal dengan hard coral cover (HCC)

berfungsi untuk mengetahui tutupan karang pada tiap wilayah, yang dihitung dengan rumusan sebagai berikut:

Hard Coral Cover (HCC) Percentage = x100% P

pi

dimana pi = total panjang dari hard coral berkategori i.

P = panjang total cover area (panjang total transek yang dilakukan). (Setiasih dkk., 2006)

Dari hasil perhitungan persentase tutupan karang kemudian dikombinasikan dengan kondisi terumbu karang (dalam persen) sesuai dengan klasifikasi yang dibuat oleh Sukarno, 1986, diperlihatkan pada Tabel IV.2. Kondisi ini sudah berlaku secara internasional dan sudah dibandingkan untuk beberapa wilayah seperti Samoa, Palau, dan India.

Tabel IV.2. Persentase tutupan karang dan kondisi kerusakan karang No. Hard Coral Cover (HCC) (%) Kondisi terumbu karang Simbol

1. 2. 3. 4. 0 - <25 25 - <50 50 - <75 >75 Sangat rusak Rusak Baik Sangat Baik p m g e

Sumber: Sukarno, 1986 dalam Marlina, 1999 dalam Setiasih dkk., 2006.

Komparasi dari Persamaan 1 dengan Tabel diatas menghasilkan persentase karang yang dapat dilihat dalam Tabel IV.3. Tabel ini menjelaskan persentase hard coral

cover untuk tiap-tiap wilayah yang dikaji selama 6 kali pengumpulan data dalam

kurun waktu 4 tahun dimulai tahun 2003 hingga 2006. Persentase hard coral cover

(7)

dibagi dalam 2 bagian yakni untuk wilayah BBNP dan wilayah disekitar BBNP sedangkan untuk persentase tiap-tiap spesies secara lengkap dapat dilihat dalam Lampiran A.

Tabel IV.3. Persentase hard coral cover tiap wilayah beserta kondisinya

Wilayah Segmen Waktu (Bulan/Tahun) 10/03 03/04 10/04 03/05 09/05 02/06 % c % c % c % c % c % c BBNP Utara Pulau Wreck Mangrove Pos 2 Tanj. Gelap Lab. Lalang Takad Saru Kotal Batu Licin Teluk Kelor 25,87 22,10 9,80 18,68 52,48 9,96 18,54 24,70 50,68 26,45 m p p p g p p p g m 42,98 33,01 48,55 43,23 64,17 21,42 22,80 21,65 60,23 32,24 m m m m g p p p g m 22,83 35,59 17,11 26,89 73,76 20,28 11,21 23,86 30,42 11,80 p m p m g p p p m p 37,52 42,62 40,22 45,84 49,29 17,07 44,35 43,56 51,29 62,42 m m m m m p m m g g 23,78 35,65 45,48 23,35 48,43 11,55 26,33 35,13 32,66 36,08 p m m p m p m m m m 28,47 45,95 29,17 23,80 56,80 7,48 24,93 60,51 35,75 27,58 m m m p g p p g m m Diluar BBNP S.K. Takad S.K. Tanjung Pem. Timur Pem. Barat Tabuhan 12,76 6,83 34,41 4,81 52,38 p p m p g 19,89 4,50 11,11 10,98 65,37 p p p p g 20,33 28,47 27,33 15,92 - p m m p - 22,65 12,02 29,76 24,77 71,85 p p m p g 22,54 7,34 38,62 22,62 44,21 p p m p m 25,70 25,98 13,76 26,40 27,01 m m p m m

Keterangan : % = Persentase Hard Coral Cover

c = Kondisi terumbu karang dari masing-masing wilayah p = sangat rusak

m = rusak

g = baik

- = tidak ada data

Tabel diatas menggambarkan lebih spesifik persentase tutupan terumbu karang untuk tiap wilayahnya. Pada Tabel juga dapat dilihat kondisi tutupan karang berada pada rentang sangat rusak (poor) hingga baik (good), sedangkan status sangat baik

(excellent) tidak didapatkan selama waktu pengambilan. Secara umum untuk wilayah

(8)

2003, berada di wilayah Tanjung Gelap dengan persentase sebesar 52,48% (Lokasi 5), dimana karakteristik wilayah ini merupakan daerah teluk, sedangkan persentase terkecil yang dikumpulkan adalah di wilayah Labuan Lalang sebesar 9,96% (lokasi 6) dan Mangrove 9,80% (lokasi 3) yang berada di daerah pulau di sebelah Utara Bali. Pengumpulan data I diluar BBNP mempunyai kisaran persentasi rendah sekitar 4,81% yang berada di Pemuteran Barat (Lokasi 14) dan tertinggi sebesar 52,38% yang berada di Tabuhan (Lokasi 15). Persentase dan kondisi terumbu karang sangat beragam di dalam maupun di luar BBNP pada saat pengumpulan I (Oktober 2003). Untuk wilayah yang berada di BBNP persentase cover area yang termasuk tinggi dan relatif stabil berada di wilayah Tanjung Gelap (Lokasi 5), sedangkan wilayah lainnya umumnya bervariasi. Wilayah Tabuhan (diluar BBNP) persentasenya tinggi pada pengumpulan data I namun terus mengalami penurunan hingga tahun 2006 (Tabel IV.3; Lampiran B)

Dari hasil observasi dan pengumpulan data juga didapatkan kesamaan spesies untuk tiap-tiap wilayah baik itu di BBNP maupun diluar BBNP walaupun untuk tiap wilayah mempunyai perbedaan dalam persen individu (Lampiran A). Hal ini berkaitan dengan tingkat dominansi suatu spesies yang menempati suatu wilayah. Spesies PBR termasuk tertinggi yang menempati tiap-tiap wilayah baik di dalam maupun diluar BBNP. Secara umum analisis dari tahun 2003 hingga pengambilan maret 2004 mengindikasikan adanya kenaikan jumlah persentase cover area terumbu karang. Beberapa wilayah yang mengalami penurunan adalah wilayah Kotal yang berada diwilayah BBNP dan diluar adalah S.K Tanjung, dan Pemuteran Timur. Pengumpulan data yang telah dilakukan selama 4 tahun umumnya mengalami fluktuasi.

Fluktuasi persentase tutupan karang kemudian akan dikorelasikan dengan parameter perubahan iklim yang dijelaskan pada bab pembahasan. Trend yang menunjukkan kenaikan dari awal pengumpulan hingga akhir adalah wilayah Wreck, Kotal, S.K. Tanjung, dan Pemuteran Barat, sedangkan wilayah yang mengalami penurunan

(9)

drastis bahkan lebih kecil dari pengambilan data I adalah Labuhan Lalang, Batu Licin, Tabuhan, dan Pemuteran Timur. Secara umum pada Gambar IV.5. dapat dilihat fluktuasi tutupan karang baik di wilayah BBNP maupun diluar BBNP dari tahun 2003 hingga 2006. Untuk wilayah BBNP, data didapat secara kontinu sedangkan diluar BBNP yakni di Tabuhan tidak terdapat data bulan 10 tahun 2004. Perlu diingat bahwa persentase hard coral cover tidak selalu menggambarkan kenaikan yang sama untuk tiap individu.

Gambar IV.5. Persentase hard coral cover (HCC) di BBNP.

Analisis lebih lanjut gambar diatas (Lampiran B), bahwa terjadi penurunan HCC sebesar 2,13% di kedalaman 3 meter, sedangkan pada kedalaman 10 meter terjadi kenaikan 12,66%. Persentase HCC disemua wilayah pada tahun 2005 mengalami penurunan yang signifikan kecuali pada dua wilayah yang mengalami kenaikan, yakni di Mangrove (BBNP) dan pemuteran timur diluar BBNP. Grafik fluktuasi untuk wilayah diluar BBNP hampir sama dengan di wilayah BBNP. Hal ini disebabkan oleh kesamaan spesies untuk tiap wilayahnya dan stress yang dialami. Persentase yang terbesar berada di wilayah Tabuhan sedangkan yang terendah pada pengambilan data terakhir yakni pemuteran Timur. Kesamaan kenaikan cover area

(10)

walaupun kenaikan untuk wilayah S.K Takad sangat kecil. Untuk melihat fluktuasi

hard coral cover diluar wilayah BBNP dapat dilihat pada Gambar IV.6., sedangkan

untuk melihat secara detail grafik untuk tiap-tiap wilayah kajian dilihat pada Lampiran B.

Gambar IV.6.Persentase hard coral cover (HCC) di luar BBNP

Pada grafik diatas bahwa fluktuasi pemutihan di luar wilayah BBNP lebih beragam bila dibandingkan dengan di wilayah Taman Nasional. Untuk wilayah Tabuhan, tidak terdapat data pada pengambilan bulan 10 tahun 2004, namun memiliki hard coral

cover yang paling tinggi dari 5 segment yang didata. Kecenderungan HCC yang

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun adalah wilayah S.K. Takad, sedangkan dari grafik dapat dilihat bahwa HCC yang mencapai nilai terkecil berada di luar wilayah BBNP di lokasi S.K. Tanjung sekitar 4% yakni pada pengambilan 2 (Maret 2004).

Grafik fluktuasi untuk kedua gambar diatas menggambarkan pertumbuhan dan kerusakan karang di wilayah kajian. Pertumbuhan (grafik naik) menunjukkan kondisi lingkungan tempat hidup terumbu karang sesuai dengan kemampuannya untuk metabolisme secara optimal.Dari kedua grafik diatas dapat diketahui bahwa terjadi

(11)

peningkatan pertumbuhan terumbu karang di akhir pengambilan dimana persentase wilayah yang mengalami status sangat rusak baik di BBNP maupun diluar BBNP mencapai 60 % kemudian pada akhir pengumpulan data didapat tingkat kerusakan menjadi 30 % di BBNP dan 20 % di luar BBNP.

IV.1.2.3. High susceptibility dan Low susceptibility

Pengklasifikasian terumbu karang dalam high susceptibility (high susc) dan low

susceptibility (low susc) digunakan untuk menentukan kerentanan terumbu karang

terhadap stress yang dialami baik dari lokal maupun global. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan di berbagai wilayah terumbu karang seperti di Australia dan India diketahui bahwa terumbu karang yang termasuk dalam low susceptibility lebih tahan terhadap tekanan lingkungan daripada high susceptibility. Klasifikasi tersebut berdasarkan pada Baird dan Marshall (2001), Obura (2000), Kayanne et all. (2002) dan Goreau (1998) dalam Setiasih dkk., 2006 (Gambar IV.7). Indikasi ketahanan low

susceptibility (low susc) adalah jaringan yang lebih tebal, solid, dan skeleton yang

lebih besar.

Gambar IV.7. Spesies berdasarkan high susc. dan low susc. classification (Sumber: Baird dan Marshall (2001), Obura (2000), Kayanne et all. (2002), dan Goreau (1998) dalam Setiasih dkk., 2006).

(12)

Berdasarkan Gambar IV.7., untuk spesies yang termasuk dalam high susc. adalah: semua jenis Acropora (kode: ACA, ACB, ACO, ACT), Merulina (MER),

Pocilloporid (PCL), Pectinia (PEC), Seriotopora (SER), Stylophora (STY), dan

Millepora (CME/MIL) sedangkan untuk low susc. adalah: semua jenis Porites (PMS,

PBR), Euphyliid (EUP), Faviid (FAV), Fungiid (FNG), Galaxea (Gal),

Goniopora/alveopora (GON), Lobophyllia (LOB), dan Turbinaria (TUR). Grafik low

susc untuk kedalaman 3 dan 10 m dapat dilihat pada Lampiran C, dimana dari

grafik dapat dilihat lebih banyak terdapat low susc. di kedalaman 3 m daripada 10 m dan jumlah yang paling banyak berada di wilayah Tanjung Gelap (85%), demikian juga tingkat high susc. di wilayah yang sama. Tetapi pada pengumpulan data setelah tahun 2004 tidak pernah mencapai nilai persentase tersebut dan cenderung mengalami penurunan. Kenaikan signifikan terjadi di wilayah Batu licin dimana pada pengumpulan data terakhir cenderung naik hingga mencapai 52%. Wilayah yang memiliki low susceptibility yang paling rendah selama 4 tahun pengukuran berada di Labuhan Lalang (Gambar IV.8.). Low susceptibility yang tertinggi di wilayah itu hanya mencapai 10% pada pengumpulan data tahun 2005 bulan Maret, setelah itu mengalami penurunan hingga 3% pada pengambilan terakhir. Low susceptibility pada kedalaman 3 m sangat dominan jika dibandingkan dengan pada kedalaman 10 m. HC

Secara umum ketiga grafik ini memiliki kelinearan dimana kenaikan high susc. diikuti oleh kenaikan low susc.

Gambar IV.8. Hard coral cover, high dan low susc. di wilayah Labuhan Lalang untuk kedalaman 3 dan 10 m.

(13)

Pada gambar diatas dapat dilihat persentase high susceptibility tidak pernah melebihi

low susceptibility untuk Labuhan Lalang walaupun persentase hard coral cover di

wilayah Labuhan Lalang merupakan yang terendah sepanjang pengambilan data. Besarnya nilai kenaikan dan penurunan cover area juga dipengaruhi oleh kecepatan terumbu karang untuk melakukan reproduksi dimana hal ini tergantung dari masing-masing spesies. Terumbu karang yang lebih cepat berkembang (high susceptibility) akan lebih rentan terhadap pemutihan daripada terumbu karang yang lambat dalam bereproduksi. Hal ini dikorelasikan dengan tingginya respirasi yang dilakukan oleh terumbu karang tersebut. Hal ini juga berlaku pada kerentanan karang akibat thermal

stress yang terjadi di wilayah tersebut (Jokiel dan Coles, 1990, Gates dan Edmunds,

1999, dalam Baird dan Marshall, 2002 dalam Setiasih dkk., 2006). Lebih lanjut bahwa spesies jenis Poritids dan Faviid corals dapat menggerakkan polip mereka ke daerah yang lebih dalam untuk melindungi alga dari pemanasan yang terjadi di daerah permukaan (Baird dan Marshall, 2002) dengan demikian kerentanan terhadap parameter perubahan iklim (thermal stress) kebanyakan dialami oleh High susc taxa

(Brown dkk, 1990; Gleason, 1993; Obura, Colen, 2006 dalam Setiasih dkk., 2006) tetapi dalam hal lain high susc. taxa mempunyai kemampuan recovery yang lebih baik dibandingkan dengan low susc. taxa.

IV.1.3. Temperatur

IV.1.3.1. Profil vertikal suhu perairan

Profil suhu secara vertikal untuk wilayah kajian digambarkan sesuai dengan kedalaman kajian terumbu karang yakni 3 dan 10 m. Profil vertikal suhu untuk wilayah Bali bagian utara ditunjukkan pada Gambar IV.9., dimana rata-rata suhunya berkisar antara 280 C hingga 290 C, walaupun suhu untuk wilayah ini dapat mencapai 30,50 C pada saat maksimum dan terendah mencapai 240 C. Data ini diperoleh dari

World Ocean Database (WOD 01) NODC NOAA (mooring) untuk tahun 1985

hingga 1995 yang diolah dengan menggunakan software ODV Ver. 3.2. Kenaikan suhu yang terjadi akibat faktor seperti pemanasan pada siang hari atau adanya

(14)

pergerakan air yang mengalir yang membawa massa air hangat apabila dikomparasi dengan pemutihan adalah tidak terdapatnya korelasi fluktuasi suhu secara lokal terhadap stress yang dialami oleh terumbu karang. Pada umumnya suhu permukaan memiliki suhu yang relatif seragam, sedangkan pantai wilayah Bali yang landai mengakibatkan kedalaman perairan tidak lebih dari 50 m sehingga suhu disebagian wilayah ini secara umum sama.

Gambar IV.9. Profil vertikal suhu perairan untuk wilayah Bali Keterangan : 1) Stasiun pengamatan dan wilayah kajian,

2) Visualisasi profil suhu vertikal, dan 3) Profil suhu vertikal

Pada gambar diatas menunjukkan profil vertikal untuk suhu perairan pada kedalaman 0 hingga 150 m. Dari data tersebut diketahui bahwa suhu rata-rata di perairan Bali berkisar antara 280 hingga 290 C. Perbedaan suhu lebih tampak setelah kedalaman 60 m (Gambar IV.9.2.) dan kemudian lebih seragam setelah kedalaman 120 m. Pada Gambar IV.9.3., dapat dilihat bahwa hingga kedalaman 50 m tidak terdapat perbedaan suhu, sehingga stress yang dialami oleh terumbu karang untuk kedalaman 3 dan 10 meter dapat dianggap sama.

(15)

VAR IABL E : SST, Pa th fin d e r Ve r 5 .0 , D a y a n d N ig h t, 4 .4 k m, Glo b a l, Sc ie n c e Qu a lity ( d e g r e e _ C ) D ATA SET : SS T, Pa th fin d e r Ve r 5 .0 , D ay a n d N ig h t, 4 .4 k m, Glo b a l, Sc ie n c e Qu a lity

FIL EPATH : h t tp ://o c e a n w a tc h .p fe g .no a a .g o v /th r e d d s /d o d s C /s a te llite /PH /s sta /

16/01/85 16/11/85 16/09/86 16/07/87 16/05/88 16/03/89 16/01/90 16/11/90 16/09/91 16/07/92 16/05/93 16/03/94 16/01/95 16/11/95 Time 23,50 24,23 24,83 25,50 26,10 26,70 27,38 27,98 28,58 29,17 29,77 30,45 31,00 115.7E 8.7 114.8E 8.7 114.6E 8.5S IV.1.3.2. Suhu permukaan perairan

Selanjutnya kajian SST dan anomali suhu untuk perairan akan digambarkan secara visual dan rentang waktu (time series). Anomali perairan adalah penyimpangan suhu perairan yang berada diatas suhu rata-rata pada suatu wilayah yang dikaji. Anomali ini sangat penting untuk mengetahui tingkat stress terumbu karang selain stress lokal yang mengancam kehidupan terumbu karang. Faktor anomali didasarkan pada penyimpangan suhu yang berada diatas 10 C. Anomali juga dapat terjadi pada saat el nino seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998.

Dari hasil statistik terumbu karang yang sudah dikumpulkan, didapat penurunan dan kenaikan hard coral cover dari tiap waktu pengambilan. Hal ini kemudian akan digunakan untuk komparasi data dengan anomali suhu perairan. Untuk mengetahui kondisi suhu perairan di wilayah Bali, data awal yang dipergunakan sebagai komparasi, didapat dari http://oceanwatch.pfeg.noaa.gov/thredds dengan variabel SST Patfinder Ver. 5.0 4.4 km pada 3 lokasi yang berada di sekitar wilayah kajian. Data tersebut digambarkan dalam time series (Gambar IV.10.) dengan rentang waktu 10 tahun (1985-1995).

(16)

LOKASI 115E 7.9S

http:/ /oceanwa tch.pfeg.n oaa.gov/t hredds/do dsC/sate llite/MH/s std/

16/01/03 16/05/0316/09/0316/01/0416/05/0416/09/0416/01/0516/05/0516/09/0516/01/0616/05/0616/09/06 Waktu 27,0 27,5 28,0 28,5 29,0 29,5 30,0 30,5 31,0 S S T ( c el c ius )

Pada gambar diatas, dapat dilihat bahwa suhu mengalami penurunan pada pertengahan tahun dan kembali naik pada akhir tahun membentuk grafik seperti sinosoidal hingga tahun 1995. Penggambaran suhu dalam rentang waktu 10 tahun mendeskripsikan kondisi suhu di wilayah kajian dimana suhu yang merupakan fungsi waktu mempunyai nilai maksimum pada akhir tahun kemudian mencapai nilai minimum pada pertengahan tahun. Selanjutnya, trend suhu lokal dari tahun 1985 hingga 1995 adalah menurun walaupun penurunannya sangat kecil. Suhu untuk wilayah Bali (tropis) mempunyai rentang rata-rata 27,810 C hingga 28,280 C, sedangkan suhu minimalnya adalah 24,150 C dan maksimum pada suhu 30,830 C (pembanding Gambar IV.9.).

Selanjutnya, data SST pada tahun 2003-2006 (sesuai dengan data terumbu karang) diolah sehingga menghasilkan time series yang dapat dilihat pada Gambar IV.11., dimana data ini didapat dari http://oceanwatch.pfeg.noaa.gov/thredds/. Penggambaran suhu secara time series akan dikomparasi secara visual untuk memperkuat data. Namun, dari penelitian yang telah dilakukan suhu lokal ini tidak berpengaruh terhadap sistem metabolisme terumbu karang karena adanya proses aklimatisasi. Proses ini sendiri berlangsung jika keadaan lingkungan (stress) sebelumnya sudah pernah terjadi sehingga terumbu karang sudah dapat beradaptasi.

(17)

Pada gambar diatas dilihat bahwa SST untuk wilayah kajian mengalami kenaikan dan penurunan. Untuk data yang berasal dari NOAA diatas diketahui bahwa rata-rata suhu bulanan adalah 29,1530 C untuk lintang 115E 7.9S. Titik-titik lain yang dianggap perlu hanya dibandingkan dan mempunyai fluktuasi yang hampir sama sehingga tidak diperlukan untuk ditampilkan. Suhu minimum pada lokasi ini adalah 27,60 C, sedangkan suhu maksimumnya adalah 30,60 C. Jika dibandingkan dengan suhu pada tahun 1985 hingga 1995 terjadi peningkatan suhu rata-rata di wilayah perairan Bali. SST untuk tiap tahunnya secara visual digambarkan dalam Lampiran D., dimana suhu tersebut mendeskripsikan kondisi 8 harian untuk tahun 2002 hingga 2006. Pemilihan suhu 8 harian dikarenakan lengkapnya data dan jumlah stasiun yang dihitung bila dibandingkan dengan data 5 harian.

IV.1.3.3. Anomali, Hotspot, dan DHW

Data anomali didapat dari satelit NOAA-13 hingga 16 dengan sensor Advance Very

High Resolution Radiometer (AVHRR) yang didapat dari tahun 1995 hingga 2006,

namun data yang diolah dengan menggunakan program coastwatch utilities ver 3.2 dan StatSoft-7 adalah tahun 1997/1998 dan tahun 2003 hingga 2006. Format data tersebut adalah Coastwatch HDF versi 3.4 yang dikeluarkan oleh NOAA. Anomali yang dianggap untuk dikaji adalah yang lebih besar dari suhu rata-rata perairan atau anomali positif dan bukan anomali negatif. Hal ini dikarenakan fokus korelasi adalah pada pemanasan perairan yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang, walaupun dalam beberapa kasus pendinginan perairan juga dapat menyebabkan bleaching

terumbu karang seperti yang terjadi di wilayah Mentawai, Sumatera Selatan dimana massa air dingin yang mengalir dari samudra Hindia telah menyebabkan kematian terumbu karang dalam skala besar, tetapi hal ini tidak berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan diakibatkan oleh pertukaran arus.

Pemutihan karang diakibatkan oleh adanya anomali perairan terjadi akibat tingkat stress terumbu karang menjadi lebih besar akibat kondisi perairan yang tidak sesuai dengan kondisi optimal untuk melakukan metabolisme. Kematian terumbu karang itu

(18)

sendiri akibat lepasnya zooxanthella dari karang yang berakibat tidak adanya suplai energi hasil photosintesis. Akibatnya warna dari karang berubah menjadi putih (tidak normal), yang pada umumnya karang yang sehat berwarna kecoklatan. Selain itu karang yang sehat dapat dilihat banyaknya komunitas lain yang berinteraksi dengan terumbu karang seperti kumpulan (schooling) ikan yang banyak berada di wilayah karang menunjukkan bahwa karang itu dalam kondisi baik.

Sebagai hasil awal anomali suhu (SSTa) perairan pada tahun 1997-1998 untuk wilayah Bali ditunjukkan oleh Gambar IV.12., dimana anomali suhu ini didapat dari satelit yang diperoleh dari http://www.ncep.gov. Hal ini bertujuan untuk komparasi data, dimana penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa anomali terbesar terjadi pada tahun 1997-1998 telah mengakibatkan bleaching

hingga 100%. Pencatatan data dari tahun 1900 juga menandai bahwa tahun 1997-1998 merupakan anomali suhu atmosfer yang tertinggi dan terjadi dengan intensitas yang panjang. Pada saat ini juga terjadi pemutihan yang terbesar yang pernah didata di berbagai belahan dunia, termasuk di wilayah perairan Indonesia.

Gambar IV.12. Anomali suhu perairan untuk perairan Bali pada tahun 1997-1998.

Anomali 1997-1998 01/01/97 26/02/9723/04/9718/06/9713/08/9708/10/9703/12/9728/01/9825/03/9820/05/9815/07/9809/09/9804/11/9830/12/98 Waktu -2,5 -2,0 -1,5 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 An o m a li

(19)

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa anomali terjadi pada pertengahan tahun 1997 hingga mei tahun 1998. Anomali ini mencapai 2,90 C selama beberapa minggu dan lebih dari 10 C selama 7 bulan. Kondisi dimana anomali air lebih dari 10 C dalam beberapa minggu akan mengakibatkan bleaching pada terumbu karang, bahkan dalam anomali ekstrem akan mengakibatkan kematian (Gambar II.5.).

Selanjutnya, untuk mengetahui anomali pada tahun 2003 hingga 2006, data anomali diperoleh dari satelit NOAA yang diperlihatkan pada Gambar IV.13., dimana deskripsi secara detail dapat dilihat pada Lampiran E. Dari data yang sudah diolah, digambarkan batas anomali 10 C untuk lamanya waktu sehingga dapat dikomparasi dengan data terumbu karang yang diperoleh dari WWF-Indonesia.

Gambar IV.13. Anomali suhu perairan untuk tahun 2003 hingga 2006 dalam mingguan.

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa anomali air yang lebih dari 10 C (garis merah mendatar) terjadi pada akhir tahun dan anomali suhu diatas 10 C juga terjadi hampir setiap tahun dimana anomali yang berlangsung dalam kurun waktu yang lama terjadi pada tahun 2003 yang terjadi pada tahun. Grafik secara time series ini juga sesuai

Anomali 2003-2006 03/01/03 22/04/03 08/08/03 25/11/03 13/03/04 29/06/04 16/10/04 04/02/05 24/05/05 12/09/05 30/12/05 17/04/06 05/08/06 21/11/06 Waktu -1,3 -1,2 -1,1 -1,0 -0,9 -0,8 -0,7 -0,6 -0,5 -0,4 -0,3 -0,2 -0,10,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 1,6 1,7 1,8 1,9 2,0 An o m a li

(20)

dengan gambar visual pada Lampiran D yang menggambarkan suhu tinggi pada akhir tahun. Hal ini diperkuat dengan hotspot area yang dikeluarkan oleh NOAA/NESDIS seperti pada Gambar IV.14. Hotspot area ini menunjukkan bahwa anomali dan SST yang didapat dari satelit dapat digunakan untuk mengetahui adanya

bleaching. Data yang dikeluarkan oleh NOAA/NESDIS digambarkan pada bulan 12

untuk tahun 2004. Data ini merupakan komparasi dan penguatan dengan data SST yang telah dijelaskan dalam bahasan sebelumnya.

Gambar IV.14. Hotspot area yang menggambarkan wilayah-wilayah yang terkena

bleaching akibat pengaruh anomali temperatur pada minggu ketiga

tahun 2004. (Sumber: NOAA/NESDIS, 2006).

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa terjadinya bleaching hotspot di wilayah Bali walaupun tidak sebesar wilayah lain seperti pulau Komodo dan Australia. Nilainya berkisar antara 1 hingga 1.5. Hal ini menunjukkan bahwa bleaching untuk daerah Bali terjadi pada suhu 29,50 C walaupun masih dalam taraf bleaching watch.

Wilayah-wilayah yang menunjukkan bleaching alerts ditunjukkan berada di wilayah Taman Nasional Komodo hingga Australia bagian barat serta wilayah kepulauan Salomon yang berada di Timur Papua New Guinea.

Lamanya waktu anomali untuk wilayah Bali dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar IV.15. Gambar ini menjelaskan lamanya waktu anomali untuk tiap wilayah

(21)

kajian atau yang dikenal dengan Degree Heating Weeks (DHWs). Wilayah-wilayah yang mengalami kenaikan 10 C untuk 1 minggu menggambarkan 1 DHW. DHWmaps

hanya dipergunakan untuk memperkuat data dikarenakan data DHWmaps untuk wilayah 50 km sehingga visualisasinya terlalu kasar. Namun demikian secara umum DHW sudah dapat menunjukkan wilayah-wilayah yang mengalami pemutihan.

Gambar IV.15. DHW untuk wilayah Bali dan sekitarnya. (a)4/12/03, dan (b)11/12/04. Bar menggambarkan lamanya waktu anomali untuk tiap wilayah. (Sumber: NOAA/NESDIS, 2007).

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar wilayah Timur Indonesia mengalami anomali. DHW pada bulan 12 menggambarkan anomali lebih dari 10 C selama hampir 4 minggu. Hal ini sesuai dengan grafik SSTa yang telah ditunjukkan pada Gambar IV.13. Demikian juga pada Gambar IV.15.b yang menjelaskan anomali terjadi pada bulan Desember 2004. Komparasi DHW atau lamanya waktu anomali dengan kondisi terumbu karang dijadikan patokan status terumbu karang seperti yang terlihat pada Tabel III.1. Apabila dilihat pada Gambar IV.16. dan IV.15., terlihat bahwa wilayah-wilayah yang mengalami pemutihan antara lain Palau dan hampir semua wilayah terumbu karang bagian timur. Dengan demikian dapat dibandingkan tingkat pemutihan yang terjadi pada suatu wilayah kajian berdasarkan

(22)

IV.1.4. Muka Laut

Kenaikan muka laut merupakan salah satu yang penting dalam analisis pemutihan terumbu karang. Kenaikan permukaan laut dihubungkan dengan kedalaman optimal dan maksimal dalam pemanfaatan cahaya matahari oleh terumbu karang untuk melakukan proses photosintesis. Terumbu karang yang berada dalam batas ambang cahaya matahari tidak dapat melakukan photosintesis sehingga akan mengalami pemutihan perlahan yang akhirnya mengalami kematian. Hal ini dikarenakan terumbu karang adalah organisme statis atau berdiam diri dan hanya memanfaatkan keadaan lingkungan sekitar untuk membantu proses-proses metabolisme tubuhnya.

Kenaikan muka laut ditunjukkan pada Gambar IV.16., dengan membandingkan hasil yang didapat dari http://oceanwatch.pfeg.noaa.gov/thredds/dodsC dengan TMD. Kedua metode ini digunakan dikarenakan TMD memprediksikan kenaikan muka laut berdasarkan parameter-paramater yang sudah ada tetapi tidak memasukkan data pencairan es di wilayah kutub, sedangkan hasil observasi langsung diambil berdasarkan kondisi lingkungan secara nyata dimana faktor pencairan es di kutub utara dan selatan serta thermal expansion merupakan faktor penambah untuk kenaikan muka laut.

. 180 162 144 126 108 90 72 54 36 18 1 0.2 0.1 0.0 -0.1 -0.2 Index SS H ( m e te r) MAPE 316.212 MAD 0.068 MSD 0.007 Accuracy Measures Actual Fits Variable Trend Analysis Plot for SSH Utara Bali

Linear Trend Model Yt = -0.0194 + 0.000213*t

Gambar IV.16. Perubahan Muka Laut untuk wilayah Utara kajian dari tahun 1992 hingga 2007.

(23)

Data pada gambar diatas diambil dari titik yang merepresentasikan wilayah kajian. Dari grafik juga dapat dilihat terjadi kenaikan muka laut dari tahun 1992 hingga tahun 2006. Secara berturut-turut rata-rata muka laut di Utara, Selatan, dan Selat Bali (Lampiran F), adalah 0,000372 m, 0,002032 m, dan -0,0014 m, sedangkan tinggi minimum adalah -0,2249 m, -0,1837 m, -0,2402. Untuk tinggi maksimum pada tiap-tiap wilayah adalah 0,2245 m, 0,1837 m, 0,25 m. Perubahan ekstrem yang terjadi yakni pada tahun 1998 (Gambar IV.16: indeks 72) dan menurun lagi hingga tahun 2006.

Kenaikan Muka Laut ini berkorelasi positif dengan pemanasan yang terjadi di perairan dan di atmosfer yakni apabila dilihat pada tahun 1998 terjadi kenaikan muka laut yang tertinggi. Pada kedua tahun ini, baik muka laut dan anomali suhu perairan sama-sama mengalami kenaikan. Pada gambar dapat dilihat trend (BAB III: Persamaan 1, 2, dan 3) untuk wilayah Utara Yt= -0,0194+0,000213*t. Berdasarkan hasil regresi ini didapatkan adanya peningkatan muka laut walaupun tidak tinggi dalam kurun waktu 15 tahun. Persamaan tersebut menggambarkan adanya peningkatan rata-rata 3 mm dalam setahun sehingga dalam waktu 50 tahun kedepan, perkiraan peningkatan berkisar 0,15 m.

Jika dilihat pada grafik dan persamaan trend, kenaikan muka laut adalah 0,2556 cm per tahun atau 2,5 mm per tahun. Kenaikan yang hampir sama juga terdapat di sekitar wilayah sekitar Bali seperti yang terlihat pada Lampiran F. SSH untuk wilayah Indonesia terutama Bali dapat dilihat pada Gambar IV.17. Pada Gambar dibawah membandingkan data bulan agustus tahun 1995 dengan tahun 2005. Data ini didapat dari National Oceanographic Atmmospheric and Administration (NOAA), dan data yang didapatkan pada tahun 1995 untuk wilayah Bali pada saat pasang terendah berkisar pada 45,28 cm hingga 46,05 cm, sedangkan pada tahun 2005 berkisar antara 45,38 cm hingga 48,29 cm. Untuk perubahan kedudukan muka laut, tidak menggambarkan perubahan yang sangat besar selama 15 tahun.

(24)

Gambar IV.17. Perbandingan SSH pada bulan 8 tahun 1995 dengan tahun 2005

Dari gambar diatas dan dikomparasi dengan Gambar IV.16. dan Lampiran F, dapat dilihat bahwa terjadi pengurangan wilayah SSH yang mengindikasikan meningginya muka laut, seperti yang terlihat di selatan jawa dan di utara bali. Untuk kasus terumbu karang yang berada di Bali dimana pengumpulan data dilakukan pada bagian permukaan (3 dan 10 m) sedangkan kedalaman maksimum agar terumbu karang dapat hidup adalah 90 m sehingga apabila mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh IPCC yang mengatakan bahwa kenaikan muka laut secara global adalah 0,2 mm per tahun sejak tahun 1900 dan prediksi pada tahun 2058 adalah sekitar 35 cm.

IV.2. Pembahasan

IV.2.1. Karakteristik wilayah dan data spesies

Secara garis besar wilayah kajian memiliki dua karakteristik yakni wilayah yang berada di BBNP (10 Lokasi) dan 5 wilayah yang berada disekitarnya. BBNP sendiri merupakan kawasan daratan yang sudah dilindungi atau tidak dapat dijadikan sebagai sumber usaha bagi masyarakat. Kawasan lautnya sudah dijadikan sebagai wilayah konservasi dan tercantum dalam Marine Protected Areas (MPA) yang berlaku

(25)

internasional sehingga penggunaan sumberdaya alam dibatasi. Namun aktivitas pariwisata masih dilakukan di beberapa lokasi BBNP dikarenakan keindahan terumbu karang.

Selanjutnya, komparasi awal dengan data spesies yang ada pada Lampiran A, menunjukkan kesamaan spesies untuk tiap kedalaman kajian dan tiap wilayah baik didalam maupun diluar BBNP, tetapi berbeda dalam tingkat persentase masing-masing spesies yang mendiami wilayah tersebut. Jadi, lokasi BBNP sebagai kawasan konservasi tidak mempengaruhi pada jenis spesies yang mendiami wilayah itu. Pada 2 kedalaman yang dikaji pada 15 segmen, persentase low susc. pada umumnya lebih besar dari high susc. (Lampiran C). Hal ini dikarenakan kemampuan spesies yang termasuk low susc. lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang didukung juga oleh ketebalan lapisan di dalam organisme tersebut.

IV.2.2. Fluktuasi tutupan karang dan anomali suhu

Analisis awal yang dijelaskan di dalam Tinjauan Pustaka (Bab II), menunjukkan peran parameter perubahan iklim terutama kenaikan suhu, terhadap kerusakan karang. Tinjauan teoritis tersebut dijadikan dasar untuk mengetahui bagaimana pengaruh anomali perairan terhadap kondisi ekosistem karang. Dari hasil SST secara visual pada Lampiran D dan time series Gambar IV.11., diketahui bahwa suhu perairan mencapai maksimum pada akhir tahun dan minimum pada pertengahan tahun kecuali pada tahun 1997-1998 dimana pada saat ini terjadi El Nino kuat. Kemudian untuk mengetahui tingkat kerusakan karang yang diakibatkan oleh kenaikan suhu perairan, maka diperhatikan waktu dan berapa lama anomali terjadi pada tahun 2003 hingga 2006. Pada Lampiran E terlihat bahwa pada akhir tahun selalu terdapat tingkat kenaikan suhu yang lebih besar dari bulan-bulan lain. Dalam kasus kerusakan terumbu karang, anomali perairan yang akan dibahas adalah yang melebihi 10C. Untuk itu pada Tabel IV.4 digambarkan anomali tahunan yang terjadi di wilayah perairan Bali. Data ini merupakan data awal hasil NOAA sehingga data ini masih dalam 3 harian.

(26)

Tabel IV.4. Anomali tahunan pada wilayah kajian No. Tahun Lama anomali

(3 harian)

Anomali tertinggi (0 C)

Perbandingan dengan Tabel III.1

1. 97-98 41 2,9 Bleaching Alert Level 1I

2. 2003 9 1,1 Bleaching Warning

3. 2004 8 1,5 Bleaching Alert Level 1

4. 2005 1 1,0 No Stress

5. 2006 9 1,8 Bleaching alert level 1

Pada Tabel dapat dilihat lamanya waktu anomali suhu untuk tiap waktu, dimana data anomali tersebut adalah 3 harian kecuali tahun 1997/1998 dalam mingguan. Pada tahun 1997/1998 sendiri kenaikan suhu lebih dari 10 C merupakan akibat el nino kuat yang terjadi di sebagian wilayah Indonesia ditambah dengan siklus kenaikan suhu yang terjadi pada akhir tahun. Untuk tahun 2003 hingga 2005 anomali yang terjadi tidak berlangsung secara simultan, dimana simpangan suhu laut tersebut berlangsung dalam bulan yang berbeda. Pada tahun 2003 dapat kita lihat anomali tertinggi adalah 1,10 C, sedangkan yang tertinggi adalah tahun 2006 sebesar 1,80 C dan pada saat ini anomali berlangsung secara simultan pada bulan Desember. Apabila dilihat dari data yang ada diatas (pembanding: Lampiran E). Untuk tahun 2006 sendiri data terumbu karang hanya sampai bulan Februari sehingga tidak dapat digambarkan hubungannya. Dari tabel juga dapat dilihat bahwa status terumbu karang pada saat kajian adalah no

stress hingga bleaching Alert Level I1.

Karena kerusakan karang yang terjadi akibat anomali suhu positif perairan dalam waktu yang berurutan, maka pada Tabel IV.5., akan diberikan deskripsi anomali yang lamanya lebih dari 2 minggu. Hal ini yang akan dikaitkan dengan tingkat stress yang terdapat pada Tabel IV.4., sehingga akan didapatkan kondisi sebenarnya dari terumbu karang yang ada di wilayah kajian. Perbedaan kedua Tabel ini terletak pada lama anomali yang terjadi dimana pada Tabel IV.5., merupakan data yang sudah

(27)

dibuatkan dalam mingguan sehingga mudah untuk dikomparasi dengan DHWmaps

yang dikeluarkan oleh NOAA.

Tabel IV.5. Lamanya waktu anomali

No. Lama (minggu) Tahun Anomali tertinggi

1. 41 1997-1998 2,9

2. 4 2003 1,1

3. 2 2004 1,5

4. >4 2006 1,8

Pada Tabel diatas dapat dilihat bahwa anomali terlama dan tertinggi nilainya pada tahun 1997-1998 sebesar 2,90 C dan pada saat ini juga terjadi El nino. Pada No.2 anomali terjadi pada bulan Desember tetapi tidak berlanjut pada awal tahun 2004. Tahun 2004 sendiri berlangsung hanya 2 minggu tetapi memiliki tinggi anomali 1.50 C. Untuk tahun 2006 sendiri kemungkinan lebih besar dari 4 dikarenakan kondisi anomali pada akhir tahun sebesar 1,80 C. Sebagai perbandingan kondisi tersebut, dukungan data oleh NOAA berupa DHWmaps yang diperlihatkan pada Gambar IV.15., dimana pada gambar tersebut menunjukkan wilayah-wilayah yang mengalami kenaikan suhu permukaan perairan yang lebih besar dari 10C. Anomali pada tahun 2006 terjadi pada akhir tahun tetapi dalam pembahasan tidak akan dikaji (dikomparasi) dikarenakan pada tahun 2006, pengambilan data hanya sampai bulan Februari.

4.2.2.1. Korelasi anomali dan tutupan karang tahun 1997/1998

Anomali pada tahun 1997-1998 yang berlangsung selama 41 minggu (Gambar IV.12. dan Tabel IV.5.), menunjukkan tingginya nilai anomali dan lamanya waktu terjadinya anomali. Gambaran awal persentase karang sebelum pengambilan I di Menjangan (lokasi 3,4,5,6) terjadi pemutihan 100% dan 25% cover area kembali dalam beberapa bulan yakni pada tahun 1998 (Wilkinson, 2000). Dari ke empat wilayah tersebut Pos 2 dan Labuhan yang memiliki persentase lebih kecil dari 25%. Penelitian tentang kerusakan karang pada tahun yang sama juga direcord oleh

(28)

organisasi Reefbase seperti yang tampak dalam Tabel IV.6. untuk wilayah Bali Barat dan sekitarnya.

Tabel IV.6. Lokasi bleaching beserta waktunya

Sumber: ReefBase, 2007

Dari Tabel tersebut dapat kita lihat bahwa hampir diseluruh wilayah yang ada di Bali mengalami pemutihan terumbu karang akibat kenaikan suhu muka laut dan termasuk yang tertinggi dari semua wilayah terumbu karang yang ada di Indonesia. Jika dibandingkan dengan tingkat kenaikan suhu yang terdapat pada Gambar IV.12., maka anomali mengakibatkan pemutihan yang sangat luas di wilayah kajian. Anomali yang terjadi seperti yang terlihat pada gambar tersebut mulai berlangsung pada tahun 1997, tetapi pemutihan yang terjadi dilaporkan pada tahun 1998. Hal ini menandakan bahwa lamanya waktu anomali mempengaruhi tingkat kerusakan karang. Wilayah terumbu karang yang berada di sekitar Bali juga mengalami pemutihan seperti Lombok dan Taman Nasional Komodo. Selain itu untuk wilayah diluar Indonesia,

bleaching terumbu karang juga terjadi di Palau dan Australia. Jika dilihat dari stress

lokal yang ada di kedua wilayah ini, maka terdapat kesamaan dalam masukan stress lokal yakni kegiatan pelabuhan.

4.2.2.2. Korelasi anomali dan tutupan karang tahun 2003

Dari analisis anomali suhu yang telah ada (Tabel IV.5.), maka selanjutnya dibahas persentase tutupan karang yang dikumpulkan selama 4 tahun (6 kali pengambilan), dimana pada tiap lokasi menunjukkan fluktuasi untuk hard coral cover. Data hasil pengumpulan data terumbu karang yang ada pada Lampiran B menggambarkan kondisi terumbu karang hingga tahun 2006. Pengambilan I pada bulan Oktober tahun

Lokasi Tahun Severitas Severitas

bleaching Keterangan

Bali 1998 3 Tinggi Pemutihan sangat merusak

Bali Barat 1998 3 Tinggi Umumnya soft corals terlihat

retak-retak.Bleaching berkisar 75-100%.

Banggai 1998 0 Tidak ada no bleaching

National Park, Bali 1998 3 Tinggi 75-100%

Bunaken 1998 0 Tidak ada no bleaching

(29)

2003 sebagai data awal persentase terumbu karang dan merupakan data awal yang detail setelah pemutihan pada tahun 1998.

Selanjutnya, untuk melihat korelasi antara kerusakan atau pertumbuhan karang terhadap anomali perairan dapat dilihat pada Lampiran G. Grafik ini secara spesifik menunjukkan fluktuasi anomali dan cover area terumbu karang pada tiap wilayah dari tahun 2003 hingga 2006. Secara spesifik, di wilayah BBNP pada waktu kajian dapat dilihat bahwa pada pengambilan I persentase terumbu karang untuk wilayah Mangrove hanya meningkat sebesar 9,80%, Pos 2 sebesar 18,68%, Kotal sebesar 24,70%, dan Labuhan Lalang sebesar 9,96%. Dari 10 lokasi di BBNP, Tanjung Gelap yang memiliki pertumbuhan terbesar dalam kurun waktu 7 tahun sejak tahun 1998.

Untuk tahun 2003 dimana anomali yang berlangsung selama 4 minggu pada akhir tahun dengan ketinggian anomali sekitar 1,10 C didapat adanya penurunan dan kenaikan untuk tiap spesies pada tiap wilayah baik di dalam maupun di luar BBNP. Jika dilihat dari kondisi anomali yang berlangsung pada tahun 2003 maka semua wilayah mengalami kenaikan cover area (Gambar IV.5., IV.6., dan Lampiran B). Untuk beberapa wilayah, tingginya peningkatan tutupan karang di wilayah Tanjung gelap dikarenakan oleh kenaikan 2 spesies yakni PBR dan PMS yang merupakan spesies low susceptibility. Kenaikan ini juga terjadi pada dua kedalaman yang diobservasi tetapi beberapa wilayah mengalami penurunan seperti Kotal, S.K.Tanjung, dan Pemuteran Timur.

Wilayah yang mengalami penurunan kuantitas spesies seperti untuk wilayah BBNP yakni Kotal turun sebesar 3,05% dan untuk wilayah yang berada diluar BBNP yakni Pemuteran Timur sebesar 23,30% dan di S.K Tanjung sebesar 2,33%. Wilayah Pemuteran Timur merupakan segment yang mengalami penurunan cukup besar. Hal ini juga dapat dilihat cover area antar waktu pengambilan yang digambarkan secara grafik untuk membandingkan kenaikan dan penurunan yang terjadi. Secara lebih detail dapat dilihat pada Lampiran B.2. Selain itu spesies yang mengalami

(30)

penurunan untuk wilayah Kotal adalah ACT dari 5,6% menjadi 1,57% dan MNT dari 21,8% menjadi 4,25% sedangkan spesies lain mengalami kenaikan. Penurunan ini terjadi pada kedalaman 10 m, sedangkan untuk kedalaman 3 m spesies yang turun drastis adalah PCL sebesar 4,480%. Wilayah di luar BBNP seperti di lokasi Pemuteran Timur yang menunjukkan penurunan adalah spesies SER dari 8,03% menjadi 1,77% dan MNT dari 6,79% menjadi 0,88%.

Jika dibandingkan dengan kerusakan karang yang terjadi di pulau Menjangan pada tahun 1997/1998 yang mengalami pemutihan 75-100%, maka untuk anomali yang berlangsung tahun 2003, terjadi kerusakan karang dalam skala kecil. Hal ini mungkin diakibatkan oleh kemampuan karang yang sudah dapat mengatasi anomali dalam skala rendah atau lebih kecil dari anomali yang terjadi pada tahun 1997/1998. Selain itu juga nilai dan lamanya anomali yang lebih kecil. Karang atau organisme lainnya mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan apabila kondisi lingkungan itu sudah pernah terjadi sebelumnya. Proses aklimatisasi kemungkinan sudah terjadi di wilayah kajian.

Analisis lebih lanjut dapat dilihat pada tiap spesies baik untuk low dan high

susceptibility seperti PMS (Porites-low susceptibility) yang mengalami penurunan

sebesar 8%, sedangkan untuk spesies lain mengalami kenaikan dan penurunan yang sangat kecil. Hal ini mungkin dikarenakan bahwa bleaching yang terjadi pada tahun 1998 belum mengalami recovery secara menyeluruh karena pengembalian ekosistem secara menyeluruh (ecology setback) bisa berlangsung selama bertahun-tahun.

Secara umum perbandingan observasi antara tahun 2003 hingga 2004 dalam tiap spesies jika terjadi anomali selama 4 minggu dapat dilihat pada Tabel IV.7. yang menggambarkan wilayah-wilayah yang mengalami penurunan untuk cover area. Untuk beberapa kasus terdapat kesamaan penurunan spesies sedangkan di wilayah lain tidak terjadi korelasi. Hal ini membuktikan bahwa untuk beberapa spesies

(31)

karang. Kejadian ini membuktikan bahwa terumbu karang sudah mempunyai cara untuk mengatasi perubahan iklim dalam skala rendah (<8 minggu).

Tabel IV.7. Penurunan untuk beberapa segmen 2003-2004

Pada Tabel diatas dapat dilihat secara detail penurunan di 3 wilayah yang menyebabkan penurunan. Total penurunan sebesar 45,0147% untuk keseluruhan segmen. Besarnya persentase penurunan ini diakibatkan oleh persentase beberapa spesies yang sangat besar seperti Mentiopora dan Porites yang merupakan spesies yang umum dijumpai di wilayah terumbu kaang. Namun secara keseluruhan untuk wilayah-wilayah yang dikaji mengalami kenaikan. Adanya penurunan yang besar untuk beberapa spesies karang yang termasuk dalam low susceptibility adalah akibat

No. Lokasi Spesies (kode) Penurunan (%) Low susc. High susc. Kedalaman (meter) 1. Kotal ACB FNG GAL OHC PCL PBR 0,0067 0,0670 0,2200 0,1200 4,4800 0,7770 + + + + + + 3 ACT FAV MNT PAV PCL 3,0300 0,5500 16,5500 0,4670 1,0770 + + + + + 10 Total 27,3447 2. Pemuteran Timur ACA ACB OHC PMS ACA FNG ACT 0,1870 1,5570 0,5300 6,2600 0,1730 0,2830 0,2130 + + + + + + + 3 MNT PCL 5,9100 1,5470 + + 10 Total 16,6600 3. S.K. Tanjung OHC PBR 0,0100 1,0000 + + 3 Total 1,0100 Total Keseluruhan 45,0147

(32)

lamanya pertumbuhan yang diakibatkan olah stress sebelumnya kemudian munculnya anomali lagi pada akhir tahun. Khusus untuk di Pemuteran timur pada pengambilan I untuk kedalaman 10 m persentasenya adalah 46,28% tetapi tidak ada data pada pengambilan ke-2 sehingga nilai perbedaannya sangat besar (Lampiran A).

Dari Tabel dapat juga dilihat di wilayah Pemuteran Timur hampir semua jenis

Acropora (ACA, ACB, dan ACT) mengalami penurunan walaupun tidak besar. Ketiga

jenis ini termasuk dalam high susceptibility, tetapi yang justru mengalami penurunan sangat besar adalah dari jenis low susceptibility yakni MNT (Mentiopora), PMS

(Poritees), OHC, dan Fungiid (FNG). Untuk wilayah BBNP, lokasi Kotal memiliki

penurunan yang terbesar yakni sebesar 27,3447% dengan spesies high susceptibility

antara lain : ACB, Pociloporid (PCL), dan ACT sedangkan untuk low susceptibility

yakni FNG, Galaxea, OHC, Porites (PBR), Faviid (FAV), MNT, dan PAV. Untuk wilayah yang berada di luar BBNP, di lokasi S.K Tanjung hanya terdapat 2 spesies yakni OHC dan PBR dan keduanya termasuk dalam low susceptibility. Banyaknya spesies low susceptibility yang mengalami grafik menurun berbanding lurus dengan jumlah spesies pada kedalaman 3 dan 10 m didominasi oleh spesies ini.

Pada beberapa wilayah BBNP terdapat penurunan spesies low susceptibility yang hampir sama seperti di Mangrove, Pos 2, Tanjung Gelap, dan Takad Saru (Gambar IV.18). Penurunan ini berkisar antara 8 hingga 12%. Kajian ini berdasarkan persentase low susceptibility yang mempunyai nilai lebih besar dari 50% pada pengambilan I. Dari keseluruhan segmen yang dikaji menunjukkan pada pengambilan II tidak terdapat penurunan yang signifikan untuk spesies jenis low susceptibility.

Namun di wilayah lain baik didalam maupun diluar BBNP umumnya pertumbuhan dan kerusakan terumbu karang berfluktuasi dimana kondisi ini bergantung pada banyak faktor seperti dominansi suatu spesies, luas wilayah yang ditempati suatu spesies, dan jenis spesies yang mendiami suatu lokasi.

(33)

Gambar IV.18. Penurunan low susceptibility untuk beberapa lokasi di BBNP.

Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa penurunan spesies low susceptibility tidak berbeda jauh untuk ke 4 lokasi yang diteliti. Penurunan 8% (terkecil) berada di wilayah Tanjung Gelap sedangkan 12% berada di wilayah Takad Saru dan Mangrove. Lebih lanjut dilihat terjadi kenaikan untuk spesies yang persentasenya berada dibawah 50% kecuali untuk Labuhan Lalang. Keseluruhan dari segment itu berada di wilayah Taman Nasional Bali Barat (BBNP). Berdasarkan penelitian yang dilakukan di India dan Australia, dimana spesies low susc. yang lebih tahan terhadap kenaikan suhu perairan tidak sama dengan kondisi yang ada di wilayah Bali. Hal ini menunjukkan banyaknya faktor-faktor lokal yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan karang itu sendiri.

4.2.2.3. Korelasi anomali dan tutupan karang tahun 2004

Pada tahun 2004, trend anomali air mengalami anomali dengan tinggi 1,50 C selama 2 minggu. Pada umumnya semua segmen mengalami kenaikan hard coral cover

tetapi ada dua wilayah yang mengalami penurunan yakni Labuhan Lalang (3,21%)

100% 56% 200% 44% Mangrove 100% 53% 200% 47% Tanjung Gelap 100% 56% 200% 44% Takad Saru 100% 55% 200% 45% Pos 2

(34)

dan S.K. Tanjung yang berada diluar BBNP sebesar 16,54%. Pada Tabel IV.8. diperlihatkan lokasi dan jenis spesies yang mengalami penurunan persentase.

Tabel IV.8. Penurunan untuk beberapa segmen 2004-2005

Pada Tabel diatas dapat dilihat bahwa penurunan terdapat 1 lokasi di BBNP dan secara detail untuk wilayah di luar BBNP terdapat 1 lokasi (S.K Tanjung) terjadi total penurunan 16,6600 %. Kejadian pada tahun ini hampir sama dengan tahun sebelumnya dimana anomali terjadi pada akhir tahun. Hal ini menandakan bahwa spesies terumbu karang sudah dapat mengadaptasi stress akibat kenaikan suhu hingga 4 minggu demikian juga spesies yang termasuk dalam high susceptibility dan low

susceptibility yang mengalami kenaikan. Dari total keseluruhan penurunan yang

terjadi pada tahun ini, maka pada dua wilayah yang dikaji terjadi penurunan sebesar 24,3770%. Penurunan ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan persentase pada tahun sebelumnya. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kemampuan adaptasi oleh terumbu karang yang semakin baik dari tahun ke tahun. Indikasi fisiologi yang sudah diteliti juga menunjukkan memungkinkan spesies low susc. lebih tahan merupakan kemampuan untuk mengatasi stress akibat peningkatan suhu, tetapi tidak faktor lokal (hasil aktivitas manusia).

No .

Lokasi Spesies (kode) Penurunan (%) Low susc. High susc. Kedalaman (meter) 1. Labuhan Lalang PCL PBR ACB 0,4670 3,0800 2,7200 + + + 3 FAV MNT SER 0,1070 7,0260 0,1200 + + + 10 Total 13,5200 2. S.K. Tanjung ACB FAV FNG GON LOB PBR 3,4540 5,0530 0,0400 1,6170 0,2530 0,4400 + + + + + + 3 Total 10,8570 Total Keseluruhan 24,3770

(35)

Selain itu, pengambilan antar waktu yang tidak mengalami anomali yang lebih dari 10 C dilihat fluktuasi karangnya. Pada pengambilan kedua dalam rentang waktu 7 bulan (Maret-Oktober 2004) tidak adanya anomali air yang lebih dari 10 C (Gambar IV.3.), tetapi untuk sebagian besar wilayah BBNP mengalami penurunan, sedangkan untuk untuk wilayah yang berada di luar BBNP mengalami kenaikan. Secara detail untuk wilayah BBNP segmen yang mengalami kenaikan adalah Wreck sebesar 2,58%, Kotal 1,26%, dan Tanjung Gelap sedangkan di wilayah luar BBNP hanpir pada semua segment mengalami kenaikan. Pada tahun ini sebenarnya apabila dilihat dari tiap spesies yang ada mengalami penurunan namun untuk beberapa spesies mengalami kenaikan yang sangat berarti sehingga nilainya melebihi jumlah penurunan yang terjadi di wilayah tersebut.

Spesies yang mengalami kenaikan adalah MNT dari 1,16% menjadi 6,213%, OHC 0,76% menjadi 5,627% sedangkan STY dari 0,773% menjadi 8,57%. kenaikan ini tidak terjadi pada kedalaman 10 m dimana kemungkinan bahwa spesies yang lebih muda berada di wilayah 10 m yang rentan terhadap stress lingkungan. Spesies pada Labuhan Lalang yang mengalami kenaikan sebesar 6,293% adalah MNT, 10,09% untuk spesies ACB, dan 4,953% untuk ACA (3 m). Grafik yang ditunjukkan untuk wilayah Tanjung Gelap mengalami kenaikan tetapi untuk wilayah tertentu mengalami penurunan seperti PBR turun dari 27,44% menjadi 16,73% dan PMS dari 22% menjadi 14,73% (10 m), sedangkan pada kedalaman 3 m juga diikuti oleh kedua spesies tersebut yakni 20, 35% untuk PMS dan 14,99% untuk spesies PBR. Secara umum untuk low dan high susceptibility di wilayah ini juga mengalami kenaikan baik untuk kedalaman 3 dan 10 m.

Pengambilan data pada Maret 2005 menunjukkan penurunan di wilayah Mangrove yakni MNT dari 8,5% menjadi 1,2%, PBR dari 35,4% menjadi 9,7% (PBR), 3,213% menjadi 0,067% untuk MNT (10m) sedangkan wilayah Utara Pulau yang mengalami penurunan adalah ACT (2,614%), FAV untuk 2 kedalaman (7,072%), dan PMS

(36)

sebesar 3,563%. Untuk Labuhan Lalang penurunan hanya sebesar 2% dan meliputi 2 spesies sedangkan pada umumnya spesies yang lain mengalami kenaikan. Wilayah Tabuhan penurunan sebesar 17,20% dan spesies yang mengalami penurunan adalah PBR (13,844%) pada dua kedalaman dan PBR turun dari 6,307% menjadi 1,99%.

Secara umum gambaran dari pengambilan I hingga akhir pengambilan mengalami kenaikan cover area (Lampiran B). Hal ini sejalan dengan anomali perairan yang mengalami trend menurun (Lampiran E). Anomali yang terjadi pada waktu penelitian menunjukkan bahwa anomali tidak lebih dari 4 minggu atau lebih keccil dari tahun 1998 sehingga terumbu karang pada umumnya sudah dapat beradaptasi. Pemutihan terumbu karang yang disebabkan oleh faktor lain adalah akibat pemangsa lain (Achancaster planci) atau yang lebih dikenal dengan CoTs (crown of thorns

starfish). Kondisi terumbu karang di Wreck telah dicatat sejak tahun 1996 dimana

Setiasih dkk,. (1999), mencatat adanya 7,65% coral cover pada tahun 1996 dan merupakan yang tertinggi dari 4 stasiun yang diteliti oleh Wijonarno (1996), selanjutnya hingga pengambilan terakhir pada tahun 2006 mengalami kenaikan yang signifikan yakni hampir mencapai 50%.

Wilayah kajian juga memiliki keragaman yang sangat luas dari persentase hard coral

(HCC). Pada daerah BBNP, menunjukkan bahwa HCC berkisar of 5,92% (mangrove) hingga 57,86% (Tanjung Gelap) sedangkan di wilayah Pemuteran: 16,9% (Pemuteran Timur) hingga 35,91%; Sumber Kima: 6,96% (Sumber Kima Tanjung) hingga 17,45% (Sumber Kima Takad), dan Tabuan: 20,64% hingga 32,52% sedangkan di wilayah Labuan lalang sebesar 4,517% dan 56,35% (Tanjung Gelap) at BBNP; 16,9% (Pemuteran Timur) dan 35,91% (Pemuteran Barat) di Pemuteran; dan 20,64% hingga 33,39% di wilayah Tabuan.

Selanjutnya pada data hasil Lampiran A, terdapat beberapa spesies yang mengalami kenaikan dan penurunan sangat drastis, yakni spesies PBR, ACB, dan MNT. Spesies PBR bahkan mengalami kenaikan sebesar 39,74% dalam satu setengah tahun di

(37)

Perbandingan persentase untuk beberapa spesies

Oct-2003 Mar-2004 Oct-2004 Mar-2005 Sep-2005 Feb-2006

Waktu -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 Pe rs e n ta s e PBR : Kelor ACB : Mangrove MNT : Pem. Timur FAV : S.K. Takad PCL : Lab. Lalang

wilayah Tabuhan dan kemudian turun lagi dari 58,09% ke 6,37% dalam 6 bulan, kemudian di Tanjung Gelap sebesar 35,79% selama satu setengah tahun. Spesies ini juga mengalami fluktuasi yang drastis di wilayah Batu Licin, Mangrove, Takad Saru, dan Kelor. Spesies ACB juga mengalami kenaikan yang sangat besar yakni dari 1,68% ke 30% dalam 6 bulan di Mangrove (Gambar IV.19), begitu juga dengan di wilayah S.K. Takad di kedalaman 10 m.

Gambar IV.19. Perbandingan persentase tiap spesies

Pada gambar diatas dapat dilihat perbandingan fluktuasi beberapa spesies di beberapa lokasi. Spesies PBR, ACB, dan MNT merupakan spesies yang mengalami kenaikan dan penurunan sangat drastis. Spesies lainnya seperti FAV dan PCL merupakan spesies yang mengalami fluktuasi tidak drastis yang diperbandingkan dengan ke tiga spesies diatas. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga spesies tersebut sangat rentan terhadap stress yang dialami.

Komparasi lainnya adalah pada saat tidak terjadi anomali tetapi terjadi fluktuasi tutupan karang baik didalam maupun diluar wilayah BBNP seperti yang terlihat pada lokasi Utara Pulau pada bulan Juni hingga Oktober dimana anomali perairan lebih

(38)

kecil dari 10 C namun persentase karang juga menurun. Hal ini mungkin diakibatkan stress lokal seperti yang telah dibahas diatas, dimana lokasi ini berdekatan dengan kegiatan pelabuhan yang mempunyai karakteristik sedimentasi yang tinggi. Demikian juga halnya dengan wilayah-wilayah lain. Jadi faktor lokal masih sangat berperan dalam kerusakan karang dibandingkan dengan parameter perubahan iklim untuk masa sekarang. Hal ini juga didasarkan pada masih rendahnya tingkat masyarakat dalam memahami konsep lingkungan.

IV.2.3. Prediksi kenaikan muka laut

Berdasarkan data SSH yang telah dikumpulkan dari tahun 1992 hingga 2007 yang terdapat pada Gambar IV.16., IV.17., dan Lampiran F menunjukkan bahwa untuk wilayah utara dan lokasi lainnya mempunyai nilai yang tidak jauh berbeda dengan rata-rata muka laut dalam 15 tahun rata-rata. Anomali ekstrem selama waktu kajian adalah pada tahun 1997-1998 dan pada saat ini juga terjadi anomali yang paling tinggi. Kenaikan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kenaikan kota Jakarta sebesar 0,75 cm pertahun. Perbedaan kenaikan ini disebabkan oleh bentuk topographi dari daratan pantai itu sendiri. Dari hasil data yang didapatkan satelit, pada jarak 0-150 m dari pantai ketinggian minimum adalah 3 m. topographi ini termasuk landai, sedangkan wilayah lain ada yang mencapai 20 m.

Jika mengacu pada tingginya kenaikan permukaan laut terhadap kelangsungan hidup terumbu karang, maka untuk 50 tahun mendatang, dengan rata-rata kenaikan per tahun adalah 0,7 cm (IPCC) maka hanya terjadi peningkatan sebesar 35 cm pada tahun 2058. Nilai ini sangat jauh dari kemampuan terumbu karang untuk bertahan hidup dimana kedalaman ekstremnya adalah 50 m. Oleh sebab itu kenaikan muka laut belum dapat dijadikan sebagai stress bagi terumbu karang.

IV.2.4. Stress level

Stress level berdasarkan nilai anomali perairan yang terjadi di wilayah kajian

(39)

kajian termasuk dalam kategori no stress hingga bleaching Alert level I pada tahun 2003-2006 dan bleaching alert level 1I yang terjadi pada tahun 1997-1998. Stress pada tahun 2003 hingga 2006 dialami oleh terumbu karang pada akhir tahun dimana anomali berlangsung 3 hingga 4 minggu secara kontinu. Kerusakan terumbu karang untuk tahun 2003-2006 relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 1997-1998. Proses aklimatisasi yang sudah berlangsung mengakibatkan terumbu karang tetap berkembang walaupun suhu mengalami peningkatan yang lama (anomaly). Stress ini menggambarkan juga ketahanan tiap spesies dalam menghadapi perubahan lingkungan seperti yang terlihat pada Gambar IV.19., dimana ketiga spesies (PBR, ACB, dan MNT) merupakan spesies yang sangat rentan terhadap tekanan lingkungan.

Apabila dibandingkan dengan pemutihan yang berada di Great Barrier Reef-Australia maka dengan suhu perairan yang mencapai kira-kira 300 C sudah menyebabkan pemutihan pada terumbu karang walaupun pada level bleaching watch sedangkan apabila melebihi suhu tersebut pemutihan berlanjut hingga bleaching alert level II. Komparasi ini digunakan karena wilayah ini mempunyai kesamaan dalam hal suhu perairan dimana selain lokasi yang sangat berdekatan pada lintang selatan (GBR), juga adanya persamaan dalam taxonomi spesies. Sebagai perbandingan, pada Gambar IV.20. dapat dilihat SST untuk wilayah GBR-Australia dari tahun 2002 hingga 2005.

Gambar IV.20. Hubungan SST dan bleaching untuk wilayah GBR (Sumber: GBRNRV, 2006)

(40)

Dari gambar dapat dilihat bahwa bleaching terjadi pada tahun 2003 pada bulan Desember dan pada bulan yang sama pada tahun 2004 tetapi intensitas indeks

bleaching pada tahun 2003 lebih besar dari tahun 2004. Untuk wilayah Bali sendiri

pada tahun 2004 pada bulan yang mengalami bleaching di GBR, nilai anomalinya berkisar antara 0,2 hingga 0,50 C pada bulan Maret. Jika dilihat intensitas bleaching

di wilayah GBR maka hal tersebut sesuai dengan intensitasnya yang besar pada bulan Maret. Pada gambar dapat juga dilihat pada bulan Januari 2004 terdapat suhu yang relatif sama dengan tahun 2003 tetapi tidak mengalami pemutihan. Proses aklimatisasi kemungkinan juga berlangsung untuk wilayah ini yang dapat dilihat terjadinya pengurangan indeks bleaching pada tahun berikutnya dengan nilai anomali yang sama pada tahun sebelumnya.

Kenaikan muka laut sendiri belum berpengaruh pada saat kajian dan untuk 50 tahun kedepan. Untuk SSH sendiri jika mengacu pada kenaikan per tahun oleh IPCC, maka untuk 50 tahun kedepan nilainya hanya mencapai 35 hingga 70 cm pada tahun 2058. Hasil trend SSH untuk wilayah kajian adalah penambahan 0,15 meter untuk 50 tahun kedepan Jadi kenaikan ini masih jauh dari kemampuan terumbu karang untuk melakukan photosintesis yakni pada kedalaman 50 m..

Kemudian Stress level yang belum dapat diidentifikasi tetapi muncul pada saat observasi adalah yang berasal dari pemangsa Achancaster planci (COTs) (Laporan WWF) dimana spesies ini mengakibatkan persentase HCC untuk tiap wilayah yang dikaji mengalami penurunan, seperti yang terlihat pada tahun 2005. Acahancaster

planci lebih menyerang spesies high susceptibility kemudian setelah sumber makanan

Gambar

Gambar IV.1.    Posisi BBNP yang termasuk dalam coral triangle (Sumber: TNC,   2007)
Gambar IV.2.  Lokasi wilayah kajian yang terbagi dalam 4 wilayah besar
Gambar IV.3.  Hasil  citra  Landsat Mission untuk wilayah kajian: Landsat 7 Path:
Tabel IV.1. Hasil LIT yang sudah dikelompokkan dalam berbagai level dan taxa.
+7

Referensi

Dokumen terkait

LIABILITAS DAN EKUITAS.. Lampiran 1a Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/30/DPNP tanggal 16 Desember 2011i. BANK Sandi Posisi Tgl.

Hal-hal yang mempengaruhi motivasi dan hasil belajar harus diketahui guru dalam menentukan metode atau model pembelajaran karena salah satu tugas mengajar sendiri adalah

Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata gain yang dinormalisasi &lt;g&gt; kemampuan memahami pada kelas eksperimen sebesar 0,70 dengan kategori tinggi sedangkan

peluang pembentuan iatan hidrogen antar dan intramoleul lebih bai daripada dalam rantai yang mengandung banya residu prolina% Pertimbangan ini

YULIANI, SADIAH dan WIDYA SARI Hari keenam pemasangan perangkap organik sudah terlihat perbedaan nyata dengan rata-rata tertinggi terperangkapnya hama walang sangit

Selain dari beberapa karya di atas, Fazlur Rahman pernah menulis artikel yang berjudul “Iqbal in Modern Muslim Thoght” Rahman mencoba melakukan survei terhadap

Retribusi Penyedotan Kakus yang selanjutnya dapat disebut Retribusi adalah retribusi sebagai pembayaran atas pelayanan penyedotan kakus/ jamban yang dilakukan oleh Pemerintah

tersebut memungkinkan pula pada penggunanya untuk memberi tanda bintang (rating) pada artikel- artikel ilmiah yang paling