• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 9 MODAL SPIRITUAL DI MONDO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 9 MODAL SPIRITUAL DI MONDO"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 9

MODAL SPIRITUAL DI MONDO

Bagaimanapun, mendefinisikan modal spiritual bukanlah hal yang mudah. Hal ini terjadi karena penghayatan spiritual berkaitan dengan kepercayaan kepada Yang Transenden, yang melampaui pemikiran manusia. Sejauh mana intensitas penghayatan spiritual seseorang tak dapat dilihat dan tak dapat diukur. Kenyataan yang dapat dilihat dari penghayatan spiritual adalah buah-buahnya yang muncul dalam perilaku sosial. Oleh karena itu, apa yang terjadi di Mondo sebetulnya adalah sebuah transubstansiasi dari penghayatan spiritual ke perilaku sosial yang melahirkan pembangunan. Dalam perspektif inilah penghayatan spiritual menjadi sebuah modal spiritual.

Oleh karena itu, diskusi dalam bagian ini hendak mengungkapkan konsep-konsep imajiner dalam tataran filosofis. Walaupun demikian, semua itu didukung oleh argumentasi teoritis dan fakta-fakta sosial lapangan. Berikut ini akan disajikan paparan-paparan yang dilengkapi dengan argumentasinya untuk menjawab tujuan penelitian.

(2)

MODAL SPIRITUAL KONTEKS MONDO

Hingga saat ini, cukup banyak penelitian mengenai modal spiritual maupun yang relevan dengan modal spiritual. Seluruh hasil penelitian itu memberikan konsep yang berbeda-beda mengenai modal spiritual.162 Ternyata, modal spiritual dalam konteks Mondo juga memberikan konsep yang berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu. Modal spiritual konteks Mondo merupakan nilai-nilai dalam penghayatan spiritual yang mewarnai pembangunan. Berikut ini akan disampaikan berbagai argumentasi teoritis dan fakta sosial di lapangan yang membentuk konsep tersebut.

Melalui penelitiannya di Jepang, Bellah (1992) mengamati bahwa ada nilai bakti kepada leluhur dalam Spiritualitas Konfusianisme. Penghayatan spiritual masyarakat terungkap melalui norma rajin, jujur, hemat, dan kerja keras yang ternyata memberikan dampak langsung terhadap kebangkitan ekonomi di Jepang. Tampak dalam hal ini ada keterkaitan antara nilai, norma, dan pembangunan. Beberapa penelitian lain juga menunjukkan keterkaitan yang sama seperti yang secara panjang lebar telah diuraikan dalam Bab I.

Tabel 3Penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara nilai, norma, dan pembangunan163 Peneliti (Tempat Penelitian) Spiritualitas (Nilai)

Norma Pengaruh dalam

pembangunan Weber

(Amerika Serikat)

Protestan (Keselamatan)

Kerja keras, hidup hemat, menabung Kebangkitan ekonomi Bellah (Jepang) Zen

(Kerja adalah suci)

Kerja keras dan ugahari Kebangkitan ekonomi Bellah (Yonezawa, Jepang) Konfusianisme (Bakti kepada leluhur)

Rajin, jujur, hemat, kerja keras

Kebangkitan ekonomi

Walaupun dalam penelitian-penelitian di atas tidak disebutkan istilah modal spiritual secara eksplisit, namun benang merah yang dapat ditarik dari seluruh penelitian tersebut, yaitu adanya keterkaitan antara spiritualitas dan pembangunan. Di dalam setiap spiritualitas tersebut ada nilai-nilai yang berkaitan dengan norma, yang pada akhirnya memberikan konsekuensi bagi pembangunan. Selain itu, masih banyak lagi penelitian yang mengaitkan modal

162

Sebagaimana yang dipaparkan dalam Bab I.

163

(3)

spiritual dengan nilai-nilai, antara lain Davies & Guest (dalam Flanagan 2007), Zohar & Marshall (2004), Zohar (2004), Beard (2007).164 Semua penelitian itu menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam penghayatan spiritual masyarakat dapat menjadi sebuah modal spiritual.

Berbagai fakta sosial di Mondo juga mendukung argumentasi bahwa modal spiritual merupakan nilai-nilai dalam penghayatan spiritual yang mewarnai pembangunan. Spiritualitas tradisional yang dihayati masyarakat Mondo menekankan pada penyembahan kepada leluhur serta kurban sesajian. Di dalam penghayatan spiritualitas tradisional tersebut ada nilai komunal karena kurban sesajian ini biasanya berupa binatang yang mewakili doa dan persembahan dari seluruh peserta ritual yang merupakan komunitas. Selain itu, penyembahan kepada leluhur juga mengandung nilai komunal karena para peserta ritual melakukan penyembahan dalam sebuah kekerabatan terhadap leluhur mereka.165 Khusus dalam konteks Mondo, para tetuanya menjunjung tinggi nilai-nilai keksatriaan dalam keseharian mereka. Hal ini tidak lepas dari penghayatan spiritual tradisional yang berpusat kepada leluhur. Para tetua Mondo menyadari leluhur mereka adalah para prajurit Riwu yang memiliki sifat-sifat ksatria sehingga berusaha menghidupkan terus nilai-nilai ksatria tersebut. Di sinilah tampak jati diri batin (Bilaniuk, 1982) orang Mondo yang menjadi citra dari leluhur mereka yang ksatria. Ini semua tidak lain merupakan ungkapan penghayatan spiritualitas tradisional Panga Waling atau tetua Mondo.166

Setelah spiritualitas kristiani yang menekankan nilai cintakasih memasuki Mondo, masyarakat menerimanya dalam perspektif spiritualitas tradisional mereka. Oleh karena itu, nilai cintakasih tetap diterjemahkan dalam nilai komunal dan ksatria karena sesungguhnya di dalam kekomunalan dan keksatriaan sudah terkandung nilai cintakasih.167 Dengan demikian, ada nilai komunal dan ksatria yang hidup di kalangan masyarakat Mondo hingga saat ini. Nilai-nilai ini mewarnai norma kekerabatan168 dan gaya kepemimpinan169 di Mondo, sehingga akhirnya memberikan kontribusi pula bagi pembangunan. Gaya kepemimpinan ksatria yang selalu membela komunitas atau kaum yang lemah ternyata dapat menggerakkan roda pembangunan karena mampu

164

Uraian lebih rinci mengenai penelitian-penelitian tersebut dapat dilihat pada Bab I.

165

Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab V.

166

Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab IV.

167

Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab VI.

168

Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada Bab VI, VII, dan VIII.

169

(4)

menggalang kerja keras penduduk yang hidup dalam kekerabatan. Dengan perkataan lain, gaya kepemimpinan yang diwarnai penghayatan spiritual tersebut memudahkan mengalirnya partisipasi aktif masyarakat. Pembangunan ini memiliki nilai yang signifikan, yang membuat Kampung Mondo berbeda dengan kampung-kampung lainnya. Pembangunan yang signifikan dalam hal ini bukan berujud sarana infrastruktur maupun kebangkitan ekonomi yang luar biasa tetapi lebih kepada pembentukan sebuah komunitas pembangun,170 yang pada akhirnya juga memengaruhi proses pembangunan.

Apabila didefinisikan secara umum, modal spiritual adalah nilai-nilai dalam sebuah penghayatan spiritual yang membuahkan norma-norma yang mewarnai terjadinya pembangunan yang signifikan. Hakikat dari modal spiritual orang Mondo tersebut merujuk ke jati diri batin Tu’a Golo Mondo yang memengaruhi seluruh komunitas. Jati diri batin Tu’a Golo Mondo ini muncul dari bagaimana ia mengidentifikasikan dirinya, yang tidak lain merupakan ekspresi keksatriaan leluhur dan relasi pribadi yang mendalam dengan Sang Pencipta. Apa yang menjadi jati diri batin Tu’a Golo akhirnya menjadi jati diri batin orang Mondo karena pengaruh kharismatis sang Tu’a Golo. Adapun pembangunan signifikan yang terjadi di Mondo tidak lain adalah pembangunan masyarakatnya sendiri yang mengkarakterkan mereka sebagai komunitas pembangun. Pada akhirnya, komunitas pembangun ini menggerakkan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pengalaman rohani yang dialami Tu’a Golo Mondo pada tahun 1994 menjadi titik awal terbentuknya modal spiritual di Mondo yang dapat dilihat secara nyata. Pengalaman rohani tersebut membuat Tu’a Golo Mondo mengajak warganya untuk ikut serta mengalami pengalaman rohani yang sama. Penghayatan spiritual yang baru ini rupanya memengaruhi perilaku sosial171 mereka pula sehingga nilai-nilai yang berkembang dalam penghayatan spiritual baru inilah sebetulnya yang menjadi modal spiritual Mondo saat ini. Dengan catatan, nilai-nilai yang berkembang itu tetap komunal dan ksatria namun hadir melalui penghayatan spiritual yang baru.

170

Gambaran mengenai komunitas pembangun dapat dilihat pada Bab II. Adapun argumentasinya dapat dilihat pada subbab mengenai komunitas pembangun di dalam bab ini.

171

Secara tegas Weber merujuk pengajaran-pengajaran Benjamin Franklin sebagai modal spiritual. Dalam konteks Mondo, modal spiritual itu berasal dari Tu’a Golo, namun bukan melalui pengajarannya melainkan lebih melalui teladannya dan kepemimpinannya yang membawa warga kampung sesuai dengan penghayatan spiritualnya. Misalnya, ketika ia mengajak warga kampung melebarkan jalan dari 4 m menjadi 7 m karena mendapatkan bantuan beras (lih. Bab VII).

(5)

SPIRITUALITAS

NILAI (MODAL SPIRITUAL)

NORMA KEKERABATAN DAN GAYA KEPEMIMPINAN

KOMUNITAS PEMBANGUN

PEMBANGUNAN

Bagan 15Modal spiritual konteks Mondo

Bagan 16 Jati diri batin Orang Mondo

Identifikasi Tu'a Golo:

Ekspresi keksatriaan leluhur dan relasi yang mendalam dengan yang transenden

Penghayatan spiritual Tu'a Golo - penghayatan spiritual orang Mondo

Nilainilai yang berkembang menjadi modal spiritual -bertransubstansiasi ke perilaku sosial

(6)

Kata “modal” seringkali dikaitkan dengan ekonomi dan kapitalisme (Berger and Hefner 2003, Keefer and Knack 2003). Konsekuensinya, sebuah nilai spiritual dapat dikatakan sebagai modal spiritual apabila memberikan kontribusinya secara signifikan dalam sebuah kebangkitan ekonomi. Walaupun demikian, dalam tulisan ini pengertian ekonomi tidak melulu diukur dari seberapa besar pendapatan masyarakat. Nilai-nilai dari sebuah spiritualitas dapat juga dikatakan sebagai sebuah modal spiritual ketika karenanya masyarakat yang tinggal di daerah orbitasi rendah terhadap pusat pemerintahan dan terancam terabaikan oleh pembangunan dapat tetap menggulirkan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraannya. Dengan caranya sendiri, mereka dapat mengatasi kemiskinannya dan menjadi sebuah komunitas warga yang cukup maju dalam segala keterbatasannya.

Walaupun cikal bakal modal spiritual sudah ada di Mondo sejak berdirinya kampung tersebut, namun semua itu belum bisa dikatakan sebagai modal spiritual selama belum ada pembangunan yang signifikan di Mondo. Pada saat masyarakat Mondo telah menjadi sebuah komunitas yang maju dan berbeda dibandingkan kampung-kampung lainnya, saat itulah nilai-nilai komunal dan ksatria di Mondo dengan tegas dapat dikatakan sebagai sebuah modal spiritual. Dari sini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa modal spiritual mengiringi perjalanan evolusi pembangunan yang terjadi di Mondo.

Modal spiritual di Mondo tertanam di dalam penghayatan spiritual warga Mondo dan bertumbuh seiring dengan berkembangnya Kampung Mondo. Oleh karena itu, modal ini tidak dapat dikatakan sebagai modal religius karena modal religius berkaitan dengan institusi agama. Meskipun, tak dapat disangkal bahwa institusi agama telah berkontribusi terhadap pembentukan modal spiritual di Mondo. Kesimpulannya, modal spiritual ini tertanam di dalam penghayatan spiritual masyarakat dan bukan di dalam institusi agama yang menaungi Mondo.

Berdasarkan paparan sebelumnya, modal spiritual konteks Mondo memiliki kekhasan karena mengaitkan pembangunan berbasis komunitas dengan kekerabatan. Selama ini, konsep-konsep modal spiritual yang sudah dinyatakan oleh para peneliti antara lain dikaitkan dengan budaya (Davies and Guest dalam Flanagan 2007), ekonomi dan politik (Zohar 2004), kegiatan karitas Gereja (Unruh and Sider 2005), ekonomi dan sosial (Sir John Templeton dalam Hardiyanto 2008, Woodburry 2003 dalam Hardiyanto 2008), sumber daya alam (Malloch 2003), komoditas religius yang dipandang bernilai (Finke

(7)

2003), modal sosial (Friedly 2001, Wortham dan Wortham 2007, Ramstedt 2008), dan civil society (Baker and Miles-Watson 2010).

Sumbangan lain dari tulisan ini berkaitan dengan nilai-nilai yang dihayati oleh orang Mondo. Sepintas lalu, nilai-nilai keksatriaan dan komunalitas serupa dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Jepang sebagaimana yang diteliti oleh Bellah (1992). Akan tetapi, sebetulnya ada perbedaan yang cukup mencolok. Nilai keksatriaan di Jepang dihayati oleh seluruh masyarakat, sementara di Mondo hanya oleh Panga Waling saja, dalam hal ini para tetua Mondo. Nilai ksatria samurai di Jepang mengandung semangat rela berkorban dan membela atasannya. Dalam hal ini, garis pembelaan berasal dari bawah ke atas, dari rakyat ke kaisar. Sebaliknya di Mondo, nilai ksatria mengandung semangat rela berkorban dan membela kaum yang lemah. Garis pembelaan dari atas ke bawah, yaitu dari Tu’a Golo ke anggota komunitas kampung. Justru dalam hal inilah nilai keksatriaan muncul sebagai sebuah modal spiritual karena mewarnai gaya kepemimpinan tetua Mondo yang akhirnya memberikan kontribusi positif dalam pembangunan.

Perilaku masyarakat Mondo yang mencirikan masyarakat kapitalis seperti kerja keras, melakukan investasi untuk masa depan, dan penghematan sekilas tampak seperti yang diuraikan oleh Weber dalam tulisannya Etika Protestan dan Kapitalisme (dalam 2003, 2006). Akan tetapi, ada perbedaan mencolok pula karena semangat kerja keras, investasi, dan hidup hemat masyarakat Mondo dilakukan dengan semangat komunal dalam sebuah pembangunan yang bersifat sosial, sementara yang terjadi di Amerika Serikat adalah semangat yang bersifat individual. Dengan demikian, tulisan ini memiliki posisinya sendiri jika dibandingkan dengan Bellah (1992) dan Weber (dalam 2003, 2006).

Cukup banyak penelitian yang mengaitkan modal spiritual dengan nilai-nilai (Davies & Guest dalam Flanagan 2007, Zohar & Marshall 2004, Zohar 2004, Beard 2007, Kenny 2007). Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut tidak mengaitkannya dengan norma dan gaya kepemimpinan. Padahal, nilai-nilai sebuah penghayatan spiritual adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat dan diukur. Apa yang terlihat dan dapat diobservasi adalah perilaku sosial yang seringkali dibimbing oleh norma dan gaya kepemimpinan. Dalam hal inilah tulisan mengenai Mondo hadir dengan perbedaannya, yaitu bahwa modal spiritual tak dapat dilepaskan dari norma dan gaya kepemimpinan yang menuntun perilaku sosial masyarakat.

Jaringan sosial di Mondo diikat oleh norma kekerabatan yang membuat penduduknya saling percaya satu sama lain. Norma kekerabatan di Mondo

(8)

berasal dari penghayatan spiritual masyarakat. Oleh sebab itu, dalam konteks Mondo penghayatan spiritual ada lebih dahulu sebelum modal sosial. Justru karena nilai-nilai dalam penghayatan spiritual Mondo membuahkan norma kekerabatan yang mengikat masyarakat menjadi sebuah jaringan sosial yang saling percaya, dalam hal ini modal spiritual melahirkan modal sosial. Apa yang dialami oleh masyarakat Mondo ini menjadi kritik terhadap teori Berger & Hefner (2003) yang mengatakan bahwa modal spiritual merupakan sub spesies dari modal sosial. Bagaimanapun, Mondo turut berpartisipasi menambah jajaran pendapat yang mengatakan bahwa modal spiritual dan modal sosial memiliki keterkaitan (Friedly 2001, Wortham & Wortham 2007, Ramstedt 2008, Baker & Miles-Watson 2010).

MODAL SPIRITUAL DI BALIK KEMAMPUAN MEMBANGUN

Keterkaitan Modal Spiritual dan Komunitas Pembangun

Melihat situasi Mondo yang terabaikan dalam pembangunan, rupanya nyaris nihilnya pembangunan fisik tidak dapat menjadi indikator bahwa tidak ada pembangunan di sana. Kenyataannya, masyarakat Mondo menjadi sebuah komunitas pembangun. Dalam hal inilah terjadi pembangunan, yaitu pembangunan masyarakat pembangun.

Masyarakat Mondo tampak sebagai sebuah komunitas yang hidup dalam kekerabatan dan persaudaraan, ada partisipasi aktif dari para warganya, menjalankan prinsip-prinsip keadilan, dan melakukan pembangunan yang berbasis lingkungan. Dengan demikian, kekerabatan mereka yang ada sekarang inilah yang menjadi komunitas pembangun. Ada beberapa fenomena yang menggambarkan masyarakat Mondo sebagai komunitas pembangun,172 dan ternyata semua fenomena tersebut berkaitan dengan penghayatan spiritual mereka.

Pertama, pendidikan masyarakat relatif lebih tinggi dibandingkan masyarakat kampung lainnya. Hal ini terjadi karena adanya sebuah motivasi spiritual yang terpusat kepada leluhur. Yoseph Majung173 sangat menekankan pendidikan kepada anak-anaknya.174 Dengan penghayatan spiritual yang terpusat kepada leluhur, Stefanus berusaha mewujudkan amanat orang tua ini.

172

Cerita lengkapnya dapat dilihat pada Bab III.

173

Salah satu leluhur Mondo.

174

(9)

Kemudian, banyak warga Mondo lainnya ikut berusaha pula menyekolahkan anaknya.

Kedua, pembangunan masih dapat bergulir secara swadaya lewat partisipasi aktif masyarakat. Penghayatan spiritual Stefanus sebagai ksatria yang memimpin perjuangan pembangunan tidak hanya di tingkat koordinasi namun sampai kepada tingkat aksi telah menggalang partisipasi aktif masyarakat yang dihidupkan oleh nilai komunal lewat penghayatan spiritualnya.175

Ketiga, perilaku ekonomi yang mementingkan investasi demi masa depan cukup tampak di Mondo. Menurut Gregorius Nahar, seorang anak wina Panga Waling, Monika Setia176 sering menekankan bahwa semua anak dan keturunannya harus giat bekerja. Perilaku Nggulung, Lupur, dan Yoseph Majung177 para leluhur Mondo yang cukup berani mengambil resiko demi prospek ekonomi yang lebih cerah juga mewarnai perilaku ekonomi warga Mondo yang penghayatan spiritualnya terpusat kepada leluhur ini. Belum lagi, adanya dua buah warung di Mondo merupakan hal yang cukup fenomenal karena menjadi satu-satunya kampung yang memiliki warung di seluruh Desa Golo Kantar. Menghapus upacara adat Penti di level Kampung Mondo juga merupakan sebuah keputusan yang kontroversial.178 Namun, dengan dihapusnya upacara tersebut berarti Mondo melakukan penghematan sekitar 30 hingga 40 juta rupiah per tahunnya. Penghematan ini mengandung motivasi spiritual pula. Stefanus mengungkapkan ia tidak sanggup membawa seluruh warga kampungnya jatuh ke dalam dosa dengan menyelenggarakan Penti yang melakukan pemanggilan arwah-arwah dan penyembahan kepada leluhur. Dengan perkataan lain, perilaku ekonomi warga Mondo yang mementingkan investasi masa depan cukup kelihatan, dan ini semua berkaitan erat dengan penghayatan spiritual mereka. Selain itu, keterlibatan aktif mereka sebagai anggota Gereja dan Komunitas Tritunggal Mahakudus pada kenyataannya telah

175

Stefanus sebagai pemimpin yang terjun langsung di dalam setiap pembangunan disaksikan langsung oleh penulis ketika pembangunan sarana air bersih dan pembuatan jalan ke tingkat telford. Hal ini diteguhkan juga dengan kesaksian warga.

176

Salah satu leluhur Mondo.

177

Nggulung dan Lupur berani mengambil resiko pindah ke tempat baru karena melihat prospek ekonomi yang lebih cerah. Sedangkan Yoseph Majung berani membagi-bagikan tanahnya kepada banyak orang agar lahan Mondo menjadi lebih produktif. Hal ini diungkapkan Stefanus yang mengatakan Yoseph Majung membutuhkan banyak sekali orang agar dapat membuat Mondo produktif. Kisah selengkapnya mengenai hal ini dapat dilihat pada Bab IV.

178

(10)

mengalirkan berbagai bantuan yang mendorong penggerakan pembangunan kampung tersebut. Dengan demikian, selain secara internal kekerabatan di Mondo merupakan modal sosial yang bersifat bonding, Mondo juga menciptakan bridging modal sosial dengan Gereja dan Komunitas Tritunggal Mahakudus yang berada di luar Mondo.

Keempat, dalam bidang politik warga Mondo juga memiliki kekhususan tersendiri. Sejak tahun 1999, mereka sudah melakukan demonstrasi dan resistensi. Ketika menceritakan hal ini, tampak ada sedikit kebanggaan dari para anggota keluarga Waling. Jika dahulu leluhur mereka memimpin perjuangan dalam medan pertempuran, kini mereka memimpin perjuangan dalam melakukan demonstrasi dan resistensi. Dalam hal ini, penghayatan spiritual mereka yang terpusat kepada leluhur turut mewarnai sikap dan tindakan mereka. Nilai ksatria yang tidak dapat terlihat oleh mata terungkap dalam ciri civil society yang dapat terlihat jelas dalam masyarakat Mondo. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa jati diri batin mereka sebagai seorang ksatria agaknya menjadi pendorong kuat sikap tersebut. Hingga saat ini, sikap warga Mondo yang menginginkan akuntabilitas dan transparansi pemerintah tetap tidak padam. Hal ini muncul sangat sering dari berbagai percakapan mereka.179 Adapun suasana perpolitikan internal kampung yang demokratis namun tetap dalam kekerabatan yang hirarkis akan dibahas secara khusus dalam subbab mengenai Demokrasi Kekerabatan.

Kelima, kelebihan warga Mondo lainnya adalah mereka cukup rapi dalam pengorganisasian dan administrasi. Hal ini memberikan konsekuensi yang baik pula terhadap lingkungan. Dalam sebuah wawancara, Feri Sehadung mengatakan bahwa tidak ada seorang pun anggota Waling yang mengerti mengapa dahulu Yoseph Majung sangat menekankan pendidikan, sesuatu yang sebetulnya tidak masuk akal karena pada zaman itu pendidikan belum dianggap penting oleh masyarakat setempat. Namun, kini mereka sangat bersyukur sudah mengenyam bangku pendidikan karena dapat menjadi bekal untuk memimpin Kampung Mondo. Feri merasakan adanya kebijakan profetis dari leluhur yang melihat bahwa zaman semakin lama semakin berkembang sehingga keturunannya harus sekolah agar selalu dapat selangkah lebih maju sehingga dapat mengorganisir dan memimpin kampung dengan baik. Contoh kerapian pengorganisasian yang berdampak positif terhadap lingkungan, misalnya penjadwalan keran air,180 pemeliharaan jalan yang dilakukan setiap minggu, dan

179

Bab III, Bab VII.

180

(11)

pemeliharaan bebatuan yang ditemukan selama penggalian jalan.181 Kerapian pengorganisasian ini berkaitan erat dengan prinsip-prinsip keadilan seperti misalnya dalam hal pembagian lingko, pembagian tugas kerja bakti, pembagian kesempatan pemakaian sarana air bersih, dan sebagainya.

Semua fenomena di atas itulah yang mendorong tulisan ini untuk mengatakan bahwa ada pembangunan yang signifikan di Mondo, pembangunan masyarakat yang terbentuk sebagai komunitas pembangun. Mereka dapat disebut sebagai komunitas pembangun karena segala kemiskinan dan keterbatasan yang ada relatif tidak membelenggu mereka untuk bebas meningkatkan kesejahteraan demi memenuhi kebutuhan mereka (Sen 2000:10-18). Sebagai sebuah komunitas, mereka memiliki kemampuan membangun di kampungnya. Selain itu, mereka dipandang sebagai komunitas yang maju jika ditinjau dari perspektif pembangunan di Indonesia. Pembangunan yang terjadi di Indonesia tampak berjalan di garis kapitalisme dalam bidang ekonomi dan demokrasi di bidang politik (Kompas, 6 September dan 17 September 2010). Di tengah suasana kampung-kampung Manggarai yang cenderung masih prakapitalis182, agraris, dan hirarkis, Mondo justru tampil dengan beberapa ciri kapitalis yang sudah memikirkan investasi di masa mendatang dan demokratis sebagaimana yang disebutkan di atas, walau tetap komunal dan agraris. Namun, di sinilah sebetulnya kekhususan Mondo. Walaupun ada ciri kapitalistik yang melekat dalam diri mereka, namun mereka tetap menjadi sebuah komunitas yang komunal dalam suasana kekerabatan yang kental. Di dalamnya berlaku nilai-nilai cintakasih, persaudaraan, partisipasi aktif warga kampung, dan pembangunan yang memerhatikan lingkungan. Ciri kapitalistik tidak memudarkan sifat pembangunan mereka yang sosial sebagai sebuah komunitas. Semua hal ini berkaitan erat dengan nilai ksatria sang pemimpin yang cenderung membela kepentingan rakyat atau kaum yang lemah dan nilai komunal yang tertanam di kalangan masyarakat Mondo.

181

Bab VII.

182

Masyarakat prakapitalis yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat yang masih hidup dalam sistem ikatan sosial asli, sistem suku tradisionil, kebutuhan yang terbatas dan sederhana, produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan dilakukan oleh keluarga sendiri, tidak menggunakan sarana jual beli untuk memenuhi kebutuhan, tidak ada keinginan untuk mencari laba, bersaing, berusaha bersama, berdagang, menghimpunkan modal dan mengembangkan industri, sikap memandang remeh dorongan ekonomi, mencampurkan dorongan ekonomi dengan dorongan agama, etika, sosial, dan nilai tradisional lainnya (Boeke 1982:28 dalam Warsito, Prihtanti, Hartono 2010). Walaupun perdagangan hasil kebun dan jual beli kebutuhan lain sudah mulai terjadi di Mondo, namun ciri-ciri masyarakat prakapitalis masih cukup dominan.

(12)

Dengan perkataan lain, modal spiritual konteks Mondo merupakan pertemuan antara nilai ksatria Tu’a Golo yang berinisiatif memimpin pembangunan dengan nilai komunal masyarakat yang terungkap lewat partisipasi aktif mereka. Oleh karena itu, pembangunan di Mondo sangat diwarnai oleh nilai ksatria dan komunal.

Bagan 17 Pola hubungan nilai-nilai Tu’a Golo dan masyarakat dalam pembangunan

Nilai-Nilai yang Menjadi Kekuatan Modal Spiritual

Modal spiritual di Mondo mewarnai komunitas pembangun di sana. Bagaimana hal ini terjadi? Pada mulanya penghayatan spiritual masyarakat Mondo merupakan penghayatan spiritual tradisional Manggarai yang menekankan nilai penyembahan kepada leluhur dan kurban sesajian. Pada kenyataannya, bersamaan dengan penekanan nilai pemusatan kepada leluhur ini ada nilai-nilai lain yang dominan di kalangan masyarakat Mondo, yaitu nilai ksatria bagi Panga Waling dan nilai komunal bagi seluruh warga Mondo. Nilai ksatria berkaitan dengan niat Panga Waling yang hendak melestarikan warisan leluhurnya yang menjadi ksatria Waling.183 Adapun nilai komunal berkaitan pula dengan niat hendak melestarikan warisan leluhur yang mengatur struktur sosial masyarakat sebagai masyarakat yang komunal dalam kekerabatan satu sama lain.184 Setelah spiritualitas kristiani memasuki Mondo, nilai-nilai yang menguat di Mondo ternyata tetaplah komunal dan ksatria. Hal ini terjadi karena sesungguhnya nilai cintakasih yang ditekankan oleh spiritualitas kristiani sudah terkandung pula di dalam nilai-nilai komunal dan ksatria. Maka, dengan mudah

183

Keterangan lengkapnya dapat dilihat dalam Bab IV.

184

Penjelasan lebih panjang lebar diuraikan dalam Bab VII dan Bab VIII.

• Nilai ksatria • Memimpin langsung

pembangunan

Tu'a Golo

• Nilai komunal • Kerja keras dan gotong

royong dalam koordinasi Tu'a Golo

Masyarakat • Nilai ksatria dan komunal

• Inisiatif Tu'a Golo bertemu dengan partisipasi aktif masyarakat

(13)

masyarakat Mondo menerjemahkan nilai cintakasih kristiani tersebut ke dalam nilai komunal dan ksatria. Dari sini, tampak bahwa sebetulnya local genius185 memainkan peranan penting ketika merespons unsur dari luar, dalam hal ini spiritualitas kristiani. Poespowardojo (1989:119) menyatakan bahwa local genius menjadi penentu dalam proses penerimaan yang positif terhadap pengaruh-pengaruh luar. Adapun yang terjadi di Mondo, proses akulturasi antara spiritualitas tradisional dan kristiani membuahkan integrasi yang memperkokoh budaya Mondo. Nilai cintakasih kristiani hadir dengan melegitimasi nilai komunal dan ksatria yang sudah ada di Mondo.

TRADISIONAL KRISTIANI

LOCAL GENIUS

PENGHAYATAN SPIRITUAL ORANG MONDO

Bagan 18 Penghayatan spiritual orang Mondo yang berasal dari integrasi dua spiritualitas

185

Local genius adalah sejumlah karakteristik kultural yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat sebagai hasil pengalaman kehidupan di masa-masa lampaunya. (Wales dalam Poespowardojo 1989).

(14)

Berikut ini adalah tabel beberapa contoh faktor yang menguatkan nilai komunal dan ksatria di Mondo.

Tabel 4Contoh faktor yang menguatkan nilai komunal dan ksatria

FAKTOR NILAI URAIAN

Leluhur Riwu yang berasal dari klan ksatria Ksatria Bab IV Sikap pengayoman terhadap kaum yang lemah dan

gaya kepemimpinan Panga Waling yang menghidupkan nilai-nilai ksatria leluhur

Ksatria Bab IV

Bab VII Mitos-mitos yang berkaitan dengan leluhur Panga

Waling

Ksatria Bab IV

Mitos-mitos yang berkaitan dengan kurban binatang Komunal Bab IV Upacara adat kelahiran yang memberikan nama leluhur

kepada anak yang baru lahir

Komunal Bab VIII

Upacara pernikahan yang memohon restu kepada anak rona ulu

Komunal Bab VIII

Upacara kematian yang memanjatkan doa untuk keselamatan semua orang yang hadir

Komunal Bab VIII

Ruang budaya di Mondo yang sesuai dengan warisan leluhur

Komunal Bab VII

Batu Naga yang menjadi lambang kekuasaan Panga Waling di Mondo dan mempersatukan warga Mondo di bawah Panga Waling

Ksatria dan Komunal

Bab IV

Perjamuan Ekaristi Komunal Bab V

Keanggotaan dalam Komunitas Tritunggal Mahakudus Komunal Bab VI Berbagai ajaran dalam Komunitas Tritunggal

Mahakudus

Ksatria dan Komunal

Bab VI

Bagaimana modal spiritual memberikan kontribusinya terhadap komunitas pembangun yang menggerakkan pembangunan di Mondo dapat digambarkan sebagai berikut:

SPIRITUALITAS TRADISIONAL (Nilai kepercayaan terhadap leluhur) SPIRITUALITAS KRISTIANI (Nilai cintakasih) GEREJA MODAL SPIRITUAL (Komunal dan Ksatria) NORMA KEKERABATAN & GAYA KEPEMIMPINAN MASYARAKAT PEMBANGUN PEMBANGUNAN 5

(15)

Adapun peran Gereja dalam hal ini selain memberikan kontribusinya dalam pembentukan modal spiritual Mondo, juga terkadang berperan langsung dalam pembangunan yang terjadi di Mondo, seperti misalnya pembangunan sarana air bersih, penanaman kayu, dan sebagainya.186

Berdasarkan model di atas dapat dilihat kontribusi tulisan ini terutama dalam teori pembangunan yang berbasis komunitas, sebagaimana yang pernah disebutkan sebelumnya. Ada cukup banyak teori yang membahas tentang pembangunan yang berbasis komunitas, namun jarang yang mengaitkannya secara langsung dengan modal spiritual (Summers 1986, Uphoff 1986, Adams 2001, Ife 2002, Singh 2006). Di lain pihak, penelitian tentang modal spiritual yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang transenden memang cukup banyak, baik yang secara eksplisit menyebutnya sebagai modal spiritual maupun yang tidak (Geertz 1977, Andreski 1989, Bellah 1992, Abdullah 1994, Weber dalam 2006, Chen dalam Alatas 2002, Unruh & Sider 2005, Ariyaratne dalam Yapa 2006). Akan tetapi, semua penelitian di atas membahas tentang spritualitas yang tunggal. Adapun tulisan ini memberikan sumbangannya lewat sebuah spiritualitas yang integratif karena merupakan perpaduan dari spiritualitas tradisional dan kristiani. Bahkan, sebuah penelitian (Neno, 2003) menyatakan bahwa mempersatukan kedua spiritualitas tersebut adalah hal yang sulit. Kenyataannya, local genius Mondo dapat menginternalisasi nilai-nilai kristiani sehingga terjadi pengintegrasian yang sempurna dan menghasilkan sebuah modal spiritual.

Selain itu, tulisan ini juga memberikan sumbangannya dalam melihat adanya keterkaitan antara modal spiritual dan kekerabatan. Sebetulnya ada banyak tulisan mengenai kekerabatan, namun jarang sekali yang menghubungkannya dengan modal spiritual (Davidoff 2005, Holtzman 2005, Jamieson 2006, Mohamed 2007, Ellison 2009, Johnson 2009, Samuels 2010). Padahal, kekerabatan merupakan hal yang nyata dan kelihatan dampaknya secara langsung terhadap pembangunan. Di lain pihak, modal spiritual adalah sesuatu yang tak dapat dilihat dan Mondo menunjukkan modal spiritual itu berada di dalam kekerabatan masyarakat Mondo. Oleh karena itu, melihat keterkaitan antara modal spiritual dan kekerabatan sebetulnya merupakan hal yang penting.

Dengan demikian, modal spiritual dalam konteks Mondo merupakan nilai-nilai yang berasal dari integrasi antara spiritualitas kristiani dan

186

(16)

tradisional. Nilai-nilai ini mewarnai komunitas pembangun yang disatukan oleh norma kekerabatan dan gaya kepemimpinan yang khas187 sehingga lahirlah pembangunan. Pembangunan utama yang terjadi di Mondo sebetulnya tidak lain merupakan pembangunan komunitas pembangun yang pada akhirnya dapat mengalirkan pembangunan fisik pula. Secara khas, tulisan ini hendak memberikan kontribusinya bahwa nilai komunalitas dan keksatriaan dapat menjadi sebuah modal spiritual yang mewarnai pembangunan berbasis komunitas.

Situasi Mondo yang terabaikan oleh pembangunan dari pemerintah rupanya tidak menghalangi masyarakat untuk terus menggulirkan pembangunan. Dalam hal ini, Mondo memenuhi teori Sen (2000) yang menyatakan bahwa pembangunan terjadi ketika masyarakat memiliki kebebasan untuk meningkatkan kesejahteraan demi memenuhi kebutuhan mereka. Yang menjadi kekhususan tulisan ini dibandingkan dengan teori Sen adalah bahwa kebebasan masyarakat Mondo ini sangat diwarnai oleh modal spiritualnya.

Beberapa tulisan mengenai modal spiritual tidak mengaitkan sama sekali dengan penghayatan spiritual kepada yang transenden. Akan tetapi, cukup banyak juga yang menghubungkannya dengan kepercayaan kepada yang transenden tersebut, walaupun ada yang secara eksplisit mengatakannya sebagai modal spiritual dan ada juga yang tidak (Geertz 1977, Andreski 1989, Bellah 1992, Abdullah 1994, Weber dalam 2006, Chen dalam Alatas 2002, Unruh & Sider 2005, Ariyaratne dalam Yapa 2006). Dalam hal ini, tulisan mengenai Mondo menambah jajaran panjang tersebut karena modal spiritual Mondo berasal dari penghayatan spiritual kepada yang transenden. Hal yang khas dari tulisan ini adalah penghayatan spiritual tersebut dapat berasal dari pemimpinnya yang kemudian secara kharismatis menjadi penghayatan spiritual pada level kampung. Secara sepintas hal ini mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat karena sang Presiden dapat memengaruhi penghayatan spiritual warganya (Meyer 2001, Weber dalam 2003, 2006, Zohar 2004). Perbedaannya dengan Mondo, relasi pribadi yang terjadi kemudian adalah tetap yang transenden dengan warga Mondo secara komunal sedangkan di Amerika Serikat relasi pribadi yang terjadi adalah antara yang transenden dengan individu. Kekomunalan penghayatan spiritual ini ditunjukkan lewat berbagai upacara adat dan kebersamaan dalam Komunitas Tritunggal Mahakudus.

187

Kekhasan gaya kepemimpinan orang Mondo dibahas dalam subbab tersendiri dalam bab ini.

(17)

Secara eksplisit tulisan ini juga mengangkat sebuah komunitas dari masyarakat komunal yang melibatkan orang-orang yang sudah meninggal dunia. Sebetulnya, cukup banyak tulisan yang membahas mengenai sebuah komunitas masyarakat yang masih kental dengan ritual adat dan penghayatan yang terpusat kepada leluhur namun tidak membahas mengenai jangkauan komunitas yang mencapai para leluhur (Foni 2002, Palekahelu 2010, Vel 2010).

WAJAH ORANG MONDO

Bagian ini hendak menggambarkan wajah orang Mondo dalam kaitannya sebagai sebuah komunitas pembangun. Secara umum wajah orang Mondo adalah wajah petani kristiani Manggarai. Hal ini jika dilihat dari profesi mereka pada umumnya dan penghayatan spiritual mereka. Dengan lebih konkret, wajah orang Mondo sebagai komunitas pembangun ditunjukkan lewat beberapa ciri, yaitu hidup dalam kekerabatan, ada partisipasi aktif warga, memiliki ciri modal sosial dan civil society, pembangunan berbasis lingkungan, dan terjalankannya prinsip-prinsip keadilan.

Gambaran wajah orang Mondo ini diperoleh melalui pendalaman seutuhnya mengenai orang Mondo. Bab-bab empiris yang telah diuraikan sebelumnya telah memberikan gambaran mengenai wajah orang Mondo tersebut. Namun, berikut ini akan dilakukan pembahasan agar diperolah gambaran wajah orang Mondo secara lebih dalam dan lebih utuh. Pendalaman ini akan dilakukan melalui perspektif sejarah, penelaahan mitos, penghayatan spiritual, simbol-simbol yang digunakan, kelembagaannya, kekerabatan, serta ciri modal sosial dan civil society yang ada di Mondo. Dalam menggambarkan serta membahas wajah orang Mondo dari waktu ke waktu, dinamika budaya yang mengiringi Mondo ternyata tak dapat dilepaskan begitu saja. Dengan demikian, tulisan ini sebetulnya tidak saja menggambarkan wajah orang Mondo, namun juga dinamika budaya Mondo, termasuk juga modal spiritual yang tertanam di dalamnya.

Perspektif Sejarah

Wajah orang Mondo cukup identik dengan wajah petani karena mayoritas penduduknya hidup dari bertani. Leluhur dari klan-klan yang ada di Mondo memiliki latar belakang yang bervariasi. Ada yang tukang kayu, pedagang, dan sebagainya. Namun, setelah sampai di Mondo semua pendatang itu menjadi

(18)

petani. Hal ini mengindikasikan Mondo merupakan padang luas yang subur dan memberikan hasil berlimpah dibandingkan daerah-daerah pegunungan yang kini termasuk wilayah Kabupaten Manggarai dan sekitarnya. Semua panga yang ada di Mondo berasal dari dataran tinggi dan memutuskan untuk hidup di dataran rendah Mondo yang jauh lebih panas namun tanahnya jauh lebih subur. Di sanalah mereka tinggal bersama dalam kultur dan ritme tahunan seorang petani yang hidup berkerabat satu sama lain. Bersamaan dengan itu, modal spiritual pun mulai bertunas di tengah komunitas Mondo.

Proses pembentukan modal spiritual di Mondo dimulai sejak sejarah terbentuknya kelembagaan masyarakat Mondo yang ada pada saat ini. Hal ini terjadi karena partisipasi individu dalam tradisi Mondo cukup banyak dipengaruhi oleh penghayatan spiritual mereka sehingga modal spiritual pun mulai terbentuk di Mondo sejak berdatangannya panga demi panga ke Mondo.188 Berger & Hefner (2003) mengungkapkan bahwa modal spiritual berkaitan dengan partisipasi individu terhadap tradisi spiritual. Jika disimak satu persatu, keterlibatan setiap panga yang ada di Mondo tidak lepas dari unsur kekerabatan.

Tabel 5Komposisi panga-panga di Mondo berdasarkan profesi awal, motivasi kedatangan, dan hubungan genealogis

PANGA PROFESI AWAL

MOTIVASI KE MONDO HUBUNGAN GENEALOGIS

Waling Ksatria sekaligus petani.

Ragok tempat asalnya terkena tulah sehingga perlu pindah untuk mempertahankan keluarga besarnya.

Anak wina dari orang Kantar yang memberikan tanah di kawasan Mondo.

Teber Petani kerja paksa zaman Jepang.

Mencoba kehidupan baru di tempat kerabatnya.

Anak wina dari Panga Waling di Mondo.

Wodo Petani kerja paksa zaman Jepang.

Mencoba kehidupan baru bersama kerabatnya.

Anak wina dari Panga Teber yang memutuskan menetap di Mondo. Pau Pengrajin kayu Kesulitan ekonomi di tempat

asal.

Semua keluarga dari Pau ada hubungan kerabat namun tidak ada hubungan kerabat dengan warga yang sudah di Mondo lebih dahulu.

Pada tahun-tahun selanjutnya, Panga Pau menjadi anak wina dari Panga Waling.

Poka Papalele Menikahi gadis Mondo. Menjadi anak wina orang Mondo karena menikahi gadis Mondo.

Carep Petani Tertarik dengan lahan luas di Mondo.

Adik ipar dari seorang Panga Teber di Mondo.

Sumber: diolah dari hasil wawancara

188

(19)

Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa motivasi migrasi rata-rata karena alasan ekonomi, kecuali Panga Waling karena alasan spiritual. Hal yang paling menonjol adalah bahwa ternyata unsur kekerabatan selalu ada di setiap panga. Oleh karena itu, langsung atau tidak langsung, migrasi seluruh panga dilandasi oleh penghayatan spiritual tradisional karena kekerabatan di Mondo berkaitan erat dengan penghayatan spiritual mereka yang berpusat pada leluhur. Berdasarkan tabel tersebut dapatlah dimengerti bahwa kekerabatan tidak terlalu sulit terjalin di Mondo karena banyak di antara mereka yang sudah berada dalam hubungan kekerabatan sejak awalnya. Namun, pada akhirnya kekerabatan itu menembus garis-garis panga dan mempersatukan seluruh warga Mondo. Adapun perilaku ekonomi untuk mencari kesejahteraan yang lebih baik rupanya sudah mulai tampak juga di antara para leluhur warga Mondo lewat keberaniannya melakukan migrasi.

Jika dilihat dari sejarah lahirnya Kampung Mondo, para pendatang bisa hidup dengan baik dan sangat taat kepada Panga Waling karena adanya semacam hutang budi. Kemurahan hati keluarga besar Waling dalam memberikan tanah dan kehidupan telah mengikat seluruh warga dalam kekerabatan yang kuat. Lebih-lebih ketika para pendatang itu tidak saja diberikan tanah melainkan juga dianggap sebagai keluarga, terbukti dengan sebutan panga bagi para pendatang. Padahal, di tempat-tempat lain istilah panga diberikan kepada keluarga besarnya sendiri yang menjadi sub klan dari klan tersebut. Itulah sebabnya, kekerabatan di Mondo tidak lagi semata karena hubungan darah karena seluruh pendatang sudah diterima sebagai keluarga oleh Panga Waling yang menjadi tuan tanah di Mondo.

Dengan demikian, ada tiga hal yang menonjol di balik cerita sejarah ini, yaitu migrasi para leluhur warga Mondo secara langsung maupun tidak dilandasi alasan spiritual yang berkaitan dengan kekerabatan dan ada kaitannya pula dengan kepentingan ekonomi. Dalam hal ini, nilai komunalitas cukup tampak di balik migrasi setiap panga karena keterkaitannya dengan kekerabatan. Kedua, kekerabatan plural dalam hal klan telah terjalin di Mondo sejak awal berdirinya kampung. Walaupun mereka berasal dari tempat yang berbeda-beda, namun mereka hidup dalam suasana yang komunal. Kelanggengan mereka yang hidup rukun secara komunal ini lagi-lagi karena penghargaan mereka terhadap pentingnya kekerabatan. Dengan perkataan lain, alasan spiritual tidak saja menjadi alasan migrasi leluhur Mondo tetapi juga menjadi alasan kelanggengan kerukunan hidup bersama secara komunal hingga saat ini karena kerukunan ini mereka warisi dari leluhur yang menjadi pusat

(20)

spiritual tradisional mereka. Sebagai catatan, kekerabatan ini tetap bersifat hirarkis karena bagaimanapun Panga Waling lebih superior sebagai tuan tanah. Ketiga, jiwa pengayoman Panga Waling yang bersifat ksatria masih tetap bertahan dan dapat dirasakan oleh warga Mondo dari waktu ke waktu. Adapun sifat ksatria yang dipertahankan Panga Waling juga mengungkapkan penghayatan spiritual tradisional mereka yang melestarikan warisan leluhur. Ketiga hal inilah yang kemudian sangat memengaruhi warna kepemimpinan di Mondo, serta mendorong partisipasi aktif warga dalam pembangunan karena adanya solidaritas sebagai satu kerabat.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian ini adalah bahwa ada dua nilai dalam penghayatan spiritual tradisional masyarakat Mondo yang berperan besar dalam pembentukan Kampung Mondo. Kedua nilai itu tidak lain adalah nilai komunal dan ksatria yang tertanam di dalam kelembagaan masyarakat Mondo. Adapun kelembagaan masyarakat Mondo dicirikan dengan norma kekerabatan yang diwarnai oleh penghayatan spiritual mereka. Dengan demikian, nilai komunal dan ksatria menjadi nilai-nilai spiritual yang berperan dalam pembangunan pertama di Mondo, dalam hal ini pembentukan Kampung Mondo. Selanjutnya, nilai-nilai ini mengiringi pembangunan-pembangunan di Mondo.

Penelaahan Mitos

Mitos-mitos yang hendak ditelaah di sini sebetulnya merupakan sejarah bagi orang Mondo. Namun, penelitian ini tidak bertujuan untuk membuktikan kebenaran sejarah tersebut. Hal penting yang ingin diketahui dalam penelitian ini adalah bagaimana peran cerita-cerita tersebut bagi masyarakat. Oleh karena itu, semua cerita yang sebetulnya merupakan sejarah bagi orang Mondo tersebut dalam penelitian ini disebut sebagai mitos. Dalam hal ini, mitos dipandang sebagai sebuah cerita, yang tidak dipertentangkan dengan kebenaran sejarah dan juga tidak harus merupakan cerita-cerita yang suci (Lévi-Strauss dalam Ahimsa-Putra, 2006).

Sebagaimana mitos, pembicaraan mengenai modal spiritual berarti juga pembicaraan mengenai hal-hal yang ada di dalam diri manusia namun tidak dapat terlihat dengan mata fisik. Mitos merupakan produk dari imajinasi atau nalar manusia sehingga tak dapat ditangkap oleh indera mata. Berdasarkan penelitian di Mondo, nampak bahwa ada keterkaitan yang erat antara mitos dan modal spiritual. Dengan mempelajari mitos, maka dapat dipelajari juga

(21)

penghayatan spiritual orang Mondo sehingga membantu dalam mengenali wajah orang Mondo seutuhnya. Menurut Lévi-Strauss, seperti halnya mimpi menurut Freud, mitos dapat juga mengekspresikan harapan-harapan manusia yang tak disadari, yang kadang tidak konsisten atau tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari (Leach 1974 dalam Ahimsa-Putra 2006). Walaupun demikian, mitos-mitos berikut ini menyajikan sebuah nilai yang jelas, yaitu nilai komunal baik dengan sesama yang hidup maupun dengan leluhur yang sudah meninggal dunia. Berikut ini akan ditinjau empat buah mitos yang berkaitan dengan mimpi. Mitos-mitos tersebut adalah:

 Lupur bermimpi mendapat pesan untuk pindah ke Ragok dan sebagai tandanya ia akan menemukan seekor kambing (Mitos 1).

Lupur bermimpi mendapat pesan untuk mendirikan mbaru gendang dan esoknya ia melihat seekor anak kerbau turun dari bukit (Mitos 2).

 Ema Belong bermimpi mendapat pesan harus memberikan persembahan anjing dan babi untuk mengusir hama semut (Mitos 3).

 Bernardus Lajang bermimpi harus kembali ke Mondo dan hidup berkebun (Mitos 4).

Dengan menggunakan pisau analisis struktural Lévi-Strauss (1978) maka diperolehlah tabel sebagai berikut:

Tabel 6Mitos yang berkaitan dengan mimpi

MITOS KURBAN

PERSEMBAHAN

TEMPAT TINGGAL KEBUN

Mitos 1 Kambing Pindah ke Ragok. Potensi hasil kebun lebih besar.

Mitos 2 Kerbau Mendirikan mbaru

gendang.

Memiliki mbaru gendang berarti juga memiliki lingko (kebun adat).

Mitos 3 Anjing dan babi Memapankan keberadaan di Mondo dengan selamatkan panen.

Mengusir hama semut untuk selamatkan panen.

Mitos 4 - Kembali ke Mondo Mencari nafkah dengan

berkebun di Mondo Sumber: hasil wawancara

Keempat mitos tersebut berkaitan dengan mimpi yang dipercayai sebagai pesan yang harus diikuti. Ketaatan tokoh-tokoh yang bermimpi dalam mitos tersebut terhadap pesan impian menunjukkan spiritualitas mereka yang percaya bahwa masih ada kuasa tak kelihatan di luar kuasa mereka yang wajib ditaati. Selain itu, setiap mimpi ini selalu berkaitan dengan tiga hal, yaitu binatang persembahan, tempat tinggal, dan kebun. Spiritualitas tradisional Manggarai menitikberatkan pada persembahan kurban hewan dan kepercayaan kepada leluhur. Tak mengherankan, dalam setiap mimpi itu selalu muncul binatang

(22)

yang dikaitkan dengan kurban. Keempat mitos itupun berkaitan erat dengan lokasi tempat tinggal yang meliputi sebuah teritori tertentu, dalam hal ini Mondo. Selain itu, unsur kebun juga tampak mewarnai setiap mitos. Dengan demikian, tampaklah bahwa masyarakat Mondo tak ubahnya seperti masyarakat Manggarai pada umumnya yang kehidupannya berpusat pada klan, mbaru gendang, dan kebun. Adanya kurban persembahan dan kepercayaan kepada mimpi berkaitan erat dengan klan patrilineal atau wa’u mereka. Hal ini terjadi karena sebetulnya kurban persembahan dalam setiap upacara adat bersifat mempersatukan seluruh klan mulai dari mereka yang masih hidup sampai dengan para leluhur mereka yang sudah meninggal dunia. Keseluruhan mitos tersebut menunjukkan nilai-nilai komunal yang kuat di antara mereka. Kekomunalan karena hidup bersama dengan pusat yang sama pula, yaitu klan, rumah adat, dan kebun.

Bagan 20 Pusat Kehidupan Tradisional

Selain itu, keempat mitos itu juga lagi-lagi menunjukkan masyarakat Mondo sebagai masyarakat yang cenderung tradisional sekaligus spiritualistis. Dikatakan tradisional karena bagi masyarakat tradisional, dunia adalah lingkungan hidup sejauh yang mereka kenal, yaitu dunia yang penuh dengan keteraturan bagi manusia yang mendiaminya, istilahnya kósmos. Di luar itu, yang ada hanyalah kekacauan, atau chaos, karena dunia belum dikonsekrasikan (Mircea Eliade dalam Susanto 1987:46). Oleh karena itu, jika ingin mendiami suatu tempat, masyarakat tradisional berusaha agar wilayah chaos itu diubah dulu menjadi kósmos. Usaha ini dilakukan dengan menghadirkan kembali pengulangan masa penciptaan yang disebut dengan istilah kosmogoni (Mircea Eliade dalam Susanto 1987:46). Kosmogoni ini dilakukan lewat upacara adat yang tujuannya menguduskan wilayah yang akan mereka diami. Dalam hal inilah mereka dikatakan spiritualistis. Itulah sebabnya, dalam mitos mengenai

KLAN

KEBUN

RUMAH

(23)

Lupur yang hendak pindah ke Ragok maupun mitos tentang amanat mendirikan mbaru gendang, selalu muncul kurban binatang. Kurban binatang ini diperlukan untuk melakukan upacara adat yang dapat menguduskan wilayah yang akan mereka diami.

Demikian juga pada saat-saat awal Kampung Mondo berdiri, muncul mitos mengenai panen yang digagalkan oleh hama semut. Solusi penduduk mempersembahkan anjing dan babi tidak lain merupakan proses kosmogoni. Hal ini perlu, mengingat di Mondo tidak ada mbaru gendang. Dengan perkataan lain, upacara adat yang harus dilakukan untuk mendirikan mbaru gendang tidak pernah dilakukan di Mondo. Padahal, pendirian sebuah kampung biasanya ditandai dengan upacara adat pendirian mbaru gendang. Mitos ini menjadi penting bagi orang Mondo karena walau mereka tidak memiliki mbaru gendang namun kosmogoni telah dilakukan. Ini dibuktikan dengan akhir cerita mitos, yaitu hama semut lenyap dan sejak itu kebun-kebun mereka menghasilkan panennya secara teratur, atau kósmos. Dengan demikian, walau mereka tidak mempunyai mbaru gendang, namun mereka tetap hidup secara komunal seperti layaknya masyarakat Manggarai lainnya yang mempunyai mbaru gendang.

Hal yang perlu dipertanyakan sehubungan dengan mitos hama semut ini adalah jika mitos tersebut berkaitan dengan kosmogoni, mengapa kejadiannya tidak di awal Kampung Mondo berdiri? Sebelumnya tidak pernah ada hama semut di Mondo walaupun keluarga Waling sudah diam di sana. Menurut mitos, peristiwa hama semut itu terjadi di tahun 1952. Adapun Panga Teber dan Wodo bergabung dengan Panga Waling pada tahun 1951. Mengapa kosmogoni ini tidak terjadi pada tahun-tahun sebelumnya ketika Panga Teber dan Wodo belum bergabung? Atau, mengapa tidak terjadi pada tahun 1951 ketika Panga Teber dan Wodo datang untuk pertama kalinya sebagai warga Mondo? Menurut cerita Panga Waling, mereka biasa menghidupi para pendatang untuk jangka waktu minimal setahun sampai para pendatang tersebut mempunyai hasil panen sendiri. Ini terjadi karena sejak dahulu sampai sekarang, tahun 2011, kebun-kebun di Mondo hanya menghasilkan panen setahun sekali. Ini berarti, tahun 1952 merupakan panen pertama warga Mondo yang terdiri dari Panga Waling, Teber, dan Wodo. Sebelumnya, Mondo hanya dihuni oleh Panga Waling. Dengan perkataan lain, mitos tersebut hendak menyatakan bahwa Kampung Mondo sebetulnya barulah dapat disebut sebagai kampung setelah dihuni oleh 3 keluarga dari Panga yang berbeda-beda. Pada saat Mondo menjadi sebuah kampung, saat itulah dibutuhkan kosmogoni. Namun, karena tidak ada mbaru gendang, upacara adat tersebut tidak dapat dilakukan. Oleh karena itu,

(24)

muncullah sebuah peristiwa hama semut yang dapat menghadirkan kosmogoni bagi Mondo di tahun 1952 tersebut, yaitu di saat pertama kalinya warga Kampung Mondo yang terdiri dari tiga panga mengalami panen. Ketika spiritualitas kristiani memasuki Mondo, mereka pun dengan mudah dapat menerima bahwa setiap rumah yang akan ditempati perlu diberkati oleh imam. Lagi-lagi, ini berkaitan dengan pengudusan atau kosmogoni. Oleh karena itu, kesamaan ini menjadi salah satu alasan pula yang membuat agama Katolik mudah mengakar di Mondo.

Khusus untuk mitos 1 dan 2 yang berkaitan dengan leluhur orang Mondo, ditunjukkan pula nilai ksatria dengan dorongan untuk membuka lahan baru dan pendirian mbaru gendang. Nilai ksatria dalam hal ini diwujudkan dengan keberanian mengambil resiko demi membuka sebuah kósmos baru yang konsekuensinya berarti menjadi pengayom dalam kósmos yang baru tersebut. Jiwa pengayom ini akrab dengan identitas seorang ksatria. Mitos kelima yang hendak ditelaah saat ini adalah cerita mereka mengenai asal mula berdirinya Kampung Mondo. Walaupun tidak secara eksplisit, namun kisah ini memunculkan nilai-nilai ksatria pula secara menonjol dari generasi ke generasi.

Tabel 7Sifat ksatria dalam diri Tu’a Wa’u menurut mitos di Mondo

GENE-RASI

NAMA SIKAP KSATRIA

1 Wer • Seorang Brambang Riwu, keberpihakan kepada yang lemah. 2 Ndujung • Seorang Brambang Riwu, keberpihakan kepada yang lemah. 3 Nggulung • Meninggalkan Waling walaupun di sana ia merupakan

pewaris utama. Pindah ke Kantar untuk mencoba kehidupan baru.

4 Lupur • Merintis pendirian Kampung Mondo. • Berkharisma besar dalam hal kepemimpinan.

5 Yoseph

Majung

• Ada keberanian untuk menikahi Puteri Dalu Sita yang status sosialnya jauh lebih tinggi.

• Memberikan tanah dan pengayoman kepada para pendatang, keberpihakan kepada yang lemah.

• Menekankan pendidikan dan kerja keras 6 Stefanus

Syukur

• Memimpin demonstrasi ke DPRD Ruteng. • Memimpin resistensi lewat pembangunan jalan. • Mengkoordinir berbagai pembangunan yang bergulir di

Mondo.

• Keberpihakan kepada yang lemah. Sumber: diolah dari hasil wawancara

Demikianlah nilai-nilai keksatriaan mewarnai gaya kepemimpinan tetua Mondo dari generasi ke generasi. Hal ini terjadi karena mereka percaya leluhur mereka berstatus ksatria dan mengalirkan darah ksatria tersebut kepada kaum keturunannya. Secara genetika darah ksatria ini mungkin tak dapat diturunkan

(25)

begitu saja. Namun, usaha mereka untuk bersikap ksatria lagi-lagi menunjukkan kepercayaan dan hormat mereka kepada leluhur sehingga berusaha melestarikan semua yang diwariskan leluhur kepada mereka. Dengan perkataan lain, usaha untuk bersifat ksatria merupakan buah dari penghayatan spiritual, jati diri batin yang mencerminkan citra leluhur. Demikianlah mitos-mitos yang berkembang di Mondo menunjukkan nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat, yaitu nilai komunal dan ksatria. Nilai-nilai ini lahir dari penghayatan spiritual mereka, yang pada akhirnya mengiringi pembangunan di Kampung Mondo.

Penghayatan Spiritual

Bagi masyarakat Mondo yang hidup secara komunal dan tradisional, dunia189 merupakan sebuah komunitas. Komunitas ini tidak hanya melibatkan anggota yang masih hidup namun menembus sampai ke dimensi lain tempat para leluhur yang telah meninggal berada. Kekomunalan ini mereka hidupi dalam sebuah dunia yang kosmos, teratur. Kondisi kosmos tersebut selalu dikaitkan dengan hubungan mereka terhadap Yang Transenden yang mengatur keharmonisan perputaran dunia mereka. Oleh karena itu, jika terjadi sesuatu yang tidak teratur seperti musim kemarau berkepanjangan, hama yang mengakibatkan gagal panen, dan sebagainya, mereka perlu melakukan suatu ritual yang ditujukan kepada yang transenden. Keadaan chaos ini dialami juga bila terjadi sesuatu yang baru dan mengubah anggota kekomunalan mereka, misalnya adanya kelahiran, pernikahan, dan kematian. Itulah sebabnya peristiwa-peristiwa tersebut juga senantiasa ditandai oleh ritual. Leach (1976:77) mengatakan bahwa setiap ritual berfungsi memproklamirkan perubahan status dan secara magis membawa orang yang bersangkutan kepada perubahan tersebut. Dengan demikian, dunia mereka kembali ke dalam kondisi kosmos setelah adanya perubahan tersebut. Tak mengherankan, ketika masyarakat Mondo memasuki kehidupan kristiani, dunia barunya pun tetap dipandang sebagai dunia yang komunal dan teratur. Apabila terjadi ketidakteraturan, ritual kristiani pun menjadi sarana mereka untuk kembali kepada kosmos. Selain itu, ketekunan mereka dalam doa tidak lain merupakan upaya untuk tetap mempertahankan dunia mereka dalam keadaan yang kosmos, yaitu teratur dan terjadi keharmonisan hubungan antara umat dengan Allahnya.

189

Sebuah penelitian etnografis berusaha untuk mengenali bagaimana dunia menurut subjek yang diteliti. Oleh karena itu, dalam tulisan ini diungkapkan bagaimana dunia menurut orang Mondo berdasarkan berbagai fakta empiris.

(26)

Kebersamaan masyarakat dalam beribadat kepada Wujud Tertinggi membuat mereka semakin terkonsolidasi sebagai sebuah masyarakat yang komunal. Hal ini terjadi karena peribadatan mereka selalu dilaksanakan secara bersama-sama yang melibatkan seluruh warga kampung dan dilakukan dengan cukup sering. Dalam beribadat, warga kampung memandang sesamanya sebagai “orang sendiri” yang tidak lain berarti anggota kerabatnya sendiri. Penghayatan spiritual tradisional dan kristiani Mondo mengajarkan hidup kekerabatan dan persaudaraan yang terwujud dalam komunitas. Pada akhirnya, kehidupan berkomunitas dalam beribadat semakin memperdalam penghayatan spiritual orang Mondo. Selain itu, penghayatan spiritual orang Mondo juga mewarnai gaya kepemimpinannya yang cenderung menjaga nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur dan diajarkan oleh iman kristiani. Demikianlah spiritualitas, kekerabatan dan gaya kepemimpinan, serta komunalitas, merupakan tiga hal yang berkaitan erat di Mondo.

Bagan 21 Hubungan antara penghayatan spiritual, kekerabatan dan gaya kepemimpinan, serta komunitas di Mondo

Oleh karena kekomunalan masyarakat Mondo mencapai para leluhur hingga Wujud Tertinggi, dalam kehidupan sehari-hari di dunia nyata pun masyarakat hidup secara hirarkis dalam sebuah struktur sosial yang telah mereka jalani turun temurun. Walaupun ada perbedaan status sosial, setiap orang dihargai sebagai bagian dari sebuah makrokosmos yang lebih luas. Penghargaan ini dimanifestasikan lewat status kekerabatan dan perannya dalam setiap ritual maupun kehidupan sosial.190 Dengan demikian, masyarakat

190

Penjelasan lengkapnya dapat dilihat pada bab-bab empiris yang menggambarkan peranan setiap orang sesuai dengan status sosialnya masing-masing dalam kekerabatan.

Penghayatan Spiritual

Kekerabatan dan gaya kepemimpinan Komunitas

(Leluhur yang sudah wafat dan warga yang

(27)

komunal yang tradisional memandang dunianya terdiri dari individu-individu yang memiliki status dan perannya yang khas, sekaligus juga memiliki hubungan tertentu dengan dirinya dalam sebuah kekerabatan. Pandangan dunia semacam ini justru membangkitkan toleransi dan solidaritas yang kuat satu sama lain. Dalam hal inilah nilai komunal menjadi kuat di Mondo. Mereka hidup sebagai sebuah komunitas karena dunia bagi mereka adalah sebuah komunitas.

Pandangan masyarakat Mondo mengenai dunia sebetulnya lahir dari penghayatan spiritual mereka. Sebuah spiritualitas yang dihayati secara turun temurun telah memberikan pengertian yang turun temurun pula kepada masyarakat komunal mengenai dunia yang mereka diami. Di Mondo, penghayatan spiritual terjadi karena adanya relasi yang terjalin antara komunitas dengan yang transenden. Relasi inilah yang menjadi kuncinya, tanpa relasi tersebut, penghayatan spiritual tidak akan terjadi. Yang ada hanyalah pengulangan ritual dengan motivasi non spiritual, misalnya demi kepentingan pariwisata, mempertahankan identitas, melestarikan tradisi, dan sebagainya. Dari cara orang Mondo memandang dunia sebagai sebuah komunitas, bisa disimpulkan bahwa nilai komunal cukup kuat tertanam di Mondo.

Adapun nilai ksatria muncul di kalangan Brambang Riwu yang mereka warisi secara turun temurun. Bahkan, setelah spiritualitas kristiani memasuki Mondo, nilai cintakasih kristiani mereka terjemahkan pula ke dalam nilai-nilai ksatria. Hal ini ternyata berpengaruh besar dalam penghayatan masyarakat Mondo. Pengalaman spiritual kristiani Panga Waling menyebar ke warga dari panga lainnya lewat kehadiran figur seorang ksatria Waling, dalam hal ini Stefanus yang berstatus sebagai Tu’a Golo.191 Dengan demikian, nilai komunal dan ksatria yang hidup di kalangan masyarakat Mondo mewarnai pembangunan komunitas masyarakat di Mondo. Itulah sebabnya dalam hal ini kedua nilai tersebut menjadi dasar dari modal spiritual Mondo.

Kesetiaan warga Mondo menjaga warisan leluhur dengan

mempertahankan upacara adat dan status kekerabatan secara adat, serta ketekunan mereka untuk berkumpul dan berdoa bersama secara kristiani menghantarkan pada sebuah interpretasi mengenai wajah masyarakat Mondo, yaitu wajah masyarakat yang spiritualistis. Selama penelitian dijumpai berbagai fenomena yang menunjukkan penghayatan spiritual masyarakat Mondo masih cukup kuat. Intensitas penghayatan spiritual masyarakat ditinjau dari terjalin

191

(28)

atau tidaknya relasi pribadi antara masyarakat dengan Wujud Tertinggi atau Yang Kudus. Manifestasi dari relasi ini kemudian terungkap di dalam kehidupan sosial mereka. Oleh karena itu, intensitas penghayatan spiritual masyarakat Mondo dapat dipelajari melalui ungkapan kehidupan sosial mereka. Beberapa unsur yang dapat dipelajari untuk mendalami penghayatan spiritual masyarakat Mondo, yaitu:

 Pemeliharaan tradisi warisan leluhur

 Simbol-simbol yang memenuhi kehidupan orang Mondo

 Mitos-mitos yang berkembang karena mengungkapkan daya nalar mereka yang spiritual

 Perilaku sosial yang tak lepas dari penghayatan spiritual

Pemeliharaan tradisi menunjukkan penghayatan spiritual mereka. Hal ini terjadi karena sebetulnya memelihara dengan baik semua yang diwariskan oleh leluhur menunjukkan kepercayaan dan hormat mereka terhadap leluhur. Dalam kepercayaan tradisional mereka, leluhur merupakan perantara antara manusia dengan Wujud Tertinggi. Setelah spiritualitas kristiani memasuki Mondo, doa-doa kepada leluhur memang tidak ada lagi. Namun, rasa cinta dan hormat kepada leluhur masih tetap terpelihara baik dengan usaha mereka melestarikan sistem kekerabatan dan berbagai upacara adat yang diwariskan oleh leluhur.

Yang transenden tidak dapat dilihat dan melampaui pengertian manusia. Walaupun demikian, warga Mondo percaya penuh akan keberadaan-Nya. Oleh karena itu, muncullah simbol-simbol yang menjadi sarana mereka untuk berhubungan dengan Yang Transenden. Adapun pengertian mereka tentang Yang Transenden diungkapkan pula lewat berbagai simbol yang mereka mengerti, misalnya Pencipta, Bapak, dan sebagainya. Oleh karena itu, beberapa acara dan ritual adat maupun ibadat kristiani mereka sarat dengan simbol yang menunjukkan penghayatan spiritual mereka.

Mitos-mitos yang berkembang di kalangan masyarakat Mondo seringkali menunjukkan adanya kepercayaan yang absolut terhadap mimpi-mimpi, yang mereka pahami sebagai pesan dari arwah leluhur yang patut dipatuhi. Selain itu, isi dari mitos-mitos itu pun semakin meneguhkan bahwa mereka merupakan masyarakat yang spiritualistis. Perlu diketahui, mitos-mitos yang dibahas dalam penelitian ini bukanlah mitos yang berlaku umum di Manggarai namun mitos-mitos yang khusus hanya berkembang di Mondo.

Adapun perilaku sosial mereka juga menunjukkan penghayatan spiritual mereka yang tinggi. Sejak awal mula Kampung Mondo berdiri, secara rutin dan

(29)

rajin masyarakat berkumpul bersama untuk melakukan berbagai ritual adat. Setelah spiritualitas Kristiani memasuki Mondo, mereka juga masih rajin berkumpul untuk berdoa baik secara kristiani maupun secara adat. Bahkan, setiap bulan Mei dan Oktober mereka berkumpul setiap malam untuk doa rosario bersama. Pada bulan-bulan lainnya, mereka berkumpul seminggu tiga kali untuk doa bersama. Praktik-praktik religius mereka masih selalu berkaitan dengan pergumulan hidup sehari-hari baik ketika mereka masih berdoa sesuai dengan aturan leluhur maupun setelah berdoa secara kristiani. Masyarakat yang seperti ini dengan sendirinya spritualistis karena bagi mereka kehidupan merupakan sebuah sakramen. Alam tidak murni natural tetapi sekaligus supra-natural karena alam merupakan manifestasi dari eksistensi nyata Yang Kudus. Mereka hidup dalam alam semesta yang berada di bawah pengaruh Yang Kudus sehingga bagi mereka realitas utama dalam kehidupan ini adalah Yang Kudus. Kekomunalan mereka justru semakin kuat lewat seringnya mereka berkumpul dalam kegiatan doa bersama tersebut. Perilaku sosial masyarakat dalam mempertahankan kekerabatan juga menunjukkan kespiritualistisan mereka. Hal ini terjadi karena kekerabatan merupakan warisan leluhur yang mereka hormati. Selain itu, adat istiadat juga memengaruhi perilaku sosial mereka.192 Adat-istiadat tak dapat dilepaskan dari penghayatan spiritual karena keteguhan masyarakat mempertahankan adat istiadat merupakan ungkapan penghayatan spiritual yang terpusat kepada leluhur.

Pada akhirnya, beberapa percakapan dengan masyarakat Mondo menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang memiliki penghayatan spiritual. Beberapa orang ibu sempat mengeluh bahwa sebagian besar uang mereka habis untuk adat. Namun, beberapa orang lain lagi mengakui bahwa walaupun miskin secara ekonomi mereka tetap tertolong karena peraturan yang diatur oleh adat istiadat. Lepas dari adat itu pemborosan atau justru perlindungan, yang jelas adat istiadat tidak lepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Cara berpikir mereka termasuk yang paling profan sekalipun mengenai ekonomi misalnya, tak lepas dari adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Penghayatan spiritual mereka yang masih terpusat kepada leluhur itulah yang memengaruhi perilaku sosial masyarakat yang tak lepas dari adat.

Pada tahun 1994 terjadilah sebuah pengalaman rohani193 yang dialami oleh pribadi Stefanus. Berhubung Stefanus adalah seorang Tu’a Golo yang

192

Gambaran lengkap mengenai hal ini dapat dilihat pada Bab VIII.

193

(30)

kharismatis, pengalaman rohani pribadinya ini memengaruhi penghayatan spiritual pada level kampung. Sebetulnya, tidak semua warga Mondo sepaham dengan Stefanus dalam hal penghayatan spiritualitas. Sebagian setuju dan mengikuti Stefanus, tetapi masih ada pula sebagian yang tetap menjalankan ritual adat dengan memanggil arwah-arwah dan penyembahan leluhur di dalam keluarganya masing-masing. Mereka yang sepaham dengan Stefanus rata-rata adalah anggota KTM yang sudah mengikuti retret dan mengalami sendiri kehadiran Allah dalam hidupnya. Buah nyata dari pengalaman spiritual yang dialami Stefanus dan para anggota KTM ini adalah terbebasnya mereka dari belenggu ketakutan akan kutuk dan keterikatan dengan leluhur yang berdampak negatif. Dari sisi pembangunan, keterbebasan mereka ini berarti penghematan biaya upacara adat yang biasanya cukup besar.

Lepas dari bagaimana penghayatan kristiani masing-masing warga Mondo, mereka semua sudah dibaptis secara kristiani. Oleh karena itu, tak terlalu sulit bagi Stefanus untuk memimpin upacara-upacara adat secara kristiani pula. Dan berhubung Stefanus adalah Tu’a Golo, maka semua upacara adat dalam level kampung diselenggarakan secara kristiani. Demikianlah wajah upacara adat di Mondo mengalami perubahan karena peran utama dari Stefanus. Hal ini ternyata berpengaruh pula terhadap kekerabatan di Mondo. Kini mereka menyadari sebagai bagian dari keluarga besar umat Katolik di dunia, sekaligus juga anggota dari keluarga besar KTM, sebuah organisasi yang berada di bawah payung Gereja Katolik. Pengaruh ini memberikan dampak dalam kekerabatan di Mondo. Kini mereka tidak lagi menjadi kerabat satu sama lain karena hubungan darah, perkawinan, atau tinggal sekampung, tetapi juga karena seiman. Kemudian, kekerabatan ini meluas lagi keluar Mondo dalam naungan keluarga besar kristiani. Dari sini tampak sebuah kelenturan dalam dinamika budaya Mondo, yaitu kala local genius Mondo menanggapi positif nilai-nilai yang masuk dan menginternalisasikannya menjadi nilai-nilai mereka. Awalnya, nilai utama dalam penghayatan spiritual tradisional mereka adalah penyembahan kepada leluhur dan kurban sajian yang membuahkan nilai komunal dan ksatria di kalangan masyarakat. Setelah spiritualitas kristiani yang menekankan nilai cintakasih memasuki Mondo, masyarakat menerjemahkannya ke dalam nilai komunal dan ksatria. Dalam hal ini, seolah spiritualitas kristiani semakin meneguhkan nilai-nilai yang sudah terkandung dalam spiritualitas tradisional. Setelah pengalaman rohani pribadi Stefanus, spiritualitas kristiani menjadi inti penghayatan spiritual masyarakat dan nilai yang hidup di tengah masyarakat tetaplah nilai ksatria dan komunal.

(31)

Bagan 22 Perjalanan penghayatan spiritual orang Mondo

Simbol yang Bersifat Spiritual

Kehidupan masyarakat Mondo dipenuhi dengan simbol-simbol. Simbol-simbol tersebut menjadi sarana yang menolong untuk menghantar mereka sampai kepada yang transenden, walaupun tak pernah dapat menggantikan yang transenden. Sebagai manusia yang memiliki indera-indera, simbol-simbol menjadi penting karena dapat menghubungkan mereka dengan yang tak dapat ditangkap oleh indera-indera mereka. Periuk Persembahan dan siri bongkok misalnya, melambangkan kepercayaan mereka kepada Wujud Tertinggi yang menaungi sebuah kelompok masyarakat yang bernaung di bawahnya. Dengan demikian, simbol ini menonjolkan nilai komunalitas mereka.

Selain itu, kekomunalan mereka ditunjukkan pula lewat simbol ayam, babi, dan binatang persembahan lainnya yang melambangkan doa dan persembahan seluruh komunitas. Kenyataannya, segala simbol dan ritual yang bersifat spiritual itu justru semakin mempersatukan mereka sebagai masyarakat yang komunal. Kekomunalan ini terbentuk lewat konsolidasi yang menguat dalam setiap tindakan ritual yang mereka adakan bersama.

Kekuatan komunalitas masyarakat Manggarai pada umumnya selain ditandai dengan adanya mbaru gendang bersama, juga adanya lingko atau kebun bersama, natas atau halaman bersama, waé téku atau sumber air bersama, dan boa atau kuburan bersama. Di Mondo memang tidak ada mbaru gendang, tetapi mereka hidup sebagaimana masyarakat Manggarai lainnya yang mempunyai mbaru gendang. Mereka hidup komunal dengan mengerjakan

Tahun 1950-an •Spiritualitas tradisional murni •Nilai ksatria dan komunal Sebelum 1994 •Spiritualitas tradisional diteguhkan spiritualitas kristiani •Nilai ksatria dan komunal Setelah 1994 •Spiritualitas kristiani dengan gaya tradisional Manggarai •Nilai ksatria dan komunal

(32)

bersama lingko-lingko di Mondo, mengadakan acara bersama di natas, mengambil air di sungai yang sama, dan memiliki boa bersama pula. Semua ini dihayati oleh masyarakat Mondo karena penghayatan spiritual tradisional mereka yang mempertahankan warisan leluhur. Oleh karena itu, nilai komunal menjadi kuat dalam komunitas tersebut.

Lingko, natas, waé téku, dan boa tidak lain merupakan simbol-simbol kebersamaan yang menunjukkan nilai komunalitas mereka. Tampaklah di sini bahwa yang menjadi pusat kehidupan tradisional masyarakat Mondo bukan mbaru gendang tetapi wa’u, dalam hal ini wa’u yang berasal dari Panga Waling. Mereka hidup secara komunal dan setia menjalankan berbagai upacara adat serta memiliki beberapa lingko. Adapun penggunaan sarana kebersamaan tersebut diatur oleh para ksatria Waling.

Hampir seluruh aktivitas budaya masyarakat Mondo yang sudah mengakar turun temurun berkaitan dengan simbol. Simbol-simbol tersebut memiliki makna kosmologis, mengandung rahasia dari struktur dunia yang tersembunyi di tempat persemayaman Wujud Tertinggi. Beberapa contoh akan ditampilkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 8Contoh simbol yang bersifat spiritual

Upacara Adat Simbol Makna

Perkawinan Leca194 Berkat untuk kedua mempelai.

Kelahiran Lampek195 Manusia akan mati pada akhirnya.

Kematian Haeng Nai196 Melepas keberangkatan arwah menuju dimensi baka. Sumber: diolah dari hasil wawancara dan observasi

Bagi masyarakat yang tradisional, simbol selalu bersifat spiritual karena menunjuk kepada sesuatu yang nyata namun tak dapat dilihat secara fisik. Mircea Eliade mengatakan simbol menjadi penghubung antara manusia yang hidup di dunia dengan Wujud Tertinggi yang berada di alam lain (Susanto 1987:63). Dengan perkataan lain, simbol mewahyukan realitas kosmologis atau realitas Yang Kudus. Dapatlah dipahami kini bahwa karenanya masyarakat Mondo merupakan masyarakat yang spiritualistis.

Ketika spiritualitas kristiani memasuki kehidupan warga Mondo, masyarakat masih menerimanya dalam perspektif penghayatan tradisional mereka. Oleh karena itu, integrasi antara kedua spiritualitas tersebut berjalan dengan baik karena masyarakat menemukan bahwa spiritualitas yang baru

194

Dalam bentuk kebaya dan kain songke untuk calon mempelai perempuan.

195

Dalam bentuk bilahan bambu untuk memotong tali pusat bayi yang baru lahir.

196

Gambar

Tabel 3 Penelitian yang menunjukkan keterkaitan antara nilai, norma, dan  pembangunan 163 Peneliti  (Tempat  Penelitian)  Spiritualitas (Nilai)
Tabel 4 Contoh faktor yang menguatkan nilai komunal dan ksatria
Tabel 5 Komposisi panga-panga di Mondo berdasarkan profesi awal, motivasi kedatangan,  dan hubungan genealogis
Tabel 6 Mitos yang berkaitan dengan mimpi
+3

Referensi

Dokumen terkait

reaksi hidrolisa enzimatik adalah 40 ˚C. Palm Oil Proc. Malaysia Int Sym. Palm Oil Proses Mark 291- 297),dimana pada suhu tersebut CPO meleleh sehingga reaksi hidrrolisa

Amaria, dkk (2007) melakukan penelitian adsorpsi Zn(II) dengan menggunakan biomassa Saccharomyces cerevisiae yang berasal dari limbah hasil fermentasi industri bir

23 Kerangka Acuan Kerja (KAK) Pengadaan Jasa Satuan Pengamanan Stasiun, DIPO & Kantor Tahun 2018 15 Tongkat T (Standard Polri) Warna Putih Anggota lengkap (sesuai jumlah

Menentukan gambaran umum, pikiran utama, informasi rinci tersurat, informasi tersirat, rujukan kata, makna kata/frasa/kalimat dalam teks berbentuk surat (letter)8. Menentukan

Pengawas ujian yang telah tercantum pada jadwal pengawas, dimohon hadir 20 menit sebelum ujian dimulai dan dapat melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab, bagi yang

Gula merah kelapa merupakan sumber penghasilan utama warga Desa Medono Kecamatan Kaliwiro Kabupaten Wonosobo. Adanya nilai ekonomis dari usaha pengolahan gula merah

Persamaan Unsur-unsur garis pada ke 3 Rumah Adat ini adalah pada susunan lantainya yang memanjang mempunyai arti luas dan lebar, di karenakan pada Rumah Adat

Sintesis Albumin sebenarnya dapat meningkatkan pada pasien dengan sirosis dengan ascites , mungkin karena perubahan tingkat koloid interstitial hati , yang dapat bertindak