Universitas Sumatera Utara BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Intensive Care Unit (ICU) 2.1.1 Definisi ICU
Menurut Rab (2007) dalam Pane (2010), ICU adalah ruang rawat di rumah sakit yang dilengkapi dengan staf dan peralatan khusus untuk merawat dan mengobati pasien dengan perubahan fisiologis yang cepat memburuk yang mempunyai intensitas defek fisiologis satu organ ataupun mempengaruhi organ lainnya sehingga merupakan keadaan kritis yang dapat menyebabkan kematian.
Bersten & Soni (2009) dalam bukunya yang berjudul “Oh’s Intensive Care Manual” menyebutkan definisi ICU yaitu suatu area di rumah sakit dimana dilengkapi oleh staf dan peralatan khusus yang tujuannya untuk memberi pertolongan pada pasien dengan penyakit, cedera, ataupun komplikasi yang dapat mengancam kehidupan.
ICU adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri, dengan staf yang khusus dan perlengkapan yang khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit akut, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa dengan prognosis dubia (Kepmenkes RI, 2010).
2.1.2 Klasifikasi ICU
Berdasarkan “Oh’s Intensive Care Manual” (Bersten & Soni, 2009) disebutkan bahwa ICU diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara oleh intensive care specialist. ICU ini membutuhkan adanya kebijakan dalam hal rujukan dan transportasi.
Tingkat II : Terdapat di rumah sakit umum. ICU ini memberikan pelayanan intensif yang tinggi, termasuk bantuan hidup multisistem (multisystem life support). ICU ini harus mempunyai petugas medis di tempat dan akses fasilitas farmasi, pathology, dan radiology setiap waktu dibutuhkan, tetapi tidak harus memiliki semua fasilitas terapi dan pemeriksaan (misalnya: radiologi, pelayanan bedah jantung). ICU ini terdiri dari kepala ICU dan konsultan. Sama seperti ICU tingkat I, ICU tingkat II juga harus memiliki kebijakan dalam hal rujukan dan transportasi.
Tingkat III: Terdapat pada rumah sakit tersier yang merupakan rumah sakit rujukan. ICU ini harus memiliki seluruh aspek yang dibutuhkan untuk pelayanan pasien yang dirujuk untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Staf yang dibutuhkan oleh intensivis adalah tenaga terlatih, perawat critical care, seluruh tenaga professional kesehatan dan staf ahli lainnya.
Sebagian literatur medis mengkategorikan ICU menjadi “open” dan ”close”. Analisis yang dilakukan oleh Groeger et al., open mengacu pada unit dimana setiap dokter dapat menulis perintah medis sedangkan close mengacu pada unit dimana hanya dokter ICU yang dapat menulis perintah medis. Penelitian lain menambahkan jenis ketiga dari ICU yaitu “transitional” (Brilliet al., 2001).
Universitas Sumatera Utara A. Kemampuan Pelayanan
Jenis tenaga dan kelengkapan pelayanan menentukan klasifikasi pelayanan di rumah sakit tersebut atau sebaliknya seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi pelayanan ICU berdasarkan kemampuan pelayanan
No. Kemampuan Pelayanan
Primer Sekunder Tersier
1. Resusitasi jantung paru 3. Terapi oksigen Terapi oksigen Terapi oksigen
4. Pemasangan kateter vena sentral
Pemasangan kateter vena sentral dan arteri
Pemasangan kateter 6. Pelaksanaan terapi
secara titrasi
Pelaksanaan terapi secara titrasi
Pelaksanaan terapi secara titrasi 7. Pemberian nutrisi
enteral dan parenteral
Pemberian nutrisi enteral dan parenteral
Universitas Sumatera Utara
No. Kemampuan Pelayanan
Primer Sekunder Tersier
8. Sumber : Kepmenkes (2010)
B. Ketenagaan
Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 Klasifikasi pelayanan ICU berdasarkan ketenagaan
No. Jenis Tenaga
Klasifikasi Pelayanan
Primer Sekunder Tersier
1. Kepala ICU
1. Dokter spesialis anestesiologi 2. Dokter spesialis
lain yang telah
1. Dokter spesialis sebagai
Universitas Sumatera Utara No. Jenis
Tenaga
Klasifikasi Pelayanan
Primer Sekunder Tersier
3. Perawat Perawat terlatih yang
1. Tenaga administrasi di ICU harus 5. Tenaga kebersihan 6. Tenaga rekam medik 7. Tenaga untuk
kepentingan ilmiah dan penelitian
Universitas Sumatera Utara C. Disain
Pelayanan ICU yang memadai juga ditentukan berdasarkan disain yang baik dan pengaturan ruang yang adekuat. Disain berdasarkan klasifikasi pelayanan di ICU dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut.
Tabel 2.3 Klasifikasi pelayanan ICU berdasarkan disain
Disain Primer Sekunder Tersier
Area pasien
Outlet oksigen Satu Dua Tiga tiap tempat
tidur
Vakum - Satu Tiga tiap tempat
tidur Stop kontak Dua tiap tempat
tidur
Ligkungan Air Conditioned Air Conditioned Air Conditioned
Universitas Sumatera Utara
Disain Primer Sekunder Tersier
Ruang perawatan + + +
Ruang staf dokter - + +
Ruang tunggu
keluarga pasien - + +
Laboratorium Terpusat 24 jam 24 jam
Sumber : Kepmenkes (2010)
D. Peralatan
Peralatan yang memadai termasuk kualitas maupun kuantitasnya sangat membantu kelancaran pelayanan di ICU. Peralatan yang tersedia pada masing-masing jenis ICU dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut.
Tabel 2.4 Klasifikasi pelayanan ICU berdasarkan peralatan
Peralatan Primer Sekunder Tersier
Ventilasi mekanik Standard (Sesuai jumlah bed)
Universitas Sumatera Utara
Peralatan Primer Sekunder Tersier
- Tekanan baji arteri pulmonalis (Swan
Pompa infus dan pompa
syringe +/+
Echocardiografi - Satu unit Satu unit
Peralatan portable untuk transportasi (ventilator +
monitor)
Universitas Sumatera Utara
Peralatan Primer Sekunder Tersier
Tempat tidur khusus ICU + (Sesuai jumlah bed)
+ (Sesuai jumlah bed)
+ (Sesuai jumlah bed)
Lampu untuk tindakan + (Minimal satu)
+ (Minimal
satu) + (Minimal satu)
Hemodialisis - Satu unit Satu unit
CRRT (Continuous Renal Replacement
Therapy)
- Satu unit Satu unit
Sumber : Kepmenkes 2010
2.1.3 Indikasi Masuk dan Keluar ICU
Apabila fasilitas sarana dan prasarana di ICU tidak cukup untuk menampung seluruh pasien yang ada, maka perlu adanya pemilihan terhadap pasien-pasien yang memang perlu penanganan dengan segera. Untuk itu perlu adanya kriteria ataupun indikasi pasien masuk ICU. Selain indikasi masuk ICU juga diperlukan adanya kriteria ataupun indikasi pasien keluar ICU sehingga pasien yang memang sudah tidak memerlukan penanganan lagi dapat keluar dari ICU dan digantikan dengan pasien yang memang lebih memerlukan pelayanan di ICU. Untuk itu, terdapat beberapa kriteria masuk dan keluar ICU yang telah dibuat oleh Kepmenkes (2010) yaitu sebagai berikut.
A. Kriteria masuk
Berdasarkan Kepmenkes (2010), pada dasarnya pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan gangguan akut yang masih diharapkan reversibel (pulih kembali). Pasien yang layak dirawat di ICU adalah:
1. Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care. 2. Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
Universitas Sumatera Utara 3. Pasien sakit kritis yang memerlukan pantauan kontinyu dan tindakan segera
untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
Namun, karena terdapat adanya keterbatasan dalam hal fasilitas di ICU, maka berlakulah tiga asas prioritas. Dalam keadaan yang terbatas, pasien yang memerlukan terapi intensif (prioritas satu) lebih didahulukan dibandingkan dengan pasien yang hanya memerlukan pemantauan intensif (prioritas tiga). Perlu diperhatikan bahwa dalam menentukan prioritas pasien masuk ICU sebaiknya ditentukan berdasarkan penilaian objektif terhadap berat dan prognosis penyakitnya (Kepmenkes, 2010).
Marik (2015) dalam bukunya yang berjudul “Evidence-Based Critical Care” menyebutkan bahwa terdapat empat prioritas dalam menentukan pasien masuk ke ICU. Prioritas pertama yang akan memberikan hasil yang sangat bermanfaat jika dirawat di ICU sedangkan prioritas empat tidak akan memberikan manfaat sama sekali jika dirawat di ICU.
a. Prioritas satu
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis serta tidak stabil yang memerlukan terapi intensif dan pengawasa yang tidak selalu tersedia di luar ICU. Contohnya pasien yang membutuhkan bantuan ventilator, pemberian infus obat vasoaktif yang diberikan secara titrasi terus menerus, dll (Marik, 2015). Suatu institusi juga dapat membuat kriteria spesifik misalnya derajat hipoksemia ataupun hipotensi dibawah tekanan darah tertentu. Pasien yang tergolong dalam prioritas satu, umumnya memerlukan terapi yang tidak mempunyai batas (Kepmenkes, 2010).
b. Prioritas dua
Universitas Sumatera Utara mayor (Marik, 2015). Sama halnya dengan pasien yang tergolong dalam prioritas pertama, pasien yang tergolong dalam prioritas dua juga memerlukan terapi yang tidak mempunyai batas. Hal ini disebabkan karena kondisi medis pasien golongan prioritas kedua senantiasa berubah (Kepmenkes, 2010).
c. Prioritas tiga
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis serta pasien tidak stabil status kesehatannya sebelumnya, yang disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya atau penyakit akut yang dapat mengurangi kemungkinan kesembuhan dan manfaat dari perawatan di ICU. Pasien ini dapat menerima perawatan intensif untuk mengurangi penyakit akutnya tetapi usaha dengan tujuan terapi diberhentikan sebentar misalnya untuk pemasangan intubasi atau resusitasi jantung paru. Contoh pasien pada prioritas tiga ini yaitu pasien dengan keganasan metastatik dengan komplikasi infeksi, pericardial tamponade atau obstruksi jalan nafas, atau pasien dengan penyakit jantung
atau paru pada stadium terakhir dengan komplikasi penyakit yang berat dan akut (Marik, 2015). Pasien yang tergolong dalam prioritas tiga mamiliki kemungkinan sembuh dan/ atau manfaat terapi yang sangat kecil (Kepmenkes, 2010).
d. Prioritas empat
Pasien pada prioritas empat ini merupakan pasien yang secara umum tidak tepat untuk masuk ICU. Indikasi masuk pasien ini seharusnya berdasarkan individu tersebut, pada keadaan yang tidak biasa, dan atas kebijaksanaan pimpinan. Pasien ini dapat digantikan apabila memenuhi kategori berikut: Manfaat perawatan di ICU sedikit atau bahkan tidak ada (dibandingkan
Universitas Sumatera Utara surgery, diabetic ketoacidosis dengan keadaan hemodinamik yang stabil, conscious drug overdose, mild congestive heart failure, dll. Pasien dengan penyakit terminal, penyakit yang irreversibel.
Contohnya: pasien dengan kerusakan otak berat yang irreversibel, irreversible multiorgan sistem failure, keganasan metastatik yang tidak
respon terhadap kemoterapi dan/ atau teapi radiasi, brain dead non-organ donor, pasien dengan keadaan vegetatif yang menetap, pasien yang tidak sadar secara menetap, dll.
Kelompok ini termasuk pasien yang menolak untuk dirawat di ICU dan/ atau monitor infasif dan lebih memilih perawatan yang aman saja. Kelompok ini mengecualikan pada pasien yang mengalami kematian batang otak tetapi akan mendonorkan organnya (pasien ini membutuhkan monitor infasif dan/ atau perawatan di ICU).
Prioritas yang disebutkan oleh Marik sama saja dengan prioritas yang disebutkan oleh Kepmenkes. Namun, terdapat sedikit perbedaan yaitu pembagian prioritas yang disebutkan oleh Marik terdapat empat prioritas sedangkan menurut Kepmenkes terdapat tiga prioritas ditambah satu kriteria pasien yang termasuk dalam pengecualian (yang merupakan prioritas empat menurut Marik).
B. Kriteria Keluar
Berikut ini beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk mengeluarkan pasien dari pelayanan ICU (Keputusan direktur jenderal bina upaya kesehatan, 2011):
a. Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil, sehingga tidak membutuhkan terapi atau pemantauan intensif yang lebih lanjut. b. Secara perkiraan dan perhitungan terapi atau pemantauan intensif tidak
Universitas Sumatera Utara 2.1.4 Informed Consent
Keputusan direktur jenderal bina upaya kesehatan (2011) menyebutkan bahwa sebelum masuk maupun keluar dari ICU, diperlukan adanya penjelasan kepada pasien dan/ atau keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan maupun prognosis penyakit pasien. Penjelasan tersebut akan dilakukan oleh kepala ICU atau dokter yang bertugas. Setelah mendapatkan penjelasan, maka pasien dan/ atau keluarga akan menentukan apakah akan menerima atau menolak tindakan yang dianjurkan oleh dokter. Kemudian pasien dan/ atau keluarga akan menandatangani suatu surat yang berisi pernyataan menerima ataupun menolak suatu tindakan yang dianjurkan.
2.2 Kematian 2.2.1 Definisi
Soenarjo et al. (2013) dalam bukunya yang berjudul “Anestesiologi” menyebutkan beberapa definisi kematian, yaitu :
A. Mati klinis atau mati somatis
Mati klinis ditandai dengan henti nafas dan jantung (sirkulasi) serta berhentinya aktivitas otak tetapi tidak irreversibel dalam arti masih dapat dilakukan resusitasi jantung paru dan kemudian dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi.
B. Mati sosial
Universitas Sumatera Utara C. Mati biologis
Mati biologis merupakan kelanjutan mati klinis apabila pada saat mati klinis tidak dilakukan resusitasi jantung paru. Mati biologis berarti tiap organ tubuh secara biologis akan mati dengan urutan : otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati. Hal ini disebabkan karena daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ terjadi secara tidak bersamaan.
D. Mati otak (mati batang otak)
Mati otak terjadi kerusakan irreversibel serebrum dan bagian otak lain termasuk batang otak. Pada kondisi ini refleks saraf otak negatif, tidak ada nafas spontan (karena pusat nafas terletak di batang otak). Mati otak terjadi karena hipoksia otak yang terjadi karena penurunan aliran darah otak.
Dalam penentuan mati otak (Brain Death Certification), hal pertama yang penting untuk dilakukan adalah menentukan adanya mekanisme spesifik yang mendahului sebelum terjadinya mati otak misalnya mengetahui adanya kerusakan struktur otak yang dapat dilihat dari CT atau MRI. Disamping itu, perlu disingkirkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran atau mengganggu penilaian kesadaran, seperti : syok, hipotensi, hipotermi < ℃ , ensefalitis, SGB (Sindrom Guillain-Barre), penggunaan obat-obatan (Soenarjo et al., 2013).
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan (tes klinis) berikut ini (Soenarjo et al., 2013):
1. Hilangnya fungsi otak/ serebral yang ditandai dengan : koma, syok, hipotensi, tidak ada respon terhadap rangsang, tidak bergerak.
Universitas Sumatera Utara Ketujuh tes fungsi batang otak tersebut yaitu:
a) Tidak ada respon terhadap nyeri.
Hal ini dilakukan dengan memberi tekanan pada supra orbita atau pada sternum dengan ibu jari. Positif jika tidak ada gerakan pada salah satu ekstremitas.
b) Pupil tidak respon terhadap cahaya.
Terlebih dahulu pastikan bahwa penderita tidak mendapat tetes mata antikolinergik sebelumnya. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengarahkan cahaya pada kedua pupil secara bergantian, lalu lihat respon pupil. Positif jika tidak ada kontraksi pupil pada kedua mata.
c) Tidak ada refleks kornea.
Tes ini dilakukan dengan menyentuhkan kornea dengan kapas basah. Jika tidak ada respon, maka coba beri tekanan dengan cotton bud basah secara hati-hati. Positif jika tidak ada kontraksi otot sekitar (musculus orbicularis oculi).
d) Tidak ada refleks okulo sefalik (doll eye reflex).
Tes ini tidak boleh dilakukan jika ada trauma vertebra servikal. Tes ini dilakukan dengan cara memegang kepala dengan tetap membuka kelopak mata lalu gerakkan kepala ke kanan dan kiri
ᵒ. Positif apabila mata tidak ikut bergerak walaupun kepala digelengkan (tetap terfiksasi).
e) Tidak ada refleks muntah dan batuk.
Universitas Sumatera Utara untuk menstimulasi trakea. Positif apabila tidak terjadi refleks muntah ataupun batuk.
f) Tidak ada refleks okulo-vestibular (caloric test).
Periksa telinga dengan otoskop untuk pastikan membrana timpani baik, naikkan kepala dari tempat tidur ᵒ masukkan dengan suction catheter 50 ml air dingin/ es pelan-pelan (selama 15-30
detik) ke dalam telinga. Perhatikan deviasi pupil kearah telinga yang sedang diirigasi, perhatikan selama satu menit. Tidak ada gerakan mata berarti tes positif.
g) Tes apneu.
Beri oksigen % selama 10-20 menit sebelum tes. Periksa analisa gas darah untuk menentukan PaCO2 dasar. Monitor ECG, tekanan darah, dan saturasi oksigen untuk memastikan tekanan sistolik di atas 90 mmHg dan saturasi oksigen di atas 90% selama tes berlangsung. Jika terjadi penurunan tekanan darah maupun saturasi oksigen maka ventilator harus segera disambungkan kembali. Beri insuflasi oksigen 6 liter/menit dengan suction catheter lewat pipa endotrakea, lepaskan hubungan dengan
ventilator dan amati adakah nafas spontan selama 5-8 menit, lalu periksa analisa gas darah lagi sebelum dihubungkan kembali dengan ventilator.
Universitas Sumatera Utara 2.2.2 Fase Kematian
Kematian dibagi menjadi dua fase (Soenarjo et al., 2013), yaitu :
a. Somatic death (Kematian somatik) merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda-tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun, dan tidak adanya aktivitas listrik otak dalam rekaman EEG.
b. Biological death (Kematian bioligik) merupakan fase kematian yang terjadi akibat lanjutan dari fase kematian somatik yang berlangsung dalam dua jam. Fase kematian ini ditandai dengan kematian sel.
2.2.3 Tanda-Tanda Kematian
Terdapat dua pembagian tanda-tanda kematian, yaitu tanda kematian dini dan tanda kematian lanjut (Soenarjo et al., 2013).
a. Tanda kematian dini:
1. Pernafasan berhenti > 10 menit. 2. Sirkulasi berhenti 15 menit. 3. Kulit pucat.
4. Tonus otot hilang.
5. Kornea kering dalam 10 menit.
b. Tanda kematian lanjut/ tanda pasti kematian: 1. Livor mortis (lebam mayat).
2. Rigor mortis (kaku mayat).
3. Algor mortis (penurunan suhu tubuh). 4. Dekomposisi (pembusukan).
5. Adiposera, lilin mayat. 6. Mummifikasi.
2.3 Prevalensi penyebab kematian di ICU
Universitas Sumatera Utara (Multiple Organ Failure/ MOF), cardiovascular failure, dan sepsis. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agalu et al. (2014), penyakit cardiovascular merupakan jenis penyakit yang paling sering masuk di ICU dan juga mempunyai angka kematian yang signifikan jika dibandingkan dengan jenis penyakit lainnya yang dirawat di ICU.
2.3.1 Gagal Organ Multipel (Multiple Organ F ailure/ MOF)
SOCCA (Society of Critical Care Anesthesiologists) pada tahun 2013, menyebutkan sindrom disfungsi organ multipel (Multiple Organ Dysfunction Syndrome/ MODS) atau gagal organ multipel (Multiple Organ Failure/ MOF)
sebagai suatu adanya perubahan fungsi organ pada beberapa sistem sehingga homeostasis tidak dapat dicapai tanpa intervensi (Birdi & Popovich, 2013).
Angka kejadian MOF di ICU pada populasi yang berisiko tinggi pada umumnya hampir sama atau setara di seluruh dunia yaitu 11%. Di Amerika Serikat, MOF didiagnosis pada 15-18% pasien yang masuk ke ICU. MOF merupakan penyebab kematian tersering pada pasien yang dirawat di ICU non-koroner (Herwanto &Amin, 2009).
Faktor risiko utama terjadinya MODS adalah sepsis dan Sistemic Inflammatory Response Syndromes (SIRS), beratnya penyakit (berdasarkan Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation/ APACHE II dan III), syok dan
hipotensi berkepanjangan, terdapat fokus jaringan mati, trauma berat, operasi berat, adanya gagal hati stadium akhir, infark usus, disfungsi hati, usia > 65 tahun, dan penyalahgunaan alkohol. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Offner dan Moore, Moore et al, dan Sauaia et al menekankan bahwa faktor risiko MODS pada pasien-pasien trauma meliputi transfusi darah masif, trauma abdomen mayor, dan fraktur multipel (Herwanto & Amin, 2009).
2.3.2 Heart F ailure
Universitas Sumatera Utara Excellence) (2014), HF merupakan suatu kondisi dimana jantung tidak mampu
memopa darah yang cukup untuk mencapai kebutuhan seluruh tubuh. Fauci et al. (2009) dalam bukunya yang berjudul “Harrison’s Manual of Medicine” menyebutkan bahwa definisi HF yaitu sebagai suatu kondisi dimana jantung tidak mampu untuk memompakan darah yang cukup untuk metabolisme jaringan atau jantung dapat memompakan darah tetapi hanya dari peningkatan tekanan pengisian yang abnormal.
Data yang diperoleh dari WHO (2012) dalam Widagdo & Karim (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 17 juta atau sekitar 48% dari total kematian di dunia disebabkan oleh penyakit cardiovaskular. Sekitar 5-10% risiko kematian Congestive Heart Failure (CHF) ringan dan pada CHF berat risiko kematian berkisar 30-40%. Berdasarkan AHA (American Heart Association) statistical update (Roger, Veronique L. et al., 2012) bahwa pada tahun 2008, satu
dari sembilan kematian di Amerika Serikat terjadi akibat HF. AHA juga memperkirakan bahwa sekitar delapan juta jiwa akan bertambah menderita CHF pada tahun 2030. Sekitar 5,1 juta orang di Amerika memiliki manifestasi klinis dari HF dan prevalensinya terus meningkat. Walaupun survival rate telah meningkat, namun angka mortalitas HF masih tetap tinggi yaitu sekitar 50% dalam lima tahun diagnosis. Pada penelitian ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities), angka kematian setelah tiga puluh hari, satu tahun, lima tahun dirawat di rumah sakit yaitu berturut-turut 10,4%, 22%, dan 42,3% (Yancyet al., 2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013 dalam Widagdo & Karim (2015), menunjukkan bahwa CHF merupakan penyakit penyebab kematian di Indonesia dengan kisaran angka 9,7% dari keseluruhan penyakit jantung.
Meskipun banyak kondisi yang dapat menyebabkan HF (coronary artery disease, hypertension, cardiomyopathy, valvular and congenital heart disease,
arrhythmias, pericardial disease, myocarditis, pulmonary hypertension, dan
cardiotoxic substance – termasuk alkohol), namun penyebab utama HF di negara barat adalah ischaemic heart disease (Mosterd & Hoes, 2007).
Universitas Sumatera Utara antihypertensi) lebih kecil daripada yang berhubungan dengan myocardiac infark, namun hypertensi memberikan kontribusi yang lebih sering terjadinya HF. Obesitas (body mass index>30 ��/�2) meningkatkan dua kali risiko terjadinya HF. Abnormalitas katup, penyakit jantung (hypertropi ventrikel kiri serta dilatasi ventrikel), riwayat keluarga HF, faktor risiko konvensional (merokok, diabetes, obesitas), dan juga gangguan ekstrakardiak (renal dysfunction serta penyakit obstruksi paru) juga akan meningkatkan risiko terjadinya HF (Mosterd & Hoes, 2007).
Manifestasi utama HF adalah dyspnea dan kelelahan yang dapat membatasi toleransi latihan dan retensi cairan, yang dapat menyebabkan terjadinya pulmonary congestion dan/ atau splanchnic congestion dan/ atau edema perifer (Yancy et al.,
2013). Gejala yang ditimbulkan pada HF berupa fatigue dan dyspnea akibat perfusi ke jaringan perifer yang tidak adekuat. Sedangkan akibat peningkatan tekanan pengisian intracardiac maka akan menimbulkan gejala berupa orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, serta edema perifer (Fauci et al., 2009).
2.3.3 Sepsis
Surviving Sepsis Campaign (SSC) mendefinisikan sepsis sebagai adanya
suatu infeksi bersama dengan manifestasi infeksi sistemik (Dellinger et al., 2013). Sepsis merupakan alasan yang paling sering digunakan di dunia untuk
dirawat di ICU. Dalam dua dekade terakhir ini, insidensi terjadinya sepsis di Amerika Serikat termasuk dalam sepuluh penyebab kematian tersering. Angka kejadian sepsis di Amerika Serikat yaitu sekitar 750.000 kasus setiap tahunnya dengan 225.000 diantaranya merupakan kasus yang fatal (Marik, 2011).
Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa dari tahun 1979 sampai tahun 2000, infeksi bakteri gram positif lebih sering menyebabkan terjadinya sepsis dibandingkan bakteri gram negatif. Namun, pada penelitian terbaru yang melibatkan 14.000 pasien di ICU di 75 negara, bakteri gram negatif dijumpai pada 62% pasien dengan severe sepsis, bakteri gram positif dijumpai pada 47% pasien, dan fungi dijumpai pada 19% pasien (Angus & Poll, 2013).
Faktor risiko terjadinya severe sepsis tergantung pada kecenderungan pasien terhadap infeksi dan juga terhadap kemungkinan terjadinya disfungsi organ jika terjadi infeksi. Terdapat banyak faktor risiko terjadinya infeksi yang paling sering mempercepat terjadinya severe sepsis dan septic shock, termasuk penyakit kronik (misalnya acquired immunodeficiency syndrome, chronic obstructive pulmonary disease, dan penyakit keganasan lain) dan penggunaan immunosuppressive agent
(Angus &Poll, 2013).
Sistemik Inflammatory Response Syndrom (SIRS) jika ditemukan dua atau
lebih dari tanda-tanda berikut ini :
Demam (temperatur oral > ℃) atau hypotermi (temperatur oral < ℃) Tachypnea (>24 kali/menit)
Tachycardia (>90 kali/menit)
Leukositosis (>12.000/µ L), leukopenia (<4.000/µ)