BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN
Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi
semakin meningkat, termasuk angka kejadian infeksi nosokomial. 1 Infeksi
nosokomial merupakan infeksi yang didapatkan ketika pasien dirawat di
rumah sakit dimana infeksi tersebut tidak dijumpai dalam masa inkubasi
pada saat pasien masuk. Infeksi yang tampak lebih dari 48 jam setelah
pasien masuk biasanya diduga sebagai infeksi nosokomial. 2 Pasien ,
petugas kesehatan dan keluarga pasien merupakan kelompok yang
beresiko mendapatkan infeksi nosokomial ini. Infeksi nosokomial
merupakan persoalan serius yang dapat menjadi penyebab langsung
maupun tak langsung kematian pasien 3 Salah satu bentuk infeksi
nosokomial yaitu Health-care Associated Infections (HAIs), yang
merupakan infeksi akibat intervensi pelayanan kesehatan. 4 Insiden
kejadian infeksi nosokomial di berbagai rumah sakit mencapai 9% (variasi
3-21%) dan 10 % diantaranya disebabkan oleh pelayanan kesehatan. 2
Salah satu faktor resiko yang meningkatkan penyebaran infeksi
nosokomial ini adalah faktor lingkungan dan pelayan kesehatan di rumah
petugas, pasien ke pengunjung maupun dari petugas kepada pasien.
Infeksi nosokomial ini, pada akhirnya dapat mengakibatkan kerugian
pada pasien, baik dalam bentuk perpanjangan masa rawatan maupun
menambahan biaya rawatan, bahkan mengakibatkan penyakit baru yang
lebih berat. 3
Di Amerika Serikat, “ Centers for Disease Control and Prevention”
memperkirakan sekitar 1,7 juta kasus infeksi nosokomial terjadi di US dan
sekitar sepertiga diantaranya dapat dicegah apabila petugas kesehatan
mengikuti pedoman bagaimana cara mengkontrol infeksi dirumah sakit. 1
Di Indonesia, kontrol terhadap infeksi nosokomial ini ditandai dengan
adanya Komite Pengendalian Infeksi Nosokomial disebagian besar rumah
sakit pemerintah, termasuk di antaranya Rumah Sakit Haji Adam Malik
Medan, Rumah Sakit Ciptomangunkusumo Jakarta, Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung, RSUP Sardjito Jokjakarta dan RSUP dr Soetomo
Surabaya dan Rumah Sakit Hasanuddin Makasar. 3
Lingkungan kerja pada pelayanan kesehatan memudahkan bagi
perkembangbiakan strain kuman yang resisten, yang bersumber dari
pasien, benda-benda kontak yang terkontaminasi dan udara.5 Infeksi
nosokomial merupakan resiko yang dihadapi oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit.1 Diantara sarana kesehatan, laboratorium merupakan
institusi dengan jumlah petugas kesehatan dan non kesehatan yang
cukup besar. Petugas laboratorium merupakan orang yang rentan
satu mata rantai penularan infeksi. Darah dan cairan tubuh merupakan
media penularan penyakit dari pasien kepada tenaga kesehatan .6
Profesi tenaga laboratorium sebagai salah satu tenaga kesehatan
merupakan garda terdepan dalam memberikan pelayanan kesehatan
kepada pasien secara kontak langsung maupun tidak langsung melalui
peralatan kesehatan yang digunakan. 6 Perpindahan bakteri dari petugas
kesehatan kepada pasien maupun sebaliknya dari pasien ke petugas
dapat melalui kontak langsung dan tak langsung. Dengan demikian
kepatuhan untuk melakukan pencegahan dan pengendalian secara benar
sangat membantu dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial. 3,6
Petugas rumah sakit yang sehat mungkin membawa strain kuman
resisten pada hidung dan kulit mereka, yang selanjutnya dapat
menyebarkan bakteri tersebut ke komunitas dan memicu penyebaran
infeksi lebih luas.3 Pekerja kesehatan, yang langsung kontak secara terus
menerus dengan pasien atau objek yang terkontaminasi, dapat
mengkontaminasi tangan mereka dengan organisme pathogen dan
menyebarkan organisme tersebut kepada pasien lain dan sebagian akan
bertahan sebagai nasal carrier dalam waktu yang lama.7 Pemeriksaan
spesimen dari petugas kesehatan jarang dijadikan sebagai suatu
pengukuran adanya infeksi nosokomial namun beberapa penelitian
menemukan bahwa screning dan eradikasi carrier nassal terutama
Terdapat berbagai mikroorganisme yang ditemukan pada cavum
nasi manusia yang sehat, antara lain Staphylococcus epidermidis,
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophylus spp,
Streptococcus pyogenes dan lain lain. Mikroorganisme tersebut dapat
mengalami kolonisasi didalam cavum nasi. Mikroorganisme ini kemudian
mengalami transmisi dari petugas terhadap pasien – pasien yang sedang
dirawat. 8 Pemeriksaan spesimen dapat dilakukan dengan swab di daerah
rongga hidung ataupun tangan petugas rumah sakit termasuk juga pada
petugas laboratorium.
Beberapa penelitian telah mengivestigasi insidensi pathogen yang
resisten pada petugas kesehatan di pusat-pusat pelayanan kesehatan.
Pada penelitian Annu et al, menemukan 79.5% dari petugas kesehatan
terdeteksi carrier terhadap Staphylococus pada cavum nasi dan kulit dan
9,5% nya adalah MRSA.9 Dan pada penelitian Naeem pada Holy Family
Hospital, menemukan 18,2 % petugas kesehatan terdeteksi carrier
Staphylococus.10 Prakash Sah et al, melakukan nasal swab pada petugas
berbagai bangsal beserta petugas kesehatan lainnya di National Medical
College & Teaching Hospital, Nepal, menemukan 20,37 % nasal carriage
S. Aureus dari 54 petugas kesehatan dan 45.5% diantaranya adalah
MRSA. Semua strain S. aureus yang ditemukan dihidung sensitive
terhadap Amikasin dan Vankomycin.11 Dan pada penelitian Mehrdad et al,
carrier Staphylococcus aureus dan tugas yang berkaitan dengan masalah
perawatan pasien meningkatkan faktor resiko terjadinya resistensi. 12
Kontrol terhadap infeksi, diaplikasikan secara langsung dengan
upaya pencegahan dan penurunan penyebaran penyakit infeksi yang
berakibat menurunnya insiden penyakit infeksi dan penggunaan antibiotik
dan selanjutnya dapat mengurangi terjadinya resistensi antibiotik.5
Kurangnya kebijakan kontrol terhadap infeksi paling banyak dilaporkan
berhubungan dengan faktor fasilitas pelayanan kesehatan yang
dihubungkan dengan peningkatan resiko terjadinya kolonisasi atau infeksi
organisme yang pathogen. 1,6 Termasuk diantaranya tingkat higiene yang
rendah, penggunaan sarung tangan, etika batuk , dan alat pelindung diri.
Faktor lainnya yang berhubungan dengan fasilitas yaitu penempatan
petugas (rotasi petugas, perbandingan jumlah pasien – petugas yang
tidak sesuai dan petugas yang tidak profesional) serta minimnya fasilitas
kebersihan dan ventilasi rumah sakit .6,11 Oleh karenanya screning
terhadap petugas kesehatan sebaiknya dilakukan secara reguler,
khususnya untuk menilai kolonisasi organisme pathogen pada petugas
kesehatan. 12,13
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik melakukan
penelitian untuk mengetahui profil kuman dan sensitivitas antimikroba
pada petugas laboratorium di unit Patologi Klinik Rumah Sakit Haji Adam
Malik Medan, dan membedakannya antara yang kebangsal dengan yang
sehingga data tersebut dapat menjadi acuan bagi unit Pengendalian dan
Penggulangan Infeksi (PPI) dalam hal pencegahan dan mengelola
infeksi nosokomial.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
Apakah terdapat perbedaan profil kuman dan sentisitivitas
antimikroba terhadap flora di kavum nasi pada petugas laboratorium di
Unit Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan antara yang bekerja ke
bangsal dengan yang tidak ke bangsal.
1.3 HIPOTESA PENELITIAN
Terdapat perbedaan profil kuman dan resistensi antimikroba pada
flora dicavum nasi petugas analis di unit Patologi Klinik RSUP H. Adam
Malik Medan antara yang bekerja ke bangsal dengan yang tidak ke
bangsal.
1.4 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan Umum :
Untuk mengetahui perbedaan profil kuman dan resistensi
Unit Patologi Klinik RSUP HAM yang bekerja kebangsal dengan yang
tidak ke bangsal.
Tujuan Khusus :
1. Untuk mengetahui pola kuman dan sensitivitas antimikroba pada
flora kavum nasi petugas laboraturium yang bekerja kebangsal.
2. Untuk mengetahui pola kuman dan sensitivitas antimikroba pada
flora kavum nasi petugas laboraturium yang tidak bekerja ke
bangsal.
1.5 MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang ingin didapat dari penelitian ini adalah untuk
mendapatkan profil kuman dan sensitivitas antimikroba terhadap flora di
kavum nasi pada petugas laboratorium di Unit Patologi Klinik RSUP Haji
Adam Malik sehinggga data tersebut dapat menjadi pedoman bagi unit
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) dalam mengelola infeksi