• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Good Manufacturing Practices ( GMP ) Untuk Mewujudkan Keamanan Mutu Pangan Hasil Pertanian Dalam Rangka Perlindungan Konsumen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Good Manufacturing Practices ( GMP ) Untuk Mewujudkan Keamanan Mutu Pangan Hasil Pertanian Dalam Rangka Perlindungan Konsumen"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen Di Indonesia

1. Sejarah Perlindungan Konsumen

Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup banyak

perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna menyejahterakan masyarakat.

Bukan hanya masyarakat yang merupakan konsumen saja yang mendapat

perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk

mendapat perlindungan, dimana masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.47 Pemerintah berperan mengatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta

system yang kondusif saling berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian

tujuan menyejahtrakan masyarakat secara luas tercapai.48

Perhatian terhadap perlindungan konsumen, terutama di Amerika Serikat

(1960-1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi

objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Banyak sekali artikel

dan buku yang ditulis berkenaan dengan gerakan ini.49 Di Amerka Serikat bahkan

47

Celina Tri Swi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 1. 48

Ibid.

49

(2)

peda era tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak sekalperaturan dan

dijatuhkan putusan–putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.50

Kepentingan-kepentingan konsumen telah lama menjadi perhatian yang

secara tegas telah dikemukakan pada tahun 1962 oleh presiden Jhon F. Kennedy

yang menyampaikan pesan di depan Kongres tentang pentingnya kedudukan

konsumen di dalam masyarakat.51 Dua pertiga dari jumlah uang yang digunakan

dalam kehidupan ekonomi berasal dari konsumen. Namun demikian, biasanya

suara mereka tidak didengar.52 Sering kali pula ternyata bahwa para konsumen ini pula yang biasanya kurang mendapat perlindungan, sehingga merekalah

pertama-tama yang terkena akibat dari kualitas barang atau jasa yang tidak memenuhi

persyaratan.53 Banyaknya kerugian yang dialami menyangkut mutu barang, harga

barang, persaingan curang, pemalsuan, penipuan, periklanan yang menyesatkan,

dan sebagainya tidak saja merugikan harta benda atau kesehatan, bahkan dapat

menimbulkan kematian.54

Salah satu contoh kerugian yang dialami konsumen seperti yang terjadi di

Sragen Indonesia, kasus keracunan makanan yang menimpa 28 siswa TK Kreatif

Aisyiyah Bustanul Athfal Tanon. Menurut tim Dinkes yang mengambil contoh air

yang digunakan untuk memasak makanan. Dari hasil tes laboratorium kimia,

50

Ibid.

51

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

(Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hal. 2. 52

Ibid.

53

Ibid.

54

(3)

kondisi air tidak sehat, mengandungan bateri E Coli.55 Selain itu ada juga kasus

keracunan susu bubuk di China tahun 2008. Skandal keracunan makanan terjadi di

China pada 16 juli 2008, dan wilayah yang pertama kali terkena dampaknya

adalah Provinsi Gansu. Akibat susu bubuk yang mengandung racun sebanyak 16

bayi harus menderita batu ginjal, akibat kandungan melamin.56

Peristiwa lainnya yang merupakan bentuk perhatian atas kepentingan

konsumen, secara tegas telah ditetapkan dalam Sidang Umum PBB pada sidang

ke-106 tanggal 9 April 1985. Resolusi PBB tentang Perlindungan Konsumen

(Resolusi 39/2480) telah menegaskan enam kepentingan konsumen, yaitu sebagai

berikut :57

1) Perlindungan Konsumen dari bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya.

2) Promosi dan perlindungan pada kepentingan ekonomi konsumen.

3) Tersedia informasi yang mencakupi sihingga memungkinkan

dilakukannya pilihan sesuai kehendak.

4) Pendidikan konsumen.

5) Tersedia cara-cara ganti rugi yang efrktif.

55

Kasus Keracunan Makanan di Tanon Sragen Jadi Klb, http://www.solopos.com/2011/11/19/kasus-keracunan-makanan-di-tanon-sragen-jadi-klb-150611, (diakses pada tanggal 28 september 2016).

56

Ridhani Nur Annisa, 10 Kasus Keracunan yang Menggemparkan Dunia, http://ridhani-article.blogspot.co.id/2014/04/10-kasus-keracunan-yang-menggemparkan.html, (diakses pada tanggal 28 September 2016).

57

(4)

6) Kebebasan membentuk organisasi konsumen dan diberinya kesempatan

kepada mereka untuk menyatakan pendapat sejak saat proses pengambilan

keputusan yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini

sebenarnya masih paralel dengan gerakan di pertengahan abad ke-20.58 Pada masa kini, kencenderungan untuk memperluas ruang lingkup Hukum Perlindungan

Konsumen telah dilakukan oleh The Economic Law and Improved Procurement

System Project (ELIPS), yang mengemukakan 9 materi rumusan hukum

perlindungan konsumen, yakni :59

1) Ketidaksetaraan dalam kekuatan tawar-menawar;

2) Kebebasan berkontrak versus keadilan dalam kontrak;

3) Persyaratan untuk memberikan informasi kepada konsumen, yang meliputi

hukum pengumuman yang umum dan hukum pengumuman tentang

keuangan;

4) Peraturan tentang prilaku/tindakan penjual, yang meliputi petunjuk/ arahan

yang salah dan kelicikan dalam perdagangan;

5) Peraturan tentang mutu produk, yang meliputi garansi dan keamanan

produk;

6) Akses terhadap kredit (pelaporan, kredit, nondiskriminasi);

7) Batas-batas hak mengakhiri masa jaminan;

8) Peraturan tentang harga;

9) Pembetulan.

58

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 1. 59

(5)

Secara umum, sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi

menjadi empat tahapan :60

a) Tahapan I ( 1881 -1914 )

Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masyarakat untuk

melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, hysteria massal

akibat novel karya Upon Sinclair berjudul The Jungle, yang

menggambarkan cara kerja pabrik penggolahan daging di Amerika Serikat

yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

b) Tahap II (1920 – 1940 )

Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s Worth

karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas

hak-hak mereka dalam jual beli. Kurun waktu ini muncul slogan: fair

deal, best buy.

c) Tahap III ( 1950 – 1960 )

Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan

perlindungan konsumen dalam lingkup internasional.dengan diprakasai

oleh wakil – wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris,

Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah Internasional

Organizationof Consumer Union (IOCU). Semula organisasi ini berpusat

di Den Haag, Belanda, lalu pindah ke London, Inggris, pada 1993. Dua

tahun kemudian IOUC mengubah namanya menjadi Consumers

International (CI ).

60

(6)

d) Tahap IV ( pasca 1965 )

Pasca 1965 sebagai masa penetapan gerakan perlindungan konsumen, baik

di tingkat regional maupun Internasional. Sampai saat ini dibenuk lima

kantor regional yakni di Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia

Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur

dan Tengah berpusat di Inggris, dan negara – negara maju yang berpusat di

London, Inggris.

2. Gerakan Perlindungan Konsumen Di Indonesia

Secara umum, pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :61

1) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;

2) Melindunggi kepentingan konsumen pada khusunya dan kepentingan

pelaku usaha;

3) Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

4) Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek uasaha yang

menipu dan menyesatkan;

5) Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan

perlindungan konsumen dengan bidang perlindungan pada

bidang-bidang lain.

61Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Perundang

(7)

Ditinjau dari kemajuan peraturan perundang-undangan di Indonesia di

bidang perlindungan konsumen, sampai saat ini peraturan dapat dikatakan masih

sangat minim baik dilihat dari kuantitas maupun kedalaman materi yang

dicakupnya.62 Dari inventaris sampai 1991 pengaturan yang memuat unsur

prlindungan konsumen tersebar pada delapan bidang, yaitu (1) obat-obatan dan

bahan berbahaya, (2) makanan dan minuman, (3) alat-alat elektronik, (4)

kendaraan bermotor, (5) metrology dan tera, (6) industry, (7) pengawasan mutu

barang, dan (8) lingkungan hidup.63

Jenis peraturan perundang-undangannya pun bervariasi, mulai dari

ordonansi dan undang-undang, peraturan pemerintah atau sederajatnya, instruksi

presiden, keputusan menteri, keputusan bersama dari beberapa menteri, peraturan

menteri, keputusan dirjen, intruksi dirjen, keputusan Ketua Badan Pelaksana

Bursa Komoditi, dan keputusan Gubernur.64

Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut antara lain seperti :65

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Pasal 202, 203, 204, 205,

263, 264, 266, 382 bis, 383, 388 dsb. Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Pasal 1473 – Pasal 1512; Pasal 1320 – Pasal 1338.

62

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 17. 63

Ibid

64

Shidarta, Op. Cit., hal. 51. 65

(8)

2) Ordonansi Bahan-Bahan Berbahaya Tahun 1949

Ordonansi yang menentukan larangan untuk setiap pemasukan pembuatan,

pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan dan

pemakaian bahan berbahaya yang bersifst racun terhadap kesehatan

manusia.

3) Undang-Undang tentang Obat Keras Tahun 1949

Undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan oleh

pemerintah terhadap pemasukan, pengeluaran, pengangkutan, dan

pemakaian bahan-bahan obat keras yang diproduksi atau diedarkan.

4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan pemerintah

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. Undang-undang ini

merupakan landasan untuk mengatur hal-hal seperti pengawasan produksi

obat, pendaftaran makanan, minuman, dan obat, penandaan, cara produksi

yang baik dan lain sebagainya. Sebagai pengganti dari berbagai

undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan manusia.

5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang

Undang-undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal yang

berkaitan dengan standart barang. Salah satu pelaksanaan dari

undang-undang ini adalah terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Standart

(9)

6) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untu

mengelola standart-standart satuan, pelaksanaan tera dan tera ulang

terhadap setiap alat ukur, takar, timbangan dan perlengkapannya, termasuk

kegiatan pengawasan, penyidikan serta pengenaan saksi terhadap

pihak-pihak yang di dalam melakukan transaksi menggunakan alat ukur yang

tidak benar.

7) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian

Undang-undang ini ditetapkan untuk mengatur kegiatan undian, dan

karrena bersifat umum maka untk melindunggi kepetingan umum tersebut

perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga

terjaminnya setiap janji pengelola kepada peserta undian.

Peraturan Perundang-undangan yang maksudnya memberikan

perlindungan dan dalam bentuk keputusan atau peraturan Menteri, dapat

ditemui dalam bidang kesehatan seperti produksi dan pendaftaran

makanan dan minuman, wajib daftar makanan, makan daluwarsa, bahan

tambahan makanan, penandaan, label dsb. Di bidang industri umumnya

ketentuanan yang berkaitan dengan standar barang dan di bidang

perdagangan yang berkaitan dengan pengukuran dan periklanan dan

sebagainya. Di bidang jasa dapat ditemui dalam peraturan yang berkaitan

dengan transportasi, namun untuk bidang jasa pada umumnya pemerintah

(10)

penerbangan umumnya tunduk kepada ketentuan etik yang bersifat

internasional (Konvensi Internasional).

Di Indonesia, gerakan perlindungan konsumen juga turut menggema dari

gerakan serupa di Amerika Serikat. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(selanjutnya disebut “YLKI”) yang popular dipandang sebagai perintis advokasi

konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973.

Gerakan di Indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan

mendahului Revolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 211

Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.66

Jika dibandingkan dengan kemajuan perkembangan gerakan konsumen di

Amerika Serikat, tentu Indonesia masih harus belajar banyak. Sebagaimana

pernah disinyalir oleh Ketua Organization of Consumer Union (IOCU) sekarang

Consumer International (CI) Erma Witoelar perlindungan konsumen di Indonesia

masih tertinggal.67 Ketertinggalan itu tidak hanya dibandingkan dengan negara–

negara maju, bahkan bila dibandingkan dengan negara–negara sekitar Indonesia,

seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura68

Dilihat dari sejarahnya, gerakan perlindungan konsumen di Indonesia baru

benar-benar popular sekitar 20 tahun lalu dengan berdirinya YLKI. Setelah

YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga

Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semerang yang berdiri sejak

66

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit, hal.1.

67

Shidarta. Op. Cit., hal. 48. 68

(11)

Febuari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota CI.69 Di luar itu,

dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa yang berorientasi

pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti Yayasan Lembaga Bina

Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai

provinsi di tanah air.70

YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang semula

justru bertujuan mempromosikan hasil produk Indonesia. Ajang promosi yang

diberi nama Pekan Swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan

wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia.71 Ide ini dituangkan dalam anggaran dasar yayasan dihadapan Notaris G.H.S. Loemban Tobing, S.H.

dengan akte Nomor 26, 11 Mei 1973.72

YLKI sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku

usaha), apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh YLKI, yakni

dengan menyelenggarakan pekan promosi Swakarya II dan III, yang benar-benar

dimanfaatkan oleh produsen dalam negeri.73 Dalam suasana kerjasama ini muncul moto yang dicetuskan oleh Ny. Kartiona Sujono Prawirabisma bahwa

YLKI bertujuan melindunggi Konsumen, menjaga martabat produsen, dan

membantu pemerintah.74

Jika dibandingkan dengan perjalanan panjang gerakan perlindungan

(12)

memulai dari nol sama sekali.75 Pengalaman menangani kasus-kasus yang

merugikan konsumen di negara-negara lebih maju dapat dijadikan studi yang

bermanfaat sehingga Indonesia tidak perlu lagi harus mengulang kesalahan yang

serupa. Demikian pula dengan kasus-kasus kegagalan advokasi konsumen.76 Metode kerja YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk barang

jasa dan mempublikasikan hasilnya pada masyarakat. Gerakan ini belum

mempunyai kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut suatu

peraturan.77 YLKI juga tidak sepenuhnya dapat mandiri seperti Food And Drug Administration (FDA). Alasan yang utama tentu karena YLKI sendiri bukan

badan pemerintahan seperti FDA di Amerika Serikat dan tidak memiliki

kekuasaan public untuk menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan sanksi.78

Keberadaan YLKI sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran

atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitan atau

pengujian, penerbitan, dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga

melakukan upaya advokasi langsung melalui jalur pengadilan.79

Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang diprakarsai oleh YLKI

mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil dibawa ke DPR,

yang selanjutnya disahkan menjadi undang-undang pada tanggal 20 April 1999

dan kemudian berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000.80

(13)

Lahinya UUPK merupakan hasil usaha yang “memakan waktu, tenaga,

dan pikiran yang banyak” dari berbagai pihak yang berkaitan dengan

pembentukan hukum dan perlindungan konsumen, baik dari kalangan Pemerintah,

lembaga-lembaga swadaya masyarakat, YLKI, bersama-sama dengan perguruan

tinggi-perguruan tinggi yang merasa terpanggil untuk mewujudkan UUPK.81 Berbagai usaha tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non-ilmiah,

seminar-seminar, penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian, dan naskah akademik

rancangan UUPK.82

Kehadiran UUPK juga turut didorong oleh kuatnya tekanan dari dunia

internasional.83 Setelah pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing of World Trade

Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), maka

ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengiikuti standart-standart yang berlaku dan

diterima luas oleh negara-negara anggota WTO. Salah satunya adalah perlunya

eksistensi UUPK.84

Berlakunya UUPK menjadi awal pengakuan perlindungan konsumen dan

secara legitimasi formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi konsumen dan

tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyedia/pembuat produk bermutu.85

81

Adrian Sutedi, Op. Cit., hal.7.

82

Ibid.

83

Shidarta. Op. Cit., hal. 52. 84

Ibid.

85

(14)

3. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada sejumlah

asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam

implementasinya di tingkatan praktisi. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas,

hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.86 a) Asas Perlindungan Konsumen

Berdasarkan UUPK Pasal 2, ada lima asas perlindungan konsumen,

yaitu:87

1) Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen

dan pelaku usaha secara keseluruhan.

2) Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajiban secara adil.

86

Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Visimedia, 2008), hal. 17.

87

(15)

3) Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan

keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan

pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

4) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas

keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi

atau digunakan.

5) Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik bagi pelaku usaha

maupun konsumen untuk menaati hukum dan memperleh keadilan

dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara

menjamin kepastian hukum.

b) Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam UUPK Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen

adalah sebagai berikut :88

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri sendiri;

88

(16)

2) Mengangkat harkat dan mertabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau

jasa;

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses

untuk mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentinganya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha; dan

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

B. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

Selain ditinjau dari bidang-bidang hukum yang mengatur perihal

perlindungan konsumen terdapat juga prinsip-prinsip pengaturan di bidang

perlindungan konsumen. UUPK menyebutkan lima prinsip pengaturan yang

dikaitkan dengan asas-asas pembangunan nasional, yaitu asas manfaat, keadilan,

(17)

Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip

yang berlaku dalam bidang hukum ini. Tentu saja prinsip-prinsip tersebut bukan

sesuatu yang khas “hukum perlindungan konsumen” karena juga diterapkan dalam

bidang hukum lain. Prinsip-prinsip itu ada yang masih berlaku samppai sekarang,

tetapi ada pula yang ditinggalkan seiring dengan tuntutan kesadaran hukum

masyarakat yang terus meningkat.89

1. Kedudukan Konsumen

Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam hubungan

hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam

perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen, yang termasuk dalam prinsip

ini adalah :90

a) Let The Buyer Beware91

Doktrin let the buyer beware atau caveat emptor sebagai embrio dari

lahirnya sengketa di bidang transaksi konsumen. Asas ini berasumsi bahwa pelaku

usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang sehingga tidak perlu

ada proteksi apapun bagi konsumen.

Tetapi dalam perjalannya doktrin ini ditentang oleh pendukung gerakan

perlindungan konsumen. Menurut prinsip ini, dalam suatu hubungan jual-beli

yang harus berhati-hati adalah konsumen adalah kesalahan konsumen apabila ia

sampai membeli atau mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak. Dengan

89

Shidarta, Op. Cit., hal. 60. 90

Ibid, hal. 61-64. 91

(18)

adanya UUPK kecenderungan konsumen perlu berhati-hatidapat mulai diarahkan

menuju ke sebaliknya menuju arah pelaku usaha yang perlu berhati.

b) The Due Care Theory92

Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

berhati-hati dalam memasyarakatkan produknya, baik barang maupun jasa.

Selama berhati-hati dengan produknya ia tidak dapat dipersalahkan. Jika

ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempermasalahkan pelaku usaha

seseorang harus membuktikan, pelaku usaha melanggar prinsip kehati-hatian.

Dalam realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-bukti

guna memperkuat gugatannya. Sebaliknya, si pelaku usaha dengan berbagai

keunggulannya relatif lebih mudah berkelit, menghindar dari gugatan demikian,

ini adalah kelemahan prinsip ini.

c) The Privity of Contract93

Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha memiliki kewajiban untuk

melindungi konsumen, namun hal ini baru dapat dilakukan jika diantara keduanya

terlah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat dipersalahkan

atas hal-hal di luar yang diperjanjikan. Artinya, konsumen boleh menggugat

berdasarkan wanprestasi. Di tengah minimnya peraturan perundang-undangan di

bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasr perbuatan melawan

hukum.

92

Ibid.

93

(19)

d) Kontrak Bukan Syarat94

Seiring makin kompleksnya transaksi konsumen prinsip The Privity of

Contract tidak mungkin lagi dipertahankan secara mutlak untuk mengatur

hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. jadi, kontrak bukan lagi syarat

untuk menentukan eksistensi suatu hubungan hukum.

Sekalipun demikian, ada pandangan yang menyatakan bahwa prinsip

kontrak bukan syarat hanya berlaku bagi objek transaksi berupa barang.

Sebaliknya kontrak selalu di persyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang

jasa.

2. Proses Beracara

Prinsip-prinsip yang dibicarakan berikut ini berhubungan dengan

penyederhanaan dalam proses beracara berkaitan dengan penyelesaian sengketa

konsumen. namun prinsip-prinsip hukum acara yang dibahas adalah prinsip yang

ditunjuk untuk mengakomodasi kepentingan subjek hukum penggugat

(konsumen), mengingat karakteristik sengketa konsumen umunya berskala luas

(melibatkan banyak orang). Dalam kaitanya dengan karakteristik ini, maka proses

beracara dalam hukum perlindungan konsumen mengenal antara lain :95

a) Small Claim96

Small claim adalah jenis gugatan yang dapat diajukan konsumen sekalipun

dilihat secara ekonomis nilai gugatannyasangat kecil. Dalam hukum perlindungan

94

Ibid.

95

Ibid, hal. 64-68. 96

(20)

konsumen diberbagai negara proses beracara secara small claim menjadi prinsip

yang diadopsi luas.

b) Class Action97

Saat ini telah ada undang-undang yang memberi kemungkinan bagi

masyarakat untuk dapat menggugat secara class action, yang oleh Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 disebut dengan nama “gugatan

perwakilan kelompok”.

UUPK mengakomodasi gugatan kelompok dalam Pasal 46 ayat (1) huruf

b. Ketentuan ini menyatakan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat

dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.

Penjelasan dari rumusan ini menyatakan, gugatan kelompok tersebut harus

diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secar

hukum, salah satunya adalah adanya bukti transaksi.

c) Legal Standing untuk Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat 98

Selain gugatan kelompok UUPK juga menerima kemungkinan proses

beracara yang dilakukan oleh lembaga tertentu yanng memiliki legal standing.

Hak yang dimiliki oleh lembaga demikian dikenal dengan hak gugat LSM

(NGO’s standing). Rumusan legal standing dalam UUPK ditemukan dalam Pasal

46 ayat (1) huruf c yang isinya sebagai berikut :

“Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran

97

Ibid.

98

(21)

dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah

melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”99

Definisi yang diberikan oleh Pasal 1 angka 9 UUPK jelas menyatakan

bahwa setiap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) itu

diwajibkan terdaftar dan diakui oleh pemerintah. Tanpa pendaftaran dan

pengakuan ia tidak dapat menyandang hak sebagai para pihak dalam proses

beracra di pengadilan, terutama berkaitan dengan pencarian legal standing

LPKSM.

3. Prinsip Tanggung Jawab

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting

dalam hukum perlindungan konsumen. dalam kasus-kasus pelanggaran hak

konsumen diperlukan kehati-hatian dalam menganalisis siapa yang harus

bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada

pihak-pihak terkait.100

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut :101

a) Prinsip Tanggung Jawab Bedasarkan Unsur Kesalahan

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.

Pengertian “hukum” tidak hanya bertentang dengan undang-undang, tapi juga

kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.Perkara yang perlu diperjelas dalam

prinsip ini sebenarnya adalah definisi subjek pelaku kesalahan.

99

Indonesia (Perlindungan Konsumen), Op. Cit., Pasal 46 ayat (1) huruf c. 100

Celina Tri Swi Kristiyanti, Op. Cit., hal. 92. 101

(22)

Dalam dokktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan coporate

liability. Vicarious Liability mengandung pengertian majikan bertangung jawab

atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang

berada di bawah pengawasannya. Jika karyawannya itu dipinjamkan ke pihak lain

maka tanggung jawabnya beralih pada si pamakai karyawan tadi.

Coporate Liability menurut doktrin ini lembaga/korporasi yang menaunggi

suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang

dipekerjakannya.

b) Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan tergugat (pelaku usaha) selalu dianggap

bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban

pembuktian ada pada si tergugat.

Namun dalam UUPK dikenal juga pembuktian terbalik yang ditegaskan

dalam Pasal 19, 22, dan 23. Sehingga jika prinsip ini diterapkan maka yang

berkewajiban untuk membutikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang

digugat. Tentu saja konsumen tidak lalu berati dapat sekehendak hati mengajukan

gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik

oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjuk kesalahan si tergugat.

c) Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat

terbatas, dan pembatasan demikina biasanya dapat dibenarkan. Contoh

(23)

kerusakan pada bagasi kabin yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang

(konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut

(pelaku usaha) tidak dapat dimintai pertanggungjawaban.

d) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip ini dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan

untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan

produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan

nama product liability.

e) Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

klausul eksonerasi dalam perjanjian standart yang dibuatnya. Prinsip tanggung

jawab ini sangat merugikan konsumen apabila diterapkan secara sepihak oleh

pelaku usaha. Dalam UUPK pelaku usaha seharusnya tidak boleh secara sepihak

menentukan klausul yang merugikan konsumen, termaksud membatasi maksimal

tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang jelas.

4. Product Liability dan Professional Liability102

UUPK juga mengakomodasi prinsip tanggung jawab produk dan tanggung

jawab profesional. Tanggung jawab produk sebenarnya mengacu pada tanggung

jawab produsen.

102

(24)

Dalam UUPK ketentuan yang mengisyaratkan tanggung jawab produk

dimuat dalam Pasal 7 samapai dengan Pasal 11. Pasal 19 ayat (1) UUPK secara

lebih tegas merumuskan tanggung jawab produk dengan menyatakan:

“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atau

kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”103

Jika tanggung jawab produk berhubungan dengan produk barang maka

tanggung jawab profesional berhubungan dengan jasa. Sama seperti dalam

tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam tanggung jawab ini adalah

penyedia jasa profesional (pelaku usaha) tidak memenuhi perjajian yang mereka

sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut

mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.

Oleh karena itu, Pasal 19 ayat (1) UUPK sekaligus juga memuat tanggung

jawab pelaku usaha di bidang jasa. Untuk menentukan apakah suatu tindakan

menyalahi tanggung jawab profesional perlu ada ukuran yang jelas. Indikator itu

tidak ditetapkan oleh undang-undang tetapi asosiasi profesi. Standar ini tidak

hanya bersifat teknis tapi terdapat juga aturan-aturan moraal yang dimuat dalam

kode etik profesi.

5. Penyalahgunaan Keadaan104

Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat

kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak yang berada dalam

103

Indonesia (Perlindungan Konsumen), Op. Cit., Pasal 19 ayat (1). 104

(25)

keadaan yang tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Itu sebabnya ada ahli

yang berpendapat bahwa penyalahgunaan keadaan ini sebagai salah satu bentuk

dari cacat kehendak juga.

Prinsip ini jelas relevan dengan perlindungaan kosumen karena berkaitan

dengan sengketa transaksi konsumen. Keunggulan ekonomis dan psikologi dari

pelaku usaha sering sangat dominan sehingga mempengaruhi konsumen untuk

memutuskan kehendaknya secara rasional. UUPK sendiri secara umum membuka

kemungkinan pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha

berdasarkan faktor penyalahgunaan keadaan ini.

C. Aspek Hukum Publik dan Hukum Perdata dalam Perlindungan Konsumen

Dalam perlindungan konsumen bukan hanya UUPK yang berperan dalam

melindungi konsumen tetapi perlu diketahui juga bahwa aspek hukum publik dan

aspek hukum perdata secara umum mempunyai peran dan kesempatan yang sama

untuk melindungi kepentingan konsumen.

Aspek hukum publik berperan dan dapat dimanfaatkan negara,

pemerintah, instansi yang mempunyai peran dan kewenangan untuk melindungi

konsumen.kewenangan dan peran tersebut dapat diwujudkan mulai dari:105

1. Kemauan politik untuk melindungi konsumen domestik di dalam

persaingan global dan atas persaingan tidak sehat lokal.

105Sri Redjeki Hartono, makalah “Aspek

(26)

2. Birokrasi yang sadar dan senang hati menciptakan kondisi dengan berbinis

jujur dalam mewujudkan persaingan sehat.

3. Di dalam hukum positif yang sudah mengandung melindungi kepentingan

konsumen antara lain:

a) Undang-Undang Kesehatan

b) Undang-Undang Barang

c) Undang-Undang Hygiene Untuk Usaha

d) Undang-Undang Pengawasan atau Edar Barang

e) Peraturan tentang Wajib Dafrtar Obat

f) Peraturan tentang Produksi dan Peredaran Produk Tertentu

4. Peraturan tentang perijinan, diharapkan diikuti dengan pengawasan,

pembinaan dan pemberian sanksi yang tegas dan pasti apabila terjadi

pelanggaran mengenai syarat dan operasional dari perusahaan produsen.

Aspek hukum publik, termasuk di dalamnya hukum administrasi negara,

mempunyai sumbangan terbesar dalam rangka melindungi kepentingan

konsumen.106 Sumbangan terbesar dalam hukum publik ini adalah kewenangan untuk memberi ijin sesuai kewenangan untuk mengawasi, membina dan mencabut

ijin sesuai dengan ketentuan apabila terbukti melanggar ketentuan undang-undang

dan merugikan kepentingan umum (konsumen).107

Aspek hukum perdata secara umum hanya dapat dimanfaatkan oleh pihak

untuk kepentingan-kepentingan subjektif. Hubungan para pihak terjadi karena

106

Ibid.

107

(27)

berbagai alasan dan faktor kebutuhan. Faktor ini menunjukan bahwa posisi calon

konsumen dalam keadaan lebih membutuhkan karena faktor ekonomi dan

kebutuhan hidupnya.108

Keadaan yang demikian mendorong pelaku usaha memperkuat posisinya

dengan menyiapkan dokumen yang ditentukan secara sepihak. Hal ini lah yang

menyebabkan tidak seimbangnya hubungan hukum para pihak. 109 Untuk

mengurangi ketidak seimbangan itu maka harus adanya syarat-syarat yang harus

dipenuhi apabila ada pihak yang berniat menyiapkan dokumen bagi calon

konsumen. Syarat-syarat baku tersebut minimal meliputi: 110 a) Waktu/batas waktu untuk mengajukan keberatan;

b) Syarat atas pemenuhan janji; dan

c) Syarat kesanggupan untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan

promosi.

D. Dinamika Perkembangan Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Hak dan Kewajiban Konsumen

Berdasarkan sejarah, pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan

oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kenndy, yang disampaikan dalam Kongres

Gabungan Negara-negara Bagian di Amerika Serikat, dimana hak-hak konsumen

108

Ibid.

109

Ibid, hal. 41. 110

(28)

itu meliputi hak untuk memperoleh keamanan, hak memilih, hak mendapatkan

informasi dan hak untuk didengar.111

Hak-hak yang disampaikan oleh John F Kenndy ini dapat dijelaskan

sebagai berikut :112

a) Hak untuk Memperoleh Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan atas barang dan/atau jasa yang

ditawarkan kepadanya. Produk barang dan/atau jasa itu tidak boleh

membahayakan jika dikonsumsi sehinga konsumen tidak dirugikan baik

secara jasmani maupun rohani. Dalam barang dan/atau jasa yang

dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha berisiko sangat tinggi

terhadap keamanan konsumen, maka pemerintah selayaknya, mengadakan

pengawasan secara ketat.

b) Hak Memilih

Dalam mengkonsumsi suatau produk, konsumen berhak menentukan

pilihannya. Konsumen tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar

sehingga tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya

konsumen jadi membeli, konsumen juga bebas menentukan produk mana

yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi

pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk

memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan

konsumen kehilangan hak untuk membandingkan produk yang satu

dengan produk yang lain.

111

Adrian Sutedi, Op. Cit., hal. 49. 112

(29)

c) Hak Mendapatkan Informasi

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai

informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak

sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa.

Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti secaara

lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau

mencantumkan dalam kemasan produk (barang).

d) Hak untuk Didengar

Hak yang erat hubungan dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah

hak untuk didengar. Ini karena informasi yang diberikan oleh pihak

berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan

konsumen. Untuk itu, konsumen berhak mengajukanpermintaan informasi

lebih lanjut.

Kemudian, pada tahun 1975, hak-hak konsumen yang dicetuskan oleh

John F. Kennedy dimasukkan dalam progam konsumen Europen Economic

Community(EEC) yang meliputi :113

1) hak perlindungan kesehatan dan keamanan,

2) hak perlindungan kepentingan ekonomi,

3) hak untuk memperoleh ganti rugi,

4) hak atas penerangan,

5) hak untuk didengar.

113

(30)

Di dalam UUPK hak konsumen dituangkan secara ekspilisit dalam Pasal

4, yakni :114

a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

114

(31)

Di samping hak-hak dalam Pasal UUPK juga terdapat hak-hak konsumen

yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang

mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan

antonim dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak

konsumen.115

Namun, konsumen juga memiliki sejumlah kewajiban yang diperhatikan.

Dalam UUPK Pasal 5 dinyatakan bahwa kewajiban konsumen sebagai berikut :116

a) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi pemakaian dan pemanfaatan

barang atau jasa. Tujuannya adalah untuk menjaga keamanan dan

keselamatan bagi konsumennya sendiri. Oleh karena itu, konsumen perlu

membaca dan meneliti label, etiket, kandungan barang atau jasa, serta tata

cara penggunaannya.

b) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau jasa.

Itikad baik sangat diperlukan ketika konsumen akan bertransaksi. Dengan

itikad yang baik, kebutuhan konsumen terhadap barang atau jasa bisa

terpenuhi dengan penuh kepuasan.

c) Membayar dengan nilai tukar yang telah disepakati. Konsumen perlu

membayar barang atau jasa yang telag dibeli, tentunya dengan nilai tukar

yang telah disepakati.

d) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen

secara patut. Ketika dirasa ada keluhan terhadap barang atau jasa yang

115

Shidarta, Op. Cit., hal. 21. 116

(32)

telah didapat, konsumen perlu secepatnya menyelesaikan masalah tersebut

dengan pelaku usaha. Perlu diperhatikan agar penyelesaian masalah sebisa

mungkin dilakukan dengan cara damai. Jika tidak ditemui titik

penyelesaian, cara hukum bisa dilakukan asalkan memerhaatikan norma

dan prosedur yang berlaku.

Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna bagi konsumen agar selalu

berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi dan hubungan dagang. Dengan

cara seperti itu, setidaknya konsumen dapat terlindungi dari

kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan menimpanya. Untuk itulah perhatian terhadap

kewajiban sama pentingnya dengan perhatian terhadap hak-haknya sebagai

konsumen.117

2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat undang-undang yang

pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi

Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga

diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun

publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut :118

1) Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai

berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak,

penyedia dana lainnya, dan sebagainya.

117

Happy Susanto, Ibid, hal. 28. 118

(33)

2) Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang

dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku,

bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri

atas orang atau badan usaha yang berkaitan dengan pangan, oarang/badan

yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan

pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan,

perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan,

kesehatan, narkotika, dan sebagainya.

3) Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat,

seperti pedagang secaara retail, pedagang kaki lima, warung, toko,

supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha

angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacar, dan sebagainya.

Dalam UUPK, pengertian Pelaku Usaha dimuat dalam Pasal 1 angka 3

yakni:

“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”119

Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha

adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, improtir, pedagang, distributor,

dan lain-lain.120

119

Indonesia (Perlindungan Konsumen), Op. Cit., Pasal 1 angka 3. . 120

(34)

UUPK tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata “produsen”

sebagai lawan kata “konsumen”. Untuk digunakan kata “pelaku usaha” yang

bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberika arti sekaligus

bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan termilogi lain

yang lazim diberikan.akan. untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus

periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahan media, tempat iklan itu

ditayangkan.121

Berdasarkan Pasal 6 UUPK, pelaku usaha mempunyai hak, sebagai

berikut:122

a) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

c) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatunya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

e) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

121

Shidarta, Op. Cit., hal. 6. 122

(35)

Sedangkan untuk kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UUPK,

yakni :123

a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

123

(36)

Perlindungan konsumen di Indonesia didasari pada ketidak berdayaan

konsumen dalam menghadapi masalah dalam mendapatkan barang dan/atau jasa

yang layak untuknya. Untuk itu dilakukan perlindungan terhadap konsumen

namun hal ini tidak berarti konsumen dapat bertindak bebas dalam menuntut

pelaku usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang berkualitas serta

menyebabkan kerugian pada pelaku usaha. Karena itu perlindungan konsumen

juga harus memperhatikan keamanan dan kenyamanan dari pelaku usaha. Untuk

menjaga keamanan dan kenyamanan konsumen dan pelaku usaha maka para pihak

mempunyai hak dan kewajibannya masing-masing.

Pengaturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha di

Indonesia diatur dalam UUPK. Hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal

4 dan Pasal 5 UUPK sedangkan hak dan kewajiban pelaku usaha diatur dalam

Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK. Di dalam pasal pasal tersebut telah dimuat dengan

jelas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban dari konsumen dan pelaku usaha

secara adil. Dengan hak dan kewajiban yang adil dari konsumen dan pelaku

usaha maka perlindungan konsumen diharapkan akan menyejahtrakan kedua

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis yang didapat dari penelitian ini adalah mekanisme yang diterapkan atas pemungutan maupun pemotongan pajak terutama atas Pajak Penghasilan Pasal 23

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis sistem informasi monitoring dan evaluasi dosen berdasarkan tri dharma perguruan tinggi, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

Berdasarkan tabel 4.15 dan gambar 4.8 diatas dapat diketahui aspek kualitas isi yang terdiri 3 kriteria penilaian meliputi pernyataan kejelasan materi, informasi

Diketahui masih ditemukan persentase kurang setuju yang menganggap bahwa sebagian pelanggan yang merasa bahwa ada beberapa produk The Body Shop memiliki harga yang

Comments concerning the accuracy of this burden estimate and suggestions for reducing this burden should be addressed to Reports Management Officer, Document Services, Bureau

Paper ini membahas perancangan aplikasi yang dapat digunakan untuk menambahkan akord pada sebuah lagu dengan notasi angka yang telah ditulis dengan menggunakan pengolah kata

Secara praktis hasil dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah agar dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam melakukan dakwah dengan model tertentu

VRRP mendukung Ethernet, Fastethernet, Bridge Group Virtual Interface (BVI), Gigabit Ethernet interfaces dan pada Multiprotocol Label Switching (MPLS), Virtual