• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban pidana korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban pidana korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam hidup bernegara, setiap warga negara diwajibkan untuk membayar pajak. Pajak merupakan kewajiban kenegaraan setiap warga negara untuk memberikan kontribusi penerimaan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.9 Oleh karena itu, pajak merupakan kewajiban semua warga masyarakat dan hukum pajak mengatur hubungan antara penguasa/negara dengan warganya (orang atau badan) dalam pemenuhan kewajiban perpajakan kepada negara.10 Dengan demikian, hukum pajak tergolong dalam hukum publik yaitu hukum administrasi atau tata usaha negara. Hukum pajak sebagai bagian hukum tata usaha negara bersumber pada peristiwa-peristiwa perdata, yang apabila dilanggar dapat diancam dengan pelanggaran pidana.11

Direktorat Jenderal Pajak sebagai lembaga hukum yang bertugas mengumpulkan uang pajak, melakukan tugasnya berlandaskan pada administrasi pemungutan pajak sesuai undang-undang pajak. Sekalipun hukum pajak bagian dari hukum administrasi, materi pajak memang tidak lepas dari hukum perdata dan hukum pidana. Hukum pajak memiliki keterikatan kuat dengan hukum perdata dan hokum pidana. Bahkan istilah-istilah (terminologi hukum) yang digunakan hukum pajak

9

Pasal 23A Amandemen ketiga UUD 1945 menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.

10

Anshari Ritonga, Pembaharuan Perpajakan dan Hukum Fiskal Formal Indonesia, (Jakarta: Yayasan Bina Baca Aksara, 2010), hlm. 19.

11

(2)

banyak mengambil dari istilah yang digunakan dalam hukum perdata dan hukum pidana.12 Dekatnya hubungan hukum pajak dengan hukum perdata dan hukum pidana bisa dimaklumi karena segala macam transaksi ekonomi dalam hukum perdata menjadi sasaran atau objek hukum pajak.

Soal kealpaan dan kesengajaan yang diatur dalam Pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984) pada dasarnya mengacu pada pengertian kealpaan dan kesengajaan dalam hukum pidana. Demikian juga misalnya soal wajib pajak yang memindahtangankan atau memindahkan hak atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam dengan Pasal 231 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).13 Demikian juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Buku Ketiga tentang Perjanjian, dapat dikatakan semuanya merupakan transaksi ekonomi yang bersifat perdata yang mempunyai aspek hukum pajak. Berbagai macam perjanjian yang diatur dalam hukum perdata umumnya akan berdampak pada aspek pajak, kecuali perjanjian tertentu

12

Misalnya soal daluwarsa utang pajak yang diatur dalam Pasal 22 UU KUP mengacu pada daluwarsa dalam hukum perdata.Demikian juga soal pengertian hak mendahului yang diatur dalam Pasal 21 UU KUP secara jelas mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata.Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan piutang-piutang yang diistimewakan. Pengertian diistimewakan sama dengan pengertian didahulukan.

13

(3)

seperti hibah tidak berdampak pada aspek pengenaan pajaknya.14 Hubungan yang jelas tampak bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata. Jadi, semua kegiatan ekonomi akan dipantau dari sisi pengenaan pajak untuk kepentingan negara. Proses administrasi pengenaan pajak (pemajakan) inilah yang diatur dalam hukum pajak, termasuk proses penyelesaiaan hukumnya sebagai bagian dari hukum administrasi.15

Sebagai bagian dari sekian banyaknya macam transaksi ekonomi, transfer pricing, terutama international transfer pricing, dapat menimbulkan permasalahan hukum apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran pajak. Dengan

international transfer pricing, perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda dapat mengatur harga transfer sedemikian rupa, sehingga perusahaan di negara yang tarif pajaknya rendah mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya, sedangkan perusahaan di negara yang tarif pajaknya lebih tinggi mendapatkan keuntungan yang serendah-rendahnya. Domestic transfer pricing bisa juga digunakan untuk menghindari pajak, meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan, dengan cara menetapkan harga transfer sedemikian rupa, sehingga:

1. Penghasilan kena pajak tersebar merata pada perusahaan-perusahaan terkait untuk mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak progresif tertinggi;

2. Laba dapat dialihkan kepada perusahaan yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian.16

14

Lihat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

15

Anshari Ritonga, Op. Cit., hlm. 22.

16

(4)

Untuk mencegah penghindaran pajak melalui transfer pricing ini, OECD merekomendasikan agar negara-negara mengadopsi transfer pricing rules yaitu memberikan kewenangan kepada negara untuk mendistribusikan, membagikan, atau mengalokasikan gross income, pengurangan penghasilan, credits atau allowances, atau item lain yang mempengaruhi Penghasilan Kena Pajak di antara wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak yang sebenarnya dari tiap wajib pajak tersebut. Tujuan transfer rules ini adalah untuk menempatkan wajib pajak-wajib pajak yang independen, sehingga harga-harga yang digunakan di antara wajib pajak–wajib pajak tersebut dapat dipastikan

kewajarannya (arm’s length).17

Melalui UU PPh, Indonesia telah mengadopsi transfer pricing rules. Dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk: 1. Menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan; serta

2. Menentukan utang sebagai modal.18

Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UU PPh, hubungan istimewa dianggap ada apabila:

1. Wajib pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25 % pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan

17

Darussalam, dkk, Transfer Pricing, Ide, Strategi, dan Panduan Praktis dalam Perspektif Pajak Internasional, (Jakarta: Danny Darussalam Tax Center, 2013), hlm. 16.

18

(5)

penyertaan paling rendah 25 % pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir;

2. Wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua atau lebih wajib pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;

3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.19

Secara universal transaksi antarwajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dikenal dengan istilah transfer pricing. Hubungan istimewa dimaksud dapat mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaski usaha. Transfer pricing dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumpah pajak terhutang atas wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut. Kekurangwajaran sebagaimana tersebut di atas dapat terjadi pada: 1. Harga penjualan;

2. Harga pembelian;

3. Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost);

4. Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (stakeholder loan);

5. Pembayaran komisi, lisensi, franschise, sewa royalty, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya;

19

(6)

6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar;

7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau

reinvoicing center).20

Dengan demikian, apabila dilihat dari perspektif perpajakan internasional, suatu perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak global mereka dengan cara memanfaatkan ketiadaan ketentuan perpajakan suatu negara yang tidak mengatur ketentuan anti penghindaran pajak (anti tax avoidance) atau mengaturnya tetapi tidak memadai, sehingga menimbulkan peluang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan praktik penghindaran pajak. Bukan rahasia umum untuk meminimalisasikan pajak, perusahaan sering melakukan transfer pricing guna memaksimalkan keuntungan. Bagi kalangan pebisnis, pajak tetap saja dipandang sebagai beban yang mengurangi keuntungan. Atas dasar itu, wajar jika mereka merekayasa suatu transaksi untuk meminimalisasi beban pajak dengan melakukan

transfer pricing.21

Transfer pricing yang dilakukan direksi suatu korporasi yang bertujuan untuk menghindari pajak sehingga mengakibatkan kerugian negara merupakan tindak pidana korporasi. Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam hukum positif sudah diakui bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan dapat dijatuhkan pidana. Bahwasanya, korporasi sebagai badan hukum, maka itu juga berarti korporasi adalah subjek hukum. Oleh karena itu, dapat dimintai pertanggungjawabab secara

20

Darussalam, dkk, Op. Cit., hlm. 49.

21

(7)

pidana. Istilah tindak pidana korporasi dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tindak pidana itu dilakukan oleh korporasi yang pada umumnya dilakukan oleh direksi suatu korporasi. Transfer pricing, khususnya international transfer pricing dapat menjadi persoalan hukum bahkan pidana jika transfer pricing itu digunakan untuk kepentingan menghindari pajak. Menghindari pajak jelas merupakan kejahatan terhadap negara, sebab dengan menghindari pajak negara dirugikan.

Penelitian dengan judul Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik

Transfer Pricing Bidang Perpajakan di Indonesia, penting untuk dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Faktor penghindaran pajak (atau memaksimalkan laba grup perusahaan setelah pajak) belum banyak dibahas, terutama karena asumsi dasar mengenai model

transfer pricing yang dibangun pada periode tertentu diletakkan dalam konteks intra perusahaan (atau interaksi antardivisi dalam suatu entitas usaha).

2. Praktik transfer pricing dengan meminimalisasikan pembayaran pajak yang bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan merupakan perbuatan yang merugikan negara, khususnya dari sektor pajak.

3. Belum banyak negara yang mengatur upaya penghindaran pajak via transfer pricing.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut:

(8)

2. Bagaimana perlakuan tindak pidana korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia?

3. Bagaimana model pertanggungjawaban korporasi atas praktik transfer pricing

bidang perpajakan berdasarkan peraturan perundang-undanganyang relevan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban atas rumusan permasalahan yang ada yaitu:

1. Pertanggungjawaban pidana korporasi di Indonesia;

2. Pertanggungjawaban korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia;

3. Model pertanggungjawaban korporasi atas praktik transfer pricing bidang perpajakan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang relevan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Secara teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan kontribusi terhadap pemikiran, konsep dan teori pada ilmu hukum pada umumnya dan hukum pajak pada khususnya.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk diaplikasikan dalam praktik, sehingga dapat membantu aparatur negara khususnya yang berkecimpung dalam penegakan hukum yaitu petugas pajak, polisi, jaksa, hakim dan advokat.

(9)

Ide awal yang menjadi judul tesis ini berasal dari penulis sendiri.Ide tersebut muncul dari permenungan penulis yang mendalam atas pengalaman penulis sebagai konsultan pajak. Namun, untuk memastikan bahwa tesis yang berjudul

“Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik Transfer Pricing Bidang

Perpajakan di Indonesia”, adalah asli, penulis melakukan penelusuran baik di

internet maupun di perpustakaan.

Hasil dari penelusuran di internet dan perpustakaan, khususnya di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, tidak ditemukan satupun judul tesis terdahulu yang membahas tentang “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik Transfer Pricing Bidang Perpajakan di Indonesia”. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis dapat mengatakan

bahwa tesis ini adalah asli artinya tidak merupakan tiruan dari topik-topik serupa yang mungkin pernah ditulis oleh penulis lain di Program Magister Program Studi Ilmu Hukum baik di Provinsi Sumatera Utara maupun di provinsi lainnya.

Judul Tesis dengan topik sejenis yang pernah ditulis oleh penulis/peneliti lain: 1. Christoforus Samp Pakadang, SE, Ak, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta,

Tahun 2015, Judul: Kajian Yuridis terhadap Mekanisme Penetapan Harga Transfer (Transfer Pricing) dalam Kerangka Persaingan Usaha di Indonesia;

2. Evawani Julita Savitri, SE, Ak, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, Tahun 2003, Judul: Analisis Penerapan Transfer Pricing pada PT. Indonesia Power;

(10)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Sebelum penulis mengemukakan kerangka teori dalam proposal penelitian ini, terlebih dahulu dipahami tentang pengertian teori. Teori dalam penelitian ilmiah adalah sebuah kemestian karena merupakan inti dari penelitian ilmiah dimaksud.22 Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan dan wawasan.23 Kerangka teori dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri yaitu pertama; teori-teori hukum, kedua; asas-asas hukum,

ketiga; doktrin hukum, dan keempat; ulasan pakar hukum berdasarkan pertimbangan kekhususannya.24

Adapun kerangka teori yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pertanggungjawaban pidana korporasi. Penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi pada awalnya menghadapi sejumlah masalah hukum, khususnya menyangkut asas tiada pidana tanpa kesalahan (gen strap zonder schuld). Terdapat dua pengecualian umum yang berkenaan dengan pemberian pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Pertama, korporasi tidak dapat dinyatakan bersalah pada berbagai tindak pidana yang sanksinya hanya berupa hukuman badan. Kedua, korporasi tidak

22

Muktar Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 92.

23

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke – VI, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 4.

24

(11)

dapat dibebani pertanggungjawaban pidana jika tindak pidana tersebut secara natural tidak mungkin dilakukan oleh korporasi, seperti bigamy atau pemerkosaan.25

Terkait dengan konsep pidana tanpa kesalahan ini adalah konsep yang secara tradisional dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Dalam konteks ini, sama sekali tidak dapat diartikan bahwa delik yang dilakukan oleh suatu korporasi sama sekali tidak terancam sanksi pidana, tetapi ide dasar dari konsep ini adalah bahwa pengurus korporasi itulah yang dianggap bertanggungjawab. Relevan dengan hal tersebut Muladi dan Priyatno mengemukakan untuk diperhatikan bahwa dalam konteks ini, dua model alternatif pemidanaan terhadap korporasi adalah bahwa pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab.26 Selanjutnya mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi, sebagai berikut:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab; 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.27

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana, sehingga dalam

25

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 29.

26

Muladi & Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2010), hlm. 86.

27

(12)

sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Adapun dasar pemikirannya adalah korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, tetapi selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.28

Terminologi atau istilah korporasi, yang sebenarnya belum terlalu lama dipergunakan sebagai suatu istilah dalam hukum di Indonesia, dewasa ini dalam kehidupan sehari-hari sudah biasa dipergunakan sebagai pengganti kata perusahaan, badan usaha, dan atau badan hukum. Secara etimologi tentang kata korporasi (Belanda: corporation, Inggris: corporation, Jerman: Korporation) berasal dari kata

corporatio dalam bahasa Latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka corporation sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja corporare, yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau sesudah itu. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia = badan), yang

berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.29

Selain badan, corpus pun berarti tubuh, raga. Pengertian lain dari corpus adalah makhluk hidup, pribadi, diri, dan persona. Dewan, perkumpulan, badan, serta buku,

28

Roeslan Saleh, Tentang Tindak-Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: BPHN, 1984), hlm. 50-51.

29

(13)

kitab, dan buku pegangan, juga salah satu arti corpus.30

Corpus berarti pula property

yang dikuasai atau the property for which a trustee is responsible.31

Istilah korporasi tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Namun, dalam Pasal 8 ayat (2) Reglement op de Burgerlijke Rechtsvorderin memuat istilah korporasi.“Indien de eischende of verwerende partij eene corporatie maatschap of handelsvereniging is, zal hare benaming en de plaats van naam, voornamen moeten

worden uitgedrukt”. Pasal ini pada tahun 1838 diubah menjadi “Indien de eischende of

verwerede partij een rechtspersoon of venootschap is zal haar benaming dan sebagainya. Dengan mengacu kepada ketentuan Pasal 8 ayat (2) dari Reglement op de

Burgerlijke Rechtsvordering, bahwa yang dimaksud dengan “corporatie” adalah sesuatu yang dapat disamakan dengan person, yaitu“Rechtspersoon”.

Menurut Satjipto Rahardjo, korporasi adalah suatu badan hasil cipta hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh hukum.32 Sementara itu, Utrecht dan Moch. Soleh tentang korporasi menyatakan: “suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu

30

K. Prent C.M., et al, Kamus Latin, (Yogyakarta: Kanisius, 1969), hlm. 1999.

31

Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary, 1 st Ed., (tanpa kota: Red & White Publishing, 2009), hlm. 87.

32

(14)

personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.33

Sehubungan dengan pengertian korporasi, R. Subekti dan R. Tjitrosudiro, menyatakan corporatie atau korporasi adalah suatu perseroan yang merupakan badan.34 Berkaitan dengan korporasi, Yan Pramadya Puspa, menyatakan: “Korporasi atau badan adalah suatu perseroan yang merupakan badan; korporasi atau perseroan di sini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau kumpulan atau organisasi yang oleh diperlakukan seperti seorang manusia (persona) ialah sebagai pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat atau digugat di muka pengadilan. Contoh badan itu adalah PT (Perseroan Terbatas), N.V. (Namloze

Venootschap) dan yayasan (stichting); bahkan negara pun juga merupakan badan”.35

Relevan dengan hal tersebut Rudy Prasetyo mengemukakan bahwa korporasi merupakan istilah yang lazim dipergunakan oleh kalangan pakar pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang perdata sebagai badan yang dalam bahasa Belanda disebut “rechtspersoon”, atau dalam bahasa Inggris legal entities atau

corporation.36 Menurut Wiryono Prodjodikoro korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anggota dari korporasi itu, anggota-anggota juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi.37

33

Chidir Ali, Badan Hukum (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 64.

34

Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hlm. 13.

35

Yan Pramadya Puspa,Kamus Hukum,C.V. Aneka, Semarang, 1977, hlm. 256.

36

Muladi, Dwidja Priyatno, Op. Cit., hlm. 15.

37

(15)

Korporasi sebagai badan keperdataan dapat dirinci dalam beberapa golongan, dilihat dari cara mendirikannya dan peraturan perundang-undangan sendiri, yaitu: 1. Korporasi egoistis, yaitu korperasi yang menyelenggarakan kepentingan para

anggotanya, terutama kepentingan harta kekayaan, misalnya Perseroan Terbatas, Serikat Pekerja;

2. Korporasi yang altruistis, yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan para anggotanya, serperti perhimpunan yang memperhatikan nasib orang-orang tuna netra, tuna rungu, penyakit TBC, penyakit jantung, Taman Siswa, Muhammadyah, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, ternyata dalam Perdata (Dagang) korporasi adalah Badan Hukum (rechtspersoon). Perilaku berusaha dan semangat beraktivitas dam memajukan usaha yang tanpa batas. Semangat yang luar biasa itulah yang mendorong dilahirkannya usaha-usaaha baru sebagaimana yang diinginkan. Semangat itu pulalah yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing. Perilaku pengurus/pengurus pemilik juga sangat didorong oleh fasilitas yang rentang waktu antara dekade tujuh puluhan sesuai akhir sembilan puluhan sangat menjanjikan.

(16)

yang berarti kecuali tentang pengembangan korporasi itu sendiri sebagai suatu institusi yang mempunyai tujuan sebagai organisasi ekonomi yang mengejar keuntungan ekonomi.38 Korporasi di Indonesia secara formal ditandai ciri sebagai badan dengan nama Perseroan Terbatas yang merupakan sepadan dengan Naamloze Venootschap. Yang setara dengan “Sendirian Berhad” di Malaysia dan Limited di negara-negara lain.

Menurut Brightwaite, motivasi korporasi melakukan pelanggaran yaitu secara keseluruhan pelanggaran tidak ditujukan untuk keuntungan pribadi, tetapi lebih ditujukan kepada tujuan dari organisasi tersebut.39 Hal ini dikarenakan di dalam mencari keuntungan, mempertahankan atau mengelola pasar yang tetap, menekan pengeluaran perusahaan, atau menggeser saingan bisnis, kegiatan korporasi dapat menyebabkan polusi terhadap lingkungan, terlibat di dalam penipuan dan manipulasi keuangan, menetapkan harga, menciptakan dan memelihara keadaan berbahaya dalam pekerjaan, secara sadar memproduksi produk yang tidak aman dan lain-lain.

Perseroan Terbatas tidak dapat menghindari dijatuhkannya pidana.40 Lord Thurlow, seorang anggota House of Lords di Inggris mengatakan, “Did you ever a

corporation to have a conscience, when it has no sould to be dammed and no body to

be kicked.41

38

Ismail Suny, Implikasi Amandemen UUD 1945, Terhadap Sistem Nasional, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema: Penegakan Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Diselenggarakan oleh BPHN-Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 14.

39

Adrian Sutedi, Hukum Perseroan Terbatas, Raih Asa Sukses (Jakarta: Penebar Swadaya Grup, 2015), hlm. 37.

40

Setiawan,Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cetakan Pertama, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 89.

41

(17)

Dalam perkembangannya, masalah tanggung jawab atas kejahatan pidana yang dilakukan oleh perseroan sebagai badan hukum dalam ilmu hukum mengalami perkembangan. Ajaran perihal fysieke daderschaap digeser oleh ajaran tentang

fungsionele daderschap. Ajaran perihal fysieke daderschap menitikberatkan perbuatan pidana pada kekuatan nyata orang perseorangan belaka. Sementara itu, ajaran

fungsionele daderschap menitikberatkan pada siapa yang menentang fungsi pada terjadinya perbuatan pidana tadi. Dalam kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, ajaran ini dipertegas lagi siapa saja yang memegang peranan yang bersifat memutuskan (beschikkingsdader). Melalui rintisan yang dilakukan yang menyatakan bahwa badan hukum dapat dipidana kini terbuka lebar. 42 Menurut ajaran

corporate crime, tanggungjawab dilimpahkan kepada pengurus Perseroan Terbatas. Sebab, menurut Black, corporate crime adalah “Any criminal offence committed by and hence

chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees.43

Kebijakan hukum pajak selama ini adalah kebijakan preventif dan ultimum remedium. Kebijakan hukum pajak adalah kebijakan preventif berdasarkan pendapat Barda Nawawi Arief sebagai berikut yang dimaksud dengan kebijakan preventif adalah kebijakan yang diberikan oleh undang-undang kepada aparat penegak hukum untuk mencegah atau tidak mengajukan tersangka ke pengadilan. Jadi untuk mencegah kemungkinan besar tersangka dikenakan pidana penjara sehubungan dengan adanya sistem perumusan ancaman pidana penjara bersifat imperatif.44

42

R.A.Torringa., Op. Cit., hlm. 24.

43

Henry Campbell Black, Black,s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing, St. Paull, MN, Co., hlm. 236.

44

(18)

Sanksi pidana bersifat ultimum remedium artinya sanksi tersebut baru diterapkan sebagai upaya terakhir apabila sebelumnya sudah diterapkan sanksi-sanksi hukum lainnya (sanksi perdata dan/atau sanksi administrasi) dan sanksi-sanksi lainnya tersebut ternyata tidak efektif. Hal ini juga tertuang dalam Lampiran Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-272 tanggal 17 Mei 2002 sebagai berikut: “pada

dasarnya kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah upaya paling akhir (ultimum remedium) dalam usaha penegakan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku setelah upaya lain yang telah dilaksanakan sebelumnya”.

Transfer pricing adalah kebijakan suatu perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi. Transfer pricing dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu

intra-company dan inter-company transfer pricing. Intra-company transfer pricing

merupakan transfer pricing antar divisi dalam suatu perusahaan. Sedangkan inter-company transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan yang mempunyai dua hubungan istimewa. Kedua perusahaan tersebut bisa berada dalam satu negara (domestic transfer pricing), bisa juga berada di negara yang berbeda (international transfer pricing).

Transfer pricing, terutama international transfer pricing, dapat menimbulkan permasalahan apabila digunakan untuk kepentingan penghindaran pajak. Dengan

(19)

Domestic transfer pricing bisa juga digunakan untuk menghindari pajak, meskipun dalam jumlah yang tidak signifikan, dengan cara menetapkan harga transfer sedemikian rupa sehingga:

a. Penghasilan kena pajak tersebar merata pada perusahaan-perusahaan terkait untuk mengurangi kemungkinan terkena tarif pajak progresif tertinggi.

b. Laba dapat dialihkan kepada perusahaan yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian.

Contoh:

MBR.Ltd yang berkedudukan di Jepang mempunyai anak perusahaan di Malaysia, Hongkong dan Indonesia. Pada suatu saat, perusahaan Indonesia mengimpor bahan dari MBR Ltd Jepang. Namun, faktur dari Jepang dikirim ke Hongkong dan dari Hongkong dikirim ke Singapura. Dari Singapura inilah dikeluarkan faktur ke Indonesia. Dari Jepang barang dihitung harga US $100, dari Hongkong ke Singapura dihitung US $200 dan dari Singapura ke Indonesia dihitung US $300. Di Indonesia dijual dengan US $400, sehingga laba seluruhnya adalah sekurang-kurangnya US $300.45

Dengan transfer pricing tersebut, laba tersebut dialokasikan ke Jepang, Hongkong, Singapura dan Indonesia, padahal barang dari Jepang langsung dikirim ke Indonesia, hanya kertasnya yang mampir-mampir. Karena dianggap, memakai jasa

broker trading house Singapura, perusahaan Indonesia harus membayar komisi US$50. Atas modal kerja untuk melaksanakan pembelian itu dibiayai dengan pinjaman dari grup dengan bunga 15% atau US $45. Berarti laba perusahaan Indonesia tinggal

45

(20)

US $5. Kalau atas bahan tersebut diperlukan jasa teknik dari induk di Jepang dengan biaya US $30 (10%), akhirnya perusahaan Indonesia justru menderita rugi US $25.46

2. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. Landasan konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul penelitian ini, yaitu:

a. Pertanggungjawaban Pidana.

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga

teorekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.47Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana.48

Ada dua pandangan pertanggungjawaban pidana yaitu pandangan yang monistis dan dualistis. Pandangan yang monistis antara lain dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai “Eine strafbaar gestelde, onrechtmatige, met

schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar person” (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,

46

Ibid

47

Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm. 34.

48

(21)

dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya).49

Menurut aliran monisme, unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif, maupun unsur pembuat, yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu, dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi

straafbaar feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana. Oleh karena itu, penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut pembuat delik yang meliputi:50 1. Kemampuan bertanggungjawab;

2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan; 3. Tidak ada alasan pemaaf.

Menurut aliran atau pandangan dualistis yang salah satu penganutnyaadalah Herman Kontorowicz,menyatakan untuk adanya strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya

strafbare handlung (perbuatan pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif pembuat.

b. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Pemahaman terhadap masalah pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana, tidak dapat dilepaskan dari persoalan pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang senantiasa dikaitkan dengan masalah kesalahan, yakni

49

Ibid., hlm. 36

50

(22)

kemampuan bertanggungjawab, adanya unsur kesengajaan atau kealpaan dan tidak adanya alasan penghapusan pidana.

c. Transfer Pricing

Dalam perspektif perpajakan, transfer pricing adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Secara universal transaksi antarwajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dikenal dengan istilah transfer pricing. Hubungan istimewa dimaksud dapat mengakibatkan kekurangwajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaski usaha. Transfer pricing dapat mengakibatkan terjadinya pengalihan penghasilan atau dasar pengenaan pajak dan/atau biaya dari satu wajib pajak ke wajib pajak lainnya, yang dapat direkayasa untuk menekan keseluruhan jumpah pajak terhutang atas wajib pajak-wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut.

d. Perpajakan

(23)

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis atau tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut juga penelitian doktrinal yang dalam hal ini dengan mengkaji penerapan peraturan perundang-undangan terhadap kasus

transfer pricing. Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin guna menjawab isu hukum yang dihadapi.51 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).52 Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan.

51

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), hlm. 35.

52

(24)

Terkait dengan sifat penelitian tersebut, maka berdasarkan topik tesis ini yaitu Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Atas Praktik Transfer Pricing Bidang Perpajakan Di Indonesia, maka dianalisis secara deskriptif (memaparkan) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dengan kasus transfer pricing.

2. Sumber Data Penelitian

Berhubung penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder, maka terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.53 Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan dan peraturan yang relevan dengan penelitian ini yaitu:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

b. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2007 tentang Pajak Penghasilan (PPh); d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,54 termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum serta jurnal-jurnal hukum.55

53

Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 141.

54

Peter Mahmud Marzuki, Loc. Cit.

55

(25)

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedi dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data. Banyak masalah yang dirumuskan tidak akan bisa terpecahkan karena metode untuk memperoleh data yang digunakan tidak memungkinkan.56 Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan.

Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.57 Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka peneliti akan lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap. Secara singkat studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan misalnya:

a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan;

b. Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan;

c. Sebagai sumber data sekunder;

56

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. 174.

57

(26)

d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya;

e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan;

f. Memperkaya ide-ide baru;

g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dengan siapa pemakai hasilnya;

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.58 Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan kualitatif yaitu dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut;

b. Mengelompokan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan;

c. Menemukan hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah;

58

(27)

d. Menjelaskan dan menguraikan berbagai hubungan di antara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif, sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

Analisis data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.59

Bahan hukum yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan tahapan berpikir sistematis guna menemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mendasarkan pada teori-teori hukum yang pada akhirnya akan memberikan hasil yang signifikan dan bermakna ke dalam bentuk sebuah paparan yang nyata.

59

Referensi

Dokumen terkait

Pada sampel sedimen laut dari seluruh lokasi sampling di Pantai Timur Indramayu, hasil pengukuran unsur logam berat menunjukan konsentrasi yang lebih tinggi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil inversi pengukuran sesuai dengan litologi lempung dengan rentang resistivitas sebesar 0.1 – 43.78 Ωm dan telah sesuai

[r]

Setelah membaca teks, siswa dapat menyampaikan informasi tentang aturan merawat hewan di rumah dengan benar4. Setelah membaca teks, siswa dapat menyampaikan

lebih memilih ruang dialog untuk menyelesaikan persoalan yang ada di masyarakat luas. d) cara pandang ini lebih cenderung memilih jalan damai, dibandingkan kekerasan. Cara

apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak menduduki jabatan/pangkat terakhir tidak dapat mengumpulkan angka kredit yang disyaratkan untuk kenaikan jabatan/ pangkat

Sedangkan Database adalah kumpulan data yang saling berhubungan (relasi). Istilah tersebut bisa digunakan pada sistem-sistem yang terkomputerisasi. Dalam pengertian umum, database

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Current Ratio (CR), Net Profit Margin (NPM), dan