• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKULARISME DAN REKONFIGURASI PEMIKIRAN pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEKULARISME DAN REKONFIGURASI PEMIKIRAN pdf"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Sekularisme dan

Rekonfigurasi Pemikiran

Islam Di Indonesia

Tradisi, Reformasi dan Modernisasi

(3)

Sekularisme dan Rekonfigurasi

Pemikiran Islam Di Indonesia

Tradisi, Reformasi dan Modernisasi

© Mohamad Hudaeri, 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang All right reserved

Cetakan I, November 2014 M

Diterbitkan Oleh : FUDPress

Jl. Jend. Sudirman 30 Serang 42118 (0254) 200323 Fax (0254) 200022

(4)

Persembahkan Buat :

Istriku Tercinta Atu Karomah

Dan anak-anakku tersayang

(5)

KATA PENGANTAR

Bismillah al-rah}ma>n al-rah}i>m

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan kepada penulis untuk menerbitkan tulisan ini dalam bentuk sebuah buku sehingga bisa dibaca oleh halayak luas. Semoga terbitnya buku ini dapat memberi manfaat yang besar kepada para pembacanya.

Buku ini semula adalah disertasi penulis pada Sekolah Pascasarjana UIN ‚Syarif Hidayatullah‛ Jakarta. Maka sudah selayaknya, penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A. dan Prof. Dr. Bahtiar Effendy, selaku promotor, yang telah memberikan banyak kritik dan masukan. Ucapan terima kasih dan penghargaan, penulis haturkan juga kepada Prof. Dr. M. Bambang Pranowo, MA., Prof. Dr. Kautsar Azahari Noer. Dan Prof. Dr. Susanto Zuhdi, MA yang telah memberikan kritik dan masukan pada saat ujian disertasi ini.

Ucapan terima kasih patut juga saya sampaikan kepada pimpinan di IAIN ‚SMH‛ Banten, Bapak Rektor yang dulu dan sekarang; Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A. dan Prof. Dr. H.E. Syibli Sarjaya, M.M dan Dekan Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab IAIN ‚SMH‛ Banten, Prof. Dr. Udi Mufradi, M.A. atas segala dukungan moril dalam menyelesaikan tulisan ini.

Tentu saya tidak lupa juga mengucap terima kasih, kepada para staf administrasi dan pegawai perpustakaan di lingkungan Sekolah Pascasarjana UIN ‚Syarif Hidayatulah‛ Jakarta yang banyak membantu menyelesaikan persoalan administratif dan sumber-sumber bacaan yang relevan dalam penyelesaian penulisan tulisan ini.

(6)

disebutkan dalam tulisan. Mereka adalah teman-teman diskusi yang mengasikkan dalam membahas berbagai persoalan.

Ucapan terima kasih juga patut penulis haturkan kepada kakak dan adik ; Teh Am, Ka Ofan, Ka Wowo, Teh Ita, Humaedi, Muslim, Rahmat, Enok dan Neni dan saudara-saudara lainnya yang tidak henti-hentinya mendorong dan mendoakan penulis untuk merampungkan tulisan ini. Yang terakhir tetapi yang utama, ucapan terima kasih ini kepada isteri dan anak-anakku; Atu Karomah, Huriyah A Putri dan M Aditya Arkoun. Mereka telah banyak berkorban; terutama waktu kebersamaan yang tersita untuk memberi kesempatan kepada ayahnya menyelesaikan disertasi ini. Sebagai ungkapan kasih sayang dan atas pengorbanannya, disertasi merupakan persembahkan untuk mereka.

Banyak lagi pihak-pihak lain yang ikut berjasa tersusunnya buku ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mohon maaf apa bila tidak bisa disebutkan dalam lembaran yang terbatas. Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan mereka tersebut. Pada akhirnya hanya kepada Allah Swt, penulis bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan. Kepada-Nya pula berpasrah diri atas segala usaha yang dilakukan. Semoga karya ini memberi manfaat dan membawa keberkahan bagi semua. Amin.

Allah a‘lam bi al-s}awa>b.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR -- iv DAFTAR ISI -- vi

BAB I PENDAHULUAN -- 1

BAB II SEKULARISME DAN AGAMA DI ERA MODERN -- 27 A. Geneologi Sekularisme -- 28

B. Sekularisme dalam Praktek -- 31

C. Agama di Ruang Publik: Revisi Tesis Sekularisasi -- 39 BAB III SEKULARISME DAN ISLAM: REKONFIGURASI

HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DI INDONESIA -- 55

A. Munculnya Wacana tentang Sekularisme di Indonesia -- 56 B. Transformasi Sistem Kekuasaan dan Otoritas Muslim

Pra Modern -- 67

C. Perdebatan Rekonfigurasi Islam dalam Konteks Negara Bangsa: Soekarno dan Mohammad Natsir -- 75 D. Islam Politik: Perjuangan Mempertahankan Identitas

dan Melawan Hegemoni Negara -- 104

BAB IV REKONFIGURASI ISLAM MODERN: PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA -- 117

A. Wacana Pembaharuan dan Tantangan Modernitas -- 118 B. Rekonfigurasi Pemikiran Islam Indonesia di Era

Modern: dari Puritan ke Rekonstruksi -- 135 C. Kritik terhadap Sekularisme -- 157

BAB V MENDEFINISIKAN KEMBALI ORTODOKSI -- 173 A. Ortodoksi Islam di Indonesia -- 174

(8)

BAB VI MENCIPTAKAN MUSLIM INDONESI MODERN -- 231 A. Rekonfigurasi Subyek Muslim Modern -- 232

B. Rekonfigurasi Teologis dan Etika -- 247

C. Rekonfigurasi Politik yang Berpusat pada Ummah -- 258 D. Pemberdayaan Masyara -- 266

BAB VII PENUTUP -- 271 A. Kesimpulan -- 271

DAFTAR PUSTAKA -- 279 INDEKS -- 299

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Perdebatan tentang Sekularisme

Wacana tentang sekularisme merupakan salah satu hal yang sensitif, kontroversial dan dipandang negatif oleh sebagian kaum muslim. Hal itu bukan saja dianggap sesuatu yang asing, karena berasal dari pengalaman masyarakat Barat, juga dianggap bertentangan dengan agama. Konsep tentang sekularisme, seperti yang ada di Barat tidak dikenal dalam tradisi Islam. Istilah sekular dikenal kaum muslimin, ketika orang Eropa menaklukan bangsa-bangsa muslim melalui kolonialisasi. Terjemahan kata sekular dalam bahasa Arab pun baru digunakan dalam beberapa tulisan sekitar abad ke 19 dengan berbagai versi variannya, seperti; ‘almaniyyah (dari kata al-‘alam), ammiyyah (dari kata al-‘a>mm; masyarakat biasa, bukan kalangan ulama atau pendeta), la> di>niyyah (non agama) dan dahriyah (dari kata dahr, waktu atau tempo).1

Majelis Ulama Indonesia pernah memberikan fatwa bahwa sekularisme bertentangan dengan ajaran Islam, karena itu dilarang untuk diikuti.2 Amin Rais, mantan ketua umum Muhammadiyah, memandang buruk sekularisme, sebab pemisahan antara agama dan politik, menurutnya bertentangan dengan doktrin Islam yang tidak memisahkan kehidupan duniawi dan rohani, dunia dan akhirat, yang profan dan yang sakral, yang imanen dan transendental.3 Amin Rais pun membedakan jenis sekularisme: sekularisme moderat dan sekularisme radikal. Sekularisme moderat berpandangan bahwa agama merupakan urusan pribadi yang hanya berkaitan dengan aspek spiritual umat manusia dan karena itu tidak boleh campur tangan dengan urusan publik seperti politik dan hal-hal duniawi lainnya. Sedangkan sekularisme radikal menolak agama karena diangga musuh kemajuan. Keduanya, menurut Amin Rais, tidak sesuai dengan ajaran Islam.4

Apabila ditarik ke belakang, jauh sebelumnya, Mohamad Natsir, salah satu intelektual muslim ternama, pernah berpolemik dengan Soekarno tentang penolakannya terhadap sekularisme. Menurutnya, sekularisme bukan hanya karena ia adalah ‚jalan kehidupan yang berisi keyakinan, tujuan dan prilaku hanya di dalam batas-batas duniawi‛, melainkan juga karena ia ‚tidak mengakui akhirat dan Tuhan.‛5 Natsir menegaskan bahwa pemikiran tentang pemisahan adalah bentuk penyangkalan fungsi negara terhadap agama. Sebab fungsi utama negara adalah melayani agama. Negara berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan yakni, ‚kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang

1Talal Asad, Formations of the Secular, Christianity, Islam and Modernity (Stanford: Stanford University Press, 2003), hal. 207.

2

Lihat fatwa MUI, No: 7/MUNAS VII/MUI/II/2005, tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1246 H. / 26-29 Juli 2005 M. Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama.

3M. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Bandung: Mizan, 1987), hal. 126.

4M. Amin Rais, Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta, hal.126

(10)

berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri, (sebagai individu) ataupun sebagai anggota dari masyarakat.‛6 Demikian pula tentang konsep sekularisme tentang

netralitas terhadap agama dipahami Natsir sebagai bentuk pembiaran atau tidak peduli negara terhadap agama.

Namun demikian bukan berarti tidak ada intelektual muslim yang mendukung konsep ‚sekularisme‛. Ali Abd al-Raziq, meskipun dalam tulisanya yang berjudul, ‚Al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm‛, tidak pernah secara khusus menggunakan istilah sekular atau padanannya dalam bahasa Arab, tetapi secara eksplisit mengajukan gagasan tentang pemisahan agama dan negara. Demikian pula ia membedakan fungsi keduanya. Menurutnya para nabi diutus untuk mengajarkan permasalahan agama, bukan menjadi pemimpin politik.7

Soekarno, proklamator kemerdekaan Indonesia, mendukung penerapan sekularisme. Menurutnya, untuk kebaikan dan kemajuan agama dan negara harus ada pemisahan antara keduanya, seperti yang terjadi di Turki pada masa pemerintahan Kemal Ataturk.8 Menurutnya, pemisahan tersebut bukan berarti penghapusan agama, tetapi semangatnya adalah ‚anti-kolot, anti soal-soal lahir dalam hal ibadah, tetapi tidak anti agama‛.9 Justru pemisahan tersebut, menurut

Soekarno, akan membuat negara terlepas, ‚dari ikatan anggapan-anggapan agama yang djumud, yakni kemerdekaan negara dari hukum-hukum tradisi dan faham-faham Islam kolot jang sebenarnya bertentangan dengan djiwa Islam sedjati, tetapi nyata selalu menjadi rintangan bagi gerak-geriknya negara kearah kemadjuan dan kemoderenan‛.10 Lebih lanjut, Soekarno juga menegaskan bahwa pemisahan tersebut akan membuat agama merdeka dari campur tangan kekuasaan negara atau hanya menjadi alat kekuasaan bagi sekelompok orang.

Mohammad Arkoun, intelektual muslim kelahiran Aljazair, menegaskan bahwa sekularisme sebagai konsep bukanlah hal yang baru dalam Islam tetapi sudah ada semenjak zaman Nabi Muhammad Saw. Ucapan Nabi Saw yang menyatakan ‚antum a’lam bi umu>ri dunya>kum‛ (kalian lebih tahu tentang urusan duniamu) adalah argumen penting bahwa konsep sekular telah diajarkan oleh Nabi Saw. Secara politik pun telah dipraktekkan sejak masa Bani Umayyah, yang membedakan antara urusan agama dan urusan politik. Agama ditangani para ulama, sedangkan kekuasaan politik ada di tangan khalifah atau sultan.11

Perdebatan antara yang mendukung dan menentang sekularisme bersumber dari perbedaan dalam memahami konsep sekularisme. Menurut Talal Asad sekularisme sebagaimana dipraktek di Barat bukanlah semata tentang doktrin politik yang selama ini sering dipahami kebanyakan sarjana yakni;

6Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Persfektif Islam, hal. 83.

7Ali Abd al-Raziq adalah inteletual muslim yang kali pertama berbicara tentang konsep sekularisme dan kemungkinannya diterapkan dalam masyarakat muslim. Lihat Muhammad Imarah, Al-Isla>m wa Us}u>l al-H{ukm (Beirut: al-Mu’assasah al-’Arabiyyah li al-Dira>sah wa al-Nas}r, 1998), hal. 160.

8Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbitan, 1964), hal. 403.

9

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, hal. 404. Cetak miring sesuai aslinya. 10

Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, hal. 405.Cetak miring sesuai aslinya.

(11)

‚pemisahan agama dari institusi-institusi negara‛ sebab konsep seperti itu juga ditemui dalam imperium-imperium Kristen dan Islam pada abad pertengahan. Yang sangat berbeda dari era sebelumnya, sekularisme mengasumsikan konsep baru tentang ‚agama‛, ‚etika‛ dan ‚politik‛. Di negara Barat, sekularisme selain merupakan political medium (media politik) yang mentransendenkan praktek-praktek tertentu yang membedakan individu-individu yang terartikulasi melalui kelas, gender dan agama, tetapi juga merupakan ‚sebuah konsep tentang prilaku (sikap) tertentu, pengetahuan dan selera dalam kehidupan modern‛.12

Berdasarkan hal, menurut Abdolkarim Soroush, pemikir kontemporer Iran, pengertian sekularisme perlu dibedakan secara politik dan filosofi.13 Sekularisme dalam pengertian politik adalah pemisahan agama dari negara. Sedangkan dalam pengertian filosofi, sekularisme merupakan pandangan hidup yang didasarkan hanya materi atau masalah duniawi semata, karena itu menolak terhadap agama atau keberadaan Tuhan. Amin Rais dan Mohammad Natsir menentang konsep sekularisme baik secara politik maupun filosofi. Sedangkan Ali Abd al-Raziq, Soekarno dan Mohammad Arkoun mendukung sekularisme secara politik tetapi menolak secara filosofi. Yang justru mengejutkan adalah pandangan MUI yang menolak sekularisme tetapi pandanganya lebih dekat dengan pemikiran Soekarno, yang selama ini sering diidentifikasi sebagai pendukung sekularisme. MUI mendefenisikan sekularisme lebih halus dari pada pandangan intelektual muslim yang menolak sekularisme. MUI mendefenisikan sekularisme sebagai penolakan peran agama dalam wilayah publik, bukan pemisahan agama secara kelembagaan dengan struktur kekuasaan negara.14 Karena itu, sebenarnya tidak ada intelektual muslim yang menginginkan penerapan konsep sekularisme secara penuh seperti yang diterapkan di negara Barat yang meminggirkan peran agama hanya ada di wilayah privat.

Pemisahan agama dan politik, seperti yang terjadi di Barat memang tidak dikenal dalam sejarah pemerintahan muslim. Sepanjang sejarah, agama merupakan bagian tidak terpisah dari negara. Karena itu kemunculan gagasan tersebut dalam masyarakat muslim tidak pernah terbayangkan dalam pembahasan politik Islam. Wacana sekularisme yang pernah dilontarkan oleh beberapa intelektual muslim di era modern sepenuhnya terjadi karena interaksinya dengan peradaban Barat. Pada masa abad pertengahan, meskipun berkembangan dalam sistem politik masyarakat muslim, yakni muncul pemilahan kekuasaan antara ulama, sebagai otoritas agama, dan sultan atau kha>lifah, sebagai otoritas politik, tetapi tidak membuat negara (khila>fah) sebagai sesuatu yang lepas dari pertimbangan agama. Kha>lifah (sultan) tidak saja mendapatkan legitimasi kekuasaanya dari agama, tetapi pemerintahannya itu dibangun dalam kerangka normatif dan kesadaran keislaman. Agama (Islam) merupakan kerangka

12Talal Asad, Formations of the Secular, hal. 25.

13Lihat Abdolkarim Soroush, ‚We Must Have A Referendum in Iran, February 2010 di http://www.drsoroush.com/English/Interviews/. Diunduh pada 24 Nopember 2012.

(12)

normatif bukan entitas yang memiliki ruang terpisah dari kegiatan politik, ekonomi dan sosial, seperti hal negara sekular modern yang menempatkan agama pada ruang privat yang terpisah dari bidang kehidupan lainnya terutama politik.15

Istilah sekularisme bagi sebagian muslim memang sarat dengan beban psikologi dan kepentingan ideologis politik. Karena itu selalu menimbulkan perdebatan sengit antara yang mendukung dan yang menolak penerapan konsep tersebut dalam menata kehidupan berbangsa. Perdebatan tentang sekularisme di Indonesia, telah terjadi jauh sebelumnya, yakni pada masa kebangkitan bangsa atau masa pra kemerdekaan. Hal itu terlihat pada perdebatan antara Soekarno dan Muhammad Natsir.16

Perbedaan sikap intelektual muslim terhadap sekularisme tidak hanya disebabkan oleh perbedaan dalam memahami konsepnya, tetapi juga perbedaan mereka memahami Islam. Mereka yang berpikir bahwa sekularisme bertentang dengan Islam baik secara politik dan filosofi adalah yang memandang Islam sebagai ideologi. Ideologi merupakan instrumen atau alat politik dan sosial yang digunakan untuk menentukan dan mengarahkan prilaku publik. Sebagai ideologi, Islam dipahami Muhammad Natsir sebagai sistem kehidupan yang bersumber dari ekstra-pengalaman manusia dan bersifat transenden, yang mencakup semua dimensi kehidupan manusia; pribadi, sosial, budaya, ekonomi dan ekonomi.17 Sebagai sistem kehidupan yang sudah lengkap Islam tidak membutuhkan sekularisme yang berasal dari sumber dan cara yang berbeda dalam memahami kehidupan. Karena itu Islam dipandang berlawanan dengan sekularisme, sebab sekularisme dianggap lawan yang berbahaya dan akan menghancurkan eksistensinya.

Sedangkan mereka yang ‚menerima‛ konsep sekularisme secara terbatas adalah mereka yang menolak Islam dijadikan sebagai ideologi. Alasan penolakan tersebut karena ia memahami tentang karakteristik ideologi dan efeknya bagi perkembangan Islam secara keseluruhan. Karena watak ideologi yang terkondisikan oleh situasi tentang suatu perlawanan pada musuh dan penafsiran tentang dunia yang berdasarkan pada perlawanan, maka menjadi Islam sebagai ideologi akan mereduksi kompleksitas agama menjadi suatu pandangan dunia yang tertutup dan rigid. Padahal menurut Soekarno, sangat tidak mungkin untuk mempertahankan suatu pemahaman Islam yang benar-benar pasti. Menjadikan Islam sebagai ideologi berarti menetapkan suatu pemahaman atas Islam yang tidak bisa berubah.18 Padahal faktanya pemahaman tentang Islam akan selalu berubah-ubah sepanjang waktu dan setiap kelompok orang muslim memiliki pandangan tentang ‚kebenaran Islam‛ yang berbeda-beda. Menggunakan agama sebagai alat politik juga akan mensubordinasi kedalaman dan kompleksitas pemahaman keagamaan menjadi sekedar ajakan untuk perjuangan politik yang

15Lihat Ovamir Anjum, ‚Reason and Politics in Medieval Islamic Thought: The

Taymiyyan Moment,‛ A Thesis for Ph D, University of Wisconsin-Madison, 2008, hal. 84-86 16Perdebatan tentang hubungan agama dan negara, khususnya tentang perdebatan M. Natsir dan Soekarno akan dijelaskan ada bab III.

17

Mohammad Natsir, Agama dan Negara dalam Persfektif Islam, hal. 78

18

(13)

bersifat sementara.

Meskipun perdebatan ideologi tentang hubungan agama dan negara di Indonesia mencapai kesepakatan dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi kesepakatan tersebut tidak diterima dengan sepenuh hati oleh sebagian kalangan elit muslim. Bahkan ada yang menilainya sebagai kekalahan umat Islam karena gagal menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sehingga kesepakatan itu bersifat rapuh. Akibatnya kalau ada gunjangan atau konflik kepentingan, selalu muncul gugatan tentang dasar negara tersebut. Hal itu terlihat jelas, terutama pada masa Orde Lama, ada usaha untuk menggantikan Pancasila dengan Islam sebagai dasar negara, meskipun menemui kegagalan.

Keengganan sebagian umat Islam untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara bukan semata persoalan pragmatis atau pembagian kekuasaan, tetapi sangat terkait dengan makna hidup yang terdalam, yakni sistem keyakinan yang mereka anut. Mereka masih memandang Islam sebagai ‚teologi kekuasaan‛19 yang tidak memisahkan antara agama dan negara (din wa

al-daulah). Untuk bisa menerima kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara dan dipahami sebagai bagian dari pandangan hidupnya, bagi umat Islam dibutuhkan rekonstruksi pemikiran dalam memahami kembali Islam dengan cara-cara yang baru.

Perdebatan yang terjadi di kalangan intelektual muslim Indonesia tentang hubungan agama dan negara merupakan respon pada sistem kekuasaan Barat yang diterapkan atau diadopsi kaum muslim dalam menata sistem kekuasaanya. Di Eropa lahirnya sistem kekuasaan yang baru juga tidak bisa dilepaskan dari adanya pengetahuan baru tentang manusia dan sistem kekuasaannya, seperti; konsep negara bangsa (nasionalisme), demokrasi dan hak asasi manusia. Konsep dan sistem kekuasaan tersebut bagi dunia muslim tidak memiliki preseden sebelumnya. Konsep tersebut sepenuhnya berasal dari peradaban Barat, setelah mereka melakukan revolusi terhadap sistem kekuasaan yang ada dalam masyarakatnya sendiri; yakni kekuasaan raja dan kaum agama (gereja). Kaum muslim pada umumnya mengenal sistem kekuasaan baru tersebut, karena adanya interaksi dengan peradaban Barat melalui proses kolonialisme. Untuk bisa berdialog dengan kondisi tersebut, maka dibutuhkan rekonstruksi teologi Islam. Sebab teologi yang ada dipandang tidak memadai untuk menghadapi realitas kontemporer.

Namun demikian, kajian buku ini bukan semata mengenai perdebatan makna sekularisme di kalangan intelektual muslim modern, tetapi juga relasinya dengan tumbuhnya gerakan pembaharuan di Indonesia. Sekularisme, yang dikenal masyarakat muslim setelah adanya interaksi dengan peradaban Barat, memicu para ulama dan intelektual muslim untuk memikirkan kembali sistem teologi yang selama ini dihayati dalam kaitannya dengan penataan kehidupan masyarakat muslim di era modern.

Berdasarkan hal itu buku ini akan mengkaji perkembangan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya pemikiran intelektual

(14)

muslim yang lebih dikenal dengan ‚Neo-modernisme Islam‛20 yang mulai

berkembang pada awal tahun 1970-an. Munculnya gerakan pembaharuan ini dipicu oleh kesulitan kalangan santri, yang umumnya pendukung ideologi Islam, untuk bisa berpartisipasi secara produktif dalam sistem pemerintahan Indonesia; Orde Lama dan Orde Baru, karena adanya hambatan teologis. Sehingga sistem negara kesatuan Indonesia belum bisa diterima secara penuh oleh sebagian kalangan umat. Hal itu yang sering menimbulkan kecurigaan antara umat Islam, baik masa Orde Lama maupun rezim Orde Baru, terutama di masa-masa awalnya. Usaha yang dilakukan gerakan pembaharuan ‚Neo-Modernisme‛ berbeda dengan gerakan tokoh-tokoh pembaharuan sebelumnya, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam. Yang pertama menekankan pada rekonstruksi pemikiran teologi, sedangkan yang kedua bersifat puritan yakni menekankan pada pemurnian pemahaman keagamaan. Konsentrasi gerakan pembaharuan puritan adalah membersihkan praktek keagamaan masyarakat yang dipandang tidak memiliki preseden dalam Alquran dan Sunnah.21 Gerakan ini mendukung pentingnya ijti>h}ad, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang normatif dan penalaran hukum. Hak ijti>h}ad, menurutnya, tidak hanya terbatas kepada ulama tetapi juga kepada setiap muslim yang memiliki kemampuan diharapkan berpartisipasi dalam proses tersebut. Karena itu, gerakan puritan ini mengecam sikap taqli>d (mengikuti tanpa mengetahui alasannya) yang selama ini banyak dipraktekkan masyarakat muslim dan tergantung pada otoritas ulama atau kiyai.22 Pandangannya bahwa Islam itu mencakup semua aspek kehidupan; dunia dan akhirat, maka gerakan pembaharuan puritan ini tidak jarang menjadikan Islam sebagai ideologi politik perjuangannya.

Sedangkan titik tekan gerakan pembaharuan Neo- Modernisme bukan persoalan normatif dan penalaran hukum (fiqh) tetapi diarahkan kepada reformulasi ide-ide dasar teologi Islam. Para pendukung gerakan pembaharuan rekonstrusionis ini adalah para intelektual muslim yang memiliki pengetahuan yang berasal dari tradisi intelektual kaum muslim dan Barat. Hal ini bukan berarti, tokoh-tokoh intelektual yang tergabung dalam gerakan ini bersifat monolitik. Pada tingkatan individu jelas memiliki titik tekan dan perspektif yang beragam, baik terhadap tradisi intelektual muslim sendiri maupun terhadap terhadap modernitas Barat.23 Tetapi mereka memiliki epistemik (kerangka

20Istilah ‚neo-modernisme‛ kali pertama digunakan untuk menandai gerakan reformasi Islam oleh Fazlur Rahman, intelektual muslim asal Pakistan, yang menjadi guru bagi Nurcholish

Madjid dan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Istilah ini muncul dalam salah tulisan Fazlur Rahman, ‚Islam: Past Influence and Present Challenge,‛ Islam: Challenges and Opportunities, ed. Alford T. Welch and Cachia Pierre (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), hal. 315-330.

21Gerakan pembaharuan Islam puritan di Indonesia kali pertama di Sumatera yang dipimpin oleh kaum Paderi menyerang pola keberagamaan masyarakat adat lokal yang dianggap

bertentang dengan ‚Islam sejati‛. Kelompok kaum Paderi ini dipimpin oleh Imam Bonjol, yang kemudian menyulut Perang Paderi yang berlangsung dari 1821-1838, karena pemimpin kaum adat meminta bantuan Belanda. M.C. Rickleft, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: Serambi, 2005), hal. 303.

(15)

berpikir) yang sama. Mereka menolak adanya ‚tirani iman‛ yang selama ini diidentikan dengan nalar yang berasal dari tradisi Islam dan ‚tirani rasio‛ yakni ide-ide yang berasal dari peradaban Barat. Tujuan utama gerakan pembaharuan Islam model ini adalah menggabungkan semangat ‚spiritualisme‛ yang merupakan sumber nilai-nilai agama dan ‚rasionalisme‛ yang menjadi dasar kemajuan peradaban Barat.

Titik tekan pembaharuan Neo Modernisme adalah teologi Islam (kala>m), sebab kala>m merupakan fondasi keilmuan dan dasar sistem masyarakat muslim, baik untuk kehidupan pribadi maupun publik. Karena itu persoalannya tidak hanya menyangkut persoalan iman semata (hubungan manusia dengan Tuhan), tetapi juga berkaitan dengan persoalan kemanusian dan kemasyarakatan; yakni menyangkut permasalahan kekuasan atau negara (dulu khila>fah), hukum (shar’), ortodoksi (h}usn wa qubh}), rasio atau nalar (ijti>ha>d), hakikat tindakan manusia (qudrah, human agency), komunitas (ummah) dan nilai-nilai kolektifnya seperti keadilan dan persamaan. Karena itu, dalam masyarakat muslim sangat tidak tepat apabila persoalan agama dapat dipisahkan dari persoalan publik, seperti dalam konsep sekularisme di Barat. Meskipun antara persoalan agama yang murni (ibadah) dan persoalan publik (mu’amalah) bisa dibedakan dari segi hakikat dan cara memahaminya.

Neo Modernisme berusaha untuk merekonfigurasi sistem keyakinan mayoritas muslim Indonesia yang didominasi oleh madhab Asha’riyah atau Sunni. Sebab sistem teologi Sunni dianggap tidak memadai untuk dijadikan dasar bagi ummah dalam mengalami kehidupan modern. Kala>m Sunni ini menekankan pada kemahakuasaan Allah dan menolak kebaikan dan keburukan diluar yang sudah ditetapkan Allah melalui wahyu (Alquran dan Sunnah). Kala>m Sunni pun menolak kemampuan akal manusia (qudrah) untuk menilai baik atau buruk tindakan manusia. Karena itu sangat menekankan pada penerapan shari’ah yang dipandang sebagai representasi dari wahyu dan menjadi dasar dari etika Islam. Konsekwensinya penganut madhab Sunni kurang menghargai usaha untuk melakukan penalaran (ijti>h}a>d).

Sikap seperti itu awalnya untuk menjamin supermasi shari>’ah sebagai pembimbing kehidupan ummah dan untuk melindunginya dari manuver politik yang sembarangan. Namun pada akhirnya juga berimplikasi pada sistem kekuasaan atau politiknya. Negara dipandang sebagai pelindung agama dalam hal ini shari>’ah. Implikasi dari hal itu adalah sistem kekuasaan dalam masyarakat muslim tradisional sangat elitis dan feodal karena hanya bertumpu pada ulama, sebagai pemegang otoritas shari>’ah (agama) dan khalifah/sultan sebagai pemegang kekuasaan. Sedangkan masyarakat muslim dianggap hanya menjadi obyek kekuasaan karena dipandang tidak memiliki kemampuan untuk menilai kebaikan dan keburukan suatu tindakan, selain yang telah ditentukan oleh pemegang otoritas agama dan politik.

pentingnya memahami kembali kalam Mu’tazilah. Nurcholish Madjid menekankan pada telaah kritis terhadap tradisi untuk mencari kesesuaian Islam dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Abdurahman Wahid menekankan reaktualisasi tradisi dan pribumisasi Islam. Munawir Sjadzali

(16)

Sikap yang seperti jelas kurang sesuai dengan tuntutan sistem kekuasaan negara modern yang memandang manusia sebagai individu rasional yang memiliki sejumlah potensi. Sistem kekuasaan yang sesuai dengan cara pandangan yang demikian adalah sistem yang bisa melindungi realisasi potensi yang dimiliki setiap warganya, yaitu demokrasi. Sistem demokrasi bukan saja bertujuan untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan politik, hal yang terabaikan dalam sistem politik Islam selama ini, tetapi juga sistem yang bisa menjaga dan menghargai nilai-nilai dasar kemanusian. Sistem ini pun membutuhkan individu-individu yang memiliki nilai-nilai keadaban seperti; persamanaan, toleran dalam perbedaan, saling menghargai dan tidak memaksakan kehendak.

Pengetahuan dan sistem kekuasan negara modern tersebut berasal dari Barat yang berasaskan kepada sekularisme. Artinya demokrasi dan hak asasi manusia tumbuh di Barat setelah agama dipinggirkan perannya dari masyarakat sipil, negara dan politik. Akankan agama dalam masyarakat muslim pun mengalami hal yang sama untuk menjadi masyarakat modern? Tantangan yang demikian itu yang dihadapi intelektual muslim di era modern.

Buku ini akan berusaha untuk menunjukkan bahwa tradisi intelektual berkembang seiring dengan perkembangan rasionalitas manusia dan sistem kekuasaanya yang dibangunnya. Karena itu tradisi tidak mesti dipahami hanya rekapitulasi kepercayaan dan praktek masa lalu, namun merupakan kerangka pemikiran yang telah mapan dipakai oleh suatu masyarakat (dalam hal ini kaum muslim) untuk memahami tantangan kehidupan yang dihadapinya. Kerangka pemikiran ini tentunya memiliki sejumlah teks-teks yang dianggap otoritatif, prosedur, argumen dan prakteknya.

B. Islam sebagai Tradisi Diskursif

Mengkaji pemikiran gerakan pembaharuan Islam di era modern tidak bisa dilepaskan dari relasinya dengan sekularisme yang berkembang di Barat, yang kemudian akan diterapkan di masyarakat muslim. Hal itu dimaksudkan bukan untuk mengukur tingkat kemajuan dan kemodernan Islam Indonesia dengan patokan-patokan yang ada di Barat atau sebaliknya untuk melihat tentang pengaruh Barat yang ‚mengotori‛ praktek dan pemikiran masyarakat muslim Indonesia. Namun untuk melihat artikulasi keislaman di Indonesia era modern yang berusaha untuk keluar dari dikotomi antara sekular-modern dengan agama-tradisional. Kaum pembaharu tetap berpijak pada tradisi intelektual Islam, bukan untuk dijadikan ‚senjata intelektual‛ melawan sekularisme kebudayaan Barat, tetapi merekonfigurasi tradisi Islam agar sesuai dengan sistem kekuasaan kehidupan modern. Mereka berusaha ‚merambah jalan baru‛ Islam yang tidak lagi sama dengan para pendahulunya dengan merekonstruksi konsep-konsep dasar Keislaman dengan sudut pandang baru.24 Mereka tidak hanya kritis

(17)

terhadap khazanah muslim, tetapi juga terhadap peradaban atau kebudayaan Barat sekular. Mereka mengasumsikan adanya kehidupan modern yang berbeda dari modernitas yang berkembang di Barat.

Rekonstruksi argumen-argumen yang dikemukakan oleh gerakan pembaharuan tetap berlandaskan pada tradisi diskusif Islam, bukan pada tradisi liberal Barat. Ini tidak berarti mereka hanya ‚mengekor‛ pada masa lalu.25

Namun hal itu suatu usaha dalam berargumen yang bersifat persuasif dalam memahami keadaan saat ini dengan merujuk pada masa lalu dan pada korpus yang otoritatif yang menentukan batas-batas dan kemungkinan-kemungkinan epistemologi, budaya dan kelembagaan sehingga klaim mereka menjadi bermakna. Hal itu juga bukan sebagai tanda kemandegan, karena tradisi dinilai, dievaluasi dan kemudian dievaluasi kembali berdasarkan pada suatu dialog dan konsesus. Dengan demikian tradisi Islam bukan sesuatu yang sudah final, tetapi terus terbuka dan berubah.

Berdasarkan dari perspektif itu, maka corak dari pemikiran gerakan Keislaman, termasuk di dalamnya gerakan pembaharuan, selalu adanya unsur kontinuitas (keberlanjutan) dengan tradisi yang sudah mapan, dan diskontinuitas (keterputusan) yang merupakan aspek kreativitas intelektual karena adanya perkembangan baru dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya dan ilmu pengetahuan, yang tidak muncul pada era sebelumnya. Hal itu mengindikasikan bahwa konstruksi pemikiran keislaman ‚kaum pembaharu‛ tidak bisa dilepaskan dari situasi masyarakat Indonesia di era modern ini. Memahami perkembangan intelektual muslim selalu akan ditemui unsur-unsur kreativitas (perbedaan), selain unsur otensitasnya. Perbedaan itu mesti dipahami sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan dalam ‚dunia‛ yang mereka huni yang pada akhirnya melahirkan dimensi berbeda dalam cara pandang. Hal ini yang menyebabkan mereka berbeda, menurut Arkoun‛ dalam hal tingkatan antara Bahasa, Sejarah dan Pemikiran.26

Penggunaan metodologi untuk memahami Islam yang dipakai di kalangan Orientalis atau Islamis yang hanya bertumpu pada teks-teks, maupun para sarjana sosial-politik Barat yang melihat masyarakat Islam dari struktur-struktur sosial, ekonomi dan politik, mengabaikan evolusi dan perdebatan dalam pembentukan wacana (formasi diskursif) yang digunakan, yakni; konsep, pengetahuan dan praktek wacana Islam. Karena mengabaikan evolusi wacana keislaman, pendekatan orientalisme mengasumsikan bahwa ada esensi tradisi Islam yang tidak berubah dan monolitik. Islam dianggap sebagai tradisi yang stagnan dan telah membeku. Setiap perubahan yang terjadi dianggap sebagai hal yang aneh dan dianggap bukan dari Islam.27 Termasuk dalam memahami hubungan agama dan negara dalam Islam. Seolah sudah menjadi harga mati bahwa agama dan negara dalam konsep Islam itu bersifat integratif.

25Samira Haj, Reconfiguring Islamic Tradition: Reform, Rationality and Modernity (Stanford: Stanford University Press, 2009), hal. 6.

26Mohammed Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994), hal. 55.

(18)

Sedangkan pendekatan yang dipergunakan sarjana sosial politik memahami masyarakat muslim semata dari sisi struktur sosial dan ideologi politik yang mereka, sedangkan aspek Keislaman tidak jadi pertimbangan. Konstruksi analisis yang digunakan masyarakat muslim pun berdasarkan standar ilmu sosial-politik, seperti; protes sosial, kesenjangan ekonomi, anomi, strategi akomodatif, perlawanan dan sebagainya. Sedangkan aspek moralitas, konsep kesalehan, ketuhanan dan konstruks pemikirannya hanya dipandang sebagai epifenomena.28 Hal itu bukan sesuatu yang salah, tetapi pandangan yang

demikian itu mereduksi kompleksitas keberagamaan hanya dilihat dari kecenderungan ideologi dan struktur sosialnya. Hal itu terlihat dalam memahami fenomena masyarakat muslim yang dikotomis; Islam vs sekular, modern vs tradisional.

Kedua pendekatan yang demikian itu mengabaikan hal penting dalam memahami tradisi Islam sebagai tradisi yang hidup, yang membentuk dan sekaligus dibentuk dalam kondisi-kondisi budaya, sosial, politik dan ekonomi yang dihadapi kaum muslim di berbagai tempat dan sepanjang perjalanan sejarah umat Islam. Pendekatan yang digunakan para orientalis dan sarjana sosial Barat itu dalam mengkonstruksi gerakan Islam dari perspektif tradisi liberal yang mereka anut, sesungguhnya lebih bersifat ideologis dari pada suatu usaha untuk memahami gerakan Islam itu sendiri.

Pandangan bahwa esensi Islam itu tidak berubah dan monolitik tercermin dari pandangan Muhammad Kamal Hasan bahwa gerakan pembaharuan ‚Neo Modernisme‛ Indonesia sebagai gerakan sekular dan heterodok (bid’ah). Ia menyatakan bahwa gerakan pembaharuan Indonesia merupakan propaganda ide penerapan sekularisme, menjadikan Islam sebagai agama pribadi, untuk modernisasi Indonesia.29 Melihat gerakan pembaharuan sebagai sekular jelas tanpa memahami perbedaan bentuk wacana dan pandangan dunia (way of life) yang digunakan tradisi Islam dengan tradisi Barat. Kedua hal itu yang membentuk perbedaan-perbedaan tentang individu (subyek), sistem pengetahuan dan penataan pengalaman.

Demikian pandangannya bahwa gerakan pembaharuan sebagai bid’ah. Hal itu terjadi, bukan semata keyakinan apriori sendirinya terhadap gerakan pembaharuan, tetapi juga alasan metodologis yang digunakan. Penjelasan Kamal Hasan yang naratif, dengan mengandalkan data-data deskritif yang disampaikan para tokoh gerakan pembaharu, para pendukung dan para penentangnya, telah mengabaikan evolusi wacana pembaharuan yang terjadi dalam tradisi Islam yang telah berkembang pasca kenabian dengan berbagai macam variasi pemikirannya.

Penjelasan yang sama, bisa juga ditujukan kepada peneliti yang

28Islam dipandang sebagai epifenomena artinya Islam tidak dipandang sebagai variabel penting sebab fenomena (simbol atau tanda Islam) dipahami bukan penyebab sesungguhnya, sebab ia hanya terjadi akibat perubahan struktur materi. Lihat Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism (Princeton: Princeton University Press, 1999), hal. 15.

(19)

menyatakan bahwa gerakan pembaharuan di dunia muslim, termasuk di Indonesia itu sebagai gerakan ‚liberal‛. Hal itu terlibat pada tulisan-tulisan Albert Hourani,30 Greg Barton,31 Luthfi Assyaukanie.32 Para pembaharu tidak berniat memandang agama harus dipinggirkan dari wilayah publik dan hanya menjadi persoalan pribadi. Sebab para penganut liberalisme bukan saja berpendapat negara mesti dipisahkan dari agama, mereka pun berkeyakinan bahwa etika dan moral berdasarkan pada pertimbangan ‚akal universal‛ atau ‚nalar positivisme‛ dalam menata kehidupan sosial mereka. Liberalisme pun melarang agama dan moralitasnya dari ruang publik serta menempatkan kepentingan individu sebagai dasar penting tatanan sosial.33

Menyadari keterbatasan metodologis dalam memahami gerakan pembaharuan, maka pendekatan yang dianggap memadai adalah pendekatan yang ditawarkan Talal Asad, yakni Islam mesti dipahami sebagai ‚discursive tradition‛ (tradisi diskursif).34 Pendekatan yang ditawarkan Talal Asad ini memberikan alat analisis yang penting bagi yang meminati kajian keislaman. Karena pendekatan tersebut berusaha untuk keluar dari dikotomi antara pendekatan teks yang biasa dipakai para orientalis, dengan pendekatan yang hanya menekankan pada faktor-faktor sosial, politik dan ekonomi.

Tradisi, menurut Asad, bukanlah seperti yang didefenisikan oleh para orientalis, antropologi atau sarjana muslim sendiri, yang memandangnya sebagai ‚warisan masa lalu‛ yang berlawanan dengan modernitas atau lawan dari rasio.35 Tradisi adalah sekumpulan wacana yang tumbuh, berkembang atau tersingkir sesuai dengan kekuatan-kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang mengitarinya. Sebuah tradisi secara esensial terdiri dari wacana-wacana yang berusaha menginstruksi para praktisinya mengenai bentuk yang benar dan tujuan dari suatu praktek tersebut yang, secara tepat karena ia diciptakan, memiliki suatu sejarah. Wacana-wacana itu berhubungan secara konseptual dengan masa lalu (ketika praktek yang bersangkutan dilembagakan, dan darinya pengetahuan tentang isi dan pelaksanaanya yang tepat ditransmisikan) dan masa depan (bagaimana isi dari praktek itu dapat dipelihara sebaik-baiknya dalam jangka pendek atau jangka panjang, atau mengapa ia harus dimodifikasi atau ditinggalkan) melalui masa sekarang (bagaimana ia dihubungkan dengan praktik-praktik lainnya, lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi sosial). Suatu tradisi

30Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939 (Cambridge: Cambridge University Press, 1983).

31Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: Paramadina, 1999).

32Luthfi Assyaukanie, Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia (Jakarta: Freedom Institute, 2011).

33Charles Taylor, Sources of the Self: the Making of Modern Identity (Cambridge and

Massachusetts: Harvard University Press, 2001), hal. 91

34Talal Asad, ‚The Idea of An Anthropology of Islam‛ Occasional Papers Series, Center for Contemporary Arab Studies, (Washington D.C.: Georgetown University, 1986), hal. 15

(20)

diskursif sebenarnya adalah suatu tradisi wacana muslim yang mengarahkan dirinya kepada gambaran-gambaran tentang masa lalu dan masa depan Islam dengan merujuk kepada suatu praktek Islam tertentu yang ada di masa sekarang.36

Islam sebagai agama yang juga mencakup pandangan dunia (religion-cum-worldview) memiliki teks-teks dasar yang otoritatif (Alquran-Hadits) dan sejarah pergumulan intelektual yang mapan berdasarkan pada teks-teks dasar tersebut. Islam sebagai tradisi diskursif mesti dipahami sebagai ‚perkembangan seperangkat wacana yang terwujud dalam praktek-praktek dan lembaga-lembaga pada masyarakat muslim dan melekat secara mendalam dalam kehidupan material para penganutnya‛.37

Dengan demikian tradisi akan lebih tepat kalau dipahami sebagai kumpulan wacana yang telah berlangsung sepanjang masa, sebagai kerangka berpikir (memahami) bukan seperangkat doktrin-doktrin yang tidak bisa berubah. Tradisi tidak semata-mata merujuk kepada masa lalu atau hanya repetitif tetapi lebih pada keinginan adanya koherensi yang berkesinambungan dengan merujuk ke seperangkat teks, prosedur, argumen dan praktek. Kumpulan kepercayaan dan pemahaman yang telah ditentukan itu, baik dalam tataran intelektual, politik, sosial dan budaya, membingkai praktek-praktek nalar Islam. Kumpulan wacana tersebut yang memiliki keragaman posisi, peran dan tugas yang pada akhirnya membentuk korpus pengetahuan Islam.

Dengan demikian, menurut Talal Asad, bahwa tradisi mesti dipahami sebagai suatu dimensi kehidupan sosial bukan suatu tingkatan perkembangan sosial. Penting untuk dipahami ‚tradisi dan modernitas‛ bukanlah dua hal yang tidak berkaitan dalam suatu budaya atau masyarakat tetapi yang terjadi adalah adanya perbedaan aspek-aspek kesejarahan.38 Hal itu berarti bahwa tradisi diskursif Islam memiliki ciri tersendiri baik rasionalitas maupun gaya berpikirnya, yang tertulis dalam teks-teks, sejarah dan institusinya. Ini bukan berarti bahwa ada semacam rasionalitas, logika atau filsafat yang khas Islam dan tidak bisa ditembus atau dipengaruhi oleh orang luar, tetapi ada semacam pertimbangan-pertimbangan teroritik dan premis-premis tertentu yang bersumber dari isi dan bentuk wacana-wacana dasar Islam ( yakni; isi dan konteks Kitab Suci, pengalaman sejarah Islam pada masa awal, dan sebagainya). Siapa pun yang terlibat dalam tradisi Islam mesti memulainya dari hal tersebut.

Tradisi diskursif Islam itu tentu berbeda dengan yang terjadi di Barat. Barat memiliki tradisi diskursif sendiri, yakni liberalisme. Liberalisme juga merupakan sebuah tradisi, yang merupakan satu aspek penting pada masyarakat Barat modern. Seperti dinyatakan oleh MacIntyre bahwa liberalism itu sendiri berkembang menjadi tradisi:

Teori liberal lebih baik dipahami, bukan sebagai usaha untuk menemukan

36Talal Asad, ‚The Idea of an Anthropology of Islam‛, hal. 15.

37Ovamir Anjum ‚Islam as a Discursive Tradition: Talal Asad and His Interlocutors‛, Comparative Studies of South Asia, Africa and Middle East, vol. 27, No. 3, 2007.

(21)

sebuah rasionalitas yang terbebas dari tradisi, tetapi sebagai ia sendiri secara kesejarahan merupakan artikulasi kemajuan dan perkembangan seperangkat institusi dan bentuk-bentuk aktivitas...seperti hal tradisi yang lain, liberalisme sendiri mempunyai seperangkat teks-teks otoritatif, dan memiliki pertentangan-pertentangan atas penafsirannya.39

Apabila para reformis Islam mencari dukungan bagi argumen-argumen kontemporernya dengan merujuk pada teks-teks dasar di masa lalu yang dianggap otoritatif, sesungguhnya tidak jauh berbeda yang dilakukan para sarjana liberal yang mengutif teks-teks yang dianggap otoritatif untuk menjelaskan kondisi saat ini. Mereka memiliki posisi yang berbeda-beda dalam memperebutkan penafsiran ‚yang benar‛ atas suatu teks-teks dasar yang dianggap memiliki otoritas.40

Berdasarkan pandangan tersebut, gerakan Islam pada masa kontemporer ini tidak memadai dengan mendikotomikan tradisional-modern sebagai sesuatu yang berlawanan, tetapi mesti dipahami dalam terma perbedaan cara pandang mereka dalam memahami, mengartikulasikan dan mempraktekkan Islam. Adanya keberlanjutan (kontinuitas) dan keterputusan (diskontinuitas) dalam pemikiran dan praktek mereka mesti dipahami sebagai bagian dari dinamika diskursif yang dipaksa oleh lingkungan global yang terus berubah.

Berdasarkan hal itu, untuk bersifat adil, dalam memahami gerakan revivalisme Islam tidak semata dilihat dari terma tujuan politik atau dari standar tradisi liberal pengalaman negara-negara Barat, mereka diberi label sebagai kaum ‚fundamentalis‛ atau ‚liberal‛. Namun hendaknya dipahami dari tradisi diskursif dalam Islam yang memiliki argumentasi dan standar nalar tertentu dengan standar internal koherensi rasional yang dimilikinya. Berdasarkan hal itu, maka memahami ‚produksi intelektual‛ mereka tidak hanya pada fungsi-fungsi politiknya tetapi juga mesti menganalisa jenis-jenis nalar yang mereka guna dengan perangkat argumen yang telah diakui dalam tradisi intelektual kaum muslim secara umum. Di sini akan tersingkap ‚modal kekuasaan‛ yang bekerja dan resistensi terhadap kekuasaan tersebut. ‚Kuasa dan resistensi adalah hal yang intrinsik dalam perkembangan dan pelaksanaan berbagai praktek tradisional‛.41

Pengkajian tentang gerakan revivalisme Islam Indonesia telah banyak dilakukan oleh para sarjana Indonesia maupun asing. Tema-tema yang dipilih umumnya berkaitan dengan hubungan ‚kekuasan dan Islam‛, baik mendukung atau menentang kekuasaan politik. Namun masih sangat jarang yang mengkaji tentang artikulasi pemikiran keislaman dibawah pengaruh ‚kekuasaan‛ negara modern. Padahal praktek sekularisme yang dibawa dan diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia telah mempengaruhi terjadi ‚rekonfigurasi pemahaman dan praktek keislaman‛ di Indonesia, terutama mengenai kekuasaan negara, lembaga hukum, moralitas dan otoritas keagamaan.

Perkembangan gerakan Islam, pada tiga puluh tahun terakhir, telah banyak mengalami perubahan visi dan orientasi sosial dan politik yang

39Alasdiar MacIntyre, dikutif dalam Samira Haj. Reconfiguring Islamic Tradition, hal. 5.

(22)

diperjuangkan. Yang menarik gerakan pembaharuan tersebut lebih diarahkan kepada proses re-Islamisasi yang berkaitan dengan praktek sosial dan praktek disiplin untuk membentuk subyek muslim yang aktif dalam ruang publik. Namun demikian, proyek gerakan Islam tersebut bukan diarahkan untuk mendirikan negara Islam atau mendukung penggunaan militer dan kekerasan untuk mewujudkan program menciptakan individu dan masyarakat ‚muslim yang baik‛. Tetapi proyek tersebut diarahkan untuk transformasi diri melalui penanaman moral dan etika sebagai landasan untuk bisa tampil di ruang publik.

Tidak banyak karya ilmiah, para sarjana, yang memperhatikan bentuk-bentuk Islam kontemporer dari perspektif ini. Analisis para kesarjanaan dan tulisan-tulisan umumnya difokuskan pada ideologi gerakan Islam tersebut, latar belakang sosial sosial-ekonominya dan konteks politik kemunculan gerakan tersebut.Pengkajian tentang munculnya gerakan revivalisme di Indonesia selama ini dilakukan baru sebatas pada penjelasan deskriptif tentang ide-ide yang dikemukakan oleh para tokoh dan elit intelektual kaum pembaharu, mengabaikan hal penting tentang kondisi-kondisi diskursif dan non-diskursi yang membentuk ‚ide-ide pembaharuan‛ tersebut. Hal ini terlihat pada karya Greg Barton yang mendeskripsikan tentang ide-ide pembaharuan empat tokoh Neo-Modernisme Islam Indonesia: Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid.42 Hal yang serupa dilakukan oleh Fauzan Saleh yang mendeskripsikan tentang ‚adanya suatu kontinum perkembangan, dimulai dari satu tahap ke tahapan berikutnya.‛ Ia menjelaskan tentang ‚kehidupan keagamaan yang mendekati orsinilitas doktrinnya‛.43 Penjelasan tersebut terkesan sangat bias, karena merendahkan ortodoksi kelompok lainnya. Nampak sekali ia mengabaikan hal penting, yakni tentang kekuasaan yang mendorongnya menjadi demikian.

Karya intelektual yang membahas tentang hubungan ‚Islam dengan Kekuasaan‛ di Indonesia adalah karya Bahtiar Effendy yang berisi tentang penjelaskan hubungan ‚Islam dan Negara‛, yang merupakan suatu yang berharga.44 Fokus dari kajian buku ini adalah tumbuh dan berkembangnya teologi Islam yang lebih sesuai dengan sistem kekuasaan negara modern yang menekankan kepada demokrasi dan penegakan hak asasi manusia, bukan semata sebagai sikap akomodatif terhadap program-program pembangunan Orde Baru. Indonesia, menurutnya, adalah sedikit dari negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim yang berhasil mencari jalan keluar dari kesulitan dalam mensintesakan Islam dengan sistem politik modern. Karya ini berhasil menjelaskan usaha intelektual muslim dalam merekontruksi teologi Islam yang sesuai dengan kehidupan modern yang meratakan jalan masyarakat muslim untuk melepaskan dari kungkungan simbol dan kelembagaan partai politik Islam, yang

42Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Jakarta: Paramadina, 1999).

43Fauzan Saleh, Teologi Pembaharuan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2004).

(23)

pada akhir berhasil ‚mengikis kecurigaan‛ pemerintah Orde Baru terhadap para aktivis Islam modern. Meskipun demikian, karya ini tidak memberikan perhatian pada perkembangan formasi wacana reformasi Islam.

Karya menarik lainnya tentang hubungan Islam dan kekuasaan adalah karya Yudi Latif. Meskipun karya ini berhasil mendeskripsikan tentang kondisi diskursif dan non-diskursif tentang pembentukan kaum intelegensia Indonesia, namun fokus tulisan ini pada perjuangan kaum inteligensia Indonesia dalam meraih atau menentang kekuasaan politik di Indonesia. Sedikit sekali menyinggung tentang pembentukan sistem berpikir mereka, terutama perubahan teologis mereka. Padahal itu sangat penting memahami argumentasi yang mereka kemukakan sebagai bagian dari tradisi diskursif Islam.45

Kajian yang serupa terlihat pada karya Faisal Ismail yang berisi tentang respon tokoh-tokoh organisasi masyarakat Islam dan partai politik Islam terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai Pancasila. Karena fokus karya ini pada respon para tokoh politik Islam dan argumen-arguman keagamaan tokoh tersebut dalam menerima dan menolak kebijakan Orde Baru tersebut.46 Karya lain yang cukup menarik tentang tela’ah argumentasi keagamaan yang dikemukaan para ulama Indonesia justru ditemukan dalam karya Greg Fealy yang berjudul ‚Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967‛. Indonesianis asal Australia ini berhasil menjelaskan tentang alasan keagamaan tentang sikap politik NU yang terkesan bagi ‚orang luar‛ bersifat oportunis. Ia berhasil berhasil mengelaborasi argumen para ulama NU yang selalu mengacu pada pencapaian mas}lah}ah dan menjauhi mafsadah.

Sesuai dengan kerangka teori yang telah dijelaskan di atas, pembahasan buku ini menggunakan pendekatan yang diperkenalkan Talal Asad bahwa Islam adalah sebuah tradisi wacana (diskursif) yang muncul, berkembang atau tersingkir sesuai dengan kekuatan-kekuatan sosial yang mengitarinya. Dalam perspektif ini, tradisi dipahami bukan lawan dari nalar, tetapi kumpulan wacana yang telah berlangsung sepanjang masa, yakni sebagai kerangka berpikir (memahami) bukan seperangkat doktrin-doktrin yang tidak bisa berubah. Tradisi merujuk kepada masa lalu bukan berarti repetitif tetapi lebih pada keinginan adanya koherensi yang berkesinambungan dengan merujuk ke seperangkat teks, prosedur, argumen dan praktek yang telah ada. Namun demikian dalam setiap peradaban selalu ada kesinambungan dan keterputusan. Kesinambungan merupakan cerminan dari otensitas budaya, sedangkan keterputusan dipandang sebagai perubahan dan inovasi. Sesungguhnya antara tradisi dengan modern bukan lawan, tetapi dimensi kehidupan yang berbeda.

Metode dan Sistematika Pembahasan

Sumber data yang dipakai dalam penyusunan buku ini adalah kepustakaan. Sumber kepustakaan berasal dari karya-karya yang ditulis para

45Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20 (Bandung: Mizan, 2005).

(24)

intelektual muslim, terutama dari kalangan pembaharu; terutama tulisan Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Abdurrahman Wahid yang tulisannya tersebar luas, baik berupa buku, artikel atau laporan jurnalistik. Selain itu, sumber data tulisan ini juga menggunakan sumber sekunder; yakni publikasi ilmiah yang ditulis para ahli tentang keislaman, khususnya tentang Islam Indonesia.

Tekhnik analisa data yang dipakai dalam buku ini adalah analisis wacana. Wacana berkaitan dengan bahasa dan praktek sosial. Bahasa bukanlah medium netral yang digunakan dalam pembentukan dan transfer nilai, makna dan pengetahuan yang berada di luar bahasa. Bahasa lebih tepat dipahami bersifat konstitutif terhadap nilai, makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa sebaiknya tidak dilihat sebagai refleksi naif dari makna-makna non-linguistik, atau sekedar dipahami sebagai alat yang bisa dipakai sesuai dengan niat para pengguna bahasa. Namun demikian nilai, makna dan pengetahuan yang terkandung dalam bahasa tersebut lahir dalam sebuah determinisme sejarah; kondisi-kondisi material dan praktek sosial tertentu.

Berdasarkan hal itu, dalam menganalisa gagasan pembaharuan Islam di Indonesia, sebaiknya tidak sekedar mendeskripsikan, menganalisa dan menjelaskan pengaruh atau efeknya, tetapi juga mesti memperhatikan kondisi historis; kekuasaan diskursif (pengetahuan dan sains) dan non-diskursif (sistem politik, sosial dan ekonomi) yang membentuk wacana pembaharuan tersebut lahir.

Dalam menyusun buku ini akan dipilah menjadi tujuh bab. Bab I merupakan pendahuluan yang menjelaskan rencana dan strategi dari penyusunan buku ini, yang terdiri atas latar belakang, permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan, kerangka teori, kajian pustaka, metode yang digunakan yang meliputi pembahasan tentang pendekatan yang dipakai, sumber dan teknik pengumpulan data dan penjelasan konsep serta organisasi rencana pembahasan buku ini.

Bab II memuat tentang sekularisme, agama dan modernitas. Bab ini menjelaskan perkembangan dan transformasi pemikiran tentang sekular dan agama di era modern, yakni tentang cara-cara agama dan sekular dipahami dan dikonseptualisasi. Pembahasan ini dimulai tentang transformasi makna sekular yang awalnya merupakan bagian dari ‚wacana agama‛ kemudian menjadi dasar atau landasan dalam memahami agama melalui teori-teori sosial, politik dan budaya. Pada akhir pembahasan tulisan di bab ini dipaparkan tentang praktek sekularisme dalam memperlakukan atau memposisikan agama dalam kehidupan sosial politik masyarakat modern.

(25)

kelompok-kelompok kepentingan lainnya, dengan cara; menahan diri untuk tidak ikut campur dalam menata kehidupan internal masing-masing kelompok dan membuat konsep-konsep tentang sikap, aturan-aturan, hasrat dan selera tentang kehidupan modern dan hubungan antara negeri induk dan jajahan. Hal ini merupakan prakondisi bagi para pemikir muslim dalam merekonfigurasi Islam di Indonesia.

Selain itu pada bab ini juga akan dijelaskan perdebatan di kalangan intelektual (elit) muslim tentang merekonfigurasi Islam di era modern ini, yang berbeda dari era sebelumnya. Perdebatan itu terjadi tidak hanya pada masa-masa penjajahan Belanda, semenjak diterapkan politik etis, tetapi berlanjut hingga mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan perdebatan tersebut berlangsung sangat setelah Indonesia merdeka, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Bab IV memuat tentang pembahasan munculnya gerakan pembaharuan pemikiran di Indonesia dalam usaha ‚menerapkan‛ Islam sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan politik di Indonesia. Diawali dengan pembahasan tentang wacana pembaharuan dalam tradisi Islam, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan tantangan modernitas yang menuntut umat Islam untuk lebih kreatif dan aktif berperan di dalamnya. Tantangan yang dihadap para intelektual muslim adalah mempertahankan iman dengan merekonfigurasi tradisi Islam agar bisa responsif terhadap tuntutan zaman. Selain itu dijelaskan pula kritik terhadap pemikiran dan nilai-nilai sekular yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Bab V berisi tentang penjelasan usaha kaum pembaharu dalam merekonfigurasi tradisi Islam. Mereka mendefenisikan kembali konsep-konsep pokok dalam ajaran Islam yang dianggap orthodok, sebagai landasan untuk membentuk subyek dan masyarakat muslim di era modern. Bab ini juga menjelaskan tidak relevannya pandangan biner atau dikotomi dalam memahami gerakan pembaharuan. Sebab, meskipun tujuan mereka membentuk ‚muslim yang baik‛ yang dapat berperan aktif dalam institusi modern, tetapi bukan berlandaskan pada wacana libaral sekular Barat, tetapi tetap berakar dalam tradisi Islam.

Bab VI membahas tentang pembentukan subyek dan masyarakat muslim modern. Tujuan rekonfigurasi tradisi Islam adalah menciptakan individu dan masyarakat muslim Indonesia yang baru, yang mampu memasuki institusi modern dan terlibat aktif di dalamnya. Pada bab ini dijelaskan tentang subyek dan pembentukkannya. Selain itu dibahas pula tentang rekonfigurasi dalam teologi dan etika yang berimplikasi pada pemikiran tentang perlu reorientasi politik ummat, yang tidak lagi berpusat pada tujuan-tujuan politik praktis, tetapi pada nilai-nilai atau pesan-pesan Islam. Para kaum pembaharu sangat konsens pada upaya-upaya pemberdayaan masyarakat.

(26)

279

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. Responses of Indonesia Muslim Intellectuals to the Concept of Democracy, 1966-1993. Hamburg: Abera Verlag Meyer, 1997.

Abduh, Muhammad. al-‘Amal al-Ka>mil li al-Ima>m Muhammad ‘Abduh. 3. ed. Muhammad Imarah. Cairo: Da>r al-Syuruq, t.t.

Abdullah, Taufik. ‚Terbentuknya Paradigma Baru: Sketsa Wacana Islam

Kontemporer.‛ dalam Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. 55-89. ed. Mark R. Woodward. Bandung: Mizan, 1998.

Abou El Fadl, Khaled M. Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. terj. R Cecep Lukman Hakim. Jakarta: Serambi, 2003.

Abou El Fadl, Khaled Medhat. ‚Islamic Law of Rebellion: The Rise and

Development of the Juristic Discourses on Insurrection, Insurgency and Brigandage.‛ Ph.D Dissertation. The Department of Near Eastern Studies, Princeton University, 1999.

Abu Zayd, Nasr H{ami>d. Naqd al-Khita>b al-Di>ni>. Kairo: Si>na: li al-Nashr, 1992.

Abu> Za>id, Nasr H{ami>d. Al-Nas}s}, al-Sult}ah, al-H{aqiqah. Bairut: al-Markaz al-Tsaqa>fi> al-‘Arabi, 1997.

Abu-Rabi, Ibrahim M. Intellectual Origins of Islamic Resurgence in the Modern Arab World. Albany: State University of New York Press, 1995.

Adang, Camilla. ‚Islam as the Inborn Religion of Mankind: The Concept

of Fit}ra in the Works of Ibn Hazm.‛ Al-Qantara, XXI, 2000, 391-410

Akhmed, Akbar S. Toward Islamic Anthropologhy: Defenition, Dogma and Directions..Ann Arbor: New Era Publications, 1986.

Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar. Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru.

Bandung: Mizan, 1986.

(27)

280

Amal, Taufik Adnan dan Panggabean, Samsu Rizal. Politik Syariat Islam: Dari Indonesia Hingga Nigeria. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004. Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin

and Spread of Nationalism. London, New York: Vers, 1991. Anjum, Ovamir. ‚Islam as a Discursive Tradition: Talal Asad and His

Interlocutors.‛ in Comparative Studies of South Asia, Africa and Middle East 27 no. 3. 2007.

Anjum, Ovamir. ‚Reason and Politics In Medieval Islamic Thought: The Taymiyyan Moment‛ Ph.D. Thesis. University of Wisconsin, Madison, 2008.

Anshori, Ibnu. ‚Mustafa Kemal and Sukarno: A Comparison of Views Regarding relations Between State and Religion.‛ Master Thesis.

Faculty of Graduate Studies and Research, Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, 1994.

Anshari, Endang Saefuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.

Arkoun, Mohamad. Nalar Islam dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru. terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS, 1994. Arkoun, Mohammad. Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan

Post Modernisme. Surabaya: Al-Fikr, 1999.

Arkoun, Mohammad. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answer. Translated and edited by. Robert D. Lee. Boulder: Westview Press, 1994.

Arkoun, Mohammed. Islam: To Reform or to Subvert. London: Saqi Books, 2006.

Arkoun, Mohammad. ‘Almanah wa Din: Islam, Masihiyyah, al-Gharab. London: Dar al-Saqi, 1993.

Arnason, Gardar Agust. ‚Politics of Truth: A Critique of Science and Power with Constant Reference to Michel Foucault,‛ Ph.D. Thesis, Graduate Department of Philosophy, University of Toronto, 2006.

Artz, Donna E. ‚The Application of International Human Rights Law in

(28)

281

1980.

Asad, Talal. Geneologies of Religion, Dicipline and Reasons of Power in Christianity and Islam. Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1997.

Asad, Talal. Formations of the Secular, Christianity, Islam and Modernity. Stanford, California: Stanford University Press, 2003.

Asad, Talal. ‚Anthropological Conceptions of Religion: Reflections on Geertz‛, in Man 18 No. 2. Juni, 1983. 237-259.

Asad, Talal. ‚From the History of Colonial Anthropology to the

Anthropology of Western Hegemony‛ in Colonial Situations: Essays on the Contextualization of Ethnographic Knowledge 7 in History of Anthropology. ed. G. Stocking. University of Wisconsin Press, 1991. 314-324

Asad, Talal. ‚Thinking about Secularism and Law in Egypt‛ dalam ISIM

Paper 2, Amsterdam University Press, 2001.

Asad, Talal. Modern Power and The Reconfiguring of Religious Tradition, Wawancara dengan Saba Mahmood.

Asad, Talal. ‚Conscripts of Western Civilization,‛ in Dialectical Anthropology: Essays in Honor of Stanley Diamond 1,

Civilization in Crisis. ed. Christine Gailey. Tallahassee: University Press of Florida, 1992. 335–51.

Asad, Talal. ‚The Idea of An Anthropology of Islam‛ Occasional Papers Series, Center for Contemporary Arab Studies, Georgetown University, Washington D.C., 1986.

Assyaukanie, Luthfi. Ideologi Islam dan Utopia: Tiga Model Negara Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Freedom Institute, 2011.

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1994.

Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid. Jakarta:Paramadina, 1999.

(29)

282

Benda, Harry J. The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation, 1942-1945 . The Hague and Bandung: W. Van Hoeve, 1958.

Berger, Peter L. ‚The Desecularization of the World: A Global

Overview,‛ in The Secularization of The World: Resurgent Religion and World Politics, ed. Peter L Berger Ethics and Public Policy Center and William B Eerdmans. Washington D.C: Grand Rapids, 1999. 1-18.

Bhargava, Rajeev. ed. Secularism and Its Critics. New York: Oxford University Press, 1998.

Binder, Leonard. ‚al-Ghazalis Theory of Goverment,‛ The Muslim World

45. 1955, 233-240.

Boland, B.J. Struggle of Islam in Modern Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1971.

Bourchier, David. Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Organis. Yogyakarta: Aditya Media, 2007.

Bourdieu, Pierre. Language and Simbolic Power. Cambridge: Harvard University Press, 1991.

Bowen, John R. Muslims through Discourse: Religion and Ritual in Gayo Society. New Jersey:Princeton University Press, 1993.

Bresnan, John. Managing Indonesia: The Modern Political Ekonomy. New York: Columbia University Press, 1993.

Casanova, Jose. ‚The Secular and Secularism.‛ Social Research 76. no 4, Winter 2009, 1049-1066

Casanova, Jose. Public Religions in the Modern World. Chicago: University of Chicago Press, 1994.

Cochran, Clarke E. ‚Introduction‛ dalam A Wall of Separation?: Debating the Public Role of Religion, eds. Mary C. Segers dan Ted G. Jelen. Lanham MD: Rowman & Littlefield Publishers, 1998.

Comte, August. System of Positive Polity, Vol. II. Trans by Harrison. New York: Lennox Hill, 1852 (1968)

(30)

283

Press, 1986.

Crouch, Harold. ‚Indonesia‛ in The Politics of Islamic Reassertion, ed.

Mohammaed Ayoob. New York: St. Martin’s Press, 1981.

Dalacoura, Katerina. Islam, Liberalism and Human Rights: Implications for International Relations. London: I.B. Tauris and Co Ltd.

Dallal, Ahmad. ‚The Origins and Objectives of Islamic Revivalist Thought,‛ Journal of the American Oriental Society 113 (1993): 341–59

Darmaputera, Eka. Pancasila and The Search for Identity and Modernity.

Leiden: E.J. Brill, 1988.

van Der Veer, Peter. Imperial Encounter: Religion and Modernity in India and Britain. Pinceton, New Jersey: Princeton University Press, 2001.

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998.

Eickelman, Dale F. ‚The Political Economy of Meaning.‛ American Ethnologist 6, 1979, 386-393.

Elson, R. E. The Idea of Indonesia: A History. Cambridge: Cambridge University Press, 2008.

Esposito, John L. The Islamic Threat: Myth or Reality?. Oxford: Oxford University Press, 1992.

Esposito, John L. ‚Muhammad Iqbal and the Islamic State‛ in Voice of Resurgence Islam, ed. John L. Esposito. 175-190. New York dan Oxford: Oxford University Press, 1993.

Euben, Roxanne L. Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism. Princeton: Princeton University Press, 1999.

Evertt, William Johnson. Religion, Federalism and Struggle for Public Life: Cases from Germany, India and America . New York: Oxford University Press, 1999.

Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LkiS, 1998.

(31)

284

Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia .

Ithaca and London: Cornell University Press, 1962.

Fisher, Michael. ‚Islam and the Revolt of the Petit Bourgeosie.‛ Daedalus 3 (Winter 1982):121.

Foucault, Michel. Power/Knowledge- Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. New York: Pantheon Books, 1980.

Foucault, Michel. The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences. London: Routledge, 1989.

Fraser, Nancy. Justicw Interruptus: Critical Reflections on the ‚Postsocialist‛ Condition. New York: Routledge, 1997

Fuda, Faraj. H{aqi>qah al-Ghaibah. Al-Qa>hirah: Da>r al-Fikr li al-Dira>sat wa al-Nashr wa al-Tawzi‘, 1988.

Galanter, Marc. ‚Secularism, East and West‛ dalam Secularism and Its Critics. 234-267. ed. Rajeev Bhargava. Delhi: Oxford university Press, 1998.

Gandhi, Mahatma. An Autobiography or the Story of My Experiments with Truth. Navjivan: Ahmedabad, 1940.

Gardet, Louis ‚ima>n‛ and ‚isla>m‛, in Encyclopedia of Islam. Leiden, the Netherlands: Brill, 1950.

Al-Ghazali. al-Munqidh min al-D{ala>l. ed. Muhammad Abu> Sha>di>. al-Qa>hirah: Da>r al-Qalam lil al-Turath, n.d.

Geertz, Clifford. The Religion of Java. London: The Free Press of Glencoe, 1960.

Geertz, Clifford. Islam Observed. New Haven: Yale University Press, 1968.

Gellner, Ernest. Muslim Society. Cambridge: Cambridge University Press, 1995.

Guyer, Paul. Kant and the Claim of Knowledge. New York: Cambridge University Press, 1987.

Habermas, Jürgen. The Philosophical Discourse of Modernity. Polity Press, 1985

(32)

285

Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

Hallaq, Wael B. Ibn Taymiyyah Against the Greek Logicians. Oxford: Oxford University Press, 1999.

Hallaq, Wael B. Authority, Continuity, and Change in Islamic Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2001.

Hamburger, Philip. Separation of Church and State. Cambridge: Harvard University Press, 2002.

Hanafi, Hasan. Turath wa Tajdi>d: Mauqifuna> min Turath al-Qadi>m. Bairut:Dar al-Tanwir, 1981.

Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Harvey, Barbara Sillars. ‚Tradition, Islam and Rebellion: South Sulawesi

1950-1965.‛ Ph.D. A Thesis Cornell University, 1974.

Hassan, Muhamad Kamal. Muslim Intellectual Responses to "New Order" Modernization in Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1982.

Hatta, Mohammad, dkk. Uraian Pancasila. Jakarta: Mutiara, 1977.

Hatta, Mohammad. Indonesia Patriot; Memoirs . Singapura: Gunung Agung, 1981), 241.

Haurani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age. Oxford, New York: Oxford University Press, 1970.

Hefner, Robert W. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. terj. Wisnuwardhana & Imam Ahmad. Yogyakarta: LKiS, 1999.

Hefner, Robert W. Civil Islam; Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton: Princeton University Press, 2000.

Hidayat, Komaruddin. Wahyu di Langit, Wahyu di Bumi, Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2003. Hirschkind, Charles. ‚Civic Virtue and Religious Reason: An Islamic

Counterpublic Cultural Anthropology; Feb 2001; 16, 1; ProQuest Science Journals, 3-34

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pengujian hipotesis ketiga (H3) pada BAB IV, diperoleh gambaran bahwa antara penggunaan media pembelajaran berbasis TIK dengan motivasi belajar PAI pada Siswa

Ada indikasi bahwa penaburan zeolit sebanyak 5 kg/m 2 hamparan litter lantai kandang cenderung memperbaiki kualitas lingkungan kandang, mempertahankan tingkat konsumsi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Daya Tarik Rasional Periklanan ( Rational Advertising) Men’s Biore Cool Terhadap Keputusan Pembelian Pada

Data pada Gambar 6 menunjukkan bahwa pada masing- masing ukuran mata jaring saat bulan gelap maupun bulan terang terdapat perbedaan proporsi hasil tangkapan utama,

Tidak jauh berbeda dengan taksiran fungsi spline kuadratik menggunakan satu knot, pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa secara parsial, taksiran parameter fungsi

Tahap pelaksanaan dilakukan dengan pengumpulan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi dan dokumensi sehingga peneliti mengetahui bagaimana Analisis

Dengan adanya masalah yang ditimbulkan, penyusun mencoba merencanakan Proposal Tugas Akhir dengan judul METODE PELAKSANAAN, WAKTU, DAN BIAYA PEMBANGUNAN JEMBATAN KALIPEPE JALUR

Bank yang nilai rasio BOPO-nya tinggi menunjukkan bahwa bank tersebut tidak beroperasi dengan efisien karena tingginl,a nilai dari rasio ini memperlihatkan besamya