PENDAHULUAN Latar Belakang
Karet merupakan salah satu komoditas perkebunan di Indonesia.
Komoditas ini dibudidayakan relatif lebih lama daripada komoditas perkebunan lainnya. Tanaman ini diintroduksi pada tahun 1864. Dalam kurun waktu sekitar 150 tahun sejak dikembangkan pertama kalinya, luas areal perkebunan karet di
Indonesia telah mencapai 3.262.291 ha (Heru dan Andoko, 2008).
Perbandingan luas areal perkebunan karet menurut status pengusahaan
adalah Perkebunan Rakyat 85,10%, Perkebunan Besar Swasta 7,95%, Perkebunan Besar Negara 6,95%. Pada tahun 2013 volume ekspor 2.701.995 ton dengan nilai US$ 6.906.952 dan volume impor 24.527 ton dengan nilai US$ 52.045
(Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
Pengembangan perkebunan karet memberikan peranan penting bagi
perekonomian nasional, yaitu sebagai sumber devisa negara, sumber bahan baku industri, sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta sebagai pengembangan pusat-pusat pertumbuhan perekonomian di daerah dan sekaligus
berperan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Budiman, 2012).
Produksi lateks tanaman karet disamping ditentukan oleh keadaan tanah,
pertumbuhan tanaman dan klon unggul, juga dipengaruhi oleh teknik dan manajemen penyadapan. Selama ini usaha peningkatan produksi lateks dilaksanakan melalui berbagai usaha, antara lain melaksanakan teknis budidaya
yang baik seperti menanam klon unggul, pemupukan dengan dosis yang tepat dan
teratur serta sistem penanaman dan pemeliharaan yang baik (Nasaruddin dan Deasy, 2009).
2
Pengendalian secara hayati merupakan pengendalian suatu penyakit dengan menggunakan makhluk hidup yang bukan atau selain dari tanaman inang atau patogen yang menyebabkan penyakit tersebut. Tujuan pengendalian hayati
adalah untuk mengurangi jumlah inokulum patogen, menekan kemampuan
patogen menginfeksi inangnya dan mengurangi keganasan patogen tersebut
(Djafaruddin, 2008).
Pengendalian hayati dengan menggunakan mikroorganisme merupakan pendekatan alternatif yang perlu dikaji dan dikembangkan, sebab relatif aman
serta bersifat ramah lingkungan. Telah banyak dilaporkan beberapa mikroorganisme antagonis memiliki daya antagonisme yang tinggi terhadap
patogen tanaman dan dapat menekan perkembangan patogen tular tanah (soil borne pathogen). Mekanisme antagonis yang dilakukan adalah berupa persaingan
hidup, parasitisme, antibiosis dan lisis (Trianto dan Sumantri, 2003).
Trichoderma sp. merupakan agen antagonis yang banyak digunakan untuk
mencegah perkembangan beberapa patogen tanah. Migheli (1994) melaporkan penggunaan Trichoderma sp. secara tunggal atau bersama-sama dengan spesies
Trichoderma sp. lain telah digunakan dalam mengendalikan beberapa penyakit.
Tujuan Penelitian
hPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya antagonisme jamur Trichoderma koningii dan Trichoderma harzianumterhadap Ceratocystis
fimbriatadi Laboratorium.
Hipotesis Penelitian
Trichoderma koningii dan Trichoderma harzianumdapat menghambat
pertumbuhan jamur Ceratocystis fimbriata.
3
Kegunaan Penelitian
- Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di program studi
Agroekoteknologi Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. - Memberikan informasi mengenai kemampuan jamur Trichoderma koningii
dan Trichoderma harzianum sebagai agen antagonis untuk menghambat
pertumbuhan jamur Ceratocystis fimbriata.