• Tidak ada hasil yang ditemukan

Risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada sopir Angkutan kota ditinjau dari Indeks Massa Tubuh, Lingkar Leher, dan Usia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Risiko terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada sopir Angkutan kota ditinjau dari Indeks Massa Tubuh, Lingkar Leher, dan Usia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Tidur 2.1.1. Definisi

Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau dengan rangsang lainnya (Guyton dan Hall, 2008). Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Potter dan Perry, 2005).

2.1.2. Fisiologi

RAS merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk kewaspadaan dan tidur. RAS ini terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons yang dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri, perabaan dan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otak, yaitu BSR (Potter dan Perry, 2005).

Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya yaitu: 1. Fase Rapid Eye Movement (REM) disebut juga Active Sleep

2. Fase nonrapid Eye Movement (NREM) disebut juga Quiet Sleep

NREM terdiri dari 4 fase yaitu : a. Fase 1

(2)

b. Fase 2

Fase 2 atau disebut juga light sleep merupakan fase pertama menuju true sleep

(Tortora dan Derrickson, 2009). Pada tahap ini terdapat kumparan tidur (sleep spindles), yakni letupan kumparan pendek pada gelombang alfa yang timbul secara periodik (Guyton dan Hall, 2008).

c. Fase 3

Fase 3 merupakan suatu periode menuju tidur dalam (Tortora dan Derrickson, 2009). Pada fase ini, gelombang delta menjadi lebih banyak dan fase ini lebih lama pada dewasa tua, tetapi lebih singkat pada dewasa muda (Arifin et al, 2010). Orang yang sudah berada di fase 3 biasanya sulit untuk dibangunkan (Tortora dan Derrickson, 2009).

d. Fase 4

Fase 4 merupakan level paling tinggi dari tidur dalam. Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta sekitar 50 % (Tortora dan Derrickson, 2009).

Selama tidur REM, mata bergerak cepat ke berbagai arah, walaupun kelopak mata tetap tertutup. Pernafasan juga menjadi lebih cepat, tidak teratur, dan dangkal. Denyut jantung dan nadi meningkat (Patlak, 2005). Fase REM umumnya dapat dicapai dalam waktu 90-110 menit kemudian akan mulai kembali ke fase permulaan fase 2 sampai fase 4 yang lamanya 75-90 menit. Setelah itu muncul fase REM kedua yang biasanya lebih lama dari eye movement (EM) dan lebih banyak dari REM pertama. Keadaan ini akan berulang kembali setiap 75-90 menit. Siklus ini terjadi 4-5 kali setiap malam dengan irama yang teratur sehingga orang normal dengan lama tidur 7-8 jam setiap hari terdapat 4-5 siklus dengan lama tiap tiap siklus 75-90 menit (Arifin et al, 2010).

(3)

gelisah dan waktu terjaganya menjadi lebih lama. Sedangkan pada orang muda 15 % waktu tidurnya dihabiskan pada fase 4. Fase 4 biasanya tidak ditemukan pada orang tua, demikian juga lama fase REM akan mengalami penurunan yaitu pasca pubertas menjadi 18% pada orang tua. Hal ini menunjukkan bahwa tidur menjadi lebih singkat sehingga menyebabkan berkurangnya kesegaran sesuai bertambahnya usia (Arifin et al, 2010).

2.1.3. Sistem Pernapasan saat tidur

Pada orang normal, fungsi respirasi akan menurun selama tidur karena adanya hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernapasan dan ventilasi mengalami perubahan saat tidur dan berbeda untuk masing-masing NREM sleep dan REM

sleep. Selama NREM sleep, ventilasi akan menurun dan volume tidal juga menurun sehingga frekuensi napas juga ikut menurun Ventilasi selama REM sleep

juga menurun dibandingkan saat kondisi bangun. Pada orang dewasa normal, selama tidur volume tidal menurun 15-20 % dan lebih dangkal pada stage REM dibandingkan dengan stage NREM (Pack, 2008).

Penurunan fungsi respirasi yang terjadi selama tidur pada orang normal pada fase REM akan meningkatnya tahanan atau resistensi dari saluran napas atas yang disertai dengan penurunan tonus otot genioglossus, soft palate, diafragma, dan interkostal. Penurunan mucocilliary clearance dan reflex batuk juga terjadi selama tidur sehingga akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang berpengaruh terhadap orang normal, tetapi merupakan keadaan yang mengancam jiwa pada penderita asma sleep apnea atau keadaan kelainan sistem pernapasan yang lain (Pack, 2008).

(4)

peningkatan resistensi saluran napas atas, hipoksia, dan hypercapnia merupakan stimulus dari sistem pernapasan yang dapat memicu keadaan terbangun dari tidur (Arifin et al, 2010).

Oleh karena itu, pada penderita OSA sering terjadi episode terbangun yang berulang dan menimbulkan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari. Hal tersebut yang dapat mengganggu aktivitas pada siang hari, mengakibatkan defisit pada neurokognitif serta menimbulkan kondisi medis yang sangat lemah seperti hipertensi, depresi, dan kecelakaan yang berhubungan dengan rasa kantuk (Downey, 2012).

2.2. Obstructive Sleep Apnea (OSA) 2.2.1. Definisi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) atau disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea (OSAH) merupakan ganguan tidur yang melibatkan penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara dimana masih bisa ditemukan adanya usaha untuk bernapas. OSA merupakan salah satu tipe ganguan pernapasan saat tidur yang paling sering dan ditandai dengan episode berulang dari kolapsnya saluran napas atas saat tidur. OSA dengan gejala Excessive Day time Sleepiness (EDS) disebut juga dengan Obstructive Sleep Apnea Syndrome

(OSAS) maupun Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome (OSAHS). Meskipun penyakit ini umum, OSA adalah penyakit yang tidak terdeteksi oleh sebagian besar dokter di Amerika Serikat (Downey, 2014).

(5)

Menurut WHO, Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan ganguan klinis yang ditandai dengan berulangnya episode obstruksi saluran napas atas sehingga dapat mengurangi aliran udara pada hidung atau mulut. Episode berulang ini biasanya disertai dengan suara mendengkur yang kuat dan hipoksemia, dan biasanya diakhiri dengan terbangun secara berulang, yang menyebabkan fragmentasi tidur. Pasien dengan sindrom Obstructive Sleep Apnea

(OSA) biasanya tidak menyadari dirinya terbangun secara berulang dan akhirnya akan mengakibatkan penurunan kualitas tidur yang menyebabkan kantuk di siang hari (WHO, 2007).

2.2.2. Epidemiologi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) umumnya terjadi pada dewasa muda, biasanya antara umur 40-50 tahun, meskipun dapat terjadi juga pada anak-anak dan remaja. Mayoritas pasien OSA adalah kelebihan berat badan sekitar 60 % pasien OSA memiliki berat badan lebih dari 20% diatas ideal, ukuran leher, area distal faring dan indeks masa tubuh berhubungan dengan frekuensi apnea

(Antariksa, 2010).

Sleep-Disorded Breathing (SDB) adalah penyakit yang paling umum terjadi di Amerika Serikat. National commission on sleep disorder research

memperkirakan bahwa SDB ringan memiliki Respiratory Disturbance index (RDI >5) sekitar 7-18 juta orang dan kasus yang relative berat (RDI>15) sekitar 1,8-4 juta orang di Amerika Serikat. Pada penelitian epidemiologi di Pennysylavania menunjukkan prevalensi pada perempuan sekitar 2% dan 4% untuk laki-laki. Data dari Wisconsin cohort study menunjukkan bahwa prevalensi OSA pada orang yang berusia 30-60 tahun sekitar 9-24% untuk laki-laki dan 4-9% untuk perempuan (Downey, 2014).

(6)

2.2.3. Klasifikasi

Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI) yang ditetapkan oleh the American academy of sleep medicine, dapat dibagi menjadi 3 golongan :

1. Ringan (nilai AHI 5-15 ). 2. Sedang (nilai AHI 15-30). 3. Berat (nilai AHI>30).

Faktor-faktor lain juga berpengaruh pada derajat OSA adalah desaturasi oksigen, kualitas hidup dan tingkat mengantuk di siang hari (Antariksa, 2010).

2.2.4. Patofisiologi

OSA merupakan hasil dari proses dinamik penyempitan atau lumpuhnya (collaps) saluran napas selama tidur, tempat paling sering terjadi obstruksi pada populasi dewasa adalah dibelakang ovula dan velofaring (palatum molle),

(7)

Gambar 2.1 saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita

mendengkur (sumber : Budhi Antariksa, 2010)

Aktivitas neuromuskular saluran bagian atas, termasuk aktivitas reflex akan menurun ketika tidur, dan penurunan ini akan lebih terasa pada pasien OSA. Berkurangnya ventilasi motor output pada otot saluran napas atas diyakini menjadi kejadian awal kritis untuk terjadinya obstruksi pada saluran napas bagian atas; efek ini yang paling menonjol pada pasien dengan jalan napas atas cenderung runtuh karena alasan anatomi (Downey, 2014).

2.2.5. Gejala Klinis

Tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSA adalah: 1. Gejala malam hari saat tidur

a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling/ ngiler) b. Mulut kering

c. Tidur tak nyenyak/ terbangun saat tidur

(8)

2. Gejala saat pagi atau siang hari a. Mengantuk

b. Pusing saat bangun tidur pagi hari c. Refluks gastroesofageal

d. Tidak bisa konsentrasi e. Depresi

f. Penurunan libido g. Impotensi

h. Bangun tidur terasa tak segar (Antariksa, 2010).

2.1.6. Faktor Risiko a) Umur

Peningkatan prevalensi SDB pada lansia muncul setelah 65 tahun diperkirakan 10 %. Namun ketika prevalensi tersebut dikontrol oleh indeks massa tubuh, tingkat keparahan SDB menurun dengan usia. Mekanisme terjadinya OSA pada lansia meliputi peningkatan timbunan lemak di daerah parapharyngeal, perpanjangan langit langit, dan perubahan dalam struktur tubuh sekitar faring (Jamie et al, 2010; Punjabi, 2008).

b) Jenis kelamin

Masih belum jelas mekanisme OSA lebih sering pada pria dari pada wanita. Hal ini dapat dikaitkan dengan anatomi dan sifat fungsional dari saluran napas bagian atas dan respon ventilasi terhadap arousals dari tidur. Studi pencitraan telah mengungkapkan bahwa laki-laki memiliki peningkatan penumpukan lemak disekitar faring dibandingkan dengan wanita (Jamie et al,

(9)

c) Obesitas

Obesitas atau visceral obesitas adalah faktor risiko utama untuk pengembangan OSA, hal tersebut dianggap terkait dengan perubahan anatomi yang mempengaruhi obstruksi saluran napas selama tidur. Sejumlah penelitian epidemiologi sebelumnya telah meneliti hubungan obesitas dengan apena tidur. Dalam berbasis masyarakat dengan metode cohort pada subyek kaukasia, diperoleh kenaikan indeks massa tubuh dikaitkan terjadinya 4 kali lipat dalam prevalensi Sleep Apnea dan terdapat 40% masyarakat mengalami OSA dengan kelebihan berat badan tapi sehat (Jamie et al, 2010). Pada dewasa obesitas merupakan penyebab utama Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) sedangkan pada anak obesitas bukan merupakan sebagai penyebab utama (Supriyatno dan Deviani, 2005).

d) Faktor risiko penyakit

kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan dengan : 1. Emfisema dan asma.

2. Penyakit neuromuskular (polio, myasthenia gravis, dll). 3. Obstruksi nasal.

4. Hypotiroid, akromegali, amyloidosis, paralisi pita suara, sindroma post- polio, kelainan neuromuskular, Marfan’s syndrome dan Down syndrome (Antariksa, 2010).

e) Lingkar Leher

Telah diketahui bahwa lingkar leher yang besar atau obesitas pada daerah atas berhubungan dengan peningkatan penyakit kardiovaskular, demikian pula diduga berhubungan dengan mendengkur dan Obstructive Sleep Apnea Syndrome

(10)

2.2.7. Diagnosis

Polisomnografi adalah tes diagnostik standar untuk Obstructive Sleep Apnea (OSA). Meskipun dianggap sebagai " standar emas ", polysomnogram ini memiliki keterbatasan. Hal ini membutuhkan pasien menginap semalam di laboratorium tidur staf dengan teknisi ahli yang dapat mengumpulkan dan menginterpretasikan data fisiologis yang kompleks. Proses ini memakan waktu, dan dapat mahal (Punjabi, 2008).

Polisomnografi menggunakan kombinasi dari elektroensefalografi untuk mencatat gelombang listrik saraf pusat, elektro-ukolografi untuk mencatat gerakan mata, oksimetri untuk mencatat rekaman jantung, dan elektromiografi untuk mencatat gerakan otot pernapasan selama keadaan tidur malam, dan monitor posisi tidur. Parameter yang dihasilkan adalah hasil dari perhitungan terjadinya periode apnea dan hipopnea disebut Indeks Apnea Hipopnea (AHI). Indeks normalnya adalah kurang dari 5 kejadian perjam. Dinyatakan OSA bila AHI lebih dari 5 kali perjam. Penilaian polisomnogram meliputi berhentinya aliran udara minimal 10 detik dengan gerakan napas masih berjalan (OSA), berhentinya aliran udara dengan diikuti juga berhentinya gerakan napas, dan campuran keduanya (Sumardi et al, 2009).

Sebelum dilakukan Polisomnografi, pasien akan diminta kesediannya untuk mengisi kuesioner berlin untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi terjadinya OSA (Antariksa, 2010). Kuisioner berlin adalah perangkat diagnostik sederhana yang telah tervalidasi untuk menentukan adanya faktor risiko OSA, yaitu kebiasaan mendengkur, apnea, rasa mengantuk yang berlebihan sepanjang hari, kelelahan, obesitas dan hipertensi (Weinreich et al, 2006).

(11)

SKOR OSAS = 1,42D + 1,41A+ 0,71S-3,83

 D: kesulitan bernapas (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)  A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)

 S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1:sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)

Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai:  Skor < -1 : bukan OSAS

 Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS  Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS

Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun skor >3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi yaitu sensitivitas 80% dan spesifisitas 97% (Supriyatno dan Deviani, 2005; Sharkey, 2014).

2.2.8 Penatalaksanaan

(12)

Penatalaksanaan yang berkaitan dengan gaya hidup :

1. Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala, seperti :

a. Penurunan berat badan

b. Mengurangi konsumsi alkohol, khusunya sebelum tidur c. Tidur dengan posisi miring (dibandingkan supine) d. Good sleep hygiene

e. Pemakaian PAP yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur.

2. Konsumsi alkohol

Kadar alkohol saat tidur (0,5 – 0,75Ml/kg) dapat meningkatkan resistensi inspirasi selama stage 2 Non-Rapid Eye Movement (NREM) tidur pada laki-laki muda normal (Prasenohadi, 2010).

3. Obesitas

Karena obesitas merupakan faktor prediktif utama untuk OSA, penurunan berat badan mengurangi risiko OSA. Data terbaik menunjukan bahwa pengurangan 10% berat badan menyebabkan penurunan 26% dalam Respiratory Disturbance Index (RDI) (Downey, 2014).

Penatalaksanaan OSA Ringan, Sedang dan Berat : 1. CPAP (Continious Positive Airway Pressure)

(13)

2. BIPAP (Bi-levelPositive Airway Pressure)

BIPAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang mengalirkan tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda kepada pasien yang bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan total yang ada di jalan napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati pernapasan normal. Bi-level memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan telah digunakan pada terapi OSA.

3. Oral Appliances

Oral Appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons dengan melakukan perbaikan gaya hidup atau yang tidak toleran dengan pemberian tekanan positif jalan napas. Mandibular repositioning devices dapat memberikan keberhasilan pada pasien OSA ringan dengan obstruksi di orofarings dan dasar lidah. Tongue retaining devices dapat menolong pasien dengan keterbatasan atau hilangnya natural dentition, kelainan temporomandibular dan keterbatasan membuka mulut.

4. Tindakan bedah

Berbagai macam tindakan bedah dapat dilakukan untuk mengurangi gejala obstruksi jalan napas atas yang menyebabkan OSAS ringan. Pertimbangkan untuk memperbaiki sumbatan sebelum menggunakan Oral Appliance atau Positive Airway Pressure (PAP) device.

a. Septoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan memperbaiki

(14)

b. Nasal polypectomy – pembedahan intranasal untuk mengangkat polip hidung.

c. Tonsillectomy– pembedahan berupa reseksi transoral tonsil faringeal. Tindakan ini memperbaiki obstruksi hipertrofi tonsil orofarings.

d. Turbinoplasty – pembedahan intranasal yang bertujuan mengurangi besarnya sumbatan hidung. Tindakan ini berupa reseksi sebagian area inferior atau menghilangkan area inferior dengan beberapa metode seperti elektrokauter, ablasi laser dan reduksi radio frekuensi. Hasil dari seluruh metode tersebut hampir sama.

e. Tracheostomy – membuat jalan napas melalui bagian anterior leher ke

dalam bagian atas trakea. Jalan napas mem-bypass sebagian besar jalan napas atas sehingga hampir 100% Sleep Apnea dapat diatasi. Bagaimanapun juga metode ini memberikan stigma sosial karena ada pipa trakeostomi dan perawatan daerah trakeostomi. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bagi pasien Sleep Apnea (Prasenohadi, 2010).

2.3. Pengukuran Risiko menderita OSA

(15)

Gambar 2.2. Berlin Questionnaire (BQ) untuk OSA

(sumber: J Neuroophthalmol, 2012).

Gambar

Gambar 2.1 saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita
Gambar 2.2. Berlin Questionnaire (BQ) untuk OSA

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi dari penelitian ini adalah: Dalam menggunakan media sosial Facebook diharapkan memerhatikan postingan gambar atau foto, usahakan menggunakan foto yang sopan, mudah

Pencegahan dan pemberantasan nyamuk Aedes aegypti , vektor utama virus dengue , selama ini lebih berfokus pada stadium larva dan nyamuk dewasa saja dan banyak dilakukan

Nilai harapan dari variansi proses adalah rata-rata bobot variansi proses dari tipe- tipe individual, dengan probabilitas awal sebagai bobot maka besar nilai harapan dari

Tahap V Gagas • Peserta didik mempresentasikan masalah yang berkaitan dengan menggunakan diagram gans, diagram batang, diagram lingkaran untuk menyelesaikan permasalahan

Untuk mengetahui pendidikan agama dalam keluarga di Dusun Banaran Desa Banyukuning penulis memperoleh data dari hasil angket yang telah diberikan kepada responden. Angket

Dengan demikian dalam kerangka penelitian ini dikemukakan variabel yang akan diteliti yaitu pengetahuan kewirausahaan, strategi pemasaran, manajemen permodalan dan keuangan,

Oksitosin, metergin, misoprostol, cairan kristaloid, cairan koloid, oksigen, produk darah, antibiotik, analgetik Luka jalan lahir Cairan kristaloid,.

Dari uraian di atas terlihat bahwa usaha peternakan kerbau rawa di daerah ini (yang hanya satu- satunya pengembangan ternak kerbau di lahan rawa di Indonesia) sangat cocok