BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA (FRANCHISE)
A. PENGERTIAN WARALABA
Pada awalnya pengertian waralaba diatur pada pasal 1 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba dan Pasal 1 Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.
259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran
Waralaba menyebutkan bahwa waralaba (franchise) adalah “perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas
kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain
dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut
dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang atau jasa”.
Kemudian seiring perkembangan zaman Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
1997 tentang Waralaba dianggap tidak bisa lagi sebagai landasan pengaturan
waralaba di Indonesia. Pada tahun 2007 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2007 tentang Waralaba menggantikan PP No. 16 Tahun 1997 sebelumnya. Akibat
adanya pergantian Peraturan Pemerintah tersebut, maka pada pp No. 42 Tahun 2007
“Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yaitu: hak
khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem
bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang atau jasa yang telah
terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan
perjanjian waralaba”.
Franchise sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu francorum rex yang artinya “bebas dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memilih hak usaha.
Sedangkan pengertia franchise berasal dari bahasa Prancis abad pertengahan, diambil dari kata “franc” (bebas) atau “francher’ (membebaskan), yang secara umum diartikan sebagai pemberian hak istimewa. Dalam bahasa Inggris, franchise
diterjemahkan dalam pengertian privilege (hak istimewa/hak khusus).
Pada awalnya, istilah franchise tidak dikenal kepustakaan hukum Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi karena memang lembaga franchise sejak awal tidak terdapat dalam budaya atau tradisi bisnis masyarakat Indonesia. Namun, karena pengaruh
globalisasi yang melanda di berbagai bidang, maka franchise kemudian masuk kedalam tatanan budaya dan tatanan hukum masyarakat Indonesia. Kemudian istilah
Waralaba berasal dari kata “wara” (lebih atau istimewa) dan “laba” (untung) sehingga
waralaba berasal usaha yang memberikan laba lebih dan istimewa.42
Franchise pada dasarnya adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa dibawah nama dan identitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara
yang ditetapkan franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap
franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa inntial fee dan royalty.43
Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik untuk penyedia pada
penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan
syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling
menguntungkan).
Berikut ini defenisi waralaba (franchise) yang diuraikan oleh para ahli, yaitu:
44
Franchise dapat juga diartikan sebagai suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan kepada
42
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 6-7
43
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 83 44
individu atau perusahaan lain yang berskala kecil dan menengah (franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu sistem usaha tertentu dengan cara yang
sudah ditentukan, selama waktu tertentu, disuatu tempat tertentu.45
c. Waralaba merupakan suatu hubungan berdasarkan kontrak antara franchisor
dengan franchisee. Franchisor menawarkan dan berkewajiban menyediakan perhatian terus-menerus pada bisnis waralaba melalui penyedian pengetahuan dan
pelatihan. Franchisee beroperasi dengan menggunakan merek dagang, format, atau Defenisi waralaba juga diberikan oleh Institut Pendidikan dan Manajemen
yang antara lain mendefenisikan waralaba sebagai berikut:
a. Waralaba adalah suatu sistem pemasaran atau distribusi barang dan jasa, dimana
sebuah perusahaan induk (franchisor) memberikan hak istimewa untuk melakukan suatu sistem usaha dengan cara, waktu, dan lokasi tertentu kepada individu atau
perusahaan lain (franchisee) yang berskala kecil dan menengah.
b. Waralaba merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada
masyarakat konsumen, yang dijual kepada pihak lain yang berminat. Pemilik dari
metode yang dijual ini disebut franchisor, sedangkan pembeli hak untuk menggunakan metode tersebut disebut franchisee.
45
prosedur yang dipunyai serta dikendalikan oleh franchisor. Franchisee melakukan investasi dalam bisnis yang dimilikinya.46
3. Franchise adalah lisensi dari pemilik merek dagang atau nama dagang yang mengizinkan orang lain untuk menjual produk atau jasa layanan di bawah nama atau
merek tersebut.
Menurut Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, menterjemahkan pengertian
franchise dari Black’s Law Dictionary sebagai berikut:
1. Franchise adalah hak istimewa untuk melakukan hal-hal tertentu yang diberikan oleh pemerintah pada individu atau perusahaan yang terbentuk badan hukum, dan hak
tersebut tidak dimiliki oleh penduduk pada umumnya.
2. Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atau penyedia pada
penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan
syarat-syarat yang telah disetujui bersama (dalam hubungan yang saling
menguntungkan).
47
Dari sudut bisnis, ada beberapa pengertian waralaba. Juadir Sumardi, dalam
konferensi pers mengenai konsep perdagangan baru yang dilaksannakan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 1991, mengemukakan bahwa Franchise adalah sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen, yang dijual kepada
46
Adrian Sutedi, Op.Cit, hal. 9 47
pihak lain yang berminat. Pemilik dari metode ini disebut “franchisor”, sedangkan pembeli yang berhak untuk menggunakan metode ini disebut “franchisee”.48
Dari sudut hak atas kekayaan intelektual, Ferro Sinambela mendefenisikan
franchise adalah semua hak milik yang berhubungan dengan bidang usaha atau kepemilikan yang berhubungan daya pikir, seperti merek dagang, nama perusahaan,
label perusahaan, model barang penemuan, hak cipta, hak paten, yang digunakan
untuk tujuan penjualan barang-barang atau jasa-jasa kepada konsumen.49
Dari sudut hubungan kemitraan usaha dan perjanjian, waralaba dapat
didefenisikan sebagai berikut. Dalam bukunya, A. Abdurrahman menyebutkan,
“secara umum waralaba yang dikenal dengan istilah franchise berarti suatu persetujuan atau perjanjian (kontrak) antara leveransir dan pedagang eceran atau
pedagang besar, yang menyatakan bahwa yang tersebut pertama itu memberikan
kepada yang tersebut terakhir itu suatu hak untuk memperdagangkan produknya,
dengan syarat-syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak”.50
48
J. Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 16
49
F. Sinambela, Peranan Perjanjian Kerja Antara Pengusaha dan Pekerja Pada Perusahaan
Waralaba (Franchise) di Kotamadya Medan (Tesis Program Studi Ilmu Hukum-Program Pascasarjana USU, Medan, 2000), hal. 50
50
A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan (Jakarta: Pradnya Paramita, 1970), hal. 424
Semua pengertian yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa
a. Franchisor yaitu pihak pemilik/produsen dari barang atau jasa yang telah memiliki merek tertentu serta memberikan atau melisensikan hak eksklusif tertentu untuk
pemasaran dari barang atau jasa itu.
b. Franchisee yaitu pihak yang menerima hak eksklusif itu dari franchisor.
c. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktek meliputi berbagai
macam hak milik intelektual/hak milik perindustrian) dari franchisor kepada
franchisee.
d. Adanya penetapan wilayah tertentu, franchise area dimana franchisee diberikan hak untuk beroperasi diwilayah tertentu.
e. Adanya imbal prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa Franchise Fee dan Royalties serta biaya-biaya lain yang disepakati oleh kedua belah pihak.
f. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor bagi franchisee, serta supervisi secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.
g. Adanya pelatihan awal, pelatihan yang berkesinambungan, yang diselenggarakan
oleh franchisor guna peningkatan keterampilan.
B. BENTUK PERJANJIAN WARALABA
Sebelum memasuki tentang bentuk perjanjian waralaba, terlebih dahulu kita
harus mengetahui pengertian perjanjian itu sendiri. Adapun pengertian perjanjian
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”.
Sedangkan menurut Yahya Harahap perjanjian adalah “suatu hubungan
hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan
hak atau sesuatu untuk memperoleh prestasi atau sekaligus kewajiban pada pihak lain
untuk menunaikan kewajiban pada pihak lain untuk memperoleh suatu prestasi”.
Adapun bentuk perjanjian/kontrak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang
dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan.
Sehubungan dengan bentuk perjanjian waralaba, Pasal 4 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menentukan bahwa waralaba
diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan
penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. Berdasarkan ketentuan
Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba ini jelas dimengerti bahwa apabila pemberi dan
penerima waralaba telah sepakat maka perjanjian waralaba harus dituangkan kedalam
bentuk perjanjian tertulis.
Salim HS menyebutkan ada tiga bentuk perjanjian tertulis, yaitu:
1. Perjanjian di bawah tangan ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan
saja.
3. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh notaris dalam bentuk akta notariel.51
Dalam hal pembuatan kontrak, hubungan hukum antara franchisor dan
franchisee ditandai ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (unequal bargaining power). Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku yang dibuat oleh franchisor. Franchisor menetapkan syarat-syarat dan standar yang harus diikuti oleh franchisee
yang memungkinkan franchisor dapat membatalkan perjanjian apabila dia menilai
franchisee tidak dapat memenuhi kewajibannya. Dalam perjanjian dicantumkan kondisi-kondisi bagi pemutusan perjanjian seperti: kegagalan memenuhi standar
pengoperasian, dan sebagainya. Franchisor mempunyai discretionary power untuk menilai semua aspek usaha franchisee, sehingga perjanjian tidak memberikan
Bila dihubungkan pendapat Salim HS dengan ketentuan bentuk perjanjian
waralaba dalam Pasal 4 ayat (1) PP Waralaba di atas maka bentuk perjanjian
waralaba yang termaktub dalam PP Waralaba tidak menjelaskan dengan tegas
bagaimana bentuk perjanjian tertulis tersebut, dengan keadaan seperti ini tentunya
bentuk perjanjian waralaba yang ada dilapangan dapat berbentuk 3 (tiga) macam
yaitu perjanjian waralaba dengan bentuk perjanjian di bawah tangan yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja, perjanjian waralaba dengan
bentuk perjanjian yang disaksikan notaris untuk melegalisir tanda tangan para pihak
dan perjanjian waralaba dengan bentuk perjanjian yang dibuat dihadapan dan oleh
notaris dalam bentuk akta notariel.
51
perlindungan yang memadai bagi francisee dalam menghadapi dalam menghadapi pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor untuk memperbaharui perjanjian.52
Perjanjian franchise adalah sebuah perjanjian mengenai metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Franchisor dalam jangka waktu tertentu memberikan lisensi kepada franchisee untuk melakukan usaha pendistribusian barang dan jasa di bawah nama dan indentitas franchisor dalam wilayah tertentu. Usaha tersebut harus dijalankan sesuai dengan prosedur dan cara
yang ditetapkan franchisor. Franchisor memberikan bantuan (assistance) terhadap
franchisee. Sebagai imbalannya franchisee membayar sejumlah uang berupa inntial fee dan royalty.
Ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar antara franchisor dengan
franchisee juga terdapat di dalam kontrak Roti Cappie. Dimana klausul-klausul yang terdapat didalam kontrak Roti Cappie tersebut adalah kehendak dari franchisor.
Franchisee tidak dapat menawar atau tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pendapat mengenai isi daripada kontrak tersebut.
C. UNSUR-UNSUR PERJANJIAN WARALABA
53
52
Suharnoko, Op. Cit, hal. 85
53
Suharnoko, Loc. It, hal. 83
Dari pengertian perjanjian Waralaba yang dikemukakan di atas, maka
unsur-unsur yang dapat disimpulkan adalah:
Waralaba sebagai suatu sistem bisnis dilakukan dengan adanya perjanjian
antara para pihak, yaitu pemilik waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee). Di dalam kesepakatan ini menjelaskan secara rinci mengenai segala hak, kewajiban dan tugas dari pemberi Waralaba dan penerima waralaba. Demi menjamin
kepastian hukum bagi kedua belah pihak, sebaiknya perjanjian waralaba dibuat
dihadapan pejabat yang berwenang (Notaris).
2. Adanya pemberian hak dari Pemilik waralaba kepada penerima waralaba untuk
memproduksi dan memasarkan produk dan/atau jasa.
Dari unsur yang kedua ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa si
penerima waralaba (franchisee) mempunyai hak untuk memakai, menggunakan logo dan cap dagang dari pemilik waralaba untuk dipasarkan oleh penerima waralaba
kepada masyarakat konsumen.
3. Pemberian hak tersebut terbatas pada waktu dan tempat tertentu.
Dalam hal ini Pemberi Waralaba memberi hak kepada Penerima Waralaba
untuk menggunakan nama, merek dagang dan logo dari usahanya kepada Penerima
Waralaba terbatas pada tempat dan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian
yang telah dibuat sebelumnya.
Menurut saya, unsur pemberian hak terbatas pada waktu dan tempat tertentu
ini adalah salah satu unsur yang tidak menguntungkan kepada franchisee. Franchisor
tempat usaha sendiri di wilayah franchisee. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah, supaya memberikan perlindungan hukum yang jelas kepada
franchisee yang mendapatkan tindakan semena-mena dari franchisor dalam hubungan perdagangan.
4. Adanya pembayaran sejumalah uang tertentu dari Penerima Waralaba kepada
Pemberi Waralaba
Adapun pembayaran ini antara lain:
a. Pembayaran awal yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari kedua
belah pihak atas perjanjian.
Pembayaran ini dipergunakan untuk pemilihan lokasi dan biaya-biaya
lain yang dikeluarkan sampai mulai beroperasinya usaha tersebut.
b. Pembayaran selama berlangsungnya waralaba
Pembayaran ini meliputi royalty, pembagian kelebihan harga yang telah ditetapkan oleh Pemberi Waralaba sebagai harga standar, biaya promosi,
biaya jasa yang dalam hal ini adalah jasa administrasi dan bantuan
pembukuan.
c. Pembayaran atau pengoperan hak Penerima Waralaba kepada pihak ketiga
Maksud dari pembayaran ini adalah bahwa Penerima Waralaba berhak
mengalihkan hak pemegang waralabanya kepada calon Penerima Waralaba
yang lain atas seizin Pemberi Waralaba, dalam hal ini Pemberi Waralaba
mendapatkan bagian tertentu dari Penerima Waralaba.
Pemberi Waralaba berhak memasok bahan baku yang bermutu sesuai
dengan kualitas standar.
D. PERKEMBANGAN WARALABA DI INDONESIA
Di Indonesia, waralaba mulai dikenal pada 1950-an dengan munculnya dealer
kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi atau menjadi agen tunggal pemilik
merek. Waralaba di Indonesia semakin berkembang ketika masuknya waralaba asing
pada tahun 80-90an. KFC, Mc Donald’s, Burger King, dan Wendys adalah sebagian
dari jejaring waralaba asing yang masuk ke Indonesia pada awal-awal
berkembangnya waralaba di Indonesia.54
Pada tahun 1990, melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin
membaik, politik yang stabil dan keamanan yang terjamin, para investor dari luar
negeripun mulai melirik pasar Indonesia. Franchise asing mulai berkembang di pasar Indonesia, dan harus diakui ternyata minat penduduk Indonesia terhadap franchise
yang dari luar negeri ini sangat besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan lakunya
franchise asing di pasaran Indonesia, sebut saja : Kentucky Fried Chicken.55
Pada tahun 1991, tepatnya tanggal 22 November 1991, berdiri Asosiasi
Franchise Indonesia (AFI) sebagai wadah yang menaungi franchisor dan franchisee. AFI didirikan dengan bantuan ILO (International Labour Organization) dan pemerintah Indonesia. Dengan berdirinya AFI diharapkan dapat menciptakan industri
54
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 19 55
Dinni Harina Simanjuttak,”Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum bagi Franchise
waralaba yang kuat dan menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang
berbasiskan usaha kecil dan menengah.56
Ketika terjadi krisis moneter, yaitu di tahun 1997, sekitar 64% waralaba asing
menutup usahanya. Hal ini disebabkan terpuruknya nilai rupiah sehingga franchise fee dan royalty fee serta biaya bahan baku, peralatan, dan perlengkapan yang dalam dolar menjadi meningkat. Oleh sebab itu, jumlah perusahaan waralaba asing
mengalami penurunan pertumbuhan sebesar 9,78% dari tahun 1997/2001. Setelah
krisis moneter reda, mulai bermunculan berbagai waralaba lokal. Dari kurun waktu
1999-2000, pertumbuhan waralaba lokal sebesar 120%. Pada tahun 2001, jumlah
waralaba asing tumbuh kembali sebesar 8,5%, sedangkan waralaba lokal meningkat
7,69% dari tahun 2000. Pertumbuhan bisnis waralaba yang cepat di Indonesia tidak
lepas dari peran serta merek-merek waralaba lokal, seperti Indomaret, Alfamart,
Martha Tilaar dan lain-lain.57
56
Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 20 57
Ibid, hal. 21
Salah satu contoh bisnis waralaba yang sangat berkembang di Indonesia
sampai saat ini ialah Indomaret dan Alfamart. Dua bisnis ini sangat banyak
bermunculan di berbagai tempat dan sangat mudah ditemukan di Indonesia.
Hingga pada saat ini bisnis waralaba diperkirakan akan semakin berkembang
di Indonesia, apalagi sekarang telah diresmikannya Masyarakat Ekonomi Asean
(MEA) yang disinyalir dapat menumbuhkan minat yang begitu besar bagi Investor
Direktur Bina Usaha Kementerian Perdagangan RI, Fetnayeti menargetkan di
tahun 2015 kemarin pertumbuhan bisnis waralaba naik 15-20 persen. Saat ini ada
12.000 bisnis waralaba dengan jumlah gerai mencapai 23.000.
Dirinya optimistis Indonesia bisa melakukan ekspor bisnis waralaba
dibandingkan ekspor produk. Hal ini melihat adanya minat yang besar datang dari
investor-investor timur tengah. Hal ini senada dengan jumlah omzet yang besar dari
bisnis waralaba tahun 2014 berdasarkan data Asosiasi Franchise Indonesia (AFI).
Menurut Fetnayeti, dalam memajukan bisnis waralaba lokal, Kementerian
Perdagangan melakukan pendampingan selama 3 tahun terakhir kepada 384 Usaha
Kecil Menengah (UKM). Pendampingan tersebut dilakukan salah satunya dengan
cara mengikutkan UKM-UKM dalam pameran-pameran di dalam negeri dan di luar
negeri.
Untuk tahun ini, Kemendag mendampingi kurang lebih 180 UKM dengan
menambahkan sejumlah materi untuk mempersiapkan bisnis tersebut menjadi bisnis
waralaba. “Rata-rata ada 180an yang kita dampingi, tahun ini rencananya kita
masukkan materi dari segi legal dan manajemen keuangan. Jadi ketika mereka
mendapat masalah dari hukum, mereka sadar dan paham bahwa mereka punya dasar
hukum.58
58
Stefanno Reinard Sulaiman, “Bisnis Waralaba di Tahun 2015,”
E. PENGATURAN WARALABA DI INDONESIA
1. Pengaturan Waralaba Sebelum Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
1997 tentang Waralaba
Waralaba merupakan suatu perjanjian (kontrak) antara dua belah pihak, yaitu
antara franchisor (pemilik waralaba) dengan franchisee (penerima waralaba) dimana
franchisor memberikan hak kepada franchisee untuk mendistribusikan barang
dan/atau jasa milik franchisor.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikenal perjanjian bernama
(nominaat) dan tidak bernama (innominaat). Perjanjian bernama ini adalah perjanjian yang diberi nama oleh pembuat Undang-undang dan telah diatur dengan jelas dalam
KUH Perdata, sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang belum ada
diatur dengan jelas di dalam KUH Perdata.
Perjanjian waralaba ini merupakan perjanjian tidak bernama (innominaat) dan merupakan salah satu contoh dari perkembangan hukum perdata. Perjanjian ini timbul
dan berkembang di kalangan masyarakat dikarnakan azas kebebasan berkontrak yang
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Melalui azas tersebut, setiap
orang berhak membuat suatu perjanjian dan berhak juga membuat klausul apa saja
yang mereka masukkan ke dalam kontrak sepanjang tidak bertentangan dengan
Perjanjian tidak bernama (innominaat) adalah sah menurut hukum apabila
perjanjian tersebut dibuat berdasarkan pasal 1320 BW. Dalam pasal tersebut
dikatakan suatu perjanjian adalah sah apabila dibuat dengan empat syarat, yaitu:
a. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak;
b. Adanya kecakapan bagi subjek hukum yang membuat perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian waralaba sebagai perjanjian innominaat juga tunduk pada pasal
1319 KUH Perdata BW, dimana dalam ketentuan pasal tersebut dikatakan “semua
perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam bab
ini dan bab yang lalu.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebelum adanya Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, waralaba diatur diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yaitu terdapat dalam buku III. Waralaba ini
merupakan salah satu perkembangan dari Hukum Perdata dibidang kontrak
(perjanjian).
2. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997
Peraturan Pemerintah dibuat bertujuan untuk mengembangkan kegiatan usaha
waralaba sebagai upaya memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta
sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan alih teknologi. Peraturan tersebut
juga dibuat untuk memberikan kepastian usaha dan kepastian hukum bagi setiap
orang yang menjalankan usaha waralaba, terutama dalam upaya pengaturan,
pembinaan, serta pengembangan waralalaba.
Adapun rumusan waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 16
Tahun 1997 diuraikan sebaga berikut.
a. Waralaba merupakan suatu perikatan.
Rumusan tersebut menyatakan bahwa sebagai perikatan, waralaba tunduk
pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
b. Waralaba melibatkan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha.
Yang dimaksud dengan hak atas kekayaan intelektual meliputi antara lain
merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten.
Sedangkan penemuan ciri khas usaha , misalnya sistem menajemen serta cara
penjualan atau penataan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik
khusus dari pemiliknya.
Ketentuan ini membawa akibat bahwa sampai pada derajat tertentu,waralab
berhubungan dengan waralaba nama dagang atau merek dagang, baik untuk
produk berupa barang dan/atau jasa.
c. Waralaba diberikan dengan suatu imbalanberdasarkan persyaratan dan/atau
penjualan barang dan/atau jasa.
Ketentuan ini pada dasarnya menekankan kembali bahwa waralaba tidak
diberikan secara Cuma-Cuma. Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan
dengan suatu bentuk imbalan tertentu. Secara umum dikenal dua macam
kompensasi yang dapat diminta oleh pemberi waralaba dan penerima
waralaba, yaitu sebagai berikut.
1) Kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter (direct monetary compensation). Berikut ini adalah kompensasi yang termasuk kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter.
a) Lump-sum payment, suatu jumlah uang yang telah dihitung terlebih dahulu yang wajib dibayarkan oleh penerima waralaba untuk diberikan
kepada pemberi waralaba pada saat persetujuan waralaba disepakati.
Pembayaran ini dapat dilakukan sekaligus, maupun dalam beberapa
kali (pembayaran cicilan.
b) Royalty, pembayaran oleh pihak penerima waralaba kepada pemberi waralaba sebagai imbalan, yang besar atau jumlah pembayarannya
dikaitkan dengan persentase tertentu yang dihitung dari jumlah
produksi dan/atau penjualan barang atau jasa berdasarkan perjanjian
atau tidak. Meskipun secara absolut royalti dibayarkan tetap, tetapi
sebenarnya pembayaran royalty akan menunjukkan kenaikan seiring dengan peningkatan jumlah produksi, penjualan, atau keuntungan
penerima lisensi.59
2) Kompensasi tidak langsung dalam bentuk nilai moneter (indirect moneter) dan kompensasi yang diberikan tidak dalam bentuk nilai moneter (non monetary compensation), yang meliputi sebagai berikut.
a) Keuntungan dari penjualan barang modal atau bahan mentah, bahan
setengan jadi, dan termasuk barang jadi, yang merupakan satu paket
dengan pemberian waralaba.
b) Pembayaran dalam bentuk dividen atau bunga pinjaman di mana
pemberi waralaba memberikan bantuan finansial baik dalam bentuk
ekuitas atau dalam bentuk pinjaman jangka pendek maupun jangka
panjang.
c) Cost shifting atau pengalihan atas sebagian biaya yang harus dikeluarkan oleh pemberi waralaba. Pengalihan ini biasanya dilakukan
dalam bentuk kewajiban penerima waralaba untuk mengeluarkan
segala biaya yang diperlukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran
maupun untuk mempertahankan perlindungan hak atas kekayaan
intelektual paket yang waralabakan kepadanya.
59
d) Perolehan data pasar dari kegiatan usaha oleh penerima waralaba,
yang berarti pemberi waralaba memiliki akses yang lebih luas untuk
mengembangkan lebih lanjut waralaba yang diberikan tersebut.
e) Penghematan biaya pemberi waralaba yang dilakukan oleh
penerima waralaba. Hal ini dapat terjadi karena pada prinsipnya
kegiatan operasional waralaba berada pada pundak pemberi waralaba.
Ini berarti penerima waralaba hanya cukup melakukan pengawasan
atas jalannya pemberian waralaba tersebut.60
Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba menggantikan
Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997. Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 tentang waralaba ini dilandasi upaya pemerintah meningkatkan
pembinaan usaha waralaba di seluruh Indonesia sehingga perlu mendorong
pengusaha nasional, terutama pengusaha kecil dan menengah untuk tumbuh sebagai
franchisor nasional yang andal dan mempunyai daya asing di dalam negeri dan luar
negeri khususnya dalam rangka memasarkan produk dalam negeri.
3. Pengaturan Waralaba Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007
tentang Waralaba
61
Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan bisnis waralaba yang dijual
dipasar benar-benar bisnis yang telah solid dan terbukti layak untuk dikembangkan
60
Ibid, hal. 110 61
oleh franchisee. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 memuat salah satu poin penting, yaitu persyaratan bisnis yang bisa diwaralabakan, yang dimuat pada pasal 3.
Adapun persyaratannya ialah bisnis memiliki ciri khas usaha, terbukti telah
memberikan keuntungan, memiliki standar atas pelayanan barang dan/atau jasa yang
ditawarkan yang dibuat secara tertulis, mudah diajarkan dan diaplikasikan, adanya
dukungan yang berkesinambungan, serta hak atas kekayaan intelektual yang telah
terdaftar.
Untuk lebih menjamin kelayakan usaha bisnis yang diwaralabakan, pada
bagian lain peraturan pemerintah ini, franchisor diwajibkan memperlihatkan prospek kepada calon franchisee. Isi prospek setidaknya memuat data identitas franchisor, legalitas usaha, sejarah kegiatan usaha, struktur organisasi, laporan keuangan dua
tahun terakhir, jumlah tempat usaha, daftar franchisee, serta hak dan kewajiban
franchisor dan franchisee.
Peminat baru bisnis waralaba juga patut lebih lega karena sesuai peraturan
pemerintah tersebut, para franchisor tidak dapat seenak hati menjual, kemudian acuh tak acuh lagi dengan bisnis waralaba yang telah diserahkan pada franchisee. Pasalnya, dalam peraturan ini tercantum kewajiban franchisor untuk memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional manajemen, pemasaran,
penelitian dan pengembangan kepada franchisee secara berkesinambungan. Hal ini tidak hanya sekedar simbol. Sanksi administratif berupa pencabutan Surat Tanda
franchisee sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, setelah diterbitkannya surat peringatan tertulis ke-3.62
a) Nama dan alamat para pihak;
Di dalam pasal 4 (empat) ayat (1) dikatakan bahwa bisnis waralaba
diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan
penerima waralaba dan harus berdasarkan hukum Indonesia. Dalam ayat 2 (dua)
dikatakan juga bahwa apabila perjanjian dibuat dalam bahasa asing, maka perjanjian
tersebut harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini tentu mempunyai
fungsi yang penting kepada franchisee yang ada di Indonesia, demi untuk melindungi segala hak dan kepentingan-kepentingannya. Dengan adanya peraturan tersebut
diharapkan juga kepada franchisor dari luar negeri supaya menghargai dan juga menghormati hak-hak dari franhisee yang ada di dalam negeri.
Mengenai klausula-klausula yang wajib dibuat dalam suatu perjanjian
waralaba antara franchisor dengan franchisee diatur dalam pasal 5 peraturan pemerintah tersebut. Dalam pasal 5 (lima) dikatakan “perjanjian waralaba memuat
klausula paling sedikit”:
b) Jenis hak atas kekayaan intelektual;
c) Kegiatan usaha;
d) Hak dan kewajiban para pihak;
62
e) Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang
diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f) Wilayah usaha;
g) Jangka waktu perjanjian;
h) Tata cara pembayaran imbalan;
i) Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris;
j) Penyelesaian sengketa; dan
k) Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian.
Perlu diingat terlebih dahulu, bahwa disamping klausula-klausula wajib
diatas, para pihak bebas untuk membuat klausula-klausula lain yang dapat menunjang
hak dan kepentingan para pihak yang membuat perjanjian sepanjang klausula
tambahan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang ada.
Dalam pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 dikatakan bahwa
franchisor dengan franchisee wajib untuk mendaftarkan usahanya kepada Departemen Perdagangan paling lambat satu tahun sejak Peraturan Pemerintah No.
42 Tahun 2007 diberlakukan (23 Juli 2007). Menteri Perdagangan kemudian
menerbitkan surat tanda pendaftaran waralaba apabila permohona telah memenuhi
syarat. “Surat tanda pendaftaran waralaba berlaku selama lima tahun dan dapat
diperpanjang, proses ini tidak dipungut biaya”. Bila tidak didaftarkan, maka
dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp 100 juta atau pencabutan STPUW
pemberi waralaba dan penerima waralaba yang tidak mendaftarkan diri memang baru
ada Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007. Tujuannya adalah untuk mendidik dan
menerbitkan para pengusaha waralaba di Indonesia agar patuh pada peraturan.
Namun, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 memiliki kekurangan.
Peraturan ini memiliki permasalahan yuridis yang dapat menjadi kendala
pengembagan usaha kecil dan menengah untuk tumbuh menjadi franchisor. Peraturan pemerintah ini sangat ketat sehingga dikhawatirkan bisnis waralaba tidak bisa lagi
dilakukan oleh usaha kecil, tetapi hanya oleh usaha menengah dan besar.
Salah satu pasal yang dinilai sangat berpotensi menghalangi usaha kecil untuk
mengembangkan usahanya dengan waralaba adalah pasal 3 dan pasal 8 yang
mewajibkan franchisor untuk memberikan pelatihan, bimbingan operasional, manajemen, pemasaran, penelitian, dan pengembangan pada franchisee secara terus-menerus. Jadi, franchisor harus memiliki lembaga pelatihan sendiri yang secara logika sulit dimiliki oleh usaha kecil. Jika tidak dilakukan, maka franchisor dapat diberi sanksi oleh pemerintah antara lain dengan denda Rp 100 juta.63
Ketentuan pasal 3 dan pasal 8 Peraturan pemerintah tersebut dipandang
memiliki kelemahan. Di satu sisi pemerintah ingin memberdayakan pengusaha kecil
dan menengah sebagai franchisor yang andal dan memiliki daya saing di dalam maupun diluar negeri, tetapi di sisi lain peraturan pemerintah tersebut sangat
memberatkan franchisor kecil karena secara implisit maupun eksplisit, pasal 3 hanya
63
bisa dipenuhi perusahaan menengah dan besar. Usaha kecil hampir tidak memiliki
kemampuan untuk memenuhi kriteria tersebut.
Keberadaan Peraturan Pemerintah No. 42Tahun 2007 sangat penting sebagai
landasan untuk membatasi maraknya bisnis atau waralaba yang eksistensinya belum
terbukti. Dengan adanya peraturan pemerintah ini diharapkan mampu menjamin
hak-hak franchisee yang telah menanamkan modalnya dan menertibkan peluang bisnis yang tidak layak usaha.64
64
BAB IV
PERLINDUNGAN BAGI KONSUMEN TERHADAP USAHA
WARALABA (FRANCHISE) BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN (STUDI PADA USAHA ROTI CAPPIE MEDAN)
A. HUBUNGAN ANTARA PERJANJIAN WARALABA DENGAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Berbicara mengenai hubungan antara perjanjian waralaba dengan
perlindungan konsumen, maka terlebih dahulu kita harus mengetahui
klausula-klausula yang wajib dicantumkan dalam suatu perjanjian waralaba. Perjanjian
waralaba antara franchisor dengan franchisee harus dibuat secara tertulis sebagaimana amanat dari pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2007 tentang Waralaba.
Di dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dikatakan
klausula-klausula yang wajib dicantumkan dalam suatu perjanjian waralaba ialah:
a. nama dan alamat para pihak;
b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang
diberikan Pemberi
f. Waralaba kepada Penerima Waralaba;
g. wilayah usaha;
h. jangka waktu perjanjian;
i. tata cara pembayaran imbalan;
j. kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
k. penyelesaian sengketa; dan
l. tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Namun disamping klausula-klausula diatas, tidak menutup kemungkinan Para
Pihak menambahkan klausula-klausula lain, seperti klausula kerahasiaan, dan
klausula lainnya, sepanjang klausula tambahan tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan,
kepatutan, dan kebiasaan yang berlaku umum di dalam masyarakat.
Bisnis Waralaba saat ini sedang menjamur dan berkembang di Indonesia, bila
kita melihat di mall, pusat keramaian, maupun di media, banyak sekali bisnis yang
diwaralabakan, seperti Food and Beverages, salon, dan masih banyak lagi. Nilai
investasi waralaba bervariasi, mulai dari yang puluhan juta rupiah hingga ratusan juta
Saat ini, bisnis waralaba merupakan suatu usaha yang banyak diminati oleh
pelaku usaha di lapangan, karena bisnis tersebut memberikan banyak sekali
keuntungan baik bagi Pemberi Waralaba maupun Penerima Waralaba. Bagi Pemberi
Waralaba tentunya akan mendapatkan royalty atau kompensasi atas Waralaba yang diberikan, artinya cukup bermodal pengetahuan tentang bisnis yang bersangkutan,
maka Pemberi Waralaba akan mendapatkan pemasukan setiap harinya.
Penerima Waralaba pastinya juga akan mendapatkan keuntungan, karena
dengan dukungan pengalaman dan pengetahuan dari Pemberi Waralaba, Penerima
Waralaba akan lebih mudah dalam menjalankan bisnis yang ia terima.
Waralaba sebagai bentuk usaha yang bergerak dibidang makanan dan
minuman, maka dalam menjalankan usaha tersebut pelaku usaha harus menghormati
hak-hak daripada konsumen. Pelaku usaha wajib memasarkan makanan dan minuman
yang sehat, bagus, dan aman untuk dikonsumsi oleh konsumen. Dalam menjalankan
suatu bisnis usaha, antara pelaku usaha dengan konsumen mempunyai posisi
tawar-menawar yang seimbang atau sejajar. Pelaku usaha tidak boleh semena-mena berbuat
kecurangan dalam menjalankan usahanya. Hal ini dapat berdampak bagi kelanjutan
usaha yang ditekuninya sehari-hari.
Jika kita lihat pengertian dari konsumen yang terdapat dalam UUPK No. 8 Tahun
“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup dan tidak untuk diperdagangkan”.
Disamping pengertian konsumen diatas, kemudian kita melihat pengertian
pelaku usaha yang diberikan oleh UUPK tersebut, di mana dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan pelaku usaha adalah:
“setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.65
Sejalan dengan hubungan perjanjian waralaba dengan perlindungan
konsumen, maka pelaku usaha yang menjalankan usaha waralaba melalui perjanjian Dari dua pengertian diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa antara
pelaku usaha dan konsumen merupakan subjek hukum yang tidak dapat dipisahkan.
Karna, pelaku usaha memerlukan konsumen untuk membeli dan mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang ia perdagangkan, sedangkan konsumen juga sangat
memerlukan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha.
65
tertulis harus memberikan perlindungan kepada konsumen yang mengkonsumsi
makanan dan minuman atau barang dan jasa yang ia perdagangkan.
Dalam perjanjian waralaba tersebut harus dicantumkan klausula perlindungan
terhadap konsumen yang memakai, mengkonsumsi makanan dan minuman yang
diperdagangkan. Dalam perjanjian juga harus memuat pertanggungjawaban dari
pihak pelaku usaha kepada konsumen yang mengalami kerugian akibat
mengkonsumsi makanan dan minuman yang di produksi oleh pelaku usaha.
B. KONTRAK ROTI CAPPIE DALAM PERSPEKTIF WARALABA DAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Roti Cappie merupakan salah satu usaha dari sekian banyak usaha franchise
yang ada di kota Medan. Roti Cappie ini terletak di Jln. HM joni di medan, dan
sekarang usaha tersebut telah diwaralabakan ke beberapa tempat yang ada di kota
Medan. Salah satu lokasi tempat usaha yang diwaralabakan oleh Roti Cappie tersebut
terletak di Jln. Kalimantan dan di Jln. Bromo.
Berbicara mengenai kontrak Roti Cappie dalam perspektif Waralaba dan
Perlindungan Konsumen, maka terlebih dahulu harus diketahui isi kontrak yang
diatur oleh pemilik waralaba Roti Cappie dengan penerima waralaba Roti Cappie
tersebut. Adapun klausula kontrak Roti Cappie ialah:
1. Nama : ENZO SAUQI HUTABARAT. Jabatan : Owner Roti Cappie Alamat : Jl.Karya Wisata Ujung (Komp.Villa Kencana No.15) Johor-Medan.
Selanjutnya disebut sebagai PIHAK PERTAMA. Sebagai pemilik Roti Cappie
(Franchisor)
2. Nama : Firahmi Rizky Jabatan : Pembeli Alamat : Jl. AH. Nasution Gg. Jaya Selanjutnya disebut sebagai PIHAK KEDUA, yang dalam hal ini bertindak sebagai Franchisee ROTI CAPPIE.
Dengan ini pihak PERTAMA dan KEDUA setuju untuk mengadakan perjanjian kerja sama, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
PASAL 1
LINGKUP KERJA SAMA
Terhitung mulai surat ini ditanda tangani, maka PIHAK KEDUA berkewajiban memberikan dana PAKET ROTI CAPPIE FRANCHISE kepada PIHAK PERTAMA yaitu berupa uang tunai sebesarRp. 7.000.000,00-
PASAL 2 JENIS USAHA
Jenis usaha Franchise yang akan dikelola adalah Penjualan ROTI CAPPIE dengan lebel Roti Cappie, dengan fasilitas yang akan disediakan berupa:
Outlet Roti Cappie.
Perlengkapan penggorengan (kompor gas, tabung gas, wajan, dll)
Tenda Lipat
Training Pengolahan Roti Cappie.
PASAL 2 JENIS USAHA
Jenis usaha Franchise yang akan dikelola adalah Penjualan ROTI CAPPIE dengan lebel Roti Cappie, dengan fasilitas yang akan disediakan berupa:
Outlet Roti Cappie.
Tenda Lipat
Training Pengolahan Roti Cappie.
PASAL 3
HAK DAN KEWAJIBAN
KEWAJIBAN ROTI CAPPIE FRANCHISE
1.Menyediakan semua kebutuhan bahan baku (roti kosong, kemasan dan bumbu) bagi mitra waralaba di kota tersebut.
2.Mempunyai link dengan pemasok roti cappie 3.Mempunyai link dengan pembuat outlet
4.Melaporkan kepada pemelik jika ada calon mitra waralaba baru (hal ini agar bisa segera di tindak lanjuti aplikasinya).
5.Melayani pengadaan outlet, perlengkapan outlet, sekaligus pengiriman outlet bagi mitra waralaba baru di kota tersebut. (Jika Outlet dibuat di daerah territorial Roti Cappie).
6.Melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba di kota tersebut. 7.Melakukan training karyawan bagi mitra waralaba baru.
HAK DAN KEUNTUNGAN ROTI CAPPIE FRANCHISE 1. Mendapatkan keuntungan dari pembuatan roti & penyediaan Bahan baku. 2. Mendapatkan keuntungan 15%-20% dari omzet bersih perbulan.
3. Mengkontrol proses penjualan disetiap oulet yang tersedia. 4. Sewa tempat ditanggung oleh pembeli Franchisor.
CATATAN :
(Ongkos / Biaya pengiriman bahan baku nantinya, dibebankan kepada Customers)
PASAL 4 PERSELISIHAN
Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak di dalam pelaksanaan pasal-pasal dan surat perjanjian ini pada dasarnya akan diselesaikan secara musyawarah.
PASAL 5 FORCE MAJEURE
Force Majeure adalah hal-hal yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian kerja sama ini, yang terjadi diluar kekuasaan kedua belah pihak, seperti : Pemogokan umum, gempa bumi, banjir, sabotase, huru-hara, kerusuhan dan keadaan darurat yang secara resmi di keluarkan oleh pemerintah.
LAIN-LAIN
Surat perjanjian kerjasama ini dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak dan apabila di kemudian hari terdapat kekeliruan dan atau kekurangan maka akan di adakan perbaikan sebagaimana mestinya.
Hal-hal lain yang tidak tertera dalam surat perjanjian kerja sama ini dapat diatur atas kesepakatan kedua belahpihak.
PASAL 7 PENUTUP
Hal-hal yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian secara bersama dalam suatu surat suplemen dengan catatan masing-masing pihak setuju untuk membuat dan menyepakati surat suplemen tersebut. Selanjutnya, surat perjanjian ini dibuat rangkap 2 (dua) masing-masing bermaterai cukup dan telah ditandatangani asli oleh kedua belah pihak sehingga masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan masing-masing pihak mendapatkan satu eksemplar.
Demikian Surat perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Perlu diketehui bahwa kontrak Roti Cappie tersebut merupakan kontrak baku,
dalam arti kontrak tersebut adalah kehendak dari pemberi waralaba dan tidak ada
tawar-menawar antara franchisor dengan franchisee dalam menetapkan klausula-klausula kontrak tersebut.
Kontrak Roti Cappie Dalam Perspektif Waralaba
Dari isi kontrak Roti Cappie diatas, jika dilihat dari sudut pandang waralaba,
maka yang harus diperhatikan ialah apakah kontrak tersebut selaras dengan aturan
tentang perjanjian waralaba yang terdapat di Bab III Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2007 tentang Waralaba. Dalam hal ini, diatur dalam pasal 4, 5, dan 6 yaitu
Menurut pasal 4 ayat (1), usaha waralaba harus diselenggarakan berdasarkan
perjanjian tertulis antara franchisor dengan franchisee dengan memperhatikan ketentuan hukum yang ada di Indonesia. Di dalam pasal 4 ayat (2) dikatakan
perjanjian waralaba harus dibuat menggunakan bahasa Indonesia, dan apabila
perjanjian dibuat dalam bahasa asing, maka perjanjian tersebut harus diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
Dengan melihat ketentuan pasal 4 ayat (1 dan 2) di atas, maka kontrak Roti
Cappie dibuat tidak menyalahi ataupun bertentangan dengan aturan pasal tersebut.
Waralaba Roti Cappie ini diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara
franchisor dengan franchisee dan kontrak Roti Cappie dibentuk dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tujuan dari ketentuan pasal tersebut sebenarnya
untuk melindungi franchisee yang ada dalam negeri, supaya franchisor tidak melakukan tindakan semena-mena kepada franchisee terlebih franchisor yang datang dari luar negeri.
Kemudian ketentuan yang terdapat di dalam pasal 5, perjanjian waralaba
tersebut harus memuat klausul nama dan alamat para pihak, jenis hak atas kekayaan
intelektual, kegiatan usaha, serta hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian juga harus
mencantumkan wilayah usaha, jangka waktu perjanjian, tata cara pembayaran
imbalan, kepemilikan dan ahli waris, penyelesaian sengketa, tata cara perpanjangan,
dan pemutusan perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam pasal 5 yang menyatakan,
“Perjanjian Waralaba memuat klausul paling sedikit:
b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang
diberikan Pemberi
f. Waralaba kepada Penerima Waralaba;
g. wilayah usaha;
h. jangka waktu perjanjian;
i. tata cara pembayaran imbalan;
j. kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
k. penyelesaian sengketa; dan
l. tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
Menurut yang saya lihat dari kontrak Roti Cappie ini, bahwa kontrak Roti
Cappie dibuat berdasarkan ketentuan pasal 5 UUPK tersebut. Akan tetapi, ada
beberapa ketentuan yang terdapat di dalam pasal 5 yang tidak dimasukkan ke dalam
kontrak Roti Cappie tersebut. Saya melihat beberapa kekurangan dari isi kontrak Roti
Cappie, dimana kontrak Roti Cappie tersebut tidak mengatur atau memasukkan
klausul mengenai jangka waktu perjanjian, kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan
ahli waris, serta kontrak tersebut juga tidak mengatur tentang tata cara perpanjangan,
pengakhiran, dan pemutusan perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana diatur
dalam pasal 5 huruf (g, i, k) Peraturan Pemerintah tersebut.
Namun, terdapat pengaturan tambahan di dalam isi kontrak Roti Cappie di
samping klausul yang wajib dibuat sesuai dengan pasal 5 tersebut. klausul tersebut
terdapat di dalam pasal 6 Kontrak Roti Cappie, yaitu mengenai ketentuan lain-lain.
ditandatangani oleh kedua belah pihak dan apabila di kemudian hari terdapat
kekeliruan dan atau kekurangan maka akan di adakan perbaikan sebagaimana
mestinya.
Hal-hal lain yang tidak tertera dalam surat perjanjian kerja sama ini dapat diatur atas
kesepakatan kedua belah pihak”.
Dari ketentuan isi kontrak yang terdapat dalam pasal 6 tersebut, bahwa
apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dan kekurangan antara franchisor dengan
franchisee dalam menjalankan usaha waralaba tersebut, maka isi kontrak dapat di perbaiki untuk lebih lanjutnya. Dalam pasal 6 tersebut juga dikatakan bahwa hal-hal
lain yang tidak tertera dalam kontrak dapat diatur atas kesepakatan kedua belah pihak.
Menurut saya hal ini akan mengakibatkan mudahnya timbul perkara bagi kedua belah
pihak yaitu franchisor dengan franchisee, dikarnakan kalau perjanjiannya dibuat berdasarkan atas kesepakatan dari kedua belah pihak tanpa diiringi dengan dibuat
kedalam suatu kontrak tertulis, maka hal ini akan sangat mudah untuk menimbulkan
kekeliruan dan perselisihan bagi kedua belah pihak.
Di samping pasal 6 yang terdapat dalam isi kontrak Roti Cappie diatas, ada
juga ketentuan lain yang diatur dalam kontrak tersebut, yaitu terdapat dalam pasal 7
bagian penutup kontrak. Dalam pasal 7 bagian penutup tersebut dikatakan “Hal-hal
yang belum diatur dalam perjanjian ini akan diatur kemudian secara bersama dalam
suatu surat suplemen dengan catatan masing-masing pihak setuju untuk membuat dan
menyepakati surat suplemen tersebut. Selanjutnya, surat perjanjian ini dibuat rangkap
belah pihak sehingga masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan
masing-masing pihak mendapatkan satu eksemplar.
Menurut saya ketentuan pasal 6 dengan pasal 7 ini memiliki makna dan tujuan
yang sama, yaitu kontrak tersebut dapat diperbaiki di kemudian hari apabila isi
kontrak tersebut terdapat kekurangan. Akan tetapi di dalam pasal 7 ini terdapat
kesepakatan bagi kedua belah pihak untuk membuat “surat suplemen” demi untuk
mengatur hal-hal yang belum diatur kontrak.
Perlu diketahui bahwa surat suplemen adalah surat khusus di luar kontrak
yang dibuat oleh kedua belah pihak, dimana surat tersebut dibuat untuk mengatur
segala kekurangan-kekurangan isi kontrak Roti Cappie.
Kontrak Roti Cappie dalam Perspektif Perlindungan Konsumen
Seperti yang telah diuraikan di atas, pada dasarnya kontrak Roti Cappie
tersebut adalah kontrak atau perjanjian baku. Dikatakan bersifat “baku” karena, baik
perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan
atau ditawar-tawar oleh penerima waralaba. Tidak dapatnya kedudukan yang
seimbang dalam membuat perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang
dominan dalam pembuatan kontrak tersebut. Terlebih lagi dengan sistem pembuktian
yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang
cenderung dirugikan tersebut untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat
dibuatnya perjanjian tersebut.
Sebenarnya, kontrak Roti Cappie adalah kontrak antara pemberi waralaba
membahas masalah perlindungan konsumen. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3
yaitu mengenai hak dan kewajiban franchisor. Ketentuan pasal 3 ayat (6) klausul kontrak Roti Cappie dikatakan bahwa franchisor “melayani komplain dan
memberikan solusinya dari mitra waralaba di kota tersebut”. Dari wawancara penulis
dengan pemilik Roti Cappie, maka pemilik usaha memberikan penjelasan mengenai
pasal tersebut. Pemilik usaha memberikan penjelasan bahwa pasal tersebut adalah
salah satu pasal yang menjadi kewajiban bagi franchisor untuk menerima komplain dari setiap konsumen dan mitra waralaba dan akan memberikan solusi dari komplain
tersebut.
Menurut saya, apabila pelaku usaha membuka bisnis dibidang franchise
khususnya di bidang makanan dan minuman, maka sangat perlu diatur dalam kontrak
mengenai perlindungan atau pertanggungjawaban terhadap konsumen yang memakai
atau mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dipasarkan oleh perusahaan tersebut.
Karna dengan adanya klausul mengenai perlindungan konsumen dalam suatu kontrak,
maka konsumen akan mendapatkan pertanggungjawaban yang jelas dari pihak
perusahaan.
Mengenai perjanjian baku, bahwasanya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat
perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian
transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian
baku atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana
pasal 18 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut. Adapun
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal 18 tersebut ialah:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatanjasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
ataumengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru,tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untukpembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undangini.
C. PERLINDUNGAN BAGI KONSUMEN YANG MENGALAMI
KERUGIAN DAN KERACUNAN AKIBAT MENGKONSUMSI ROTI CAPPIE
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN.
Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha bukan merupakan hal baru.
Hal ini disebabkan oleh banyaknya transaksi yang dibuat diluar peraturan yang ada,
dalam perkembangannya konsumen semakin menyadari akan hak-haknya dan
berjuang dalam hal konsumen menerima prestasi yang tidak sesuai dengan isi
kontrak, makanan dan minuman yang dikonsumsi kualitasnya tidak bagus atau tidak
Pada masa kini fungsi dan perananan Negara terhadap masyarakat bukan
hanya menjaga ketertiban dan keamanan, tetapi lebih luas dari itu untuk memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat atau dikenal juga dengan Negara kesejahteraan.
Dalam melaksanakan konsep tersebut, perlindungan bagi warga Negara baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok merupakan suatu bentuk tindakan yang sangat
penting, karena tanpa ada perlindungan yang menimbulkan rasa aman bagi rakyat
tidak mungkin tercapai suatu kesejahteraan bagi masyarakat. Bentuk perlindungan
bagi masyarakat khususnya konsumen yang mengalami kerugian ataupun keracunan
akibat mengkonsumsi makanan dan minuman ialah:
Adapun bentuk perlindungannya diatur dalam Undang-undang nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
beberapa cara, yaitu.
1. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Administratif
Bentuk perlindungan hukum yang dilakukan melalui hukum administratif
terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi makanan dan
minuman ataupun barang dan/atau jasa milik pelaku usaha yang melanggar
tanggung jawabnya, maka terhadap pelaku usaha dibebankan untuk memberikan
ganti rugi kepada konsumen yang dirugikan oleh makanan dan minuman yang
Saksi administratif yang dijatuhkan bagi pelaku usaha yang melanggar Pasal
19 ayat (2) UUPK tersebut berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.
200.000.000,00, (dua ratus juta rupiah), sedangkan pihak yang berwenang untuk
menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha adalah Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK). Dalam hal ini diatur dalam pasal 60 ayat (1, 2 dan 3)
Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Pemberian ganti rugi tersebut harus diberikan kepada konsumen paling lambat
7 (tujuh) hari setelah transaksi dilaksanakan. Akan tetapi, pembebanan ganti rugi
yang diberikan kepada pelaku usaha dapat terhapus apabila pelaku usaha dapat
membuktikan bahwa kesalahan bukan berada pada pelaku usaha melainkan kesalahan
dilakukan oleh konsumen (sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (5).
2. Perlindungan Hukum Dari Aspek Hukum Pidana
Secara umum pelaku usaha seharusnya menjaga mutu barang dan/atau
jasa yang dipasarkan sehingga tetap sepadan dengan pengeluaran konsumen yang
ingin mendapatkan produk tersebut, hal ini berarti pengaturan dibidang perlindungan
konsumen harus sejalan dengan peraturan dibidang perlindungan bisnis yang sehat
dan jujur.
Di Indonesia pengaturan tidak jujur terdapat dalam Pasal 382 bis KUH
Pidana, yang berbunyi “Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau
memperluas hasil perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain,
melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seseorang
atau konkuren-konkuren orang lain karena persaingan curang dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas
ribu lima ratus rupiah.”
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal tersebut merupakan sebagian dari perbuatan
persaingan curang dan terletak dalam hukum pidana.
Terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat memakai,
menggunakan atau mengkonsumsi makanan dan minuman serta barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan oleh pelaku usaha, maka bentuk perlindungan hukum terhadap
konsumen dapat dilakukan melalui penuntutan pidana terhadap pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UUPK. Adapun dalam pasal 62 UUPK tersebut
dikatakan, bahwa:
1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11, Pasal12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf
d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap
Dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang telah
memproduksi atau mengedarkan kosmetika yang mengandung zat aditif berbahaya
menurut ketentuan Pasal 63 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, dapat juga dijatuhkan hukuman tambahan berupa :
a. Perampasan barang tertentu
b. Pengumuman keputusan Hakim
c. Pembayaran ganti rugi
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau
f. Pencabutan izin usaha
D. TANGGUNG-JAWAB FRANCHISEE TERHADAP KONSUMEN
YANG MENGALAMI KERUGIAN DAN KERACUNAN
Usaha Roti Cappie merupakan salah satu usaha franchise yang bergerak di bidang makanan yang ada di kota Medan. Roti Cappie berdiri pada tanggal 27
September 2015 dan berpusat di Jln. HM joni Medan. Usaha tersebut sekarang sudah
berkembang dan sudah di franchisekan ke beberapa tempat yang ada di kota medan.
Pemilik usaha Roti Cappie ialah Enzo Sauqi Hutabarat, pemilik membuka
usaha tersebut di Jln. HM Joni Medan. Sedangkan Frachisee Roti Cappie tersebut ialah Margery Kusbiono yang menjalankan usaha tersebut di Jln. Kalimantan dan
Supriadi menjalankan usaha di Jln. Bromo Medan.
Ketentuan mengenai tanggung-jawab franchisee terhadap konsumen yang mengalami keracunan dan kerugian akibat mengkonsumsi Roti Cappie terdapat dalam
klausula kontrak antara franchisor dengan franchisee. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 3 ayat (6), dalam kontrak tersebut dikatakan “bahwa franchisor akan melayani komplain dan memberikan solusinya dari mitra waralaba”.
Perlu diketahui bahwa apabila konsumen mengalami kerugian akibat
mengkonsumsi produk Roti Cappie di wilayah franchisee, maka franchisor ikut bertanggung-jawab terhadap kerugian konsumen tersebut. Franchisee wajib memberitahukan komplain konsumen tersebut kepada franchisor, supaya franchisor
dapat memberikan solusi yang tepat kepada konsumen sesuai dengan ketentuan pasal
3 ayat (6) klausula kontrak Roti Cappie.
Adapun bentuk pertanggung-jawaban dari pihak Roti Cappie terhadap
konsumen yang mengalami kerugian dan keracunan akibat mengkonsumsi Roti
1) Pemilik Roti Cappie akan memberikan ganti rugi kepada konsumen dengan
membayar dua kali lipat harga makanan yang dibeli oleh konsumen.
2) Jika konsumen harus mendapat penanganan melalui pengobatan medis atau
masuk rumah sakit, maka pihak Roti Cappie bertanggung-jawab untuk
membayar biaya perobatan konsumen. Tetapi disini Rumah Sakit ditentukan
oleh pihak Roti Cappie, dan konsumen tidak bisa menentukan sendiri Rumah
Sakit mana yang akan merawatnya.66
Melihat bentuk pertanggung-jawaban dari pihak Roti Cappie diatas, maka hal
tersebut selaras dengan ketentuan pasal 19 ayat (1dan 2) Undang-undang
Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 19 mengatur mengenai tanggung jawab pelaku
usaha kepada konsumen, dimana dalam pasal 19 ayat (1) dikatakan “bahwa pelaku
usaha bertanggung-jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan
atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan. Sedangkan ketentuan pasal 19 ayat (2) dikatakan “ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan
kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
E. PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA KONSUMEN
66
Hubungan hukum antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen tidak
tertutup kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa konsumen. Selama ini
sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan di pengadilan, namun pada
kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilan pun tidak
akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang terlalu
lama dan sangat birokratis. Berdasarkan pasal 45 UUPK setiap konsumen yang
dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan
yang berada di lingkungan peradilan umum.67
Di luar peradilan umum UUPK membuat terobosan dengan memfasilitasi para
konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan ke pelaku usaha di
luar pengadilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme
gugatan dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini
berlaku secara gugatan perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action) dilakukan peradilan umum.68
Badan ini dibentuk di setiap daerah Tingkat II (pasal 49) BPSK dibentuk
untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan (pasal 49 ayat (1), dan
badan ini mempunyai anggota-anggota dari unsur pemerintah, konsumen dan pelaku
usaha. Setiap unsur tersebut berjumlah 3 (tiga) orang atau sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang, yang kesemuanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
(Perindustrian dan Perdagangan). Keanggotaan Badan terdiri atas ketua merangkap
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah peradilan khusus konsumen
(small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan murah. Dengan demikian, BPSK
hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil.
67
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. Cit, hal. 126 68
anggota, wakil ketua merangkap anggota, dan aggota dibantu oleh sebuah
sekretariat.69
Setelah adanya kata damai dari pihak konsumen dengan pelaku usaha, maka
akan dibuat ke dalam suatu putusan dan putusan tersebut harus di daftarkan ke
Pengadilan Negeri. Apabila pelaku usaha dan konsumen tidak menerima putusan dari
BPSK, maka para pihak dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri untuk
menyelesaikan perkara tersebut
Adapun peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan
sengketa konsumen ialah:
1. Melalui mediasi, dimana BPSK akan menjadi mediator bagi kedua belah pihak
yakni pelaku usaha dengan konsumen. BPSK akan mendengarkan segala keluhan dari
konsumen dan juga pembelaan dari pihak pelaku usaha. Setelah mendengarkan
beberapa keluhan dari kedua belah pihak, maka mediator akan mencoba mencari
jalan kata damai bagi kedua belah pihak.
2. Melalui Arbitrase, dimana pihak konsumen yang dirugikan akan menunjuk satu
orang arbiter dan pelaku usaha menunjuk satu orang arbiter serta pihak BPSK akan
menunjuk juga arbiter dari bagian pemerintahan untuk menyelesaikan sengketa kedua
belah pihak.
Wawancara Dengan Bapak Hudri Aidil Fitri Selaku Anggota Sekretariat BPSK Kota Medan
.
Peran BPSK diatas sejalan dengan pasal 52 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 52 tersebut membahas mengenai tugas
dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam menyelesaikan
sengketa konsumen. Adapun isi pasal 52 tersebut ialah:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,
dengan cara melaluimediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian
sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat