• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tindak Pidana Bersama-Sama Dab Berkleanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi ( Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K Pid 2006)"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bersama menurut pandangan doktrin, pada asasnya ketentuan Hukum Pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum (ius commune) dan Hukum Pidana Khusus ( ius singulare, ius speciale, atau bijzonder strafrecht). Ketentuan Hukum Pidana Umum dimaksudkan berlaku secara umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan ketentuan Hukum Pidana Khusus menurut Pompe1, A. Nolten, Sudarto, dan E.Y. Kanter diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus (bijzondelijk feiten).

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yag berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Karena itu tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.2

1 Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan

Masalahnya, Penerbit : PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 1 2

(2)

Lord Acton pernah membuat ungkapan yang menghubungkan antara

“korupsi” dengan “kekuasaan”, yakni “Power tends to corrupt, and absolut

power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan

kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.3 Artinya, kekuasaan adalah bagian yang sangat rentan terhadap penyakit korupsi. Secara tidak langsung hal ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat mempermudah bagi pemangkunya untuk menjelma menjadi seorang koruptor.

Permasalahan korupsi juga merupakan bagian dari persoalan hukum, sebab melalui hukum, korupsi diharapkan dapat diberantas. Hukum itu sendiri menurut Hamaker dirumuskan sebagai suatu refleksi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, hukum tidak terlepas dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Roscoe Pound menegaskan “law is a tool of social

engineering” atau hukum sebagai alat mengatur dan mengelola masyarakat.

Dengan kata lain, hukum harus mengarahkan menuju masyarakat yang lebih

ordinary measure sehingga banyak peraturan, lembaga dan komisi yang telah dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia seperti Era Presiden Soekarno (1945-1965) adalah Peraturan Penguasa Militer No. PRT/PM/06/1957, Peraturan Pemberatasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No. Prt/Perpu/013/1958 dan UU No. 24/Prp/1960, kemudian pada Era Presiden Soeharto (Orde Baru) berupa Keppres No. 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 12 Tahun 1970 tanggal 31 Januari 1970 tentang Pembentukan Komisi Empat, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inpres No. 9 Tahun 1977 tentang Pembentuka Tim Operasi Tertib Kewibawaan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 1982, kemudian pada Era Presiden BJ Habibie berupa TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Pemerintah yang bersih dan bebas KKN, Keppres No. 27 Tahun 1998 dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berikutnya pada Era Presiden Abdurrahman Wahid adalah Keppres No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman dan PP No. 19 Tahun 2000 Pembentukan Tim Gabungan Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi (TGPTPK), pada Era Presiden Megawati Soekarno Putri adalah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seta pada Era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tanggal 2 Mei 2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).

3 Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,

(3)

baik.4 Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan serta menetukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.5

Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak ke segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara meluas dan sistematis.6 Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hak-hak sosial masyarakat mulai endemis dan sistematis. Korupsi juga dilakukan oleh pejabat atau mantan kepala pemerintahan pada masa kepemerintahan/kepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat (high profile crime) dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.7 Korupsi juga salah satu akar permasalahan yang memperburuk roda perekonomian yang menyebabkan krisis ekonomi yang terjadi di negara ini dan menghambat jalannya sistem hukum yang dimanfaatkan undang-undang.

Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan dan/atau perekonomian negara saja, tetapi juga sepatutnya dilihat sebagai sesuatu yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, terdapat cukup alasan yang rasional untuk mengkatagorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary

4 Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penaku berkerjasama dengan

Maharani Pres, Jakarta, 2008, halaman 1

5 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberti, Jogjakarta, 1995,

halaman 41

6 Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Paragraf ke-2

(4)

crime) dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument).8

Marwan Effendy mengemukakan bahwa korupsi semakin terpola dan sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime saja, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.9

Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputu APBN, APBD, keuangan negara pada Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. Keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkan keuangan negara.10 Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini dari pemerintahan yang bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibanndingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dan menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai

8 Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT.

Rajagrafindo, Jakarta, 2011, halaman ; 76

9 Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,

Indonesia Lawyers Club (ILC), Surabaya, 2010, halaman 4

(5)

demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur.11

Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir dengan maksud untuk memberantas korupsi telah diterbitkan, namun praktik korupsi masih terus berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya. Bahkan hal ini diperparah lagi dengan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum yang seharusnya bertugas memberantas korupsi dan menegakkan peraturan yang berlaku.

Pasal 32 UU PTPK secara harafiah sudah mengatur bahwa kalau tidak ada

bukti adanya “perbuatan melawan hukum” namun kerugian Negara secara nyata

telah ada maka penyidik harus melimpahkan kepada jaksa Negara untuk

dilakukan gugatan perdata. Sebaliknya dapat dipahami bahwa bila bukti adanya

“perbuatan melawan hukum” telah cukup dan kerugian Negara itu belum terjadi

(tetapi berpotensi terjadi),12 maka seburuk-buruknya bila tidak dituntut dengan

pasal 2 ayat 1 UU PTPK, pelakunya harus dituntut dengan Pasal 15 UU PTPK

yaitu “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”.

Di dalam Tindak Pidana Korupsi, kita mengenal adanya bersama-sama

melakukan atau yang disebut penyertaan (deelneming), yang mana didalam

11 Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan mengakibatkan lembaga peradilan

menjadi tidak independen dan tidak imparsial, sehingga timbul ketidakpastian hukum, ketidakmandirian lembaga peradilan dan isntitusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat dan hakim) kemudian selanjutnya inilah yang disebut sebagai judicial corruption, (Frans H. Winarta, Opcit, halaman 289-290)

12

(6)

penjatuhan putusan korupsi yang dilakukan bersama-sama itu terkait dengan

adanya perbuatan berkelanjutan. Sehingga sering ditemukan adanya putusan

hakim yang memvonis “bersama-sama melakukan dan perbuatan atau pidana

berkelanjutan” di dalam kasus korupsi. Hal ini dapat kita lihat memalui kasus

pidana kasasi dengan nomer register 996/K/Pid/2006. Doktrin hukum pidana

sudah dahulu mengatur dengan apa yang dinamakan sebagai perbuatan pidana

berlanjut (concursus). Pengertian dari concursus berlanjut adalah suatu perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang atau berangsur-angsur dimana perbuatan itu sejenis berhubungan dan dilihat dalam satu perbuatan.

Batasan waktu yang terciri dalam concursus berlanjut adalah dibatasi pada putusan hakim (in kracht). Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut menggunakan sistem absorbs, yaitu hanya dikenakan ancaman terberat. Dan apabila berbeda-beda, maka dikenakan ketentuan pidana pokok yang terberat.

(7)

hukuman pidana yang terberat dari perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan khususnya di dalam Tindak Pidana Korupsi.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama dan konsep tindak pidana berkelanjutan dalam hukum pidana dan tindak pidana korupsi ?

2. Bagaimanakah putusan yang dijatuhkam Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 996K/Pid/2006 yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi bersama-sama dan perbuatan berkelanjutan (concursus) atas nama terdakwa Hamdani Amin ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka yang akan menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Menganalisa dan mengkaji ketentuan-ketentuan tindak pidana berkelanjutan dalam tindak pidana korupsi korupsi beserta dengan sanksi pidananya.

(8)

D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran secara teoritis kepada disiplin ilmu hukum sehingga dapat berguna bagi pengembangan ilmu hukum pidana di Indonesia khususnya terhadap pengaturan-pengaturan penjatuhan hukuman percobaan tindak pidana korupsi sehingga kemungkinan terjadinya kerancuan-kerancuan dan tumpang-tindih hukum dapat dieliminasi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan kepada aparatur pelaksana penegakan hukum dalam rangka melaksanakan tugas-tugas mulianya memperjuangkan keadilan dan mewujudkan tujuan hukum yang dicita-citakan.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi dengan judul Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi putusan Mahkamah Agung Nomor 996K/Pid/2006) berdasarkan arsip hasil-hasil penulisan skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) belum pernah dilakukan.

(9)

erat kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan penulisan pertama dan asli adanya.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari kata latin “corruptio” atau “corruptus” yang bila diterjemahkan secara harfiah adalah pembusukan, kuburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian,

kata-kata atau ucapan yang memfitnah. Pendapat lain bahwa dari istilah “korupsi” yang

berasal dari kata “corrupteia” yang dalam bahasa latin berarti “bribery” atau

“seduction”. Bribery dapat diartikan sebagai memberi kepada seseorang agar

seseorang tersebut berbuat untuk keuntungan pemberi. Sedangkan seduction berarti sesuatu yang menarik agar seseorang menyeleweng.13

Sedangkan arti harafiah dari korupsi dapat berupa :14

1. kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejadan, dan ketidakjujuran;

2. perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, peenrimaan uang, sogok dan sebagainya;

3. perbuatan yang kenyataannya menimbulkan keadaan yang bersifat penyuapan dan bentuk-bentuk ketidakjujuran, sesuatu yang dikorup seperti kata yang diubah atau diganti secara tidak tepat dalam satu kalimat, pengaruh-pengaruh yang korup.

13

http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081-pengertian-korupsi-dan-tindak-pidana/#ixzz1aAXOjzOd. Diakses pada tanggal 27 Desember 2012. 14

(10)

Beberapa faktor penyebab timbulnya Tindak Pidana Korupsi, antara lain:15 1. lemahnya pendidikan agama, moral, dan etika;

2. tidak adanya sanksi yang keras terhadap pelaku korupsi;

3. tidak adanya suatu sistem pemerintahan yang transparan (Good

Governance);

4. faktor ekonomi (di beberapa negara, rendahnya gaji pejabat publik

seringkali menyebabkan korupsi menjadi “budaya”);

5. manajemen yang kurang baik dan tidak adanya pengawasan yang efektif dan efisien; serta

6. modernisasi yang menyebabkan pergeseran nilai-nilai kehidupan yang berkembang dalam masyarakat.

Secara umum tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU PTPK). Selain itu hukum acara dalam menangani tindak pidana korupsi tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) dan penyimpangannnya yang diatur secara khusus dalam UU PTKP.16

UU PTKP tidak membuat pengertian tentang tindak pidana korupsi. Akan tetapi, dengan memperhatikan kategori tindak pidana korupsi sebagai delik formil, maka Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTKP mengatur secara tegas mengenai unsur-unsur pidana dari tindak pidana korupsi tersebut. Pasal 2 UU PTPK, menyatakan sebagai berikut :

15 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2011,

halaman 15

(11)

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.... Selanjutnya dalam Pasal 3 UU PTPK, menyatakan :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara....

Defenisi yuridis dalam UU PTPK tersebut merupakan batasan formal yang ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu disuatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara.17

2. Pengertian Tindak Pidana Berkelanjutan dalam Hukum Pidana Tindakan yang berkelanjutan (voortgezzette handeling), oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP, yang rumusannya berbunyi :18

“Staan meerdere feiten, ofschoon elk op zich misdrijf of overtreding

opleverende, in zoodaning verband, dat zij moeten worden beschouwd als eene voortgezette handeling, dan wordt slechts eene straafbepaling toegepast, bij verschil die waarbij de zwaarste hoofdstraf is gesteld”.

17 http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2027081, Opcit

18 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit : PT Citra Aditya

(12)

yang artinya : “Apabila antara beberapa perilaku itu terdapat hubungan

yang sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai suatu tindakan yang berlanjut, walaupun tiap-tiap perilaku itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka diberlakukanlah hanya satu ketentuan pidana saja, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang

terberat.”

Berbeda dengan kenyataan yang terdapat di dalam Memorie van Toelichting, dimana pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai apa yang disebut voortgezet misdrijf dan voortgezette overtreding, maka di dalam rumusan ketentuan pidana menurut Pasal 64 ayat 1 KUHP di atas, pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai beberapa perilaku yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi yang karena terdapat suatu hubungan yang demikian rupa, maka perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai satu tindakan yang berlanjut.19

Itu berarti bahwa tiap-tiap perilaku itu harus dituduhkan secara sendiri-sendiri dan harus dibuktikan pula secara sendiri-sendiri-sendiri-sendiri. Tiap-tiap perilaku itu dapat mempunyai locus delicti-nya sendiri, tempus delicti-nya sendiri dan dapat mempunyai verjaringstermijn-nya sendiri.

Dalam MvT (Memorie van Toelichting), kriteria “perbuatan-perbuatan itu

ada hubungan sedemikain rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan

berlanjut” adalah :

(13)

1. harus ada satu keputusan kehendak; 2. masing-masing perbuatan harus sejenis;

3. tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama. Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut sebagaimana yang telah dikemukakan diatas adalah menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda, maka dikenaan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.

Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 407 ayat (1) (perusakan barang ringan), yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.

Beberapa orang penulis berpendapat, bahwa di dalam perilaku-perilaku berkelanjutan/tindak pidana berkelanjutan sebagaimana dimaksud di atas bukan tidak mungkin dapat terjadi adanya suatu keturutsertaan atau deelneming.

Mengenai kemungkinan adanya suatu deelneming atau suatu keturutsertaan di dalam perilaku-perilaku seperti dimaksud di atas, Profesor Simons berpendapat antara lain :20

“Naar mijne zienswijze is dus bij toepassing van art. 56 slecht van eene

quaestie van straftoemeting sprake en niet van het vormen van een delict, met al de gevolgen daaraan ten opzichte van de plaats van het strafbare

feit, de deelneming, de verjaring enz. verbonden”.

(14)

yang artinya : “Menurut cara pengelihatan saya, pemberlakuan Pasal 64

KUHP itu hanya berkenaan dengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan dengan masalah pembentukan satu tindak pidana dengan segala akibatnya yakni yang berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana, dengan keikutsertaan, dengan masalah kadaluwarsa dan lain-lain”.

Adapun pendapat yang sama dari Profesor van Hattum yang mengatakan, anatara lain :21

“Dat art. 56 slechts een voorschrift van straftoemeting bevat en geenzins

een veelheid van delicten wettelijk tot eenheid vormt is van grote betekenis

voor de locus delicti, voor de verjaring, voor de deelneming”.

yang artinya : “Bahwa Pasal 64 KUHP itu hanya memuat suatu peraturan

mengenai penjatuhan hukuman dan bukan mengatur masalah pembentukan sejumlah tindak pidana menjadi satu keseluruhan menurut undang-undang, hal mana mempunyai arti yang sangat penting bagi lembaga-lembaga locus delicti, kadarluwarsa dan keikutsertaan.”

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 996 K/Pid2006.

Terdakwa Hamdani Amin22 baik bertindak secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan saksi Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin (yang berkas perkaranya diajukan secara terpisah), pada hari dan tanggal yang tidak dapat dipastikan lagi di dalam bulan Juni 2004 atau setidak-tidaknya sekitar eaktu antara bulan April 2004 dan Desember 2004 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2004, bertempat di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jl. Imam Bonjol No. 29

21 Ibid

(15)

Jakarta atau setidak-tidaknya di tempat-tempat lain telah menutup perjanjian asuransi bagi jaminan kematian/kecelakaan petugas penyelenggara Pemilihan Umum (PEMILU) tahun 2004 dalam bentuk asuransi sejumlah Rp. 14.800.000.000 (empat belas milyar delapan ratus juta rupiah); tanpa membentuk panitia pengadaan jasa penutupan asuransi, tidak mengadakan prakualifikasi, tidak membuat penentuan harga, dan tidak melakukan penjelasan pekerjaan (aanwijzing), yang kesemuanya merupakan persyaratan yang harus dipenuhi menurut ketentuan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tanggal 3 November 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dengan demikian penandatanganan surat perjanjian kerjasama penutupan asuransi adalah bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tanggal 3 November 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Atas penutupan asuransi tersebut terdakwa menerima sejumlah US$ 566.795 (lima ratus enam puluh enam ribu tujuh ratus sembilan puluh lima dolar Amerika Serikat) dari perusahaan asuransi, yang kemudian dibagi-bagikan dan dipergunakan sendiri oleh terdakwa.

Perbuatan terdakwa itu didakwa :

PRIMAIR; Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

(16)

LEBIH SUBSIDAIR; Pasal 8 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

KEDUA; Pasal 11 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Putusan kasasi hari Rabu, tanggal 16 Agustus 2006, pada garis besarnya berisikan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi. Jaksa/Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Terdakwa; Hamdani Amin tersebut;

Menyatakan batal demi hukum putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tanggal 7 Februari 2006 No. 01/Pid/TPK/2006/PT.DKI yang telah memperbaiki Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Desember 2005 No. 05/Pid.B/TPK/2005/PN.JKT.Pst;

MENGADILI SENDIRI :

Menyatakan Terdakwa HAMDANI AMIN tersebut di atas terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana :

a. KORUPSI YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA; b. KORUPSI YANG MERUPAKAN BEBERAPA PERBUATAN

(17)

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;

Menghukum pula Terdakwa tersebut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.068.092.000-, (satu milyar enam puluh delapan juta sembilan puluh dua ribu sembilan ratus dua rupiah) paling lambat 1 (satu) bulan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap, apabila setelah lewat 1 (satu) bulan Terdakwa tidak membayar uang pengganti, maka hatra kekayaan Terdakwa dapat disita oleh Jaksa dan di ellang untuk membayar uang pengganti dan dengan ketentuan dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi, untuk membayar uang pengganti, maka kan diganti dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun;

Menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa;

Memerintahkan supaya Terdakwa tetap ditahan dalam Rumah Tahanan Negara;

Menetapkan seluruh barang-barang bukti dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk kepentingan perkara lain;

Membebankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar baiay perkara dalam semua tingkat pengadilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 2.500-, (dua ribu lima ratus rupiah).

G. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian

(18)

tindak pidana bersama-sama dan berkelanjutan dengan menganalisis putusan Mahkamah Agung Nomor 996 K/Pid/2006.

Penelitian hukum normatif juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian hukum jenis ini mengkonsepsi hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.23

Pendekatan kasus (case aproach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaedah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dari yurisprudensi terhadap perkara yang menjadi fokus penelitian.24

2. Sumber Data

Sumber data penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat (data primer) dan dari bahan-bahan pustaka (data sekunder).25 Metode penelitian hukum normatif hanya mengenal data sekunder saja.26 Data sekunder tersebut terdiri dari bahan hukum primer; bahan hukum sekunder; dan bahan hukum tersier.27

23 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2004, halaman 18

24 Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja hukum itu sendiri. Dengan demikian, tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerepan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif (Johnny Ibrahim, Teori dan metedeologi penelitian hukum normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2006, halaman 321)

25 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, halaman. 12

(19)

a). Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari :

1. Norma kaidah dasar yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;

2. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Pidana Korupsi;

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara;

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian;

7. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering);

8. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

(20)

1. Buku-buku yang terkait dengan hukum; 2. Artikel di jurnal hukum;

3. Komentar-komentar atas putusan pengadilan; 4. Skripsi, Tesis, dan Desertasi Hukum;

5. Karya dari kalangan praktisi hukum ataupun akademis yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

c). Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, diantaranya;

1. Kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia

2. Majalah-majalah yang ada hubungannya dengan penelitian ini; 3. Surat kabar yang memuat tentang kasus-kasus tindak pidana

korupsi khususnya di bidang perbankan. 3. Pengumpulan Data

Pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan dengan cara penelitian kepustakaan (library research) atau disebut juga dengan studi dokumen yang meliputu bahan hukum primer, sekunder maupun tersier.28 Studi kepustakaan yang dimaksudkan dalam skripsi ini diterapkan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis bahan-bahan yang utamanya berkaitan dengan penjatuhan hukuman pidana percobaan dalam tindak pidana korupsi , termasuk juga bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dan dibahas dalam skripsi ini

(21)

4. Analisis Data

Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.29 Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber.30 Adapun yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah dari data sekunder. Analisis data dalam penelitian hukum menggunakan metode penelitian kualitatif, karena tanpa menggunakan rumusan statistik, sedangkan penggunaan angka-angka hanya sebatas pada angka presentase sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai masalah yang diteliti.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi dalam 4 (empat) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut :

BAB I: Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang mengemukakan berbagai defenisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai

29 Patton membedakan proses analisis data dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang

signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari pola hubungan antar dimensi-dimensi uraian. (Lexy J. Moeleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, halaman 103)

(22)

gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Menguraikan tentang pengaturan pidana bersama-sama dan berkelanjutan (concursus). Bab ini secara khusus menguraikan konsep tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama dan tindak pidana berkelanjutan di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2001 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

BAB III: Merupakan pembahasan mengenai hukum pidana bersama-sama dan berkelanjutan di dalam tindak pidana korupsi dengan putusan Mahkamah Agung Nomor Register 996 K/Pid/2006. Pada bab ini akan diuraikan bagaimana duduk perkara, dakwaan, pertimbangan hakim, amar putusan dan selanjutnya akan dianalisa dan dikaji secara mendalam terhadap putusan yang di berikan majelis hakim terhadap terdakwa dalam perkara ini.

Referensi

Dokumen terkait

Pertama, skripsi Angga Aris Twidyatama (06410002) Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tahun 2010, yang berjudul:

Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) sebanyak 8,33% responden berada pada kategori sangat baik dalam penerapan KTSP; 41,67% responden berada pada kategori baik; 47,22%

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang digunakan sebagai upaya penyelenggaraan dan pembangunan kesehatan dituntut untuk terus meningkatkan dan

JADWAL PERKULIAHAN SEMESTER III (GANJIL) TAHUN AKADEMIK 2015/2016. PROGRAM STUDI TEKNIK

Pada hari ini Senin tanggal Dua Puluh Tujuh bulan Agustus Tahun Dua Ribu Dua Belas , kami selaku Pokja Pengadaan Barang/Jasa Satker MAN 8 Jakarta Kementerian Agama

Kuasa Pengguna Anggaran Madrasah Aliyah Negeri Laburunci Alamat Desa Laburunci Kecamatan PasaMajo KabupaEn Buion mengumumkan Rencana Umum Pengadaan Barang/Jasa untuk

[r]

Proses pengeringan campuran antara air dan tepung tapioka (yang merupakan hasil akhir yang diperoleh dari mesin ini setelah melalui proses pemarutan, penggilasan dan