• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Feminisme dalam Film (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Feminisme Dalam Film Maleficent )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Feminisme dalam Film (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Feminisme Dalam Film Maleficent )"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Film merupakan salah satu media yang dipakai tidak hanya untuk penyebaran informasi dan mengedukasi tetapi juga film menjadi suatu media untuk menghibur khalayak. Film mulai berkembang pada akhir abad ke-19. Penemuan film merupakan bagian dari respon adanya waktu luang, waktu libur dari kerja dan sebuah jawaban dalam menghabiskan waktu luang dengan keluarga

dan sifatnya terjangkau.

Industri film adalah industri yang tidak akan pernah ada habisnya. Sebagai media, film tidak bersifat netral, terdapat pihak-pihak yang mendominasi atau terwakili kepentingannya dalam film tersebut. Film adalah seni yang sering dikemas untuk dijadikan komiditi dagang. Film digunakan sebagai media yang memproyeksikan realitas yang terjadi dalam masyarakat, atau bahkan membentuk sebuah realitas karena film merupakan potret dari masyarakat.

Film disebut juga sebagai transformasi kehidupan masyarakat, karena dalam film kita dapat melihat gambaran atau cerminan yang sebenarnya, dan bahkan kita terkadang tidak menyadari hal tersebut. Sebagai gambar yang bergerak, film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya. Begitu pula dengan isu tentang perempuan. Banyak sekali film yang telah menampilkan realitas dan merepresentasikan seorang perempuan.Walaupun film dibentuk berdasarkan cerminan kehidupan yang sebenarnya, tetapi banyak juga film membentuk sebuah pemikiran baru dan pandangan baru terhadap sebuah realitas, tidak terkecuali dengan isu kehidupan perempuan.

(2)

peneliti yang melihat topik ini menangkap gambaran bahwa dalam hampir seluruh penampilan perempuan yang ditawarkan dalam sebuah film digambarkan berkaitan dengan wilayah domestiknya saja. Tidak hanya para pengamat saja, feminis yang merupakan penggerak dalam feminisme sangat tertarik dengan film karena film tampaknya mengistimewakan apa yang secara tradisional dipandang sebagai hal-hal feminin dan berusaha untuk selalu mengidentifikasi apakah film-film yang bertemakan perempuan memiliki sesuatu yang ditawarkan kepada perempuan dan/atau feminis.

Ketika sebuah film mengangkat dan menampilkan sebuah cerita tentang perempuan. Kebanyakan perempuan dalam sebuah film dipresentasikan sebagaimana ia direpresentasikan oleh laki-laki, bukan sebagaimana perempuan itu ada dalam masyarakat. Wacana tentang perempuan seperti pengertian mengenai perempuan yang akan selalu menghasilkan dan memunculkan wacana yang distrukturkan oleh patriarki. Artinya keberadaan perempuan telah digantikan oleh konotasi-konotasi, yang telah sarat oleh mitos-mitos guna melayani kebutuhan patriarki. Tidak hanya itu, perempuan dalam film juga dijadikan sebagai objek seks. Beberapa ahli juga berpendapat bahwa film atau sinema adalah alat untuk memenuhi kesenangan kaum lelaki. Perempuan selalu menjadi kaum pinggiran dan hanya dimanfaatkan dalam melodrama yang menyentuh hati, sinema-sinema horor atau film-film yang bertema seksual.

Di Amerika, pada awal hingga pertengahan tahun 1970-an, film sering kali

diperbincangkan sebagai bagian dari sebuah citra perempuan. Menurut Rosen citra feminin yang salah akan dapat mengisi sebuah kepala (kosong) para penonton perempuannya. Haskell juga mengatakan bahwa film tidak hanya merefleksikan “defenisi yang diterima oleh masyarakat” tetapi juga memaksakan defenisi femininitas yang sempit (Hollows, 2010:55).

(3)

masyarakat sendiri dan lebih buruknya, perempuan digambarkan sebagi proyeksi laki-laki (Hallows, 2010:55).

Selama berada-abad, perempuan hidup dalam dominasi laki-laki. Dalam dominasi laki-laki, yang terjadi sebetulnya ialah kekuasaan. Pierre Bourdieu (Karolus, 2013:4) kekuasaan bekerja melalui penguasaan simbolik atau modal kekuasaan yang tak kasat mata. Pada situasi saat ini, perempuan bahkan tidak dapat melihat dan merasakan bahwa film merupakan salah satu alat penguasaan tetapi ditunjukkan secara alamiah dan wajar. Perempuan hanya pasif atau menerima nasib dan ditentukan oleh laki-laki sebagai sesuatu yang sudah semestinya.

Berbicara posisi perempuan dalam masyarakat, maka hal ini tidak dapat dipisahkan dari gerakan feminisme yang sudah berkembang sejak masa pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condercet (Karolus, 2013:4). Di Indonesia, pergerakan perempuan hadir lewat pemikiran pejuang perempuan yaitu R.A Kartini yang cemas memikirkan nasib kaumnya dimasa koloni saat itu.

Sejak tahun 1971, hubungan antara feminisme dan film sudah dimantapkan dengan peluncuran jurnal film pertama yaitu Woman and Film di Amerika. Feminis menggandrungi film dokumenter seakan film jenis ini adalah praktik film yang bisa merepresentasikan perempuan dan perkara feminis dengan sangat akurat dan jujur.

Di zaman ini, feminisme merupakan suatu isu dan kajian yang sangat sering diangkat dan selalu menarik perhatian serta sering ditampilkan dalam sebuah film. Sama dengan media lainnya, Film dalam pandangan banyak feminis sering kali dianggap membawa ideologi yang kurang menguntungkan bagi perempuan. Ideologi yang kebanyakan menindas kaum perempuan disalurkan dengan mudah melalui bahasa unik yang ada dalam film. Budaya media ini menunjuk pada suatu keadaan ataupun tampilan audio dan visual, yang telah membentuk konstruksi kehidupan sehari-hari, bahkan memberikan materi untuk membentuk identitas seseorang, termasuk diri perempuan.

(4)

sebuah film, dongeng sudah sangat akrab bagi anak-anak. Dongeng digunakan sebagai media komunikasi dari orangtua kepada anak untuk mendidik dan menghibur. Dongeng berisikan pesan moral bagi orang-orang yang membacanya. Bersama dengan perkembangan zaman, akhirnya dongeng dikemas dalam bentuk berbagai media salah satunya adalah film.

Film mengenai dongeng (fairytale) sudah banyak disajikan kepada khalayak dalam tema cerita yang berbeda-beda, salah satunya adalah dongeng yang bertemakan princess. Film yang menceritakan seorang putri atau princess

merupakan sebuah film fiksi yang tidak bisa lepas dari hal yang bertemakan feminin atau perempuan. Film yang bertemakan dongeng, umumnya dikonsumsi oleh anak-anak sampai dengan orang dewasa tanpa memandang jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Namun film dongeng yang bertemakan princess ini dengan tegas merepresentasikan perempuan berdasarkan posisi gender dalam masyarakat.

Walt Disney merupakan salah satu perusahaan yang berbasis di amerika yang berada dalam bidang perfilman yang mengemas dongeng menjadi sebuah film. Film dongeng yang selalu Disney produksi yang telah akrab di telinga para penonton setianya. Sudah banyak cerita-cerita dongeng yang telah diangkat dalam film disney mengenai dongeng putri-putri Disney, mulai dari Snow White and The 7 Dwarfs, Cinderella sampai The Princess and The Frog dan disuguhkan dengan seni yang baik dan visualnya sangat memanjakan mata.Walaupun demikian Film

(5)

Melihat hal tersebut, feminisme tradisional mengkritik film dongeng klasik tersebut dikarenakan cerita-cerita tersebut masih mempertahankan cerminan nilai-nilai patriarkal. Maka dari itu, para penulis feminis menulis ulang cerita dongeng sehingga dapat memasukkan wacana yang bertentangan atau menantang ideologi patriarki yang semakin dipandang sebagai ketinggalan zaman di masyarakat saat ini.

Tahun 2012, Pixar Animation Studio bekerjasama dengan Walt Disney Pictures merilis kembali film yang bertemakan putri. Salah satunya adalah “Snow White and the Huntsman”, sebuah film yang diadaptasi dari dongeng klasik

”Snow White”, terdapat perubahan karakter tokoh utama Snow White dari cerita klasik sebelumnya. Perubahan karakter ini diperlihatkan tokoh Snow White yang memiliki inisatif memimpin rakyatnya dalam berperang melawan kejahatan yang dilakukan oleh ibu tirinya. Snow White berperang dengan mengenakan baju besi dan pedang serta menunjukkan bahwa tidak hanya laki-laki yang memiliki kekuatan, namun perempuan juga memiliki kekuatan. Tidak hanya snow white and the Huntsman, Walt Disney juga memunculkan sosok Merida dalam film

Brave sebagai bentuk baru seorang putri. Tidak seperti kebanyakan putri Disney yang anggun dan feminin, Merida adalah sosok yang heroik, lincah, bahkan pemberontak.

Pada tahun 2014, kembali Walt Disney memproduksi film dongeng yaitu

Maleficent. Maleficent merupakan karakter peri dari kisah klasik putri tidur

(sleeping beauty) yang sudah melekat pada sebagian anak-anak di seluruh dunia. Putri tidur menceritakan tentang seorang putri yang kemudian dikutuk oleh penyihir jahat akan tertidur selamanya jika jari telunjuknya tertusuk jarum saat menginjak usia 16 tahun. Kutukan itu akan hilang dikarenakan ciuman cinta sejati dari seorang pangeran. Penyihir jahat ini lah yang bernama Maleficent yang menjadi pemeran utama dalam film yang sama namanya dengan peri tersebut.

(6)

menjadi pemeran utama. Film ini menceritakan peri Maleficent yang baik hati berubah menjadi jahat dan pendendam karena pria yang bernama Stefan mengkhianati dan memotong sayapnya serta mencurinya hanya demi kekuasaan dan ambisiusnya menjadi seorang raja. Walaupun begitu Maleficent tidak terpuruk dalam rasa sakit, ia bangkit dan membalaskan dendamnya dengan memberi kutukan kepada putri Aurora.

Terjadinya kutukan merupakan klimaks dari film ini dan ciuman sejati merupakan obat penawar dari kutukan yang diberikan oleh peri Maleficent. Biasanya Walt Disney selalu menampilkan pangeran tampan yang selalu dibutuhkan oleh putrid sebagai pahlawan yang datang menyelamatkan hidupnya tetapi kali ini pangeran dan ciumannya tidak mempunyai peranan penting dalam film ini. Artinya bahwa dalam film Maleficent,Walt Disney menunjukkan dan memproyeksikan bahwa seorang putri tidak selalu tergantung dengan ciuman, cinta dan kekayaan yang selalu ditawarkan oleh seorang pangeran untuk membahagiakan hidup seorang putri. Kutukan dan dendam yang menjadi inti dari film ini diselesaikan sendiri oleh Maleficent.

Oleh karena itu berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimana representasi feminisme film dalam Maleficent.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian konteks masalah di atas, maka dapat dirumuskan

bahwa fokus masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimanakah Representasi Feminisme dalam Film Maleficent?”.

1.3 Batasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas, maka peneliti memberi batasan masalah yang lebih jelas dan spesifik dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

(7)

baik itu gambar maupun percakapan antara pelaku peran yang menunjukkan dan mencerminkan representasi feminisme dalam film tersebut.

2. Penelitian ini menggunakan analisis semiotika yang mengacu pada semiotika Roland Barthes untuk menganalisis representasi feminisme dalam film

Malaficent.

3. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2016-Mei 2016.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah representasi feminisme dalam film Maleficent.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini adalah

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian ilmu komunikasi, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan studi analisis semiotika film dalam kajian media massa.

2. Secara praktis, hasil analisis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca agar lebih kritis dalam memaknai pesan yang disampaikan media.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi fenotipe dan genotipe hibrida ikan kerapu “Tiktang” hasil persilangan antara ikan kerapu batik (Epinephelus microdon) betina

Hasil dari penelitian yang didapat adalah hubungan variabel komunikasi terhadap variabel kinerja rantai suplai melalui variabel kualitas kerjasama merupakan hubungan mediasi

39 tahun 1998, (Economic Development in Batam East ASEAN Growth Area), Jurnal Ekonomi, Faculty of Economics, University of

Kemajuan teknologi terutama di bidang kemajuan teknologi informasi pada satu dasawarsa terakhir ini telah berubah sangat cepat dimana computer pada dasawarsa yang lalu digunakan

Lokasi penelitian diambil pada beberapa tipe habitat di luar kawasan hutan hujan tropis dataran rendah Sulawesi utara. Jumlah plot sampling setiap tipe vegetasi

Hasil kajian mendapati tahap pengetahuan pelajar mengenai nama serta proses pemikiran lapan jenis peta pemikiran i-Think berada pada tahap yang rendah namun pengetahuan

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh masih adanya masyarakat yang mendaftar calon jemaah haji merasa kecewa atas pelayanan persyaratan pendaftaran yang berbelit-belit.