• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Feminisme dalam Film (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Feminisme Dalam Film Maleficent )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Feminisme dalam Film (Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Feminisme Dalam Film Maleficent )"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu merupakan suatu acuan bagi peneliti dalam menyusun tinjauan teori, hipotesis, dan kerangka pemikiran. Penelitian terdahulu terdiri dari skripsi dan jurnal yang berhubungan dengan topik atau masalah penelitian. Penelitian terdahulu bukan semata-mata untuk memaparkan sejumlah penelitian, melainkan untuk menunjukkan keterkaitan permasalahan penelitian yang diusulkan dengan hasil penelitian terdahulu.

Tabel 2.1. Tabel Penelitian Terdahulu

Literatur 1

Judul Rasisme Dalam Film Fitna (Analisis Semiotika Rasisme di Dalam Film Fitna) Tahun 2011

Peneliti Shinta Anggraini Budi Widianingrum

Sumber

Hasil Hasil penelitian dari literature ini memberikan hasil bahwa dari Potongan

scene yang terdapat dalam film Fitna beberapa diantaranya menunjukkan sikap, perilaku, maupun tindakan rasisme. Tampak jelas terlihat bahwa film ini mempresentasikan sikap rasisme.

Literatur 2

Judul Representasi Feminisme dalam Film Snow White and The Huntsmen‖ Tahun 2013

Peneliti Yolanda Hana Chornelia

Sumber Jurnal E-Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Petra, Surabaya

Hasil Film ini mengandung feminisme dalam pengambilan keputusan, feminisme dalam kekuatan, feminisme dalam kepemimpinan dan androgini

Literatur 3

(2)

Tahun 2011

Peneliti Rika Komala Sari Harahap

Sumber

Hasil Film ini mengandung feminisme dalam hubungan dunia kerja, feminisme dalam hubungan dengan pasangan dan keluarga, feminisme dalam hubungan dunia sosial.

Literatur 4

Judul Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

Tahun 2013

Peneliti Fradina Dwi Safitri

Sumber

Hasil Penelitian ini menemukan bahwa iklan WRP versi “Diet To Go” merupakan iklan yang banyak mengangkat representasi citra perempuan di dalamnya. Beberapa citra yang dimaksud adalah citra sosial, citra keibuan, citra pergaulan dan sebagainya. Selain itu ditemukan bahwa kecantikan dan keelokan tubuh merupakan hal yang sangat penting yang wajib dijaga oleh perempuan.

Literatur 5

Judul REPRESENTASI STEREOTIPE PEREMPUAN DALAM FILM BRAVE Tahun 2013

Peneliti Fanny Puspitasari Go

Sumber Jurnal E-Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Petra, Surabaya

Hasil Penelitian ini menunjukkan bagaimana Pixar ikut mengkomodifikasi stereotipe perempuan melalui narasi film Brave dengan mengikuti standardisasi terhadap film-film putri Disney.

Literatur 6

(3)

JANDAMU” (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme melalui Tokoh Persik)

Tahun 2010

Peneliti Arga Fajar Rianto

Sumber

Hasil Penelitian ini menunjukkan Konstruksi feminisme dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini adalah masih tergolong feminisme setengah jalan, karena pandangan feminismenya masih terangkai dalam bingkai pemikiran dan perspektif patriarkhi.

Literatur 7

Judul Representasi Kemiskinan Pada Tayangan Reality Show (Analisis Semiotika Pada Program Acara Orang Pinggiran Trans 7)

Tahun 2016

Peneliti Endowidya Marselina

Sumber

Hasil penelitian ini menunjukkan gambaran tentang kemiskinan menurut realitas media dalam tayangan reality show didefenisikan sebagai orang yang tinggal di luar perkotaan dan kekurangan secara materi semata. Ketiadaan harta benda, kekurangan bahan makanan, keadaan rumah yang tidak layak untuk ditempati, serta rela melakukan apa saja demi mendapatkan uang menjadi hal yang paling sering disoroti oleh media

2.2 Paradigma

(4)

Paradigma konstruktivisme ialah paradigma yang menyatakan bahwa kebenaran suatu realitas sosial merupakan hasil konstruksi sosial yang bersifat relatif. Paradigma konstruktivisme ini berada dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis dan hermeneutik. Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang, seperti yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretative, Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial bisa disebut berada di antara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto 2004:13).

Menurut Denzin dan Guba dalam (Wibowo, 2013: 52) paradigma adalah basis kepercayaan atau metaphysics utama dari sistem berpikir: basis dari ontologi, epistemologi, dan metodologi. Paradigma dalam pandangan filosofis, memuat pandangan awal yang membedakan, memperjelas, dan mempertajam orientasi berpikir seseorang. Dengan demikian paradigma membawa konsekuensi dan kebijakan terhadap pemilihan masalah.

Paradigma diartikan sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Paradigma sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya (Vardiansyah, 2008: 27). Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah konstruksi (bentukan). Teori ini beranggapan bahwa unsur objek dan subjek sama-sama berperan dan saling berinteraksi dalam mengonstruksi ilmu pengetahuan. Pengetahuan tersebut dibangun dari proses kognitif dan interaksinya dengan dunia objek material. Menurut Driver dan Bell, ilmu pengetahuan bukanlah hanya kumpulan hukum atau daftar fakta. Ilmu pengetahuan adalah ciptaan pikiran manusia dengan semua gagasan dan konsepnya yang ditemukan secara bebas (Ardianto dan Q-Aness, 2007: 153).

(5)

a) Ilmu merupakan upaya mengungkap realitas yang terstruktur,

b) Hubungan subjek peneliti dengan objek penelitian harus terpisahkan secara tegas guna mengejar objektivitas,

c) Hasil temuan harus merupakan generalisasi yang universal, berlaku kapan pun dan di mana pun.

Menurut Von Glasersferld dan Kitchener tahun 1987 dalam (Ardianto dan QAnees, 2007:155) secara ringkas gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Dalam pandangan konstruksionis, tidak ada realitas dalam arti riil, sebelum peneliti mendekatinya. Sesungguhnya yang ada konstruksi atau suatu realitas. Realitas sosial bergantung pada bagaimana seseorang memahami dunia, dan bagaimana menafsirkannya. Penafsiran dan pemahaman itulah yang disebut realitas. Karena itu, peristiwa dan realitas yang sama bisa jadi menghasilkan konstruksi realitas yang berbeda dari orang yang berbeda (Eriyanto, 2004: 45).

2.3 Kerangka Teori

2.3.1 Komunikasi Massa

Pada dasarnya, komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Dari awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi). Media massa yang ditekankan dalam hal ini bukannya media tradisional seperti kentongan, angklung maupun gamelan. Media massa ini merujuk pada produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa.

(6)

Kelebihan media massa dibandingkan dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas.

Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Kata massa sampai dengan saat ini mengandung makna ambivalensi yaitu makna positif dan negatif. Dilihat dari segi makna positifnya, mengandung makna konotasi solidaritas dan kekuatan sedangkan dari sisi negatif, massa bermakna kerumunan atau banyak orang khususnya sejumlah orang yang tidak teratur (McQuail, 1994:1).

Dalam artian umum dan dalam pengertian komunikasi massa, pengertian massa dalam komunikasi massa menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media massa. Dengan kata lain massa yang dalam sikap dan perilakunya berkaitan dengan peran media massa. Massa ditunjukkan kepada khalayak,

audience, penonton, pemirsa maupun pembaca. Disamping itu dalam kamus bahasa Inggris, ringkas memberikan defenisi “massa” sebagai suatu kumpulan orang banyak yang tidak mengenal keberadaan individualitas dan defenisi ini hampir menyerupai pengertian “massa” yang digunakan ahli sosiologi, khususnya bila dipakai kaitannya dengan khalayak media.

Komunikasi massa adalah komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi), berbiaya yang relatif mahal yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang tersebar di banyak tempat, anonim dan heterogen (Mulyana,2005:83). Komunikasi massa terjadi ketika sejumlah orang mengirimkan pesan kepada audiens yang besar yang bersifat

anonymous dan heterogen melalui penggunaan media komunikasi khusus. Studi komunikasi massa mempelajari pemanfaatan media oleh audiens, dan menjelaskan efek media terhadap human interaction dalam konteks komunikasi, dan unit analisis komunikasi massa antara lain pesan, media, dan audiens (Liliweri, 2011: 219).

(7)

yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, agaknya ini tidak berarti pula bahwa khalayak itu besar dan pada umumnya agak sukar untuk didefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalukrkan oleh pemancar-pemancar yang audio dan atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis didefenisikan menurut bentuknya (televisi, radio, surat kabar, majalah, film buku dan pita) (Nurudin, 2014:12).

Sementara itu menurut Jay Black dan frederick C Whitney disebutkan bahwa komunikasi massa adalah sebuah proses dimana pesan-pesan yang diproduksi secara massal/tidak sedikit itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim dan heterogen (Nurudin, 2014:12).

Defenisi yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner (Ardianto & Erdinaya, 2004:5) yakni komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Maksud dari defenisi tersebut adalah komunikasi massa tersebut harus menggunakan media massa dalam penyampaian pesan. Jadi dalam penyampaian pesan misalnya kepada khalayak ramai dalam suatu acara di lapangan jika tidak menggunakan media massa, maka hal tersebut bukanlah termasuk komunikasi massa.

Industri media massa memiliki kemampuan dalam menyediakan informasi dan hiburan. Akan tetapi, media massa juga dapat mempengaruhi institusi politik, sosial, dan budaya. Media massa secara aktif memengaruhi masyarakat serta mencerminkannya. Media massa sudah begitu memenuhi kebutuhan kita sehari-hari sehingga kita sering tidak sadar lagi dengan kehadirannya, apalagi dengan pengaruhnya. Media massa sering kali menganggap masyarakat sebagai komoditas semata. Akan tetapi, media massa menolong dalam mendefenisikan diri kita; membentuk realitas kita (Baran, 2012: 5).

(8)

sedang dibagikan dan budaya sedang dikonstruksi dan dipelihara (Baran, 2012: 11).

Sepanjang kehidupan komunikasi, kita sudah mempelajari hal-hal yang diharapkan oleh budaya dari kita. Akan tetapi, dampak budaya yang membatasi dapat berakibat negatif, seperti ketika kita tidak mau atau tidak dapat mengubah cara berpikir, bertindak, berperasaan, yang terpola dan berulang, atau kita mempercayakan “pembelajaran” kita kepada guru yang memiliki kepentingan yang berpusat pada dirisendiri, sempit, atau mungkin justru tidak sesuai dengan pemikiran kita (Baran, 2012:12).

2.3.1.1 Ciri-ciri Komunikasi Massa

Banyak sekali pendapat para ahli tentang pengertian komunikasi massa. Pada akhirnya, pendapat tersebut dapat melengkapi pengertian komunikasi yang dicetuskan oleh mereka satu sama lain. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa para ahli membatasi pengertian dari komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan penyampaian pesan kepada khalayak ramai dengan menggunakan media seperti media elektronik dan media cetak.

Komunikasi massa mempunyai proses yang melibatkan beberapa komponen. Dua komponen yang saling berinteraksi (sumber dan penerimaan) terlibat satu sama lain, dimana pesan akan diberi kode oleh sumber disalurkan melalui saluran dan diberi kode oleh penerima; tanggapan yang diamati: umpan balik yang memungkinkan interaksi berlanjut antara sumber dan penerima. Akan tetapi terdapat ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dengan komunikasi lainnya. Ciri-ciri komunikasi massa adalah (Nurudin, 2003: 16-20 ): 1. Komunikator dalam Komunikasi Massa Melembaga

(9)

media massa. Media massa hanya bisa muncul karena gabungan kerjasama antar beberapa orang.

Dengan demikian, komunikator dalam komunikasi massa memiliki ciri sebagai berikut (Nurudin, 2003:19) :

1) Kumpulan individu-individu.

2) Dalam berkomunikasi individu terbatasinya perannya dengan sistem dalam media massa.

3) Pesan yang disebarkan atas nama media yang bersangkutan bukan atas nama pribadi unsur-unsur yang terlibat.

4) Apa yang dikemukakan oleh komunikator biasanya untuk mencapai keuntungan atau mendapatkan laba secara ekonomis.

2. Komunikan dalam Komunikasi Massa Bersifat Heterogen

Komunikan dalam komunikasi massa bersifat heterogen dikarenakan komunikan tersebut beragam dan terdiri dari beberapa lapisan masyarakat yang berbeda terlihat dari pendidikan, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, punya jabatan yang beragam, punya agama atau kepercayaan yang tidak sama pula.

Herbert Blumer pernah memberikan ciri tentang karakteristik audience/komunikan sebagai berikut (Nurudin,2003:20) ;

1) Audience dalam komunikasi massa sangatlah heterogen artinya ia mempunyai heterogenitas komposisi atau sususan. Jika ditinjau dari asalnya, mereka berasal dari berbagai kelompok dalam masyarakat.

2) Berisi individu-individu yang tidak tahu atau mengenal satu sama lain. Disamping itu, antar individu itu tidak berinteraksi satu sama lain secara berlangsung.

3) Mereka tidak mempunyai kepemimpinan atau organisasi formal. 3. Pesannya Bersifat Umum

(10)

bersifat khusus, dimana khusus maksudnya pesan tidak disengaja untuk golongan tertentu.

Pesan komunikasi massa dapat berupa fakta, peristiwa atau opini. Namun tidak semua fakta dan peristiwa yang terjadi disekitar kita dapat dimuat dalam media massa. Pesan komunikasi massa yang dikemas dalam bentuk apa pun harus memenuhi kriteria penting sekaligus menarik bagi sebagian besar komunikan. Dengan demikian, kriteria pesan yang penting dan menarik itu mempunyai ukuran tersendiri yakni bagi sebagian besar komunikan.

4. Komunikasinya Berlangsung satu arah.

Komunikasi massa itu adalah komunikasi dengan menggunakan media massa sehingga karena menggunakan media massa maka komunikator dan komunikannya tidak dapat melakukan kontak secara langsung. Komunikator selalu aktif menyampaikan informasi ataupun pesan sedangkan komunikannya pun aktif dalam menerima pesan, tetapi diantara keduanya tidak dapat melakukan kontak secara langsung seperti halnya komunikasi antar personal.

5. Komunikasi Massa Menimbulkan Keserempakan.

Kelebihan komunikasi massa dibandingkan dengan komunikasi lainnya adalah jumlah sasaran khalayak atau komunikan yang dicapainya relatif banyak dan tidak terbatas. Dengan massa yang relatif banyak maka komunikasi dalam proses penyebaran pesan-pesannya dilakukan secara serempak. Serempak disini memiliki arti khalayak bisa menikmati media massa dan memperoleh pesan tersebut hampir bersamaan. Pastinya bersamaan yang dimaksud bersifat relatif. Ini hanyalah masalah teknik semata,

(11)

dan jangkuan media terhadap wilayah saja yang berbeda memungkinkan perbedaan dalam penerimaan media.

2.3.1.2 Fungsi Komunikasi Massa

Ada banyak pendapat yang dikemukakan untuk mengupas apa fungsi-fungsi komunikasi massa. Sama dengan defenisi komunikasi massa, fungsi-fungsi komunikasi massa juga mempunyai latar belakang dan tujuan yang berbeda satu sama lain. Meskipun satu pendapat dengan pendapat lain berbeda, tetapi inti dari yang ingin disampaikan mereka bisa jadi sama.

Dalam membicarakan fungsi-fungsi komunikasi massa, ada satu hal yang perlu disepakati terlebih dahulu. Hal tersebut adalah komunikasi massa itu sendiri berarti komunikasi lewat media massa. Ini berarti, komunikasi massa tidak akan ditemukan maknanya tanpa menyertakan media massa sebagai elemen terpenting dalam komunikasi massa. Sebab, tak ada komunikasi massa tanpa media massa. Alasan inilah yang mendasari mengapa ketika kita memperbincangkan fungsi komunikasi massa sekaligus membicarakan fungsi media massa pula.

Dalam (Wiryanto, 2000:10), Wilbur Schramm menyatakan komunikasi massa berfungsi sebagai decoder, interpreter, dan encoder. Komunikasi massa mendecode lingkungan sekitar untuk kita, mengawasi kemungkinan timbulnya bahaya, mengawasi terjadinya persetujuan dan juga efek-efek dari hiburan. Komunikasi massa menginterpretasikan hal-hal yang di-decode sehingga dapat mengambil kebijakan efek, menjaga berlangsungnya interaksi serta membantu anggota-anggota masyarakat menikmati hidup. Komunikasi massa juga

meng-encode pesan-pesan yang memelihara hubungan kita dengan masyarakat lain serta menyampaikan kebudayaan baru kepada anggota-anggota masyarakat. Peluang ini dimungkinkan karena komunikasi massa mempunyai kemampuan memperluas pandangan, pendengaran dalam jarak yang hampir tidak terbatas dan dapat melipatgandakan suara dan kata-kata secara luas.

Tidak hanya Schramm, Harold D laswell juga menyebutkan fungsi-fungsi komunikasi dan pada dasarnya pendapat mereka tidak lah berbeda, fungsi komunikasi tersebut adalah sebagai berikut :

(12)

Fungsinya sebagai pengamatan lingkungan, yang oleh Schramm disebut sebagai dengan decoder yang menjalankan fungsi The Watcher.

b. Correlation of the parts of society in responding to the environment

Fungsinya menghubungkan bagian-bagian dari masyarakat agar sesuai dengan lingkungan. Schramm menamakan fungsi ini sebagai interpreter yang melakukan fungsi The Forum.

c. Transmission of the social heritage from one generation to the next

Fungsinya penerusan atau pewarisan sosial dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Schramm menamakan fungsi ini sebagai encoder yang menjalankan fungsi TheTeacher.

Tidak hanya Laswell saja, sebagai ahli komunikasi yang memberikan pendapatnya tentang fungsi komunikasi, seorang ahli sosiologi, Charles R. Wright memberikan 4 fungsi komunikasi massa yaitu :

1. Surveillance

Menunjuk pada fungsi pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai kejadian-kejadian dalam lingkungan, baik di luar maupun di dalam masyarakat. Fungsi ini berhubungan dengan apa yang disebut Handling of News

2. Correlation

Meliputi fungsi interpretasi pesan yang menyangkut lingkungan dan tingkah laku tertentu dalam mereaksi kejadian-kejadian. Untuk sebagian, fungsi ini diidentifikasikan sebagai fungsi editorial atau propaganda.

3. Transmission

Menunjuk pada fungsi mengkomunikasikan informasi, nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya dari satu generasi ke generasi yang lain atau dari anggota-anggota suatu masyarakat kepada pendatang baru. Fungsi ini diidentifikasikan sebagai fungsi pendidikan.

4. Entertainment

Menunjuk pada kegiatan-kegiatan komunikatif yang dimaksudkan untuk memberikan hiburan tanpa mengharapkan efek-efek tertentu (Wiryanto, 2000:10-12).

(13)

Menurut Ardianto, Komala, dan Karlinah (dalam Komunikasi Massa Suatu Pengantar Edisi Revisi, 2009:103) media massa pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni media massa cetak dan media elektronik. Media cetak yang dapat memenuhi kriteria sebagai media massa adalah surat kabar dan majalah. Sedangkan media elektronik yang memenuhi kriteria media massa adalah radio siaran, televisi, film, media on-line (internet). Masing-masing media massa tersebut memiliki ciri khasnya sendiri, berikut penjelasan dari masing-masing bentuk media massa :

1. Surat Kabar

Surat kabar atau yang lebih dikenal dengan koran adalah media massa utama bagi orang untuk memperoleh berita. Di sebagian besar kota, tak ada sumber berita yang bisa menyamai keluasan dan kedalaman liputan berita koran. Hal ini memperkuat popularitas dan pengaruh koran. (Vivian, 2008:71)

John Vivian dalam Teori Komunikasi Massa (2008:71-72) mengatakan bahwa di sebagian besar komunitas, koran meliput berita secara lebih mendalam ketimbang media saingannya. Koran metropolitan seperti Washington Post

biasanya memuat 300 item dan lebih banyak pada hari Minggu – lebih banyak ketimbang acara televisi dan radio, serta lebih luas cakupannya. Koran mengandung isi yang amat beragam – berita, saran, komik, opini, teka-teki silang dan data. Semuanya ada untuk dibaca sekehendak hati.

2. Majalah

Menurut John Vivian (2008:109) majalah adalah medium yang pervasif. Majalah bukan hanya untuk kalangan atas. Banyak majalah yang diterbitkan untuk kalangan bawah, yang berarti bahwa peran medium majalah dalam masyarakat melintasi hampir seluruh lapisan masyarakat. Bahkan orang yang buta huruf dapat memperoleh kesenangan dan manfaat dari majalah yang umumnya banyak memuat gambar dan berwarna. Majalah mampu mengungguli media lain dengan inovasi yang signifikan dalam jurnalisme, advertising dan sirkulasi. Inovasi itu mencakup laporan investigasi, profil tokoh secara lengkap dan foto jurnalisme.

(14)

Ardianto, Komala dan Karlinah (Komunikasi Massa Suatu Pengantar, 2009:123) mengatakan radio adalah media massa elektronik tertua dan sangat luwes. Selama hampir satu abad lebih keberadaannya, radio siaran telah berhasil mengatasi persaingan keras dengan bioskop, rekaman kaset, televisi, televisi kabel, electronic games dan personal casset players. Radio telah beradaptasi dengan perubahan dunia, dengan mengembangkan hubungan saling menguntungkan dan melengkapi dengan media lainnya.

Keunggulan dari radio siaran adalah berada dimana saja: ditempat tidur (ketika orang akan tidur atau bangun tidur, di dapur, di dalam mobil, di kantor, di jalanan, di pantai dan berbagai tempat lainnya). Radio memiliki kemampuan menjual bagi pengiklan yang produknya dirancang khusus untuk khalayak tertentu.

4. Televisi

Dalam Komunikasi Massa Suatu Pengantar (2009:134) di katakan bahwa dari semua media komunikasi yang ada, televisilah yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia. 99% orang Amerika memiliki televisi di rumahnya. Tayangan televisi mereka dijejali hiburan, berita dan iklan. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sekitar tujuh jam dalam sehari.

Melalui buku John Vivian (2008:226) dikatakan bahwa pada tahun 1981 Ted Turner pernah memprediksi bahwa era koran akan berakhir dalam waktu 10 tahun, namun sampai muncul media televisi koran masih tetap ada. Turner terlalu melebih-lebihkan dampak televisi, tetapi dia benar ketika menyatakan bahwa televisi terus merebut pembaca dan pengiklan dari koran, dan juga dari media massa lainnya.

5. Internet

(15)

ke jaringan. Dengan beberapa kali mengklik tombol mouse kita akan masuk ke lautan informasi dan hiburan yang ada di seluruh dunia.

6. Film

Dalam Teori Komunikasi Massa (Vivian, 2008:159-160) dikatakan bahwa pengalaman menonton film di ruang gelap telah dinikmati orang sejak masa awal munculnya medium ini. Ini adalah pengalaman hebat, yang membuat film memiliki kekuatan spesial dalam membentuk nilai-nilai kultural.

Film bisa membuat orang tertahan, setidaknya saat mereka menontonnya, secara lebih intens ketimbang medium lainnya. Film adalah bagian kehidupan sehari-hari kita dalam banyak hal. Bahkan cara kita bicara sangat dipengaruhi oleh metafora film.

Dari beberapa bentuk media massa yang telah dijabarkan di atas, selanjutnya peneliti akan lebih memfokuskan pada bentuk media massa yaitu film sesuai dengan objek penelitian ini.

2.3.2 Film Sebagai Media Massa

Gambar bergerak atau sering juga disebut film adalah bentuk dominan dari komunikasi visual di belahan dunia ini. Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton film ke bioskop ini menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an (Ardianto, Komala, Karlinah, 2009:143).

(16)

gambar dan suara dimana kata yang diucapkan ditambah dengan suara-suara lain yang serentak mengiringi gambar-gambar dan musik film.

Film adalah bagian dari media komunikasi dalam bentuk elektronik dan merupakan sebuah teknologi baru. Film hampir menjadi media massa yang sesungguhnya dalam artian film mampu menjangkau populasi dalam jumlah besar dan cepat sehingga film memiliki kekuatan dan kemampuan yang sangat potensial dalam mempengaruhi khalayak. Sudah banyak ahli melakukan penilitian untuk melihat dampak film yang ditimbulkan terhadap masyarakat dan hasilnya menunjukkan bahwa film dan masyarakat dipahami secara linear. Artinya, film sangat berperan penting untuk mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message).

Film merupakan suatu media yang mempunyai peranan penting dalam menyampaikan pesan dan pengaruhnya sangat kuat terhadap masyarakat. Zaman modern ini, masyarakat sangat ketagihan akan alur cerita maupun visualisasi yang ditampilkan. Banyak khalayak datang ke bioskop hanya untuk sekedar menonton film yang menjadi favoritnya dan yang selama ini ditunggu-tunggu sehingga tujuan khalayak menonton film ingin memperoleh hiburan. Tidak hanya hiburan saja, film juga hadir untuk menyampaikan pesan-pesan yang bersifat informatif, edukatif bahkan persuasif.

Menurut McQuail (1987) dalam (Jurnal Representasi Feminisme dalam film sex and the city 2), film sebagai bentuk media massa memilki ide dasar mengenai tujuan media dalam masyarakat

1. Informasi

a. Menyediakan informasi tentang peristiwa dan kondisi dalam masyarakat dan dunia

b. Menunjukkan hubungan kekuasaan.

c. Memudahkan inovasi, adaptasi dan kemajuan. 2. Korelasi

a. Menjelaskan, menafsirkan, mengomentari makna peristiwa dan informasi. b. Menunjang otoritas dan norma-norma yang mapan.

c. Melakukan sosialisasi.

(17)

e. Membentuk kesepakatan.

f. Menentukan urutan prioritas dan memberikan status relatif. 3. Kesinambungan

a. Mengekspresikan budaya dominan dan mengakui keberadaan kebudayaan khusus (subcultural) serta perkembangan budaya baru.

b. Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai. 4. Hiburan

a. Menyediakan hiburan, pengalihan perhatian dan sarana relaksasi. b. Meredakan ketegangan sosial.

5. Mobilisasi

a. Mengkampanyekan tujuan masyarakat dalam bidang politik, perang, pembangunan ekonomi, pekerjaan dan kadang kala dalam bidang agama, seni dan budaya.

2.3.2.1 Jenis-jenis Film

Dalam (Vera, 2014:95), pada dasarnya film dibedakan menjadi dua jenis utama yaitu

1. Film Fiksi

Film Fiksi sering juga disebut sebagai film cerita. Film fiksi atau film cerita dibuat berdasarkan kisah fiktif. Film ini dibagi menjadi dua yaitu film cerita pendek dan film cerita panjang. Film cerita pendek berdurasi dibawah 60 menit dan film cerita panjang berdurasi 90-100 menit, ada juga film yang berdurasi sampai 120 menit. Film fiksi atau film cerita memiliki banyak genre yaitu film drama, film laga (action), film komedi, film horor, film animasi, film science fiction, film musikal, dan film kartun.

2. Film Non Fiksi

(18)

Selain itu, Erdiyanto dan Erdiyana menyatakan bahwa penting sekali mengetahui jenis-jenis film agar dapat memanfaatkan film tersebut sesuai dengan karakteristiknya. Sehingga dalam (Erdiyanto & Erdiyana, 2004:138) yang menjadi jenis-jenis film adalah sebagai berikut

1. Film Cerita

Jenis film ini adalah film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini menjadi film dagangan. Tema yang diangkat menjadi topik dalam jenis film ini bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi sehingga ada unsur menarik dari segi jalan cerita ataupun gambar yang dipertontonkan

2. Film Berita

Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Film yang disajikan kepada publik megandung nilai berita (news value) oleh karena itu sifatnya adalah berita. Film berita ini dapat langsung direkam dengan suaranya atau film beritanya bisu tetapi pembaca berita yang membacakan narasi.

3. Film Dokumenter

Film ini berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman kenyataan. Film dokumenter merupakan hasil interpretasi pembuat film mengenai kenyataan tersebut. Film jenis ini biasanya menyajikan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa, tokoh-tokoh atau biografi dan lokasi-lokasi yang nyata. Cara pengemasan jenis film ini sangat sederhana agar penonton mudah untuk memahami isi dari film tersebut

4. Film Kartun

(19)

pesan-pesan pendidikan yang menunjukkan tokoh jahat dan baik dan pada akhirnya tokoh baiklah yang menang.

2.3.2.2 Genre Film

Selain Jenisnya, Film dapat diklasifikasikan berdasarkan genre. Istilah

genre berasal dari bahasa Prancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”. Menurut Pratista (2008) dalam (Jurnal Representasi Feminisme dalam film sex and the city 2) di dalam film, genre diartikan sebagai jenis atau klasifikasi dari sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama (khas) seperti setting, isi, dan subjek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, ikon,

mood, serta karakter. Sedangkan fungsi utama dari genre adalah membantu kita memilah-milah atau mengklasifikasikan film-film yang ada sehingga lebih mudah untuk mengenalinya

Genre adalah klasifikasi tertentu pada sebuah film yang memiliki ciri tertentu, dalam film fiksi maupun film cerita antara lain, sebagai berikut : (Vera, 2014:95-96)

1. Film drama 2. Film laga (action) 3. Film komedi 4. Film animasi 5. Film science fiction

6. Film musical 7. Film kartun

2.3.2.3 Karakteristik Film

(20)

1. Layar yang lebar/luas

Media yang hampir sama dengan film adalah televisi, sehingga dalam hal layar film dan televisi sama-sama menggunakannya, tetapi hal yang membedakan diantara keduanya adalah media film menggunakan layar yang berukuran luas. Walaupun di era modern ini televisi juga dapat menggunakan layar yang luas tetapi itu hanya digunakan pada waktu khusus saja. Layar film memberikan keleluasaan bagi penontonnya untuk melihat adegan yang ditunjukkan dalam film 2. Pengambilan Gambar

Seperti sudah dijelaskan bahwa film mempunyai layar yang lebar dan luas, hal ini berdampak dalam pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop harus dari jarak jauh atau extreme long shot dan panoramic shot yaitu pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana sesungguhnya, sehingga film semakin terlihat menarik. Panoramic shot dilakukan untuk memberikan suguhan gambaran yang sangat baik dan cukup tentang daerah yang dijadikan lokasi film.

3. Konsentrasi Penuh

Bioskop merupakan tempat pertama kali dalam penayangan film-film yang baru diluncurkan. Dalam tempat ini, penonton akan terbebas dari keramaian dan hiruk pikuk karena ruangan yang kedap suara. Layar merupakan satu-satunya tujuan dari mata para penonton sehingga konsentrasi penonton yang sepenuhnya terhadap film membuat penonton akan terbawa suasana dalam alur cerita.

4. Identifikasi Psikologis

Pengaruh film terhadap keadaan psikologis penonton tidak hanya terjadi ketika penonton menikmati film tersebut dalam bioskop atau tidak hanya selama penonton duduk dan menonton film, tetapi pengaruh film ini akan terjadi dalam waktu yang cukup lama, misalnya perilaku imitasi seperti cara berpakaian maupun model rambut. Perilaku imitasi ini akan banyak dilakukan oleh anak-anak dan generasi muda, walaupun terkadang orang dewasa juga ada yang melakukan perilaku ini.

(21)

Pengambilan gambar adalah tahapan terpenting di dalam proses produksi. Film memiliki dua elemen, yaitu audio dan visual. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika kamera sebagai alat untuk menyajikan elemen visual kepada penonton memiliki peranan yang penting dalam penyampaian pesan. Juru kamera atau biasa disebut juga kameramen haruslah benar-benar paham, mengerti dan tahu mutu gambar yang baik dan mampu membuat gambar sesuai tuntutan alur cerita.

Seorang juru kamera harus memahami berbagai hal yang berkaitan dengan mutu gambar, diantaranya mampu membuat gambar dengan komposisi yang baik, paham berbagai teori tata cahaya, tata suara dan editing. Beberapa pengetahuan mutlak harus dikuasai juru kamera diantaranya ukuran shot, pergerakan gambar dan camera angel.

2.3.3.1 Camera Angel

Meletakkan lensa kamera pada sudut pandang pengambilan gambar yang tepat dan mempunyai motivasi tertentu untuk membentuk kedalaman gambar/dimensi dan menentukan titik pandang penonton dalam menyaksikan suatu adegan dan membangun kesan psikologis gambar, seperti :

1. High angel (HA), pengambilan gambar dengan meletakkan tinggi kamera diatas objek/garis mata. Kesan psikologis yang ingin disampaikan objek tampak seperti tertekan.

2. Eye Level (normal), pengambilan gambar dengan meletakkan tinggi kamera sejajar dengan garis mata objek yang dituju. Kesan psikologis yang disajikan adalah kewajaran, kesetaraan atau sederajat.

3. Low Angel (LA), pengambilan gambar dengan meletakkan tinggi kamera di bawah objek atau di bawah garis mata orang. Kesan psikologis yang ingin disajikan adalah objek tampak berwibawa.

2.3.3.2 Ukuran Gambar

(22)

shot, dan long shot. Walaupun demikian, dari ketiga ukuran gambar tersebut, masih terdapat rincian yang akan dijabarkan sebagai berikut :

1. Extreme Long Shot (ELS). Ukuran gambar ELS merupakan kekuatan yang ingin menetapkan suatu (peristiwa, pemandangan) yang sangat-sangat jauh, panjang, dan luas berdimensi lebar. ELS biasa digunakan untuk komposisi gambar indah pada sebuah panorama.

2. Very Long Shot. Gambar-gambar opening scene dan bridging scene dimana penonton divisualkan adegan kolosal, kota metropolitan, dan sebagainya. Posisi kamera diletakkan beragam seperti top angle dari helikopter, menggunakan crane atau jimmy jib.

3. Long Shot (LS). Keseluruhan gambaran dari pokok materi dilihat dari kepala ke kaki atau gambar manusia seutuhnya.

4. Medium Long Shot (MLS). Setelah gambar LS ditarik garis imajiner lalu

di-zooming sehingga lebih padat, maka masuk ke medium long shot. Angle

MLS sering dipakai untuk memperkaya keindahan gambar.

5. Medium Shot (MS). Gambar diambil dari pinggul pokok materi sampai pada kepala pokok materi. Ukuran MS biasa digunakan sebagai komposisi gambar terbaik untuk wawancara.

6. Middle Close Up (MCU). Dari dada pokok materi sampai puncak kepala. MS dapat dikategorikan sebagai komposisi “potret setengah badan” dengan keleluasaan background yang masih bisa dinikmati.

7. Close Up (CU). Meliputi wajah yang keseluruhan dari pokok materi. CU fokus kepada wajah, digunakan sebagai komposisi gambar yang paling baik untuk menggambarkan emosi atau reaksi seseorang.

8. Big Close Up (BCU). Lebih tajam dari CU, yang mampu mengungkapkan kedalaman pandangan mata, kebencian raut muka, dan emosional wajah. 9. Extreme Close Up (ECU). Kekuatan ECU pada kedekatan dan ketajaman

(23)

2.3.4 Konstruksi Realitas Sosial

Dalam pandangan paradigma defensi sosial, realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Awalnya konstruksi ini berasal dari filsafat konstruktivisme yang semuanya dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Dalam (Bungin 2008:11), realitas menurut paradigma konstruktivis adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu, walau demikian, kebenaran suatu realitas sosial mempunyai sifat nisbi yang berlaku secara spresifik dan haruslah relevan oleh pelaku sosial.

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann memperkenalkan istilah konstruksi sosial atas realitas ( social construction of reality ) melalui tulisan-tulisan mereka. Kedua ahli sosiologi ini menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2007:189).

Penjelasan yang dinyatakan oleh Berger dan Luckmann dalam (Bungin, 2007:191) atas realitas sosial dimulai dengan memisahkan pemahaman antara kenyataan dan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat didalam realitas-realitas, yang diakui memiliki keberadaan yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sedangkan pengetahuan didefenisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata dan memiliki karakter yang spresifik. Pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat.

Realitas sosial tersebut adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat dan pengetahuan adalah konstruksi dari individu yang mengetahui dan hal tersebut tidak dapat ditransfer kepada individu yang pasif. Karena konstruksi tersebut dilakukan oleh dirinya sendiri terhadap pengetahuan itu dan lingkungan hanyalah media bagi terjadinya konstruksi tersebut.

(24)

terlihat nyata secara objektif. Namun pada kenyataannya semua dibangun dalam defenisi sebjektif melalui proses interaksi.

Berdasarkan penjelasan di atas, hal-hal yang terdapat dalam institusi masyarakat sengaja dibangun oleh masyarakat itu sendiri melalui suatu interaksi. Semua interaksi itu dilakukan berdasarkan defenisi subjektif dari setiap anggota masyarakat yang selanjutnya ditegaskan secara berulang-ulang dan menjadi suatu nilai objektif bagi masyarakat.

Realitas sosial dibagi menjadi tiga macam realitas menurut Berger dan Luckmann ( Bungin, 2007;192 ) yaitu :

1. Realitas Objektif yaitu realitas yang dibentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu dan realitas ini dianggap kenyataan. 2. Realitas Simbolis yaitu ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai

bentuk.

3. Realitas Subjektif yaitu realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi.

Realitas sosial ini juga terbentuk dalam 3 tahap yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Proses ekternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Objektivasi yaitu interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusional. Internalisasi adalah individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Ketiga tahap ini menghasilkan suatu konstruksi kenyataan sosial yang merupakan hasil ciptaan manusia.

(25)

Pada akhirnya, realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik didalam maupun diluar realitas tersebur. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.

Menurut Sauusure, persepsi dan pandangan kita tentang sebuah realitas akan dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial. Menurut Paul Watson, pendiri Greenpeace, kebenaran yang dianut oleh media massa bukanlah sebuah kebenaran yang sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai sebuah kebenaran. (Sobur, 2004:87)

Pada dasarnya, Isi media merupakan hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Isi media pada hakikatnya adalah hasil dari konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasar. Bahasa tidak hanya saja sebagai alat merepresentasikan sebuah realitas namun juga bahasa dapat menentukan relif seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas. Oleh karena itu, media massa mempunyai sebuah peluang yang sangat besar dalam mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya.

Penggunaan bahasa tertentu sangat jelas berimplikasi terhadap kehadiran makna tertentu. Setiap pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas akan turut menentukan bentuk sebuah konstruksi realitas yang sekaligus akan menentukan makna yang akan muncul dari bahasa itu sendiri. Hamad mengatakan bahwa bahasa bukan hanya mampu mencerminkan realitas, tetapi dapat pula menciptakan sebuah realitas. Bahasa merupakan sebuah unsur utama dalam sebuah konstruksi realitas dan merupakan instrumen pokok dalam menceritakan sebuah realitas (Sobur, 2004:90).

2.3.4.1 Film Sebagai Konstruksi Realitas

(26)

merupakan sebuah teknologi baru yang lahir pada akhir abad kesembilan belas. Film menjadi fenomena yang sangat berkembang dengan pesatnya dan semakin tidak terprediksi. Film mempunyai peran sebagai sarana baru yang dipakai dalam penyebaran informasi, hiburan serta digunakan dalam penyajian cerita kepada masyarakat umum.

Terdapat kebiasaan yang lazim untuk mengenali tuntutan realitas atau potensi isi dan harapan tertinggi tentang sebuah kebenaran realitas sangat melekat pada berita dan informasi. Seperangkat isi dalam sebuah film umumnya dipandang sebagai fantasi atau abstraksi yang selalu dikaitkan dengan harapan audiensnya. Dalam sebuah film, dapat ditemukan kisah fiksi ilmiah, adikodrati (hal-hal gaib) serta dongeng maupun horor yang ditampilkan dengan beberapa bentuk abstrak seperti musik dan tarian. Standar penimbangan itu tidak hanya digunakan secara luas tetapi bahwa kesimpulan berulang dari kebanyakan studi beragam tentang isi, dalam posisi apapun disepanjang kontinum harapan realitas adalah bahwa isi daripada film menyimpang jauh dari realitas. Sebagian besar isi yang ditampilkan sebuah film bersifat fiktif dan khayalan. Dalam film, lokasi yang digambarkan dalam kisah fiksi terdapat bias ke beberapa negara dan tempat yang disenangi khususnya amerika serikat, eropa barat dan berbagai kota internasional yang terkemuka.

(27)

Kedudukan media film juga dapat sebagai lembaga pendidikan nonformal dalam mempengaruhi dan membentuk budaya kehidupan masyarakat sehari-hari melalui kisah yang ditampilkan. Film dianggap sebagai medium sempurna untuk merepresentasikan dan mengkonstruksi realitas kehidupan yang bebas dari konflik-konflik ideologis serta berperan serta dalam pelestarian budaya bangsa.

Kehidupan nyata tak bisa lagi dibedakan dari film. Bahkan suara dari film dianggap tidak lagi menyisakan tempat bagi audiens untuk berimaji dan dan berefleksi. Film telah benar membentuk realitas audiens dan mereka benar-benar percaya bahwa isi dalam film merupakan sebuah kenyataan yang berada di lingkungannya.

2.3.5 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai suatu dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai suatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Semiotika lahir untuk memisahkan secara tajam antara medium dan isinya. Bagi para ahli semiotika, isi merupakan perkara yang penting dan isi tergantung pada bacaan yang ada pada isi tersebut yang di dapat oleh khalayak.

Semiotika atau semiotik muncul pada akhir abad ke-19 oleh filsuf aliran pragmatik Amerika yaitu Chareles Sanders Peirce, merujuk pada doktrin formal tentang tanda-tanda. Yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda dimana semiotika memfokuskan pada cara-cara produsen menciptakan tanda-tanda dan cara-cara yang dimengerti khalayak mengenai tanda-tanda. Semiotika tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda melainkan dunia itu sendiri yang terkait dengan pikiran manusia karena jika tidak begitu manusia tidak akan menjalin hubungannya dengan realitas.

(28)

sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya; cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.” (Sobur, 2004: 96)

Semiotika adalah studi mengenai tanda atau cara-cara tanda digunakan dalam menafsirkan peristiwa-peristiwa. Menurut para ahli seperti Charles Sanders Pierce mendefinisikan bahwa semiotika sebagai studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya yakni cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lainnya, pengirimannya dan penerimaannya oleh yang mempergunakannya dan John Fiske juga mendefenisikan semiotika adalah studi tentang pertanda dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang bagaimana makna-makna dibangun dalam “teks” media atau studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang mengkomunikasikan makna (Vera.2014:2). Semiotika melihat pada cara pesan disusun, jenis-jenis tanda yang digunakan dan makna dari tanda-tanda yang dimaksudkan dan dipahami oleh produsen dan konsumen. Intinya adalah semiotika merupakan sebuah alat untuk menganalisis apa makna isi pesan media.

Umberto Eco salah satu ahli semiotika membedakan semiotika menjadi 2 jenis yaitu :

1. Semiotika komunikasi, semiotika ini menekankan teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tandam pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan

2. Semiotika signifikasi, semiotika ini tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis ini, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan daripada prosesnya.

Tidak hanya Umberto Eco saja yang membagi semiotika menjadi beberapa bagian. Ahli lain membagi semiotika berdasarkan lingkup pembahasannya, semiotika tersebut dibagi menjadi 3 macam yaitu sebagai berikut :

(29)

2. Semiotika deskriptif merupakan semiotika yang membahas semiotika tertentu, seperti sistem tanda atau bahasa tertentu secara deskriptif

3. Semiotika terapan merupakan semiotika yang membahas penerapan semiotika pada bidang atau konteks tertentu, misalnya kaitannya dengan sastra, komunikasi, periklanan dan sebagainya.

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial, memahami dunia sebagai suatu sistem hubungan yang memiliki unit dasar dengan tanda.Maka dari itu, semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Segala sesuatu yang memiliki sistem tanda yang dapat dianggap teks, contohnya di dalam film, majalah, televisi, iklan, koran, brosur, novel, bahkan di surat cinta sekalipun.

Preminger memberi batasan semiotika yang menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan tanda. Umberto Eco menyebut tanda tersebut sebagai “kebohongan”. Menurut Saussure, persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan lewat kata-kata dan tanda-tanda lain digunakan dalam konteks sosial. Hal itu berarti tanda membentuk persepsi manusia, lebih dari sekedar merefleksikan realitas yang ada (Zamroni, 2009: 92).

(30)

Pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni; (Sobur, 2004: 94)

1. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan.

3. Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi

Ahli lain, seperti Charles Morris juga menaruh perhatian atas ilmu tentang tanda-tanda. Menurut Morris, kajian semiotika pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan yaitu sintaktik, semantik, dan pragmatik (Wibowo, 2013: 5)

1. Sintaktik (syntactic) merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang mengkaji “hubungan formal diantara satu tanda dengan tanda-tanda yang lain”. Dengan begitu hubungan-hubungan formal ini merupakan kaidah-kaidah yang mengendalikan tuturan dan interpretasi, pengetian sintaktik kurang lebih adalah semacam ‘gramatika’.

2. Semantik (semantics) merupakan cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari “hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek-objek yang diacunya”. Designata adalah tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.

3. Pragmatik (pragmatics) merupakan suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari pemakaian tanda-tanda. Pragmatik secara khusus berurusan dengan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

(31)

tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan. (Sobur, 2004: 31),

Saussure yang merupakan ahli semiotika yang lebih memperhatikan bagaimana tanda-tanda berkaitan dengan tanda-tanda yang lain dan bukan berkaitan dengan dengan objeknya. Saussure lebih memfokuskan perhatiannya langsung pada tanda itu sendiri. Menurut Saussure sendiri tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna. Seperti yang telah dikatakan bahwa tanda terdiri atas penanda dan petanda. Dimana penanda tersebut merupakan citra tanda dan petanda adalah konsep mental yang merupakan acuan dari pertanda.

Penanda merupakan bentuk medium yang diberikan oleh suatu tanda sedangkan petanda merupakan suatu konsep dan makna-makna. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbiter (Vera, 2014:20). Kedua komponen ini merupakan suatu kesatuan seperti dua sisi logam.

Untuk menjelaskan tanda tersebut, Saussure mencoba menjelaskan dalam sebuah model yang telah diciptakannya sebagai berikut :

Gambar 2.1 Gambar Unsur Makna Saussure

Tanda

Tersusun atas Realitas Eksternal dan makna

Penanda Plus Pertanda (Eksitensi Fisik (Konsep Mental) dari Tanda )

Sumber :Vera,Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi(Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,2014), hal 20

(32)

mengungkapkan sesuatu, tanda hanya mempunyai fungsi untuk menunjukkan, hanya individu lah yang memaknai tanda tersebut berdasarkan pengalaman yang dialami.

Pendekatan kedua adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf bernama Charles Sanders Peirce (1839- 1914). Peirce menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda (Sobur, 2004: 34).

Saussure menawarkan model dyadic, dalam hal ini juga Charles Sander Pierce juga menawarkan suatu model triadic yang disebut sebagai triangle meaning semiotics sering dikenal juga dengan teori segitiga makna. Menurut Charles Sanders Peirce, tanda dibentuk dalam tiga sisi yaitu representament atau tanda itu sendiri, objek yang dirujuk oleh tanda dan akanmembuahkan

interpretant. Interpretant merupakan tanda seperti yang diserap oleh benak kita. Mengenai makna sendiri menurut Peirce akan timbul ketika ketiga hubungan elemen tiga sisi tadi bekerja. Interpretant yang terbentuk oleh segitiga makna yang dibuat oleh Peirce ini dapat menimbulkan untaian rantai makna karena sifat makna yang berubah-ubah. Maka itu Peirce mengajukan sebuah gejala tanda yang disebut sebagai dinamisme internal dimana interpretant dari setiap tanda bisa menjadi tanda baru lagi (Wibowo, 2013: 147).

Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis media dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda itu tidak pernah membawa makna tunggal. Kenyataannya teks media memiliki ideologi atau kepentingan tertentu, memiliki ideologi dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks media membawa kepentingan-kepentingan tertentu dan juga kesalahan-kesalahan tertentu yang lebih luas dan kompleks (Wibowo, 2013: 11).

2.3.6 Semiotika Roland Barthes

(33)

sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks (Wibowo, 2013: 21). Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussuren. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004: 63).

Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos.

Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things).

Memakai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicae). Menurut Barthes semiologi mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai, dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusikan sistem terstruktur dari tanda (Vera, 2014:26).

Teori semiotika Barthes secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure. Barthes menggunakan teori significant-signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. Istilah significant

menjadi ekspresi (E) dan signifie (C). Barthes menyatakan antara E dan C harus ada relasi (R) tertentu sehingga membentuk tanda (sign,sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda.

(34)

menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada tingkat konotatif.

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified

(petanda). Ini disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua (Wibowo, 2013: 17).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap dalam peta berikut ini:

Gambar 2.2 Gambar Peta Tanda Roland Barthes

\

Sumber :Vera,Nawiroh, Semiotika dalam Riset Komunikasi(Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia,2014), hal 27

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan pertanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Denotasi dalam pandangan Barthes merupakan tataran pertama yang maknanya bersifat tertutup. Tataran denotasi menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti.Denotasi merupakan mana yang

1.

Denotatif sign (tanda denotatif)

3. Conotative Signified

( Pertanda Konotatif) 2. Connotattive Signifier

( penanda konotatif) 4. Connotative Signifier

(35)

sebenar-benarnya, yang disepakati bersama secara sosial, yang rujukannya pada realitas.

Dalam konsep ini tanda konotatif tidak hanya sekedar mempunyai makna tambahan tetapi juga mengandung kedua bagian dimana denotasi akan melandasi keberadaannya dan makna konotasi inilah yang menyempurnakan konsep saussuren yang hanya memiliki konsep pada makna denotasi. Konotasi merupakan makna yang subjektif dan bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2013: 22).

Dalam hal ini, denotasi adalah makna yang relatif stabil namun bukan berarti denotasi akan tetap dari waktu ke waktu. Seperti semua makna, denotasi akan dihasilkan dalam sebuah differensial nilai diantara tanda dan kode, bukan hanya pada korespondensi sederhana antara penanda dan pertanda. Denotasi juga dapat berubah seiring waktu seperti dapat dilihat di zaman lalu tanda perempuan dilihat dari makna denotatif mempunyai pengertian kelemahan, irasionalitas dan kecurangan. Semua makna ini bersifat denotatif daripada konotatif, sebab makna tersebut haruslah mencakup makna yang berlaku umum dan dominan dan telah didukung oleh kode religius, moral, medis dan bahkan ilmiah.

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum denotasi dimengerti sebagai makna yang harafiah. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian sensor atau represi politis. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai mitos, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku di dalam suatu periode tertentu. (Sobur, 2004: 70).

(36)

artinya terbuka kemungkinan terhadap penafsiran-penafsiran baru. Dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama sedangkan konotasi merupakan signifikasi tingkat kedua. Denotasi dapat dikatakan merupakan makna objektif yang tetap sedangkan konotasi merupakan makna subjektif dan bervariasi.

Sebagai suatu sistem, konotasi terdiri atas penanda, petanda dan proses yang menyatukan penanda dan petanda disebut penandaan; tiga unsur itulah yang pertama-tama harus ditemukan dalam setiap sistem. Penanda-penanda konotasi diistilahkan sebagai konotator dibentuk oleh tanda-tanda (kesatuan antara penanda dan petanda) dari sistem denotasi. Konotasi bersifat plural, akan tetapi tidak berati bahwa konotasi hanya dilihat dari subjektif individual saja, konotasi muncul melalui kode yang telah dimiliki bersama dan bersifat sosial. Konotasi bukanlah semata-mata diciptakan secara personal dari suatu tanda. Dia adalah sesuatu yang diciptakan oleh kode dari suatu tanda. Konotasi sangatlah terstruktur, sekalipun dengan cara yang sangat aktif dan fleksibel, serta merupakan sesuatu yang memungkinkan kita untuk melihat secara cukup jelas beberapa sarana yang melaluinya sosial dan tanda saling berkaitan

Sejumlah tanda denotasi bisa berkelompok untuk membentuk satu konotator. Dengan kata lain, satuan-satuan dalam sistem konotasi itu tidak mesti sama luasnya dengan satuan sistem denotasi. Satu satuan dalam sistem konotasi dapat terbentuk dari sejumlah satuan dalam wacana denotatif. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya terkadang tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai makna konotatif

(37)

pemaknaan tataran kedua. Mitos juga didalamnya terdapat petanda yang memiliki beberapa penanda (Sobur, 2004:71).

Dalam pandangan Barthes sendiri, konsep mitos berbeda dengan arti umum. Dia menyatakan pendapatnya bahwa mitos adalah bahasa sehingga mitos adalah sebuah sistem komunikasi dan sebuah pesan. Ia mengatakan bahwa mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang sudah terbentuk dalam masyarakat adalah sebuah mitos. Mitos menurut barthes bukanlah sebuah mitos yang berkembang dalam masyarakat seperti tahayul atau hal-hal yang tidak masuk akal melainkan sebagai type of speech (gaya bicara) seseorang.

Konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ‟mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran kedua. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya.

2.3.7 Representasi

Representasi berasal dari bahasa Inggris, representation, yang berarti perwakilan, gambaran atau penggambaran. Secara sederhana, representasi dapat diartikan sebagai gambaran mengenai suatu hal yang terdapat dalam kehidupan yang digambarkan melalui suatu media. Representasi merupakan kegunaan dari tanda.

Representasi menurut Chris Barker adalah konstruksi sosial mengharuskan kita mengeksplorasi pembentukan makna tekstual dan menghendaki penyelidikan tentang cara dihasilkannya makna pada Beragam konteks. Yasraf Amir juga menjelaskan representasi pada dasarnya adalah sesuatu yang hadir, namun menunjukkan sesuatu di luar dirinyalah yang dia coba hadirkan (Vera,2014:97).

(38)

proses konstruksi bentuk X, dimana untuk menimbulkan perhatian kepada sesuatu yang ada secara material atau konseptual yaitu Y atau dalam bentuk spesifik X=Y. Oleh karena itu, proses dimana menempatkan X dan Y secara bersama dan menentukan makna X=Y bukanlah sesuatu yang mudah. Tidak mudah membuat sebuah representasi apalagi dalam konteks sejarah maupun sosial dan hal itu merupakan sebuah faktor yang kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan yang sebenarnya merupakan tujuan utama dalam semiotika untuk mempelajari fakto-faktor tersebut.

Representasi menurut Charles Sanders Pierce, X disebut sebagai Representemen ( yang secara literatur merupakan “yang merepresentasikan”) dan Y dijadikan sebuah objek representasi menurut pierce dan makna-makna yang dimunculkan ataupun dibentuk oleh representasi (X=Y) sebagai interpretan dan keseluruhan proses yang menetukan makna representemen, disebut sebagai Interpretasi. Dalam segitiga makna Pierce, ia memberikan kedudukan representasi sebagai sebuah bentuk hubungan antara komponen-komponen makna. Sehingga representasi menurut nya mengacu pada bagaimana sesuatu hal itu ditandakan dan membentuk suatu interpretasi.

Danesi mencoba memberikan contoh dalam (Danesi,2010:20) hal-hal yang dapat menimbulkan sebuah representasi yaitu seks. Representasi seks dapat ditunjukkan melalui dua sejoli yang sedang berciuman atau film erotis yang menggambarkan aspek seks yang lebih fisik.

(39)

Isi media tidak hanya tentang pemberitaan saja tetapi juga film dan hal-hal diluar dari pemberitaan. Intinya bahwa film juga merepresentasikan orang, kelompok atau gagasan tertentu sama halnya dengan berita. Isi media tidak hanya tentang pemberitaan saja tetapi juga film dan hal-hal diluar dari pemberitaan. Intinya bahwa film juga merepresentasikan orang, kelompok atau gagasan tertentu sama halnya dengan berita. John Fiske juga merumskan tiga proses dalam representasi, yaitu :

Tabel 2.2 Tabel Proses Representasi Fiske

LEVEL PERTAMA REALITAS

(Dalam bahas tulis seperti dokumen, wawancara, transkrip, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak-gerik, ucapan, ekspresi, suara)

LEVEL KEDUA REPRESENTASI

(Elemen-elemen tadi ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, proposisi, kalimat, foto, caption, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti kamera, tata cahaya, editing, musik dan sebagainya). Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukkan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya.

LEVEL KETIGA IDEOLOGI

Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kodekode ideologi, seperti individualism, liberalisme, sosialisme, patriarki, ras, kelas, materialisme, kapitalisme dan sebagainya.

Sumber: Wibowo, Semiotika Komunikasi aplikasi praktis bagi penelitian dan skripsi komunikasi

(40)

Pertama, dalam proses ini peristiwa atau ide dikonstruksi sebagai realitas oleh media massa dalam bentuk bahasa gambar. Ini umumnya berhubungan dengan aspek seperti pakaian, lingkungan, ucapan ekspresi dan lain-lain. Dalam bahasa tulis berupa, misalnya, dokumen, transkrip wawancara, dan sebagainya. Di sini realitas selalu ditandakan dengan sesuatu yang lain. Pada tahap kedua disebut representasi. Realitas yang terenkode dalam encoded electronically harus ditampakkan pada technical codes seperti kamera, lighting, editing, musik, suara. Dalam bahasa tulis ada kata, kalimat, proposisi, foto, grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam bahasa gambar atau televisi ada kamera, tata cahaya, editing, musik, dan sebagainya. Elemen-elemen ini kemudian di transmisikan ke dalam kode representasional yang dapat mengaktualisasikan, antara lain karakter, narasi,

action, dialog, setting, dan sebagainya. Tahap Ketiga adalah tahap ideologi. Semua elemen diorganisasikan dan dikategorisasikan dalam kode-kode ideologis seperti patriarkhi, individualisme, ras, kelas, materialisme, kapitalisme, dan sebagainya. Ketika kita melakukan representasi atau suatu realita, menurut Fiske, tidak dapat dihindari adanya kemungkinan memasukkan ideologi dalam konstruksi realitas (Vera, 2014:36).

Representasi bekerja pada hubungan tanda dan makna. Representasi akan bisa berubah-ubah dan akan selalu ada sebuah pemaknaan baru. Representasi bukanlah suatu hal atau sebuah proses statis tetapi representasi adalah proses yang dinamis yang akan terus berkembang berjalan seiring dengan kemampuan intelektual dan kebutuhan para pengguna tanda yaitu manusia. Representasi juga sebuah bentuk konstruksi. Pandangan-pandangan baru yang akan terbentuk akan menghasilkan sebuah pemaknaan yang baru dimana pemaknaan itu sendiri merupakan hasil dari pertumbuhan sebuah pemikiran konstruksi manusia. Menurut Juliastuti dalam (Wibowo, 2013:150), menyatakan melalui representasi makna diproduksi dan dikonstruksi. hal ini terjadi melalui proses penandaaan, praktik yang akan membuat sesuatu hal bermakna sesuatu.

2.3.8 Feminisme

Menurut etimologinya, Feminisme berasal dari kata latin yaitu femina

(41)

sifat-sifat sebagai perempuan yang kemudian ditambah kata “isme” yang dapat diartikan sebagai paham. Oleh sebab itu menurut Mustaqim, gerakan feminisme dapat diartikan sebagai kesadaran terhadap adanya diskriminasi, ketidakadilan dan subordinasi perempuan, dilanjutkan dengan upaya untuk mengubah keadaan tersebut menuju ke sebuah sistem masyarakat yang lebih adil (Karolus, 2013:4). Feminisme menurut Goefe (Sugihastuti & Saptiawan, 2007:93) ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.

Penindasan terhadap perempuan berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Feminisme merupakan sebuah gerakan sudah tua tetapi pada tahun 60-an dianggap sebagai lahirnya gerakan itu sehingga gerakan ini merupakan titik ukur dimana perempuan terang-terangan resisten terhadap penindasan dari segala aspek sosial, ekonomi dan politik. Feminisme muncul sebagai gerakan pada mulanya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Meskipun terjadi perbedaan antarfeminis mengenai apa, mengapa dan bagaimana penindasan dan eksploitasi itu terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan martabat dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik didalam maupun di luar.

Menurut Gross (Ollenburger & Moore, 2002:20), dalam tahun 1960-an, para feminis berfokus pada penentuan wanita agar sederajat dengan laki-laki. Setelah berabd-abad diabaikan, disingkirkan bahkan diremehkan oleh disiplin-displin patriarkis, wanita berusaha masuk dan menjadi objek penyelidikan. Teori-teori tradisional dimodifikasi oleh kaum feminis untuk menerangkan penindasan wanita.

(42)

Teori-teori feminis sama tuanya dengan tradisi barat tentang dunia sosial. menurut Evans, pada abad ke-14, para penulis perempuan mempertanyakan tentang tempat mereka di dunia sosial dan menentang ide-ide yang berlaku dan dominan saat itu tentang peran dan sifat perempuan yang berhubungan dengan feminitas. Kebangkitan feminisme juga muncul lewat tulisan karya Wollstonecraft yang berjudul A Vindication of the Rights of Woman yang diterbitkan tahun 1792 dimana inti dari pemikiran Wollstonecraft hampir sama dengan Marx bahwa posisi perempuan dalam masyarakat harus dipikirkan dalam pengertian masyarakat itu sebagai satu keseluruhan yang utuh (Karolus, 2013:30-31).

Dalam gerakan feminisme ini, banyak para ahli yang menjadi pelopor lahirnya pemikiran maupun pendekatan tentang feminsime tersebut sehingga terbentuknya aliran-aliran feminisme yang telah sampai sekarang masih digunakan

1. Feminisme Liberal

Dalam aliran feminisme liberal ini, penyebab daripada penindasan wanita adalah dikenal sebagai kurangnya kesempatan yang ada untuk mendapatkan pendidikan secara individual maupun kelompok. Aliran ini berusaha memperjuangkan agar perempuan mencapai persamaan hak-hak legal secara sosial maupun politik. Artinya bahwa aliran ini menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan diharapkan mampu membawa kesetaraan bagi perempuan.

Asumsi dasar dari aliran feminisme liberal ini berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality).Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama“ bagi setiap individu termasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan.

Gambar

Tabel 2.1. Tabel Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1 Gambar Unsur Makna Saussure
Gambar 2.2 Gambar Peta Tanda Roland Barthes
grafik, dan sebagainya. Sedangkan dalam televisi seperti

Referensi

Dokumen terkait

(Analisis Semiotika Roland Barthes Mengenai Representasi Makna Persahabatan Dalam Film 3

Data tersebut di proses secara kualitatif lalu dikaitkan dengan menggunakan semiotika Roland Barthes untuk mengetahui dan membedah dari makna yang terkandung dalam

Berdasarkan hasil analisis model semiotika Charles Sanders Pierce ter- hadap penelitian representasi kesetaraan gender yang ditinjau dari citra laki-laki

Charles Sanders Pierce (dalam Sobur, 2004: 13) mengatakan semiotika merupakan sebuah konsep tentang tanda; tak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggambaran maskulinitas laki- laki melalui tokoh Arthur Curry pada film Aquaman karya James Wan. Penelitian ini mengungkap

Peneliti menggunakan segitiga triangle meaning dari Charles Sanders Pierce yaitu sign, object dan interpretant untuk menemukan makna dari nilai – nilai

Mitos merupakan perkembangan dari konotasi, sehingga adegan-adegan yang merepresentasikan feminisme dalam film I, Tonya ini sangat tidak mirip dengan perlakuan yang

8 dengan tanda dan simbol.11 Penelitian ini menggunakan teori semiotika Charles Sanders Pierce sebagai pisau analisis dalam mengkaji teks buku al-Qira>’ah ar-Rasyi>dah dengan alasan