• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG pdf"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK STUDI KASUS PADA KEMENTERIAN PERTANIAN

Adinda Permatasari Rahadian *)

ABSTRACT

This study examines the implementation/application of the policy of public disclosure in the Ministry of Agriculture. By using the theory proposed by Daniel W. Bromley and Edward III, this study looked at the suitability of the policy of public disclosure should be the policy implemented by the Ministry of Agriculture and efectivity public policy. This approach uses a qualitative approach with a constructivist paradigm. Informants were selected based on purposive sampling, the manager of public information the Ministry of Agriculture and NGOs ever dispute the information with the Ministry of Agriculture. Conclusion of this study focuses on two principal amount, namely (1) the implementation of policies KIP running poorly. It looks at the operational stage level, where policies are not well socialized by the PPID to implementing policies, (2) there are factors that hinder the successful implementation of coordinated communication, leadership commitment, adequate human resources and skilled in their field, disposition appropriate, as well as the bureaucracy.

Keywords : Information disclosure, tranparancy

Kemudahan akses terhadap informasi yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya yang berkaitan dengan ranah publik menjadi begitu penting karena

dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, salah satunya yaitu dengan adanya kemudahan akses dan keterbukaan terhadap informasi publik memungkinkan terjadinya perubahan pelayanan publik menuju terciptanya good governance. Pandangan ini bertolak dari usulan International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan the United Nations yang

mempromosikan good governance sebagaimana diungkapkan oleh Leftwich, (1994) dan Peters (1998) dalam Jon Piere dan Guy Peters (2000: 50).

Berdasarkan pengertian United Nations Development Program (UNDP 2007:7), good governance didefinisikan sebagai media untuk mempersatukan perbedaan

dan memperjuangkan hak warga negara, negara bukan hanya berisi kepentingan

(2)

politik, ekonomi, dan administrasi saja (UNDP, 2007). Dalam hal ini peran pemerintah tidak hanya dalam bidang politik saja namun dapat berinteraksi secara efektif dalam

sektor privat dan organisasi masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.

UNDP juga menjelaskan bahwa transparansi menjadi salah karakteristik dari good governance. Transparasi dibangun dari aliran informasi yang bebas. Proses,

institusi, dan informasi secara langsung dapat diakses oleh masyarakat yang membutuhkan, dan informasi yang cukup diberikan untuk memahami dan mengawasinya. Seperti kebijakan keterbukaan informasi publik di Indonesia, maka kini pemerintah harus memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat dalam menuju tata kelola pemerintahan yang baik.

Namun saat ini keterbukaan informasi masih menjadi hal yang asing bagi sebagian besar aparatur pemerintah, baik di pusat maupun di daerah (http://www.setkab.go.id/artikel-4915-.html). Padahal, keterbukaan informasi merupakan bagian dari akuntabilitas, yaitu tentang integritas dan transparansi pemerintahan. Akuntabilitas menjadi sebuah kebutuhan, karena masyarakat diarahkan menuju ke tata pemerintahan yang baik. Selain itu, dengan adanya akuntabilitas, masyarakat

mendapat jaminan hak asasi manusia.

Pemerintahan yang terbuka (open government) merupakan salah satu fondasi

(3)

Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Hak atas Informasi menjadi sangat penting karena makin terbuka penyelenggaraan negara untuk diawasi publik, penyelenggaraan negara tersebut makin

dapat dipertanggungjawabkan. Hak setiap orang untuk memperoleh informasi juga relevan untuk meningkatkan kualitas partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik. Partisipasi masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan Informasi Publik Saat ini Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas. Lingkup Badan Publik dalam pembuatan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik meliputi lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, serta penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/ Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi nonpemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk informasi yang harus dapat diakses oleh

masyarakat sebagai bentuk partisipasi publik.

Hak publik untuk memperoleh informasi ini mengacu pada konstitusi di Indonesia yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Termasuk hak untuk mencari, memperoleh memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang ada (UUD 1945: 28F).

(4)

mengarah kepada prinsip good governance, yang telah dijelaskan dalam UNDP. Dengan dasar dan pertimbangan itu pemerintah menerbitkan sistem hukum yang

mengatur tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur lebih dalam tentang keterbukaan informasi dan transparansi penyelenggaraan negara sebagai salah satu

wujud dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Undang-undang merupakan wujud dari kebijakan publik (Thomas R. Dye, 1992). Karena itu, keberadaan kebijakan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sangat penting. sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi.( http://www.ppidkemkominfo.go.id)

Sistem hukum yang mengatur mengenai KIP ini disahkan dan ditandatangani pada 30 April 2008 dan diberlakukan dua tahun sejak pengesahannya. Hal ini berarti pemerintah masih memberikan toleransi kepada semua badan publik untuk menyiapkan

diri dalam menyelenggarakan negara secara transparan dan bertanggung jawab demi tercapainya reformasi birokrasi (http://www.ppidkemkominfo.go.id). Namun, masih

banyak Badan Publik yang belum siap terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Hal ini ditunjukkan masih sedikitnya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang ditunjuk oleh Lembaga Publik (http://www.setkab.go.id/artikel-4915-.html). Sementara, keberadaan PPID sangat penting dan diperlukan oleh Badan Publik, karena PPID yang bertanggung jawab dalam penyediaan, penyimpanan, pendokumentasian, dan pengamanan informasi serta memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat yang membutuhkan.

(5)

Tabel 1.1 Data PPID dalam Lembaga Publik

No Lembaga Jumlah PPID %

1. Kementerian 34 27 79,41%

2. LPNK 129 32 24,81%

3. Provinsi 33 15 45,45%

4. Kabupaten 399 55 13,37%

5. Kota 98 18 18,37%

Jumlah 693 147 21,21%

Sumber: Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Kemenkominfo (2012)

Dalam pelaksanaan kebijakan KIP telah diatur lebih lanjut dengan mewajibkan setiap Badan Publik untuk menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (UU No 14 Tahun 2008 Pasal 13). Kementerian Pertanian selaku badan publik juga telah menetapkan aturan tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Pertanian. Dalam Permentan tersebut PPID terdiri dari PPID Utama, PPID Pelaksana Eselon I/ Unit Pelaksana Teknis (UPT), dan PPID Pembantu

Pelaksana. Lebih lanjut bahwa setiap PPID Utama dan PPID Pelaksana wajib melakukan monitoring dan evaluasi pelayanan informasi publik (Permentan No 32

Tahun 2011).

Sebagai salah satu Lembaga Publik yang wajib untuk melaksanakan kebijakan ini, Kementerian Pertanian (Kementan) juga telah membentuk PPID, yaitu PPID utama yang berada di Biro Hukum dan Informasi Publik dan PPID Pembantu yang berada di masing-masing Eselon 1 lingkup Kementan. Seluruh PPID dalam lingkup Kementerian Pertanian baru dilantik pada tanggal 29 September 2011.(Laporan Tahunan Informasi Publik Biro Hukum dan Informasi Publik 2011)

Tabel 1.2 PPID Pelaksana di Kementerian Pertanian

No PPID Jumlah

1 PPID Utama 1

(6)

3 PPID Pelaksana UPT 144

4 PPID Pembantu Pelaksana 102

Layaknya sebuah organisasi yang baru dibangun, banyak yang perlu dibenahi dalam melaksanakan kebijakan KIP pada awal tahun 2011. Kementan merombak struktur organisasi yang dibuat khusus untuk melaksanakan kebijakan informasi publik. Struktur organisasi yang baru ini diharapkan memiliki sumber daya manusia dan infrastruktur yang mampu melayani keterbukaan informasi publik sehingga terhindar dari sengketa-sengketa informasi yang dapat terjadi antar instansi dengan publiknya sebagai pengguna informasi publik. Tetapi, dalam implementasinya struktur organisasi Informasi Publik yang berfungsi untuk melayani informasi, tumpang tindih dengan fungsi humas di badan publik. Sementara itu, fungsi Informasi Publik yang seharusnya terintegrasi dengan fungsi humas, malah dibuat parsial dan berbeda biro. Informasi Publik di Kementerian Pertanian digabungkan dengan Hukum, menjadi Biro Hukum dan Informasi Publik.(Laporan Tahunan Informasi Publik 2011).

Tabel 1.3 Sengeketa Informasi di Kementerian Pertanian No Pemohon Informasi Tanggal Sengketa Informasi

1 LSM Sahabat Muslim 23 April 2011

2 LSM Sahabat Muslim 27 Juni 2011

3 LSM Sarvodaya KPODI 11 April 2012

4 LSM Sarvodaya KPODI 28 April 2012 5 LSM Sarvodaya KPODI 10 Juli 2012

6 LSM Sarvodaya KPODI 25 Agustus 2012

7 LSM Sarvodaya KPODI 7 September 2012

8 LSM Sarvodaya KPODI 15 Oktober 2012

(7)

tiap badan publik yang melaksanakan keterbukaan informasi dan dipublikasikan dalam website Komisi Informasi. Berdasarkan peringkat tersebut Kementerian Pertanian turun

peringkatnya dari peringkat 7 pada tahun 2011, menjadi peringkat 16 pada tahun 2012 dengan kategori yang wajib diumumkan berkala (website).5 Hal ini dikarenakan bobot

kriteria penilaian yang semakin tinggi. Tahun lalu kriteria penilaian yang sebagian besar berdasarkan informasi yang ditampilkan di website, sementara tahun ini karena rendahnya bobot nilai dalam transparansi laporan keuangan, menjadikan Kementerian Pertanian tertinggal dari badan publik lainnya. Laporan keuangan yang seharusnya diinformasikan paling singkat enam bulan sekali, belum pernah dipublikasikan oleh Kementerian Pertanian sampai saat ini.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana implementasi kebijakan tentang Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian berdasarkan prinsip transparancy dalam good governance?” dengan submasalah:

a. Bagaimana kesesuaian kebijakan tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan pelaksanaan pelayanan informasi publik di Kementerian Pertanian?

b. Apa yang menyebabkan implementasi kebijakan Keterbukaan Informasi Publik sulit dilaksanakan?

TINJAUAN PUSTAKA

Thomas R. Dye (1978: 3) mengemukakan bahwa “Public policy is whatever government choose to do or not to do” (kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih

oleh pemerintah untuk dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Meskipun memberikan pengertian kebijakan publik hanya memandang dari satu sudut saja (yakni pemerintah), namun apa yang diungkap oleh Thomas Dye telah memberikan nuansa terhadap pengertian kebijakan publik. kebijakan bukan hanya keinginan pemerintah, akan tetapi masyarakat pun juga memiliki tuntutan-tuntutan (keinginan), sebab pada prinsipnya

(8)

1. Hierarki Penyusunan Kebijakan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian, salah satunya adalah melihat kesesuaian kebijakan

yang diterapkan di Kementerian Pertanian dengan kebijakan yang seharusnya dijalankan, karena itu tiga tahapan kebijakan yang dibuat oleh Bromley dianggap layak untuk menganalisis implementasi tersebut.

Bromley mengelompokkan tiga level yang berhubungan dengan hierarki proses penyusunan kebijakan, yaitu policy level, organizational level dan operational level. Pada Policy Level dinyatakan bahwa dalam negara yang menganut demokrasi, maka kebijakan negaranya direpresentasikan oleh lembaga legislatif. Mereka yang akan menentukan bagaimana arah dari garis-garis besar kebijaksanaan. Tingkatan ini, pernyataan-pernyataan umum tentang kehendak dan kebutuhan masyarakat dibahas dan diformulasikan, sehingga Policy Level merupakan perwujudan dari aspirasi/kebutuhan masyarakat. Kemudian eksekutif akan menerjemahkan ke dalam peraturan-peraturan yang bisa mendukung terselenggaranya isi dari kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan inilah yang disebut sebagai Institutional Arrangements.

Tahapan selanjutnya adalah Organizational Level, pada level ini kebijakan dibuat oleh Lembaga Eksekutif sesuai dengan misi yang telah ditentukan dalam Policy Level.

Pada tahapan ini dikembangkan organisasi-organisasi sebagai penyelenggara dari kebijaksanaan pada Policy Level. Pada tahap organisasi kebijakan yang terbentuk

berupa aturan dan hukum bagaimana sebuah organisasi tersebut beroperasi.

Tahap selanjutnya adalah Operational Level terdapat unit-unit operasional yang

(9)

institusional pada level organisasi adalah Peraturan Menteri Pertanian mengenai Keterbukaan Informasi Publik.

Akhir dari tahapan tingkatan Kebijaksanaan Negara yaitu Operational Level yang merupakan penjabaran secara teknis dari kebijaksanaan pada Organizational Level

yang bertujuan untuk mempermudah pelaksanaan suatu kebijaksanaan. Sehingga, hasil yang telah dicapai pada tingkatan operasional akan dilihat langsung oleh masyarakat, sehingga pada tahap inilah akan timbul reaksi kolektif dari berbagai kalangan (Patterns of Interaction) yang pada akhirnya akan membuahkan hasil (outcomes) tertentu yang dipandang baik atau buruk. Apabila outcome yang didapatkan dipandang buruk, maka akan muncul tanggapan kolektif melalui proses politik untuk merubah institutional arrangements yang membatasi seperangkat pilihan individu di tingkat operasional. Dengan demikian, masukan ataupun umpan balik yang berasal dari masyarakat akan diarahkan ke tingkat kebijakan untuk mencari konstelasi institusi (undang-undang dan peraturan) yang baru yang akan merubah pilihan-pilihan yang tersedia bagi perusahaan dan rumah tangga (unit-unit operasional dalam masyarakat).

Penelitian implementasi kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian akan menganalisis kesesuaian antara policy level dengan operational level yang diterapkan di Kementerian Pertanian. Dari hasil analisis tersebut, maka nanti akan

terlihat faktor-faktor apa saja yang menjadi ketidakcocokan policy level dengan operational level yang dijalankan.

Efektivitas Implementasi Kebijakan Publik

George Edward III (1980: 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of attention to implementation. Dikatakannya, without effective

implementation the decision of policymakers will not be carried out successfully. Edward

(10)

a. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan

kebijakan, sikap dan tanggap dari para pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses komunikasi adalah transmission „cara penyampaian‟ informasi; clarity „kejelasan‟ informasi, serta consistency „konsistensi‟ dalam penyampaian informasi.

b. Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan secara efektif. Edwards III menyatakan sebuah kebijakan publik untuk dapat diterapkan harus memerhatikan kesiapan sumber daya pelaksana kebijakan tersebut. Kesiapan sumber daya meliputi kualitas serta kuantitas staf pelaksana; ketersediaan informasi bagi staf tersebut; keluasan kewenangan yang diberikan kepada staf pelaksana; serta ketersediaan fasilitas pendukung bagi staf dalam rangka melaksanakan kebijakan. Diyakini bahwa motivasi adalah kondisi dasar yang harus diperhatikan agar aparat pemerintah bersedia menjalankan kebijakan publik dengan baik.

c. Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan publik tersebut. Kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan

komitmen untuk melaksanakan kebijakan.

d. Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi

penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi bureaucratic fragmentation karena struktur ini menjadikan proses

implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara lembaga-lembaga Negara dan atau pemerintahan.

(11)

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan metode kualitatif dengan pendekatan positivis (kualitatif). Penelitian dilaksanakan dengan wawancara mendalam dengan pemilihan informan secara purposive.

Pemilihan informan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan sebagai berikut: 1. Pihak internal, yaitu Biro Hukum dan Informasi Publik Sekretariat Jenderal

Kementerian Pertanian wawancara dilakukan dengan:

a. Kepala Bagian Informasi Publik sebagai PPID Pelaksana Eselon 1 untuk Sekretariat Jenderal

b. Kepala Sub Bagian Pelayanan Informasi Publik sebagai penanggung jawab kegiatan Pengelolaan Pelayanan Informasi Publik dan Monitoring dan Evaluasi Pembangunan Pertanian

2. Pihak eksternal (LSM) yang memberikan aduan negatif/ sengketa informasi dengan

Kementerian Pertanian

a. Ketua Umum LSM Sarvodaya KPODI b. Ketua Umum LSM Sahabat Muslim

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengolah data dari informan. Berikut teknik analisis data yang peneliti lakukan terhadap hasil wawancara terhadap para informan, observasi lapangan dan studi mendalam

1. Pengumpulan Data Mentah melalui wawancara, observasi lapangan, studi mendalam terhadap Dokumen Peraturan-peraturan, laporan penyelenggaraan, arsip surat menyurat, rekaman suara dan catatan tertulis.

2. Transkrip Data. Mengubah catatan, rekaman ke dalam bentuk tertulis.

3. Pembuatan Koding. Membaca ulang seluruh data yang sudah ditranskrip kemudian menemukan hal-hal yang penting berupa kata kunci dalam pembuatan koding. 4. Kategorisasi Data. Menyederhanakan data dengan cara menyatukan

konsep-konsep kata kunci (koding) ke dalam kategori.

(12)

6. Triangulasi. Melakukan proses cek dan ricek antara satu sumber data dengan sumber data lainnya.

7. Melakukan penyimpulan akhir.

Visi dan Misi Kementerian Pertanian

Kementerian Pertanian memiliki visi dan misi sebagai landasan melaksanakan pembangunan pertanian, antara lain:

1. Visi Kementerian Pertanian 2010-2014:

Terwujudnya Pertanian Industrial Unggul Berkelanjutan Yang Berbasis Sumberdaya Lokal Untuk Meningkatkan Kemandirian Pangan, Nilai Tambah, Daya Saing, Ekspor dan Kesejahteraan Petani.

2. Misi Kementerian Pertanian 2010-2014:

a. Mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang efisien, berbasis iptek dan sumberdaya lokal, serta berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem agribisnis.

b. Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan.

c. Mengamankan plasma-nutfah dan meningkatkan pendayagunaannya untuk mendukung diversifikasi dan ketahanan pangan.

d. Menjadikan petani yang kreatif, inovatif, dan mandiri serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya lokal untuk menghasilkan produk pertanian berdaya saing tinggi.

e. Meningkatkan produk pangan segar dan olahan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) dikonsumsi.

f. Meningkatkan produksi dan mutu produk pertanian sebagai bahan baku industri. g. Mewujudkan usaha pertanian yang terintegrasi secara vertikal dan horisontal guna menumbuhkan usaha ekonomi produktif dan menciptakan lapangan kerja di pedesaan.

(13)

i. Mendorong terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan komoditas pertanian yang sehat, jujur dan berkeadilan.

j. Meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan aparatur pemerintah bidang pertanian yang amanah dan profesional.

Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian

Setelah disahkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tuntutan akan keterbukaan dalam memperoleh informasi

di Indonesia semakin mendesak. Berlakunya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik membawa perubahan paradigma baru Badan Publik dalam pengelola informasi publik dari pemerintahan yang tertutup menuju pemerintahan yang terbuka. Sebelum undang-undang tersebut diundangkan, paradigmanya adalah seluruh Informasi Publik adalah rahasia kecuali yang terbuka. Namun setelah Undang-undang ini, paradigma bergeser menjadi seluruh Informasi Publik adalah terbuka untuk diakses masyarakat kecuali yang dirahasiakan.

Perubahan dan pergeseran paradigma tersebut menuntut setiap Badan Publik seperti Kementerian Pertanian wajib membangun dan mengembangkan sistem

informasi dan dokumentasi untuk mengelola informasi publik secara baik dan efisiensi, sehingga layanan informasi publik dapat diakses dengan mudah. Bahkan lebih lanjut

setiap Badan Publik perlu melakukan pengelolaan informasi publik dan dokumentasi yang dapat menjamin penyediaan informasi yang mudah, cermat, cepat, dan akurat dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

(14)

kepada masyarakat, menciptakan dan menjamin kelancaran dalam pelayanan informasi publik pada Kementerian Pertanian.

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI KEMENTERIAN PERTANIAN

1. Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian berdasarkan Prinsip Transparancy dalam Good Governance

Dalam menganalisis kesesuaian kebijakan Keterbukaan Informasi Publik dengan pelaksanaan pelayanan informasi public di Kementerian Pertanian menggunakan teori Daniel W. Bromley (1989), dimana terdapat tiga level penyusunan kebijakan, yaitu policy level, organizational level, dan operational level, dan pada akhirnya kebijakan tersebut akan menghasilkan tanggapan kolektif masyarakat (pattern of interaction) yang akan memberikan outcomes terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah.

Proses penyusunan kebijakan di Kementerian Pertanian telah sesuai dengan konsep tiga level penyusunan kebijakan menurut Bromley (1989). Proses penyusunan kebijakan di Kementerian Pertanian dimulai dari tingkat paling atas yaitu policy level dimana kebijakan tersebut dibuat oleh pemerintah dengan didasari oleh alasan tertentu (mewujudkan aspirasi/kebutuhan publik). Kemudian diteruskan ke level organisasional dimana kebijakan KIP tersebut diberikan oleh pemerintah dan diterima oleh Kementerian Pertanian. Respon dari kebijakan tersebut, yaitu Kementan langsung membentuk Permentan. Lanjut ke tahap level operasional dan Permentan ini mendorong dibentuknya PPID yang nantinya bertanggung jawab sebagai pelaksana kebijakan. Namun, berbagai masalah muncul pada tahap operasional yang mengakibatkan kebijakan yang dijalankan tidak sesuai dengan kebijakan yang seharusnya. Seperti yang dikatakan oleh pihak Kementan:

“Memang masih ada hal yang belum sempurna, terutama pada level operasional.

(15)

disposition yang tidak sesuai dengan penugasan dan latar belakang, dan struktur

birokrasi yang tidak efektif”

Tetapi hambatan-hambatan tersebut tidak membuat pelaksanaan kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian yang sudah berjalan selama

dua tahun gagal untuk dilaksanakan. Masyarakat tetap dapat melaksanakan permohonan informasi dan mendapatkan data yang diinginkan meskipun uji konsekuensi belum dilaksanakan dan pelayanan informasi belum maksimal. Sementara pihak LSM mengatakan mengenai pelayanan Informasi Publik di Kementerian Pertanian

“...karena perintah undang-undang yang mau ga mau pemohon informasi harus dilayani. Namun belum disertai kejujuran. Contohnya Satker (penyedia dokumen informasi) menitipkan dokumen tersebut ke PPID Utama tetapi tidak sesuai dengan hasil Putusan Mediasi. Ketika dikomplain petugas PPID Utama hanya

menyatakan “Kami akan menyampaikan pada Satker yang bersangkutan”.

(Dokumen yang diberikan seharusnya Realisasi Penerima Bantuan tetapi yang diberikan adalah Rencana Penerima Bantuan). Sesuai aturan yang ada jika Termohon tidak melaksanakan putusan sesuai kesepakatan Pemohon dapat menggunakan haknya untuk mendaftar kepengadilan. Namun hal ini memang belum kami gunakan karena berbagai hal.

Dari penjelasan keempat informan dapat dilihat bahwa Kementerian Pertanian belum cukup siap untuk melaksanakan kebijakan Keterbukaan Informasi Publik, namun pihak Kementerian Pertanian yakin bahwa ke depannya mereka dapat melaksanakan kebijakan ini dengan lebih baik melalui dukungan infrastruktur yang lebih memadai.

2. Analisis Faktor-Faktor Hambatan dalam Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik

Kendala-kendala yang menyebabkan proses implementasi kebijakan KIP di Kementerian Pertanian kurang efektif dengan menggunakan teori Edward III. Dalam teori ini menjelaskan faktor yang menghambat efektivitas sebuah kebijakan di antaranya adalah komunikasi, resources, disposisi, dan struktur birokrasi.

(16)

Simpulan

Secara umum kebijakan Keterbukaan Informasi Publik di Kementerian Pertanian masih belum sesuai dengan prinsip transparancy dalam good governance, karena

masih ada informasi yang seharusnya dibuka namun tidak dipublikasikan

1. Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik belum sesuai dengan pelaksanaan pelayanan informasi publik di Kementerian Pertanian, hal ini dapat terlihat pada level operasional dalam tahap penyusunan kebijakan yang digagas oleh Daniel W. Bromley.

2. Implementasi kebijakan sulit untuk dilaksanakan disebabkan oleh faktor komunikasi yang kurang efektif, disposisi, sumber daya manusia yang kurang memadai, dan struktur birokrasi yang tidak sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

Blau, Peter M., dan Marshall W. Meyer. (1987). Birokrasi dalam Masyarakat Moderen. (Diterjemahkan oleh Gary Rachman Jusuf). Edisi Kedua. Jakarta: UI Press. Hal 27-28.

Brinkerhoff, D. and Crosby, B. (2002). Citizen Participation in the Policy Process,

chapter 3 in „Managing Policy Reform: Concepts and Tools for Decision-Makers

in Developing and Transitioning Countrie. Connecticut, USA: Kumarian Press.

Bromley, Daniel W. 1989. Economic Interest and Institutions: The Conceptual Foundations of Public Policy. New York: Basil Blackwell.

Cresswell, John. (1994). Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches. Thousand Oak, London, New Delhi: Sage Publications

Denzin, Norman K, and Yvonne S. Lincoln. (1994). Handbook of Qualitative Research. Editor: Thousand Oak, London, New Dehli

Dunn, William N,. (1999). Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Dwiyanto, Agus., (2008), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

(17)

Hogwood, Brian W & Lewis A. Gunn. (1984). Policy Analysis for The Real World. Oxford University Press.

Howlett, Mitchael and M. Ramesh. (1995). Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystems. Oxford: Oxford University Press

Irawan, Prasetya. (2006). Penelitian Kualitatif & Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok: DIA Fisip UI

Ivancevich, John M. (2003). Human Resources Management. International Edition. Ninth Edition. Singapore: Mc Graw hill Jalaluddin, Rakhmat. (1998). Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya

Lincoln, Yvonne, S, and Egon G. Guba. (1985). Naturalistic Inquiry. Beverly Hills, London, New Dehli

Neuman, W. Lawrence. (2006). Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches, Sixth Edition. Boston, New York, London: Pearson Eduction Inc

Nugroho, Riant. (2011). Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research & Evaluation Methods (3rd Edition). Thousand Oak, London, New Dehli: Sage Publication

Riyanto, Eko Slamet. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Penyebaran Informasi Publik Melalui Forum Tatap Muka di Badan Informasi Publik Kemkominfo. Jakarta: Fisip UI

Singarinbun, Masri, dan Sofian Effendi (Ed). (1989). Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES

Salsabila, Finda. (2010). Analisis Good Governance Terhadap Kelembagaan Pengelolaan Informasi Publik Di Pusat Administrasi Universitas Indonesia Dalam Era Keterbukaan Informasi. Jakarta: Fisip UI

Subarsono, A.G. (2005). Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Cet 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

United Nations Development Programme. (2007). Public Administration and Democratic Governance. New York: UNDP

Gambar

Tabel 1.2 PPID Pelaksana di Kementerian Pertanian
Tabel 1.3 Sengeketa Informasi di Kementerian Pertanian

Referensi

Dokumen terkait

melakukan Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui beberapa proses seperti mengadakan training untuk karyawan setiap bulan, mengadakan pelatihan untuk

Terima kasih penulis ucapkan kepada dewan pembimbing dan rekan-rekan yang terlibat dalam proses penelitian ini hingga akhir dan tidak lupa pula penulis sampaikan

Hal inilah yang membuat penting penulis untuk melakukan penelitian terhadap iklan ramadhan Ramayana Department Store “Bahagianya adalah Bahagiaku” yang tayang pada bulan

Tahap berikutnya yaitu tahap keempat untuk pengujian benda uji, pada tahap ini dilakukan pengujian beberapa sifat mekanis dari beton yang berupa uji kuat tekan pada umur

Hari wafatnya Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid merupakan hari duka tidak hanya bagi Warga Nahdlatul Wathan tetapi menjadi duka juga bagi ummat

Figur tersebut dihadirkan sebagai objek utama dalam lukisan, dengan menggunakan teknik pewarnaan dan tekstur yang persis pada jajan sarad , semua melalui pengulangan

Setelah melakukan uji banding pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan melakukan uji kesamaan proporsi dan uji kesamaan dua rata-rata, diperoleh hasil bahwa: proporsi

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara pada peran guru mata pelajaran sosiologi sebagai motivator dalam membina solidaritas sosial siswa kelas XI IPS 2 di SMA