• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM IN (7)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM IN (7)"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI PENGINDRAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM

PENGELOLAAAN TERUMBU KARANG

John Marles

Program Pasca Sarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu, Jalan WR Supratman, Kandang Limun, Bengkulu 38371 A, Indonesia. Tel./Fax. +62-736-22105

ABSTRAK

Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup manusia. Terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang laut dan lokasi wisata yang menarik. Tingginya nilai ekonomis dari ekosistem terumbu karang semakin meningkatkan tekanan antropogenis terhadapnya. Hal tersebut mengakibatkan ekosistem terumbu karang mengalami perubahan dalam skala global sebagai akibat dari perubahan iklim dan kerusakan oleh kegiatan manusia. Teknologi penginderaan jauh mempunyai kemampuan untuk mengindentifikasi serta melakukan monitoring terhadap perubahan sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir dan laut. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan tentang pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografi dalam pemodelan erosi dan lahan kritis.

Kata Kunci : Penginderaan jauh, SIG, Terumbu karang

Pendahuluan

Terumbu karang adalah salah satu ekosistem dengan produktifitas dan kelimpahan spesies yang tinggi di wilayah pesisir. Terumbu karang juga secara ekologi berperan menjaga keseimbangan produktifitas sumberdaya laut dan indikator penting kualitas lingkungan laut. Beberapa dekade terakhir, ekosistem terumbu karang mengalami perubahan dalam skala global sebagai akibat dari perubahan iklim dan kerusakan oleh kegiatan manusia. Berdasarkan data yang dipublikasi oleh Global Coral Reef Monitoring Network (GCMRN) tahun 2008, kurang lebih 54% terumbu karang dunia berada dalam kondisi terancam secara global (Wilkinson, 2008).

Ekosistem terumbu karang merupakan sumberdaya wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama yang disebabkan oleh perilaku manusia/masyarakat disekitarnya. Oleh karena itu pemanfaatannya harus dilakukan secara ekstra hatihati. Apabila terumbu karang mengalami kematian (rusak) maka akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat pulih kembali. Menurut Nybakken (1988), beberapa jenis terumbu karang membutuhkan waktu satu tahun untuk mencapai panjang 1 cm.

Kaitannya dengan perilaku manusia/masyarakat dalam pemanfaatan terumbu karang, akhir-akhir ini banyak menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, terutama dengan menggunakan bahan peledak (bom) dan bahan kimia beracun (zianida) dalam penangkapan ikan-ikan karang. Masalahnya adalah tingkat kerusakan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang akibat aktivitas manusia tersebut sangat sulit dibuktikan, disamping arealnya sangat luas juga susah untuk menunjukkan dimana kerusakan itu terjadi (Rauf dan Yusuf, 2004)

Kematian masal karang akibat pemutihan (coral bleaching). Palandro et al. (2008) juga mendokumentasikan perubahan habitat terumbu karang di Florida Keys menggunakan citra penginderaan jauh dan survey in-situ dalam dua skala berbeda. Hasil-hasil penelitian ini menunjukan bahwa kombinasi beberapa seri citra satelit dan pengamatan in-situ dalam interval skala spasial dan temporal yang sesuai dapat menghasilkan informasi

dinamika komunitas dan substrat terumbu karang untuk periode waktu yang berbeda.

Deliniasi manual foto udara telah terbukti sukses dalam teknik pemetaan untuk mengkarakterisasi dinamika lingkungan padang lamun (Hernandez-Cruz et al., 2006). Pada lingkungan terumbu karang teknik ini diaplikasikan dengan baik pada skala struktur geomorfologi terumbu karang tepi (fringing reef) untuk deteksi kehilangan struktur karang seperti spur and groove, terumbu bagian tengah (reef edge) serta kanal dibagian depan terumbu akibat pengaruh badai topan di West Indies (Lewis, 2002).

Perubahan bentuk terumbu yang diinterpretasi dari peta-peta berbasis citra dapat digunakan untuk menduga dinamika karakteristik ekologi dan geomorfologi. Purkis and Riegl (2005) melakukan pengamatan perkembangan komunitas karang di Teluk Arabian setelah beberapa kali peristiwa.

Hasil dan Pembahasan

Analisis citra terklasifikasi. Berdasarkan hasil analisis visual dan digital dari citra Landsat_TM tahun 1997 dan 2002 di Kepulauan Spermonde, ditentukan enam kelas penutupan dasar perairan, antara lain kelas karang hidup, karang mati, pasir, lamun, daratan kepulauan dan kelas laut. Hasil perhitungan luasan penutupan dasar perairan tersebut memberikan indikasi bahwa dalam kurung waktu lima tahun terjadi perubahan luasan pada masing-masing kelas, dimana perubahannya ada yang bertambah dan juga ada yang berkurang. Khusus untuk kelas terumbu karang, terjadi pengurangan luasan dari 7.554,44 ha menjadi 6.054,58 ha bagi karang hidup dan sebaliknya terjadi peningkatan luasan dari 3.284,37 ha menjadi 5.540,76 ha bagi terumbu karang mati.

(2)

lain-lain untuk mengusir ikan keluar dari sela-sela terumbu karang, pengambilan jenis-jenis karang tertentu untuk diperjual belikan, dan lain-lain.

Distribusi spasial kawasan terumbu karang dapat terlihat dengan menggunakan data citra satelit Landsat_TM, dengan kombinasi kanal 542 (RGB) atau 321 (RGB). Citra komposit 542 terlihat kawasan terumbu karang berwarna biru berbeda dengan laut yang berwarna biru tua. Dari komposit ini dapat pula dibedakan antara terumbu karang dengan kekeruhan, dimana terumbu karang memiliki warna yang lebih tegas dari kekeruhan. Hal ini sangat jelas perbedaannya terutama pada daerah pantai yang dekat dengan muara sungai. Sedangkan pada citra komposit 321 (RGB), objek yang ada dibawah permukaan laut seperti terumbu karang, pasir, lamun dan lain-lain dapat terdeteksi dengan jelas.

Hasil ketelitian klasifikasi citra (validasi data) Tahun 1997 pada masing-masing kelas penutupan dasar perairan dengan User’s Accuracy rata-rata 98,48 %, Produser’s Accurasy rata-rata 99,16 % dan Overall Accuracy sebesar 99,99 %. Sedangkan validasi data Tahun 2002 diperoleh ketelitian pada masing-masing kelas dengan nilai rata-rata 99,05 % untuk User’s Accuracy, 99,81 % untuk Produser’s Accuracy dan 99,99 % untuk overall accuracy.

Setelah dirata-ratakan menurut kedalaman memperlihatkan bahwa persentase penutupan biota karang penyusun ekosistem terumbu karang berdasarkan life form pada kedalaman 3,5 dan 10 m masing-masing sebesar masing-masing sebesar 62,03 %, 59,82 %, dan 31,08 % dengan rata-rata sekitar 50,98 %. Berdasarkan kriteria penilaian kondisi terumbu karang, maka hasil tersebut masuk dalam katagori “baik” untuk kedalaman < 5 meter sedangkan pada kedalaman 5 – 10 meter masuk katagori “sedang”.

Terjadinya kerusakan terumbu karang pada umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia atau nelayan yang memanfaatkan terumbu karang sebagai objek penangkapan ikan, disamping itu juga sebagian kecil disebabkan oleh pengaruh alam itu sendiri.

Berdasarkan hasil klasifikasi objek di dasar perairan Pulau Pari terdiri dari 5 klas yaitu: karang yang muncul di permukaan laut seluas 15,2 ha, karang yang bercampur pasir seluas 230,06 ha, karang bercampur dengan pasir dan lamun seluas 220,68 ha dan karang yang termasuk jenis karang penghalang (barrier reef) seluas 245,24 ha (Arief, 2014).

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Terapan GIS telah banyak digunakan untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang berbasiskan wilayah geografi. 2. Pemetaan lahan kritis dapat dilakukan dengan

empat parameter, yaitu penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, dan tingkat pengelolaan lahan.

Daftar Pustaka

Arief M. 2014. Aplikasi Data Satelit Spot – 4 Untuk Mendeteksi Terumbu Karang: Studi Kasus Di Pulau Pari. Globe. 14 (1) : 1 - 6

Hernandez-Cruz, L.R., S.J. Purkis, and B. Riegl. 2006. Documenting decadal spatial changes in seagrass and Acropora palmata cover by aerial photography analysis in Vieques, Puerto Rico: 1937-2000. Bulletin of Marine Science. 79(2):401-414.

Lewis, J. 2002. Evidence from aerial photography of structural loss of coral reefs at Barbados, West Indies. Coral Reefs, 21(1):49-56. Lillesand, T.M. and R.W. Kiefer. 2000. Remote sensing and image interpretation. Wiley. New York. 721p.

Nybakken I.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia Jakarta. Jakarta.

Palandro, D.A., S. Andréfouët, C. Hu, P. Hallock, F.E. Müller-Karger, P. Dustan, M.K. Callahan, C. Kranenburg, and C.R. Beaver. 2008. Quantification of two decades of shallow-water coral reef habitat decline in the Florida Keys National Marine Sanctuary using Landsat data (1984–2002). Remote Sensing Environment, 112(8):3388-3399.

Purkis, S.J. and B. Riegl. 2005. Spatial and temporal dynamics of Arabian Gulf coral assemblages quantified from remote-sensing and in situ monitoring data. Mar Ecol. Prog. Ser., 287:99-113.

Rauf A. dan . Yusuf. 2004. Studi Distribusi dan Kondisi Terumbu Karang dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. J. Ilmu Kelautan. 9 (2) : 74 - 81. Wilkinson, C. 2008. Status of coral reefs of the world.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis kandungan beta- karoten tepung ubi kayu, proses pembuatan tepung dengan perlakuan menggunakan bahan SHUHQGDP QDWULXP PHWDELVXO¿W SHUVHQ GDQ

Ekstrusi menjadi teknologi yang tepat untuk pengembangan mi bebas gluten karena terjadi proses gelatinisasi, adanya efek tekanan dan pengadonan ( pressing and kneading ) yang

Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan ketersediaan infrastruktur telah terjadi perubahan orientasi petani dalam

Biji chia ( Salvia hispanica /PHPLOLNLNDUDNWHULVWLN¿VLN\DQJNKDV\DLWXPDPSXPHPEHQWXNJXP melalui proses hidrasi. Gum ini dapat mengabsorpsi air hingga 12-27 kali dari berat

1) Perjalanan yang bertanggungjawab, dimana seluruh pihak yang terlibat dalam kegiatan ekowisata harus berupaya melakukan perlindungan alam atau setidak-tidaknya

karena petani responden tidak mengikuti kegiatan kelompok tani secara aktif. Menurut petani responden, penyebab petani responden tidak bergabung dalam kelompok tani adalah

Sama halnya dengan pertumbuhan tinggi tanaman/panjang sulur, diantara perlakuan bobot umbi (20, 30, 40, 50 dan 60 g) juga tidak terlihat menunjukkan perbedaan yang nyata, hanya

ANALISIS DAN INTERPRETASI MODEL Berdasarkan hasil pengolahan yang didapatkan faktor yang paling mempengaruhi pengelompokkan apakah pengunjung akan sering atau jarang