15
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komoditas perkebunan merupakan andalan bagi pendapatan nasional dan devisa negara Indonesia, pada tahun 2013 total ekspor perkebunan mencapai US$ 29.476 milyar atau setara dengan Rp. 383.188 triliun (asumsi 1 US$ = Rp.13.000). Kontribusi sub sektor perkebunan terhadap
perekonomian nasional diharapkan dapat memperkokoh pembangunan perkebunan secara merata. Salah satu tanaman yang mempunyai peranan bagi sub sektor perkebunan adalah kelapa sawit. Industri kelapa sawit masuk dalam strategi perekonomian nasional dan fokus kebijakan pemerintah dalam konstribusi besar dalam perekonomian Indonesia (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) pertanian tahun 2014 menunjukkan dalam 30 tahun terakhir sektor kelapa sawit Indonesia mengalami peningkatan. Peningkatan ini meliputi tiga aspek yakni luas total lahan yang digunakan, total produksi CPO ( Crude Palm Oil ) maupun tingkat produktivitas.
Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2015 adalah 11.444.408 ha dengan produksi 30.984.931 ton CPO meningkat 1.67% dari produksi di tahun 2014. Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan industri sawit setiap tahunnya, luas areal perkebunan sawit di Sumatera Utara tahun 2014 adalah 1.392.532 ha meningkat menjadi 1.444.687 ha pada tahun 2015 dengan produksi pada tahun 2014 adalah 4.753.488 ton CPO meningkat menjadi 4.959.128 ton CPO pada tahun 2015 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014).
Perluasan areal kelapa sawit yang pesat memerlukan teknologi pembibitan yang efektif dengan kualitas yang baik namun ramah lingkungan. Pertumbuhan
16
awal bibit akan menentukan keberhasilan tanaman dan memegang peranan penting untuk menunjang intensifikasi dan produktivitas. Tantangan dan masalah yang dihadapi pelaku kelapa sawit baik smallholder maupun perusahaan berasal dari penyakit dan iklim. Beberapa perusahaan besar hingga saat ini masih aktif mengembangkan riset untuk mendapatkan benih dan bibit sawit tahan penyakit serta mampu beradaptasi dengan perubahan iklim.
Perusahaan penyedia benih dan dan bibit kelapa sawit dunia, saat ini memproduksi produk perlindungan tanaman berbasis pupuk hayati dengan bahan aktif beberapa jenis mikroorganisme seperti mikoriza, bakteri panambat nitrogen dan bakteri pelarut fosfat. Pupuk hayati mengandung mikroorganisme hidup yang secara lansung dapat memperbaiki dan meningkatkan kesuburan tanah serta tanaman. Pupuk hayati dapat dijadikan alternatif perlindungan tanaman dan penyedia hara masa depan demi terciptanya standar budidaya yang diusung oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang berimbas pada pengurangan penggunaan pestisida, serangan penyakit, dan kemampuan adaptasi pada tanaman kelapa sawit.
FMA (Fungi Mikoriza Arbuskula) merupakan jamur yang mampu bersimbiosis pada akar tanaman dengan membentuk hifa eksternal yang berperan dalam membantu meningkatkan daya absorbsi hara, air dan dan agregasi tanah. FMA dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit dan berperan
dalam meningkatkan toleransi tanaman terhadap kekeringan, logam – logam berat Al dan Fe dan meningkatkan serapan hara di dalam tanah (Harahap, 2014).
Pemanfaatan bakteri penambat nitrogen mampu menambah dan memasok sediaan hara N pada pembibitan kelapa sawit guna meningkatkan pertumbuhan
17
vegetatif. Aplikasi mikroba ini selain menghemat penggunaan pupuk kimia nitrogen namun juga ramah lingkungan. Bakteri penambat nitrogen seperti Azotobacter spp. mampu menghasilkan zat pengatur tumbuh pada tanaman dan biokontrol pada perkembangan serta kesehatan akar tanaman (Hasibuan, 2012).
Bakteri pelarut fosfat (BPF) bersifat menguntungkan karena mampu mengeluarkan berbagai macam asam organik. Asam - asam organik ini akan membentuk khelat dengan kation Al, Fe atau Ca yang mengikat P, sehingga ion H2Po4- menjadi bebas dari ikatannya dan tersedia bagi tanaman. Menurut
Rodriquezz dan Fraga 1999 Pseudomonas spp. merupakan strain bakteri yang mempunyai kemampuan tinggi dalam melarutkan fosfat (Dewi, 2007).
Selain ketersediann hara, bibit yang berkualitas merupakan tahapan pertama dalam pengelolaan tanaman yang dibudidayakan. Upaya lain untuk mendapatkan bibit yang baik adalah dengan pemilihan media tanam berupa volume tanah yang tepat untuk pertumbuhan dan perkembangan bibit. Untuk mengahsilkan bibit yang baik tetapi penggunaan tanah lebih efesien dapat dilakukan dengan mengurangi volume media yang diisikan kedalam polibek pembibitan. Selain efesien, upaya ini dapat memangkas nilai ekomomis kebutuhan tanah sebagai media pembibitan.
Volume media tanam yang digunakan juga menjadi faktor keberhasilan pindah tanam bibit kelapa sawit dari pembibitan awal ke pembibitan utama hingga siap untuk ditanam ke lapangan. Pembentukan dan pertumbuhan akar dalam menyerap air dan mengabsorsi hara erat hubungannya dengan luas areal resapan air dan sediaan sumber daya hara pada media tanam. Berdasakan pernyataan Poorter, et al., 2012 sistem perakaran dalam volume rooting mempengaruhi
18
mekanisme fotosintesis pada tanaman, morfologi dan fisiologi akar, biomassa tanaman, efektifivitas mikroorganisme didalam tanah. Berdasarkan pemaparan dan latar belakang diatas penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Dengan Pupuk Hayati Pada Perbedaan Volume Media Tanam”.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pertumbuhan bibit
kelapa sawit dengan pemberian pupuk hayati pada perbedaan volume media tanam.
Hipotesa Penelitian
Terdapat peningkatan pertumbuhan bibit kelapa sawit akibat pemberian pupuk hayati dan volume media tanam yang berbeda serta interaksi dari kedua faktor tersebut.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini juga diharapkan berguna untuk pihak yang berkepentingan didalam pembibitan kelapa sawit dan sebagai sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.