7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Bank
Pengertian bank menurut UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998 adalah badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk
lainnya, dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak. Definisi
ini mencerminkan dua peran utama bank sebagai financial intermediate
maupun institute of development, atau memberi tekanan bahwa usaha utama
bank adalah menghimpun dana dalam bentuk simpanan, yang merupakan
sumber dana bank dan dari segi penyalurannya, bank tidak semata-mata
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik, tapi juga
kegiatannya itu diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Sedangkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 31
disebutkan sebagai berikut:
8 Pada saat pelaksanaannya, lembaga keuangan bank terdiri dari:
1) bank sentral,
2) bank umum,
3) bank perkreditan rakyat.
Bank sentral di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia dan
memegang fungsi sebagai bank sirkulasi, bank to bank dan lender of the last
resort. Biasanya pelayanan yang diberikan oleh Bank Indonesia lebih banyak
kepada pemerintah dan dunia perbankan. Bank umum merupakan bank yang
bertugas melayani seluruh jasa-jasa perbankan dan melayani segenap lapisan
masyarakat, baik masyarakat perorangan maupun lembaga-lembaga lainnya.
Bank umum juga dikenal dengan bank komersil dan dikelompokkan
dalam dua jenis bank yaitu bank devisa dan bank non devisa. Bank umum
yang berstatus devisa memiliki produk yang lebih luas daripada bank yang
berstaus non devisa, antara lain dapat melaksanakan jasa yang berhubungan
dengan seluruh mata uang asing.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank khusus yang melayani
masyarakat kecil di kecamatan dan pedesaan. BPR berasal dari Bank Desa,
Bank Pasar, Lumbung Desa, Bank Pegawai dan bank lainnya yang kemudian
dilebur menjadi Bank Perkreditan Rakyat. Jenis produk yang ditawarkan bank
perkreditan rakyat relative sempit dibandingkan bank umum bahkan ada jenis
jasa bank yang tidak boleh diselenggarakan bank perkreditan rakyat, seperti
9 Bank secara sederhana menurut Kashmir (2004:11) didefinisikan
sebagai “lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah menghimpun
dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada
masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya”.
2.1.2. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun
1970an dan semakin popular setelah kehadiran buku Cannibals With Forks:
The Triple Botton line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni
economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas
The world Commission on environment and Development (WCED) dalam
Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus,
yaitu: 3P, singkatan dari Profit, Planet, and People.
Pengertian tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social
Responsibility) menurut Suharto (2007) adalah “operasi bisnis yang
berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara
finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara
holistik, melembaga dan berkelanjutan”. Sedangkan menurut Pearce dan
Robinson (2007, 70) “tanggung jawab sosial perusahaan adalah gagasan
bahwa suatu perusahaan memiliki tugas untuk melayani masyarakat sekaligus
kepentingan keuangan pemegang sahamnya”. Dari penjelasan tersebut,
10 pihak yang akan menikmati produk yang akan dihasilkan perusahaan. Selain
itu, masyarakat juga yang akan menilai mengenai kepedulian perusahaan
terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu, pihak luar
sering kali menuntut agar klaim pihak dalam diletakkan di bawah
kepentingan masyarakat; atau dengan kata lain, kepentingan pihak luar harus
lebih diutamakan.
Tamam Achda (2007) mengartikan CSR sebagai “komitmen
perusahaan untuk mempertanggungjawabkan dampak operasinya dalam
dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta terus menerus menjaga agar
dampak tersebut menyumbang manfaat kepada masyarakat dan lingkungan
hidupnya”. Apabila operasi perusahaan memberikan dampak yang negatif
terhadap masyarakat dan lingkungan, perusahaan wajib
mempertanggungjawabkan dampak tersebut dan menjadi tanggunjawab
hukum bagi peusahaan. Namun, jika operasi perusahaan memberikan dampak
yang positif, maka perusahaan harus mempertahankannya.
Menurut Suharto (2007) dalam pelaksanaan Corporate Social
Responsibility, perusahaan bisa dikelompokkan ke dalam beberapa kategori.
Dengan menggunakan dua pendekatan, sedikitnya ada delapan kategori
perusahaan, yaitu:
A. Berdasarkan proporsi keuntungan perusahaan dan besarnya anggaran CSR:
a) Perusahaan Minimalis. Perusahaan yang memiliki profit dan
11 b) Perusahaan Ekonomis. Perusahaan yang memiliki keuntungan tinggi,
namun anggaran CSR rendah.
c) Perusahaan Humanis. Meskipun profit perusahaan rendah, proporsi anggaran CSR relatif tinggi.
d) Perusahaan Reformis. Perusahaan yang memiliki profit dan anggaran CSR yang tinggi. Perusahaan seperti ini memandang CSR bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang untuk lebih maju.
B. Berdasarkan tujuan CSR, apakah untuk promosi atau pemberdayaan
masyarakat:
a) Perusahaan Pasif. Perusahaan yang menerapkan CSR tanpa tujuan jelas: bukan untuk promosi, bukan pula untuk pemberdayaan. Perusahaan seperti ini melihat promosi dan CSR sebagai hal yang kurang bermanfaat bagi perusahaan.
b) Perusahaan Impresif. CSR lebih diutamakan untuk promosi daripada untuk pemberdayaan.
c) Perusahaan Agresif. CSR lebih ditujukan untuk pemberdayaan
daripada promosi. Perusahaan seperti ini lebih mementingkan karya nyata.
d) Perusahaan Progresif. Perusahaan menerapkan CSR untuk tujuan promosi dan sekaligus pemberdayaan. Promosi dan CSR dipandang sebagai kegiatan yang bermanfaat dan menunjang satu sama lain bagi kemajuan perusahaan.
Pada akhirnya, tanggungjawab sosial perusahaan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari perusahaan. Perusahaan-perusahaan manufaktur dan
perbankan serta perusahaan lainnya membutuhkan tanggungjawab social
perusahaan bukan hanya sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat dan
lingkungan sekitar, tetapi juga menjadi alat promosi yang dapat membuat
12 2.1.3. Pengungkapan Informasi Sosial
Pengungkapan (disclosure) menurut Hendriksen (1996) didefinisikan
sebagai “penyediaan sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk
pengoperasian optimal pasar modal secara efisien”. Dalam interpretasi yang
lebih luas, pengungkapan terkait dengan informasi yang baik yang terdapat
dalam laporan keuangan maupun komunikasi tambahan (Supplementary
Communication) yang terdiri dari catatan kaki, informasi tentang kejadian
setelah tanggal laporan, analisis laporan atas operasi perusahaan di masa
mendatang, perkiraan keuangan operasi, serta informasi lain (Wolk dan
Tearney dalam widiastuti, 2000).
Menurut Murtanto (2006) dalam Media Akuntansi, “pengungkapan
kinerja perusahaan seringkali dilakukan secara sukarela (voluntary
disclosure) oleh perusahaan”. Adapun alasan-alasan perusahaan
mengungkapkan kinerja sosial secara sukarela antara lain:
a) Internal Decision Making : Manajemen membutuhkan informasi untuk
menentukan efektivitas informasi sosial tertentu dalam mencapai tujuan
sosial perusahaan. Walaupun hal ini sulit diidentifikasi dan diukur, namun
analisis secara sederhana lebih baik daripada tidak sama sekali.
b) Product Differentiation : Manajer perusahaan memiliki insentif untuk
membedakan diri dari pesaing yang tidak bertanggung jawab secara sosial
kepada masyarakat. Akuntansi kontemporer tidak memisahkan pencatatan
biaya dan manfaat aktivitas sosial perusahaan dalam laporan keuangan,
13 daripada perusahaan yang peduli. Hal ini mendorong perusahaan yang
peduli sosial untuk mengungkapkan informasi tersebut sehingga
masyarakat dapat membedakan mereka dari perusahaan lain.
c) Enlightened Self Interest : perusahaan melakukan pengungkapan untuk
menjaga keselarasan sosialnya dengan para stakeholder karena mereka
dapat mempengaruhi pendapatan penjualan dan harga saham perusahaan.
Pelaporan pengungkapan sosial dalam laporan tahunan merupakan
voluntary disclosure, artinya pengungkapan ini bersifat sukarela dan belum
diatur secara tegas dalam PSAK. Menurut Belkaoui & Karpik (1989),
“perusahaan melakukan pengungkapan informasi sosial dengan tujuan untuk
membangun image pada perusahaan dan mendapatkan perhatian dari
masyarakat. Namun dengan kondisi saat ini, stakeholder mulai menganggap
pengungkapan tanggung jawab sosial itu menjadi salah satu yang penting”.
Perusahaan memerlukan biaya untuk memberikan informasi sosial, sehingga
laba yang dilaporkan dalam tahun berjalan menjadi lebih rendah. Perusahaan
cenderung meningkatkan informasi sosial apabila biaya kontrak dan biaya
pengawasan rendah dan visibilitas politis tinggi. Jadi pengungkapan informasi
sosial berhubungan positif dengan kinerja sosial, kinerja ekonomi dan
visibilitas politis. Sedangkan biaya kontrak dan pengawasan berhubungan
negatif terhadap pengungkapan informasi sosial.
Teori Stakeholder menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas
yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun juga harus
14 konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analisis, dan pihak lain). Para
stakeholder mulai melihat perusahaan, apakah bertanggungjawab atau tidak
atas operasi usahanya. Pengungkapan sosial pun mulai jadi bahan
pertimbangan bagi investor untuk berinvestasi di suatu perusahaan. Investor
perlu mengetahui tanggungjawab sosial yang dilakukan perusahaan untuk
menghindari dampak yang timbul dikemudian hari sebagai akibat kurangnya
tanggungjaab sosial terhadap lingkungan disekitarnya. Gray, Kouhy dan
Adams (1994 P.53) dalam Chairiri menyatakan:
Kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada stakeholder, dan
dukungan itu harus dicari, sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk
mencari dukungan tersebut. Semakin powerfull stakeholder semakin besar
usaha perusahaan untuk berdaptasi. Pengungkapan sosial dianggap sebagai
media komunikasi antara perusahaan dengan stakeholdernya.
Tujuan pengungkapan menurut Securities Exchange Commision
(SEC) dikategorikan menjadi dua yaitu propective disclosure yang
dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap investor dan informative
disclosure, yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada
pengguna laporan (Wolk, Francis, Dan Tearay dalam Sitepu, 2008).
Sedangkan Belkaoui (2006) mengemukakan ada enam tujuan pengungkapan,
yaitu:
1. Untuk menguraikan hal-hal yang diakui dan memberikan pengukuran
yang relevan atas hal-hal tersebut di luar pengukuran yang digunakan
15
2. Untuk menguraikan hal-hal yang diakui dan untuk memberikan
pengukuran yang bermanfaat bagi hal-hal tersebut.
3. Untuk memberikan informasi yang akan membantu investor dan kreditor
menilai resiko dan potensial dari hal-hal yang diakui dan tidak diakui.
4. Untuk menyediakan informasi yang penting yang memungkinkan para
pengguna laporan keuangan untuk melakukan perbandingan dalam satu
tahun dan di antara beberapa tahun.
5. Untuk memberikan informasi mengenai arus kas masuk atau keluar di
masa depan.
6. Untuk membantu para investor menilai pengembalian dari investasi
mereka.
2.1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial
Dalam penelitian ini karakteristik perusahaan yang mempengaruhi
pengungkapan informasi sosial diproksikan dalam ukuran dewan komisaris,
financial leverage, ukuran perusahaan, profitabilitas dan umur perusahaan.
1. Ukuran Dewan Komisaris
Ukuran dewan komisaris adalah jumlah anggota dewan komisaris.
Berkaitan dengan ukuran dewan komisaris, Coller dan Gregory (1999)
dalam Sitepu (2008) menyatakan bahwa “semakin besar jumlah anggota
dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO
16 pengungkapan tanggung jawab sosial, maka tekanan terhadap manajemen
juga akan semakin besar untuk mengungkapkannya”.
Dewan komisaris merupakan wakil shareholder dalam entitas bisnis
yang berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang berfungsi mengawasi
pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan oleh manajemen (direksi), dan
bertanggung-jawab untuk menentukan apakah manajemen memenuhi
tanggung jawab mereka dalam mengembangkan dan menyelenggarakan
pengendalian intern perusahaan (Mulyadi, 2002).
Dengan wewenang yang dimiliki, dewan komisaris dapat memberikan
pengaruh yang cukup kuat untuk menekan manajemen agar mengungkapkan
informasi Sosial lebih banyak, sehingga dapat dijelaskan bahwa perusahaan
yang memiliki ukuran dewan komisaris yang lebih besar akan lebih banyak
mengungkapkan sosial . Sebagai wakil dari prinsipal di dalam perusahaan,
dewan komisaris dapat mempengaruhi luasnya pengungkapan tanggung
jawab sosial, karena dewan komisaris merupakan pelaksana tertinggi didalam
entitas. Dengan mengungkapkan tanggung jawab sosial perusahaan, maka
image perusahaan akan semakin baik (Gray et al., 1988 dalam Marzully
2012)
2. Financial Leverage
Leverage adalah perbandingan antara dana-dana yang dipakai untuk
membelanjai perusahaan atau perbandingan antara dana yang diperoleh dari
ekstern perusahaan (dari kreditur-kreditur) dengan dana yang disediakan
17 “Rasio leverage merupakan proporsi total utang terhadap ekuitas
pemegang saham. Rasio tersebut digunakan untuk memberikan gambaran
mengenai struktur modal yang dimiliki perusahaan, sehingga dapat dilihat
tingkat resiko tak tertagihnya suatu utang” (Sitepu, 2008). Financial Leverage
digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajibannya terhadap pihak lain.
Semakin tinggi financial leverage, kemungkinan akan membuat
perusahaan mengalami pelanggaran terhadap kontrak utang, maka manajer
akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih besar dibandingkan laba
di masa depan. Menurut Belkaoui & Karpik (1989), “dengan semakin tinggi
financial leverage (rasio utang/ekuitas) semakin besar kemungkinan
perusahaan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan
berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi”. Supaya laba yang
dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya termasuk
biaya untuk mengungkapkan informasi sosial.
3. Ukuran perusahaan
Ukuran perusahaan dapat diartikan sebagai suatu skala dimana dapat
diklasifikasikan bersar kecil perusahaan dengan berbagai cara antara lain
dinyatakan dalam total aktiva, nilai pasar saham dan lain-lain.
Ukuran perusahaan merupakan variabel yang banyak digunakan untuk
menjelaskan pengungkapan sosial yang dilakukan perusahaan dalam laporan
tahunan. Perusahaan yang lebih besar mungkin akan memiliki lebih banyak
18 dikarenakan tuntutan dari para pemegang saham dan para analis pasar modal
(Gunawan, 2000).
Jensen dan Meckling (1976), dalam agency theory menyatakan bahwa
perusahaan besar memiliki biaya keagenan yang lebih besar daripada
perusahaan kecil, sehingga konsekuensinya, perusahaan besar didorong untuk
mengungkapkan lebih banyak tentang informasi voluntary, seperti intellectual
capital, untuk mengurangi biaya keagenan yang dikeluarkan.
Ukuran perusahaan yang besar menunjukkan perusahaan mengalami
perkembangan sehingga investor akan merespon positif dan nilai perusahaan
akan meningkat (Sujoko dan Soebiantoro, 2007) dalam Felicia dan Supatmi,
di samping itu juga mendapat sorotan publik yang lebih disbanding perusahan
kecil (Cooke, 1992), sehingga perusahaan besar dimungkinkan lebih banyak
memiliki intellectual capital dan akan lebih banyak mengungkapkan informasi
mengenai intellectual capital di dalam laporan tahunan.
Menurut Marpaung (2009), “secara umum perusahaan besar akan
mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Hal ini
karena perusahaan besar akan menghadapi resiko politis yang lebih besar
dibanding perusahaan kecil”. Perusahaan besar pasti akan menghadapi
persaingan ketat dari perusahaan besar lainnya. Hal tersebut menekan
perusahaan untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas, inovatif, dan
sesuai dengan kebutuhan konsumen. Selain itu, untuk mendukung
19 tanggungjawab sosialnya agar kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan
tetap terjaga.
Ukuran perusahaan ikut menentukan tingkat kepercayaan investor.
Semakin besar perusahaan, semakin dikenal masyarakat yang berarti semakin
mudah untuk mendapatkan informasi mengenai perusahaan, karena
perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung mendapat pengawasan dari
masyarakat dan memiliki public demand akan informasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perusahaan kecil sehingga akan mengungkapkan lebih
banyak informasi. Kemudahan dalam mendapatkan informasi akan
meningkatkan kepercayaan investor dan mengurangi faktor ketidakpastian.
4. Profitabilitas
Menurut Marpaung (2009) “profitabilitas yaitu mengukur kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba”. Ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk menghitung rasio profitabilitas, antara lain rasio margin laba
kotor; rasio margin laba bersih; rasio pengembalian aktiva; rasio
pengembalian atas ekuitas; earning per share ; basic earning power ;
contribution margin ; dan productivity ratio.
Hackston & Milne (1996) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan
antara tingkat profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial,
sedangkan Belkaoui & Karpik (1989) mengatakan bahwa dengan
kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) manajemen menghendaki untuk
membuat perusahaan menjadi profitable. Apabila perusahaan semakin
20 masyarakat terhadap perusahaan akan semakin meningkat. Oleh sebab itu,
masyarakat yang menjadi konsumen yang akan membeli maupun
menggunakan produk yang dihasilkan perusahaan menjadi lebih percaya
kepada perusahaan sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan apabila
konsumen juga bertambah.
Menurut Sembiring (2005) dalam Sirait (2011):
Penelitian ilmiah terhadap hubungan profitabilitas dan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan memperlihatkan hasil yang sangat beragam. Akan tetapi Donovan dan Gibson (2000) menyatakan bahwa berdasarkan teori legitimasi, salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan tingkat pengungkapan tanggung jawab social adalah bahwa ketika perusahaan memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan (manajemen) menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi tentang sukses keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan membaca ”good news” kinerja perusahaan, misalnya dalam lingkup sosial, dan dengan demikian investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa profitabilitas mempunyai hubungan yang negatif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab social perusahaan.
5. Umur perusahaan
Widiastuti (2002) dalam Felicia dan Supatmi (2011) menyatakan bahwa
umur perusahaan dapat menunjukkan bahwa perusahaan tetap eksis dan
mampu bersaing. Umur perusahaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah lamanya perusahaan mulai listing (first issue) di Bursa Efek Indonesia
(BEI) hingga tahun terjadi penelitian.
Menurut Marwata (2001), perusahaan yang berumur lebih tua memiliki
21 informasi mengenai perusahaan. Oleh karena itu, older firms akan cenderung
mengungkapkan informasi yang lebih lengkap, termasuk intellectual capital
disclosure, karena pengungkapan informasi yang rinci dapat memberikan
nilai tambah bagi perusahaan sehingga dapat menarik perhatian masyarakat
luas. Namun sebaliknya, menurut Barnes dan Walker, 2006 (dalam Felicia
dan Supatmi, 2011) perusahaan yang umur listing-nya di bursa efek lebih
muda akan berupaya untuk mendapatkan tambahan modal dengan semakin
banyak mengungkapkan informasi perusahaan termasuk intellectual capital.
Pernyataan ini membuktikan bahwa salah satu manfaat yang didapatkan dari
mengungkapkan informasi intellectual capital adalah biaya modal yang
rendah.
Penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2009) menyatakan bahwa umur
perusahaan bukanlah merupakan variabel prediktor yang baik dalam
pengungkapan intellectual capital. Begitu juga dengan penelitian Amalia
(2005), yang menyatakan bahwa umur perusahaan tidak berpengaruh
signifikan terhadap luas pengungkapan informasi sukarela yang dilakukan.
Namun penelitian Susanto (dalam Amalia, 2005) terhadap 98 perusahaan
yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta tahun 1990 menemukan bahwa umur
perusahaan berpengaruh signifikan terhadap luas pengungkapan informasi
22 2.2. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Tinjauan Penelitian Terdahulu
Nama Penelitian
Judul Penelitian Variabel Peneltian Hasil Penelitian Marpaung (2009) Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan sosial (social disclosure) dalam laporan keuangan tahunan. Variabel Independen:
- Kepemiliki Saham - Financial Leverage. - Profitabilitas. - Ukuran Perusahaan. - Umur Perusahaan.
Variabel Dependen: Pengungkapan Sosial.
- Kepemilikan saham,
Profitabilitas, Ukuran perusahaan, Umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sosial. - Financial leverage berpengaruh
signifikan terhadap pengungkapan sosial.
Sitepu (2009) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi sosial dalam laporan tahunan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta
Variabel Independen:
- Ukuran Dewan
Komisaris
- Tingkat Leverage
- Ukuran
Perusahaan - Profitabilitas
Variabel Dependen: Pengungkapan Informasi Sosial
- Variabel ukuran dewan
komisaris dan profitabilitas memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlah informasi sosial yang diungkapkan.
- Sedangkan tingkat leverage dan ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlah informasi sosial yang diungkapkan
Sirait (2011) Analisis Faktor-Faktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi sosial dalam laporan tahunan perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia
Variabel Independen: - Ukuran dewan
komisaris.
- Financial Leverage. - Ukuran Perusahaan. - Profitabiltas.
Variabel Dependen: Pengungkapan informasi sosial.
- Ukuran dewan komisaris,
Financial leverage,
Profitabilitas perusahaan tidak berpengaruhi signifikan terhadap pengungkapan informasi sosial perusahaan.
- Ukuran perusahaan
23 Marpaung (2009) melakukan penelitian yang mempengaruhi
pengungkapan sosial dalam laporan keuangan perusahaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara parsial kepemilikan saham, profitabilitas, ukuran
perusahaan dan umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap
pengungkapan sosial, sementara financial leverage berpengaruh signifikan
terhadap pengungkapan social. Dan secara simultan, kepemilkan saham, financial
leverage, profitabilitas, ukuran perusahaan dan umur perusahaan secara
bersama-sama tidak berpengaruh signifikan terhadap pengungkapan sosial.
Penelitian yang dilakukan Sitepu (2009) berusaha meneliti yang
mempengaruhi pengungkapan informasi sosial dalam laporan keuangan
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara parsial ukuran dewan komisaris dan profitabilitas
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap informasi sosial yang diungkapkan,
sedangkan tingkat leverage dan ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh
signifikan terhadap informasi sosial yang diungkapankan. Dan secara simultan,
ukuran dewan komisaris, profitabilitas, tingkat leverage dan ukuran perusahaan
memilki kemampuan mempengaruhi jumlah informasi sosial yang diungkapkan
dalam laporan tahunan perusahaan manufaktur.
Penelitian Sirait (2011) meneliti pengaruh ukuran dewan komisaris,
financial leverage, ukuran perusahaan dan profitabilitas terhadap pengungkapan
informasi sosial dalam laporan keuangan perusahaan perbankan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara parsial, ukuran dewan komisaris, financial leverage,
24 sedangkan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap pengungkapan informasi
sosial. Dan secara simultan, ukuran dewan komisaris, financial leverage,
profitabilitas dan ukuran perusahaan memilki kemampuan berpengaruh terhadap
pengungkapan informasi sosial.
2.3. Kerangka konseptual
Menurut Erlina (2008:38) ”kerangka teoritis adalah suatu model yang
menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang
telah diketahui dalam suatu masalah tertentu”. Kerangka konseptual akan
menghubungkan variabel independen dengan variabel dependen. Begitu juga
apabila ada variabel lain yang menyertai, maka peran variabel tersebut harus
dijelaskan.
Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah
penting. Kerangka konseptual merupakan sintesis atau ekstrapolasi dari kejadian
teori yang mencerminkan keterkaitan antara variabel yang diteliti dan merupakan
tuntuan untuk memecahkan masalah penelitian serta merumuskan hipotesis dan
sebagai tempat peneliti untuk memberikan penjelasan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan variabel ataupun masalah yang ada dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, yang merupakan variabel independen adalah ukuran
dewan komisaris, financial leverage, ukuran perusahaan dan umur perusahaan.
Sedanagkan yang menjadi variable dependen adalah pengungkapan informasi
25 Berdasarkan landasan teori dan timjauan penelitian terdahlu kerangka
konseptual dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Menurut Coller dan Gregory dalam Sirait (2011), ada hubungan positif
antara ukuran dewan komisaris dengan jumlah informasi sosial yang diungkapkan
perusahaan. Tekanan terhadap manajemen untuk mengungkapkan informasi sosial
akan bertambah besar dengan semakin besarnya ukuran dewan komisaris. Hal ini
terjadi karena dengan semakin banyaknya anggota dewan komisaris, akan
semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitoring yang dilakukan akan
semakin efektif.
PENGUNGKAPAN INFORMASI
SOSIAL
(Y) Ukuran Dewan Komisaris
Umur Perusahaan Profitabilitas Ukuran Perusahaan Financial Leverage
H1
H3
H4
H5 H2
26 Teori agensi menyatakan bahwa semakin besar suatu perusahaan, maka
biaya keagenan yang muncul juga semakin besar. Untuk mengurangi biaya
keagenan tersebut, perusahaan akan cenderung mengungkapkan informasi yang
lebih luas (Marpaung, 2009). Penelitian Belkaoui dan Karpik (1989) menemukan
hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan informasi
sosial.
Dalam teori keagenan, diprediksi bahwa perusahaan yang memiliki
financial leverage tinggi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena
biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi.
Semakin tinggi financial leverage maka semakin besar kemungkinan terjadinya
pelanggaran perjanjian kredit sehingga manajemen perusahaan akan melaporkan
laba sekarang lebih tinggi. Schipper (1981) dalam Sitepu (2008) berpendapat
bahwa tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang
obligasi terhadap dipenuhinya hak-hak mereka sebagai kreditur.
Donovan dan Gibson (2000) dalam Marpaung (2009) menyatakan bahwa
dalam teori legitimasi, salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas
dan tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial adalah bahwa ketika perusahaan
memiliki tingkat laba yang tinggi, perusahaan (manajemen) menganggap tidak
perlu melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi tentang sukses
keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada saat tingkat profitabilitas rendah, mereka
berharap para pengguna laporan akan membaca ”good news” kinerja perusahaan,
27 profitabilitas mempunyai hubungan yang negatif terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial perusahaan.
Penelitian Suhardjanto dan Wardhani (2009) menyatakan bahwa umur
perusahaan bukanlah merupakan variabel prediktor yang baik dalam
pengungkapan intellectual capital. Begitu juga dengan penelitian Amalia (2005),
yang menyatakan bahwa umur perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap
luas pengungkapan informasi sukarela yang dilakukan. Namun penelitian Susanto
(dalam Amalia, 2005) terhadap 98 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek
Jakarta tahun 1990 menemukan bahwa umur perusahaan berpengaruh signifikan
terhadap luas pengungkapan informasi sukarela yang dilakukan.
2.4. Hipotesis
Menurut Erlina (2008:49) ”hipotesis adalah proposisi yang dirumuskan
dengan maksud untuk diuji secara empiris”. Hipotesis menyatakan hubungan yang
diduga secara logis antara dua variabel atau lebih dalam rumusan proposisi yang
dapat diuji secara empiris.
Sementara Menurut Idrus (2009:18), hipotesis adalah dugaan sementara
terhadap permasalahan yang sedang diteliti. Hipotesis merupakan saran penelitian
ilmiah karena hipotesis adalah instrumen kerja dari suatu teori dan bersifat
spesifik yang siap diuji secara empiris (Idrus, 2009:18). Jadi, hipotesis merupakan
suatu rumusan yang menyatakan adanya hubungan tertentu antardua variabel atau
lebih. Hipotesis ini bersifat sementara, dalam arti dapat diganti dengan hipotesis
28 persyaratan dalam merumuskan suatu hipotesis menurut Idrus (2009:53) antara
lain sebagai berikut :
1. Dirumuskan dalam kalimat berita.
2. Tidak bermakna ganda dan
3. Dirumuskan secara operasional. Dengan pengertian bahwa hipotesis sebaiknya
ditulis sealur dengan rumusan masalah yang ada, karena hipotesis merupakan
jawaban sementara atas rumusan masalah yang ada diteliti.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan diatas, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah :
H1 : Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap Pengungkapan
Informasi Sosial.
H2 : Financial Leverage berpengaruh positif terhadap Pengungkapan Informasi
Sosial.
H3 : Ukuran Perusahaan berpengaruh positif terhadap Pengungkapan Informasi
Sosial.
H4 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap Pengungkapan Informasi Sosial.
H5 : Umur Perusahaan berpengaruh positif terhadap Pengungkapan Informasi
Sosial.
H6 : Ukuran Dewan Komisaris, Financial Leverage, Ukuran Perusahaan,
Profitabilitas dan Umur perusahaan berpengaruh positif secara simultan