• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II:

PENGATURAN KONSEP HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Sejarah Perkembangan Restitusi dan Pengaturannya Dalam Hukum

Internasional

Restitusi dalam kontek hubungannya dengan pelaku merupakan suatu perwujudan dari resosialisasi tanggung jawab sosial dalam diri si pelaku . Restitusi dalam hal ini bukan terletak pada kemanjurannya membantu korban, namun berfungsi sebagai alat untuk lebih menyadarkan pelaku atas perbuatan pidana (akibat perbuatannya) kepada korban.69

Restitusi di negara-negara maju terutama di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia dan New Zealand telah disahkan sebagai salah satu jenis pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Karena itu, restitusi telah dapat diterapkan di negara-negara tersebut, dan yang paling awal melaksanakan adalah negara New Zealand mulai tahun 1963.70

69

Disadur dari Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana,”

Majalah Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992. Hal 44-45. 70

Stephen Schafer dalam Zul Akrial,

(2)

Restitusi merupakan bagian dari bentuk pemulihan hak atas korban atau yang biasa disebut dengan istilah reparasi . Hal ini telah berkembang sejak lama bahkan ketika belum dikenal adanya hukum HAM internasional. Hak atas pemulihan ini biasanya diterapkan pada kasus perang antar negara- lazimnya bersifat bilateral di mana negara pelaku diharuskan membayar kerugian perang bagi negara yang diserang. Contoh kasusnya ialah Traktak Versailles (1919) setelah Perang Dunia I, yang membuat Jerman dan negara porosnya harus membayar kepada negara-negara lawannya.71

Reparasi berasal dari bahasa Inggris reparation, yang telah berkembang sebagai kata yang cukup produktif sejak ratusan tahun yang lalu. Kata reparation (Inggris) berasal dari bahasa latin reparare yang masuk melalui bahasa Prancis kuno reparer yang memiliki arti suatu tindakan ganti rugi atau kompensasi. Bahasa Inggris modern kata reparation memiliki padanan kata kerja to repair yang artinya memperbaiki dan memiliki etimologi agak berbeda dengan kata reparation di atas. Padanan lainnya ialah kata repatriation, yang artinya merupakan suatu tindakan mengembalikan seseorang ke tempatnya sendiri, terlepas tempat tersebut merupakan tanah kelahirannya atau bukan. Pada prinsipnya kata reparation mengacu kepada upaya pemulihan atau pengembalian suatu kondisi atau keadaan semula, sebelum terjadinya suatu kerusakan.72

71

Disadur dari

tanggal 4 Juli 2012, pukul 21.55 WIB. 72

(3)

Hukum HAM internasional mengakui bahwa kejahatan kemanusiaan masuk dalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Terhadap terjadinya kejahatan ini memunculkan kewajiban negara untuk memberikan pemulihan terhadap korban. Kewajiban untuk memberikan pemulihan kepada korban merupakan tanggung jawab negara yang telah terangkai dalam berbagai instrumen hak asasi dan ditegaskan dalam putusan-putusan (yurisprudensi) komite-komite hak asasi manusia internasional maupun regional. Kewajiban yang diakibatkan oleh pertanggungjawaban negara atas pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional memberikan hak kepada individu atau kelompok yang menjadi korban dalam wilayah negara itu untuk mendapatkan penanganan hukum yang relatif dan pemulihan yang adil, sesuai dengan hukum internasional.73

Kewajiban untuk memberikan reparasi kepada korban merupakan kewajiban yang tidak perlu dikaitkan dengan ada atau tidaknya proses yudisial (pegadilan). Artinya bahwa reparasi kepada korban pelanggaran HAM berhak mendapatkan pemulihan baik ada pelaku yang dibawa kepengadilan atau tidak. Hal ini sejalan dengan defenisi korban pelanggaran HAM bahwa seseorang itu dapat dianggap sebagai korban, tanpa peduli apakah pelakunya itu berhasil di identifikasikan atau tidak, ditangkap atau tidak, dituntut atau tidak, dan tanpa mempedulikan tentang hubungan persaudaraan antara si korban dengan si pelaku. Berdasarkan hukum internasional korban itu menjadi korban apabila haknya dilanggar. Ketika kejahatan

73

(4)

atau kekerasan tersebut dilakukan maka pada saat itulah orang tersebut memperoleh status sebagai korban.

Sub Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minoritas, dalam sidangnya ke 41 dan atas dasar resolusinya nomor 1989/33, mempercayakan Theo Van Boven untuk bertugas melakukan studi atau kajian tentang hak-hak korban pelanggaran HAM berat ( gross violation of human rights) menyangkut hak atas restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Studi Van Boven ini kemudian berujung pada sebuah prinsip dasar hak atas korban atas pemulihan Basic principles and Guidelines on the right to a remedy and reparation for victims of gross violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law, (Human Rights Resolution 2005/35).74

Ketentuan dalam Basis and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparatioan for Victims of Violations of International Human Rights and Humanitarian Law dinyatakan bahwa para korban diberi lima hak reparasi yaitu:75

a. Restitusi b. Kompensasi c. Rehabilitasi

d. Kepuasan ( Satisfaction)

e. Jaminan Ketidakberulangan ( non reccurence)

74

Kontras. Negara Wajib Pulihkan Korban ,bagian II, hal 54. 75

(5)

Menurut Van Boven hak-hak para korban tersebut menunjukan kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrument- instrument hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia.76

Bentuk-bentuk reparasi tersebut dirinci secara detail dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan ketidakberulangan. Restitusi misalnya ganti rugi atas hak milik atau juga nama baik dari si korban. Kompensasi merujuk pada bentuk uang bagi kerugian- kerugian. Rehabilitasi di dalamnya termasuk jasa medis atau juga jasa psikologis. Tindakan-tindakan untuk memuaskan ( Satisfaction) termasuk di dalamnya adalah pengakuan oleh publik bahwa ini memang merupakan tanggungjawab negara dan juga permintaan maaf secara umum yang dilakukan oleh pejabat dalam jabatan yang cukup tinggi. Jaminan bahwa ini tidak akan terulang lagi atau non repetisi dengan adanya reformasi tertentu dalam hukum dan regulasi.

Deklarasi PBB telah menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal menyangkut korban kejahatan sebagai berikut:77

1. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil (Access to justice and fair treatment);

76

Theo Van Boven, Op.Cit, hal xv. 77

(6)

2. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada korban, keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku;

3. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan (compensation) financial kepada korban, keluarganya atau mereka yang menjadi tanggungan korban;

4. Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui negara, sukarelawan, masyarakat (assistance).

Tabel 1.

Perbedaan Bentuk Reparasi Kepada Korban Berdasarkan Instrumen Internasional 78

No Hal Bentuknya

1 Restitusi Haruslah diberikan untuk menegakkan kembali, sejauh mungkin, situasi yang ada bagi korban sebelum terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Restitusi mengharuskan, antara lain, pemulihan kebebasan, kewarganegaraan atau tempat tinggal, lapangan kerja.

2 Kompensasi Kompensasi akan diberikan untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya, yang timbul dari pelanggaran HAM seperti:

1. Kerusakan Fisik dan mental

2. Kesakitan, penderitaan dan tekanan batin 3. Kesempatan yang hilang, termasuk pendidikan 4. Hilangnya mata pencaharian dan kemampuan

mencari nafkah

5. Biaya medis dan biaya rehabilitasi lain yang masuk akan termasuk keuntungan yang hilang 6. Kerugian terhadap reputasi dan martabat

7. Biaya dan bayaran yang masuk akal untuk

78

(7)

bantuan hukum atau keahlian untuk memperoleh suatu pemulihan

8. Kerugian terhadap hak milik usaha, termasuk keuntungan yang hilang.

3 Rehabilitasi Haruslah disediakan yang mencakup: 1. Pelayanan Hukum

2. Psikologis, perawatan medis dan pelayanan atau perawatan lainnya

3. Tindakan untuk memulihkan martabat dan reputasi (nama baik) sang korban.

4 Jaminan kepuasan dan

ketidakberulangan

Tersedianya atau diberikannya kepuasan dan jaminan bahwa perbuatan serupa tidak akan terulang lagi di masa depan dengan mencakupi:

1. Dihentikannya pelanggaran yang berkelanjutan 2. Verifikasi fakta-fakta dan pengungkapan

kebenaran sepenuhnya secara terbuka

3. Keputusan yang diumumkan demi kepentingan korban

4. Permintaan maaf, temasuk pengakuan di depan umum mengenai fakta-fakta dan penerimaan tanggung jawab

5. Diajukannya ke pengadilan orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran

6. Peringatan dan pemberian hormat kepada para korban

7. Dimasukannya suatu catatan yang akurat mengenai pelanggaran HAM dalam kurukulum dan bahan-bahan pendidikan

8. Mencegah berulangnya pelanggaran dengan cara seperti:

a. Memastikan pengendalian sipil yang efektif atas militer dan pasukan keamanan

b. Membatasi yurisdiksi mahkamah militer

c. Memperkuat kemandirian bahan peradilan, melindungi profesi hukum dan para pekerja HAM

(8)

Studi Van Boven bertujuan untuk mengeksplorasi kemungkinan mengembangkan beberapa prinsip dan panduan hak-hak tersebut. Studi tersebut kemudian disempurnakan lagi oleh pelapor khusus M. Cherif Bassiouni pada tahun 2000. Kedua studi ini dilakukan atas pengalaman kasus-kasus di berbagai negara dan mendapatkan masukan dari berbagai pemerintah dan organisasi non negara. Hak atas pemulihan di beberapa negara juga telah dipraktikkan, baik dalam sistem dan mekanisme judisial maupun non judisial. Hal ini bisa terlihat dengan dibentuknya beberapa komisi pemulihan hak atas korban di berbagai negara. Upaya pemulihan yang dilakukan ini sebisa mungkin harus mengembalikan keadaan korban ke dalam situasi sebelum kejadian (kerugian) tersebut berlangsung atau keadaan bila tindakan kerugian tersebut tidak terjadi.79

Prinsip sederhana tersebut konsep pemulihan hak atas korban kemudian mengalami perkembangan yang lebih rumit seiring dengan upaya pendalaman problem korban pelanggaran HAM. Hingga saat ini pemulihan hak atas korban merupakan salah satu prinsip mendasar dalam hukum internasional, sebagaimana dinyatakan pada Pengadilan Internasional Permanen untuk kasus Chorzow Factory (Jerman Vs Polondia), 1928: “ It is a prinsiple of international law that the breach of an engagement involves an abligation to make reparation in an adequate form.80

79

Lihat hasil Keputusan Permanent Court of Arbitration, kasus Chorzow Factory ( Jerman VS Polondia), 1928, Konsepsi tentang ganti rugi pada kasus ini dianggap menjadi landasan bagi praktek hak atas pemulihan dalam konteks hukum Internasional dan HAM.

80

(9)

Pemulihan hak atas korban memiliki beberapa ketentuan pokok yang penting:81

Pertama, korban didefinisikan sebagai orang-orang yang secara individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk kerugian akibat kekerasan secara fisik dan mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau gangguan mendasar atas hak-hak dasarnya, melalui tindakan atau pembiaran yang merupakan pelanggaran berat terhadap hukum hak asasi manusia, atau pelanggaran serius hukum humaniter internasional.

Istilah korban juga mencakup keluarga atau tanggungan dari korban langsung dan orang-orang yang mengalami kerugian dalam melakukan pendampingan atau bantuan kepada korban dalam keadaan susah atau dalam mencegah tindakan viktimisasi. Seseorang harus dianggap sebagai korban tanpa menghiraukan apakah para pelaku pelanggaran bisa diidentifikasi, ditangkap, dituntut, atau divonis dan tanpa menghiraukan hubungan kekeluargaan antara pelaku dan korban. Pemberian pemulihan pada korban tidak boleh bersifat diskriminatif, entah karena alasan rasial, agama, jenis kelamin, latar belakang sosial atau politik, dan sebagainya.

Kedua, hakekat (nature) korban tidak bergantung pada situasi pelaku, baik itu pelaku lapangan langsung maupun pelaku yang terikat pada tanggung jawab komando. Hak korban juga tidak bergantung pada nasib pelaku, baik karena tidak bisa diidentifikasi atau gagal diajukan ke muka pengadilan. Hak korban semata-mata

81

Basic principles and guidelines on the right to a remedy and reparation for victims of gross violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law,

(10)

berhubungan dengan kondisi di mana seseorang sudah dirampas haknya pada suatu peristiwa pelanggaran HAM. Hak korban atas pemulihan merupakan hak yang tidak bisa dipisahkan (inalieanable right) dari korban itu sendiri. Negara harus menyediakan pemenuhan efektif hak atas pemulihan baik lewat upaya yudikatif (pengadilan), legislatif, atau administratif. Untuk kategori pelanggaran HAM-berat, hak atas pemulihan bersifat nonderogable dan kegagalan pemenuhannya merupakan suatu impunitas.

Ketiga, pemberian pemulihan pada korban harus proporsional terhadap tingkat beratnya kejahatan dan kerugian yang diderita yang mencakup restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan non-repetisi. Bentuk pemulihan ini bisa dalam hal kompensasi material, pemulihan kondisi fisik dan psikis/moral, dan rehabilitasi status sosial dan politik. Negara harus berusaha membentuk program nasional bagi pemulihan dan bantuan lainnya kepada para korban, di mana pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban tersebut tidak mampu atau tidak mau memenuhi kewajibannya.

(11)

Abuse of Power, Declaration on Enforced Dissapearance, Declaration on Violance against Women, Principles on Extra-legal Arbitrary and Summary Executions, Draft Basic Prinsciples and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation, Draft Articles on the Responsibillity of States for Internationall Wrongful Acts, General Comment 29 on State of Emergency Human Rights Committee, Istanbul Protocol, Study on the Right to R e s t i t u t i o n Compensation and Rehabilitation, Set of principles for the protection and promotion of human rights through action to combat impunity (Joinet Principles), Basic principles and guidelines on the right to a remedy and reparation for victims of gross violations of international human rights law and serious violations of international humanitarian law (Bassiouni Principles). Substansi isi dari masing-masing instrument internasional tersebut mengandung makna bahwa negara memiliki kewajiban untuk mengambil langkah bahwa setiap orang yang menjadi korban pelanggaran untuk mendapatkan pemulihan yang efektif dan adanya jaminan bahwa negara berwenang untuk menegakkan hukum. Negara juga wajib menjamin setiap individu untuk dilindungi dari perlaku buruk dan intimidasi, korban wajib memperoleh ganti rugi, kompensasi dan rehabilitasi kerugian mencakup kerusakan material atau moral.82

Merujuk pada hukum internasional hak atas pemulihan ini atau reparasi adalah bentuk pemulihan yang menunjuk pada semua tipe pemulihan baik materil maupun immaterial bagi korban. Pemulihan atau reparasi yang dimaksud adalah kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Pemulihan dengan demikian merupakan bentuk

82

(12)

umum dari berbagai bentuk pemulihan kepada korban. Semangat perjuangan reparasi ini adalah bentuk usaha memperbaiki masa lalu dan menetapkan norma-norma untuk masa depan.

B.Sejarah Restitusi Dan Pengaturannya Di Indonesia

Sejarah restitusi awalnya dapat dilihat pada hukum Hamurabi yang memfokuskan bagaimana supaya pelaku tindak pidana dapat dihukum sesuai dengan tindak pidana yang terbukti dilakukannya. Hubungan antara korban dengan pelaku beserta keluarganya sangat dominan dalam proses penyelenggaraan hukuman balas dendam. Pelaksanaan hukum Hamurabi ini menghadapi kendala manakala si pelaku atau keluarganya mempunyai kedudukan tinggi dan berkekuatan mempertahankan diri, maka pembalasan dendam tidak berjalan malah berubah menjadi perlawanan oleh pelaku terhadap si korban. Kedudukan korban disini malah menjadi tidak mendapat perlindungan hukum dan keadilan yang seharusnya, maka dicarilah jalan keluar sebagai alternatif dengan restitusi jika sifatnya ke arah privat atau kompensasi jika sifatnya ke arah publik.83

Sejarah hukum di Indonesia mengenai penggunaan istilah restitusi awalnya hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah” ganti kerugian”, hal ini dapat dijumpai dalam berbagai kitab undang-undang hukum yang ada di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah berasal dari Zaman Majapahit, ialah yang disebut”

perundang-83

(13)

undangan Agama”. Perundang-undangan ini terdapat pidana pokok berupa ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa.84

Perundang-undangan dari Majapahit tersebut, apabila diteliti, maka tampak adanya hubungan antara di pelaku dan korban, sebagaimana beberapa contoh dibawah ini:

Ketentuan ini sekarang tidak berlaku namun ada kecenderungan dari pembentuk undang-undang untuk menggali hukum asli dan menemukan nilai-nilai yang pernah ada dalam hukum aslinya.

85

Pasal 56 : Jika seorang pencuri mohon hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian (panglisyawa) kepada orang yang kena curi dengan cara mengembalikan segala milik yang diambilnya dua lipat.

Pasal 242 : Barang siapa naik pedati, kuda atau kendaraan apapun, jika melanggar atau menginjak orang sampai mati, ia sendiri atau saisnya dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa, ditambah uang ganti kerugian (pamidara) sebanyak delapan tali kepada pemilik orang yang terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang yang mati itu.

Pasal 19 : Barangsiapa membunuh wanita yang tidak berdosa, harus membayar untuk wanita yang bersangkutan dua lipat, dan dikenakan uang ganti kerugian (patukusyawa) empat kali.

84

Djoko Prakoso, Masalah Ganti Kerugian dalam KUHAP, ( Jakarta: Bina, 1987), hal 116. 85

(14)

Tanggung jawab pelaku terhadap kerugian atau penderitaan yang dialami oleh korban (sebagai akibat perbuatannya) ini, untuk beberapa perbuatan pidana yang terjadi dalam masyarakat, seringkali penyelesaiannya dilakukan atas dasar perdamaian antara kedua belah pihak. Cara penyelesaian seperti ini merupakan suatu realitas yang hidup di kalangan anggota masyarakat tertentu di Indonesia yang mendasarkan penyelesaian pada hukum adat. Mahmud Mulyadi menyatakan bahwa istilah ganti kerugian juga terdapat dalam kearifan lokal yang ada di masing-masing wilayah di Indonesia, bahwa faktor dominan untuk terjadinya kejahatan kekerasan dipengaruhi oleh watak masyarakat , contohnya apa yang ada di dalam Kitab Hukum Simbur Cahaya di Palembang dimana terdapat banyak delik adat yang dapat ditarik nilai-nilainya dalam proses legislasi untuk dijadikan upaya penanggulangan kejahatan kekerasan. Delik kesusilaan diatur dalam pada Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan Kawin menyatakan bahwa seorang laki-laki memegang seorang gadis atau janda dapat dikenakan sanksi adat dengan denda maksimal 12 ringgit dan tekap malu maksimal 8 ringgit.86

86

(15)

boleh dibunuh, melainkan kena hukuman denda sebesar 12 Ringgit dan aturan lainnya yang terkait dengan kearifan lokal .87

Undang-undang dan aturan pada uraian tersebut diatas menunjukkan bahwa korban yang mengalami penderitaan atau kepedihan yang di akibatkan oleh perbuatan si pelaku, oleh undang-undang tersebut diringankan dengan diberi kemungkinan penggantian kerugian. Apabila melihat pengertian ”korban” sebagaimana disebutkan dalam undang-undang tersebut, maka pengertian tersebut sangat luas, dan hal itu menimbulkan kesulitan dalam pemberian penggantian kerugian. Perlu diberi pembatasan siapakah dalam suatu perkara pidana di sebut ”korban” atau orang yang dirugikan itu.

Setiap orang yang menderita kerugian atau menjadi korban sebagai akibat dari tindakan orang lain, mempunyai hak untuk melakukan atau menuntut balas atas kerugian/penderitaan yang dialaminya dan masuk keranah hukum perdata. Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan hak dari seseorang yang dirugikan atau yang terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi kewajiban dari anggota masyarakat.88

Perkembangan lebih lanjut, diantara warga masyarakat timbul suatu kebutuhan atau hasrat untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan perseorangan itu, yaitu dengan suatu

87

Ibid, hal 227. 88

(16)

kesadaran, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan perseorangan itu sesungguhnya juga merupakan pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat. Sehingga untuk mengakhiri terjadinya balas dendam yang timbal balik atau berlakunya asas ius talionis (hukum balas membalas), diputuskanlah oleh warga masyarakat bahwa seseorang yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan orang lain itu, harus membayar ganti kerugian kepada orang yang dirugikan sekaligus juga kepada masyarakat. Hal ini, menurut L.H.C. Hulsman, telah berlangsung dari abad pertengahan sampai abad ketiga belas, dimana sebagian besar konflik-konflik antar manusia diselesaikan dalam rangka ganti rugi.89

Pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalah ganti rugi inipun mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut dihapuskan dan diganti dengan hukuman publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagi dijatuhkan (ditentukan) oleh perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah oleh masyarakat (negara). Demikian juga menurut S.R. Sianturi, “pada mulanya jumlah ganti rugi (denda) ini lebih banyak tergantung pada keinginan dari pihak yang dirugikan, kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa”.90

Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa pada mulanya, reaksi terhadap suatu pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan penderitaan pada pihak lain, sepenuhnya merupakan hak dari pihak yang dirugikan (korban) untuk menuntut balas. Efek samping dari tuntutan balasan ini, telah menimbulkan suatu keadaan,

89

Purwoto.S. Gandasubrata, Masalah Ganti rugi dalam perkara pidana , (Bandung : 1977), hal 116.

90

(17)

tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak korban, seringkali tidak setimpal dibandingkan dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku, hal ini terjadi sebagai akibat dari emosi yang berlebihan dari pihak korban. Dalam perkembangannya kemudian, akibat dari dendam yang sering tidak berkesudahan (talionis) ini, telah pula menimbulkan suatu keadaan, kerugian/penderitaan yang dialami oleh seseorang itu lambat laun dapat diganti dengan membayar sejumlah harta kepada korban.91

Pelanggaran yang terjadi itu tidak hanya merupakan hubungan (urusan) antara pelaku dan korban, melainkan pelaku pelanggaran dianggap juga telah mengganggu “keseimbangan” ketertiban dalam masyarakat, sehingga yang terjadi adalah juga gangguan dalam “keseimbangan” antara pelaku dan masyarakat.

Penerapan hukum pidana, dalam praktek ternyata mendapat gangguan terhadap keseimbangan ketertiban dalam masyarakat dan inilah yang lebih diperhatikan, sehingga masyarakat (negara) merasa sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut “balas” atau ganti rugi dari pelaku. Korban sendiri dalam hal ini kehilangan haknya untuk melakukan tindakan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Arif Gosita, secara berangsur-angsur negara mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan hukum dari pihak korban. Ini berakibat pada sentralisasi dalam sistem hukum pidana. Negara bertindak sebagai “wakil perdamaian” dalam masyarakat dan pihak korban. Situasi kongkrit “sebagai yang dirugikan” dan keadaan “perdamaian” yang memberikan perlindungan terhadap kerugian ini, kemudian diabstrahir menjadi

(18)

“tertib hukum.” Pengertian ini kemudian dijadikan yang utama. Suatu tindak pidana tidak lagi dilihat, terutama sebagai kerugian terhadap manusia yang terdiri atas jiwa dan raga, tetapi adalah sebagai “pelanggaran terhadap suatu tertib hukum.” Dengan kata lain, bahwa suatu tindak pidana bukanlah suatu perbuatan yang merugikan orang yang mempunyai darah, daging dan perasaan, akan tetapi adalah sebagai sesuatu yang melawan hukum, yaitu bertentangan dengan sesuatu yang abstrak yang dinamakan ketertiban hukum. 92

Menurut pendapat pakar hukum pidana Indonesia : Penetapan orang yang dirugikan itu di dasarkan atas asas-asas hukum perdata dan kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan seseorang yang oleh hukum pidana disebut ”si pembuat” (dader) dari suatu tindak pidana. Jadi dalam masalah ganti rugi dalam pidana harus di lihat dalam hubungannya dengan ”tiga serangkai” : delik (tindak pidana) pembuat korban. Masih pula harus di perhatikan, kerugian itu bersifat materiil dan immateriil. Penggantian kerugian bersifat materiil tidak menimbulkan masalah, tidak demikian dengan kerugian yang bersifat immateriil, yang berupa kesusahan, kecemasan, rasa malu dan sebagainya. Kerugian ini harus diganti dengan wujud uang. Dalam hukum perdata hal ini sudah biasa, disitu di kenal apa yang disebut uang duka.93

Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban saat ini dikaitkan dengan sistem restitusi sebagai bentuk pemulihan hak atas korban, sebagai bentuk perbaikan atas kerugian fisik, moral, harta benda dan hak-hak korban yang diakibatkan oleh tindak

92 Ibid.

93

(19)

pidana, restitusi di tuntut oleh korban agar di putus oleh di pengadilan dan jika diterima tuntutannya harus dibayar pelaku terhadap korban.

Restitusi ini menjadi relevan dalam konteks Indonesia setelah munculnya desakan dari berbagai kelompok masyarakat termasuk dari organisasi HAM dan para korban pelanggaran HAM agar negara membuat ketentuan atau hukum yang mengatur mekanisme pemulihan hak atas korban . Hal ini didasari oleh pandangan bahwa sepanjang puluhan tahun rejim militer berkuasa telah terjadi pelanggaran HAM dengan jumlah yang luar biasa, sementara nasib jutaan korban tidak pernah diperhatikan oleh negara.

C. Konsep Restitusi Ditinjau dari Sudut Viktimologi

Viktimologi adalah suatu ilmu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmu/ studi.94

Viktimologi merupakan ilmu mempelajari mengenai korban, sementara istilah Viktimologi itu sendiri pertama kali dilontarkan oleh seorang pengacara kelahiran Rumanias, Benjamin Mendelsohn ( 1947). Dalam sebuah makalahnya berjudul “ New

94

(20)

Bio-psycho-social Horizon; Victimology”95

Von Hentig memberikan kontribusi keilmuan melalui tulisannya pada 1941 berjudul “Remarks on the Interaction of Prepertator and Victim” dan “The Criminal and His Victim” (1948) yang memberikan gambaran hubungan antara Pelaku Kejahatan dengan Korbannya.

memberikan batasan mengenai korban dengan upaya pendekatan korban dari segi biologis, psikologis dan sosial, namun beberapa pakar memberikan kritik terhadap pendapat ini karena Mendelsohn dalam memberikan pendekatan masih menggunakan penelitian terhadap tindak pelanggaran (penjahat) yang mana masih menggunakan perspektif kriminologi yang dianggap sudah agak kuno.

96

Situasi dan kondisi baik fisik, fisikis dan mental korban yang labil dan lebih khususnya pada anak sering menjadi peluang dan kesempatan pelaku tindak pidana khususnya TPPO dalam melampiaskan niat jahatnya dengan mengiming-ngiming korban akhirnya menjerumuskan korban ke dunia prostitusi, pekerja paksa, meminta minta dijalanan dan sebagainya.Umumnya bila korbannya kelihatan lemah maka si pelaku akan lebih agresif.

Berdasarkan teori Criminal-Victim Relationship, maka keterlibatan korban akan berpengaruh pada tingkat kesalahan pelaku kejahatan. Lebih lanjut, tingkat kesalahan ini akan berpengaruh pula pada aspek pertanggungjawaban pidana. Maka

95

JE. Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal 9.

96

(21)

sebaliknya, seharusnya keterlibatan korban itu sendiri juga mempengaruhi aspek pelayanan dalam mewujudkan perlindungan terhadap kepentingannya.97

Manfaat dan tujuan viktimologi adalah untuk meringankan kepedihan dan penderitaan manusia di dunia. Penderitaan dalam artian menjadi korban jangka pendek dan jangka panjang yang berupa kerugian fisik, mental maupun moral, sosial, ekonomis, kerugian yang hampir sama sekali dilupakan, diabaikan oleh kontrol sosial yang melembaga, seperti penegak hukum, penuntut umum, pengadilan, petugas probation, pembinaan, pemasyarakatan dan sebagainya.98

Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi mengenai korban antara lain:99

1. Dengan viktimologi akan dapat diketahui siapa korban, hal-hal yang dapat menimbulkan korban, viktimisasi dan proses viktimisasi;

2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain;

3. Viktimologi memberikan keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan, pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau non struktural;

4. Viktimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat

97

Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita,Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya

(Jakarta: 1987), hal 135. 98

Apabila diteliti lebih lanjut, maka viktimologi mempunyai tujuan yang sama dengan Pancasila dalam pemgamalan pancasila. Oleh sebab itu, jelas dapat dikatakan bahwa victimologi mempunyai keselarasan dan keserasian tertentu dengan Pancasila, khususnya dalam usaha mencapai masyarakat yang adil dan makmur spiritual dan material, meningkatkan martabat manusia, baik bagi mereka yang melakukan dan atau yang menjadi korban suatu viktimisasi kriminal, mengusahakan manusia dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Ibid,hal 332.

99

(22)

penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan untuk keuntungan sendiri;

5. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal.

Kegunaan Viktimologi juga sangat bermanfaat bagi pihak penegak hukum antara lain : 100

1. Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek aspek lainnya yang terkait.

2. Bagi Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan.

3. Bagi hakim tidak hanya menempatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan

100

(23)

dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindak pidana, sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkritisasi dalam putusan hakim.

Kegunaan viktimologi tersebut diatas dikaitkan dengan keadilan adalah merupakan bentuk tanggung jawab yang harus dibebankan kepada pelaku atas kerugian baik materil maupun immaterial yang telah dialami korban sebagai perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak yang di akibatkan oleh tindak pidana yang telah dilakukan.

Perkembangan viktimologi hingga pada keadaan seperti sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami berbagai perkembangan yang dapat dibagi dalam tiga fase. Pada tahap pertama viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja, pada fase ini dikatakan sebagai” penal or spesial viktimology”. Sementara itu, fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut sebagai” general victimology.” Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan sebagai” new victimology”.101

Kehadiran Viktimologi secara keilmuan diharapkan mampu memberikan sudut pandang dan keberpihakan terhadap korban sehingga dapat meminimalisir penderitaan berlipat ganda yang dialami korban. Sesuai dengan fungsinya bahwa

101

(24)

viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi yang mempelajari masalah korban, penimbulan korban, serta sebab-akibat penimbulan korban, yang merupakan suatu masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.102

Viktimologi menuntut supaya pembuat kejahatan bertanggung jawab terhadap kerugian baik fisik, moril maupun nyawa korban, oleh karena itu dapat dijadikan dasar politik kriminal pada umumnya dan perlakuan terhadap korban serta keluarganya dan pembuat pada khususnya.103

Posisi korban kejahatan dalam setiap sistem penegakan hukum di negara Indonesia, ternyata masih ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan hak-haknya adalah kecil khususnya dalam memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang telah dialami korban.

Dimensi ganti rugi atas penderitaan korban dikaitkan dengan sistem restitusi, adalah berhubungan dengan perbaikan atau restorasi atas kerugian fisik, moril, harta benda dan hak-hak korban yang di akibatkan oleh tindak pidana. Karakter utama dari restitusi ini berindikasi pertanggungan jawab pembuat atas tuntutan tindakan restitutif yang bersifat pidana dalam kasus pidana.

102

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan ( Jakarta: Akademik Presindo, 1983), hal 44. 103

(25)

D. Pengaturan Konsep Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana

Perdagangan Orang Di Indonesia.

Hak restitusi bagi korban TPPO Orang harus dapat dinikmati oleh setiap orang yang bertempat tinggal di Indonesia yang dijamin oleh hukum sesuai dengan ciri Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan kepada korban harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara hal tersebut dapat kita lihat pada pasal 27 ayat 1 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Pasal tersebut menunjukan bahwa negara berkomitmen bahwa setiap warga negara harus diperlakukan baik dan adil sama kedudukannya di dalam hukum, juga dalam pengertian apakah dia seorang tersangka atau korban tindak pidana.

UUD 1945 Republik Indonesia menjamin masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan kepastian hukum berdasarkan pasal 28 D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

(26)

nilai Pancasila menjiwai seluruh keberadaan hukum di Indonesia, mulai dari UUD 45 hingga kepada peraturan perundang-undangan ke bawahnya.104

Setiap terjadi kejahatan maka dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian bagi korbannya. Korban kejahatan harus menanggung kerugian kejahatan, baik materil maupun immaterial, sedangkan penderitaan yang dialami oleh korban kejahatan hanya relevan untuk dijadikan instrumen penjatuhan pidana kepada pelaku, sebenarnya penderitaan pelaku karena dipidana tidak ada hubungannya dengan penderitaan korban.

Selama ini dalam hukum pidana di Indonesia tidak ditemukan peraturan yang mewajibkan pelaku tindak pidana untuk menghadapi apa yang mereka lakukan dan efeknya kepada korban atau untuk mengganti kerugian pada korban atau publik. Pelaku tindak pidana hanya dijatuhkan pidana penjara, memang dengan dipenjaranya pelaku tindak pidana maka akan membatasi kebebasan pelaku, tapi sesungguhnya hak itu juga mereduksi pertanggungjawabannya kepada korban. Sistem hukum di Indonesia, upaya perlindungan korban kejahatan terkait dengan ganti kerugian selain dalam UUD 1945 juga dapat dilihat dalam KUHPidana , KUHAP, KUH Perdata, UU No 26 tahun 2000 dan UU No 13 tahun 2006. Dalam tulisan ini penulis mengangkat tentang ganti rugi atau restitusi dalam penanganan TPPO yang diatur dalam UU No 21 tahun 2007.

Kelemahan mendasar dalam penegakan hukum adalah terabaikannya hak korban kejahatan dalam proses penanganan perkara pidana maupun akibat yang

104

(27)

ditanggung oleh korban kejahatan karena perlindungan hukum terhadap korban kejahatan tidak mendapatkan pengaturan yang memadai.105

D.1. Pengaturan Ganti Rugi Dalam KUH Pidana

Ketentuan yang mengatur masalah ganti rugi dalam hukum pidana diatur pada pasal 14c KUHP menyatakan apabila hakim menjatuhkan pidana percobaan, maka di samping penetapan syarat umum bahwa terhukum tidak akan melakukan tindak pidana, dapat pula ditetapkan syarat khusus bahwa terhukum dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana itu.

Perlindungan hukum terhadap korban selama ini didasarkan pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP sebagai sumber hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP sebagai hukum acaranya. Bila diperhatikan, di dalam KUHP lebih banyak diatur mengenai tersangka dari pada mengenai korban. Kedudukan korban dalam KUHP tampaknya belum optimal dibandingkan dengan kedudukan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam penjelasan sebagai berikut:

Pertama KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya

105

(28)

dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. KUHP juga tidak merumuskan jenis pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya sangat bermanfaat bagi korban dan/ atau keluarga korban. Rumusan pasal-pasal dalam KUHP cenderung berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana. Hal ini tidak terlepas pula pada doktrin hukum pidana yang melatarbelakangi sebagaimana dikatakan oleh Herbert Packer dan Muladi bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan yang dilarang atau kejahatan (offense), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan mempunyai aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana (punishment).106

Kedua KUHP menganut aliran neoklasik yang antara lain menerima berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik ,lingkungan serta mental. Demikian pula dimungkinkannya aspek-aspek yang meringankan pidana bagi pelaku tindak pidana dengan pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal-hal yang khusus, misalnya jiwanya cacat (gila), di bawah umur dan sebagainya.107

Melihat penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa pengaturan KUHP beroreantasi terhadap pelaku, bahkan korban cenderung dilupakan. Padahal korban merupakan salah satu aspek yang benar-benar mengalami penderitaan akibat perbuatan pelaku. Apabila berkaitan dengan pelaku yang tidak mampu bertanggungjawab, maka korban juga dimungkinkan untuk mendapatkan kompensasi.

106

Rena Yulia, Op.Cit, hal 181. 107

(29)

D.2 Pengaturan Ganti Rugi Dalam KUHAP

Pengaturan mengenai korban apabila dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP sama sekali termarginalkan. KUHAP lebih banyak mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka, sedangkan perlindungan terhadap korban tidak terumuskan secara lengkap. Hak yang diberikan KUHAP terhadap korban sangat terbatas. Perhatian KUHAP terhadap korban tindak pidana lebih berupa bagaimana agar proses pemberian ganti kerugian yang akan diberikan dan diterima oleh korban tindak kejahatan bisa dilakukan lebih cepat, dengan cara menggabungkan perkara pidananya dengan ganti kerugian yang pada hakikatnya merupakan perkara perdata.

Hak menuntut ganti atas kerugian yang di derita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan yang diatur dalam KUHAP yang sebenarnya lebih dekat dengan sistem ganti kerugian yang bersifat keperdataan dapat dijumpai dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP.

Pasal 98 ayat ( 1) KUHAP berbunyi :

(30)

bersangkutan. Kerugian bagi orang lain yang dimaksud termasuk kerugian pihak korban. Orang lain yang dimaksud dalam pasal ini adalah pihak korban kejahatan, yaitu perbuatan terdakwa yang merupakan tindak pidana yang menimbulkan kerugian bagi orang tersebut. Kata” dapat” berarti bahwa hakim dalam menyidangkan kasus ini bisa menolak atau menerima permohonan dalam hal penggabungan perkara ganti kerugian dengan perkara pidananya. Sehingga dibuka peluang bagi hakim untuk mengambil kebijakan apakah dapat diajukan secara perdata atau dapat digabungkan. Sehingga membuka kesempatan bagi hakim untuk menolak penggabungan perkara yang diajukan dan bila ini dilakukan maka hakim tidak salah secara hukum karena undang-undang mengatur hal tersebut.

Penggabungan perkara pidana dan perdata tersebut sesuai dengan asas peradilan yang sederhana , cepat dan biaya ringan , maka itulah yang paling baik dan tepat untuk dilakukan jadi korban sebaiknya sekaligus mengajukan tuntutan ganti rugi, tanpa perlu menunggu putusan perkara pidananya selesai.

Pasal 98 Ayat (2) KUHAP berbunyi:

Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

(31)

Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam pasal 101 KUHAP. Uraian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Harus ada permintaan dari pihak yang dirugikan

b. Ada kerugian yang benar-benar terjadi akibat dari perbuatan/ tindakan si terdakwa.

c. Permintaan tuntutan ganti kerugian ini dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Pasal 99 ayat (1) KUHAP berbunyi:

Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.

Pasal 99 ayat (2) berbunyi:

Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Ayat (3) Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.

(32)

perkara pidana bukan merupakan perkara ne bis in idem. Namun jika amar putusan hanya memuat “ tidak dapat diterima” maka akan menimbulkan masalah ne bis in idem.108

Pasal 100 ayat (1) KUHAP berbunyi

Putusan mengenai ganti rugi dengan sendirinya akan memperoleh hukum tetap, apabila putusannya memperoleh kekuatan hukum tetap artinya dengan serta merta karena telah digabungkan maka putusan perdata mengenai ganti kerugian mengikuti perkara pidananya. Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara putusan perdata hal ini diatur dalam pasal 274 KUHAP.

Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. Ayat (2) Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.

Bahwa apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan pidana, maka penggabungan ini dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding dan apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai ganti kerugian tidak dibenarkan. Konsekwensinya bila proses pidana berakhir sampai pada tingkat kasasi maka akan memakan waktu yang lama, sehingga hak-hak atas ganti kerugian bagi korban akan lama diperoleh korban.Sehingga saran penulis alangkah tepat bila Hakim memberikan hak korban untuk menggabungkan gugatan ganti kerugian sekaligus bersamaan dalam perkara pidananya.

108

(33)

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Hakim tidak berwenang menetapkan ganti kerugian apabila tidak diatur dalam undang undang dan ada pula pihak lain yang setuju. Segi positifnya demi kepentingan terbaik bagi korban maka hakim sudah selayaknya dapat menggali dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan mewujudkan peradilan yang cepat sederhana dan biaya murah.

Pasal 101 KUHAP berbunyi:

Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang undang ini tidak diatur lain.

Hal ini terkait dengan eksekusi perkara gugatan ganti kerugian dilakukan secara perdata. Eksekusi dapat dilakukan bila putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Permintaan eksekusi dapat dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara agar putusan tersebut dieksekusi baik secara lisan atau tertulis. Ketua Pengadilan atau Hakim yang memutus perkara memerintahkan kepada tergugat dalam waktu paling lama 8 hari agar memenuhi putusan. Apabila lewat maka hakim akan menerbitkan surat perintah untuk menyita barang bergerak milik terpidana yang diperkirakan senilai dengan kewajiban yang diputuskan untuk dipenuhi, Bila barang bergerak tersebut tidak mencukupi, maka barang yang tidak bergerak ikut disita. Penyitaan ini dinamakan penyitaan Eksekutorial yang dilakukan oleh panitera dibantu 2 orang saksi.109

Pasal 98-101 UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana diatas adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan hak korban dalam

109

(34)

menuntut ganti kerugian. Mekanisme yang ditempuh adalah penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara pidana. Penggabungan perkara ganti kerugian merupakan acara yang khas dan karakteristik, yang ada di dalam isi ketentuan dari KUHAP.

Penggabungan gugatan ganti kerugian ini adalah menyederhanakan proses perkara perdata yang timbul dari tindak pidana. Namun kerugian yang ditimbulkan hanya terbatas pada kerugian materil saja, yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban, tidak mencakup pada penggantian kerugian immaterial. Sehingga pada akhirnya belum memenuhi kepentingan korban tindak pidana secara utuh.

Asas penggabungan perkara ganti kerugian pada perkara pidana dapat disebutkan sebagai berikut:110

1. Merupakan praktik penegakan hukum berdasarkan ciptaan KUHAP sendiri bagi proses beracara ( pidana dengan perdata) untuk peradilan di Indonesia. KUHAP memberi prosedur hukum bagi seorang korban (atau beberapa korban) tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung.

110

(35)

2. Penggabungan pemeriksaan dan putusan gugatan ganti kerugian pada perkara pidana, sekaligus adalah sesuai dengan asas keseimbangan yang dimaksud KUHAP.

Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian yang dimaksud: Pertama, supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Kedua, hal penggabungan sesuai dengan asas beracara dengan cepat, sederhana dan biaya ringan. Ketiga, orang lain termasuk korban, dapat sesegera mungkin memperoleh ganti ruginya tanpa harus melalui prosedur perkara perdata biasa yang dapat memakan waktu yang lama.111

Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut:112

1. Haruslah berupa dan merupakan kerugian yang dialami oleh orang lain termasuk korban (saksi korban), sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa.

2. Jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat diminta hanya terbatas sebesar jumlah kerugian material yang diderita orang lain, termasuk korban tersebut. 3. Bahwa sasaran subjek hukumnya pihak-pihak adalah terdakwa.

4. Penuntutan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidananya tersebut hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajaukan tuntutan pidana (requisitor).

111

Ibid, hal 86. 112

(36)

5. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, tuntutan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

6. Perkara pidananya tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kerugian bagi orang lain termasuk kerugian pada korban.

7. Penuntutan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidana tersebut tidak perlu diajukan melalui panitera pengadilan negeri, melainkan dapat langsung diajukan dalam sidang pengadilan melalui majelis hakim/hakim.

8. Gugatan ganti kerugian pada Pasal 98 ayat (1) KUHAP adalah, harus sebagai akibat kerugian yang timbul karena perbuatan terdakwa dan tidak mengenai kerugian-kerugian lainnya.

Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian hanya terbatas pada tuntutan ganti kerugian yang secara nyata-nyata atau riil dikeluarkan atau dengan kata lain ganti kerugian material.113

Pembatasan di atas menyebabkan munculnya kelemahan-kelemahan dari praktek penggabungan gugatan ganti kerugian yang ada dalam KUHAP. Sistem penggabungan pada KUHAP tersebut dirasakan belum mendekati hakekat tujuan ganti kerugian itu sendiri. Untuk kerugian immaterial terpaksa harus mengajukan lagi dengan gugatan perdata biasa tersendiri, yang mungkin dapat memakan waktu lama, kondisi ini akan mengaburkan maksud semula dari penggabungan yang menyederhanakan proses.

113

(37)

Perbandingan dengan negara-negara yang ada di Amerika latin dan beberapa negara di Asia mengenai penggabungan gugatan ganti kerugian yang dikarenakan suatu tindak pidana terdapat kurang lebih lima sistem ganti kerugian diantaranya:114

1. Ganti kerugian yang bersifat perdata dan diberikan pada prosudur perdata. 2. Ganti kerugian yang bersifat perdata tetapi diberikan pada prosudur pidana. 3. Ganti kerugian yang sifatnya perdata, tetapi terjalin dengan sifat pidana dan

diberikan pada prosudur pidana.

4. Ganti kerugian yang sifatnya perdata dan diberikan pada prosudur pidana, tapi pembayarannya menjadi tanggungjawab negara.

5. Ganti kerugian yang sifatnya netral dan diberikan dengan prosudur khusus. Indonesia pengaturan terkait dengan gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata digabungkan pada perkara pidananya pada pengaturan yang kedua. Dimana ganti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku hanya pada kerugian yang bersifat materiil sedangkan kerugian immaterial tidak dapat dimintakan kepada pelaku.

D.3. Pengaturan Ganti Kerugian Dalam KUH Perdata

Ganti kerugian juga diatur dalam hukum perdata yaitu pasal 1365 sampai 1380 KUH Perdata, sebagai akibat dari wanprestasi dalam sebuah perikatan, baik itu

114

(38)

karena perjanjian maupun karena undang-undang. Mengutip dari pendapat subekti, mengenai ganti rugi :

Ganti rugi sering diperinci dalam 3 (tiga) unsur yaitu biaya, rugi dan bunga (Konsten, schaden en interessen). Yang dimaksud biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak, yang dimaksud rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan karena kelalaian debitur.115

Pasal 1365 KUH Perdaya berbunyi:

Tiap-tiap perbuatan melanggar hukum, yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal-pasal tersebut diatas semuanya mengatur tentang tuntutan ganti rugi dalam arti perbuatan melanggar hukum. Jika seorang telah melanggar suatu perbuatan melanggar hukum dan telah terbukti suatu kejahatannya maka dirinya dapat dilakukan penuntutan pengganti kerugian.

Mengutip pendapat Wirjono Prodjodikoro pengertian “perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang mengakibatkan keguncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Dan keguncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan perundang-undangan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung), melainkan juga, apabila peraturan peraturan kesusilaan, keagamaan dan sopan-santun dalam masyarakat dilanggar (langsung).116

Perbuatan melanggar hukum mengandung pengertian yang luas, bukan hanya perbuatan yang langsung melanggar suatu peraturan hukum, tetapi juga yang langsung melanggar norma-norma lain seperti kesusilaan, sopan santun dan adat istiadat, jika dengan perbuatan itu ada kesalahan dan menimbulkan kerugian bagi

115

Laden Marpaung, Op.Cit, hal 4. 116

(39)

orang lain. Berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata, jika seorang telah melakukan suatu perbuatan melanggar hukum dan telah terbukti kesalahannya, maka terhadap dirinya dapat dilakukan penuntutan mengganti kerugian, dapat dilakukan oleh orang perseorangan (bukan pengusaha), dapat pula dilakukan oleh pengusaha, namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami kesulitan oleh karena biasanya tuntutan ganti kerugian berdasarkan pasal ini dilakukan setelah ada suatu putusan pidana yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

D.4. Pengaturan Konsep Restitusi Dalam UU No 26 Tahun 2000 Tentang

Pengadilan HAM Dan UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi

Dan Korban.

Istilah restitusi di Indonesia diatur dalam pasal 35 UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menyatakan, Setiap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Ayat selanjutnya menyebutkan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Pada akhir pasal yakni ayat 3 ketentuan ini disebutkan bahwa ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi di atur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

(40)

Restitusi bagi Korban Pelanggaran HAM yang berat. Ketentuan hukum nasional tersebut disebutkan bahwa kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.

Pengaturan restitusi dalam UU No 26 Tahun 2000 hanya ditujukan kepada pelanggaran HAM yang berat, dan bukan untuk keseluruhan korban tindak pidana.117

Kompensasi dan restitusi korban pelanggaran HAM yang berat hanya ditujukan dalam rangka” ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam UU No 26 Tahun 2002 maupun dalam PP No 3 Tahun 2002. Pasal 1 PP No 3 Tahun 2002 menyatakan:

Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

UU No 26 tahun 2000 dan PP No 3 tahun 2002 secara jelas mendefinisikan: Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahliwarisnya.

PP No. 3 Tahun 2002 tidak dijelaskan tentang bagaimana kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dimohonkan, hanya disebutkan harus dilaksanakan secara tepat, cepat, dan layak (Pasal 2 ayat (2 ) PP No. 3 Tahun 2002). PP No. 3 Tahun

117

(41)

2003 tidak diatur mengenai tatacara pengajuan permohonan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi maka tatacara pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam Pengadilan HAM dilakukan sesuai dengan tata cara ganti kerugian dan rehabilitasi dalam KUHAP.118

UU No 26 Tahun 2002 menyatakan bahwa restitusi dan kompensasi merupakan hak dari korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana dinyatakan dalam pasal 27 yaitu kejahatan Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan. UU No. 26 Tahun 2000 yang diatur lebih lanjut dalam PP No. 3 Tahun 2002. Kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya.

Kelemahan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam KUHAP secara otomatis juga menjadi kelemahan dalam pengaturan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam PP No. 3 Tahun 2002.

Hak atas restitusi juga diatur dalam UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang mana tentang Perlindungan Saksi dan Korban dikuasakan kepada suatu lembaga yang di bentuk oleh undang-undang yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Pasal 7 UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan:

Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;

118

(42)

b. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku;

c. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan;

d. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi di atur dalam Peraturan Pemerintah.

Undang undang tersebut diatas, meskipun hak-hak dan kepentingan korban, telah dikuasakan pada LPSK, namun kenyataannya dalam Sistem Peradilan Pidana, korban tetap sebagai figuran atau saksi (korban) dalam persidangan , karena hak-hak dan kepentingan korban dalam peradilan pidana masih diwakili oleh polisi dan jaksa.

UU No 13 tahun 2006 menyatakan bahwa restitusi dapat diberikan kepada semua korban tindak pidana yang terjadi dan tidak terbatas pada korban pelanggaran HAM yang berat sebagaimana hak atas kompensasi. Restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban bagi pihak ketiga sebagaimana pengertian restitusi dalam UU No 26 Tahun 2000 ,sehingga istilah konsep restitusi berbeda antara UU No 26 Tahun 2000 dengan apa yang diatur dalam UU No 13 tahun 2006.

D.5. Pengaturan Restitusi Dalam Undang- Undang No 21 Tahun 2007 Tentang

Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pengaturan tentang restitusi dalam UU PTPPO diatur dalam pasal 1 ayat 13 dan pasal 48 sampai pasal 50 sebagai berikut:

(43)

yang berkekuatan hukum yang tetap atas kerugian materil dan/ atau immateril yang diderita korban atau ahli warisnya.

Berdasarkan pasal 1 ayat 13 UU PTPPO terlihat bahwa ada pengaturan yang berbeda tentang ganti kerugian yang terdapat dalam KUHAP, oleh karena kerugian korban kejahatan dalam KUHAP yang dapat dimintakan gugatan untuk penggantian hanya pada kerugian materil dan tidak mencakup pada kerugian immaterial sementara dalam UU No 21 tahun 2007 kerugian yang dibebankan adalah kerugian materil dan immaterial .

Kerugian materil yang dimaksud adalah kerugian akibat kehilangan harta milik, biaya transportasi dasar, biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku. Kerugian immaterial meliputi kerugian akibat proses penyiksaan, dan eksploitasi yang dialami korban serta stigmatisasi serta trauma psikologis yang dialami. Penghitungan kerugian immaterial menjadi kendala karena sulitnya untuk menghitung nominal dalam bentuk rupiah sehingga perlu dilakukan formulasi penghitungan kerugian immaterial.

(44)

Tanggung jawab negara atas kasus tersebut diatas tidak hanya memberikan ganti kerugian dalam bentuk ganti rugi uang atau finansial namun juga memberikan pemulihan atas kesempatan yang hilang seperti pendidikan,kesehatan atau pekerjaan , pemulihan psikologis dan pelayanan sosial.

UU No 21 tahun 2007 tentang PTTPO pasal 48 menyatakan:

Ayat (1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Ayat (2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. penderitaan; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Ayat (3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. Ayat (4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Ayat (5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus. Ayat (6) Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Ayat (7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.

(45)

bagaimana agar gugatan itu dapat diperiksa dan diputus sekaligus namun akan menimbulkan ketidakadilan juga bagi korban bila ganti kerugian yang diharapkan diputus oleh hakim tidak sesuai dengan rasa keadilan bagi korban oleh karena korban tidak dapat mengajukan banding.

Pengajuan permohonan restitusi dilakukan bersama sejak korban melaporkan kasus ke polisi dan dalam hal ini polisi harus memberitahukan dan menginformasikan kepada korban tentang restitusi tersebut. Penyidik menangani permohonan restitusi bersama penanganan TPPO dalam hal ini polisi wajib menangani permohonan tersebut, peran penyidik diawal sejak korban melapor kasus pidananya penyidik segera memberitahu tentang bagaimana korban mendapatkan hak ganti rugi dari pelaku. Selanjutnya Penuntut Umum harus mampu menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat dari TPPO bersamaan dengan tuntutan, Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan ganti kerugiannya.

Penjelasan pasal 48 ayat 2 yang dimaksud dengan “kerugian lain” dalam ketentuan ini misalanya :

a. Kehilangan harta milik; b. Biaya transportasi dasar;

c. Biaya, pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum; atau

(46)

Pasal 48 ayat 3 memiliki makna bahwa Hakim diharapkan dapat mempertimbangkan untuk memutuskan secara professional ganti rugi/restitusi yang menjadi hak korban serta menjadi beban dan kewajiban pelaku TPPO untuk memberi ganti rugi/restitusi dimaksud melalui putusan Hakim.

(47)

Tabel 2:

Perbedaan Penitipan Restitusi Di Pengadilan Dalam UU No 21 Tahun 2007 tentang TPPO Dengan KUHPerdata. 119

No Penitipan Restitusi di Pengadilan UU No 21 Tahun 2007 tentang TPPO

KONSINYASI Menurut KUHPerdata/ BW

1 Restitusi merupakan putusan pidana yang sekaligus dilaksanakan sesuai dan disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi ( Pasal 48 ayat 5)

Merupakan hubungan perdata antara pihak Debitur dan Kreditur yang dimungkinkan dilaksanakan sebelum adanya perkara atau sementara perkara berjalan sebelum diputus.

2 Diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan dalam perkara TPPO (Pasal 48 ayat 3)

Jika Kreditur menolak pembayaran, maka oleh Debitur melakukan penawaran pembayaran tunai atau penyerahan barang sebagai pembayaran tunai atau penyerahan barang sebagai pembayaran utang kepada kreditur. Bila kreditur menolak maka Debitur dapat menitipkannya ke Pengadilan

3 Atas perintah Hakim dalam perkara pidana, restitusi dititipkan lebih dahulu di Pengadilan ( Pasal 48 ayat 5)

Agar konsinyasinya sah, tidak perlu adanya kuasa Hakim cukup dengan menitipkan pada kuasa/penyimpanan di kepanitraan Pengadilan yang akan menangani perkaranya.

4 Penitipan restitusi dalam bentuk uang di Pengadilan ( Penjelasan pasal 48 ayat 1)

Penitipan oleh Debitur dapat berupa barang atau uang tunai ( seluruh utang pokok dan bunga)

5 Restitusi merupakan pembayaran ril (factual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya di titipkan pada pengadilan tingkat pertama ( pasal 48 ayat 6)

Penawaran dapat dilakukan oleh notaris dilakukan oleh notaris atau jurusita pengadilan dengan masing-masing disertai 2 orang saksi. Penitipan dapat dilakukan pada kas penyimpanan atau di penitipan pada kepanitraan pengadilan yang akan mengadili perkaranya.

119

(48)

Penitipan restitusi di Pengadilan UU No 21 tahun 2007 tentang TPPO dengan apa yang diatur dalam KUHP/BW ternyata memiliki persamaan dimana pelaksanaan penitipan dilakukan di pengadilan tingkat pertama/ Pengadilan Negeri.

Restitusi yang diatur pada pasal 48 ayat 6 merupakan pembayaran riil (factual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama, sementara ayat 7 bahwa restitusi dititipkan lebih dahulu di pengadilan tempat perkara di putus, artinya bahwa sejak kasus tersebut ditangani di kepolisian maka penitipan restitusi dalam bentuk uang sudah dapat dititipkan di pengadilan.

Pasal 49 UU PTPPO menyatakan:

Ayat (1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut. Ayat (2) Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. Ayat (3) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.

(49)

jumlah uang restitusi yang akan diajukan, apakah diperkenankan kalau sudah diajukan Penuntut Umum korban dapat mengajukan restitusi sendiri, atau ketentuan ini bersifat alternatif sehingga membiarkan hakim yang memutuskan berapa restitusi yang harus dibayar oleh pelaku. Hal ini akan berdampak pada pelaksanaan restitusi yang nantinya akan dilaporkan Penuntut Umum kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara dan mengumumkannya di pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 50 UU PTPPO menyatakan;

Ayat (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan. Ayat (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya. Ayat (3) Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. Ayat (4) Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

(50)

terpidana akan memilih menjalankan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun dan kewajiban untuk membayar restitusi secara otomatis menjadi gugur.

Restitusi seyogianya tidak dapat diganti dengan pidana kurungan karena bertentangan dengan semangat UU No 21 Tahun 2007 itu sendiri yang ingin memberi perlindungan kepada korban dalam bentuk ganti rugi secara finansial. Apabila pidana pengganti diterapkan, maka korban tidak mendapatkan ganti rugi secara materil atas penderitaannya.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah hak atas korban TPPO dalam bentuk pendampingan hukum, layanan kesehatan, psiko-sosial, rehabilitasi dan reintegrasi, rumah aman tempat tinggal bagi korban, pekerjaan dan pendidikan tidak harus menunggu sampai tersangka dinyatakan bersalah di pengadilan baru diperoleh korban. Sebaliknya pemulihan dalam bentuk restitusi memang harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht) mengingat restitusi ini harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana sendiri dalam bentuk uang. 120

Menurut penulis bagi korban TPPO dimana pelakunya adalah keluarga dari si korban sendiri bila tidak mampu membayar restitusi yang dimaksud tetap diberikan tambahan hukuman, karena untuk merevisi sebuah undang-undang merupakan proses yang cukup panjang meskipun hukuman tambahan 1 tahun tidaklah layak mau tidak mau harus menjadi acuan, sehingga bagi orangtua maupun keluarga tetap mendapatkan tambahan hukuman 1 tahun bila tidak mampu membayar menjadi

120

(51)

tanggungjawab negara untuk memberikan rehabilitasi dan restitusi dalam bentuk ganti kerugian terhadap korban akibat dari tindak pidana yang dilakukan.

Untuk mempermudah analisis perbedaan dan persamaan antara pengaturan restitusi yang ada didalam UU PTPPO dan yang diatur dalam KUHAP penulis menguraikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 3:

Perbedaan Antara Ganti Rugi Berupa Restitusi Menurut UU PTPPO Dan Penggabungan Gugatan Perkara Ganti Kerugian Menurut UU No 8

Tahun 1981 KUHAP BAB XIII , Pasal 98-101.121

No Ganti Rugi berupa Restitusi ( UU No 21 tahun 2007)

Penggabungan Perkara Gugatan ganti kerugian menurut UU No 8

tahun 1981 tentang KUHAP

1 Pengajuan permohonan restitusi dilakukan bersama :

a. Sejak korban melaporkan kasus ke POLRI setempat (Polisi harus memberitahu/ menginformasikan kepada korban).

b. Penyidik menangani

permohonan restitusi bersama -sama penanganan TPPO ( yang berarti polisi

wajib menangani permohonan tersebut (penjelasan pasal 48 ayat 1)

Pengajuan gugatan ganti kerugian selambat-lambatnya

a.Sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana

b.Bila Penuntut Umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya

sebelum hakim menjatuhkan putusan (pasal 98)

2 Ada kewajiban Penuntut Umum memberitahukan korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat TPPO bersamaan dengan Tuntutan (

Penuntut Umum tidak ada kewajiban

memberitahu/menginformasikan hak korban untuk mengajukan ganti kerugian dimaksud karenanya dalam pelaksanaan gabungan perkara perdata ganti kerugian

121

Gambar

Tabel 1. Perbedaan Bentuk Reparasi Kepada Korban  Berdasarkan Instrumen
Tabel 2:
Tabel 3:

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk perbedaannya adalah terdapat pada m etode yang digunakan, jika penelitian yang dilakukan oleh Ulfa Fita Nuraini menggunakan metode Ummi

Ada pengaruh pendidikan, pengetahuan, sikap, peran kader kesehatan dan dukungan suami terhadap wanita yang sudah menikah melakukan pemeriksaan inspeksi visual

Hasil belajar yang mereka peroleh berdasarkan tes yang telah dilakukan juga kurang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditentukan oleh sekolah

Pengalaman Belajar : Mengkaji makhluk hidup dan kehi-dupannya melalui pendekatan proses, mengkaji hubung-an antara makhluk hidup dengan ling-kungannya, termasuk peran

Variabel Usia Kawin Pertama (X1) memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap fertilitas. (Y) pada wanita pekerja di kota Palangka Raya dalam hal

Histon adalah protein yang mempunyai sifat basa dan dapat larut

JUDUL : JAMUR PENUNJANG HARAPAN HIDUP PASIEN KANKER HATI. MEDIA : HARIAN JOGJA TANGGAL : 29

Menurut British Standard BS EN ISO 7730, kenyamanan termal merupakan suatu kondisi dari pikiran manusia yang menunjukkan kepuasan dengan lingkungan termal.Definisi yang