• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Chapter III IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Hak Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Chapter III IV"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENERAPAN KONSEP HAK RESTITUSI ATAS KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

DI INDONESIA

A. Penerapan Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalam Putusan Pengadilan.

Uraian pada bab terdahulu telah disampaikan bahwa di Indonesia masih lemah

dalam pelaksanaan hak restitusi khususnya bagi korban TPPO. Meskipun sudah ada

landasan hukum yang kuat bahwa restitusi wajib diberikan oleh pelaku terhadap

korban maupun ahli warisnya sebagaimana yang diatur dalam UU No 21 tahun 2007

tentang TPPO. Polisi dalam hal ini juru periksa tidak memasukan restitusi dalam

Berita Acara Pemeriksaan, Jaksa Penuntut Umum tidak memasukannya dalam

dakwaan dan tuntutan, Hakim juga tidak memutus pemberian hak restitusi karena

tidak ada dimohonkan oleh pihak kejaksaan.

Putusan Hakim seharusnya merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara

yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim. Oleh karena itu tentunya hakim dalam

membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai dari

perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat

(2)

Diharapkan dalam diri hakim hendaknya lahir, tumbuh, dan berkembang adanya

sikap atau sifat kepuasan moral jika kemudian putusan yang dibuatnya itu dapat

menjadi tolak ukur untuk perkara yang sama, atau dapat menjadi bahan referensi bagi

kalangan teoritisi maupun praktis hukum serta kepuasan nurani tersendiri jika

putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi.125

Putusan hakim dalam hal memberikan restitusi terhadap korban maupun

keluarga oleh pelaku TPPO secara faktual masih sedikit dihasilkan oleh para hakim.

Penulis dalam hal ini mengambil contoh kasus dari Putusan Pengadilan Negeri

Tanjung Karang Lampung yang sudah berkekuatan hukum yang tetap yaitu putusan

pengadilan nomor : 1633/Pid/2008/PN TK.

Pengadilan Negeri Tanjung Karang dalam memutus kasus tersebut

menunjukan perkembangan baru berkaitan dengan mekanisme pemenuhan hak-hak

korban ditandai dengan adanya mekanisme yang dapat ditempuh korban untuk

mengajukan tuntutan ganti kerugian berupa restitusi. Korban dapat mengajukan

restitusi secara langsung ke pengadilan ataupun melalui Jaksa Penuntut Umum, dan

kemudian tuntutan tersebut dilampirkan dalam surat tuntutan pidana. Korban juga

mengajukan tuntutannya diwakili oleh pendampingnya dari Lembaga Perlindungan

Anak di Lampung untuk selanjutnya disampaikan kepada Jaksa Penuntut Umum.126

125

Lilik Mulyadi, sebagaimana terdapat dalam Makalah H. Muchsin, Peranan Putusan Hakim pada Kekeradan dalam Rumah Tangga, Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No 260 Bulan Juli 2006, Ikahi, Jakarta, 2007, hal 25.

Prosudur yang digunakan ini telah diterima oleh pengadilan sehingga apa yang

126

(3)

dilakukan ini merupakan suatu terobosan baru dalam pelaksanaan hak restitusi bagi

korban TPPO di Indonesia.

1. Kronologis Kasus

Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadili perkara

pidana biasa pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam

perkara terdakwa Fitriyani Binti Muradi , tempat kelahiran Tulung Agung , lahir pada

tanggal 10 Oktober 1960, tempat tinggal di kampung rawa laut gang I. RT 16. LK I

Kelurahan Panjang Selatan Kecamatan Panjang Bandar Lampung. Agama Islam,

pekerjaan pedagang dan pendidikan akhir SD.

Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Fitriyani Binti Muradi dengan penjara

selama 12 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan

perintah agar terdakwa tetap ditahan dan Pidana denda sebesar Rp. 120.000.000,-

subsidair 3 bulan kurungan dan menetapkan terdakwa membayar Restitusi kepada

saksi korban Mi Diani Binti Raja Sulaiman alias Asnawi sebesar Rp. 10.000.000,-

subsidair 2 bulan kurungan.

Berdasarkan kronologis sebagai berikut: Bahwa pada tanggal 13 September

2008 sekitar jam 01.00 Wib atau setidak- tidaknya pada suatu waktu dalam tahun

2008 bertempat di Kampung Rawa laut gang I Kel Panjang Bandar Lampung atau

setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masuk termasuk dalam daerah hukum

Pengadilan Negeri Tanjung Karang di Bandar Lampung Fitriyani Binti Muradi

bersama-sama dengan saksi Fuji Astuti Binti Sastro Suparno dan Marwan telah

(4)

seseorang yaitu saksi korban Mai Diani Binti Raja Sulaiman alias Asnawi dengan

ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,

penipuan penyalahgunaan kekuasan atau posisi rentan, penjeratan utang atau

memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang

memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut

diwilayah Republik Indonesia.

Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa pada hari Minggu tanggal 31 Agustus

2008 sekira jam 07.00 WIB ketika saksi korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman als.

Asnawi sedang menunggu kendaraan umum untuk pulang ke Way Kanan, kemudian

datang Marwan mencium dan memeluk saksi korban dengan paksa selanjutnya

sekitar jam 08.00 WIB Marwan berbincang- bincang dengan terdakwa kemudian

menanyakan asal usul saksi korban dan menawarkan pekerjaan kepada saksi korban

dengan berkata “Mau kerja disini ngak” pekerjaan disini enak ngak capek dan saksi

korban menjawab tidak mau dan menjawab mau pulang, namun Marwan tetap

membawa korban kedalam kamar dan memaksa korban untuk melakukan hubungan

seksual, setelah itu Marwan meninggalkan saksi korban, dan saksi Fuji Astuti Binti

Sastro Suparno menyuruh saksi korban untuk bekerja melayani tamu yang datang ke

kafe tersebut. Selama berada di Kafe tersebut saksi korban dipaksa oleh Saksi Fuji

melayani tamu sebanyak 2 kali dan selama tinggal ditempat tersebut saksi korban

sudah 3 kali menyerahkan uang kepada terdakwa, sampai akhirnya pada tanggal 13

September 2008 sekira pukul 01.00 WIB pihak kepolisian melakukan razia ditempat

(5)

akhirnya terdakwa bersama saksi Fuji Astuti Binti Sastro Suparno diserahkan ke

Poltabes Bandar Lampung untuk proses lebih lanjut sesuai dengan Visum Et

Repertum No. 357/6670/ 5.3/XI/ 2008 tanggal 10 Nopember 2008.

2. Putusan Hakim

1. Menyatakan terdakwa Fitriyani Binti Muradi telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana” Melakukan permufakatan

jahat untuk melakukan atau penerimaan seseorang dengan penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan untuk tujuan

mengeksploitasi orang tersebut diwilayah RI yaitu melanggar pasal 2 Ayat

(1) Jo. Pasal 11 Jo pasal 48 UU No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Perdagangan Orang yang unsur-unsurnya sebagai berikut:

1. Unsur setiap orang;

2. Unsur yang melakukan permufakatan jahat untuk melakukan

perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan

atau penerimaan seseorang;

3. Unsur dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerassan,

penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan

kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi

bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari

orang yang memegang kendali atas orang lain.

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Fitriyani Binti

(6)

sebesar Rp. 120.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar

harus diganti dengan kurungan selama 1 ( satu) bulan.

3. Menetapkan agar terdakwa membayar restitusi kepada saksi korban Mai

Diana Binti Raja Sulaiman Als Asnawti sebesar Rp.10.000.000,- apabila

restitusi tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 (satu)

bulan.

4. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

5. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.

6. Memerintahkan barang bukti berupa 1 buah celana panjang jeans warna

biru tua, 1 buah celana pendek jeans warna biru tua, 1 buah celana pendek

warna orange, 1 buah baju kaos warna merah dan kuning, 2 stel baju tidur

warna merah dan merah muda, 2 buah celana dalam warna merah muda

dan biru muda, 1 buah BH garis-garis warna merah dikembalikan kepada

saksi korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman Als, Asnawi.

7. Membebankan biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).

3. Analisis putusan.

Putusan yang dijatuhkan hakim sudah merupakan putusan hakim yang sesuai

(7)

1. Korban Mai Diana Binti Raja Sulaiman als. Asnawi memperoleh restitusi

sebagaimana yang dimaksud berupa ganti kerugian sebesar Rp.10.000.000,-

(sepuluh juta rupiah) atas:

a. Kehilangan kekayaan dan penghasilan dimana korban ditipu mengenai

kondisi kerja yang harus dihadapinya, dipaksa bekerja sebagai pekerja seks,

dibebani oleh utang yang sebenarnya tidak ada atau jumlahnya lebih besar

dari apa yang sebenarnya , penghasilan yang diperoleh oleh korban diambil

oleh tersangka. korban masih berumur 15 tahun yang secara hukum belum

dewasa.

b. Penderitaan oleh karena rusaknya organ reproduksi korban yang dalam

melakukan pekerjaan tidak ada waktu istirahat, korban mengalami kekerasan

baik kekerasan fisik, psikologis dan seksual, jam kerja yang panjang.

2. Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus

yang dialaminya dan masuk dalam Berita Acara Pemeriksaan di Poltabes

Bandar Lampung, dalam kasus ini pendamping bersama-sama dengan pihak

kepolisian atas masukan psikologi melakukan rincian bersama atas kerugian

materil dan immaterial yang dialami korban dan hasil konseling diserahkan

kepada pihak kepolisian sebagai dasar pertimbangan atas kerugian immaterial

dilihat dari psikologis yang dialami korban.

3. Penuntut umum dalam hal ini memberitahukan kepada korban tentang haknya

(8)

dan masuk dalam BAP dan selanjutnya penuntut umum melakukan kordinasi

ke kepolisian dan memasukannya dalam tuntutan.

4. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan

pengadilan tepatnya pada hari selasa tanggal 17 Maret 2009 oleh Majelis

Hakim Pengadilan Tanjung Karang.

5. Pemberian restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkannya putusan pengadilan

tingkat pertama dan sebelumnya restitusi sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh

juta) terlebih dahulu di titipkan di pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar

Lampung. Jumlah restitusi yang diputus seperti apa yang dimuat dalam

tuntutan oleh jaksa penuntut umum yang merupakan pembayaran riil (factual)

dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan

tingkat pertama.

6. Aparat penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan secara

formal mengimplementasikan pelaksanaan pemberian hak restitisi bagi korban

TPPO yang menyatakan perbuatan terdakwa telah melanggar pasal 2 ayat (1)

,jo pasal 11, jo 48 UU Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang

PTPPO.

B. Pelaksanaan Hak Restitusi Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia

Disadari atau tidak sampai saat ini di Pengadilan Negeri Tanjung Karang

Bandar Lampunglah yang baru pertama di Indonesia memutuskan pemberian restitusi

(9)

proses penghitungan kerugian dan mekanisme pengajuan restitusi serta ketidakjelasan

pihak yang memiliki kewenangan dalam tata pelaksanaan penghitungan kerugian juga

ketidakpahaman aparat penegak hukum terkait dengan restitusi tersebut.127

Rujukan lainnya adalah dengan mendasarkan pada aturan lama yang berlaku,

yaitu ketentuan KUHAP. Dalam KUHAP terdapat mekanisme tentang ganti kerugian

dan rehabilitasi. Ganti kerugian bisa dimintakan oleh tersangka atau terdakwa dalam

kaitannya dengan proses pemeriksaan dan pengadilan yang tidak sah kepada aparat

penegak hukum dan juga oleh korban atas kerugian yang dideritanya kepada pelaku.

Mekanisme yang ditawarkan oleh KUHAP untuk hak-hak korban adalah mekanisme

untuk ganti rugi kepada korban oleh pelaku. Mekanisme pengajuan ganti kerugian

dalam KUHAP ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

a. mengajukan gugatan perdata setelah perkara pidananya diputus; atau

b. menggabungkan antara pengajuan ganti kerugian dengan pokok

perkaranya.

Mekanisme pertama tidak dapat dilakukan secara cepat dalam kasus TPPO

karena harus ada putusan dari pengadilan terlebih dahulu, padahal penderitaan korban

telah berlangsung sejak tindak kejahatan terjadi. Mekanisme panggabungan perkara

pidana dengan tuntutan ganti rugi diatur dalam Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang

menyatakan, jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu

pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi

127

(10)

orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan

untuk menggabungkan perkara ganti kerugian kepada perkara pidana itu.” Sedangkan

cara untuk pemulihan kerugian korban dapat digabungkan dalam perkara pidana

adalah dengan permintaan perhatian Penuntut Umum agar Hakim dapat

mencantumkan dalam diktum putusan pidana. Kesalahan umum mengenai konsep ini

biasanya menyangkut bentuk pemulihannya. Orang awam sering menyamakan atau

menyederhanakan pemulihan hak atas korban sebagai proses ganti rugi yang

berbentuk finansial atau uang. Hal ini wajar karena kebanyakan bentuk pemulihan

hak atas korban baik itu dalam Undang Undang Pengadilan HAM, UU Perlindungan

Saksi dan Korban dan UU PTPPO Orang selalu dikonversi dalam bentuk uang atau

ganti rugi finansial lainnya meskipun bentuk pemulihan tidak hanya berupa ganti rugi

uang atau finansial.

Korban TPPO Rini Mayasari ( 16 tahun) menyatakan tidak mengetahui

tentang apa itu restitusi. 128 Hal senada juga diucapkan oleh Nuraini yang kasusnya

disidangkan setelah lahirnya UU PTPPO.129

128

Wawancara dilakukan pada tanggal 6 Juni 2012 , pukul 13.35 WIB dirumah korban. Kasus yang dialami Rini Mayasari terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Meskipun UU No 21 tahun 2007 lahir kasus ini dapat dilakukan sekaligus dalam penggabungan perkara pidana dan perdata, namun lagi-lagi ganti kerugian atas kerugian yang dialami korban tidak diberikan terhadap korban. Walaupun dalam KUHAP tidak memberikan penggantian immaterial namun seyogianya ganti kerugian Materiil dapat diterima oleh korban.

129

(11)

Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumatera Utara, AKPBP Juliana

Situmorang, SH, CN menyatakan bahwa berkaitan dengan penjelasan pasal 48 ayat 1

UU PTPPO orang bahwa mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban

melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia

setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana

yang dilakukan. Dalam hal ini pihak kepolisian di Polda Sumatera Utara belum

pernah menyampaikan hak tersebut kepada korban pada saat di BAP, hal ini

disebabkan karena menurut polisi hal ini menjadi kewenangan sepenuhnya oleh

korban untuk meminta ganti kerugian, dan pihak kejaksaan selama ini juga tidak

pernah meminta dimasukan dalam BAP, sehingga permohonan ganti kerugian

tersebut dapat diperoleh saat di pengadilan saja. Pihak kepolisian juga tidak

semuanya paham adanya restitusi yang dapat diperoleh korban TPPO. Tugas Polisi

adalah menangkap pelaku dan memeriksa pihak-pihak yang terkait dalam Berita

Acara Pemeriksaan (BAP). Program kedepan yang akan dilakukan kepolisian Polda

Sumut akan mensosialisasikan tentang pemberian restitusi terhadap korban TPPO

ditingkat Polresta dan Polsek di Sumatera Utara agar pihak kepolisian memasukan

restitusi sejak proses BAP di kepolisian.130

Kanit I bidang” Perempuan dan Anak” di Kepolisian Daerah Sumatera Utara

Kompol Fransisca Munthe juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak

tahun.Terhadap korban tetap tidak diberikan hak restitusi sebagaimana yang diatur dalam UU No 21 tahun 2007.

130

(12)

terfikir khususnya aparat penegak hukum untuk memasukan restitusi karena korban

maupun pendamping tidak mengingatkannya kepada penyidik. Selain itu penyidik

juga memiliki rasa kekhawatiran bila apa yang diusulkan dalam BAP ternyata tidak

disetujui oleh jaksa maupun hakim sehingga korban sudah tahu akan menerima ganti

kerugian akan menyebabkan korban menjadi makin tidak percaya dengan instansi

kepolisian. Tidak dipungkiri masih banyak juga polisi yang tidak tahu bunyi pasal ini

sehingga disarankan antara polisi, jaksa, hakim dan pendamping korban dapat

sama-sama bekerjasama-sama dan saling mengingatkan.131

Pelaksanaan restitusi yang telah diputus di Lampung menurut Direktur LAdA

Dedi Suhendri dan Diah bahwa inisiatif untuk diberikannya hak restitusi di inisiasi

oleh lembaga pendamping bersama pihak kepolisian sehingga restitusi sudah

dimasukan dalam BAP di kepolisian, dan pihak kejaksaan memasukan restitusi pada

proses penuntutan dilakukan, penghitungan biaya kerugian yang diterima oleh korban

dilakukan pendamping bersama pihak kepolisian saat proses penyidikan di

kepolisian.132

AKP Haruniati, menyatakan bahwa pihak kepolisian Polda Lampung tetap

memantau jalannya proses persidangan kasus TPPO sampai ke pengadilan, sebelum

kasus dilimpahkan ke kejaksaan pihak kepolisian sudah melakukan kordinasi dengan

pihak kejaksaan dan pengadilan. Uang restitusi dititipkan di pengadilan pada saat

131

Wawancara dilakukan di ruang Kanit 1 Perlindungan Perempuan dan Anak yang dulunya disebut PPA dan sekarang sudah berubah menjadi Renakta (Remaja Anak dan Wanita) di Polda Sumut, pada tanggal 12 Juni 2012, pukul 11.10 WIB.

132

(13)

kasusnya akan disidangkan di pengadilan . Unit PPA Polda Lampung pada tahun

2008 telah mencoba untuk memohonkan restitusi dalam BAP namun hanya satu

kasus yang disetujui restitusinya oleh majelis hakim pada saat itu yaitu kasus putusan

No :1633/Pid/B/2008/PN.TK.133

Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia sampai saat ini masih belum

memanfaatkan UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO pasal 1 ayat 13 dan pasal 48

sampai 50, berkenaan dengan tuntutan restitusi berupa ganti kerugian baik atas

kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan

medis, dan/atau psikologis dan atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat

perdagangan orang.

Sebelum lahirnya UU PTPPO maka pasal yang digunakan untuk menuntut

pelaku TPPO adalah KUHP dan bila korban anak menggunakan UU No 23 tahun

2002 tentang Perlindungan Anak namun belum pernah sekalipun terjadi

penggabungan perkara menurut pasal 98 KUHAP untuk memberikan ganti kerugian

terhadap korban, padahal kasus yang memiliki hukuman tertinggi di Indonesia

sebelum lahirnya UU PTPPO adalah di Sumatera Utara dimana pelaku dituntut 13

tahun penjara dan di putus tetap 13 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan

Negeri Tebing Tinggi.

Rosihan Juhriah. Rangkuti,SH,MH, seorang hakim yang memutus kasus

Tindak Pidana Perdagangan Orang tertinggi sebelum lahirnya UU PTPPO di Tebing

133

(14)

Tinggi Sumatera Utara menyatakan bahwa tidak ada permintaan pendamping dari

korban juga Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan restitusi menjadi hambatan

mengapa restitusi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain itu pasal yang

ada dalam UU PTPPO mandul pelaksanaannya karena susahnya menghitung biaya

kerugian immateril terhadap korban seharusnya rincian kerugian immateril tersebut

sudah harus dirinci oleh psikolog saat melakukan konseling terhadap korban dan

dimuat dalam BAP. Restitusi merupakan hak bagi korban menurut beliau bahwa hak

itu bisa dilaksanakan bisa tidak baiknya dalam redaksi UU PTPPO dinyatakan hak

tersebut adalah wajib diberikan. Sebenarnya hakim bisa saja memutus dan

mewajibkan tersangka memberikan restitusi karena hakim tidak terikat pada tuntutan

namun hakim terikat pada dakwaan jaksa, karena jaksa merupakan mewakili

kepentingan negara diusulkan tidak diusulkan harusnya penggabungan gugatan

pidana atas ganti kerugian secara perdata juga secara otomatis dalam hukum acara

diperkenankan. Disarankan mekanisme permohonan restitusi itu dimohonkan kepada

majelis hakim baik itu oleh pendamping korban maupun jaksa saat pengadilan agar

hakim dapat memutus dan mewajibkan tersangka memberikan restitusi terhadap

korban.134

Fitri Sumarni, SH,M.Hum Jaksa di Kejari Medan lebih lanjut mengatakan

bahwa alasan mengapa Penuntut Umum tidak melakukan penggabungan perkara

Pidana dan tuntutan restitusi tersebut disebabkan karena dalam UU PTPPO tidak

dijelaskan sejauhmana peran Jaksa dan bagaimana hubungan antara Jaksa dengan

134

(15)

korban dan tidak ada ketegasan kewenangan Jaksa dalam hal mengajukan upaya

hukum. Selain itu kewenangan Jaksa sebagai eksekutor putusan restitusi juga tidak

diatur secara tegas, karena dalam Pasal 50 ayat (3) hanya memberi kewenangan Jaksa

untuk menyita harta kekayaan pelaku setelah ada perintah dari Ketua Pengadilan bila

restitusi tidak dibayar oleh pelaku. Umumnya pelaku yang ditangkap bukan pelaku

utama , namun pihak kedua atau ketiga sehingga harta milik pelaku yang ditangkap

umumnya sulit untuk diketahui kepemilikannya.135

Sita harta kekayaan terpidana umumnya sulit dilakukan karena pelaku TPPO

sudah tidak memiliki uang maupun harta lagi bisa saja harta yang dimiliki sudah

dipindahtangankan kenama orang lain ataupun dihambur-hamburkan sebelum harta

milik pelaku di eksekusi. Barang bergerak yang akan disita misalnya kendaraan roda

dua atau roda empat bila dieksekusi dan diletakan pada tempat yang kurang baik dan

tidak digunakan maka nilai kendaraan tersebut saat dilelang akan berkurang

nilainya.136

Teguh Suhendro dari Kejaksaan Agung pada rapat Koordinasi Nasional

Gugus Tugas PTPPO menyatakan bahwa Hak restitusi untuk korban TPPO sangat

sulit dilaksanakan. Hal ini disebabkan pemenuhan hak bagi saksi dan/atau korban

pada tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan tahap pelaksanaan putusan.” Pada

tahap penyidikan, kendala yang dihadapi adalah korban enggan mengikuti proses

135

Wawancara dilakukan lewat telepon pada tanggal 2 Juli 2012, Pada pukul 17.20 WIB.

136

(16)

persidangan yang panjang (minimum 3 bulan). Masih adanya perbedaan pendapat

antara polisi dan jaksa terhadap laporan saksi dan/atau korban dalam proses

penyidikan. Kendala lain yang dihadapi oleh Jaksa yaitu tidak adanya barang-barang

bergerak/tidak bergerak yang disita untuk jaminan pemenuhan/pembayaran restitusi.

Saksi dan/atau korban yang melaporkan menjadi tersangka dalam perkara tindak

pidana lain.137

Jaksa dalam melakukan penuntutan, banyak mengalami kesulitan untuk

menghadirkan saksi, permintaan restitusi tidak di dukung dengan bukti-bukti

pengeluaran dalam hal ini seringkali pelaku tidak membayar dan memilih untuk

tambahan kurungan, sementara tambahan kurungan sebagai pengganti restitusi ini

sangat ringat (maksimum 1 tahun kurungan). Kesulitan yang dihadapi Jaksa adalah

dalam menentukan berapa besaran restitusi yang menjadi hak saksi korban dan

menghadirkan ahli.

Tahap pelaksanaan pada putusan pengadilan, para Jaksa menghadapi kendala

dalam mengeksekusi putusan restitusi untuk saksi dan/atau korban, karena aplikasi

penyitaan barang bergerak maupun tidak bergerak milik terpidana belum ada dasar

hukum untuk penyitaan, lebih dari itu terpidana TPPO seringkali tidak mampu

membayar restitusi dan memilih tambahan penjara kurungan, dimana menurut UU

PTPPO pengalihan hukuman denda restitusi dengan maksimum 1 tahun penjara

137

Disampaikan Teguh Suhendro dari Kejaksaan Agung pada kegiatan Rapat Koordinasi Nasional Gugus Tugas Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang di adakan di Hotel Aston, Bogor pada tanggal 7 Juni 2012, sebagaimana diberitakan dalam

(17)

kurungan. Hal ini terjadi karena terpidana umumnya adalah pelaku lapangan dan

bukan pelaku utama atau korporasi.

Mengatasi kendala dalam memenuhi hak bagi saksi dan/atau korban, menurut

Teguh Suhendro, “Perlu menggunakan pendekatan sistemik dalam penegakan hukum,

yaitu melalui pembenahan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.”

Pemberian restitusi dan menggabungkan gugatan perkara pidana dan perdata

seharusnya tergantung dari kebijakan pemimpin sidang dalam hal ini hakim bila jaksa

tidak mengajukan pada saat penuntutan maka hakim dapat berinisiatif untuk

melakukannya.

C. Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Pelaksanaan Hak Restitusi.

Konteks pemulihan terhadap korban dalam bentuk restitusi terkandung pula

beberapa asas asas hukum sebagai berikut:138

1. Asas Manfaat

Artinya, perlindungan korban kejahatan tidak hanya ditujukan bagi tercapainya

kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga

kemanfaatan bagi masyarakat luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah

tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat.

2. Asas Keadilan

138

(18)

Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak

bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang harus juga

diberikan pada pelaku kejahatan.

3. Asas Keseimbangan

Tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap

kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat

yang terganggu menuju pada kekayaan yang semula (restitution in integrum), asas

keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak

korban.

4. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak

hukum pada saat melaksanakan tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan

hukum pada korban kejahatan.

UU No 21 tahun 2007 tentang PTPPO pasal 28 menyatakan bahwa

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara TPPO,

dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain

dalam undang-undang ini. Sehingga dalam proses pemberian restitusi juga menganut

asas-asas hukum acara pidana yang antara lain:139

1. Asas “Equality Before The Law

139

(19)

Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari negara hukum (rechstaat) sehingga

harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang dihadapan hukum (gelijkheid van

iedeer voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat mengandung makna

perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection on the law) dan

mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice under the law).

Tegasnya hukum acara pidana tidak mengenal adanya perlakuan yang berbeda

terhadap orang-orang yang terkait dengan peradilan (forum prevelegiatum) baik

sebagai saksi, tersangka maupun korban, sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (1)

UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum Pasal 3

KUHAP, dan karena itu pulalah untukmenjaga kewibawaan pengadilan, maka segala

intervensi terhadap peradilandilarang kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

2. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi

Asas ganti kerugian dan rehabilitasi mulanya diperuntukkan bagi tersangka atau

terdakwa yang diadili tidak sebagaimana mestinya.140 Dalam perkembanganya asas

ini dapat diterapkan terhadap saksi dan korban yang dirugikan terhadap suatu tindak

pidana.141

140

Pasal 9 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 95, 96, 97 KUHAP.

Asas ini pada pokoknya menghendaki adanya suatu bentuk pemberian

berupa material maupun imaterial kepada orang yang dirugikan di dalam suatu

perkara pidana baik menyangkut kejadian tindak pidana itu sendiri maupun masalah

prosedural pemeriksaan perkara pidana. Ganti rugi dan rehabilitasi ini sangat

141

(20)

dibutuhkan bagi saksi dan korban untuk memulihkan atau mengembalikannya kepada

keadaan yang tepat.

3. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan terdapat dalam Pasal 4 ayat (2) UU

Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan umum angka 3 huruf e KUHAP. Secara

konkrit, apabila dijabarkan bahwa peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

dimaksudkan supaya orang-orang yang terkait di dalam peradilan tidak diperlakukan

dan diperiksa sampai berlarut-larut, kemudian memperoleh kepastian prosedural

hukum serta proses administrasi yang ringan serta tidak memboroskan sumber daya

yang ada pada proses pemeriksaan. Kaitannya dengan keberadaan saksi dan korban

adalah agar saksi dan korban diperiksa secara cepat dan sederhana sehingga tidak

membuat mereka menjadi tidak nyaman dan terbebani pada saat memberikan

keterangannya.

4. Asas Bantuan Hukum

Asas bantuan hukum ditegaskan dalam penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP

yang pada intinya mewajibkan pemberian bantuan hukum terhadap setiap orang yang

tersangkut perkara pidana untuk kepentingan pembelaannya, sedangkan asas bantuan

hukum dalam Bab VII Pasal 37 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan :

“ setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.” Selain

dasar hukum tentang bantuan hukum seperti di atas, juga terdapat di dalam Pasal 56,

69 s.d 74 KUHAP dan pasal 37 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman yang bersifat

(21)

k/Pid/1988/ tanggal 28 April 1988 dan Putusan No. 1565 K/Pid/1991 tanggal 16

September 1993. Asas bantuan hukum ini wajib diberikan kepada saksi dan korban,

agar mereka menjadi terang akan hak-hak dan kewajibannya.

5. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan dilakukan hakim secara

langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta dilaksanakan dengan cara lisan dan

bahasa Indonesia. Pemberlakuan asas ini lebih luas, seperti dapat diperiksanya

seseorang secara in absentia atau tanpa hadirnya terdakwa di dalam persidangan.

Kaitannya terhadap saksi dan korban Pelanggaran HAM yang berat adalah

kemungkinannya dalam pemeriksaan tanpa hadir secara langsung di pengadilan yaitu

dapat melalui sarana elektronik, maupun secara tertulis.

Pelaksanaan hak restitusi bagi korban TPPO harus mewujudkan pengamalan

pancasila yang merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa dan dasar

negara Indonesia yang dapat dihayati dengan segenap jiwa raga oleh seluruh pihak

yang terkait khususnya dalam pelaksanaan pelayanan dan pemenuhan hak atas

korban. Semua pihak yang terkait dalam memberikan pelayanan terhadap korban

harus memegang nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.142

Ide dasar Pancasila hendaknya dipahami sebagai nilai-nilai yang tercermin

dari sila-sila dari pancasila seperti mengenai ide-ide paradigma ketuhanan (moral

religius), paradigma kemanusiaan (humanistik), paradigma kebangsaan (persatuan/

nasionalistik), paradigma kerakyatan/demokrasi, paradigma keadilan sosial.

142

(22)

Berdasarkan ide tersebut, menurut Barda Nawawi Arief dapat dikelompokkan dalam

tiga nilai keseimbangan berupa:143

1. Nilai keseimbangan nilai ketuhanan (moral-religius),

2. Nilai kemanusiaan (humanistik) dan

3. Nilai kemasyarakatan: nasionalistik, demokratik, keadilan sosial.

D. Hambatan Yuridis Dalam Pelaksanaan Hak Restitusi

Salah satu dasar pertimbangan diundangkannya UU No 21 Tahun 2007

tentang PTPPO adalah adanya perlindungan yang diberikan terhadap korban atas

penderitaan dan kerugian baik materil dan atau immaterial sebagai akibat TPPO yang

dilakukan pelaku, selama ini peraturan yang berkaitan dengan perdagangan orang

belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi PTPPO.

Penanganan perkara TPPO berlandaskan pada Pasal-pasal dalam UU No 21 Tahun

2007 memberikan perlindungan kepada korban, selain diwujudkan dalam bentuk

dipidananya pelaku, juga diwujudkan dalam bentuk pemenuhan hak atas korban

salah satu hak korban TPPO ialah hak untuk memperoleh restitusi, hak ini diberikan

kepada korban oleh pelaku sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami

korban akibat terjadinya TPPO.

143

(23)

Mengacu pada ketentuan Pasal 48-50 UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO

yang mengatur tentang hak korban TPPO berupa restitusi (ganti rugi), memiliki

kelemahan secara yuridis diantaranya:144

1. UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO tidak diatur secara limitatif mengenai

kewenangan Jaksa dalam melakukan upaya hukum baik dalam tingkat

banding maupun kasasi terhadap putusan pengadilan dalam perkara TPPO

tetapi pasal 28 UU PTPPO menyatakan bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara TPPO, dilakukan

berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam

undang-undang ini”. Sehingga KUHAP juga menjadi hukum acara dalam

pelaksanaan UU PTPPO Pasal ini akan merugikan korban dalam memenuhi

haknya dalam memperoleh hak restitusi misalnya dalam hal penggabungan

perkara pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 98-101 KUHAP. Dalam

hal tidak diajukan permintaan banding maka permintaan banding atas putusan

ganti kerugian tidak diperkenankan, dalam hal ini korban akan dirugikan

karena korban harus menerima putusan karena bila terdakwa menyatakan

banding maka secara otomatis perkara perdatanya mengikuti pemeriksaan

banding. Bila tidak maka korban tidak diperkenakan untuk mengajukan

banding atas gugatan ganti kerugian atau restitusi atas putusan yang dianggap

144

Disadur dari tulisan terkait penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang berkaitan

dengan perlindungan hak-hak korban,

(24)

tidak sesuai dengan beban kerugian yang dialami korban baik materil maupun

immaterial.

2. Penjelasan pasal 48 Ayat (1) menyatakan mekanisme pengajuan restitusi

dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada

Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik

bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum

memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi,

selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita

korban akibat TPPO bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak

menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas

kerugiannya. Meskipun Penuntut Umum berwenang mengajukan restitusi,

tetapi mekanisme pelaksanaannya belum diatur dengan jelas oleh peraturan

perundang-undangan: seperti bagaimana menentukan besar kecilnya jumlah

uang restitusi yang diajukan, apakah diperkenankan kalau sudah diajukan

penuntut umum korban dapat mengajukan restitusi sendiri. Ketentuan pasal

yang mengatur tentang mekanisme restitusi ini tidak terletak dalam substansi

pasal hanya dicantumkan dalam pasal penjelasan. Harusnya pasal ini

dimasukan dalam substansi pasal bukan penjelasan, akibatnya Polisi, Jaksa

maupun hakim dapat langsung memahami dan mengintegrasikan ketentuan

pasal ini.

3. Pasal 48 ayat 5 UU PTPPO menyatakan bahwa restitusi dapat dititipkan

(25)

No 21 Tahun 2007 terdapat peraturan yang kurang mendukung semangat

undang-undang tersebut untuk memberikan perlindungan kepada korban yaitu

ketentuan mengenai penitipan restitusi yang sifatnya sukarela . Sementara

penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa penitipan restitusi dalam bentuk

uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara

perdata dalam konsinyasi., tentang waktu penitipan uang restitusi, dilakukan

sejak tahap penyidikan. Kalimat pasal dapat tersebut menimbulkan arti bahwa

tidak ada kata “wajib” agar restitusi dititipkan di pengadilan terlebih dahulu.

Sebaiknya kata dapat di ubah menjadi wajib. Wajib mengandung makna

ketegasan bahwa perintah undang-undang harus diikuti oleh siapapun tanpa

kecuali, atau dengan kata lain pelaku TPPO wajib menitipkan uang restitusi

pada Pengadilan Negeri setempat. Kata wajib menitipkan uang kalau tidak

diikuti dengan upaya paksa, maka ketentuan itu akan sia-sia saja. Sebab bila

pelaku tetap tidak mau menitipkan uang restitusi ke pengadilan juga tidak ada

sanksi yang akan diberikan pada pelaku. Ini berarti salah satu unsur sistem

hukum yaitu dapat diaplikasinya peraturan tidak dapat terwujud. Tidak

berfungsinya salah satu unsur maka sistem hukum tidak akan berjalan dengan

efektif.

4. Pasal 50 ayat (4) UU No 21 Tahun 2007 dikatakan jika pelaku tidak mampu

membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling

(26)

maksimal 1 (satu) tahun pidana kurungan pengganti dianggap terlalu ringan.

Ketentuan ini seharusnya diubah disesuaikan dengan jumlah kerugian yang

diderita korban. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kecenderunga pihak

pelaku untuk menjalani pidana kurungan dari pada harus membayar uang

restitusi, karena pidana kurungannya tidak lama. Mungkin saja nilai

restitusinya sangat besar dan untuk menghindari itu maka pihak terpidana

akan memilih menjalankan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun dan

kewajiban untuk membayar restitusi secara otomatis menjadi gugur. Restitusi

seyogianya tidak dapat diganti dengan pidana kurungan karena bertentangan

dengan semangat UU No 21 Tahun 2007 itu sendiri yang ingin memberi

perlindungan kepada korban dalam bentuk ganti rugi secara finansial. Apabila

pidana pengganti diterapkan, maka korban tidak mendapatkan ganti rugi atau

kompensasi secara materiil dan atau immaterial atas penderitaannya.

5. UU No 21 Tahun 2007 tidak menjelaskan sejauhmana peran Jaksa dan

bagaimana hubungan antara Jaksa dengan korban. Selain itu kewenangan

Jaksa sebagai eksekutor putusan restitusi juga tidak diatur secara tegas, karena

dalam Pasal 50 ayat (3) hanya memberi kewenangan Jaksa untuk menyita

harta kekayaan pelaku setelah ada perintah dari Ketua Pengadilan bila restitusi

tidak dibayar oleh pelaku.

6. UU No 21 Tahun 2007 tidak menetapkan mengenai jangka waktu pengajuan

restitusi dapat dilakukan apakah sesaat setelah terjadinya TPPO sampai berapa

(27)

program restitusi dimana negara-negara tersebut menentukan jangka waktu

pengajuan restitusi. Belanda misalnya menentukan jangka waktu pengajuan

restitusi di kepolisian 3 tahun sejak terjadinya tindak pidana sementara

pengajuan permohonannya tidak ada pembatasan. Lain halnya di Inggris

laporan di kepolisian secepat mungkin sejak terjadinya tindak pidana dan

pengajuan permohonan sejak terjadinya tindak pidana. Kolombia

ketentuannya 1 tahun sejak terjadinya tindak pidana dan dapat diajukan

permohonan 1 sampai 2 tahun sejak terjadinya tindak pidana. Philipina harus

melapor terlebih dahulu di kepolisian sama halnya dengan Australia namun di

Philipina pengajuannya 6 bulan sejak korban menderita kerugian ataupun

terluka sementara Australia 2 sampai 3 tahun setelah tindak pidana terjadi.145

145

(28)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana telah dikemukakan di atas,

maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan konsep hak restitusi terhadap korban TPPO diatur dalam pasal

1 ayat 13 dan pasal 48 sampai 50 , UU No 21 Tahun 2007 tentang PTPPO .

Restitusi yang dimaksud adalah pembayaran ganti kerugian yang

dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum yang tetap atas kerugian materiil dan immaterial yang

diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi juga diatur dalam UU No 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan UU No 26 tahun

2000 tentang Pengadilan HAM. Ganti kerugian juga diatur dalam peraturan

nasional lainnya namun yang dapat dituntut hanya kerugian materiil saja

yaitu pengaturan yang diatur dalam KUHAP pasal 98 sampai 101 tentang

penggabungan perkara pidana dan perdata. KUH Perdata yaitu pasal 1365

sampai 1380 sebagai ganti kerugian akibat dari wanprestasi dalam sebuah

(29)

2. Penerapan konsep hak restitusi atas korban TPPO dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia belum dilaksanakan sesuai dengan aturan yang ada

dalam UU TPPO hal ini disebabkan beberapa kendala :

a. Pada tahap penyidikan Polisi tidak memasukan restitusi dalam Berita

Acara Pemeriksaan karena tidak semua polisi paham tentang restitusi

sebagaimana yang diatur dalam pasal 48 sampai 50 UU TPPO. Sulitnya

mengumpulkan bukti bukti untuk mengajukan restitusi atas kerugian

material dan immaterial

b. Pada tahap Penuntutan, Jaksa tidak memohonkan restitusi dalam

tuntutannya karena tidak ada mekanisme/ tatacara pengajuan restitusi

pada saat pengajuan tuntutan maupun petunjuk teknisnya serta sulitnya

menghitung kerugian immaterial bagi korban TPPO,selain itu UU

PTPPO tidak menyebutkan atau menentukan jumlah atau besaran

restitusi yang dapat diajukan atau dimintakan korban ke pengadilan ,

selain itu sulitnya mengukur kerugian immaterial bagi korban TPPO.

c. Pada tahap putusan pengadilan hakim sulit memutuskan pelaku harus

memberikan restitusi kepada korban TPPO karena karena harta yang

dimiliki pelaku baik itu barang bergerak/tidak bergerak tidak ada,

sementera UU TPPO membuka peluang pilihan hukuman bila restitusi

tidak dapat diberikan pelaku terhadap korban sehingga pelaku lebih

memilih penambahan hukuman 1 tahun penjara daripada memberikan

(30)

B. SARAN

1. Agar restitusi ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan pemerintah

harus segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Mekanisme

dan Tata Cara Pengajuan Restitusi Bagi Korban TPPO. Sepanjang belum ada

ketentuan yang mengatur tata cara menghitung nilai kerugian yang akan

diajukan ke pengadilan , maka penghitungan biaya kerugian dilakukan oleh

korban dibantu oleh psikologi untuk mengetahui sampai sejauhmana trauma

psikologis yang dialami korban, sebagai tolok ukur/standar penilaian atas

kerugian khususnya kerugian immaterial maka dapat dilakukan melalui

formulasi penghitungan kerugian dengan harga emas yang berlaku pada saat

proses hukum peradilan berjalan.

2. Agar penerapan konsep hak restitusi atas korban TPPO dapat berjalan

sebagaimana mestinya maka:

a. Perlu disusun petunjuk pelaksana (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis)

bagi para Polisi dan Jaksa agar ada keseragaman sikap dari para polisi

dan jaksa di daerah dalam menangani perkara TPPO hal ini disarankan

kepada Mabes Polri dan Mahkamah Agung untuk dapat mengeluarkan

Juklak dan Juknis agar para Polisi dan Jaksa diseluruh Indonesia sebagai

pihak yang memperjuangkan hak korban dapat mewujudkan hak korban

untuk memperoleh restitusi atas penderitaan yang dialami korban akibat

(31)

b. Pelatihan bagi Aparat penegak hukum perlu dilakukan dalam upaya

pemahaman yang sama baik itu Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan

LSM tentang restitusi sebagai bentuk perbaikan atas kerugian yang

diakibatkan oleh Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dilakukan oleh

pelaku dan harus dibayarkan kepada korban atau keluarga korban.

c. Bagi hakim agar restitusi dapat diberikan terhadap korban maka

alangkah baiknya penghitungan restitusi dapat dilakukan terlebih dahulu

atas kerugian material dan bila jaksa tidak memasukan restitusi dalam

tuntutan maka hakim memberi peluang kepada korban agar dapat

mengajukan restitusi atau melalui pendamping korban, bila tersangka

banding maka restitusi diharapkan dapat dititipkan terlebih dahulu di

pengadilan agar tersangka tidak dapat memindahtangankan harta yang

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 8 mengatur tentang Cara Pembayaran Insentif “ RATU NUSANTARA akan melakukan informasi jumlah Reward Point Pembelanjaan Produk kepada PIHAK KEDUA melalui

Sedangkan untuk perbedaannya adalah terdapat pada m etode yang digunakan, jika penelitian yang dilakukan oleh Ulfa Fita Nuraini menggunakan metode Ummi

Ada pengaruh pendidikan, pengetahuan, sikap, peran kader kesehatan dan dukungan suami terhadap wanita yang sudah menikah melakukan pemeriksaan inspeksi visual

Sejak awal dalam mengadakan penelitian lapangan, penulis dalam kapasitas sebagai peneliti senantiasa bekerja dengan seluruh data yang berupa catatan tertulis yang penulis

Pengalaman Belajar : Mengkaji makhluk hidup dan kehi-dupannya melalui pendekatan proses, mengkaji hubung-an antara makhluk hidup dengan ling-kungannya, termasuk peran

Variabel Usia Kawin Pertama (X1) memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap fertilitas. (Y) pada wanita pekerja di kota Palangka Raya dalam hal

Histon adalah protein yang mempunyai sifat basa dan dapat larut

JUDUL : JAMUR PENUNJANG HARAPAN HIDUP PASIEN KANKER HATI. MEDIA : HARIAN JOGJA TANGGAL : 29