• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Pada Pemasangan Kateter Urin di Rumah Sakit Pulo Brayan Medan Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tindakan Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial Pada Pemasangan Kateter Urin di Rumah Sakit Pulo Brayan Medan Tahun 2014"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Nosokomial

2.1.1 Pengertian Infeksi Nosokomial

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit, dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/Rumah Sakit. Jadi infeksi nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di Rumah Sakit (Darmadi, 2008).

Infeksi nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan, dan juga setiap orang yang datang ke Rumah Sakit. Infeksi yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung yang berstatus karier atau karena kondisi Rumah Sakit (Betty, 2012).

Penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan, dan kematian di dunia. Salah satu jenis infeksi adalah infeksi nosokomial. Infeksi ini menyebabkan 1,4 juta kematian setiap hari di seluruh dunia (Betty, 2012).

2.1.2 Macam-macam Infeksi Nosokomial

(2)

lingkungan rumah sakit. Infeksi sendiri yaitu infeksi yang disebabkan kuman yang didapat dari pasien sendiri, karena perpindahan kuman dari jaringan lain ke jaringan lainnya (Jhonkarto, 2009).

2.1.3 Dampak infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial menambahkan ketidakberdayaan fungsional, tekanan emosional, dan kadang-kadang pada beberapa kasus akan menyebabkan kondisi kecacatan shingga menurunkan kualitas hidup. Sebagai tambahan, infeksi nosokomial sekarang juga merupakan salah satu penyebab kematian (Ponce-de-Leon 1991).

Dampak infeksi nosokomial lebih jelas di Negara miskin, terutama yang dilanda HIV/AIDS, karena temuan terakhir membuktikan bahwa pelayanan medis yang tidak aman merupakan faktor penting dalam transmisi HIV (Gisselquist dkk 2002).

Menurut Betty (2012), infeksi nosokomial dapat memberikan dampak sebagai berikut :

1. Menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat menyebabkan cacat yang permanen serta kematian.

(3)

3. Meningkatkan biaya kesehatan di berbagai Negara yang tidak mampu, dengan mengingkatkan lama perawatan di Rumah Sakit, pengobatan dengan obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya.

4. Morbiditas, dan mortalitas semakin tinggi. 5. Adanya tuntutan secara hukum.

6. Penurunan citra Rumah Sakit.

2.1.4 Penyebab Infeksi Nosokomial

1. Agen infeksi

(4)

2. Bakteri

Bakteri dapat ditemukan sebagai flora normal dalam tubuh manusia yang sehat. Keberadaan bakteri sangat penting dalam melindungi tubuh dari datangnya bakteri pathogen. Tetapi dalam beberapa kasus dapat menyebabkan infeksi jika manusia tersebut mempunyai toleransi yang rendah terhadap mikroorganisme.

3. Virus

Banyak kemungkinan infeksi nosokomial disebabkan oleh berbagai virus, termasuk virus hepatitis B dan C dengan media penularan dari transfuse, dialysis, suntikan dan endoskopi. Virus lain yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, Ebola, influenza virus, herpes simplex virus, dan varicella-zoster virus, juga dapat ditularkan (Wenzel, 2002).

4. Parasit dan Jamur

Beberapa parasit seperti Giardia lamblia dapat menular dengan mudah ke orang dewasa maupun anak-anak. Banyak jamur dan parasit dapat timbul selama pemberian obat antibiotika bakteri dan obat immunosupresan. 5. Faktor alat

(5)

% pasien memerlukan terapi infuse. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis, fisis dan kimiawi.

2.1.5 Batasan Infeksi Nosokomial

Batasan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika penderita dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit. Siregar (2004) mengatakan bahwa, suatu infeksi pada penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi beberapa kriteria/batasan tentu diantaranya:

1. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

2. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam masa inkubasi dari infeksi tersebut.

3. Tanda tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam sejak mulai perawatan.

4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.

(6)

2.1.6 Cara Penularan Infeksi Nosokomial

Betty (2012) mengatakan bahwa, cara penularan infeksi nosokomial yaitu : 1. Penularan secara kontak

Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung, dan droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber berhubungan langsung dengan penjamu. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara (biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganime.

2. Penularan melalui common vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman, dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari suatu penjamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan intravena, obat-obatan, dan sebagainya.

3. Penularan melalui udara, dan inhalasi

Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh, dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus), dan tuberculosis.

4. Penularan dengan cara perantara vector

(7)

dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector, misalnya shigella, dan salmonella oleh lalat.

Penularan secara internal apabila mikroorganisme masuk kedalam tubuh vector, dan dapat terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis.

2.1.7 Pengelolaan Infeksi Nosokomial

Betty (2012) mengatakan bahwa, terjadinya infeksi nosokomial dipengaruhi oleh :

1. Banyaknya pasien yang dirawat dapat menjadi sumber infeksi bagi lingkungan, dan pasien lainnya.

2. Kontak langsung antara pasin yang menjadi sumber infeksi dengan pasien lainnya.

3. Kontak langsung antara petugas Rumah sakit yanmg tercemar kuman dengan pasien.

4. Penggunaan alat/peralatan medis yang tercemar oleh kuman. 5. Kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang dideritanya

(8)

keperawatan. Untuk dapat mengendalikannya diperlukan adanya mekanisme kerja atau system yang bersifat lintas sektoral/bagian, dan diperlukan adanya sebuah wadah/organisasi di luar struktur organisasi rumah sakit yang telah ada. Dengan demikian diharapkan adanya kemudahan berkomunikasi, dan berkonsultasi langsung dengan petugas pelaksana disetiap bagian/ruang/bangsal yang terindikasi adanya infeksi nosokomial. Wadah atau organisasi ini adalah panitia medic pengendali infeksi (Betty, 2012).

2.1.8 Pengendalian, dan Pencegahan Infeksi Nosokomial

Betty (2012) mengatakan bahwa, dalam mengendalikan infeksi nosokomial di rumah sakit, ada tiga hal yang perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial di rumah sakit, diantaranya :

1. Adanya sistem surveilan yang mantap

(9)

2. Adanya peraturan yang jelas, dan tegas serta dapat dilaksanakan dengan tujuan untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi. Adanya peraturan yang jelas, dan tegas serta dapat dilaksanakan merupakan hal yang sangat penting. Peraturan-peraturan ini merupakan standar yang harus dijalankan setelah dimengerti semua petugas. Standar ini meliputi standar diagnosis ataupun standar pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan ini, peran perawat sangat besar sekali.

3. Adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas rumah sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam merawat penderita.

Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita. Perubahan perilaku inilah yang memerlukan proses belajar, dan mengajar yang terus menerus. Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek epidemiologi dari infeksi nosokomial.

Betty (2012) mengatakan bahwa, pencegahan dari infeksi nosokomial ini diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring, dan program. Program yang termasuk diantaranya :

1. Membatasi transmisi organism dari atau antar pasien dengan cara mencuci tangan, dan penggunaan sarung tangan, tindakan dan aseptic, sterilisasi dan disinfeksi.

(10)

3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi yang cukup, dan vaksinasi.

4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur invasif. 5. Pengawasan infeksi, identifikasi, dan mengontrol penyebarannya.

6. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit.

7. Mengecek dengan menginspeksi bahwa prosedur pengendalian infeksi, dan aseptic telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan rumah sakit.

8. Menghubungkan antara laboratorium dan staf ruang dengan member informasi pada kepala bagian dan memberikan nasihat tentang masalah pengendalian infeksi.

9. Melakukan kerjasama dengan staf kesehatan okupasi (occupational health staf) dalam pemeliharaan rekaman infeksi staf medis, perawat, catering,

domestic, dan berbagai golongan staf lainnya yang terinfeksi.

10. Melakukan kerjasama dengan, dan member petunjuk kepeda perawat komunitas tentang berbagai masalah infeksi.

11. Member informasi segera melelui telepon tentang penyakit yang harus diberitahukan kepada petugas kesehatan masyarakat.

12. Memberitahu berbagai rumah sakit lain dan praktisi lain yang berkepentingan ketika pasien yang terinfeksi dibebaskan dari rumah sakit atau di pindahkan ke tempat lain.

(11)

14. Memberitahu perawat tentang masalah dan kesulitan praktis dalam melaksanakanprosedur rutin yang berkaitan dengan aspek perawatan pengendalian infeksi.

15. Menghadiri berbagai komite relavan yang biasanya mengendalikan infeksi

dari berbagai komite prosedur perawatan.

16. Melakukan perundingan dengan pimpinan pelayanan steril tentang infeksi tertentu dalam rumah sakit.

2.2 Pemasangan Kateter Urin

2.2.1 Defenisi

Pemasangan kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter kedalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukkan selang plastic atay karet melalui uretra kedalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obtruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji pengeluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamikanya tidak stabil (Potter dan Perry, 2002)

(12)

Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan pada saluran kemih bagian bawah dengan menyumbat saluran di sekeliling uretra, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Pada pasien yang menggunakan kateter, mikroorganisme dapat menjangkau saluran kemih melalui tiga lintasan utama: (1) dari uretra ke dalam kandung kemih pada saat kateterisasi; (2) melalui jalur dalam lapisan tipis cairan uretra yang berada di luar kateter ketika kateter dan membran mukosa bersentuhan; dan (3) cara yang paling sering melalui migrasi ke dalam kandung kemih di sepanjang lumen internal kateter setelah kateter terkontaminasi (Brunner & Suddarth, 2000).

Rasyid (2000) menguraikan bahwa penderita yang mengalami infeksi nosokomial yang salah satunya adalah akibat pemasangan kateter akan mendapatkan perawatan yang lebih lama sehingga penderitaan klien mejadi bertambah biaya, selain itu pihak rumah sakit juga akan menanggung kerugian karena kondisi tersebut yaitu: lama hari perawatan bertambah panjang dan biaya menjadi meningkat. Furqan (2003) menegaskan bahwa infeksi saluran kemih pasca kateterisasi ini dapat membahayakan hidup karena dapat berlanjut pada septikemia dan berakhir pada kematian.

(13)

ini merupakan salah satu otonomi perawat yang lazim dilakukan oleh perawat di rumah sakit, maka perawat mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya pencegahan infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter urin (Bouwhuizen, 1996).

2.2.2 Infeksi Saluran Kemih (ISK) Pasca Kateterisasi

Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi ini merupakan salah satu bentuk infeksi nosokomial. Infeksi saluran kemih pasca kateterisasi merupakan porsi terbesar dari infeksi nosokomial (Furqan, 2003). Sekitar 40% dari infeksi nosokomial, 80% infeksinya dihubungkan dengan penggunaan kateter urin (Utama, 2006). Tingginya infeksi setelah pemasangan kateter juga sebagai akibat sulitnya pengontrolan dan perawatan serta penggantian kateter pada penderita yang memerlukan pemasangan kateter yang lama (Furqan, 2003).

Organisme yang menyerang bagian tertentu system urin menyebabkan infeksi pada saluran kencing yaitu ginjal, kandung kemih, prostat, uretra, atau urin. Setiap kali bakteri menginfeksi bagian tertentu, seluruh bagian akan beresiko terkena infeksi. Apabila gejalanya muncul, biasanya berupa demam ringan, panas, ingin kencing terus, dan nyeri. Gejala serupa mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan kateter dalam jangka waktu lama, tapi pasien tersebut juga akan mengalami obstuksi batu saluran kencing, gagal ginjal (Waren, 2000).

2.2.3 Indikasi Kateterisasi

(14)

kandung kemih yang tidak kompeten, pengambilan spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Perry dan Potter, 2005). Menurut Hidayat (2006), kateterisasi sementara di indikasikan pada klien yang tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi akut setelah trauma uretra, tidah mampu berkemih akibat obat sedative atau analgesic, cidera pada tulang belakang, degerasi neuromuscular secara progresifdan pengeluaran urin residual.

2.3Tindakan

2.3.1 Defenisi

Menurut Notoadmodjo (2007), defenisi tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu tindakan. Tindakan mempunyai beberapa tingkatan, yaitu :

1. Persepsi (perception) yaitu mengenal dan memilih berbagai objek yang akan dilakukan.

2. Respon terpimpin yaitu melakukan segala sesuatu sesuai dengan urutan yang benar.

3. Mekanisme yaitu melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis.

4. Adaptasi yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dan dilakukan dengan baik.

2.3.2 Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Tindakan Pencegahan Infeksi

(15)

1. Setiap orang, baik ibu, bayi baru lahir, dan penolong persalinan harus dianggap dapat menularkan penyakit, karena infeksi yang terjadi bersifat asimptomatik atau tanpa gejala.

2. Setiap orang harus dianggap beresiko terkena infeksi.

3. Permukaan tempat pemeriksaan, peralatan dan benda-benda lain yang akan dan telah bersentuhan dengan kulit tak utuh seperti selaput mukosa atau darah, harus dianggap terkontaminasi sehingga setelah selesai digunakan harus dilakukan proses pencegahan infeksi secara benar.

4. Jika tidak diketahui apakah permukaan, peralatan atau benda lainnya telah diproses denngan benar, harus dianggap telah terkontaminasi.

5. Resiko infeksi tidak bisa dihilangkan secara total, tetapi dapat dikurangi hingga sekecil mungkin kejadiannya dengan melaksanakan prosedur tindakan pencegahan infeksi yang benar dan konsisten.

2.3.3Pelaksanaan Tindakan Pencegahan Infeksi

(16)

mudah tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. 

(17)

Menurut Depkes RI (2004), Ada berbagai yang dilaksanakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau mencegah mikroorganisme berpindah dari suatu individu ke individu yang lain yang dapat menyebarkan infeksi, yaitu pelaksanaan tindakan pencegahan infeksi dengan cara melakukan tindakan-tindakan esensial sebagai berikut :

1. Cuci tangan

Cuci tangan adalah prosedur yang paling penting dari pencegahan timbulnya infeksi yang menyebabkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir. Prosedur cuci tangan :

1. melepaskan perhiasan di tangann dan pergelangan. 2. Membasahi tangan dengan air bersih dan air mengalir

3. Menggosok dengan kuat kedua tangan dengan menggunakan sabun biasa atau yang mengandung anti mikroba selama 15 sampai 30 detik dan telah dipastikan sudah menggosok sela-sela jari. Tangan yang terlihat kotor harus dicuci lebih lama.

4. Membilas tangan dengan air bersih dan mengalir

5. Membiarkan tangan kering dengan diangin-anginkan atau dikeringkan dengan kertas tisu yang bersih dan kering atau handuk pribadi yang bersih dan kering.

(18)

7. Jangan mencuci tangan dengan mencelupkan kedalam wadah berisi air meskipun air tersebut sudah ditambah larutan aseptik, karena mikroorganisme dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam larutan tersebut.

8. Bila tidak tersedia air mengalir : menggunakan ember tertutup dengan kran yang bisa ditutup pada saat mencuci tangan dan dibuka kembali jika ingin membilas, menggunakan botol yang sudah diberi lubang agar bisa mengalir, minta orang lain menyiramkan air ketangan.

9. Mengeringkan tangan dengan handuk bersih dan kering. Jangan menggunakan handuk yang juga digunakan orang lain. Handuk basah atau lembab adalah tempat yang baik untuk mikroorganisme berkembangbiak. 10. Bila tidak ada saluran air untuk membuang air yang sudah digunakan,

kumpulkan air di baskom dan buang kesaluran limbah atau jamban dikamar mandi.

2. Pemakaian sarung tangan.

Pakai sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu yang basah baik kulit tak utuh, selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lainnya maupun peralatan. Sarung tangan sekali pakai lebih dianjurkan.

3. Pemakaian masker

4. Pengelolaan cairan antiseptik 5. Pemrosesan alat bekas pakai

(19)

6. Pengelolaan sampah medik

2.3.4 Kontrol Atau Eliminasi Agens Infeksius

Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap objek yang terkontaminasi secara signifikan mengurangi dan sering kali memusnahkan mikroorganisme. Di pusat perawatan kesehatan departemen suplai sentral mendesinfeksi dan menyucihamakan barang-barang yang dapat digunakan kembali. Namun, perawat dapat mengatasi situasi yang memerlukan penggunaan teknik-teknik tersebut. Banyak prinsip pembersihan dan desinfeksi juga dilakukan dirumah (Potter&Perry, 2005).

Pembersihan adalah membuang semua material asing seperti kotoran dan materi organic dari suatu objek (Rutala, 1990). Biasanya, pembersihan termasuk menggunakan air dan kerja mekanis dengan atau tanpa deterjen. Pada saat objek kontak dengan material infeksius atau berpotensi infeksius, objek menjadi terkontaminasi. Jika objek sekali pakai, objek tersebut dibuang. Objek yang dapat digunakan kembali harus dibersihkan seluruhnya bahkan di desinfeksi atau disterilisasi sebelum digunakan kembali (Potter&Perry, 2005).

Potter&Perry (2005) menyatakan bahwa, langkah yang menjamin bahwa suatu objek disebut bersih yaitu :

(20)

protein pada materi organic berkoagulasi dan menempel pada objek, sehingga sulit untuk dibuang.

2. Setelah pembilasan, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun atau deterjen mengurangi area tagangan air dan mengemulsi materi yang kotor atau sisa. Namun, beberapa deterjen rumah tangga memiliki kandungan desinfektan. Membilas objek sepenuhnya untuk membuang kotoran yang teremulsi.

3. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi pada lekukan atau lipatan. Gesekan mengeluarkan materi yang mengontaminasi sehingga mudah dibuang. Buka engsel dari alat-alat.

4. Bilas objek di air hangat.

5. Keringkan objek dan persiapkan untuk desinfeksi dan sterilisasi.

6. Sikat, sarung tangan dan bak tempat objek dibersihkan harus dianggap juga terkontaminasi dan harus dibersihkan.

Desinfeksi menggambarkan proses yang memusnahkan banyak atau semua mikroorganisme, dengan pengecualian spora bakteri, dari objek yang mati (Rutala, 1995). Biasanya dilakukan dengan menggunakan desinfektan kimia atau pasteurisasi basah (digunakan untuk peralatan terapi pernapasan). Contoh desinfektan adalah alcohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol. Zat-zat kimia ini dapat membakar dan toksik terhadap jarringan (Potter&Perry, 2005).

(21)

2.3.5 Pengendalian Penularan Infeksi

Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat untuk tetap waspada tentang jenis penularan dan cara untuk mengontrolya. Di rumah sakit, di rumah, maupun di fasilitas perawatan yang lebih luas, klien harus memiliki set peralatan perawatan pribadi. Menggunakan bedpan, urinal, Waskom mandi dan alat-alat makan secara bersama dapat dengan mudah menularkan infeksi. Thermometer gelas, sekalipun digunakan secara individu, memerlukan perawatan yang khusus. Karena mucus klien sendiri dapat menjadi tempat pertumbuhan mikroorganisme, setelah setiap kali digunakan thermometer gelas dicuci dalam air sabun dan dikeringkan (Potter & Perry, 2005).

Tietjen (2004) mengatakan bahwa, sebagian besar infeksi ini dapat dicegah dengan strategi yang telah tersedia, secara relatif murah, yaitu :

1. Mentaati praktik pencegahan infeksi yang dianjurkan, terutama kebersihan dan kesehatan tangan serta pemakaian sarung tangan,

2. Memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor, diikiuti dengan sterilisasi atau desinfeksi tingkat tinggi: dan

3. Meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi lainnya dimana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada agen penyebab infeksi sering terjadi.

(22)

dengan baju perawat. Tindakan salah yang sering dilakukan adalah mengengkat linen yang kotor langsung dengan tangan mengenai seragam. Harus menggunakan kantung linen yang tahan cairan atau linen yang kotor harus diangkat dengan posisi tangan jauh dari tubuh. Kerangjang cuci tidak boleh dibiarkan sampai sangat penuh (Potter&Perry, 2005).

Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan poengontrolan penularan infeksi adalah mencuci tangan. Mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang kemudian dibilas dibawah aliran air (Larson, 1995). Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan organism yang menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi (Potter&Perry, 2005)

Menurut Potter&Perry (2005), langkah-langkah mencuci tangan yang benar yaitu :

1. Gunakan wastafel yang mudah digapai dengan air mengalir yang hangat, sabun biasa atau sabun antimicrobial, lap tangan kertas atau pengering. 2. Lepaskan jam tanan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan

tangan. Hindari memakai cincin. Jika memakai cincin, lepaskan selama mencuci tangan.

(23)

4. Inspeksi permukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada kulit dan kutikula. Laporkan adanya lesi pada saat merawat klien yang sangat rentan.

5. Berdiri didepan wastafe. Jaga agar tangan dan seragam tidak menyentuh

wastafel. (jika tangan menyentuh permukaan wastafel selama mencuci tangan, ulangi)

6. Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu atau dorong pedal lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu.

7. Hindari percikan air mengenai seragam. 8. Atur aliran air sehingga suhu hangat.

9. Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum mengalirkan air hangat. Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah daripada siku selama mencuci tangan.

10. Taruh sedikit sabun biasa atau sabun antimicrobial cair pada tanga, sabuni dengan seksama. Dapat digunakan butiran sabun siap pakai.

11. Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10-15 detik. Jalin jari-jari tangan dan gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan gerakan sirkular paling sedikit masing-masing lima kali. Pertahankan supaya ujung jari berada dibawah untuk memungkinkan pemusnahan mikroorganisme. 12. Jika daerah bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang

satunya dan tambah sabun atau stik orangewood yang bersih.

(24)

14. Ulangi langkah 10 sampai 12 namun tambah periode mencuci tangannya 1,2 dan 3 detik.

15. Keringkan tangan dengan seksama dari jari tangan ke pergelangan tangan dan lengan bawah dengan handuk kertas atau pengering.

16. Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang tepat.

17. Tutup air dengan kaki dan pedal lutut. Untuk menutup keran yang menggunakan tangan, pakai handuk kertas yang kering.

Larson (1995) merekomendasikan bahwa perawat mencuci tangan dalam situasi seperti berikut ini :

1. Jika tampak kotor

2. Sebelum dan setelah kontak dengan klien

3. Setelah kontak dengan sumber mikroorganisme (darah atau cairan tubuh, membrane mukosa, kulit yang tidak utuh, atau objek mati yang mungkin terkontaminasi)

4. Sebelum melakukan prosedur invasive seperti pemesangan kateter intravascular atau kateter menetap (dianjurkan menggunakan sabun antimikroba)

5. Setelah melepaskan sarung tangan.

(25)

2.3.6 Perlindungan Bagi Pekerja

Potter&Perry (2005) mengatakan bahwa perlindungan barier harus sudah tersedia bagi pekerja yang memasuki kamar isolasi. Kadang-kadang anteroom atau rak dorong khusus di gang menjadi tempat barang seperti gown, masker dan sarung tangan.

1. Gown

Alasan utama menggunakan gown adalah untuk mencegah pakaian menjadi kotor selama kontak dengan klien. Gown melindungi pekerja pelayanan kesehatan dan pengunjung dari kontak dengan bahan dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gown diwajibkan bila kontak dalam ruang isolasi. Terdapat gown yang dapat digunakan kembali dan ada yang sekali pakai. 2. Masker

Masker harus dikenakan bila diperkirakan ada percikan atau semprotan dari darah atau cairan tubuh ke wajah. Selain itu, masker menghindarkan perawat menghirup mikroorganisme dari saluran pernapasan klien dan mencegah penularan patogen dari saluran pernapasan perawat ke klien.

3. Sarung tangan

Sarung tangan mencegah penularan patogen melalui cara kontak langsung maupun tidak langsung.

4. Kacamata pelindung

(26)

perawat harus mengenakan kacamata pelindung, masker atau pelindung wajah (Garner, 1996).

5. Membungkus barang atau linen

Perawat menggunakan prosedur membungkus yang khusus untuk membuang barang yang terkontaminasi disekitar klien. Membungkus barang-barang mencegah terpaparnya individu tanpa sengaja pada barang-barang yang terkontaminasi dan mencegah kontaminasi terhadap lingkungan sekitar.

6. Memindahkan klien

Klien terinfeksi organisme yang menyebar melalui udara harus meninggalkan kamarnya hanya untuk tujuan yang esensial seperti prosedur diagnostic atau pembedahan. Sebelum memindahkan klien ke kursi roda atau brankar, perawat memberikan klien gown yang berfungsi sebagai jubah. Klien yang terinfeksi oleh organism yang ditularkan melalui saluran pernapasan harus juga memakai masker. Petugas yang memindahkan klien-klien ini harus juga memakai perlindungan barier yang diperlukan.

2.3.7 Prosedur Pemasangan Kateter Uretra Rumah Sakit Marta Friska

Sesuai SK Direktur Utama No. 011/SK/MP/III/2008 tentang kebijakan keperawatan dengan tujuan sebagai acuan bagi perawat untuk pemasangan kateter uretra pada pasien sesuai prosedur/standar.

1. Persiapan alat folcy cateter sesuai ukuran , urin bag, sarung tangan, lubricant/jelly, cairan antiseptik steril, nierbeken, pinset anatomis, plester

(27)

2. Persiapan pasien: Perawat menjelaskan tindakan yang akan dilakukan kepada pasien dan keluarga.

3. Perawat mengatur posisi pasien wanita dorsal rekumben, pria posisi supine dan beri selimut mandi.

4. Perawat mencuci tangan dan kenakan sarung tangan steril.

5. Untuk wanita, dengan tangan noa dominan membuka labia minora sampai meatus uretra tampak, pria meregangkan meatus uretra dengan ibu jari dan telunjuk dan tangan dominan membersihkan meatus uretra dengan larutan yodium-povidin.

6. Perawat memberi pelumas pada ujung kateter (wanita), masukkan pelumas 5 cc dengan menggunakan spuit 5 cc, tunggu 3-5 menit.

7. Masukkan ujung kateter ke meatus uretra dengan tehnik aseptik; wanita 5 cm dan pria masukkan kateter sampai 20 cm (dewasa) dan 7,5 cm (anak). 8. Bila urin sudah keluar pertanda kateter sudah mencapai kandung kemih,

pegang kateter dengan kuat dan masukkan kateter 2-3 cm.

9. Isi balon kateter dengan cairan steril sesuai dengan kebutuhan yang tertera pada kateter tersebut (20-25 cc).

10. Hubungkan ujung kateter dengan urinary bag steril dan plester kateter pada paha bagian depan.

11. Lepaskan sarung tangan dan buang sampah dan urin ke wadah yang tersedia.

(28)

13. Periksa kandung kemih untuk memastikan tidak ada distensi. 14. Cuci tangan setelah selesai melakukan tindakan.

Referensi

Dokumen terkait

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Protokol Aplikasi Nirkabel (Wireless Aplication Protocol - WAP) merupakan langkah awal menuju Internet Bergerak yang memungkinkan sebuah ponsel untuk bisa digunakan mengakses

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

DPA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Dokumen Pelaksanaan Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah. DPA - SKPD 2.2.1 Rincian Dokumen

Penulisan ini membahas mengenai sistem yang dibentuk dalam langkah mendukung e-commerce dalam bidang sepatu olahraga yang menggunakan Macromedia Dreamweaver MX sebagai editor,

Nilai R-Square diatas diketahi bernilai27%, artinya menunjukkan bahwa sekitar 27% variabel Return On Asset (Y) dapat dijelaskan oleh variabel Perputaran Modal Kerja (X1)

Dengan ini menyatakan bahwa Penerima Tunjangan Profesi Guru PNSD di Unit Kerja yang saya pimpin benar-benar melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun

I. Upacara belninr silat dan teinpat belajar 4.. I3ap;1hn!a riicnurunk:~n hcpada 1-us berdasarkan mimpi !ang ditcrima bcbcrapa hari scbcluln rlicninggal. Dialah murid