• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Embriologi Telinga Tengah

Telinga tengah berasal dari bagian endoderm kantong faringeal pertama, disamping itu bersama-sama dengan telinga luar, telinga tengah juga mempunyai komponen mesodermal dari lengkung faringeal pertama dan kedua. Kavum timpani dibentuk dari kantong faringeal pertama. Kantong faringeal ini telah nyata terlihat pada minggu ke–3 perkembangan dan pada minggu ke–6 telah memanjang dan menjadi pipih pada ujung distalnya dan bersandar pada lekuk brankial pertama. Jaringan ikat segera tumbuh diantara kedua permukaan yang saling berdekatan tersebut dan akan membentuk tunika propria membran timpani dan manubrium maleus. Menjelang minggu ke–8, fundus kantong faringeal yang telah mendatar akan meluas membentuk awal ruang telinga tengah. Ruang ini hanya terdapat pada setengah bagian bawah telinga tengah sedang sisanya berisi jaringan ikat (Austin, 1997).

Pada akhir bulan ke–2, bagian proksimal kantong tersebut mengecil dan memanjang disebabkan oleh karena pertumbuhan kepala dan membentuk tuba eustachius sejati. Tuba eustachius mempunyai panjang 17-18 mm dan terletak mendatar pada saat lahir dan menjadi dua kali lebih panjang yaitu sekitar 35 mm serta terletak dengan posisi 450 pada usia dewasa (Austin, 1997; Wright, 1997).

(2)

2.1.1 Perkembangan membran timpani

Membran timpani dibentuk oleh pertemuan antara meatal plug dengan bagian endodermal resesus tubo timpanikus. Daerah pertemuan tersebut miring, sehingga membuat membran timpani terletak miring sesuai dengan sumbu dari liang telinga luar (Anson, 1991). Saraf korda timpani, handle dari stapes dan lapisan mesoderm terdapat diantara meatal plug dan resesus tubo timpanikus (Anson, 1991; Wright, 1997).

Membran timpani terdiri dari tiga lapisan :

1. Lapisan luar : lapisan epitel berasal dari ektodermal yang merupakan lanjutan dari kulit liang telinga luar

2. Lapisan tengah : lapisan fibrosa berasal dari mesodermal yang berisi korda timpani dan manibrium maleus

3. Lapisan dalam : lapisan mukosa berasal dari endodermal yang merupakan lanjutan dari membran mukosa telinga tengah (Anson, 1991; Wright, 1997).

Pada awal minggu ke – 12 di dalam rongga telinga tengah, terbentuk 4 sakus mukosa yang membentuk formasi dari telinga tengah, terdiri dari :

(3)

a. Sakus antikus yang akan membentuk kantong anterior dari Von

Troltsch

b. Sakus medius membentuk resesus epitimpanikus dan mengalami pneumatisasi pada bagian petrosa dari tulang temporal

c. Sakus superior membentuk kantong posterior dari Von Troltsch dan ruang inkuidal inferior serta mengalami pneumatisasi pada bagian mastoid tulang temporal

d. Sakus posterior (sakus postikus), meluas ke posterior membentuk tonjolan foramen rotundum, tonjolan foramen ovale dan sinus timpanikus (Wright, 1997).

Lipatan mukosa kavum timpani terbentuk ketika kantong-kantong mukosa tersebut berhubungan satu sama lain. Pada saat terbentuk kavum timpani berisi cairan mukoid yang secara perlahan-lahan diabsorbsi. Pada saat lahir kavum timpani dan struktur tang terdapat didalamnya sebagaimana telinga dalam telah mempunyai bentuk dan ukuran dewasa (Wright, 1997).

2.1.2 Perkembangan tulang-tulang pendengaran

Stapes, maleus dan inkus berasal dari mesodermal dari dua buah lengkung faringeal pertama. Tulang-tulang pendengaran tersebut

(4)

berkembang secara ekstra mukosa walaupun dia tetap berada di dalam kavum timpani. Tulang rawan lengkung faringal I (tulang rawan Meckel’s) terletak sebelah anterior dari resesus tubo timpanikus (kantong faringeal I) dan tulang rawan lengkung faringeal II (tulang rawan Reichert’s) terletak sebelah posterior dari resesus tubo timpanikus (Anson, 1991). Bagian superior dari tulang rawan Meckel’s membentuk maleus, inkus, ligamentum maleus anterior dan ligamentum speno-mandibular (Austin, 1997).

Pada mulanya maleus dan inkus berupa massa yang tunggal, kemudian pada minggu ke–8 dari kehidupan fetus terpisah dengan terbentuknya sendi diantara maleus dan inkus tersebut. Tulang rawan lengkung ke II (Reichert’s) membentuk manubrium maleus dan prosesus longus dari inkus. Prosesus anterior meleus terbentuk secara terpisah dari tulang membran, manubrium maleus meluas ke bawah dan terjepit diantara ektoderm celah faringeal pertama dengan resesus tubo timpanikus sepanjang saraf korda timpani, akhirnya tertanam di dalam setengah atas dari membran timpani. Muskulus tensor timpani juga berasal dari mesodermal lengkung faringeal pertama sehingga mempunyai hubungan dengan maleus (Austin, 1997).

Ujung atas dari tulang rawan Reichert’s membentuk sebagian besar stapes, prosesus stiloideus, ligamentum stilohioid dan bagian atas dari badan hioid. Fiksasi kongenital dari stapes terjadi oleh karena kegagalan pemisahan telapak kaki stapes (segretion of the foot plate) dari otik kapsul dan harus dibedakan dari otosklerosis (Austin, 1997).

(5)

Selama minggu ke–4 embriologi, lengkung kedua mesodermal membentuk blastema yang oleh saraf ketujuh dibagi menjadi stapes, interhiale dan laterohiale. Pada minggu ke–5 dan ke–6 arteri stapedius yang merupakan arteri dari lengkung brankial ke–2 menembus stapes primitif dan berubah bentuk menjadi lingkaran, kemudian arteri ini mengalami regresi tapi sering juga persisten, inilah yang sering mengakibatkan perdarahan pada saat operasi telinga tengah. Dalam minggu ke–8 sendi inkudostapedial terbentuk dan pada minggu ke–10 stapes digambarkan berbentuk seperti sanggurdi. Tulang interhiale akhirnya menjadi muskulus stapedius beserta tendonnya sedangkan hubungan antara laterohiale dengan kapsul otik mebentuk dinding anterior kanalis fasialis dari prosesus piramidalis (Wright, 1997).

Proses terbentuknya inkus dimulai pada usia 16 minggu, leher maleus terbentuk usia 17 minggu dan stapes usia 19 minggu. Bentuk dan ukuran maleus, inkus dan stapes sama pada saat lahir dan dewasa. Manubrium maleus tidak pernah menjadi tulang dan tetap sebagai tulang rawan. Perubahan bentuk dari maleus dan inkus berlanjut setelah lahir dengan pembentukan tulang sekunder dan tersier sedangkan stapes tetap (Wright, 1997).

2.2 Anatomi Telinga Tengah

Telinga adalah organ fungsi pendengaran dan pengatur keseimbangan. Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu

(6)

telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto, Hendarmin, Bashiruddin, 2004). Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius dan prosesus mastoideus (Dhingra, 2007).

Membran Timpani

Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani yang memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani ini berbentuk oval dan mempunyai ukuran panjang vertikal rata-rata 9-10 mm, dan diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, tebal kira-kira 0,1 mm. Membran ini tipis, licin dan berwarna putih mutiara (Dhingra, 2007). Membran timpani terdiri dari tiga lapisan, lapisan luar terdiri dari epitel skuamosa, bagian medial merupakan lanjutan dari mukosa telinga tengah. Lapisan tengah merupakan lapisan fibrosa yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan radial dan sirkuler (sirkumferensial). Lapisan dalam dilapisi epitel kuboidal (Yates dan Anari, 2008).

Secara anatomis membran timpani dibagi dalam dua bagian yaitu: 1. Pars Tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani

merupakan suatu permukaan yang tegang dan bergetar dengan sekelilingnya yang menebal dan melekat di anulus timpanikus pada sulkus timpanikus pada tulang dari tulang temporal.

2. Pars Flaksida atau membran Sharpnell, letaknya di bagian atas muka dan lebih tipis dari pars tensa. Pars flaksida dibatasi oleh

(7)

dua lipatan yaitu plika maleolaris anterior (lipatan muka) dan plika maleolaris posterior (lipatan belakang) (Dhingra, 2007).

Kavum Timpani

Kavum timpani mempunyai bentuk ireguler, bagian lateral terdapat lekukan, antara dinding lateral dan dinding medial kavum timpani terisi udara. Kavum timpani terdiri dari tiga bagian yaitu supero-inferior berhubungan dengan membran timpani disebut epitimpani atau atik, yang terletak dipinggir atas dari membran timpani. Setentang membran timpani adalah mesotimpani dan dibawah pinggir membran timpani disebut hipotimpani (Colman, 1993; Yates dan Anari, 2008).

Kavum timpani mempunyai enam dinding yaitu bagian atap, lantai, dinding lateral, dinding medial, dinding anterior dan dinding posterior (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Atap kavum timpani dibentuk oleh lempengan tulang yang tipis disebut tegmen timpani. Tegmen timpani memisahkan telinga tengah dari fossa media (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang tipis yang memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus vena jugularis yang dinding superiornya dibatasi oleh lempeng tulang yang mempunyai ketebalan yang bervariasi, bahkan kadang-kadang hanya dibatasi oleh mukosa dengan kavum timpani (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

(8)

Dinding medial kavum timpani memisahkan kavum timpani dari telinga dalam, ini juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam. Dinding ini pada mesotimpani menonjol kearah kavum timpani yang disebut promontorium. Tonjolan ini oleh karena didalamnya terdapat koklea (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Dinding posterior kavum timpani dekat keatap, mempunyai satu saluran disebut aditus yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpani. Pada bagian posterior ini, dari medial ke lateral terdapat eminensia piramidalis yang terletak di bagain supero-medial dinding posterior, kemudian sinus posterior yang membatasi eminensia piramidalis dengan tempat keluarnya korda timpani (Helmi, 2005; Dhingra 2007).

Dinding anterior kavum timpani sebagian besar berhadapan dengan arteri karotis, dibatasi lempengan tulang tipis. Dibagian atas dinding anterior terdapat semikanal nervus tensor timpani yang terletak persis di atas muara tuba eustachius (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan dibagian epitimpani dinding lateralnya adalah skutum yaitu lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal (Helmi, 2005; Dhingra, 2007).

Isi kavum timpani terdiri dari :

1. Tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes).

(9)

3. Saraf korda timpani, merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari kanalikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior.

4. Saraf pleksus timpanikus adalah berasal dari nervus timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik di sekitar arteri karotis interna (Dhingra, 2007).

Tuba Eustachius

Tuba eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani dengan nasofaring (Helmi, 2005).

Tuba eustachius terdiri dari dua bagian yaitu bagian tulang yang terdapat pada bagian belakang dan pendek (sepertiga bagian) dan bagian tulang rawan yang terletak pada bagian depan dan panjang (duapertiga bagian) (Helmi, 2005).

Fungsi tuba eustachius adalah sebagai ventilasi telinga yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara didalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani (Healy dan Rosbe, 2003; Helmi, 2005).

(10)

Prosesus mastoideus baru terbentuk pada usia satu tahun, antrum mastoideum adalah ruangan pertama dan yang terbesar yang terdiri dari sel-sel mastoid. Sel-sel-sel ini berhubungan satu dengan lain dan pertumbuhan dari sel-sel mastoid tiap orang berbeda. Pneumatisasi prosesus mastoideus menurut tipe perkembangannya dibagi atas prosesus mastoideus sklerotik, diploik dan pneumatik. Bila drainase tidak baik pada mastoid akan mudah terjadi radang (Helmi, 2005).

2.3 Fungsi Telinga Tengah

Telinga tengah sangat penting karena berfungsi sebagai penghantar gelombang suara dari telinga luar ke telinga dalam. Suara yang ditangkap dan dikumpulkan oleh pinna (daun telinga) diarahkan ke liang telinga, kemudian diteruskan ke membran timpani. Gelombang suara ini membentuk suatu tekanan yang kemudian menggetarkan membran timpani. Getaran ini akan menggerakkan tulang-tulang pendengaran (maleus, inkus, stapes). Pergerakan tulang-tulang pendengaran ini selanjutnya akan menggetarkan foramen ovale sehingga mengakibatkan bergetarnya cairan yang berada di telinga dalam. Dari peristiwa ini dapat disimpulkan bahwa telinga tengah berfungsi merubah getaran suara di udara yang ditangkap oleh membran timpani, menjadi getaran mekanis pada tulang-tulang pendengaran dan selanjutnya melalui foramen ovale merubah getaran cairan di dalam labirin (Moore, Ogren & Yonkers, 1989).

(11)

2.4 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Gelombang tersebut menggetarkan membran timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang-tulang pendengaran. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reisner yang mendorong endolimfe, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter kedalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

2.5 Otitis Media Supuratif Kronis 2.5.1 Definisi

Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari

(12)

telinga (otorea) lebih dari tiga bulan baik terus menerus ataupun hilang timbul (Acuin, 2002; Telian dan Schmalbach, 2002). Penyakit ini merupakan salah satu penyakit infeksi kronis bidang THT di Indunesia yang masih sering menimbulkan ketulian dan kematian (Djaafar, 2001).

2.5.2 Kekerapan

Angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi di negara-negara sedang berkembang dibandingkan dengan negara maju, karena beberapa hal misalnya higiene yang kurang, faktor sosioekonomi, gizi yang rendah, kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang salah terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas (Mills, 1997; Djaafar, 2003).

Berdasarkan hasil survei epidemiologi yang dilakukan di tujuh propinsi di Indonesia tahun 1994-1996, didapati bahwa prevalensi OMSK secara umum adalah 3,8%. Disamping itu pasien OMSK merupakan 25% dari pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia. Angka kejadian OMSK yang rendah, di negara maju ditemukan pada pemeriksaan berkala, pada anak sekolah yang dilakukan oleh School Health Service di Inggris Raya sebesar 0,9%, tetapi prevalensi OMSK yang tinggi juga masih ditemukan pada ras tertentu di negara maju, seperti Native American Apache 8,2%, Indian Kanada 6%, dan Aborigin Australia 25% (Djaafar, 2005). Data poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien

(13)

OMSK merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien (Aboet, 2007), sedangkan pada tahun 2007 dan 2008 adalah 28 dan 29%.

Survei prevalensi diseluruh dunia, yang walaupun masih bervariasi dalam hal definisi penyakit, metode sampling serta mutu metodologi, menunjukkan beban dunia akibat OMSK melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, 60% di antaranya (39–200 juta) menderita kurang pendengaran yang signifikan (Aboet, 2007).

2.5.3 Patogenesis

Hingga saat ini patogenesis OMSK masih belum diketahui dengan jelas. Goodhill dan Paparella menyatakan bahwa OMSK merupakan penyakit yang sebagian besar sebagai komplikasi infeksi saluran pernapasan bagian atas, kelanjutan dari otitis media akut yang tidak sembuh. Kemungkinan besar proses primer terjadi pada sistem tuba eustachius, telinga tengah dan selulae mastoidea. Proses ini khas, berjalan perlahan-lahan secara kontinu dan dinamis, berakibat hilangnya sebagian mambran timpani sehingga memudahkan proses menjadi kronik (Ballenger, 1997; Sheahan, Donnelly & Kane, 2001). Faktor-faktor yang menyebabkan proses infeksi menjadi kronik sangat bervariasi, antara lain :

1. Gangguan fungsi sistem tuba eustachius yang kronik akibat infeksi hidung dan tenggorok yang kronik atau berulang, atau adanya obstruksi tuba eustachius parsial atau total.

(14)

2. Perforasi membran timpani yang menetap.

3. Terjadinya metaplasia skuamosa atau perubahan patologik yang menetap pada telinga tengah.

4. Gangguan aerasi telinga tengah atau rongga mastoid yang sifatnya menetap. Hal ini disebabkan oleh jaringan parut, penebalan mukosa, polip, jaringan granulasi atau timpanoslerosis.

5. Faktor-faktor konstitusi dasar seperti alergi, kelembaban umum atau perubahan mekanisme pertahanan tubuh (Ballenger, 1997; Antonelli, 2006).

2.5.4 Patologi

Infeksi kronis maupun infeksi akut berulang pada hidung dan tenggorok dapat menyebabkan gangguan fungsi tuba eustachius sehingga rongga timpani mudah mengalami gangguan fungsi hingga infeksi dengan akibat mengeluarkan sekret terus-menerus atau hilang timbul (Adhikari, 2007).

Peradangan pada membran timpani menyebabkan proses kongesti vaskuler, sehingga terjadi suatu daerah iskemi, selanjutnya terjadi daerah nekrotik yang berupa bercak kuning, yang bila disertai tekanan akibat penumpukan sekret dalam rongga timpani dapat mempermudah terjadinya perforasi membran timpani. Perforasi yang menetap akan menyebabkan rongga timpani selalu berhubungan dengan dunia luar, sehingga kuman dari

(15)

kanalis auditorius eksternus dan dari luar dapat dengan bebas masuk ke dalam rongga timpani, menyebabkan infeksi mudah berulang atau bahkan berlangsung terus-menerus. Keadaan kronik ini lebih berdasarkan waktu dan stadium daripada keseragaman gambaran patologi. Ketidakseragaman gambaran patologi ini disebabkan oleh proses yang bersifat kambuhan atau menetap, efek dari kerusakan jaringan, serta pembentukan jaringan parut (Lasisi, 2008; Lin, Lin, Lee et al, 2009).

Selama fase aktif, epitel mukosa mukosa mengalami perubahan menjadi mukosa sekretorik dengan sel goblet yang mengekskresi sekret mukoid atau mukopurulen. Adanya infeksi aktif dan sekret persisten yang berlangsung lama menyebabkan mukosa mengalami pross pembentukan jaringan granulasi dan atau polip. Jaringan patologis dapat menutup membran timpani, sehingga menghalangi drainase, menyebabkan penyakit menjadi persisten (Kenna dan Latz, 2006).

Perforasi membran timpani ukurannya bervariasi. Pada proses penutupannya dapat terjadi pertumbuhan epitel skuamosa masuk ke telinga tengah, kemudian terjadi proses deskuamasi normal yang akan mengisi telinga tengah dan antrum mastoid, selanjutnya membentuk kolesteatoma akuisita sekunder, yang merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kuman patogen dan bakteri pembusuk. Kolesteatoma ini mampu menghancurkan tulang di sekitarnya termasuk rangkaiain tulang pendengaran oleh reaksi erosi dari enzim osteolitik atau kolegenase yang dihasilkan oleh proses kolesteatoma dalam jaringan ikat subepitel. Pada

(16)

proses penutupan membran timpani dapat juga terjadi pembentukan membran atrofi dua lapis tanpa unsur jaringan ikat, dimana membran bentuk ini akan cepat rusak pada periode infeksi aktif (Kenna dan Latz, 2006; Bhat dan Manjunath, 2007).

2.5.5 Etiologi

OMSK dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : a. Lingkungan

Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet dan tempat tinggal yang padat.

b. Genetik

Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik. Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.

(17)

Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media akut atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan kronis.

d. Infeksi

Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah baik aerob ataupun anaerob menunjukkan organisme yang multipel. Organisme yang terutama dijumpai adalah gram negatif,

bowel-type flora dan beberapa organisme lainnya.

e. Infeksi saluran napas atas

Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas. Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah dan menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

f. Autoimun

Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis media kronis.

(18)

Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding yang bukan alergi.

h. Gangguan fungsi tuba eustachius.

Pada otitis media supuratif kronis aktif, tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi apakah hal ini merupakan fenomena primer atau sekunder masih belum diketahui (Ballenger, 1997; Kenna dan Latz, 2006; Akinpelu, Amusa, Komolafe et al, 2007).

2.5.6 Klasifikasi

Secara klinis OMSK dapat dibagi atas dua tipe yaitu: a. Tipe Tubotimpanal

Disebut juga tipe aman/benigna, karena jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Biasanya tipe ini didahului oleh gangguan fungsi tuba yang menyebabkan kelainan di kavum timpani. Tipe ini disebut juga dengan tipe mukosa karena proses peradangannya biasanya hanya pada mukosa telinga tengah. Perforasi pada tipe ini biasanya letaknya sentral.

b. Tipe Atikoantral

Disebut juga tipe maligna/berbahaya karena dapat menimbulkan komplikasi yang serius dan mengancam jiwa penderita. Biasanya

(19)

dapat juga terjadi proses erosi tulang atau kolesteatoma, granulasi atau osteitis. Perforasi letaknya marginal atau atik (Ballenger, 1997, Lasisi, Olaniyan, Mulbi et al, 2007).

2.5.7 Gejala dan Tanda a. Telinga berair (otore)

Otore (aural discharge) merupakan manifestasi otitis media kronis yang paling sering dijumpai (Mills, 1997). Pada OMSK tipe benigna, cairan yang keluar biasanya bersifat mukopurulen yang tidak berbau busuk. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Sedangkan pada OMSK tipe maligna, sekret yang keluar bersifat purulen dan berbau busuk, berwarna abu-abu kotor kekuning-kuningan oleh karena adanya kolesteatoma yang menyebabkan proses degenerasi epitel dan tulang (Mills, 1997; Djaafar, 2004).

Keluarnya sekret dapat didahului oleh infeksi saluran nafas atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang (Mills, 1997). Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatoma yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer tanpa disertai rasa nyeri mengarahkan kemungkinan suatu tuberkulosis (Paparella, Adams & Levine, 1997).

(20)

Pada umumnya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatoma dapat menghantarkan bunyi dengan efektif ke fenestra ovale (Paparella, Adams & Levine, 1997).

c. Nyeri

Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu tanda yang serius. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret, terpaparnya duramater atau dinding sinus lateralis atau ancaman pembentukan abses otak (Paparella, Adams & Levine, 1997).

d. Vertigo

Hal ini merupakan gejala serius lainnya. Gejala ini memberikan kesan adanya suatu fistula, berarti ada erosi pada labirin tulang dan sering terjadi pada kanalis semisirkularis horizontal (Paparella, Adams & Levine, 1997; Helmi, 2005).

e. Perforasi membran timpani

Perforasi membran timpani dapat bersifat sentral, subtotal, total, atik ataupun marginal. Pada perforasi atik atau marginal perlu dicurigai adanya kolesteatoma. Jaringan granulasi atau polip dapat juga ditemukan. (Helmi, 2005).

(21)

Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna: a. Terdapat abses atau fistel retroaurikuler.

b. Terdapat polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang berasal dari dalam telinga tengah.

c. Terlihat kolesteatoma pada telinga tengah terutama di epitimpani. d. Sekret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma).

e. Terlihat bayangan kolesteatoma pada foto Rontgen mastoid (Djaafar, 2004).

2.5.8 Diagnosis

Diagnosis OMSK dapat ditegakkan berdasarkan : a. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap sangat membantu menegakkan diagnosis OMSK. Biasanya penderita datang dengan riwayat otore menetap atau berulang lebih dari tiga bulan. Penurunan pendengaran juga merupakan keluhan yang paling sering. Terkadang penderita juga mengeluh adanya vertigo dan nyeri bila terjadi komplikasi.

b. Pemeriksaan otoskopi

Pemeriksaan otoskopi dapat melihat lebih jelas lokasi perforasi, kondisi sisa membran timpani dan kavum timpani. OMSK ditegakkan jika ditemukan perforasi membran timpani.

(22)

Pemeriksaan audiometri penting untuk menentukan fungsi konduktif dan fungsi koklea. Dengan menggunakan audiometri nada murni pada hantaran udara dan hantaran tulang serta penilaian diskriminasi tutur, besarnya kerusakan tulang-tulang pendengaran dapat diperkirakan dan bisa ditentukan manfaat operasi rekonstruksi telinga tengah untuk perbaikan pendengarannya.

d. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi dari mastoid perlu untuk melihat perkembangan pneumatisasi mastoid dan perluasan penyakit. Foto polos dan CT Scan dapat menunjukkan adanya gambaran kolesteatoma dan keadaan tulang-tulang pendengaran juga dapat diperhatikan.

e. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga penting untuk menentukan bakteri penyebab OMSK dan antibiotika yang tepat (Ballenger, 1997; Mills, 1997; Helmi, 2005).

2.5.9 Komplikasi

Adams (1989) mengemukakan klasifikasi komplikasi sebagai berikut : A. Komplikasi di telinga tengah :

1. Perforasi membran timpani persisten 2. Erosi tulang pendengaran

(23)

B. Komplikasi di telinga dalam : 1. Fistula labirin

2. Labirinitis supuratif 3. Tuli saraf (sensorineural) C. Komplikasi di ekstradural :

1. Abses ekstradural

2. Trombosis sinus lateralis 3. Petrositis

D. Komplikasi ke susunan saraf pusat 1. Menigitis

2. Abses otak

3. Hidrosefalus otitis (Kenna dan Latz, 2006).

2.5.10 Penatalaksanaan

Ada dua hal yang penting diperhatikan apabila kita merawat penderita OMSK yaitu kelainan patologi yang berperan sebagai sumber infeksi di dalam telinga tengah serta seberapa jauh kelainan patologi tersebut sudah mengganggu fungsi pendengaran (Wang, Nadol, Austin et al, 2000; Yuen, Ho, Wei et al, 2000).

Prinsip terapi OMSK tipe benigna adalah konservatif atau medikamentosa. Bila sekret keluar terus-menerus, maka diberikan obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3% selama tiga sampai lima hari. Setelah

(24)

telinga yang mengandung antibiotika. Secara oral diberikan antibiotika sesuai kultur dan tes sensitivitas (Alper, Dohar, Gulhan et al, 2000; Djaafar, 2004).

Bila sekret telah kering tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran (Djaafar, 2004).

Prinsip pengobatan pada OMSK tipe maligna adalah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi bila terdapat OMSK tipe maligna maka terapi yang tepat adalah dengan melakukan mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses retroaurikular, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi (Veldman, Braunius, 1998; Djaafar, 2004).

2.6 Gangguan Pendengaran pada Otitis Media Supuratif Kronis

Gangguan pendengaran yang terjadi dapat bervariasi. Pada umumnya gangguan pendengaran yang terjadi berupa tuli konduktif namun dapat pula bersifat tuli saraf atau tuli campuran apabila sudah terjadi gangguan pada telinga dalam misalnya akibat proses infeksi yang berkepanjangan atau infeksi yang berulang. Beratnya ketulian bergantung kepada besar dan letak

(25)

perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistem penghantaran suara di telinga tengah (Djaafar, 2004). Perforasi yang lebih besar dapat menyebabkan lebih banyak kehilangan suara yang ditransmisikan ke telinga dalam (Maqbool, 1993). Suri dkk dalam penelitiannya terhadap penderita OMSK tipe benigna di R.S. Sardjito Yogyakarta menjumpai adanya hubungan yang bermakna antara besarnya perforasi dengan derajat ketulian (Suri, Soekardono & Hulu, 1999). Hal yang sama juga dijumpai oleh Rambe dalam penelitiannya terhadap penderita OMSK di RSUP. H. Adam Malik Medan, bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara besarnya perforasi dengan derajat ketulian (Rambe, 2002).

Pada OMSK tipe maligna biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran, tetapi seringkali kolesteatoma bertindak sebagai penghantar suara ke foramen ovale sehingga gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologis sangat hebat (Djaafar, 2004). Pasien akan merasakan pendengaran yang makin buruk apabila liang telinga dipenuhi oleh sekret dan akan berkurang apabila sekret dibersihkan (Ramalingam, 1990).

Pada kenyataannya, gangguan pendengaran pada OMSK tidak seluruhnya tuli konduktif murni. Tidak sedikit penderita OMSK menderita tuli sensorineural atau tuli campur. Setiap kali ada infeksi didalam telinga tengah, maka ada kemungkinan produk-produk infeksi akan menyebar melalui fenestra rotundum ke telinga dalam, dan akan mengakibatkan ketulian sensorineural (Sari dan Samiharja, 1999).

(26)

Rambe pada penelitiannya yang dilakukan antara April 2002 – Juli 2002 di RSUP. H. Adam Malik Medan terhadap 94 sampel telinga penderita OMSK, mendapatkan jenis gangguan pendengaran yang terbanyak dijumpai adalah tuli konduktif sebanyak 75 telinga (79,8%), tuli campur sebanyak 16 telinga (17%) dan tuli saraf sebanyak 3 telinga (3,2%) (Rambe, 2002).

Wisnubroto pada penelitian retrospektif di RS. Soetomo Surabaya antara tahun 1999 – 2002, dari data rekam medis penderita OMSK yang telah menjalani pembedahan telinga, tercatat hanya ada 475 rekam medis yang dilengkapi hasil audiogram prabedah. Yang mengalami tuli konduktif terdiri dari 93 (19,6%) kasus OMSK reversibel, 140 (29,5%) kasus OMSK benigna dan 115 (24,2%) sebagian kasus OMSK maligna. Sisanya sebanyak 127 (26,7%) kasus OMSK maligna sudah mengalami tuli perseptif berat sampai total (Wisnubroto, 2003).

Morisson (1969) melaporkan bahwa 25% dari kasus dengan peradangan telinga tengah mengalami tuli sensorineural (Yeoh, 1997).

English et al (1973) pada penelitian terhadap 404 pasien dengan OMSK, menjumpai adanya suatu hubungan antara lamanya penyakit dengan derajat tuli sensorineural (Yeoh, 1997).

Cusimano et al (1989) juga melaporkan bahwa lamanya penyakit mempunyai pengaruh terhadap terjadinya tuli sensorineural dan tidak dijumpai adanya hubungan dengan umur sewaktu terjadinya serangan (Yeoh, 1997).

(27)

Nani dkk pada penelitiannya untuk mendeteksi ketulian sensorineural terhadap penderita OMSK unilateral di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Ujung Pandang antara April 1996 – September 1996 menemukan dari 22 penderita yang ditemukan, terdapat 9 (40,9%) kasus yang terdeteksi adanya ketulian sensorineural (Nani, Mangape & Sedjawidada, 1996).

De Azevedo et al pada penelitiannya terhadap 115 penderita OMSK dengan dan tanpa kolesteatoma, mendapatkan 78 penderita OMSK dengan kolesteatoma dan sebanyak 15 penderita (13%) mengalami tuli sensorineural (De Azevedo et al, 2007).

Data subdivisi otologi THT-KL RSCM Jakarta antara Januari 2002 – Desember 2006, dari 212 penderita OMSK tipe maligna yang menjalani pembedahan telinga, didapatkan 53 penderita (25%) mengalami tuli sensorineural (Restuti, 2007).

Insiden tuli campur (mixed hearingloss = MHL) pada OMSK telah dilaporkan oleh banyak penulis. Paparella et al, sebagaimana dikutip oleh Shenoi (1987) mendapatkan 279 kasus MHL diantara 500 telinga dengan OMSK. Gardenghi melaporkan insiden MHL pada OMSK adalah 42%. Sementara Bluvesteis melaporkan insiden MHL pada OMSK ini adalah 38%. Nani (1996) melaporkan terdapat sekitar 5% dari 22 penderita OMSK mengalami MHL. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang, insiden MHL juga pernah dilaporkan oleh Pradipto sebesar 12,75% dan Dullah (1996) mendapatkan

MHL sebanyak 44,5% dari 54 telinga dengan OMSK (Sari dan Samiharja,

(28)

Santoso dan Ahadiah pada penelitiannya terhadap penderita OMSK tipe maligna dengan komplikasi ekstrakranial antara Januari 2004 – Desember 2006 di RS. Dr. Soetomo Surabaya, mendapatkan dari 163 penderita ditemukan 56 penderita (34,36%) mengalami komplikasi ekstrakranial dan jenis ketulian yang terbanyak ditemukan adalah MHL (46,43%) (Santoso dan Ahadiah, 2007).

Terjadinya MHL pada OMSK ini menunjukkan bahwa lesi fungsional telah terjadi di telinga tengah dan juga telinga dalam (Sari dan Samiharja, 1999).

Djafaar dalam penelitiannya yang dilakukan antara 1991–1993 di RSCM Jakarta, menjumpai dari 145 pasien OMSK tipe berbahaya yang berobat ditemukan 88 penderita (60%) tuli konduktif sedang berat, 8 orang penderita (6%) dengan tuli campur, 18 penderita (12%) dengan tuli saraf berat, dan sisanya 31 penderita (22%) tidak ada audiogramnya (Djaafar, 2001).

2.7 Audiometri Nada Murni

Audiometri nada murni adalah suatu cara pemeriksaan untuk mengukur sensitivitas pendengaran dengan alat audiometer yang mengunakan nada muni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya mampunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik (Feldman dan Grimes, 1997).

(29)

Walaupun pemeriksaan audiometri nada murni tidak sepenuhnya objektif, tetapi sampai sekarang masih merupakan yang paling banyak dipakai untuk keperluan klinis oleh karena prosedurnya yang sederhana namun dapat banyak memberi informasi tentang keadaan sistem pendengaran (Feldman dan Grimes, 1997).

Audiometer yang tersedia di pasaran umumnya terdiri dari enam komponen utama, yaitu:

a. Oskilator, yang menghasilkan berbagai nada murni

b. Amplifier, untuk menaikkan intensitas nada murni sampai dapat

terdengar

c. Pemutus (interrupter), yang memungkinkan pemeriksa menekan dan mematikan tombol nada murni secara halus tanpa terdengar bunyi lain (klik)

d. Attenuator, agar pemeriksa dapat menaikkan atau menurunkan

intensitas ke tingkat yang dikehendaki

e. Earphone, yag mengubah gelombang listrik yang dihasilkan oleh

audiometer menjadi bunyi yang dapat didengar

f. Sumber suara penganggu (masking), yang sering diperlukan untuk meniadakan bunyi ke telinga yang tidak diperiksa (Feldman dan Grimes, 1997).

(30)

Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal berikut ini :

Nada murni (pure tone) : merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.

Bising : merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari

narrow band (spektrum terbatas) dan white noise (spektrum luas).

Frekuensi : nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah getaran per detik dinyatakan dalam Hertz.

Intensitas bunyi : dinyatakan dalam dB (decibel), dikenal dB HL (hearing

level), dB SL (sensation level) dan dB SPL (sound pressure level).

Ambang dengar : bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.

Nilai nol audiometrik (audiometric zero) : dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih

(31)

dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30 tahun).

Notasi pada audiogram : untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa antara 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk telinga kanan dipakai warna merah (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli. Jenis ketulian yaitu tuli konduktif, sensorineural atau tuli campur juga dapat ditentukan (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

Derajat ketulian dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher yaitu:

Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz 3

Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting untuk pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar di atas, kemudian dibagi 4 (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

(32)

Ambang dengar (AD) =

AD 500 Hz + AD 1000 Hz + AD 2000 Hz + AD 4000 Hz 4

Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar hantaran udara (AC) saja (Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

Derajat ketulian ISO (International Standard Organization) : 0 – 25 dB : normal

>25 – 40 dB : tuli ringan >40 – 55 dB : tuli sedang >55 – 70 dB : tuli sedang berat >70 – 90 dB : tuli berat >90 dB : tuli sangat berat

(Soetirto, Hendarmin & Bashiruddin, 2004).

Manfaat audiometri nada murni :

a. Keadaan fungsi pendengaran masing-masing telinga secara kualitatif (pendengaran normal, tuli konduktif, tuli sensorineural dan tuli campur)

(33)

b. Derajat gangguan pendengaran (kuantitatif) yaitu normal, tuli ringan, tuli sedang dan tuli berat (Feldman dan Grimes, 1997).

Referensi

Dokumen terkait

Bagi para santri, pembimbing dan dewan guru Pondok Pesantren Darussalam diharapkan selalu mendukung dan berpartisipasi dalam menghidupkan kembali Saslaridha di

Penghasilan dan aset dan liabilitas dari entitas asosiasi digabungkan dalam laporan keuangan konsolidasian dicatat dengan menggunakan metode ekuitas, kecuali ketika investasi

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana rekontruksi

Materi yang digunakan yaitu 216 ekor puyuh betina (Coturnix coturnix japonica) umur 18 hari yang ditempatkan dalam 27 unit kandang sistem dua tingkat (double cage) terbuat dari

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Roberto (2010) di Amerika menyatakan bahwa anak sekolah dasar lebih tertarik pada makanan jajanan khususnya snack yang dibungkus

Sinkronisasi pertumbuhan ekonomi global ditunjang dengan usaha pemerintah membangun pondasi yang baik, maka tahun 2018 dapat menjadi momentum untuk ekonomi dan IHSG bergerak

Teknik wawancara, ialah cara untuk menggali informasi, pemikiran, gagasan, sikap dan pengalaman para perempuan pengrajin batu aji. Wawancara tatap muka dilakukan