• Tidak ada hasil yang ditemukan

J JJjjagghg. Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "J JJjjagghg. Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

159 | J u r n a l H a w a

JJjjagghg

Doktrin Ajaran Islam untuk Generasi Muslim Di Masa Pandemi

Muqarramah Sulaiman Kurdi

UIN Antasari Banjarmasin Muqarramah@uin-antasari.ac.id

Info Artikel

Abstract

Diterima: Juli 2020 Disetujui: September 2020 Dipublikasikan: Desember 2020

Religious education is the most crucial thing for the growth and the development of Muslim children namely to become pious children. Good religious teaching will produce a generation of true Muslims, because aqeedah is the substance of morality and the implementation of religious law. The teaching of Islam cannot only be in the cognitive realm, because what is taught is a matter of the faith and daily life of a Muslim. In this case, how to teach Islamic aqeedah and etiquette for today's generation is a challenge, especially for the digital native generation, which means that religious education also needs to continue to develop and innovate in the way of its doctrine. In addition, in this present time, the global world has experienced difficult times due to the impact of the Corona Virus which requires children to learn at home or blended learning. This paper is a part of the study of the reconstruction of the doctrinal methodology for children related to how to instill aqeedah, the cultivation of morality and sharia (including also reciting and memorizing the Koran), without ignoring their essence as a digital native generation and challenges in the era pandemic.

Keyword

How to teach religion; young learners; doctrine; Islamic teachings; Muslim generation; pandemic.

Kata

Kunci

Abstrak

How to teach religion; young learners;

doktrin; ajaran Islam; generasi muslim; pandemi.

Pendidikan agama adalah hal yang paling krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan anak muslim yakni agar menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Pengajaran agama yang baik akan menghasilkan generasi muslim yang benar, karena aqidah adalah substansi dari bisa berakhlakul karimah dan implemetasi syariat agama. Pengajaran agama Islam tidak bisa hanya pada ranah kognitif semata, karena yang diajarkan adalah perkara keimanan dan keseharian seorang muslim. Dalam hal ini bagaimana mengajarkan aqidah dan adab Islami bagi generasi dewasa ini menjadi tantangan tersendiri, khususnya untuk generasi digital native, yang artinya pendidikan agama pun perlu terus berkembang dan berinovasi dalam cara doktrinnya. Selain itu di masa sekarang ini dunia global telah mengalami masa sulit karena dampak Virus Corona yang mengharusnya anak-anak belajar di rumah maupun blended learning. Tulisan ini merupakan bagian kajian rekonstruksi metodologi doktrin untuk anak-anakb terkait bagaimana menanamkan ke-aqidah-an, penanaman akhlakul karimah serta syariah/fiqh (termasuk juga membaca dan menghafal Alquran), dengan tidak mengenyampingkan esensi mereka sebagai generasi digital native dan tantangan di masa pandemi.

Alamat Korespodensi:

Jalan Raden Fatah, Pagar Dewa, Kota Bengkulu

Gedung Pelatihan lantai II E-mail: Hawa@iainbengkulu.ac.id.

(2)

160 | P a g e

Pendahuluan

“Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu” (Ali Bin Abi Thalib). Perkataan Ali bin Abi Thalib tersebut menyegarkan orangtua dan guru-guru bagaimana mendidik agama kepada anak-anak dengan tuntunan yang sesuai dengan agama dengan inovasi pendidikan dengan masanya. Sebagaimana diketahui, pendidikan adalah suatu sarana tuntunan dari tiap individu untuk meraih tingkat kedewasaan ataupun pemahaman sehingga

ilmu yang didapat mampu

diimplementasikan dalam rangka pembentukan karakter-nilai multikultural

(Kurdi, Mardiah, Kurdi, Usman, &

Taslimurrahman, 2020: 68) dan

mengarahkan jalan hidup menjadi pribadi yang baik. Pembentukan karakter di dalam Islam lahir dari kebiasaan, akhlak muncul dari pembiasaan. Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan, mendorong seseorang agar mengupayakan pengulangan suatu tindakan agar ia terbiasa melakukannya sehingga terkadang seseorang tidak menyadari apa yang dilakukannya karena sudah menjadi kebiasaan baginya (Shihab, 2016: 90). Oleh karena itu, kondisi lingkungan yang tepat akan mengantarkan sedikit banyak pergaulan yang baik untuk penanaman Aqidah dan pembiasaan akhlakul karimah bagi anak-anak.

Sekarang dunia dan lingkungan dikelilingi dengan stimulus media dan visual, dan begitu juga anak-anak, mereka adalah bagian dari generasi digital (digital generation) (Jukes, McCain, and Crockett,

2010). Era digital telah menghantarkan anak-anak muslim berinteraksi dengan peralatan digital. Mereka terbiasa beraktivitas secara Online. Sebagai bagian generasi digital native, anak-anak muslim berinteraksi di media sosial sebagai ruang yang mereka kuasai, kehidupan dianggap sebagai suatu permainan yang dijalani. Tantangan hidup dihadapi dengan penuh ekspresif, cepat, interaktif dan kolaboratif. Bahkan eksistensi di ruang maya menjadi hal yang penting. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah terkait Study at Home bagi anak-anak dalam rangka memutus rantai penularan Corrona Virus Disssease (Covid-19) menjadikan guru dan orang tua berjibaku dan harus lebih berinovasi dalam sistem pembelajaran berbasis teknologi dan internet. Pendidikan agama yang umumnya di dapat di sekolah harus diganti dengan pendidikan agama transformatif yang mengakomodir dunia anak-anak generasi digital native (Prensky, 2001; Mardina 2019), tanpa menghilangkan diksi edukasi.

Orangtua memiliki peran dan amanah dalam tanggungjawab dan kewajiban mendidik anak-anak agar senantiasa menjaga Aqidah dan berakhlakul karimah. Dengan kebijakan untuk melakukan kerja, ibadah, dan belajar di rumah di masa pandemi sekarang ini, artinya dengan serta merta telah mengembalikan “khittah” peran orangtua dan tanggungjawab mereka dalam mendidik anak-anak dan beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana Allah Swt telah memerintahkan orangtua untuk menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka. “Hai

(3)

161 | J u r n a l H a w a

orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”(QS. 66. At-Tahrim ayat 6)

Berdasarkan hal tersebut, perlu adanya kajian narasi ilmiah terkait bagaimana mengajarkan ajaran agama Islam bagi anak-anak muslim di masa pandemi Covid-19 dengan mengoptimalkan pada media teknologi (digital). Hal ini ditujukan untuk memberikan worldview aktivitas digital teaching/learning bagi generasi muslim saat ini dengan mengafirmasi tiga domain dari pengajaran agama, kognitif, afektif, dan psikomotorik. Metode Penelitian

Kajian ini merupakan sebuah mini

research dalam bentuk penelitian

kepustakaan (library research) dengan menekankan pada meaning of creatifity (Muhajir, 2011: 318) dengan jenis penelitian kualitatif interpretatif (intersubjektif). Tulisan ini merupakan deskripsi analisis interstruktualitas interpretatif bersumber dari buku – buku dan sumber daring yang relevan dengan tulisan ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah memberikan wacana nalar deskripsi dalam bentuk konstruksi pengajaran agama di tengah pandemi Covid-19 bagi anak-anak muslim yang sarat dengan budaya digital dan melek teknologi. Hasil dan Temuan

Dari penelitian ini diketahui bahwa dunia pendidikan Islam dalam kerangka mengajarkan ajaran agama mengintrodusir

pola/model pendidikan yang transformatif kontekstual. Di mana pendidikan berbasis teknologi sudah seharusnya dioptimalkan. Dalam masa pandemi Covid-19, guru dan orangtua tidak bisa menolak realitas tentang pengajaran yang bersifat daring dan beradaptasi secara totalitas dengan dunia anak-anak generasi digital native. Tujuan, doktrin, dan metodologi pengajaran agama menjadi barometer corong utama dalam melakukan reformulasi pengajaran agama bagi anak-anak zaman “generasi Z” di masa pandemi terkait bagaimana menanamkan ke-aqidah-an, penanaman akhlakul karimah serta syariah/fiqh (termasuk juga membaca dan menghafal Alquran). Diharapkan ketika menggunakan sarana seperti e-learning, webinar, media sosial, aplikasi audio-visual, blogging, e-book, smartbook dan aplikasi game tidak mengenyampingkan dunia anak-anak muslim sebagai bagian

generasi digital native dengan

memperhatikan tiga perspektif (teknis, literasi kritis, dan literasi sosial-emosional) dan juga sebagai bagian dari pengamalan beragama dalam sosio religius-kultur demografinya

Pembahasan

Pendidikan adalah alat pencetak peradabana manusia (Hamid, 2011: 11). Oleh karena itu dunia pendidikan memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan umat manusia. Jika merujuk pada dinamika sejarah umat manusia sejak manusia mengenal dirinya, dapat diketahui bahwa manusia menyadari bahwa ia harus berusaha mengetahui jalan yang benar dan tepat untuk meraih kemaslahatan diri dan kelompoknya serta mengetahui pula yang buruk untuk menghindarinya, dan sejalan

(4)

162 | P a g e

dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat, upaya mereka mulai terarah pada hal-hal non-materi demi ketenangan dan kesempurnaan hidup (Shihab, 2016:1-2). Usaha dalam memperoleh pengetahuan didapat melalui pendidikan. Anak-anak harus diberi bekal berupa ilmu pengetahuan, khususnya akhlak (Anisah, 2017: 70). Hal ini sebagai wujud afirmasi juga dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 03 Nomor 20 Thaun 2003, yakni:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokrat serta bertanggung jawab”

Pendidikan nasional tersebut memiliki tujuan yang selaras dengan tujuan dalam paradigma pendidikan Islam, yakni menjadi insan kamil, bermoral, berbudi pekerti luhur, berakhlakul karimah, dan menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt. Mediasi dalam implementasi tujuan pendidikan dalam Islam tidak hanya sebatas pada aspek pengetahuan, tapi juga diharapkan anak-anak setelah mampu mengetahuai, memahami, dan selanjutnya juga mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari, karena secara umum tujuan pendidikan Islam adalah dalam rangka

pembentukan akhlak mulia, bekal kehidupan dunia akhirat, menumbuhkan semangat ilmiah dan profesionalisme (Syafe’i, 2015: 156). pengamalan ini merupakan proses pendidikan yang tidak bisa instan, ia hadir dari pembiasaan. Anak-anak perlu dibekali ilmu agama sesuai dengan tuntutan zamannya, terlebih anak-anak adalah aset sumber daya manusia yang merupakan masa depan suatu bangsa, sebagai generasi pemuda merekalah harapan untuk memajukan bangsa (Mawardi, 2000). Signifikansi penanaman ilmu agama bagi anak-anak menjadikan barometer utama dalam memahami bagaimana pengajaran agama yang baik untuk anak-anak muslim.

Pengajaran Agama

Pengajaran agama merupakan bagian penting di dalam proses pendidikan. Pendidikan (Tarbiyah) erat kaitannya dengan pengajaran (Ta’lim). Pendidikan dan pengajaran di dalam bahasa Arab disebut sebagai Tarbiyah wa ta’lim, dan pendidikan Islam disebut sebagai tarbiyah Islamiyyah (Daradjat, 1996: 25). Kedua diksi ini mengafirmasi transfer doktrin agama. Mentransfer ilmu agama tidak bisa sembarangan. Sebagaimana Azman menyebutkan bahwa mengusai ilmu yang akan diajarkan saja tidaklah cukup dan tidak akan menjamin prestasi yang tinggi bagi anak-anak yang diajar. Seorang pendidik harus menguasai metodologi dan teknik bagaimana caranya menyampaikan isi pelajaran, sehingga ilmu tersebut bermakna (Azman, 1987; Lubis dan Aspar, 2015: 142-143). Dalam perspektif pedagogis, dalam mengajar ada dua kemampuan

(5)

163 | J u r n a l H a w a

pokok yang harus dikuasai oleh seorang pendidik, yaitu : menguasai materi atau bahan ajar yang akan diajarkan ( what to teach ) dan menguasai metodologi atau cara untuk membelajarkannya ( how to teach ) (Gilcman, 1991: 12). Kedua hal tersebut menjadi bagian perfeksi pendidikan. Materi yang diajarkan penting, begitu juga dengan metode pengajarannya. Karena metode yang tepat dalam pengajaran agama akan menghantarkan anak didik kepada esensi dari tujuan pendidikan Islam. Sebagaimana Zakiyah Drajat menyebutkan bahwa pendidikan agama merupakan usaha bimbingan dan usaha terhadap anak agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran Islam serta menjadikannya pandangan hidup (way of life) (Daradjat, 1996: 86).

Adapun dalam ajaran Islam banyak menggunakan cara pembiasaan guna meraih akhlak mulia atau meninggalkan akhlak buruk (Shihab, 2016: 93) Bentuk pembiasaan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Saw., yakni memerintahkan orangtua agar menyuruh anak-anaknya shalat sejak berusia tujuh tahun (Shihab, 2016). Hal ini menunjukkan betapa pengamalan ajaran agama bagi anak-anak muslim sangat dipengaruhi dengan apa yang ada pada diri dan sekitarnya. Hal ini sebagaimana disebutkan bahwa ada banyak faktor dalam berperilaku, misal: faktor pembawaan, faktor keluarga, dan faktor pengalaman dalam masyarakat sekitar (Gunarsa, 2015: 69).

Faktor-faktor tersebut mendukung dalam ajaran agama Islam, di mana pendidikan Islam adalah proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam melalui upaya pengajaran,

pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya guna mencapai keselarasaan dan kesempurnaan hidup di dunia dan di akhirat. Di sini ditekankan bahwa tugas pendidikan Islam adalah dalam rangka membantu mengembangkan potensi anak-anak muslim agar sejalan dengan fitrah yang dibawa sejak lahir, yakni kecenderungan manusia untuk berbuat kebaikan dan kebajikan (Arifin, 1987; Syafe’i, 2015: 154-155).

Ada beberapa model pengajaran agama yang bisa dilakukan sebagai stimulus dalam perannya sebagai sarana terlaksananya tugas pendidikan agama. Model-model tersebut adalah bagian teori pendidikan dan dipandang sebagai framework yang mampu membuat guru agama (dan orang tua) mengintegrasikan elemen-elemen yang berbeda dari teori pendidikan, dan sebagai hasil, mengkonstruksi dan mengartikulasi basis yang lebih solid aktivitas pengajaran. Tujuan utama dari pendidikan agama adalah sebagai pengembangan kapabilitas anak-anak dalam membuat keputusan dalam keberagamaan dan moral mereka, dan yang paling utama adalah mereka akhirnya mengetahui tentang agama mereka. Ada empat model yang mampu merepresentasikan tujuan dari pendidikan agama, yakni: (1) model pendidikan terbuka (the open education model); (2) model akademik (the academic model); (3) model pendidikan teknologi (the educational technology model); (4) model keadilan sosial (the social justice model) (Newton, 1981: 2). Model-model pengajaran agama tersebut merupakan bagian afirmasi dari pendekatan humanistik. Pendekatan

(6)

164 | P a g e

humanistik mengintrodusir penekanan pada pentingnya emosi dan dikembangkan kualitas semua domain, yakni domain kognitif, domain afektif, dan psikomotorik (Kurdi, 2018: 128). Domain-domain tersebut menjadi inti dalam metodologi pengajaran agama.

Berdasarkan metodologi pengajaran agama oleh Kementerian Agama khittah/esensi dari tujuan pengajaran agama (dengan prinsip pendidikan Islam) adalah “kepribadian muslim” yakni kepribadian yang semua aspek kehidupan dijiwai oleh ajaran agama Islam, dengan kata lain pengajaran diarahkan agar tiap individu menjadi muttaqien atau manusia yang bertaqwa (Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1982: 61). Oleh karena itu, dalam pengajaran agama terhadap generasi muslim diarahkan pada tujuan membentuk akhlakul karimah, memperkenalkan posisi manusia dan tanggungjawabnya dalam hidup, mengenalkan anak-anak bahwa mereka adalah bagian dari makhluk sosial, dan mengenalkan dan memahamkan tentang penciptanya, alam semesta dan memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya, serta mempersiapkan anak-anak muslim dengan berbuat kebaikan dan kebajikan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Kebaikan dan kebajian yang dilakukan adalah dalam kerangka relasinya kepada Allah Swt, relasinya kepada sesama manusia, dan relasinya kepada alam semesta. Dengan pengajaran agama tersebut anak memahami secara komprehensif substansi bagaimana beragama.

Agama bagi Anak-Anak

Agama merupakan hal yang mendasar yang diajarkan kepada anak-anak muslim, secara sosial psikologis, agama sangat diperlukan oleh tiap individu bagi kehidupannya. Selain itu, sebagai affirmative action manusia juga dipandang sebagai homo religious atau makhluk yang beragama (Djalaluddin dan Ramayulis, 1998: 70). Perwujudan agama dalam perilaku lahiriyah merupakan bagian warna dari pengaruh nilai-nilai agama yang dipegang teguh. Pendidikan dan pengalaman yang dilalui anak-anak sangat menentukan perkembangan agama anak dari usia 0-12 tahun (Daradjat, 1976: 58-59). Menurut Ernest Harms yang disebutkan oleh Jalaluddin dalam psikologi agama bahwa agama bagi anak-anak dalam perkembangannya melewati tiga fase, yakni:

1. The fairy tale stage (tingkat dongeng; usia 3-6 tahun): konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Penghayatan konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal;

2. The realistic stage (tingkat kenyataan; usia sekolah dasar hingga usia adolesense): ide ke-Tuhanan sudah mencerminkan konsep yang didasari pada kenyataan atau realis. Lembaga keagamaan dan pengajaran agama berpengaruh besar pada fase ini. Segala amaliyah

(7)

165 | J u r n a l H a w a

keagamaan diikuti dan dipelajari dengan penuh minat;

3. The individual stage (tingkat individu; tingkat kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka). Konsep keagamaan bersifat individualis, dan fase ini terbagi dalam tiga kelompok dalam hal konsep ke-Tuhanan, yaitu: (a) Konvensional dan konservatif; (b) Murni bersifat personal; (c) Bersifat etos-humanistik (Jalaluddin, 1996: 66-67).

Dari fase tersebut, dapat dilihat juga bahwa sifat agama pada diri anak-anak yakni: (1) unreflective (tidak mendalam); (2) egosentris (terkait keagamaan anak menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang dipandang dari kesenangan pribadinya); (3) Anthromorphis (konsep ke-Tuhanan menggambarkan aspek kemanusiaan, berasal dari hasil pengalaman berinteraksi dengan orang lain); (4) Eksperimental, inisiatif, spontanitas (kesadaran tentang makna keagamaan ataupun konsep Tuhan didengar anak dari orangtua, keadaan, tempat, dan situasi serta mimik kesungguhan. Semula tidak menjadi perhatian utama, kemudian menjadi perhatian dan bertambah rasa ingin tahu); (5) Ucapan dan praktik (verbalis dan ritualis), (6) Suka meniru (imitatif, tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak diperoleh dari hasil melihat perbuatan lingkungan) (Jalaluddin, 2004). Berdasarkan hal tersebut, menjadi hal yang perlu digarisbawahi bahwa agama bagi anak-anak sangat ditentukan oleh lingkungan

rumah, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, setidaknya menurut Quraish Shihab ada beberapa hal yang menjadi perhatian bagi guru dan orangtua dalam memahami agama bagi anak-anak dalam memahamkannya kepada mereka (Shihab, 2014), yaitu:

Pertama, memahami pertanyaan anak-anak dan meluruskannya jika keliru. Banyak pertanyaan yang tidak wajar dan bahkan salah jika ditanyakan. Misalnya pertanyaan “Siapa yang menciptakan Allah”. Meluruskan pertanyaan ini sejak semula lebih penting daripada menjawabnya.

Kedua, pemahaman agama yang diberikan kepada anak-anak harus disesuaikan dengan kemampuan nalar dan rasa mereka. Pemahaman agama harus sesuai dengan daya tangkap anak. Contoh perumpamaan adalah salah satu cara yang sangat membantu dalam memahamkan agama kepada anak. Misalnya menganalogikan kenikmatan surga jauh melebihi kenikmatan es krim.

Ketiga, memahamkan agama kepada anak tidak dapat mengelak dari keterjerumusan dalam pilihan kata-kata yang dapat dinilai bertentangan/tidak dibenarkan oleh ketentuan aqidah/syariah. Misalnya menggunakan kalimat menyangkut Allah yang sepintas terbaca sebagai “mempersamakan Allah dengan makhluk”. Contohnya “Allah turun” “Dia yang Dilangit” atau gambaran “kegembiraan” Allah terhadap orang yang bertaubat bahwa Allah bergembira melebihi kegembiraan seseorang di padang pasir yang kehilangan unta bersama bekalnya, tapi tak lama kemudian yang kehilangan unta dan bekal itu muncul di hadapannya.

(8)

166 | P a g e

Contoh-contoh tersebut serasa menyamakan allah dengan makhluk.

Keempat, sebagaimana Imam Al-Ghazali dalam kitab al-Istiqad yang menyatakan bahwa keyakinan tentang kebenaran kebenaran satu ide oleh pihak yang diyakinkan dapat berhasil dengan berbagai cara selama sesuai dengan sikap yang hendak diyakinkan, karena ada orang yang yakin bukan berdasarkan argumentasi akliyah, tetapi karena apa yang hendak diyakinkan kepadanya sejalan dengan kecenderungan hatinya. Ada lagi yang percaya tanpa argumentasi akibat kepercayaan dan kekagumannya terhadap siapa yang menyampaikan. Oleh karena itu, guru dan orangtua sangat berperan dalam hal memperoleh kepercayaan dan kekaguman anak. Agama bagi anak-anak bisa jadi tidak memuaskan bagi orang dewasa, tetapi itu dalam pemahaman mereka agama yang dimengerti bisa mengafirmasi hilangnya masalah agama yang dialami oleh Anak.

Masih menurut Iman Al-Ghazali, banyak argumentasi akliyah, walau dalam Alquran, yang jika diteliti lebih jauh, sifatnya tidak sepenuhnya meyakinkan ilmuwan, kendati argumentasi itu meyakinkan banyak orang. Sebagaimana juga Syekh Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya al-Islâm wa al-‘Aql yang menyebutkan seseorang tidak perlu bertepuk tangan kepada orang-orang yang membuktikan wujud Tuhan melalui nalar, karena dengan nalar juga orang lain dapat membuktikan sebaliknya. Jadi, agama yang dipahami anak-anak boleh jadi tidak memuaskan bagi orang dewasa, tapi membuat anak-anak paham.

Kelima, sejak dini sudah ditanamkan kepada anak, bahwa kemampuan menalar sesuatu dan membuktikan kebenaran tidak

sama dengan kemampuan

menggambarkannya dalam benak. Bisa jadi seseorang dapat membuktikan sesuatu secara ilmiah yang didukung oleh nalar yang lurus, tetapi benak tidak dapat menggambarkannya kendati sudah dewasa dan berpengetahuan, apalagi anak-anak. Hal ini harus ditekankan bahwa menalar adalah menjangkau sesuatu dengan nalar, sedangkan menggambarkan sesuatu adalah menghadirkan nya dalam benak.

Berdasarkan hal tersebut di atas, membangun sisi spiritual anak merupakan hal yang tidak bisa dipandang sederhana. Kompleksitas dari spiritualisme anak merupakan hal yang perlu menjadi perhatian utama, karena dengan pondasi religius yang kuat akan memberi pengaruh yang besar bagi anak-anak dalam menjalani kehidupan secara positif. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa doktrin ajaran Islam bagi anak-anak muslim di era digital dan pandemi haruslah dicapai dengan kacamata kontekstual dan tidak menghilangkan karakter anak dalam beragama.

Pembahasan

Budaya telah melakukan transisi, begitu pula karakteristik generasi sekarang. Diksi gadget, handphone, dan media sosial tidak asing di telinga anak-anak, karena itu adalah bagian dari mereka, di mana teknologi telah menjadi satu kesatuan dan melekat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Generasi yang sedari lahir sudah terbiasa hidup dan dikelilingi teknologi sebagai alat bantu dalam aktivitas

(9)

167 | J u r n a l H a w a

Cara mengajar Agama bagi Generasi digital native di masa pandemi

Bahan pengajaran Agamai

Tujuan dari Pengajaran Agama bagi generasi digital native kehidupan keseharian disebut sebagai

generasi digital native (Prensky, 2001). Berdasarkan pendapat penggagas teori generasi digital native tersebut, menyatakan bahwa generasi yang lahir pada era 80-an dan sesudahnya adalah generasi yang lahir pada lingkungan teknologi digital. Generasi yang paling melekat dengan istilah generasi digital native adalah generasi Z (Internet Generation yang lahir tahun 1994 hingga sekarang). Karena itu pendekatan doktrin yang dilakukan kepada generasi digital native haruslah menggunakan pendekatan yang komprehensif karena doktrin ajaran agama terhadap anak-anak tidak hanya dilihat pada ranah fase perkembangan dan karakteristiknya saja, namun juga aspek lingkungan dan perubahan yang mempengaruhinya. Berdasarkan hal tersebut Zakiah Daradjat menekankan bahwa multi approach adalah pendekatan dalam metode yang bisa dilakukan, yakni pendekatan religius (fitrah), pendekatan filosofis (rasionalitas), sosio-kultural, dan pendekatan scientific yang mewujudkan munculnya domain kognitif, afektif dan psikomotorik (Daradjat, dkk, 2001: 72). Pendekatan-pendekatan tersebut merupakan afirmasi daalm mendukung doktrin ajaran Islam bagi anak-anak muslim sekarang ini.

Lingkungan sekarang ini adalah lingkungan millenial, di mana teknologi telah menjadi “makanan sehari-hari” bagi anak-anak. Peningkatan dan akrabnya dalam penggunaan teknologi digital, media, dan komunikasi yang sifatnya daring menjadi hal yang wajar. Oleh karenanya pendekatan multi approach harus menjadi tolak ukur dalam implementasi bagaimana mengajarkan agama kepada anak-anak.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis memetakan doktrin ajaran Islam bagi generasi digital native di masa CoVid-19 ini dengan dideskripsikan dalam 3 (tiga) hal utama, sebagaimana grafik visual berikut:

Gambar 1. Grafik Visual Doktrin Ajaran Islam

bagi Generasi Digital Native di masa Pandemi

Dari gambar tersebut di atas, model pendidikan agama berbasis teknologi menjadi kerangka aplikatif dalam implementasi doktrin ajaran agama bagi generasi digital native di tengah wabah CoVid-19. Model pendidikan teknologi (the

(10)

168 | P a g e

mendoktrin ajaran Islam terhadap generasi digital native ini dalam tujuannya adalah menghasilkan perubahan religiusitas anak dalam berperilaku, berprinsip pada tujuan yang jelas, penekanan pada hal-hal positif dalam rangka pertumbuhan agama, pergerakan pembelajaran yang mudah dan efektif, dan penilaian berfokus pada perubahan sikap. Model ini memiliki paradigma ynag kuat karena outcomes dari model ini adalah sikap anak-anak yang bisa diamati dan doktrin yang efektif sesuai zaman—dalam rangka menjadi individu yang religius—dengan cara yang aman dan tidak menghilangkan kewajiban protokol kesehatan dalam pendidikan di masa pandemi. Model ini mengafirmasi nilai interaktif, edukatif, inovatif dan efektif di tengah pandemi dalam pengajaran agama tanpa mengaburkan esensi doktrin agama.

Seiring perkembangan teknologi banyak inovasi yang bisa dilakukan dengan akses daring dalam pengajaran agama. Mengajar/mendidik tentang ajaran Islam kepada anak-anak di masa CoVid-19 bisa dilakukan dengan aman tanpa menghilangkan esensi karakteristik anak concrete operational thought (Desmita, 2005: 156), dunia bermain (Hogg & Blau, 2004: 112), literasi digital (Ng, 2012; Martin, 2006) dan pembelajaran yang bermakna (Ausubel, ; Gunstone, 2015). Gadget dan internet bisa dijadikan sebagai sarana positif dalam doktrin ajaran agama Islam kepada generasi digital native. Partisipasi anak-anak dalam lingkungan yang serba digital bisa diupayakan dalam kerangka meningkatkan pengetahuan atau wawasan dalam beragama serta amaliyah dalam religiusitas mereka. Aktivitas keagamaan, konsep

ke-Tuhanan, ibadah ritual dan interaksi dalam ibadah sosial, dan contoh/ keteladan bagi anak-anak muslim dalam beragama bisa didukung melalui teknologi informasi, visual, audio, literasi media, literasi komunikasi dan media interaktif. Hal ini sejalan dengan sosio religius-kultur demografi anak-anak muslim dalam konteksnya sebagai generasi digital native.

Berdasarkan sosio religius-kultur demografi, dalam memberi pemahaman agama kepada anak-anak, setidaknya ada tiga dimensi yang diimplementasikan, yaitu: (1) dimensi modeling force (memberikan contoh dalam mendoktrin); (2) dimensi cognitive force (pembentukan pengetahuan agama bersifat eksklusif semi-totalistik untuk kaitannya tentang ke-Tuhanan, dan inklusif –humanis-komunal dalam aspek sosial bermasyarakat); (3) Conditional force (kultur yang dibangun kental dengan nuansa aktivitas keagamaan). Dengan kata lain, dalam memahamkan ajaran agama adalah dengan kerangka doktrin yang positif. Artinya, doktrin dilakukan berdasarkan prinsip objektif, reflektif, observatif, tidak dogmatis, dan tidak fanatik buta (Kurdi, 2018: 239)

Dimensi pemahaman agama bagi anak-anak digital native tersebut secara tidak langsung juga mengharuskan generasi muslim memiliki kompetensi multi literasi.

Penguasaan menggunakan

komputer/program, mengakses internet dan website, membaca teks dari screen, memahami informasi dan pengetahuan agama secara audio-visual, dan etika dalam dunia cyber menjadi satu kesatuan simpulan perhatian dalam implementasi doktrin ajaran Islam kepada anak-anak

(11)

169 | J u r n a l H a w a

generasi generasi Z. Berdasarkan data yang dikumpulkan setidaknya ada beberapa macam sarana dan cara yang bisa dilakukan dalam pengajaran agama Islam bagi anak-anak “kekinian” secara menarik dan menyenangkan (edutainment) dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai ajaran Islam dan memperhatikan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19, protokol kesehatan, masa PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), lockdown, isolasi, physical distancing, social distancing, dan role usaha memutus rantai penyebaran virus Corona dalam kerangka Study from Home (SFH) maupun bagian usaha blended learning di dalam kerangka model pendidikan teknologi (the educational technology model),. Adapun sarana dan cara tersebut bisa dilihat pada Tabel 1 berikut:

Tabel 1. Sarana dan Cara Pengajaran Agama Islam

Bagi Generasi Digital Native di Era CoVid-19 N o. Sarana/Me dia Keterangan Sarana/Cara 1. E-Learning dan Webinar

Membuat sebuah sarana setting kelas dan

kelompok diskusi dengan cara membangun jaringan lewat aplikasi LMS (Learning Management System) dan microblogging seperti Ruang Guru, Google Classroom, Rumah Belajar, Qupper, Zenius, Edmodo,

Moodle, Itslearning, Skillshare, KelasKita, Edublogs, Skype, Brainly, Wikispaces, Schoology, Classdojo, Aku Pintar, Hangouts, Openstudy, Quora, Pinterest, SEVIMA Edlink, Zoom, Google Meet atau akses Claroline, Dokeos. Diskusi kelas Online, membuat materi pelajaran agama, upload dan berbagi catatan/file/dokumen, pemberian tugas dan kuis, sharing pengaalaman terkait agama, dll. 2. Media Sosial Mengajarkan anak tentang agama lewat media aplikasi Facebook, Instagram, Line,

Whatsapp, Twitter, Telegram, Ask.fm, Snapchat, Skype, dll. Dengan inovasi untuk menyampaikan materi ajar, berdiskusi/ bertanya/ berkomentar/berkomun ikasi, video call/conference, bersosial/pertemanan/ silaturahmi, berbagi kreasi foto/video/gambar/ informasi dan sharing thread serta pusat informasi

3. Aplikasi

Audio-Membuat Video

(12)

170 | P a g e

Visual YouTube dan situs web berbagi video lainnya. Dengan cara mengakses informasi/pengetahuan agama untuk anak-anak dan film edukasi animasi/kartun

bernuansa islami seperti: Upin dan Ipin, Nussa Official, Syamil dan Dodo, Adit Sopo Jarwo, Omar dan Hana, Ali and Sumaya, Riko the series, Alif Alya, Joseph the King of Dreams, Kisah Nabi, Muslim Kids TV, Yufid Kids, Kastari Sentra Animation dll) . Inovasi doktrin agama Islam dengan cara mengakses tontonan dan film edukasi islami (dan memperhatikan

keterangan usia yang bisa mengakses channel) memberikan nilai edukasi anak Islami, kesempatan belajar agama dengan basis edutainment misal belajar membaca Alquran, belajar huruf hijaiyyah, belajar bahasa Arab,mengikuti dan menyanyi lagu religi dan lagu islami anak, menghafal Alquran, menghafal Asmaul Husna, menambah

wawasan Islam dan cara beribadah, sketsa lucu islami, mengenalkan perilaku Islami, bermain puzzle islami, dan meneladani kisah moral berkarakter. Adapun aplikasi untuk mebuat video kreatifitas terkait ajaran Islam, sosial experiment adab dan akhlak, dan pengamalan ibadah misalnya: Adobe Premier Clip, Corel Video Studio, Camtasia, AVS Video Editor, Windows Movie Maker, OpenShot VideoShow, Snack Video, Vidio, TikTok, InShot, FunVideoApp, KineMaster, VivaVideo,VideoShow, Filmorago, dll 4. Blogging, E-Book dan buku pintar

Menulis tugas, opini, cerita, pengalaman inspiratif, diskusi dan sharing ilmu agama serta membaca dan mendengarkan

wawasan Islami dan pendidikan agama Islam/ibadah di dalam

Open access, e-book,

WordPress, Medium,

Penzu, Webs, Weebly, Wix, Bogger, Postach.io,

Pen.io, Tumblr,

Livejournal, Buku Sekolah Digital, E-Book, Buku

(13)

171 | J u r n a l H a w a

Pengetahuan agama Islam,

Smartbook Alquran,

Murottal Audio Digital, Buku digital Islami, Buku Playpad Edukasi Islami, Buku Aktivitas Seru Anak Islam, Buku Aktivitas Anak Sholeh, Komik anak Islam Pdf , Pinterest baca Buku Online, dll.

5. Aplikasi Game (Game Mobile)

Game Anak Islami bisa digunakan agar tidak menghilangkan esensi anak-anak dalam bermain sambil belajar agama Islam. Aplikasi game tersebut misalnya: Game Anak Sholeh, Rumah Amalia, Marbel MuslimKids, Marbel Doa Islam, Game Tajwid, Belajar Huruf Hijaiyah, Game Tajwid Petualangan, Moslem Kids Puzzle, Game Edukasi Belajar Iqro, Marbel Mengaji / Marbel Learns Quran for Kids, Islamic Girl Puzzle

Toodlers, Video Lagu Anak Islam, Asah Otak anak Muslim, Muslim Millionaire Quiz, Kuis Anak Muslim, Islamic Puzzle Game, Soleh Super Jump, Belajar Bahasa Arab + Suara, dll.

Data bersumber dari berbaga sumber website dan playstore

Platform digital berbasis teknologi di atas merupakan sarana yang bisa dimanfaatkan dalam pengajaran agama

Islam dengan metodologi pengajaran yang jauh dari unsur konvensional. Aplikasi, game dan situs-situs tersebut juga sebagai affirmative action dalam menghargai ruang Online bagi generasi digital native. Guru dan orangtua harus adaptif dengan perubahan zaman dan harus memiliki kesadaran tinggi dalam memberi rasa aman bagi anak-anak untuk belajar agama di masa pandemi Covid-19. Zaman berubah maka pendekatan juga berubah, kontekstual dalam doktrin agama tidak bisa dipaksakan dengan tradisi ceramah saja, namun juga dengan inovasi dan reformulasi metodologi pembelajaran agama. Analoginya sebagaimana mobil dan handphone selalu berubah dengan fitur dan fasilitas yang semakin canggih dari tahun ke tahun demi efektifitas dan kenyamanan dalam beraktivitas. Maka begitu pula dengan pengajaran agama Islam, doktrin tetap sama, sumber utama Alquran dan hadits tetap menjadi pegangan, namun metode pengajaran semakin dikembangkan, sehingga ilmu agama yang didapat terpatri dalam hati, bermakna dan bermanfaat bagi keseharian anak-anak muslim.

Mengajarkan ajaran agama Islam kepada anak-anak muslim di masa pandemi dengan melibatkan kebermanfaatan teknologi menurut pemikiran penulis merupakan kekuatan besar bagi pendidikan agama Islam, karena secara implisit dapat dilihat bahwa aplikasi, game online islami, dan situs-situs pendukung pengajaran agama sebagaimana yang disebutkan dalam tabel 1 mampu memunculkan proses edukatif. Dengan inovasi dalam pengajaran agama ataupun pembelajaran agama akan terlihat mengedepankan nilai-nilai proses edukatif

(14)

172 | P a g e

yakni proses interaksi multiarah, proses komunikasi verbal dan tulisan, proses refleksi makna agama dan beragama, dan proses eksplorasi pengetahuan agama hingga proses aktivasi karakter dalam kehidupan sehari-hari.

Proses pengajaran daring di rumah maupun blended learning di masa pandemi ini tidak akan menghilangkan makna pembelajaran layaknya di sekolah, namun malah menjadi nilai plus karena pendidikan yang bermakna akan lebih muncul ketika ada support di lingkup keluarga. Dengan mengoptimalkan platform digital yang ada memungkinkan untuk muncul tidak hanya ranah akademik intelektual saja, tetapi juga life skill dan karakter (akhlakul karimah) yang didukung dengan uswah, qudwah dan mauidzah dari orangtua. Keteladan dan nasihat dari orangtua memungkinkan orangtua menjadi role model dalam beragama dan pengamalan Aqidah, akhlakul karimah, dan Syariah. Tidak ada yang paling bisa diikuti dalam beragama bagi anak-anak kecuali dengan mencontoh dan didampingi, diarahkan, dan dikembangkan oleh orangtuanya. Oleh karenaya, hal positif yang diperoleh dengan mengoptimalkan sarana tersebut adalah maka pengajaran agama akan memiliki nuansa yang menarik, menyenangkan, edutainment, kreatif, interaktif, edukatif, muncul rasa koriusitas yang cukup tinggi, inspiratif, meaningful learning dan nilai-nilai positif lainnya.

Berdasarkan keseluruhan hal di atas, ada 3 (tiga) perspektif yang menjadi perhatian sebagai analisis akhir, yakni teknis, literasi kritis, dan literasi sosial-emosional dalam pengajaran agama bagi

anak-anak generasi digital native di era pandemi.

1. Dalam perspektif teknis: (1) Perlu adanya pengetahuan yang baik dalam penggunaan komputer dan program; (2) Efektifitas, efisiensi dan optimalisasi waktu yang digunakan harus diperhatikan, tidak boleh digunakan dalam kurun durasi waktu yang lama dan terus menerus tanpa batasan karena akan mengganggu kesehatan fisik dan indera jika tidak ada batasan, dan bahkan berdampak pada kecanduan gadget/game; oleh karenanya, manajemen waktu beribadah, belajar dan bersosial/bermain menjadi perhatian (3) Diperlukan variasi dalam implementasi pengajaran agama dengan platform digital yang tersedia;

2. Dalam perspektif literasi kritis: (1) Terbangunnya pemahaman dengan gaya belajar yang varian dan bersifat multiple intelligence, dengan begitu tantangannya adalah tingkat kematangan beragama, tingkat intelektual, dan perbedaan karakteristik individu anak patut menjadi pertimbangan; (2) Keterampilan dalam membaca teks melalui layar gadget/ screen memungkinkan anak menjadi kritis dalam berpikir,

mereproduksi karya

(15)

173 | J u r n a l H a w a

melakukan konstruksi dan

sintesa dari

bacaan/pengetahuan;

3. Dalam perspektif literasi sosial-emosional, (1) Virtual Reality dan

Augmented reality

memungkinkan anak menjadi tidak bisa bersosial secara offline, oleh karena itu manajemen penggunaan gadget/internet harus diimplementasikan secara optimal, karena dalam faktanya dunia realitas tidak akan sama dengan dunia virtual, manajemen emosi dalam intra-personal dan interpesonal akan memungkinkan anak-anak ketika pengajaran agama memiliki sisi kepekaan yang positif dalam memecahkan masalah bagi dirinya maupun ketika di masyakat; (2) Pengunaan platform situs dan aplikasi/game seyogyanya berperspektif adil gender dan memperhatikan anak-anak disabilitas; (3) Bijak menggunakan platform yang ada sehingga tidak menghadirkan dampak negatif dari penggunaan flatform yang ada khususnya dalam kerangka doktrin agama bagi anak-anak. Literasi Etika Online dan Literasi Cyber safety dalam hal surfing, browsing, dan menggunakan platform gaming harus berdasarkan etika dunia internet, sehingga informasi yang diserap murni untuk menimba ilmu agama yang sifatnya sesuai

dengan koridor etika beragama dan dasar Ahli Sunnah wal Jamaah, inklusifitas beragama, penuh kehati-hatian, selektif dan digunakan dalam hal dan cara positif/bermanfaat.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dunia pendidikan Islam dalam kerangka mengajarkan ajaran agama mengintrodusir pola/model pendidikan yang transformatif kontekstual. Di mana pendidikan berbasis teknologi sudah seharusnya dioptimalkan. Dalam masa pandemi Covid-19, guru dan orangtua tidak bisa menolak realitas tentang pengajaran yang bersifat daring dan beradaptasi secara totalitas dengan dunia anak-anak generasi digital native. Tujuan, doktrin, dan metodologi pengajaran agama menjadi barometer corong utama dalam melakukan reformulasi pengajaran agama bagi anak-anak zaman “generasi Z” di masa pandemi terkait bagaimana menanamkan ke-aqidah-an, penanaman akhlakul karimah serta syariah/fiqh (termasuk juga membaca dan menghafal Alquran). Diharapkan ketika menggunakan sarana seperti e-learning, webinar, media sosial, aplikasi audio-visual, blogging, e-book, smartbook dan aplikasi game tidak mengenyampingkan dunia anak-anak muslim sebagai bagian

generasi digital native dengan

memperhatikan tiga perspektif (teknis, literasi kritis, dan literasi sosial-emosional) dan juga sebagai bagian dari pengamalan beragama dalam sosio religius-kultur demografinya.

(16)

174 | P a g e

Anisah, Ani. Siti. 2017. Pola asuh orang tua dan implikasinya terhadap pembentukan karakter anak. Jurnal Pendidikan UNIGA, 5(1), 70-84. As. Gilcman. 1991. Keterampilan Dasar

Mengajar Guru. Jakarta: Rineka Cipta.

Cornu, B. 2011. Digital Natives: How Do They Learn? How to Teach Them? Moscow, Russian Federation: UNESCO Institute for Information Technologies in Education.

Daradjat, Zakiyah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagan

Agama Islam. 1982. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Pembinaan Sarana dan Prasarana Perguruan Tinggi Islam.

Gunstone, Richard. 2015. Meaningful

Learning. Australia: Monash

University

https://www.researchgate.net/pu blication/302567262.

Hamid, Sholeh Moh. 2011. Metode Edu Tainment, Yogyakarta: Diva Pres. Jalaluddin & Ramayulis. 1998. Pengantar

Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia.

Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

________. 2004. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Jukes, I., McCain, T., dan Crockett, L. 2010. Understanding the Digital Generation: Teaching and Learning in the New Digital Landscape. Thousand Oaks, USA: Corwin Press.

Juliane, C., Arman, A. A., Sastramihardja, H. S., & Supriana, I. 2017. Digital Teaching Learning for Digital Native; Tantangan dan Peluang. Jurnal Ilmiah Rekayasa dan Manajemen Sistem Informasi, 3(2), 29-35.

Kurdi, M. S., 2018. Madrasah Ibtidaiyah dalam Pandangan Dunia: Isu-Isu Kontemporer dan Tren dalam Pendidikan. Al Ibtida: Jurnal Pendidikan Guru MI, 5(2), pp.231-248.

Kurdi, M. S., 2018. Evaluasi Implementasi Desain Pendidikan Karakter

Berbasis Pendekatan

Humanistik. Elementary: Jurnal

Ilmiah Pendidikan Dasar, 4(2),

pp.125-138.

Kurdi, M. S., Mardiah, M., Kurdi, M. S.,

Usman, M. I. G., &

Taslimurrahman, T. T. 2020. Speaking Activities In Madrasah Ibtidaiyah: A Meta Narrative About Character Building And

(17)

175 | J u r n a l H a w a

Multiculturalism Point Of

View. Al-Bidayah: Jurnal Pendidikan

Dasar Islam, 12(1), 55-82.

Lubis, M. A., & Aspar, R. 2005. Kaedah pengajaran pengetahuan agama Islam di Brunei Darussalam. Jurnal Pendidikan, 30, 141-150.

Mardina, R. 2019. Literasi Digital Bagi Generasi Digital Natives. Diakses

dari https://www. researchgate.

net/publication/326972240_Literasi_D igital_bagi_Generasi_Digital _Natives Martin, A. 2006. Literacies for the Digital Age: Preview of Prt 1. In Martin, A., (Ed). Digital Literacies Learning. London: Facet Publishing. hlm. 3-25

Mawardi. 2000. IAD,ISD,IBD. Bandung: Pustaka Setia.

Muhadjir, Noeng. 2011. Metodologi Penelitian, Jakarta: Rake Sarasen. Newton, Robert R. 1981. Four Models of

Teaching Religion. PACE. Volume 11, 17. USA: Boston College

University Libraries. http:hdl.handle.net/2345/2429 Ng, W. 2012. Can We Teach Digital Natives

Digital Literacy?. Computers & Education, 59. hlm. 1065-1078 Prensky, M. 2001. Digital Natives, Digital

Immigrant on the Horizon. MCB University Press, Vol. 9 No. 5 Singgih D.Gunarsa. 2015. Psikologi Untuk

Membimbing. Cet. VII. Jakarta: PT. Gunung Mulia.

Syafe'i, Imam. 2015. Tujuan Pendidikan Islam. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 6(2), 151-166. Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang

Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan nasional dan Penjelasnnya. Yogyakarta, Media Wacana Press, 2003.

Gambar

Gambar 1. Grafik Visual Doktrin  Ajaran Islam

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh perceived ease to use dan subjective norm terhadap intention to use dengan perceived usefulness

Kurang sadarnya sikap terhadap Tuhan YME, hubungannya dengan diri sendiri adalah belum ada tenaga pengajar untuk menumbuhkan bakat dan minat anak panti oleh

Lembaga yang bertujuan langsung untuk menciptakan tertib hidup dalam masyarakat adalah ..... Perhatikan beberapa contoh kegiatan sosial

➢ Bering muktamad hendaklah dilaraskan kepada 10” terhampir; Garisan yang telah diterima sebagai garisan bering akui hendaklah dicatat singkatan perkataan “DgnMh BgAk” atau

Penelitian tersebut dilakukan menggunakan alat tangkap trawl dengan ukuran mata jaring 40 mm pada bagian kantong terhadap ikan kurisi (Nemipterus japonicus). Hasil dari

Selanjutnya dalam penelitian Khamidah (2009) hasilnya menunjukkan bahwa motivasi berprestasi mempunyai hubungan negatif dengan prokrastinasi akademik, apabila motivasi

Salah satu jenis alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap ikan karang atau jenis ikan dasar adalah bubu (fishpot).Keunggulan alat tangkap ini dibandingkan

Dari proses awal hingga sampai pada tahap evaluasi, peneliti menemukan fakta bahwa apa yang dilakukan Kemenpar telah sesuai dengan penerapan strategi komunikasi dimana dalam