• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. The World Health Report Tahun 2005 dilaporkan Angka Kematian Bayi Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. The World Health Report Tahun 2005 dilaporkan Angka Kematian Bayi Baru"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Visi Indonesia Sehat 2015 adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh Republik Indonesia.

Salah satu indikator pengukuran derajat kesehatan masyarakat suatu negara adalah dengan melihat Angka Kematian Bayi. Angka Kematian Bayi (AKB) merujuk pada bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1000 kelahiran hidup (Riskesda Propinsi Sumut, 2013). Tinggi rendahnya AKB dapat menjadi petunjuk tentang baik-buruknya pelayanan maternal dan neonatal di negara tersebut. Berdasarkan data The World Health Report Tahun 2005 dilaporkan Angka Kematian Bayi Baru Lahir di Asia Tenggara yaitu: Singapura 1/1000 kelahiran hidup, Filipina 18/1000 kelahiran hidup dan Indonesia 20/1000 kelahiran hidup. Menurut laporan World Health Organization (WHO), AKB di dunia pada tahun 2006 sebesar 49 per 1000 kelahiran hidup dan sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup untuk tahun 2012. Sedangkan data dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), AKB di Indonesia tahun 2012 sebesar 32 per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan hasil Survey AKB & AKI yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara bekerjasama dengan FKM-USU tahun 2010, diperoleh bahwa AKB di

(2)

Provinsi Sumatera Utara sebesar 23/1000 kelahiran hidup (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, 2013). Angka tersebut berdasarkan laporan kasus kematian yang terjadi di sarana pelayanan kesehatan, sedangkan kasus kematian yang terjadi di masyarakat belum terdata seluruhnya.

Berdasarkan penelitian WHO tahun 2000 yang dilakukan di beberapa negara berkembang, resiko kematian bayi berusia 9-12 bulan akan meningkat 40% jika bayi tesebut tidak disusui. Angka kematian ini meningkat menjadi 48% bagi balita berusia di bawah dua bulan (Roesli, 2008). Menurut Roesli (2008) sekitar 40% kematian bayi terjadi pada satu bulan pertama kehidupan bayi. Ada lagi penelitian yang melibatkan 10.947 bayi yang lahir di salah satu negara yang rawan malnutrisi di Ghana antara Juli 2003 sampai Juni 2004 yang hasilnya menunjukkan bahwa bayi yang disusui dalam satu jam pertama kehidupannya memiliki kesempatan hidup dan lebih mampu bertahan dibandingkan bayi yang tidak segera disusui (Dinartiana&Sumini, 2011).

Berdasarkan definisi yang ditetapkan oleh WHO, ASI ekslusif adalah pemberian hanya ASI saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral atau obat dalam bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan. Hingga kini target pencapaian ASI eksklusif di Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan RI sebesar 80%, namun angka pemberian ASI eksklusif yang dapat dicapai di Indonesia masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari data Riskesdas tahun 2010 tentang persentase pemberian makanan prelakteal (makanan atau minuman yang diberikan sebelum ASI keluar) pada bayi baru lahir sebesar 43,6%. Angka ini menunjukkan jumlah bayi yang tidak mendapatkan ASI secara

(3)

eksklusif sejak kelahirannya sampai usia enam bulan. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2006-2007 melaporkan bahwa prevalensi ASI ekslusif menurut data hanya 32%. Meskipun hasil Riskesdas tahun 2010 melaporkan ada sebesar 90,3% anak usia 0-23 bulan yang pernah disusui, namun angka tersebut tidak dapat menunjukkan bahwa anak tersebut mendapatkan ASI secara eksklusif mengingat masih besarnya jumlah bayi yang diberikan makanan prelakteal. Ini menunjukkan fakta yang ada pada masyarakat Indonesia dalam pencapaian target ASI eksklusif masih belum seperti yang diharapkan.

Pemberian ASI secara dini selama 1 jam kelahiran bayi dapat memengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif pada bayi. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan Dinartiana dan Sumini (2011) yang membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pelaksanaan inisiasi menyusu dini dengan keberhasilan pemberian ASI eksklusif pada ibu yang mempunyai bayi usia 7-12 bulan di Kelurahan Gunungpati Kota Semarang. Namun demikian pelaksanaan inisiasi menyusu dini di Indonesia juga masih rendah. Berdasarkan hasil SDKI tahun 2002-2003 pemberian air susu ibu hampir menyeluruh di Indonesia; yakni 96% anak disusui ibunya. Namun, hanya 27% anak di bawah umur lima tahun disusui dalam waktu 24 jam sejak lahir. Angka ini meningkat pada laporan hasil SDKI tahun 2012 yakni sebanyak 95,8% anak pernah disusui ibunya dimana ada 66,3% anak di bawah umur dua tahun yang disusui oleh ibunya. Namun dari jumlah tersebut hanya sebesar 49,3% bayi yang mendapatkan air susu ibunya sejak lahir hingga satu jam kelahirannya. Hasil Riskesdas tahun 2010 melaporkan persentase mulai menyusui bayi sejak kelahiran sampai waktu

(4)

kurang dari 1 jam di Indonesia sebesar 29,3% dan di Sumut sebesar 20,2%. Sedangkan pada waktu 1-6 jam setelah kelahiran persentase sudah meningkat menjadi 40,7% di Indonesia dan sebesar 34% di Sumut. Jika dilihat berdasarkan karakteristik tempat tinggal, persentase mulai menyusui bayi sejak kelahiran sampai dengan waktu kurang 1 jam lebih besar di pedesaan (29,6%) daripada di perkotaan (28,3%). Angka-angka ini juga memberikan gambaran bahwa pelaksanaan inisiasi menyusu dini di Indonesia juga masih rendah. Pada tahun 2013 hasil Riskesdas melaporkan bahwa ada peningkatan persentase pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) yakni menjadi 34,5% sedangkan di propinsi Sumut menurun menjadi 22,9% (Riskesdas 2013). Angka ini masih menunjukkan rendahnya cakupan pelaksanaan IMD di Indonesia dan Sumatera Utara secara khusus.

Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting untuk menunjang pertumbuhan, kesehatan, dan kelangsungan hidup bayi karena ASI kaya dengan zat gizi dan antibodi. Sedangkan bagi ibu, menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan atau postpartum (Riskesdas 2013). Hasil penelitian yang dilakukan Dinartiana dan Sumini (2011) menunjukkan bahwa pelaksanaan IMD juga dapat memengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif kepada bayi berusia 7-12 bulan. Pelaksanaan IMD juga dapat memberikan kesempatan hidup pada bayi dan membuat bayi lebih mampu bertahan dibandingkan bayi yang tidak segera

(5)

disusui. Hal ini sejalan dengan pernyataan Suryapragojo dalam penelitian Hartatik (2012) bahwa bayi yang mendapat perlakuan IMD akan mendapatkan kolostrum yang bermanfaat bagi sistem kekebalan tubuh bayi.

Adanya Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) sebagai lembaga independen sangat membantu sosialisasi mengenai pentingnya IMD kepada masyarakat luas dan kepada para ibu secara khusus. AIMI sudah berdiri sedak tahun 2007. Namun demikian, usaha sosialisasi IMD membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat tentang faktor-faktor yang dapat memengaruhi pelaksanaan IMD dalam penelitiannya tahun 2012, pada kerangka konsep penelitiannya merumuskan bahwa banyak hal yang dapat memengaruhi keberhasilan pelaksanaan IMD, yaitu yang dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksudkan adalah segala hal yang memengaruhi pelaksanaan IMD yang berasal dari sang ibu termasuk pengetahuan dan sikap ibu terhadap IMD, kondisi ibu pasca bersalin dan juga kondisi bayi. Sedangkan faktor eksternal berasal dari dukungan keluarga ibu bersalin, dukungan tenaga kesahatan yang membantu proses bersalin, serta dukungan dan kebijakan pemerintah terkait IMD (Hidayat, Karindra A. 2012).

Tenaga kesehatan sebagai salah satu pihak yang berperan dalam proses persalinan memegang peranan penting dalam mendukung pelaksanaan IMD pada ibu dan bayi karena tenaga kesehatan merupakan orang yang paling dekat dengan ibu saat proses persalinan selain keluarga sehingga mereka adalah pihak yang pertama membantu ibu melakukan penyusuan dini. Tenaga kesehatan baik dokter, bidan maupun perawat, diharapkan mampu mempunyai sikap yang mendukung

(6)

pelaksanaan IMD pasca bersalin. Mereka diharapkan dapat memahami akan pentingnya IMD dan mau melaksanakannya.

Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Pengabdian tenaga kesehatan salah satunya adalah melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebaik-baikya dan sesuai dengan peraturan atau anjuran yang ada, termasuk dalam hal ini yang dimaksud yaitu berperan aktif atau turut serta dalam pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD). Nuchsan dalam penelitian Yulianti (2010) mengatakan bahwa peran rumah sakit bersalin, rumah sakit umum dan puskesmas sangat meneNtukan pelaksanaan IMD. Namun pada kenyataannya masih sering didapati tenaga kesehatan yang tidak melaksanakan peran yang diharapkan, seperti tidak sesegera mungkin melaksanakan IMD dengan alasan bayi perlu dibersihkan dari zat lemak dan darah yang menempel pada tubuh bayi, langsung memberikan susu formula pada bayi dimana menurut tenaga kesehatan bayi yang terus menangis disebabkan oleh rasa haus, dan alasan lain yang disebabkan karena adanya kerja sama antara produsen susu formula yang melakukan pemasaran produk-produk mereka dengan rumah sakit tertentu. Padahal pemerintah telah melarang para produsen susu buatan mencantumkan kalimat-kalimat promosi yang memberikan kesan bahwa produk susu tersebut bermutu sama atau lebih baik dari ASI. Pemerintah juga telah melarang promosi susu buatan formula di semua sarana pelayanan kesehatan termasuk posyandu, menganjurkan menyusui secara eksklusif sampai umur 6 bulan, bahkan menyarankan pelaksanaan rawat gabung di tempat persalinan baik

(7)

yang dikelola pemerintah maupun swasta. Hal ini diatur dalam Peraturan Kepala BPOM republik Indonesia Nomor HK.00.05.52.0085 tahun 2010. Meskipun ada kondisi dimana IMD tidak mungkin dilakukan juga sudah dijelaskan dalam buku yang dikeluarkan WHO yaitu “Alasan medis yang dapat diterima sebagai dasar penggunaan pengganti ASI”. Alasan tersebut yakni jika bayi dengan galaktosemia klasik, bayi dengan penyakit kemih, bayi dengan fenilketonuria, bayi berat lahir sangat rendah, bayi amat prematur, juga bayi yang beresiko hipoglikemia. Sedangkan alasan medis yang dapat diterima pada ibu untuk tidak melakukan IMD atau memberi ASI pada bayi yaitu jika ibu terifeksi HIV, ibu mengidap penyakit parah (misalnya sepsis, virus herpes simplex tipe 1), ibu sedang menjalani pengobatan tertentu.

Menurut Yulianti dalam penelitiannya pada tahun 2010, peran tenaga kesehatan dalam pelaksanaan IMD pun sudah cukup jelas yang dimuat dalam buku JNPK-KR 2007 yaitu melatih keterampilan, mendukung, membantu dan menerapkan IMD-ASI Eksklusif, memberi informasi manfaat IMD dan ASI Eksklusif pada ibu hamil, membiarkan kontak kulit ibu-bayi setidaknya 1 jam sampai menyusu awal selesai, menghindarkan bayi menjadi terburu-buru atau memasukkan puting susu ibu ke mulut bayi, membantu ayah menunjukkan perilaku bayi yang positif saat bayi mencari payudara, membantu meningkatkan rasa percaya diri ibu, menyediakan waktu dan suasana diperlukan kesabaran. Namun kondisinya di lapangan tak jarang ditemukan bahwa ada beberapa tenaga kesehatan yang kurang mendukung pelaksanaan IMD. Bahkan disinyalir ada beberapa rumah sakit dan bidan yang bekerja sama dengan produsen susu formula

(8)

sehingga membuat tenaga kesehatan (baik bidan, perawat maupun dokter) cenderung tidak melaksanakan IMD pasca bersalin. Nuchsan dalam penelitian Yulianti (2010) menjelaskan pada seorang primipara, ASI sering keluar pada hari ketiga pasca bersalin. Hal ini bisa saja membuat ibu berpikir bahwa ASI-nya kurang sehingga ibu memilih memberikan susu formula kepada bayi. Padahal tidak dianjurkan memberikan pralacteal feeding kepada bayi apalagi jika diberikan dengan menggunakan botol dot karena akan menyebabkan bayi bingung yang disebabkan adanya perbedaan mekanisme menyusui pada payudara ibu yang dirasakan oleh bayi.

Pelayanan kesehatan yang berkualitas juga sangat dibutuhkan dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan AKB, meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif, dan meningkatkan keberhasilan pelaksanaan inisiasi menyusu dini pada bayi baru lahir. Fasilitas pelayanan kesehatan terdiri atas pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat di antaranya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang dikelola oleh pemerintah daerah. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar adalah Rumah Sakit Umum kelas B, dan salah satu Rumah Sakit Umum Daerah yang dikelola oleh pemerintah kota Pematangsiantar. RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar juga merupakan Rumah Sakit pendidikan, yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Pelaksanaan IMD di RSUD dr. Djasamen

(9)

Saragih sesungguhnya sudah pernah diterapkan sejak tahun 2004. Namun dari survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Nopember di ruang Tunas Jaya RSUD dr. Djasamen Saragaih Pematangsiantar, salah seorang tenaga kesehatan mengakui bahwa sekarang mereka tidak selalu melakukan praktik IMD pasca bersalin karena beberapa kondisi tertentu. Pengaturan ruangan yang diterapkan juga memengaruhi terhambatnya pelaksanaan IMD. Bayi yang baru lahir dipisahkan dari ibunya ke ruangan lain (ruang bayi) segera setelah lahir karena petugas masih perlu melakukan beberapa tindakan pada sang ibu pasca bersalin. Bayi dan ibunya akan dipertemukan lagi beberapa saat kemudian setelah tindakan pada ibu selesai dilakukan dan tentunya setelah bayi dibersihkan. Kondisi ini jelas menghambat pelaksanaan IMD pada bayi dan ibu tersebut. Media promosi mengenai inisiasi menyusu dini juga tidak terlihat saat dilakukan survei pendahuluan, namun poster mengenai saran pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif dapat ditemukan di dinding.

Peneliti tertarik melakukan penelitian tentang perilaku tenaga kesehatan terhadap pelaksanaan IMD di ruang Tunas Jaya RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar, yakni melihat bagaimana perilaku tenaga kesehatan dalam mempertahankan pelaksanaan program IMD yang telah berjalan. Peniliti juga tertarik melihat bagaimana tenaga kesehatan melakukan perannya untuk mendukung ibu bersalin menyusui bayinya pasca bersalin dan melihat apakah motivasi yang melatar-belakangi terbentuknya perilaku tenaga kesehatan tersebut. Para tenaga kesehatan yang bertugas di Tunas Jaya, termasuk bagian adminstrasi, seluruhnya adalah tenaga dengan latar belakang pendidikan kesehatan yang

(10)

seyogiyanya memiliki pengetahuan dan sikap yang baik tentang IMD. Untuk itu peneliti juga berminat melihat apakah pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan memengaruhi tindakan dalam pelaksanaan IMD.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah untuk penelitian ini yaitu bagaimana perilaku tenaga kesehatan terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui perilaku tenaga kesehatan terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2015.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan mendeskripsikan karakteristik tenaga kesehatan (umur, pendidikan akhir, waktu lama bekerja, dan status jabatan).

2. Mengetahui dan mendeskripsikan pengetahuan tenaga kesehatan terhadap inisiasi menyusu dini di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2015.

3. Mengetahui dan mendeskripsikan sikap tenaga kesehatan terhadap inisiasi menyusu dini di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2015. 4. Mengetahui dan mendeskripsikan tindakan tenaga kesehatan terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2015.

(11)

5. Mengetahui motivasi atau alasan di balik pelaksanaan IMD yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2015.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan gambaran perilaku tenaga kesehatan terhadap pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar.

2. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan inisiasi menyusu dini (IMD) dan memotivasi untuk menerapkannya. 3. Sebagai bahan masukan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum dengan adanya penambahan serat karung plastik, nilai kohesi, sudut gesek dalam dan kuat geser pada campuran mengalami peningkatan yang lebih tinggi

Agresifitas pajak dipengaruhi oleh likuiditas dan leverage menurut Likuiditas menurut Subramanyam (2013) adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kas dalam

Hasil penelitian merekomendasikan bahwa variasi campuran yang paling baik untuk menghasilkan adukan campuran papercrete berkinerja terbaik jika dilihat dari

Pada proyek Kawasan Wisata Tepian Sungai Bengawan Solo di Surakarta ini menggunakan pendekatan arsitektur ekologis yang menekankan pada prinsip tata kelola lingkungan yang ramah

3. Menjalankan, memindah tangankan atau menjual serta menyerahkan kepada siapa saja termasuk kepada yang diberi kuasa dengan harga pasaran yang layak dan

1. Teori proselitisasi ; teori ini akan digunakan dalam menganalisis bagaimana kegiatan penyebaran Islam di Nusantara. Dengan berpatokan pada teori Snouck Hurgronje

Menurut Antonovsky & Sourani (1988), diacu dalam Walsh (2002) sistem kepercayaan keluarga adalah kepercayaan bersama terhadap keluarga yang dapat membantu seseorang untuk

158 ADMIRAL UNISI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 3 Beroda. 159 BEATER Universitas Islam Sultan Agung 3