• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Banyuwangi, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu kota Republik Indonesia dan secara geografis mempunyai luas ± 2301,95 Km2 serta terletak pada 6,19° - 6,47°LS dan 106°1' - 107°103' Bujur Timur. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Bogor, yaitu:

a. Sebelah Utara : Kota Depok b. Sebelah Barat : Kabupaten Lebak c. Sebelah Barat Daya : Kabupaten Tangerang d. Sebelah Timur : Kabupaten Purwakarta e. Sebelah Timur Laut : Kabupaten Bekasi f. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukabumi g. Sebelah Tenggara : Kabupaten Cianjur.

Pada tahun 2008, jumlah penduduk Kabupaten Bogor adalah 4 340 520 jiwa yang terdiri atas 2 230 314 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 2 110 206 jiwa berjenis kelamin perempuan. Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 428 desa/kelurahan, 3 658 RW dan 14 400 RT. Dari jumlah tersebut, yakni 235 desa berada pada ketinggian sekitar kurang dari 500 m terhadap permukaan laut, sedangkan 144 desa berada di antara 500 – 700 m dari permukaan laut dan sisanya 49 desa berada pada kisaran 500 m dari permukaan laut.

Secara geografis Kecamatan Cigudeg berada pada koordinat 5°50' - 7°50' Lintang Selatan dan 104°48' - 108°48' Bujur Timur dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Kecamatan Parung Panjang b. Sebelah Timur : Kecamatan Leuwisadeng c. Sebelah Selatan : Kecamatan Sukajaya d. Sebelah Barat : Kecamatan Jasinga.

(2)

Luas wilayah Kecamatan Cigudeg yaitu 15 886,043 Ha yang terdiri dari 15 desa, yaitu: Argapura, Bangunjaya, Banyuasih, Banyuresmi, Banyuwangi, Batujajar, Bunar, Cigudeg, Cintamanik, Mekarjaya, Rengasjajar, Sukamaju, Sukaraksa, Tegallega, dan Wargajaya. Jarak kantor desa ke ibu kota kecamatan dengan jarak terjauh adalah Desa Tegallega sejauh 30 Km. Keadaan topografi Kecamatan Cigudeg berada pada ketinggian tanah 300 meter dari permukaan laut dengan curah hujan sebanyak 3 715 mm/tahun. Kecamatan Cigudeg beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim hujan (Januari-Juni) dan musim kemarau (Juli-Desember). Kelembaban udara rata-rata 83 persen, suhu berkisar antara 22,4°C – 31,7°C, dan rata-rata kecepatan angin 3,8 Knot.

Pada bulan Maret 2010, terjadi longsor disertai hujan lebat dan angin kencang yang menyebabkan longsor selama ± 3 jam di Kecamatan Cigudeg. Daerah yang mengalami longsor disertai hujan lebat dan angin kencang adalah Desa Banyuwangi dan Desa Tegallega. Namun daerah yang mengalami kerusakan paling parah adalah Desa Banyuwangi. Kerusakan tersebut terjadi di Kampung Cibugis dan Kampung Panggeleseran dengan klasifikasi rusak ringan, sedang, dan berat serta banyak kondisi rumah dengan status terancam longsor susulan. Hal ini disebabkan konstruksi tanah yang sangat labil dan mengancam ± 1 000 jiwa penduduk Kampung Panggeleseran dan ± 350 jiwa penduduk Kampung Cibugis.

Desa Banyuwangi

Desa Banyuwangi merupakan daerah dataran tinggi dan salah satu desa yang mengalami bencana longsor terparah dan terancam longsor susulan. Desa Banyuwangi terdiri atas 5 dusun, 11 RW, dan 25 RT. Luas wilayah Desa Banyuwangi ± 822 Ha, terdiri atas wilayah perkebunan (709,55 Ha), sawah (54,20 Ha), kolam (2,35 Ha), dan perkampungan (51,25 Ha). Desa Banyuwangi berada pada ketinggian 600 – 700 m dpl dan suhu 25°C - 30°C dengan rata-rata curah hujan 4 000 mm/tahun.

Batas-batas wilayah Desa Banyuwangi adalah sebagai berikut: a. Sebelah Utara : Desa Batujajar

b. Sebelah Selatan : Desa Cigudeg c. Sebelah Timur : Desa Banyuresmi d. Sebelah Barat : Desa Cintamanik.

(3)

Tabel 3 Sebaran penduduk berdasarkan sarana yang terdapat di Desa Banyuwangi

Jenis Sarana Jumlah (n)

Pendidikan Sekolah Dasar 2 Madrasah Diniyah 2 Pondok Pesantren 5 Peribadatan Masjid 5 Musholla 14 Majelis Ta’lim 15 Kesehatan Posyandu 1 Olahraga Lapangan Sepakbola 1 Lapangan Volley 2

Lapangan Bulu Tangkis 2

Umum

Pos Kamling 12

Jalan

Jalan Kabupaten 9000 m

Jalan Desa/Batu 4000 m

Jalan Desa Tidak Diperkeras 1000 m

Jalan Flaur/Plester 2500 m

Desa Banyuwangi memiliki beberapa sarana, antara lain adalah sarana pendidikan, peribadatan, jalan, kesehatan, dan umum (Tabel 3). Sarana pendidikan sebanyak 9 unit terdiri atas sekolah dasar, madrasah diniyah, pondok pesantren; sarana peribadatan sebanyak 34 unit yang terdiri atas masjid, musholla, majelis ta’lim; sarana kesehatan 1 unit yaitu posyandu; sarana olahraga 5 unit terdiri atas lapangan sepakbola, lapangan volley, lapangan bulu tangkis; sarana umum 1 unit yaitu pos kamling; dan sarana jalan sepanjang 16 500 meter terdiri atas jalan kabupaten, jalan desa, jalan desa tidak diperkeras, jalan plester.

Tabel 4 Sebaran penduduk berdasarkan jenis pekerjaan di Desa Banyuwangi

Jenis Pekerjaan N Persentase (%)

Petani 339 30,79 Buruh Tani 284 25,79 Buruh Swasta 190 17,26 Pegawai Negeri 11 1,00 Pedagang 90 8,17 Usaha Lainnya 187 16,98 Total 1101 100

(4)

Jumlah kepala keluarga di Desa Banyuwangi sebanyak 1 103 KK. Pada Tabel 4, persentase terbesar mata pencaharian penduduk di Desa Banyuwangi adalah sebagai petani (30,79%), buruh tani (25,79%), buruh swasta (17,26%), dan usaha lainnya (16,98%).

Tabel 5 Sebaran penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Banyuwangi

Jenis Kelamin N Persentase (%)

Laki-laki 2209 49,60

Perempuan 2246 50,40

Total 4455 100

Jumlah penduduk Desa Banyuwangi adalah sebanyak 4 455 jiwa yang terdiri atas 2 209 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 2 246 jiwa berjenis kelamin perempuan. Persentase terbesar penduduk Desa Banyuwangi berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 50,40 persen (Tabel 5).

Karakteristik Keluarga Usia

Usia suami berkisar antara 20 sampai 68 tahun dengan rata-rata usia 39,7 tahun, sedangkan usia isteri berkisar antara 19 sampai 60 tahun dengan rata-rata usia 34,56 tahun. Lebih dari tiga per lima suami (61%) dan isteri (73%) berada pada usia 18-40 tahun (Tabel 6). Usia 18-40 tahun termasuk dalam fase dewasa awal. Menurut Duvall (1970), tugas perkembangan pada usia ini adalah menciptakan kepuasan dalam pernikahan; mempersiapkan kehamilan dan sebagai orangtua; menciptakan hubungan yang baik antara orangtua dan bayi/anak; memenuhi kebutuhan anggota keluarga dengan anak usia prasekolah dan sekolah serta membantu anak bersosialisasi dengan lingkungan; memberikan kebebasan yang seimbang pada anggota keluarga dan anak remaja.

Menurut Gunarsa & Gunarsa (1991), pada usia dewasa muda (usia 21-41 tahun) dan dewasa madya (usia 49-60 tahun) adalah tahapan yang biasa terjadi stres dan masalah sehingga pada usia tersebut membutuhkan persiapan yang matang untuk menghadapi permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya menurut Hultsch & Deutsh (1981), setiap tahapan usia menghadapi masa transisi dan masa krisis yang dapat diselesaikan sesuai dengan tahapan usia. Persepsi individu dalam

(5)

menghadapi permasalahan akan menciptakan reaksi yang berbeda untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Hal inipun sesuai dengan pernyataan Hayslip & Panek (1989) bahwa persepsi antar individu terhadap permasalahan yang dihadapi memiliki perbedaan sebagaimana reaksi mereka dalam menghadapi permasalahan.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia suami isteri (n=100)

Kategori Usia (Tahun) Suami Isteri

% %

Dewasa Awal (18-40 tahun) 61 73

Dewasa Madya (41-60 tahun) 34 27

Dewasa Lanjut (>60 tahun) 5 0

Total 100 100

Usia orangtua yang muda akan relatif lebih rentan terhadap adanya badai dan tantangan dalam kehidupan keluarga (Hastuti 2008). Semakin bertambah usia seseorang maka semakin besar kemungkinan individu untuk lebih mudah mengasumsikan suatu keadaan sebagai situasi yang penuh tekanan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik. Sehingga usia merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan dan melakukan strategi koping (Hayslip & Panek 1989).

Tingkat dan Lama Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam diri seseorang yang akan mempengaruhi perilaku. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2000), tingkat pendidikan yang dicapai akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian seseorang.

Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan suami dan isteri tersebar pada kategori tidak tamat Sekolah Dasar, tamat Sekolah Dasar, dan Tamat SMA (Tabel 7). Sebagian besar suami (84%) dan isteri (90%) memiliki tingkat pendidikan tidak tamat Sekolah Dasar, sedangkan tingkat pendidikan SMA hanya dimiliki suami sebesar satu persen. Rendahnya pendidikan orangtua menyebabkan rendahnya pendapatan keluarga, mempengaruhi tingkah laku, dan persepsi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardinsyah & Suhardjo (1987), pendidikan akan berhubungan dengan jenis

(6)

pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Selanjutnya menururt Hardinsyah (1987), keterbatasan pengetahuan disebabkan rendahnya pendidikan berpengaruh terhadap tingkah laku anggota keluarga dalam memilih kebutuhan dan dalam membuat keputusan.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan suami isteri (n=100) Kategori Tingkat Pendidikan Suami Isteri

% %

Tidak tamat SD 84 90

Tamat SD 15 10

Tamat SMA 1 0

Total 100 100

Dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, pendidikan berpengaruh dalam menentukan dan memilih strategi koping. Pendidikan yang rendah akan cenderung mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan emosi atau bahkan dengan hal-hal yang negatif. Hal inipun sesuai dengan pernyataan Pearlin & Schooler (1976), diacu dalam Furi (2006), individu yang berpendidikan tinggi pada umumnya lebih positif dalam menghadapi situasi dan bersikap lebih percaya mengatasi permasalahannya dengan perilaku yang berpusat pada masalah, sedangkan menurut Billing & Moss (1981), diacu dalam Furi (2006) seseorang dengan pendidikan yang lebih rendah lebih percaya pada perilaku yang berpusat pada emosi. Menurut Syarief (1998) strategi koping yang dilakukan dalam sebuah keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tabel 8 Sebaran Contoh Berdasarkan Lama Pendidikan Suami Isteri (n=100) Kategori Lama Pendidikan (Tahun) Suami Isteri

% %

< 9 tahun 99 100

≥ 9 tahun 1 0

(7)

Lama pendidikan dikelompokkan berdasarkan program wajib belajar sembilan tahun. Menurut Sunarti (2001), lama pendidikan sembilan tahun digunakan sebagai batasan wajib belajar karena dianggap dapat memberikan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan minimal bagi seseorang untuk menjalankan kehidupannya. Hampir seluruh suami (99%) dan isteri (100%) termasuk dalam kategori lama pendidikan kurang dari 9 tahun (Tabel 8). Hal tersebut menunjukkan bahwa program wajib belajar 9 tahun belum berhasil di Desa Banyuwangi. Hal ini disebabkan jarak tempat pendidikan yang terlalu jauh untuk ditempuh dan akses informasi yang sulit.

Besar Keluarga

Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga. Berdasarkan jumlah atau besar keluarga, keluarga dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: keluarga kecil (kurang dari sama dengan 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (lebih dari sama dengan 8 orang) (BKKBN 1996).

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan kategori besar keluarga (n=100) Kategori Besar Keluarga Persentase (%)

Kecil (≤ 4 orang) 47

Sedang (5-7 orang) 37

Besar (≥ 8 orang) 16

Total 100

Jumlah anggota keluarga contoh berkisar antara 3 sampai 11 orang. Lebih dari dua per lima (47%) contoh termasuk dalam kategori keluarga kecil dan keluarga lain dari kategori keluarga sedang (37%) serta hanya 16 persen keluarga contoh termasuk dalam kategori keluarga besar (Tabel 9). Berdasarkan hasil penelitian pada keluarga miskin di beberapa wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa anak-anak dalam keluarga yang jumlah anggotanya besar akan menghadapi resiko yang lebih besar menderita kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh jumlah makanan yang dimakan keluarga besar dan miskin cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan yang dimakan keluarga kecil dengan tingkat pendapatan yang sama (Eckholm & Newland, diacu dalam Hardinsyah 1985). Selain itu menurut Pulungan (1993), diacu dalam Cahyaningsih (1999), keluarga dengan jumlah anak terlalu besar seringkali mempunyai masalah dalam

(8)

hal pemenuhan kebutuhan pokok keluarga, sehingga kondisi ini pada akhirnya akan memperbesar tingkat stres.

Kepemilikan Aset

Sumberdaya aset adalah sesuatu apapun yang dimiliki keluarga atau yang dapat diakses keluarga, dan memiliki nilai tukar yang dapat mendorong keluarga untuk mencapai tujuannya. Aset tersebut dapat berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, dan fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986, diacu dalam Nuryani 2007).

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan aset yang dimiliki keluarga (n=100)

Nama Aset Kepemilikan Aset Total

Ya (%) Tidak (%) % Tanah kebun/tegal 21 79 100 Sawah 4 96 100 Rumah 82 18 100 Kamar mandi 15 85 100 Luas bangunan 4 96 100 Luas pekarangan 1 99 100 Motor 29 71 100 Sepeda 8 92 100 Perhiasan 46 54 100 Ayam 65 35 100 Bebek 3 97 100 Burung 1 99 100 Kambing 37 63 100

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 10), aset yang dimiliki contoh adalah tanah/tegal, sawah, rumah, kamar mandi, luas bangunan, luas pekarangan, motor, sepeda, perhiasan, ayam, bebek, burung, dan kambing. Aset terbanyak yang dimiliki contoh adalah rumah (82%), ayam (65%), perhiasan (46%), kambing (37%), dan motor (29%). Namun hanya 15 persen contoh yang memiliki kamar mandi pribadi. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan contoh terhadap kesehatan dan lebih mengandalkan fasilitas MCK (Mandi Cuci Kakus) umum yang disediakan pemerintah setempat. Selain itu juga contoh memiliki tanah kebun/tegal (21%), sawah (4%), motor (29%), sepeda (8%), perhiasan (46%), bebek (3%), burung (1%), dan kambing (37%) sehingga dapat sedikit membantu contoh ketika menghadapi masalah ekonomi karena contoh dapat menjual beberapa aset yang dimiliki untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga.

(9)

Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan kategori nilai aset keluarga (n=100) Kategori Nilai Aset Keluarga (Rupiah) Persentase (%)

0 – 25 000 000 75

25 000 001 – 50 000 000 21

50 000 001 – 75 000 000 3

>75 000 001 1

Total 100

Sebaran nilai aset contoh berada pada kisaran Rp 0 sampai Rp 90 250 000. Nilai aset Rp 0 adalah contoh yang tidak memiliki aset sama sekali. Tiga per empat (75%) contoh memiliki nilai aset termasuk pada kategori Rp 0 sampai Rp 25 000 000, sedangkan nilai aset yang dimiliki keluarga contoh lebih dari Rp 75 000 000 hanya satu persen (Tabel 11). Rata-rata nilai aset yang dimiliki contoh adalah Rp 16 716 165. Menurut Gross, Crandall & Knoll (1980), sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga dan menurut Bryant (1990) aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga dan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki aset lebih banyak cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas. Selain itu juga, keluarga yang memiliki aset lebih banyak dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dengan menggunakan atau menjual aset yang dimiliki keluarga.

Pendapatan Per Kapita

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 12, pendapatan per kapita contoh berkisar antara Rp 16 666.67 - Rp 3 000 000 dengan rata-rata Rp 134 670,1. Contoh yang memiliki pendapatan per kapita Rp 3 000 000 adalah contoh yang memiliki anak (≥ 3 orang) sudah bekerja sehingga dapat menambah pendapatan per kapita keluarga. Lebih dari enam per tujuh (87%) contoh memiliki pendapatan per kapita keluarga termasuk dalam kategori kurang dari Rp 191 000 dan hanya satu persen contoh yang memiliki pendapatan per kapita lebih dari Rp 991 001. Menurut BPS (2008) keluarga yang memiliki pendapatan per kapita kurang dari Rp 191 000 termasuk dalam kategori keluarga miskin. Kisaran tersebut menunjukkan bahwa pendapatan per kapita keluarga contoh tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga dan termasuk dalam

(10)

kategori keluarga miskin. Suhardjo (1989), menjelaskan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga dan menurut Roedjito (1986), keluarga yang berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok.

Tabel 12 Sebaran Contoh Berdasarkan Pendapatan Per Kapita (n=100) Kategori Pendapatan Per Kapita (Rupiah) Persentase (%)

≤ 191 000 87 191 001-591 000 11 591 001-991 000 1 >991 001 1 Total 100 Pekerjaan

Pekerjaan merupakan salah satu indikator dari pendapatan yang diperoleh suatu keluarga setiap bulannya (Kumari 2001). Menurut BPS (1998), bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh penghasilan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan harus dilakukan berturut-turut dan tidak boleh terputus. Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Menurut Engel et al. (1994), menyatakan bahwa pekerjaan merupakan indikator tunggal terbaik mengenai kelas sosial.

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan kategori jenis pekerjaan suami isteri (n=100)

Kategori Jenis Pekerjaan Suami Isteri

% %

UTAMA

Petani 55 17

Wiraswasta 44 9

Ibu Rumah Tangga 0 74

Tidak Bekerja 1 0

Total 100 100

TAMBAHAN

Wiraswasta 10 1

Tidak ada tambahan 90 99

Total 100 100

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 13), sebaran jenis pekerjaan contoh adalah sebagai petani, wiraswasta, ibu rumah tangga, dan tidak bekerja. Sebanyak 55 persen suami memiliki pekerjaan utama sebagai petani sedangkan pekerjaan

(11)

utama isteri adalah sebagai ibu rumah tangga (74%). Hanya 10 persen suami yang memiliki pekerjaan tambahan sebagai wiraswasta dan 99 persen isteri tidak memiliki pekerjaan tambahan. Pekerjaan termasuk dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Menurut Khomsan (2007), keluarga yang memiliki pekerjaan tetap maka relatif akan terjamin pendapatan setiap bulannya dibandingkan keluarga yang memiliki pekerjaan tidak tetap.

Permasalahan Keluarga

Bencana yang disebabkan manusia ataupun alam seperti longsor menyisakan permasalahan yang perlu ditangani. Permasalahan tersebut mengakibatkan terhambatnya pemenuhan kebutuhan dasar, timbulnya masalah psikososial, dan bahkan hilangnya anggota keluarga yang dapat mempengaruhi keadaan keluarga. Permasalahan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tujuh, yaitu masalah pangan, masalah kesehatan, masalah pendidikan, masalah tempat tinggal, masalah pakaian, masalah pekerjaan atau pandapatan, dan masalah interaksi keluarga.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pangan (n=100)

No Pernyataan Ya Tidak Total

% % %

1 Makan 3 kali sehari 74 26 100

2 Makan dengan menu empat sehat setiap hari 3 97 100 3 Setiap menu makan terdapat pangan yang berasal

dari protein nabati dan hewani

14 86 100

4 Setiap hari menu makan berubah 31 69 100

Tabel 14 menunjukkan bahwa sebesar 74 persen keluarga contoh dapat makan tiga kali sehari dan hampir seluruh (97%) keluarga contoh tidak dapat makan dengan menu empat sehat setiap hari, tidak dapat makan dengan menu makan yang berasal dari protein nabati dan hewani (86%) , menu makan keluarga contoh tidak berubah setiap hari (69%). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga contoh menghadapi masalah pangan yang cukup serius karena merasa kesulitan untuk mendapatkan makanan yang sehat dan bergizi. Walaupun keluarga contoh dapat makan tiga kali sehari, namun mereka tidak mempertimbangkan pola, jenis, dan kandungan gizi yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Hal ini dapat

(12)

menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Menurut Syarief (1992), sumberdaya manusia yang berkualitas untuk masa mendatang adalah dengan cara mengkonsumsi makanan yang lengkap akan kandungan gizinya yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral dalam proporsi serta jumlah berimbang.

Lebih dari tiga per lima (61%) contoh membawa anggota keluarga yang sakit ke puskesmas dan 77 persen contoh mengalami kesulitan untuk membayar obat-obatan (Tabel 15). Contoh menganggap kesehatan merupakan hal yang penting, namun karena jarak tempuh yang terlalu jauh dengan pusat pengobatan (puskesmas) dan mahalnya harga obat-obatan menyebabkan contoh mengalami kesulitan untuk memeriksakan kesehatan di puskesmas. Biasanya contoh melakukan pengobatan tradisional apabila mengalami kesulitan biaya pengobatan dengan cara memanfaatkan tumbuh-tumbuhan atau hasil hewan (telur) untuk mengobati anggota keluarga yang sakit.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah kesehatan (n=100)

No Pernyataan Ya Tidak Total

% % %

1 Membawa anggota keluarga yang sakit untuk berobat ke puskesmas

61 39 100

2 Memiliki kesulitan membayar obat-obatan 77 23 100 Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 16, hampir tiga per empat (74%) anak contoh mengikuti pendidikan formal, mengikuti pendidikan non formal (2%), dan mampu menyediakan kebutuhan sekolah (59%). Namun masih terdapat contoh yang tidak mampu menyediakan kebutuhan sekolah (41%). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan formal penting untuk masa depan anak-anak contoh. Walaupun letak sekolah yang terlalu jauh, sulit dijangkau, dan bangunan yang seadanya contoh tetap menyekolahkan anak-anaknya. Pendidikan non formal yang diikuti anak contoh adalah latihan membuat emas. Anak-anak contoh memiliki keinginan yang kuat untuk bersekolah namun ada beberapa contoh (39%) masih beranggapan bahwa sekolah formal membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga merasa tidak mampu untuk membiayai dan menyekolahkan anak-anaknya. Sekolah yang terdapat di tempat penelitian adalah Sekolah Dasar yang tidak memberatkan contoh baik dalam hal biaya maupun kebutuhan sekolah

(13)

siswa. Hal ini disebabkan karena pihak sekolah tidak mengharuskan siswanya untuk memakai sepatu, pakaian sekolah (merah-putih), dan peralatan tulis yang baru serta memotivasi siswa untuk semangat bersekolah supaya tidak memberatkan contoh sehingga siswa tetap dapat bersekolah.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pendidikan (n=100)

No Pernyataan Ya Tidak Total

% % %

1 Anak mengikuti pendidikan formal (sekolah) 74 26 100 2 Anak mengikuti pendidikan non formal 2 98 100 3 Mampu menyediakan keperluan sekolah anak 59 41 100

Hampir seluruh (97%) contoh memiliki rumah untuk berlindung, memiliki ruang keluarga (92%), dan penerangan yang cukup (80%) namun rumah yang dimiliki keluarga tidak dilengkapi dengan fasilitas MCK (75%) (Tabel 17). Hal ini menunjukkan bahwa contoh memiliki rumah yang cukup namun rumah yang contoh miliki tidak memenuhi syarat rumah sehat. Hal ini disebabkan rumah yang dimiliki contoh adalah rumah yang terbuat dari bilik, berlantaikan tanah dan plester serta memiliki ventilasi yang kurang.

Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah tempat tinggal (n=100)

No Pernyataan Ya Tidak Total

% % %

1 Terdapat rumah untuk tempat berlindung keluarga yang memadai

97 3 100

2 Rumah dilengkapi dengan fasilitas MCK 25 75 100 3 Terdapat ruangan yang cukup untuk seluruh anggota

keluarga

92 8 100

4 Rumah memiliki cukup penerangan 80 20 100

Sebesar 25 persen contoh memiliki rumah yang dilengkapi fasilitas MCK, namun tidak memenuhi syarat MCK yang baik dan sehat. Hal yang sama dengan MCK umum yang disediakan pemerintah setempat tidak memenuhi syarat yang baik dan sehat. Hal ini disebabkan pendapatan per kapita keluarga yang tidak mencukupi dan contoh beranggapan bahwa rumah yang dimiliki cukup untuk berlindung tanpa memperhatikan syarat-syarat rumah sehat. Hal ini sesuai dengan pendapat Slamet (1996), rendahnya penghasilan menyebabkan keluarga tidak mampu untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat rumah sehat dan akan

(14)

menimbulkan permasalahan kesehatan. Timbulnya permasalah kesehatan di dalam lingkungan pemukiman rumah disebabkan karena individu yang belum sepaham tentang fungsi suatu rumah.

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pakaian (n=100)

No Pernyataan Ya Tidak Total

% % %

1 Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk kegiatan yang berbeda

81 19 100

2 Kepala keluarga mampu membeli pakaian untuk seluruh anggota keluarga

44 56 100

Berdasarkan data penelitian yang disajikan (Tabel 18), lebih dari empat per lima (81%) contoh memiliki pakaian yang berbeda antara pakaian di rumah dan pakaian untuk bepergian, dan sebesar 44 persen kepala keluarga mampu membelikan pakaian untuk seluruh anggota keluarga. Contoh membedakan pakaian untuk di rumah dan untuk bepergian karena contoh beranggapan bahwa ketika bepergian tidak pantas memakai pakaian yang biasa dipakai di rumah dan contoh tidak memiliki pakaian untuk bepergian dalam jumlah banyak. Kepala keluarga mampu membeli pakaian baru untuk seluruh anggota keluarga khususnya untuk anak setahun sekali yaitu pada saat lebaran saja dan merupakan kebiasaan bagi keluarga walaupun keluarga memiliki pendapatan yang rendah. Sehingga masalah pakaian bukan masalah yang dianggap masalah berat dan sulit bagi keluarga contoh.

Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah pendapatan(n=100)

No Pernyataan Ya Tidak Total

% % %

1 Kepala keluarga tetap bekerja 80 20 100

2 Pendapatan suami cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga

58 42 100

Empat per lima (80%) kepala keluarga contoh tetap bekerja dan hampir tiga per lima (58%) penghasilan suami cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan dan pendapatan kepala keluarga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer. Contoh beranggapan bahwa pendapatan suami dapat mencukupi kebutuhan primer adalah suatu kecukupan bagi keluarga.

(15)

Berdasarkan data sebaran yang disajikan pada Tabel 20, lebih dari enam per tujuh (88%) contoh memiliki waktu khusus berkumpul bersama, contoh meluangkan waktu setiap suami membutuhkan (99%), membicarakan rasa cinta dengan suami (63%), lebih senang berbicara dengan suami (96%), membicarakan pendidikan anak dengan suami (85%), saling menghargai antar suami-isteri (99%). Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara contoh dengan suami termasuk dalam interaksi yang baik dan adanya waktu khusus keluarga dapat menciptakan keintiman dan keakraban keluarga.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan masalah interaksi keluarga (n=100)

No Pernyataan Ya Tidak Total

% % %

1 Keluarga mempunyai waktu khusus untuk berkumpul bersama

88 12 100

2 Meluangkan waktu untuk suami setiap suami membutuhkan

99 1 100

3 Membicarakan rasa cinta antar suami-isteri 63 37 100 4 Lebih senang berbicara dengan suami dibandingkan

dengan anggota keluarga lain

96 4 100

5 Membicarakan masalah pendidikan anak dengan suami

85 15 100

6 Saling menghargai antar suami-isteri 99 1 100 7 Meluangkan waktu untuk anak setiap anak

membutuhkan

99 1 100

8 Menanyakan/mendengarkan saran/pendapat anak mengenai sesuatu

83 17 100

9 Ibu dan anak saling menghargai 95 5 100

10 Membantu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi anak dengan sikap yang positif

95 5 100

11 Menyediakan waktu untuk berbicara dengan anak dalam hal apapun

93 7 100

12 Bertanya tentang teman-teman anak di sekolah dan di rumah

83 17 100

13 Anak mendengarkan nasihat yang diberikan ibu 90 10 100 14 Anak-anak saling menghargai satu sama lain 94 6 100 15 Anak-anak saling membantu satu sama lain 94 6 100 16 Anak lebih suka berbicara dengan ibu 91 9 100 Hampir seluruh (99%) contoh meluangkan waktu untuk anak setiap anak membutuhkan, mengikutsertakan anak dalam keluarga (83%), ibu dan anak saling menghargai (95%), membantu menyelesaikan masalah anak (95%), menyediakan waktu berbicara dengan anak dalam hal apapun (93%), bertanya tentang teman di sekolah dan di rumah (83%), dan anak mendengarkan nasihat ibu (90%). Hal ini

(16)

menunjukkan bahwa interaksi yang dibentuk contoh pada anak adalah interaksi yang baik dan akan membentuk anak yang terbuka dan menghargai orangtua. Menurut Effendi et al. (1995), diacu dalam Kunarti (2004), pada dasarnya hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat mempengaruhi hubungan keluarga dan keluarga cenderung akan bertahan.

Hampir seluruh (94%) anak-anak contoh saling menghargai dan membantu satu sama lain (94%) dan anak lebih suka berbicara dengan ibu (91%). Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi antar anak tergolong baik dan anak lebih dekat dengan contoh. Hal ini merupakan salah satu pengaruh dari sikap orangtua yang mengajarkan anak untuk menciptakan hubungan dan interaksi yang baik dengan seluruh anggota keluarga.

Secara keseluruhan, lebih dari 60 persen contoh menciptakan interaksi yang baik antar suami-isteri, ibu-anak, dan antar saudara sehingga keluarga tetap dapat menjaga keintiman dan keakraban seluruh anggota keluarga serta keluarga akan cenderung tetap bertahan dari pengaruh luar yang dapat mengancam kondisi keluarga. Hal inipun didukung dengan pendapat Dagun (1990), diacu dalam Mutyahara (2005) bahwa keintiman diantara anggota keluarga akan sangat mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama, barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota keluarga. Menurut Sunarti (2010), gempa bumi yang korban rasakan berpengaruh terhadap hubungan suami isteri dan keluarga. Sebagian contoh merasa menjadi lebih harmonis dan dekat dengan suami dan keluarga, namun terdapat pula ibu yang merasa suaminya menjadi lebih mudah marah, malas bekerja, dan kurang perhatian dibandingkan sebelum gempa.

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kategori permasalahan keluarga total (n=100)

Kategori Permasalahan Keluarga Total Persentase (%)

Rendah (0-11) 0

Sedang (>11-22) 25

Tinggi (>22-33) 75

(17)

Tabel 21 menunjukkan bahwa contoh menghadapi permasalahan keluarga total termasuk dalam kategori tinggi (75%). Tingginya permasalahan yang dihadapi keluarga contoh disebabkan semakin sulitnya ekonomi dan keadaan yang semakin terpuruk akibat terjadinya bencana longsor. Pendapatan per kapita keluarga yang rendah, masalah pangan yang serius (tidak memenuhi jenis, pola, dan kandungan gizi seimbang), keadaan tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat rumah sehat, dan sarana pendidikan yang terdapat di tempat penelitian hanya Sekolah Dasar dan bangunan seadanya merupakan beberapa faktor penyebab tingginya permasalahan keluarga total. Menurut Suhardjo (1989), pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Pendapatan keluarga yang tinggi akan dapat memenuhi kebutuhan keluarga dibandingkan keluarga yang memiliki pendapatan rendah.

Kelentingan Keluarga Sistem Kepercayaan Keluarga

Kelentingan keluarga berawal dari sistem kepercayaan keluarga. Sistem kepercayaan keluarga adalah kepercayaan bersama terhadap keluarga yang dapat membantu seseorang untuk memaknai krisis atau permasalahan yang dihadapi dengan memberikan perasaan yang positif, memiliki harapan yang tinggi, mengembangkan dan mengaplikasikan nilai yang terdapat dalam keluarga, serta meningkatkan spiritualitas untuk mengurangi tekanan dan menyelesaikan masalah (Antonovsky & Sourani 1988, diacu dalam Walsh 2002). Menurut Walsh (2002) sistem kepercayaan keluarga mencakup pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran, dan spiritualitas.

Tabel 22 menjelaskan indikator sistem kepercayaan keluarga yaitu pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran, dan spiritualitas. Pemaknaan terhadap kemalangan adalah bagaimana individu memaknai dan bertahan terhadap krisis atau kemalangan yang sedang dihadapi serta dapat kembali pada keadaan semula (Sunarti 2008). Lebih dari 95 persen contoh menganggap dan melakukan pemaknaan terhadap kemalangan yaitu tingkat kelentingan merupakan dasar dari hubungan (100%), pemaknaan terhadap

(18)

kemalangan (99%), dan krisis sebagai sesuatu yang bermakna (96%). Hal ini menunjukkan bahwa pemaknaan contoh terhadap kemalangan termasuk tinggi.

Tabel 22 Sebaran contoh berdasarkan komponen sistem kepercayaan keluarga (n=100)

No Komponen Ya Tidak Total

% % %

1 Hubungan suami-isteri merupakan dasar ketahanan keluarga

100 0 100

2 Pemaknaan terhadap kemalangan 99 1 100

3 Krisis sebagai sesuatu yang bermakna 96 4 100

4 Optimis menghadapi tantangan 96 4 100

5 Fokus pada potensi diri 97 3 100

6 Inisiatif menghadapi tantangan 92 8 100

7 Gigih menghadapi tantangan 97 3 100

8 Menerima sesuatu yang tidak dapat dirubah 81 19 100

9 Mempunyai tujuan hidup 94 6 100

10 Agama membantu dalam menanggulangi masalah 97 3 100 11 Sikap kreatif dalam menanggulangi masalah 91 9 100 12 Belajar dan tumbuh berdasarkan pengalaman

orang lain

94 6 100

13 Belajar dan tumbuh berdasarkan pengalaman masa lalu

90 10 100

Pandangan positif adalah harapan, rasa optimis, fokus pada kekuatan dan potensi diri, dan menerima sesuatu yang tidak dapat dirubah dalam menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 80 persen contoh menganggap dan melakukan pandangan yang positif terhadap permasalahan yang dihadapi yaitu optimis menghadapi tantangan (96%), fokus pada potensi diri dan gigih menghadapi tantangan (97%), inisiatif menghadapi tantangan (92%), dan menerima sesuatu yang tidak dapat dirubah (81%). Hal ini menunjukkan bahwa pandangan positif contoh terhadap permasalahan yang dihadapi termasuk tinggi. Inisiatif yang dilakukan contoh adalah membantu suami bekerja dan berjualan kecil-kecilan.

Kesadaran dan spiritualitas adalah keyakinan agama yang tinggi, kerukunan, memiliki inspirasi, memiliki tujuan hidup dan mimpi, belajar dan tumbuh dari kemalangan untuk dapat bertahan menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 89 persen contoh menganggap dan melakukan kesadaran dan spiritualitas dalam menghadapi krisis yaitu mempunyai tujuan hidup (94%), agama membantu dalam menanggulangi masalah (97%), sikap kreatif dalam menanggulangi masalah (91%), belajar dan tumbuh berdasarkan pengalaman

(19)

orang lain (94%), belajar dan tumbuh berdasarkan pengalaman masa lalu (90%). Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran dan spiritualitas yang dimiliki contoh untuk menghadapi krisis termasuk tinggi. Sikap kreatif yang dikemukakan contoh adalah bekerja, berjualan, dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan suami.

Tabel 23 Sebaran contoh berdasarkan kategori sistem kepercayaan keluarga (n=100)

Kategori Sistem Kepercayaan Keluarga Persentase (%)

Rendah (0-4) 0

Sedang (>4-8) 1

Tinggi (>8-13) 99

Total 100

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 23, kategori sistem kepercayaan keluarga termasuk dalam kategori tinggi (99%). Hal ini menunjukkan bahwa sistem kepercayaan keluarga yang dibentuk contoh tinggi (pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran dan spiritual) sehingga menjadikan keluarga contoh tetap dapat bertahan untuk menjalani kehidupan pasca longsor dan menjaga keluarga dari berbagai tekanan dan krisis. Hal inipun ditunjukkan dengan nilai persentase komponen pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, dan kesadaran dan spiritual lebih dari 80 persen.

Pola Organisasi Keluarga

Menurut Walsh (2002), salah satu kunci kelentingan keluarga adalah pola organisasi keluarga. Pola organisasi keluarga adalah struktur keluarga yang meliputi fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial dan ekonomi. Pola organisasi dapat dilakukan dengan melalui struktur yang fleksibel, kepemimpinan bersama, saling mendukung, dan kerjasama dalam menghadapi keadaan krisis atau kemalangan.

Tabel 24 menjelaskan indikator pola organisasi keluarga yaitu fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial dan ekonomi. Fleksibilitas adalah keseimbangan untuk stabil, keberlangsungan, mengorganisasikan, dan adaptasi dengan perubahan (Sunarti 2008). Lebih dari 95 persen contoh menganggap dan melakukan fleksibilitas yaitu memiliki keinginan untuk berubah dan keluar dari

(20)

masalah (98%) dan dapat melanjutkan kehidupan (100%). Keinginan untuk keluar dari masalah yang diakui contoh sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa fleksibilitas contoh termasuk tinggi.

Tabel 24 Sebaran contoh berdasarkan komponen pola organisasi keluarga (n=100)

No Komponen Ya Tidak Total

% % %

1 Keinginan untuk berubah dan keluar dari masalah 98 2 100

2 Keberlanjutan hidup 100 0 100

3 Hubungan pasangan yang baik 99 1 100

4 Kepatuhan terhadap pasangan 97 3 100

5 Dukungan timbal balik antar anggota keluarga 100 0 100

6 Memenuhi kebutuhan keluarga 19 81 100

7 Menghormati perbedaan pasangan 96 4 100

8 Mengasuh anak dengan baik 81 19 100

9 Kerjasama orangtua mengasuh anak 59 41 100

10 Membangun hubungan 99 1 100

11 Mendamaikan hubungan yang bermasalah 97 3 100

12 Membangun kekerabatan yang luas 97 3 100

13 Membangun jejaring komunitas 96 4 100

14 Membangun keamanan finansial 0 100 100

Keterkaitan adalah kepemimpinan yang kuat, kerjasama orangtua, komitmen, dan saling mendukung dalam menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 55 persen contoh menganggap dan melakukan keterkaitan yaitu hubungan pasangan yang baik (99%), kepatuhan terhadap pasangan (97%), dukungan timbal balik antar anggota keluarga (100%), menghormati perbedaan pasangan (96%), mengasuh anak dengan baik (81%), dan kerjasama orangtua mengasuh anak (59%) dan hanya 19 persen contoh yang memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa keterkaitan contoh dalam keluarga termasuk tinggi. Rendahnya contoh dalam memenuhi kebutuhan keluarga dikarenakan kebutuhan keluarga dipenuhi oleh kepala keluarga.

Sumberdaya sosial dan ekonomi adalah dengan memperluas hubungan persaudaraan, dukungan sosial, membangun jejaringan komunitas, dan membangun keamanan finansial untuk dapat menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 95 persen contoh melakukan dan memiliki sumberdaya sosial dan ekonomi yaitu dengan membangun hubungan (99%), mendamaikan hubungan yang bermasalah dan membangun kekerabatan yang luas (97%), membangun jejaring komunitas (96%), dan tidak ada satu contohpun yang memiliki keamanan

(21)

finansial(0%). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya sosial dan ekonomi contoh termasuk tinggi. Tidak ada satu contohpun yang memiliki keamanan financial keluarga disebabkan keadaan ekonomi yang semakin sulit dan keadaan yang semakin terpuruk akibat terjadinya longsor.

Tabel 25 Sebaran contoh berdasarkan kategori pola organisasi keluarga (n=100) Kategori Pola Organisasi Keluarga Persentase (%)

Rendah (0-5) 0

Sedang (>5-10) 1

Tinggi (>10-14) 99

Total 100

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 25, kategori pola organisasi keluarga termasuk dalam kategori tinggi (99%). Hal ini menunjukkan bahwa pola organisasi keluarga contoh (fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial dan ekonomi) tinggi. Menurut Walsh (2002), keluarga yang memiliki pola organisasi keluarga baik maka kelentingan keluarga akan semakin kuat ketika menghadapi krisis dengan struktur organisasi keluarga yang fleksibel, kepemimpinan yang saling berbagi, dan saling mendukung.

Proses Komunikasi Keluarga

Komunikasi adalah salah satu kegiatan terbesar yang dilakukan manusia. Komunikasi yang baik akan terlaksana jika pesan yang disampaikan tidak mengalami perubahan makna pesan. Komunikasi dikatakan efektif apabila tujuan komunikasi sudah terpenuhi dan pesan yang disampaikan dan yang diterima sama (Yuhaeni et al. 2006). Proses komunikasi adalah salah satu kunci kelentingan keluarga setelah sistem kepercayaan keluarga dan pola organisasi keluarga (Walsh 2002).

Tabel 26 menjelaskan indikator proses komunikasi keluarga yaitu kejelasan, ekspresi emosi secara terbuka, dan kolaborasi penyelesaian masalah. Kejelasan adalah kekonsistenan pesan yang disampaikan dan mengklarifikasi pesan yang bersifat ambigu atau tidak jelas (Sunarti 2008). Lebih dari 65 persen contoh menganggap dan melakukan kejelasan dalam proses komunikasi yaitu dengan kejelasan pesan yang disampaikan (92%) dan mengklarifikasi informasi yang ambigu (69%). Hal ini menunjukkan bahwa kejelasan pesan dalam proses

(22)

komunikasi contoh termasuk tinggi. Pengklarifikasian yang dilakukan contoh terhadap informasi yang ambigu adalah dengan menanyakan langsung informasi yang didapat kepada pihak yang dipercaya seperti RT, RW, dan desa khususnya informasi longsor susulan.

Tabel 26 Sebaran contoh berdasarkan komponen proses komunikasi keluarga(n=100)

No Komponen Ya Tidak Total

% % %

1 Kejelasan pesan yang disampaikan 92 8 100

2 Mengklarifikasi informasi yang ambigu 69 31 100

3 Berbagi perasaan senang 99 1 100

4 Berbagi perasaan susah 93 7 100

5 Saling berempati 96 4 100

6 Tanggung jawab terhadap perasaan sendiri 100 0 100 7 Interaksi yang menyenangkan (humoris) 93 7 100

8 Berdiskusi memecahkan masalah 98 2 100

9 Berdiskusi untuk pengambilan keputusan 72 28 100 10 Bertindak konkrit dalam memecahkan masalah 65 35 100

11 Mencegah timbulnya masalah 93 7 100

12 Bersiap-siap menghadapi tantangan masa depan 77 23 100 Ekspresi emosi terbuka adalah mengungkapkan perasaan, empati, merespon perasaan dan tingkah laku, dan interaksi yang menyenangkan dalam menghadapi krisis (Sunarti 2008). Lebih dari 90 persen contoh menganggap dan melakukan ekspresi emosi secara terbuka yaitu berbagi perasaan senang (99%), berbagi perasaan susah (93%), saling berempati (96%), dan bertanggung jawab terhadap perasaan sendiri (100%). Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi emosi terbuka yang dilakukan contoh termasuk tinggi. Rasa empati yang dilakukan contoh terhadap suami ketika suami menghadapi masalah adalah dengan menanyakan permasalahan yang dihadapi dan meminta suami untuk bersabar.

Kolaborasi penyelesaian masalah adalah menyelesaikan permasalahan dengan sikap kreatif, mendiskusikan pengambilan keputusan dan permasalahan yang dihadapi (Sunarti 2008). Hampir seluruh (93%) contoh melakukan interaksi yang menyenangkan, berdiskusi memecahkan masalah (98%), berdiskusi untuk pengambilan keputusan (72%), bertindak konkrit dalam memecahkan masalah (65%), mencegah timbulnya masalah (93%), dan bersiap-siap menghadapi tantangan masa depan (77%). Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi penyelesaian masalah yang dilakukan contoh termasuk tinggi. Pengambilan

(23)

keputusan yang dilakukan contoh adalah pengambilan keputusan dalam keluarga dan mendiskusikan seluruh masalah yang berkaitan dengan keluarga.

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 27, kategori proses komunikasi keluarga (kejelasan, ekspresi emosi terbuka, dan kolaborasi penyelesaian masalah) termasuk dalam kategori tinggi (90%). Hal tersebut menunjukkan bahwa proses komunikasi yang dilakukan oleh keluarga contoh berjalan dengan efektif. Hal ini ditunjukkan dengan kejelasan pesan, pengungkapan diri secara terbuka, dan kolaborasi atau kerjasama suami dan isteri yang tinggi dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi keluarga.

Tingkat Kelentingan Keluarga

Definisi kelentingan adalah sebuah proses dinamis untuk bertahan dari kesengsaraan secara signifikan serta kemampuan untuk beradaptasi secara positif. Kelentingan keluarga merupakan proses yang dinamis yang mencakup proses adaptasi yang positif dalam keadaan kesulitan atau terjadi kemalangan (Luthar et

al. 2000, diacu dalam Walsh 2002).

Kelentingan pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Kelentingan termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006). Cara atau upaya untuk mengembangkan kelentingan keluarga adalah dengan meningkatkan keberfungsian dan kesejahteraan keluarga dengan mencegah anggota keluarga dari berbagai keadaan krisis yang dapat mengancam kestabilan keluarga. Kelentingan keluarga dapat dipandang sebagai upaya untuk bertahan dalam keadaan krisis dan kembali kepada keadaan semula pada saat terjadinya kemalangan atau krisis (Walsh 2002).

Tabel 27 Sebaran contoh berdasarkan kategori proses komunikasi keluarga(n=100)

Kategori Proses Komunikasi Persentase (%)

Rendah (0-4) 0

Sedang (>4-8) 10

Tinggi (>8-12) 90

(24)

Tabel 28 Sebaran contoh berdasarkan kategori tingkat kelentingan keluarga total (n=100)

Kategori Kelentingan Keluarga Total Persentase (%)

Rendah (0-13) 0

Sedang (>13-26) 2

Tinggi (>26-39) 98

Total 100

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 28, contoh memiliki tingkat kelentingan keluarga termasuk dalam kategori tinggi (98%). Terbiasanya contoh dengan kehidupan yang sulit, sikap pasrah, dan menerima yang telah terjadi akibat longsor sehingga kelentingan keluarga semakin kuat dalam menghadapi permasalahan. Sedangkan adaptasi yang dilakukan keluarga contoh saat terjadi hujan adalah mengungsi di tempat pengungsian dikarenakan takut terjadi longsor susulan dan setelah terjadinya hujan contoh kembali ke rumah mereka. Hal inipun ditunjukkan dengan tingginya sistem kepercayaan, pola organisasi keluarga, dan proses komunikasi keluarga yang dilakukan keluarga contoh.

Strategi Koping

Strategi koping adalah cara dan upaya yang dilakukan keluarga untuk menghadapi permasalahan dan ketertekanan (stres) yang terjadi akibat longsor.Strategi koping yang dilakukan setiap keluarga berbeda sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki dan permasalahan yang dihadapi keluarga. Apabila strategi koping yang dilakukan efektif maka keluarga akan kembali dalam keadaan homeostatis dan jika strategi koping yang dilakukan keluarga tidak efektif maka keluarga akan kembali dalam keadaan stres bahkan stres tersebut dapat bertambah besar. Menurut McCubbin (1975), hal ini dipengaruhi oleh persepsi keluarga dalam memandang kemampuan dan masalah yang dihadapi. Jika keluarga memandang masalah yang dihadapi sulit dan tidak mampu, maka keluarga tersebut akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah dan sebaliknya. Menurut Lazarus (1984), terdapat dua pola strategi koping yaitu

(25)

Koping Fokus Pada Masalah (Problem Focused Coping)

Koping fokus pada masalah adalah strategi bertahan yang berorientasi terhadap pemecahan masalah dengan mengubah perilaku atau lingkungannya dan melihat hubungan-hubungan yang terjadi. Menurut Atkinson, Atkinson, Smith & Bem (2000), koping fokus pada masalah adalah salah satu bentuk strategi koping untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, mempertimbangkan alternatif terkait dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu alternatif dan mengimplementasikan alternatif yang dipilih dan menurut Taylor (1991), diacu dalam Smet (1994) koping ini dilakukan dengan cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru untuk mengurangi tekanan akibat stressor. Menurut Sunarti (2010), strategi koping yang dilakukan keluarga korban gempa di Provinsi Jawa Barat 2009 terhadap pemenuhan pangan adalah mengurangi kualitas pangan yang dibeli atau dikonsumsi dan membeli pangan dengan cara berhutang, mengurangi keragaman pangan yang dikonsumsi dan mengutamakan makanan untuk anak terlebih dahulu, dan mengurangi porsi makan untuk mengurangi pengeluaran pangan keluarga.

Data yang disajikan pada Tabel 29 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen contoh melakukan koping fokus pada masalah jenis planful problem

solving dan seeking social support. Planful problem solving yang dilakukan

contoh adalah berusaha lebih dari biasanya supaya bisa berhasil menyelesaikan masalah (87%), membuat perencanaan untuk masa depan (75%), berkonsentrasi terhadap apa yang harus dilakukan (90%), dan mengubah kebiasaan supaya segala sesuatu akan menjadi lebih baik (63%). Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh fokus melakukan upaya-upaya dan melakukan perencanaan serta mau merubah kebiasaan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Namun contoh belum dapat melakukan upaya secara maksimal dengan menjual aset dan mencari pinjaman karena contoh dan masyarakat sekitar sudah tidak memiliki aset berharga dan bernilai tinggi untuk dijual akibat longsor. Menurut Lazarus & Folkman (1984), planful problem solving adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan melakukan upaya tertentu untuk merubah keadaan, disertai dengan pendekatan analitis dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan bekerja keras penuh

(26)

dengan konsentrasi dan membuat perencanaan yang cukup baik serta mampu merubah gaya hidupnya agar permasalahan yang dihadapi dapat terselesaikan secara perlahan.

Tabel 29 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan koping fokus pada masalah (n=100)

No Pernyataan Koping Fokus Pada Masalah Ya Tidak Total

% % %

1 Berusaha lebih dari biasanya supaya bisa berhasil menyelesaikan masalah

87 13 100 2 Membuat perencanaan untuk masa depan 75 25 100 3 Perencanaan tersebut sudah mulai dilakukan 13 87 100 4 Berkonsentrasi terhadap apa yang harus dilakukan 90 10 100 5 Mencari posko-posko bantuan dari pemerintah dan

swasta

11 89 100 6 Menjual aset/barang yang masih dimiliki 16 84 100 7 Mencari pinjaman kepada tetangga yang masih

memilikinya

24 76 100 8 Mengubah kebiasaan supaya segala sesuatu akan

menjadi lebih baik

63 37 100 9 Berusaha menghubungi orang yang bertanggung

jawab terhadap masalah

53 47 100 10 Membiarkan perasaan atau emosi keluar 55 45 100 11 Mengambil suatu kesempatan yang besar walaupun

itu sangat beresiko

14 86 100 12 Mencoba melakukan sesuatu walaupun tidak yakin

akan berhasil, tetapi paling tidak telah melakukan sesuatu

53 47 100

13 Berusaha bertanya pada orang-orang yang pernah mengalami hal yang sama tentang apa yang mereka lakukan

72 28 100

14 Berusaha meminta nasihat kepada saudara atau tetangga tentang apa yang harus dilakukan

82 18 100 15 Berusaha berbicara pada seseorang untuk mencari

informasi dan dapat membantu

64 36 100 16 Berusaha membicarakan permasalahan yang

dihadapi kepada orang yang lebih profesional

35 65 100 17 Menerima simpati dan pengertian dari orang lain 91 9 100

Seeking social support yang dilakukan oleh contoh adalah berusaha

bertanya pada orang-orang yang pernah mengalami hal yang sama tentang apa yang mereka lakukan (72%), berusaha meminta nasihat kepada saudara atau tetangga tentang apa yang harus dilakukan (82%), berusaha berbicara pada seseorang untuk mencari informasi dan dapat membantu (64%), menerima simpati dan pengertian dari orang lain (91%). Hal ini menunjukkan bahwa contoh mencari dukungan dari pihak luar untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.

(27)

Menurut Lazarus & Folkman (1984), seeking social support adalah seseorang yang melakukan koping ini akan mencari dukungan dari pihak luar (informasi, bantuan nyata, dan dukungan secara emosi). Seseorang yang melakukan koping ini akan cenderung untuk mencari bantuan fisik ataupun non fisik dari orang lain selain keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan, dan profesional untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.

Kurang dari 60 persen contoh melakukan koping pada masalah jenis

confrontative coping dengan berusaha menghubungi orang yang bertanggung

jawab terhadap masalah dan mencoba melakukan sesuatu walaupun tidak yakin akan berhasil, tetapi paling tidak telah melakukan sesuatu (53%) dan membiarkan perasaan atau emosi keluar (55%). Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh mampu melakukan upaya-upaya yang beresiko untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984), confrontative

coping adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan

merubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, koping ini akan dilakukan seseorang dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan/norma yang ada walaupun akan mengalami resiko yang cukup besar.

Tabel 30 Sebaran contoh berdasarkan kategori koping fokus pada masalah (n=100)

Kategori Koping Fokus Pada Masalah Persentase (%)

Rendah (0-6) 11

Sedang (>6-12) 71

Tinggi (>12-17) 18

Total 100

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 30, kategori koping fokus pada masalah termasuk dalam kategori sedang (71%). Hal tersebut menunjukkan bahwa contoh belum memaksimalkan strategi koping fokus pada masalah. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan contoh bahwa contoh hanya berfokus untuk dapat menyelesaikan masalah secepatnya tanpa mempertimbangkan bagaimana cara yang terbaik untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.

(28)

Koping Fokus Pada Emosi (Emotional Focused Coping)

Koping fokus pada emosi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emosi negatif yang timbul dari masalah atau tekanan yang dihadapi (Atkinson, Atkinson, Smith & Bem 2000), sedangkan menurut Rice (1999) koping fokus pada emosi adalah upaya yang dilakukan individu dengan mencoba mengontrol dan melepaskan perasaan negatif (frustasi, kemarahan, dan katakutan) yang disebabkan oleh suatu kejadian. Menurut Taylor (1991), diacu dalam Smet (1994), koping fokus pada emosi digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres yang diakibatkan dari masalah yang dihadapi. Perilaku ini dilakukan jika seseorang merasa tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu mengatasi situasi tersebut. Menurut Sunarti (2010), setelah terjadinya gempa bumi Jawa Barat 2009, masyarakat merasa lebih sabar dan tawakal serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka merasa lebih ikhlas dalam menghadapi cobaan hidup serta menyerahkan semua kepada Tuhan. Mereka berpendapat bahwa setiap cobaan pasti terdapat jalan keluar. Cara lain yang dilakukan sebagian besar ibu-ibu untuk mengurangi rasa cemas adalah dengan berkumpul keluarga dan tetangga, sehingga bisa saling menguatkan satu sama lain, membangun kebersamaan, dan kedekatan antar korban bencana. Strategi koping pada korban bencana menunjukkan bahwa korban lebih banyak melakukan strategi koping fokus pada emosi. Hal tersebut menunjukkan terbatasnya akses dan kesempatan untuk melakukan strategi koping yang berfokus pada masalah.

Data yang disajikan pada Tabel 31 menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen contoh melakukan koping fokus pada emosi jenis positive reappraisal,

accepting responsibility, self controlling, dan escape avoidance. Positive reappraisal yang dilakukan contoh adalah lebih mendekatkan diri pada Allah

(91%), percaya Allah mendengar doa hambaNya dan bersyukur dengan apa yang masih dimiliki (99%). Hal tersebut memperlihatkan bahwa contoh menerima apa yang diberikan/ditakdirkan Allah SWT, mengambil hikmahnya, dan menciptakan makna yang positif dengan melibatkan diri dalam hal keagamaan sehingga menjadikan contoh lebih kuat dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984), positive reappraisal adalah

(29)

seseorang yang melakukan koping ini akan menciptakan situasi dan makna yang positif dari suatu kejadian untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius. Seseorang yang melakukan koping ini cenderung untuk berfikir positif dan mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi dan tidak pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang masih dimilikinya saat ini. Accepting responsibility yang dilakukan contoh adalah belajar hidup dari kondisi yang ada (99%), menerima semua yang telah terjadi yang tidak dapat dirubah lagi (100%). Hal ini memperlihatkan bahwa contoh dapat memposisikan diri dalam permasalahan yang dihadapi, menerima semua yang telah terjadi dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami. Menurut Lazarus & Folkman (1984), accepting responsibility adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permasalahan yang dihadapi dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Seseorang yang melakukan koping ini akan menerima segala sesuatu yang terjadi saat ini sebagaimana mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami. Self controlling yang dilakukan contoh adalah berfikir terlebih dahulu apa yang ingin dilakukan (97%). Hal ini menunjukkan bahwa contoh dapat mempertimbangkan sesuatu yang akan mereka lakukan untuk mengantisipasi masalah yang akan muncul dari tindakan yang akan diambil. Menurut Lazarus & Folkman (1984), self controlling adalah seseorang yang melakukan koping ini akan melakukan pengaturan diri baik dalam perasaan maupun tindakan. Seseorang yang melakukan koping ini akan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan dan menghindari tindakan yang dilakukan secara tergesa-gesa untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Escape avoidance yang dilakukan contoh adalah berharap adanya keajaiban yang terjadi (91%). Hal tersebut memperlihatkan bahwa sebagian contoh menghindari masalah tanpa melakukan upaya untuk dapat menyelesaikan masalah namun upaya yang dilakukan hanya untuk menenangkan perasaan saja. Menurut Lazarus & Folkman (1984), escape avoidance adalah seseorang yang melakukan koping ini akan menghindar dari permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan terlihat dari sikapnya yang selalu menghindar dan bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan yang

(30)

negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain dalam menyelesaikan masalah.

Tabel 31 Sebaran contoh berdasarkan pernyataan koping fokus pada emosi (n=100)

No Pernyataan Koping Fokus Pada Emosi Ya Tidak Total

% % %

1 Lebih banyak shalat, berdoa, berdzikir dan lebih mendekatkan diri pada Allah SWT

91 9 100

2 Percaya Allah mendengarkan doa hambaNya 99 1 100 3 Bersyukur dengan apa yang masih miliki 99 1 100 4 Mendapat hal-hal/ide baru untuk melakukan sesuatu

yang lebih baik

64 36 100 5 Musibah ini merubah ibu menjadi orang yang lebih

baik

79 21 100 6 Mengkritik/introspeksi diri sendiri 83 17 100 7 Menyadari permasalahan ini terjadi karena

kesalahan ibu sendiri

76 24 100 8 Belajar hidup dalam kondisi seperti ini 99 1 100 9 Bisa menerima semua yang telah terjadi dan tidak

bisa dirubah kembali

100 0 100 10 Berfikir terlebih dahulu apa yang ingin lakukan 97 3 100 11 Menolak/menghindari untuk melakukan sesuatu

secara tergesa-gesa

77 23 100 12 Tidak mau memikirkan permasalahan yang dihadapi

terlalu serius

65 35 100 13 Bersikap biasa saja, seolah-olah tidak pernah terjadi

apa-apa

67 33 100 14 Mencoba untuk melupakan segalanya 72 28 100 15 Berharap ada keajaiban yang terjadi 91 9 100 16 Berusaha menenangkan perasaan dengan hal-hal

negatif

1 99 100

17 Melemparkan permasalahan yang dihadapi kepada orang lain

3 97 100

18 Melupakan permasalahan yang dihadapi dengan tidur lebih lama dari biasanya

39 61 100 19 Menyadari jika merasa kecewa dan membiarkan diri

hanyut dalam kekecewaan tersebut

32 68 100

Kurang dari 75 persen contoh melakukan koping pada emosi jenis

distanction dengan tidak mau memikirkan permasalahan yang dihadapi terlalu

serius (65%), bersikap biasa saja seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa (67%); dan mencoba untuk melupakan segalanya (72%). Hal ini memperlihatkan bahwa contoh tidak ingin menjadikan masalah yang dihadapi sebagai beban hidup yang berat namun sebagai tantangan untuk maju yang harus dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984), distanction adalah seseorang yang melakukan koping ini akan

(31)

menjaga jarak agar tidak terbelenggu oleh permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dalam menyelesaikan masalah.

Tabel 32 Sebaran contoh berdasarkan kategori koping fokus pada emosi (n=100)

Kategori Koping Fokus Pada Emosi Persentase (%)

Rendah (0-6) 0

Sedang (>6-12) 7

Tinggi (>12-19) 93

Total 100

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 32, koping fokus pada emosi termasuk dalam kategori tinggi (93%). Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya yang dimiliki contoh tidak mampu untuk merubah keadaan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan contoh cenderung lebih menerima dan pasrah dengan situasi yang ada tanpa melakukan usaha atau tindakan langsung untuk mengubah keadaan. Menurut Lazarus & Folkman (1984), emotional focused

coping adalah usaha-usaha yang dilakukan seseorang untuk memodifikasi fungsi

emosi tanpa melakukan usaha mengubah stressor secara langsung dan cenderung dilakukan jika seseorang tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi.

Tabel 33 Sebaran contoh berdasarkan kategori strategi koping total (n=100)

Kategori Strategi Koping Total %

Rendah (0-12) 0

Sedang (>12-24) 54

Tinggi (>24-36) 46

Total 100

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 33, strategi koping total yang dilakukan contoh termasuk dalam kategori sedang (54%). Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga contoh belum mampu memaksimalkan strategi koping total dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi setelah terjadinya longsor. Hal ini disebabkan persepsi contoh terhadap sumberdaya yang dimiliki dan pandangan contoh terhadap permasalahan yang dihadapi. Menurut Sunarti

(32)

(2010) faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping individu adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dan dukungan sosial.

Perubahan Permasalahan Keluarga

Perubahan adalah salah satu proses yang dapat merubah keadaan menjadi lebih baik atau bahkan menjadi lebih memprihatinkan. Pada umumnya perubahan disebabkan oleh sebuah kejadian yang telah terjadi pada seseorang atau masyarakat. Bencana longsor menyisakan permasalahan yang perlu ditangani. Apabila permasalahan yang ditimbulkan oleh longsor sangat berat maka harus segera ditangani dan apabila permasalahan yang ditimbulkan tidak terlalu berat tetap harus ditangani untuk mengembalikan keadaan seseorang atau masyarakat dalam keadaan normal kembali. Untuk mengetahui tingkat berat atau tidaknya permasalahan yang dihadapi dapat dilihat dari perubahan sebelum dan sesudah terjadinya bencana longsor.

Tabel 34 Sebaran contoh berdasarkan perubahan peubah permasalahan keluarga (n=100)

Permasalahan Keluarga Perubahan (%) Total

Ya Tidak Pangan 23 77 100 Kesehatan 25 75 100 Pendidikan 18 82 100 Tempat tinggal 76 24 100 Pakaian 27 73 100 Pendapatan 40 60 100 Interaksi Keluarga 2 98 100

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 34, perubahan permasalahan yang terjadi pada keluarga korban longsor adalah masalah pangan (23%), masalah kesehatan (25%), masalah pendidikan (18%), masalah tempat tinggal (76%), masalah pakaian (27%), dan masalah pekerjaan atau pendapatan (40%). Sebagian besar contoh beranggapan memiliki perubahan permasalahan ke arah yang memprihatinkan. Keluarga yang terkena bencana alam sudah terbiasa menghadapi

(33)

permasalahan tersebut sehingga pemerintah dan pihak swasta lebih cenderung memberikan bantuan pangan, kesehatan, pendidikan, dan pakaian.

Perubahan terbesar dan terberat yang dirasakan keluarga contoh adalah masalah pangan (23%), masalah tempat tinggal (76%), dan masalah pekerjaan atau pendapatan (40%). Perubahan yang dirasakan contoh lebih ke arah yang memprihatinkan. Hal ini disebabkan longsor yang mengakibatkan menurunnya pendapatan keluarga dan tempat tinggal yang tertimbun longsor. Rendahnya pendapatan keluarga menyebabkan keluarga contoh tidak dapat memiliki tempat tinggal yang memenuhi syarat rumah sehat. Menurut Slamet (1996) rendahnya penghasilan menyebabkan tidak mampunya keluarga untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat dan menimbulkan masalah kesehatan.

Perubahan Kelentingan Keluarga

Kelentingan pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Meliputi sistem penguatan, membangun pertahanan, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006). Gempa bumi Jawa Barat 2009 memberikan pengaruh terhadap hubungan suami isteri dan keluarga. Sebagian contoh merasa menjadi lebih harmonis dan dekat dengan keluarga, namun terdapat pula ibu yang merasa suaminya lebih mudah marah, malas bekerja, dan kurang perhatian dibandingkan sebelum gempa (Sunarti 2010).

Tabel 35 Sebaran contoh berdasarkan perubahan peubah kelentingan keluarga (n=100)

Kelentingan Keluarga Perubahan (%) Total

Ya Tidak

Sistem Kepercayaan Keluarga 83 17 100

Pola Organisasi Keluarga 90 10 100

Proses Komunikasi Keluarga 77 23 100

Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 35, lima per enam (83%) keluarga contoh mengalami perubahan sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi keluarga (90%), dan proses komunikasi keluarga (77%) ke arah yang lebih baik setelah terjadinya longsor. Hal ini menunjukan bahwa setelah terjadinya longsor, keluarga contoh memiliki sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi

Gambar

Tabel 3 Sebaran penduduk berdasarkan sarana yang terdapat di Desa  Banyuwangi
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan usia suami isteri (n=100)
Tabel 8 Sebaran Contoh Berdasarkan Lama Pendidikan Suami Isteri (n=100)  Kategori Lama Pendidikan (Tahun)  Suami  Isteri
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan aset yang dimiliki keluarga (n=100)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis, maka penulis ingin melakukan penelitian mengenai pengembangan LKPD untuk materi reaksi oksidasi dan reduksi yang sesuai dengan kurikulum

Dari hasil wawancara yang dilakukan setelah pelaksanaan pembelajaran pada siklus I dan siklus II dapat menunjukkan informasi mengenai pembelajaran bercerita mengalami peningkatan

Sumber data yang digunakan penulis adalah sumber data yang berasal dari kitab-kitab atau buku-buku yang ada kaitannya dengan pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu:

Tujuan penelitian ini adalah menguji apakah terdapat korelasi signifikan antara pembiayaan bank syariah (IBF), belanja pemerintah fungsi pendidikan (BP) dan

Tampen pumpi leh hagau kigawmtuoh David leh Jonathan bang ahi hi. Tambanga pumpi leh hagau kigawm a kizopna ih neihkhopna ding pen Yahweh leh A Tapa Yahshua ii

Dengan cara ini di ketahui beberapa hal Peta geologi adalah bentuk ungkapan data dan informasi geologi suatu daerah / wilayah / kawasan dengan tingkat kualitas yang tergantung

Dalam hal Produk Hukum Daerah memerlukan lampiran maka hal tersebut harus dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang tidak

Kesimpulan penelitian ini adalah LAST merupakan instrumen yang paling tinggi sensitivitas dan spesifisitasnya dalam mendeteksi afasia stroke akut serta cepat