• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr) PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO

TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr)

PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK

OLEH ENY WIDIYANTI

A24051396

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

PENGARUH RESIDU PUPUK KANDANG SAPI DAN GUANO

TERHADAP PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merr)

PANEN MUDA DENGAN BUDIDAYA ORGANIK

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

OLEH ENY WIDIYANTI

A24051396

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(3)

RINGKASAN

ENY WIDIYANTI. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Produksi Kedelai (Glycine max (L) Merr.) Panen Muda dengan Budidaya Organik. (Dibimbing oleh MAYA MELATI)

Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh residu dari pupuk organik dan residu pupuk guano terhadap produksi kedelai panen muda dengan budidaya organik yang dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo pada bulan November 2008-Februari 2009.

Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua faktor. Faktor pertama adalah residu pupuk kandang sapi dengan 3 taraf yaitu 0, 2.5, dan 5 ton/ha. Faktor kedua adalah residu pupuk guano dengan 4 taraf yaitu 0, 180, 360, dan 540 kg/ha yang setara dengan 0, 100, 200, dan 300 kg SP 36/ha.

Benih kedelai yang digunakan adalah kedelai dengan varietas Wilis. Pupuk organik yang ditambahkan adalah pupuk kandang sapi sebanyak 2.5 ton/ha dan pupuk guano sebanyak 180 kg/ha yang setara dengan 100 kg SP-36/ha. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan dari penelitian Rahadi (2008) sehingga penambahan pupuk hanya dilakukan untuk mengantisipasi rendahnya hara di dalam tanah dan diberikan pada semua petak percobaan. Tanaman penghambat organisme pengganggu tanaman digunakan tanaman tagetes (Tagetes

erecta) dan serai wangi (Cymbopogon nardus). Pembanding dari budidaya

organik digunakan budidaya konvensional dengan pemberian 100 kg urea/ha, 200 kg KCl/ha, dan 400 kg SP-18/ha. Furadan 3G dengan bahan aktif karbofuran 10 kg/ha sebagai insektisida.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano tidak mencukupi untuk kebutuhan hara bagi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kedelai. Kombinasi residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan pupuk guano 216 kg/ha menyebabkan intensitas serangan hama dan penyakit lebih rendah 25.4% dibandingkan dengan tanpa residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano. Bobot basah 100 butir biji tertinggi dihasilkan oleh kombinasi residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan pupuk guano 0 kg/ha.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kendal, Propinsi Jawa Tengah pada tanggal 3 November 1986. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Karsiman dan Ibu Rondhiyah.

Riwayat pendidikan dimulai dari SD Negeri 1 Nolokerto tahun 1993-1999, SLTP Negeri 1 Brangsong tahun 1999-2002, dan SMU Negeri 1 Kendal tahun 2002-2005. Penulis masuk IPB pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan pada tahun 2006, penulis masuk pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan hidayah sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini serta dalam kehidupan kampus penulis. Ucapan terima kasih penulis ditujukan kepada:

1. Dr. Ir. Maya Melati, MS, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan penelitian dan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Sandra Arifin Azis, MS. dan Dr. Ir. Sugiyanta, MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ir. Heni Purnamawati, MSc. Agr. selaku dosen pembimbing akademik

atas seluruh bimbingan dan kesabaran yang telah diberikan selama masa kuliah penulis.

4. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Ifa, Bulek Kitri, Om Usman, Dwi, dan Rizky yang telah memberikan dorongan dan doa yang tulus baik moril maupun materiil.

5. Staf kebun percobaan Leuwikopo, Laboratorium Umum, dan Laboratorium Ekofisiologi Tanaman yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian.

6. Isti, Mila, Hida, Siti K, Ajeng, Verdha, Diah, Meri, Dwi, Winda, Tiara, Era, Aan, Indra, Rifka, Haryo, Candra, Warno, dan teman-teman AGH 42 lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan dorongan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian serta kebersamaan yang indah.

7. Reikha, Vika, Fidry, Gamma, Jane, Hanum, Meri, Ari, Siska, Lina, Nira, Mbak Rena, dan semua penghuni Wisma Bintang atas bantuan, persahabatan, dan kebersamaan yang indah selama 2 tahun ini.

8. Aqsa, Anna, Ratih, Ika, Rino, Nunik, Aji, dan rekan-rekan Fokma Bahurekso Kendal yang lain atas doa, semangat, dorongan, dan

(6)

kebersamaan selama berada di perantauan. Kalian adalah teman sekaligus keluarga kedua bagiku.

9. Serta pihak-pihak dan rekan mahasiswa lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas segala bantuannya.

Semoga penelitian ini berguna bagi yang memerlukan.

Bogor, Juni 2009

(7)

DAFTAR ISI

Halaman PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan... 2 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Morfologi dan Botani Tanaman Kedelai ... 4

Pertanian Organik... 6

Kedelai Organik ... 7

Pupuk Kandang Sapi ... 9

Pupuk Guano... 10

Residu Pupuk Organik... 10

BAHAN DAN METODE ... 12

Tempat dan Waktu Percobaan ... 12

Bahan dan Alat... 12

Metode Percobaan ... 12

Pelaksanaan Percobaan... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Hasil... 17

Pembahasan ... 33

KESIMPULAN ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit... 15 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam ... 19 3. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Tinggi Tanaman... 22 4. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Jumlah Daun Tanaman... 23 5. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk

Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai pada

3 MST... 24 6. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, dan

Bintil Akar pada 7 MST ... 25 7. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk

Guano terhadap Bobot Kering Bintil Akar pada 7 MST... 25 8. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Residu Pupuk

Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit ... 26 9. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk

Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

pada 5 MST... 27 10. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Jumlah Tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah

Buku, serta Cabang Produktif pada 10 MST ... 27 11. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Komponen Panen per Tanaman... 29 12. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano

terhadap Komponen Panen per Petak Panen (4.5 m2)... 29 13. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk

Guano terhadap Bobot Basah 100 Butir Biji Kedelai ... 30 14. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk

Guano terhadap Bobot Kering 100 Butir Biji Kedelai... 30 15. Hubungan Korelasi Antar Peubah... 31

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Intensitas Curah Hujan dan Kelembaban selama Percobaan ... 17 2. Daun kedelai mengalami klorosis dan nekrosis pada tepi

daunnya (a) dan hampir seluruh bagian daun mengalami klorosis (b) ... 18

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Denah Percobaan... 44

2. Denah Penanaman Tagetes dan Serai Wangi ... 45

3. Deskripsi Kedelai Varietas Willis ... 46

4. Data Klimatologi Daerah Leuwikopo selama Persiapan Lahan dan Penamanan Kedelai... 46

5. Hasil Analisis Contoh Tanah Sebelum Penanaman dan Setelah Pemanenan pada Percobaan Rahadi (2008) pada Lahan Percobaan Leuwikopo ... 47

6. Hasil Analisis Tekstur Tanah Sebelum Penanaman dan Setelah Pemanenan pada Percobaan Rahadi (2008) pada Lahan Percobaan Leuwikopo ... 47

7. Kriteria Penilaian Sifat-Sifat Kimia Tanah... 48

8. Interpretasi Nilai Unsur Hara Mikro ... 48

9. Hasil Analisis Pupuk Kandang Sapi... 48

10. Hasil Analisis Daun Kedelai pada 10 MST ... 49

11. Kecukupan Hara pada Daun Kedelai ... 49

12. Kondisi Tanaman Kedelai ... 50

13. Tanaman Penghambat OPT ... 50

14. Hama pada Tanaman Kedelai ... 51

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merr) merupakan salah satu tanaman polong-polongan yang banyak dibudidayakan. Kedelai digunakan sebagai bahan makanan dan bahan baku industri seperti untuk memproduksi minyak. Di Indonesia, kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati utama. Menurut Winarno (1985), kedelai mengandung 40% protein dan 20% minyak dari berat kering biji.

Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan pangan dan kelestarian lingkungan, telah menyebabkan berkembangnya sistem pertanian organik. Penggunaan bahan-bahan kimia digantikan dengan bahan organik yang aman bagi manusia dan lingkungan. Menurut Departemen Pertanian (2002), pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami (organik) dan tanpa menggunakan bahan-bahan kimia buatan.

Kebutuhan hara tanaman pada budidaya kedelai secara organik dipenuhi oleh pupuk organik. Bahan organik yang dapat memenuhi kebutuhan hara tanaman antara lain pupuk kandang sapi dan pupuk guano. Pengendalian hama dan penyakit menggunakan tanaman penghambat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa bahan organik yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman antara lain pupuk kandang ayam, pupuk hijau, kompos, fosfat alam, dan kombinasi beberapa pupuk organik (Barus, 2005; Asiah, 2006; Rianawati, 2007).

Pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air dan lendir (Sutedjo, 1994). Menurut Hasper dalam Sugito (1995), dalam 1 ton pupuk kandang sapi terdapat 1.5 kg N; 2.0 kg P2O5; 4.0 kg K2O; dan 0.8 kg Mg.

Kotoran sapi banyak digunakan dalam kegiatan budidaya tanaman karena ketersediaan kotoran sapi lebih banyak dibandingkan dengan kotoran hewan lainnya.

Pupuk guano merupakan pupuk yang berasal dari kotoran kelelawar dan burung liar yang menempel pada dinding gua. Guano banyak mengandung nitrogen dan fosfat. Kandungan guano umumnya 15% N, 4.4-5.2% P, dan 1.7%

(12)

K. Unsur P dalam pupuk guano berada dalam bentuk yang mudah tersedia bagi tanaman, sehingga diharapkan tersedianya unsur P dalam tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Sediyarso, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Barus (2005) menunjukkan pemberian fosfat alam yang dilakukan 6 minggu sebelum tanam dan pemberian kapur tidak berpengaruh nyata terhadap peubah yang diamati. Hal ini disebabkan oleh unsur P dalam fosfat alam lambat tersedia bagi tanaman.

Agar dapat digunakan oleh tanaman, bahan-bahan organik harus didekomposisi oleh mikroorganisme tanah terlebih dahulu. Persediaan hara dalam bahan organik akan berangsur-angsur terbebaskan dan tersedia bagi tanaman sehingga tanah yang diberi bahan organik masih memberikan hasil panen yang baik selama beberapa waktu (Sugito, 1995). Menurut Kononova dalam Mulyadi (2006), bahan organik dapat berdampak beberapa tahun terhadap sifat fisik dan kimia tanah, tergantung pada kemudahan terdekomposisinya dan senyawa penyusun bahan organik tersebut.

Penelitian Rahadi (2008) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai. Namun, pada perlakuan pupuk guano sebagai sumber P tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Hal ini juga terjadi pada interaksi antara pupuk kandang sapi dan pupuk guano, dimana pertumbuhan tanaman kedelai hanya dipengaruhi oleh pupuk kandang sapi. Hal ini diduga karena unsur P dalam tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau pengapuran yang dilakukan belum efektif sehingga unsur P dapat difiksasi oleh Fe, Al, dan Mn. Diduga masih tersisanya kandungan pupuk organik di dalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh pertanaman berikutnya.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh residu dari pupuk kandang dan pupuk guano terhadap produksi kedelai panen muda dengan budidaya organik.

(13)

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1. Terdapat dosis residu pupuk kandang sapi yang berpengaruh terhadap produksi kedelai panen muda dengan budidaya organik.

2. Terdapat dosis residu pupuk guano yang berpengaruh terhadap produksi kedelai panen muda dengan budidaya organik.

3. Terdapat interaksi antara residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano yang berpengaruh terhadap produksi kedelai panen muda dengan budidaya organik.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi dan Botani Tanaman Kedelai

Kedelai merupakan tanaman semusim berupa semak rendah, tumbuh tegak, berdaun lebat dengan beragam bentuk morfologi. Perakaran kedelai terdiri dari akar tunggang dan akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang. Kadang-kadang tumbuh akar cabang atau akar adventif dari bagian bawah hipokotil (Hidayat, 1985) yang terjadi karena adanya cekaman seperti cekaman kekeringan dan salinitas tinggi (Adisarwanto, 2007). Akar tunggang tumbuh di sekitar lapisan olah tanah hingga kedalaman 2 m. Namun, pada umumnya akar tunggang hanya mencapai lapisan olah tanah. Perkembangan akar dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah, pemupukan, tekstur tanah, sifat fisik dan kimia tanah, serta ketersediaan air tanah dan hara bagi tanaman (Hidayat, 1985).

Akar kedelai mempunyai bintil akar yang merupakan simbiosis antara kedelai dengan bakteri Rhizobium japonicum. Adanya simbiosis ini menyebabkan tanaman kedelai dapat mengikat nitrogen (N2) dari udara untuk memenuhi

sebagian hara nitrogen yang diperlukan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Hidayat, 1985). Adisarwanto (2007) menyatakan bintil akar dapat mengikat nitrogen dari udara saat berumur 10-12 hari setelah tanam, tergantung kondisi tanah dan suhu. Kelembaban tanah yang cukup dan suhu tanah sekitar 25oC sangat mendukung pertumbuhan bintil akar.

Batang berasal dari poros embryo. Selama perkecambahan, hipokotil merupakan bagian batang kedelai, mulai dari pangkal akar hingga kotiledon. Hipokotil dan dua kotiledon yang masih melekat pada hipokotil akan menembus permukaan tanah (Adisarwanto, 2007). Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe determinate dan tipe indeterminate. Determinate yaitu kedelai yang pertumbuhan vegetatifnya berakhir pada saat berbunga, sedangkan indeterminate yaitu kedelai yang pertumbuhan vegetatifnya tetap berlangsung walaupun tanaman telah berbunga.

Buku pada batang kedelai merupakan tempat tumbuhnya bunga. Buku yang menghasilkan buah disebut buku subur (Purwono et al., 2007). Jumlah buku

(15)

pada batang dipengaruhi oleh tipe tumbuh batang dan periode panjang penyinaran. Pada kondisi normal, jumlah buku berkisar 15-30 buku. Jumlah buku batang indeterminate lebih banyak daripada batang determinate (Adisarwanto, 2007). Tanaman kedelai biasanya akan mempunyai cabang yang muncul di batang. Percabangan pada kedelai dipengaruhi oleh panjang hari, jarak tanam dan kesuburan tanah (Hidayat, 1985).

Daun kedelai berbentuk bulat (ovale) dan lancip (lanceolate). Bentuk daun ini dipengaruhi oleh faktor genetik. Kedelai mempunyai dua tipe daun yaitu daun primer (tunggal) yang terbentuk saat kecambah dan daun bertangkai tiga (trifoliate) yang tumbuh setelah masa perkecambahan. Umumnya, daun kedelai mempunyai bulu (trikhoma). Namun, ada pula varietas yang tidak mempunyai bulu. Tebal-tipisnya bulu berkaitan dengan tingkat toleransi varietas kedelai terhadap serangan jenis hama tertentu, misalnya hama penggerek polong sangat jarang menyerang varietas kedelai yang berbulu lebat (Adisarwanto, 2007).

Tanaman kedelai termasuk tanaman hari pendek, yaitu tidak akan berbunga apabila panjang hari melampaui batas kritis (Purseglove dalam Hidayat, 1985). Di Indonesia, panjang hari rata-rata pada tanaman kedelai adalah 12 jam dan suhu udara yang tinggi (> 300C). Sebagian besar mulai berbunga pada umur 5-7 MST. Tanaman kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap perbedaan panjang hari terutama saat pembentukan bunga (Adisarwanto, 2007).

Bunga berbentuk kupu-kupu (papilionoidae) yang berukuran 3-7 mm dan berwarna ungu atau putih. Bunga terbentuk pada ketiak tangkai daun. Jumlah bunga pada setiap ketiak tangkai daun sangat beragam antara 2-25 bunga, tergantung kondisi lingkungan tumbuh dan varietas. Bunga kedelai merupakan bunga sempurna. Penyerbukan terjadi saat bunga masih menutup (kleistogami), sehingga kemungkinan menyerbuk silang sangat kecil (Hidayat, 1985).

Polong terbentuk pada 7-10 hari setelah bunga pertama muncul. Polong muda berwarna hijau dan akan berubah menjadi kuning kecoklatan saat masak. Tiap polong berisi 1-5 biji, tergantung varietas. Warna bijinya juga bervariasi seperti kuning, hitam, atau cokelat (Purwono et al., 2007). Warna biji ini disebabkan oleh adanya karoten dan santofil, adanya trikhoma dan ada tidaknya antosianin (Hidayat, 1985). Umumnya, biji berbentuk bulat telur.

(16)

Di daerah tropis, kedelai tumbuh baik hingga ketinggian 500 m dpl. Pertumbuhan kedelai sangat dipengaruhi oleh faktor iklim dan tanah. Perkecambahan optimum bila terjadi pada suhu 300C. Sedangkan pertumbuhan terbaik terjadi pada suhu 29.40C dan akan menurun bila suhu lebih rendah (Hidayat, 1985). Kedelai tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan 100-400 mm/bulan. Untuk mendapatkan hasil yang optimum, kedelai membutuhkan curah hujan 100-200 mm/bulan.

Toleransi kemasaman tanah bagi kedelai adalah 5.8-7.0. Namun, kedelai masih tumbuh baik pada pH 4.5. Pertumbuhan tanaman kedelai akan terhambat pada tanah dengan pH kurang dari 5.5 karena adanya keracunan aluminium, serta pertumbuhan bakteri dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik. Jenis tanah yang baik untuk kedelai antara lain aluvial, regosol, grumosol, latosol, dan andosol. Pada tanah podsolik merah kuning dan tanah yang mengandung pasir kwarsa, pertumbuhan kedelai kurang baik, kecuali jika tanah diberi pupuk organik atau kompos dalam jumlah yang cukup (Purwono et al., 2007).

Pertanian Organik

Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan terutama bahan pangan dan kelestarian lingkungan menyebabkan adanya perubahan dalam sistem pertanian dari sistem pertanian konvensional yang menggunakan bahan-bahan kimia buatan menjadi sistem pertanian organik tanpa adanya input bahan kimia buatan. Menurut Departemen Pertanian (2002), pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami (organik) tanpa menggunakan bahan-bahan kimia buatan.

Menurut Sugito (1995), sistem pertanian organik merupakan suatu sistem pertanian dimana bahan organik merupakan faktor penting dalam proses produksi. Penggunaan bahan organik sebagai pupuk serta pengendalian hama, penyakit, dan gulma secara biologi merupakan penerapan sistem pertanian organik. Dalam arti luas, sistem pertanian organik mencakup bidang peternakan dan perikanan yang terintegrasi dengan bidang pertanian.

Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik

(17)

mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos, dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya menjadi hara dalam larutan tanah setelah mengalami proses mineralisasi (Sutanto, 2002)

Tujuan dari penggunaan sistem pertanian ini adalah untuk menyediakan produk-produk pertanian terutama bahan pangan yang aman bagi produsen dan konsumen serta tidak merusak lingkungan (Departemen Pertanian, 2002). Beberapa hambatan pertanian organik antara lain pengendalian hama secara biologis umumnya dipandang kurang efektif oleh petani, hasil produksi masih rendah dibandingkan pertanian konvensional, produk pertanian organik masih dipandang mahal, dan kurangnya informasi tentang pertanian organik.

Kedelai Organik

Kedelai organik merupakan kedelai yang dibudidayakan dengan menggunakan pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan haranya. Beberapa jenis pupuk organik yang telah digunakan dalam percobaan antara lain pupuk kandang, pupuk hijau, fosfat alam dan pupuk guano sebagai sumber P, serta beberapa kombinasi pupuk organik (Sinaga, 2005; Barus, 2005; Asiah, 2006; Rianawati, 2007; Rahadi, 2008).

Pemberian pupuk kandang ayam dengan dosis 20 ton/ha memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah vegetatif dan generatif, namun tidak berbeda nyata dengan Centrocema pubescens dosis 25 kg/ha (Sinaga, 2005). Secara umum, pupuk kandang ayam yang diberikan secara tunggal pada penelitian Asiah (2006) memberikan hasil yang tertinggi baik pada karakter vegetatif maupun karakter generatif. Namun, pada perlakuan residunya (Rianawati, 2007), residu pupuk kandang ayam tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding perlakuan residu kombinasi abu sekam, pupuk kandang ayam, dan pupuk hijau. Hal ini diduga disebabkan oleh pupuk kandang ayam lebih cepat terdekomposisi sehingga lebih mudah tersedia bagi pertanaman kedelai pertama.

Penelitian Rahadi (2008) memperlihatkan bahwa pemberian pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai.

(18)

Pertumbuhan kedelai yang terbaik secara umum ditunjukkan pada dosis pupuk kandang sapi 3 ton/ha. Namun, perlakuan pupuk guano sebagai sumber P tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan komponen hasil. Hal ini diduga karena unsur P dalam tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau pengapuran yang dilakukan belum efektif sehingga unsur dapat difiksasi oleh Fe, Al, dan Mn. Kombinasi pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan pupuk guano 216 kg/ha menghasilkan produksi kedelai tertinggi sebesar 5.9 kg/10 m2.

Pupuk hijau merupakan pupuk yang berasal dari tanaman. Pengaruh kumulatif dari penggunaan pupuk hijau yang berkesinambungan tidak hanya pada pasokan N tetapi juga peningkatan kandungan bahan organik dan unsur lainnya, menggantikan fosfat dan unsur mikro yang termobilisasi (Sutanto, 2002). Penelitian Barus (2005) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk hijau yang berasal dari tanaman Calopogonium mucunoides tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah vegetatif dan generatif yang diamati. Hal ini disebabkan oleh pupuk hijau yang diberikan belum terdekomposisi dengan sempurna.

Fosfat alam sebagai sumber P yang diberikan pada penelitian Barus (2005) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah-peubah yang diamati, walaupun telah diaplikasikan 6 minggu sebelum tanam dan diberi kapur. Hal ini disebabkan oleh unsur P dalam fosfat alam lambat tersedia bagi tanaman. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahadi (2008) bahwa pemberian pupuk guano tidak berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan dan komponen produksi. Berbeda dengan penelitian Barus (2005), tidak nyatanya pengaruh pupuk guano disebabkan oleh unsur P dalam tanah sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau pengapuran yang dilakukan belum efektif sehingga unsur dapat difiksasi oleh Fe, Al, dan Mn.

Pengendalian hama dan penyakit pada budidaya kedelai organik dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman penghambat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Jenis tanaman yang dapat digunakan antara lain tagetes (Tagetes

erecta L.), serai (Cymbopogon nardus), selasih (Ocimum gratissimum), dan

bawang daun (Allium fistilosum). Kusheryani dan Aziz (2006) menyatakan bahwa tanaman kedelai dengan tanaman penghambat OPT jenis tagetes (Tagetes erecta)

(19)

mampu menekan serangan hama dan penyakit lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman penghambat OPT selasih, serai, dan daun bawang.

Pupuk Kandang Sapi

Pupuk kandang merupakan salah satu jenis pupuk organik yang banyak digunakan selain pupuk hijau dan kompos. Pupuk kandang merupakan pupuk yang berasal dari kandang hewan baik kotoran padat maupun cair. Dari segi kadar haranya, pupuk kandang cair jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pupuk padat (Lingga, 1998). Menurut Hardjowigeno (2003), secara umum dalam setiap ton pupuk kandang terkandung 5 kg N, 3 kg P2O5, dan 5 kg K2O serta unsur hara

essensial lain dalam jumlah yang relatif kecil.

Menurut Sutedjo (1994), pupuk kandang dapat meningkatkan kadar humus, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah. Lingga (1998) menambahkan penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan daya serap tanah terhadap air. Menurut Hardjowigeno (2003), pupuk organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, meningkatkan ketersediaan unsur mikro, dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

Salah satu pupuk kandang yang banyak digunakan yaitu pupuk kandang sapi. Menurut Sutedjo (1994), pupuk kandang sapi merupakan pupuk padat yang banyak mengandung air dan lendir. Pupuk ini termasuk jenis pupuk yang proses penguraiannya berlangsung sangat lambat sehingga tidak terbentuk panas. Hal ini terjadi karena pupuk kandang sapi cepat mengeras dan sulit ditembus oleh air dan udara. Menurut Hasper dalam Sugito (1995), dalam 1 ton pupuk kandang sapi pada terdapat 1.5 kg N; 2.0 kg P2O5; 4.0 kg K2O; dan 0.8 kg Mg.

Penambahan pupuk kandang dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah dan serapan hara tanaman. Taufiq et al. (2006) menyatakan penambahan pupuk kandang sapi sebesar 2.5 ton/ha dapat meningkatkan P, Mg, dan Ca tersedia dan menurunkan Al-dd, serta nyata meningkatkan hasil kedelai 8-11%. Nursyamsi et al. dalam Taufiq et al. (2006) menyatakan pemberian kotoran sapi pada tanah Ultisol meningkatkan serapan P dan Mg tanaman kedelai.

(20)

Pupuk Guano

Pupuk guano merupakan salah satu jenis pupuk organik yang banyak mengandung nitrogen dan fosfat. Pupuk ini berasal dari kotoran kelelawar dan burung liar yang banyak terdapat pada dinding gua (Sediyarso, 1999). Pupuk ini jarang digunakan karena sulit untuk didapatkan. Sutedjo (1994) menyatakan kandungan hara dalam pupuk guano antara lain 8-13% N, 5-12% P, 1.5-2.5% K, 7.5-11% Ca, 0.5-1% Mg, dan 2-3.5% S.

Pupuk guano sangat baik bila digunakan pada tanah masam karena berasal dari batu kapur. Pupuk guano mengandung mineral kalsium fosfat. Kalsium fosfat ini dapat larut dalam air apabila Ca diikat oleh Al dan H dalam tanah. Kandungan kalsium pada pupuk guano dapat menetralkan pH tanah (Marsono et al., 2001). Kelebihan pupuk guano lainnya dibanding pupuk kimia buatan adalah guano lebih tahan lama di dalam tanah, mampu meningkatkan produktivitas tanah, dan menyediakan hara bagi tanaman lebih lama.

Pupuk organik yang digunakan pada penelitian Rahadi (2008) adalah pupuk guano yang berasal dari deposit guano. Berdasarkan hasil analisis pupuk guano yang dilakukan pada penelitian Rahadi (2008), pupuk guano mengandung P2O5 26.07% dan CaO 36.07%. Sediyarso (1999) menyatakan 10-12% kandungan

P2O5 dalam deposit guano sebagai bentuk yang mudah larut dalam air.

Residu Pupuk Organik

Bahan organik merupakan bahan yang lambat tersedia bagi tanaman, karena sebagian besar bagian penyusunnya harus mengalami perubahan terlebih dahulu sebelum dapat diserap oleh tanaman (Sugito et al., 1995). Oleh karena itu, bahan organik sebaiknya diaplikasikan beberapa minggu sebelum dilakukan penanaman.

Menurut Kononova dalam Mulyadi (2006), bahan organik dapat berdampak beberapa tahun terhadap sifat fisik dan kimia tanah, namun tergantung pada kemudahan terdekomposisinya dan senyawa penyusun bahan organik tersebut, namun lambat laun pengaruh ini akan terus berkurang dan bahkan akan hilang sama sekali apabila tidak dilakukan penambahan bahan organik kembali.

(21)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa residu bahan organik masih berpengaruh baik pada tanaman hingga beberapa waktu. Mulyadi (2006) menyatakan bahwa residu pupuk kandang dan jerami padi pada tanaman kedelai dapat meningkatkan tinggi tanaman, hasil biji kering, bobot brangkasan kering, polong isi, dan bobot 100 biji. Kuntyastuti dalam Kuntyastuti et al. (2006) menyebutkan pada tanah Entisol Genteng Banyuwangi, residu kotoran ayam 40 ton/ha, residu kotoran sapi 20 ton/ha, dan residu arang sekam 10.8 ton/ha (setara sekam padi 40 ton/ha) yang dibenamkan bersama pengolahan tanah sampai kedalaman 20 cm dapat meningkatkan hasil biji kedelai ke-2 pada kondisi terjadi hujan 1 967 mm selama 3 bulan pertumbuhan kedelai.

Melati et al. (2008) menyatakan bahwa residu pupuk kandang dan kompos menghasilkan jumlah dan bobot polong isi lebih tinggi dibandingkan dengan residu pupuk kandang ayam. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pupuk kandang ayam lebih mudah dalam menyediakan hara bagi tanaman sehingga pengaruh residunya menjadi rendah pada pertanaman kedua, sedangkan pupuk hijau dan kompos memerlukan waktu dekomposisi yang lebih lama sehingga hara belum banyak terserap pada pertanaman pertama dan diduga hara telah tersedia pada pertanaman kedua. Residu abu sekam dapat menurunkan intensitas serangan hama rata-rata sebesar 75% dari kontrol, namun tidak dianjurkan untuk diberikan secara tunggal karena dapat menyebabkan jumlah dan bobot polong yang rendah.

(22)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Darmaga, Bogor yang mempunyai ketinggian 250 m dpl dan mempunyai topografi datar dengan jenis tanah latosol. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Analisis Tanah, Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2008 sampai dengan Februari 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Willis. Penelitian ini merupakan kegiatan lanjutan dari penelitian Rahadi (2008). Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk kandang sapi sebanyak 2.5 ton/ha dan pupuk guano sebanyak 180 kg/ha yang setara dengan 100 kg SP-36 /ha yang diaplikasikan pada seluruh petakan untuk mengantisipasi rendahnya unsur hara.

Tanaman penghambat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang digunakan adalah tanaman tagetes (Tagetes erecta L.) dan tanaman serai wangi (Cymbopogon nardus). Peningkatan pH tanah dilakukan dengan menggunakan kapur dolomit dengan dosis 2 ton/ha. Rhizobium dengan dosis 5 g/kg benih kedelai.

Pembanding dari budidaya organik adalah budidaya konvensional yang menggunakan 100 kg urea/ha, 200 kg KCl/ha, dan 400 kg SP-18/ha. Furadan 3G (bahan aktif karbofuran) 10 kg/ha sebagai insektisida.

Metode Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak dengan dua faktor yang disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah residu pupuk kandang sapi dengan 3 taraf yaitu 0, 2.5, dan 5 ton/ha. Faktor kedua adalah residu pupuk guano dengan 4 taraf yaitu 0, 180, 360, dan 540 kg/ha yang setara dengan, 100, 200, dan 300 kg/ha SP 36. Kedua faktor tersebut disusun

(23)

menjadi 12 perlakuan yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 36 satuan percobaan.

Metode linier yang digunakan adalah:

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij + δk + εijk

Keterangan:

Yijk = nilai pengamatan dari perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke-i,

perlakuan dosis residu pupuk guano ke-j, dan interaksi antara perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano

μ = nilai tengah umum

αi = pengaruh perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke-i

βj = pengaruh perlakuan dosis residu pupuk guano ke-j

(αβ)ij = interaksi antara dua faktor perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi dan perlakuan dosis residu pupuk guano

δk = pengaruh ulangan ke-k

εijk = pengaruh galat percobaan dari perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke-i, perlakuan residu pupuk guano ke-j, dan ulangan ke-k

i = perlakuan dosis residu pupuk kandang sapi ke 0, 2.5, 5 ton/ha j = perlakuan dosis residu pupuk guano ke 0, 180, 360, 540 kg/ha k = ulangan 1, 2, 3

Data dianalisis dengan uji F. Apabila hasilnya menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) dengan taraf nyata 5 %.

Pelaksanaan Percobaan

Persiapan Lahan dan Aplikasi Pupuk

Persiapan lahan dilakukan dengan melakukan pengolahan lahan dilakukan 4 minggu sebelum tanam. Petakan dibuat dengan ukuran 2.5 m x 3 m dan petakan pembanding dibuat dengan ukuran 5 m x 4 m (Lampiran 1). Pengapuran dilakukan pada 3 minggu sebelum tanam. Bersamaan dengan pengapuran, juga dilakukan aplikasi pupuk kandang sebanyak dosis 2.5 ton/ha pada semua petak percobaan. Pemberian pupuk guano dilakukan pada 2 minggu sebelum tanam dengan dosis 180 kg/ha yang setara dengan 100 kg SP-36/ha. Pupuk kandang sapi

(24)

dan pupuk guano diberikan dengan cara disebar pada semua petakan. Contoh tanah yang dianalisis diambil setelah panen pada percobaan Rahadi (2008).

Penanaman

Penanaman tanaman penghambat Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dilakukan satu bulan sebelum tanaman kedelai ditanam. Tagetes ditanam di sekeliling setiap petakan sedangkan serai wangi ditanam di sekeliling lahan percobaan.

Kedelai ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 20 cm, 2 benih per lubang tanam, sehingga populasi per petak percobaan 150 tanaman. Sebelum ditanam, benih diinokulasi dengan Rhizobium dengan dosis 5 g/kg benih kedelai. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah tanam.

Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharan yang dilakukan antara lain pengendalian gulma dan pembumbunan pada 4 MST.

Pengamatan

Peubah yang diamati meliputi: 1. Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur dari 10 tanaman contoh dari setiap petakan yang dilakukan setiap minggu. Diukur dari buku pertama sampai titik tumbuh yang terletak di ujung batang utama.

2. Jumlah daun per tanaman (helai)

Dihitung setiap minggu dengan cara menghitung semua daun mulai dari daun unifoliet sampai daun yang sudah terbuka penuh pada 10 tanaman contoh. 3. Jumlah buku produktif dan cabang produktif pada saat kedelai berumur 10

MST

4. Bobot kering bintil akar (g)

Pengukuran dilakukan pada umur 7 MST dengan cara mencabut akar kedelai dan mengambil bintil akarnya kemudian dioven dengan suhu 1050C selama 1 x 24 jam.

(25)

5. Bobot kering akar dan tajuk (g)

Pengukuran dilakukan pada saat kedelai berumur 7 MST dengan cara mencabut tanaman kedelai hingga akarnya kemudian dioven dengan suhu 1050C selama 1 x 24 jam.

6. Rasio tajuk/akar

Perhitungan dilakukan pada saat tanaman kedelai berumur 7 MST dengan membandingkan bobot kering tajuk dengan bobot kering akar.

7. Umur berbunga (Minggu Setelah Tanam/MST)

Dilakukan pada saat tanaman telah berbunga ≥ 75% pada petak panen dari setiap perlakuan.

8. Umur panen (Hari Setelah Tanam/HST)

Panen dilakukan pada saat 90% tanaman pada petak percobaan sudah mengisi penuh.

9. Jumlah polong isi dan hampa

Dilakukan saat panen dengan menghitung semua polong isi dan polong hampa dari setiap tanaman contoh.

10. Bobot basah dan kering polong isi dan polong hampa per tanaman contoh (g) 11. Bobot basah polong/petak panen (4.5 m2)

12. Jumlah polong isi dan polong hampa setiap petak panen (4.5 m2) 13. Bobot basah dan bobot kering 100 butir biji (g)

14. Jenis hama, penyakit dan intensitas (%) yang diamati setiap minggu

Tabel 1. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit Skor Keterangan

0 Tidak ada serangan

1 Bagian tanaman yang terserang 10% 2 Bagian tanaman yang terserang >10%-25% 3 Bagian tanaman yang terserang >25%-50% 4 Bagian tanaman yang terserang >50%-75% 5 Bagian tanaman yang terserang >75%

(26)

Intensitas serangan hama dan penyakit dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

%

100

.

0

x

NV

vi

n

IP

k i

 Keterangan:

IP = Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit n = Jumlah tanaman yang mempunyai skor serangan ke-i vi = Skor tanaman 0, 1, 2, 3, 4, 5

V = Skor tanaman tertinggi

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Kondisi Umum

Pertumbuhan benih pada 1 MST hanya berkisar antara 38-77% sehingga dilakukan penyulaman. Rendahnya pertumbuhan benih ini mungkin disebabkan oleh rendahnya curah hujan pada awal penanaman (Gambar 1) dan lubang tanam yang terlalu dalam sehingga benih yang sebenarnya tumbuh namun belum menembus permukaan tanah sehingga dianggap tidak tumbuh. Pada 2 MST, setelah dilakukan penyulaman, kondisi tersebut berubah menjadi 55-90%.

Gambar 1. Intensitas Curah Hujan dan Kelembaban Selama Percobaan Tanaman kedelai mengalami gejala klorosis (perubahan warna daun menjadi kuning) pada tepi daun dan diantara tulang daunnya. Gejala klorosis yang parah terjadi hingga mendekati pangkal daun dan hanya menyisakan warna hijau pada pertulangan daun (Gambar 2a), bahkan seluruh daun berubah menjadi kuning (Gambar 2b), selanjutnya timbul gejala nekrosis (tepi daun mengering). Gejala ini mulai muncul pada 3 MST dan jumlah tanaman yang mengalami klorosis semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman kedelai.

(28)

(a) (b)

Gambar 2. Daun kedelai mengalami klorosis dan nekrosis pada tepi daunnya (a) dan hampir seluruh bagian daun mengalami klorosis (b)

Gejala serangan penyakit yang terdapat pada pertanaman kedelai adalah gejala penyakit bercak daun yang disebabkan oleh Cercospora kikuchii. Hama yang menyerang pertanaman kedelai antara lain hama kepik penghisap pucuk (Anoplocnemis plasiana), ulat bulu, kutu daun (Aphis glycines), kepik polong (Riptortus linearis), ulat penggulung daun (Lamprosema indica), dan ulat jengkal. Tanaman kedelai juga terserang rayap tanah, namun hanya menyerang beberapa tanaman pinggir saja sehingga tidak dilakukan pengendalian.

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan selama percobaan antara lain penyiangan gulma yang dilakukan secara manual dan dengan menggunakan kored atau cangkul serta pembubunan yang dilakukan pada 4 MST. Gulma dominan pada pertanaman antara lain Mimosa pudica, Mimosa invisa, Emilia sonchifolia, dan beberapa gulma berdaun lebar lainnya. Pembumbunan dilakukan untuk membantu tegaknya tanaman dan untuk menekan laju pertumbuhan gulma.

Bunga mulai muncul pada 4 MST. Pertumbuhan bunga berlangsung secara berangsur-angsur dan mencapai sekitar 75% pada 6 MST. Proses pembentukan bunga yang tidak bersamaan menyebabkan waktu pengisian polong yang tidak sama pula. Oleh karena itu, pemanenan dilakukan secara bertahap pada petakan yang 90% polongnya telah mengisi penuh. Pemanenan dilakukan pada 81, 85, dan 90 HST (Hari Setelah Tanam). Perbedaan waktu pemanenan ini bukan merupakan suatu perlakuan, namun hanya karena perbedaan waktu pengisian polong.

(29)

Pengaruh Perlakuan terhadap Peubah

Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak berpengaruh nyata pada hampir semua peubah yang diamati baik peubah vegetatif maupun generatif. Pengaruh nyata akibat perlakuan residu pupuk kandang sapi hanya terlihat pada bobot kering bintil akar pada 7 MST, bobot basah polong hampa/petak panen (4.5 m2), dan bobot basah 100 butir biji, sedangkan perlakuan residu pupuk guano hanya berpengaruh nyata pada jumlah daun pada saat 8 MST, serta bobot basah dan bobot kering bintil akar pada 7 MST.

Interaksi antara residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano juga menunjukkan pengaruh yang tidak nyata pada hampir semua peubah yang diamati. Pengaruh nyata hanya terlihat pada jumlah daun pada saat 3 MST, intensitas serangan hama dan penyakit pada saat 5 MST, dan bobot kering 100 butir biji. Rekapitulasi sidik ragamnya tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam

Keragaman Peubah K G Interaksi KK (%) Tinggi Tanaman 2 MST tn tn tn 13.94 3 MST tn tn tn 10.84 4 MST tn tn tn 14.61 5 MST tn tn tn 18.18 6 MST tn tn tn 15.37 7 MST tn cn tn 14.02 8 MST tn tn tn 12.58 9 MST tn tn tn 12.29 10 MST tn tn tn 31.46 Jumlah Daun 2 MST tn tn tn 9.72 3 MST tn tn * 6.67 4 MST tn tn tn 11.68 5 MST tn tn tn 20.97 6 MST tn tn tn 25.04 7 MST tn tn tn 27.27 8 MST tn * tn 24.63 9 MST tn tn tn 23.31 10 MST tn tn tn 33.78

(30)

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Lanjutan

Keterangan : tn = tidak nyata 5% ** = berbeda nyata pada taraf 1% cn = berbeda nyata pada taraf 10% a) = hasil transformasi √(x+0.5) * = berbeda nyata pada taraf 5% b) = hasil transformasi √(x+1.0)

Keragaman Peubah

K G Interaksi KK (%) Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Tanaman 3 MST tn tn tn 19.29a) 4 MST tn tn tn 14.03 5 MST tn tn * 14.46 6 MST tn tn tn 17.30 7 MST tn tn tn 10.33 8 MST tn tn tn 10.33 9 MST tn tn tn 7.68 10 MST tn tn tn 29.72

Jumlah Tanaman/4.5 m2 pada 1 MST tn tn tn 33.21a) Jumlah Tanaman/4.5 m2 pada 2 MST tn tn tn 29.88 Jumlah Buku Produktif 10 MST tn tn tn 29.44 Jumlah Cabang Produktif 10 MST tn tn tn 17.01 BB Tajuk 7 MST tn tn tn 21.50a) BK Tajuk 7 MST tn tn tn 17.86a) BB Akar 7 MST tn tn tn 16.67a) BK Akar 7 MST tn tn tn 13.28a) BB Bintil Akar 7 MST tn * tn 8.70a) BK Bintil Akar 7 MST * * cn 4.22a) Rasio Tajuk/Akar tn tn tn 22.50 BB Polong Isi/Tanaman tn tn tn 19.79a) BK Polong Isi/Tanaman tn tn tn 21.90a) BB Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 21.98a) BK Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 20.08a) BB Polong Isi/Petak Panen (4.5 m2) tn tn tn 26.48a) BB Polong Hampa/Petak Panen (4.5 m2) * tn tn 34.20b) BB 100 Butir Biji * tn cn 5.38 BK 100 Butir Biji cn cn * 6.24 Jumlah Polong Isi/Tanaman tn tn tn 18.37a) Jumlah Polong Hampa/Tanaman tn tn tn 23.81a) Jumlah Polong/Petak Panen (4.5 m2) tn tn tn 21.09a)

(31)

Tinggi Tanaman

Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk berpengaruh tidak nyata pada peubah tinggi tanaman. Perlakuan residu pupuk guano berpengaruh nyata pada taraf 10% pada saat tanaman berumur 7 MST. Tinggi tanaman pada semua perlakuan mengalami peningkatan pada setiap minggu. Perlakuan residu pupuk guano dengan dosis 108 kg/ha menghasilkan tinggi tanaman paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk guano lainnya pada setiap minggu. Tinggi tanaman kedelai dengan budidaya konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi tanaman kedelai pada semua perlakuan residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano (Tabel 3).

Jumlah Daun

Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano memberikan pengaruh yang tidak nyata pada peubah jumlah daun. Perlakuan residu pupuk guano pada 8 MST menunjukkan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah daun. Jumlah daun pada perlakuan residu pupuk guano 108 kg/ha lebih tinggi dibandingkan dengan residu pupuk guano 216 kg/ha, namun tidak berbeda dengan perlakuan residu pupuk guano 0 kg/ha dan 324 kg/ha. Budidaya konvensional menghasilkan jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan dengan semua residu pupuk organik (Tabel 4).

Interaksi perlakuan residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun pada 3 MST. Kombinasi residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu pupuk guano 0 kg/ha menghasilkan jumlah daun yang tertinggi (Tabel 5).

(32)

Tabel 3. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Tinggi Tanaman Tinggi Tanaman (MST) Perlakuan

2 3 4 5 6 7 8 9 10

……….………..cm……….………..

Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha)

0 8.41 12.58 15.67 20.97 29.88 37.61 43.71 47.18 43.20 1.5 9.11 13.18 16.70 22.06 30.32 38.14 43.57 45.40 42.66 3 8.73 12.70 15.82 21.21 29.23 37.00 41.85 43.87 39.98 Residu Pupuk Guano (kg/ha)

0 8.85 12.70 16.01 21.10 29.44 36.94 42.81 44.48 45.84 108 9.01 13.39 16.60 23.14 32.86 41.46 46.35 48.93 38.78 216 9.18 12.84 16.04 20.30 27.98 35.16 40.86 43.13 43.27 324 8.10 12.38 15.69 20.93 28.63 36.29 41.83 44.92 40.91 Konvensional 10.71 15.07 21.13 29.81 40.46 52.64 59.55 60.45 63.83

(33)

Tabel 4. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman Jumlah Daun (MST)

Perlakuan

2 3 4 5 6 7 8 9 10

Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha)

0 4.8 5.9 6.2 8.2 12.0 15.9 20.0 23.3 20.7 1.5 5.1 6.1 6.7 7.9 11.7 15.8 20.0 23.1 21.5 3 5.0 5.9 6.3 7.7 10.7 14.6 18.8 21.7 19.8 Residu Pupuk Guano (kg/ha)

0 5.1 6.1 6.3 7.4 10.5 13.8 18.0ab 20.5 20.8 108 5.1 5.9 6.6 9.1 13.5 18.1 22.8a 25.3 20.2 216 5.2 6.1 6.3 7.3 10.4 13.8 16.5b 20.3 19.9 324 4.8 5.8 6.2 7.9 11.4 15.7 20.5ab 24.1 21.8 Konvensional 5.9 6.5 8.9 12.7 21.6 32.6 38.3 34.6 33.7

(34)

Tabel 5. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Daun Tanaman Kedelai pada 3 MST

Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang

Sapi (ton/ha) 0 108 216 324 Rata-rata 0 5.7bcd 6.1abcd 6.3abcd 5.8abcd 5.97 1.5 6.7a 5.6bcd 6.4abc 5.5cd 6.05 3 6.1abcd 6.0abcd 5.5d 6.1abcd 5.91 Rata-rata 6.13 5.91 6.04 5.82

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%

Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, Bintil Akar, dan Rasio Tajuk/Akar pada 7 MST

Perlakuan residu pupuk kandang sapi tidak berpengaruh nyata pada bobot basah dan bobot kering tajuk dan akar, bobot basah bintil akar serta rasio tajuk/akar, namun residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata menurunkan bobot kering bintil akar. Bobot kering bintil akar pada perlakuan residu pupuk kandang sapi dengan dosis 0 ton/ha tertinggi dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk kandang sapi lainnya. Perlakuan residu pupuk guano nyata menurunkan bobot basah dan bobot kering bintil akar pada 7 MST. Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano cenderung menurunkan bobot basah dan bobot kering tajuk, akar, dan bintil akar (Tabel 6).

Interaksi residu pupuk kandang dan residu pupuk guano menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 10 % terhadap bobot kering bintil akar pada 7 MST. Kombinasi tanpa residu pupuk kandang sapi dan tanpa residu pupuk guano menghasilkan bobot kering bintil akar tertinggi yaitu 0.86 g (Tabel 7).

Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit

Residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan hama dan keparahan penyakit. Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit semakin meningkat pada setiap minggu, namun intensitas serangan hama dan keparahan penyakit menurun pada 10 MST. Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada perlakuan residu pupuk guano 108 kg/ha secara tunggal terendah dibandingkan dengan perlakuan residu lainnya dan lebih rendah dibandingkan dengan budidaya konvensional pada 10

(35)

MST. Dibandingkan dengan perlakuan tanpa residu pupuk guano, perlakuan residu pupuk guano 108 kg/ha menurunkan intensitas serangan hama dan penyakit sebesar 25.4%. Intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada budidaya konvensional lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk baik pupuk kandang sapi maupun pupuk guano (Tabel 8).

Tabel 6. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Basah dan Bobot Kering Tajuk, Akar, dan Bintil Akar pada 7 MST.

Tajuk Akar Bintil Akar Perlakuan BB BK BB BK BB BK Rasio Tajuk/AKar …….………g…….……… Residu Pupuk

Kandang Sapi (ton/ha)

0 17.86 3.78 2.53 0.88 0.32 0.14a 4.55 1.5 13.99 3.04 1.90 0.67 0.27 0.09b 4.44 3 11.96 2.54 1.83 0.62 0.23 0.07b 4.23 Residu Pupuk Guano

(kg/ha) 0 16.84 3.73 2.58 0.93 0.29a 0.13a 4.24 108 14.68 3.11 2.04 0.71 0.33a 0.11a 4.41 216 15.59 3.21 1.99 0.65 0.32a 0.11a 4.90 324 11.32 2.43 1.74 0.60 0.14b 0.05b 4.07 Konvensional 14.60 3.12 2.09 0.72 0.31 0.12 4.55

Keterangan : Nilai pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%

Tabel 7. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Kering Bintil Akar pada 7 MST

Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang

Sapi (ton/ha) 0 108 216 324 Rata-rata

………..g………..

0 0.25a 0.12b 0.13b 0.06b 0.14 1.5 0.07b 0.14b 0.10b 0.05b 0.09 3 0.08b 0.07b 0.01b 0.05b 0.07 Rata-rata 0.13 0.11 0.11 0.05

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.

(36)

Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan hama dan keparahan penyakit pada 5 MST. Kombinasi perlakuan residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan residu pupuk guano 216 kg/ha menghasilkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit terendah dibandingkan dengan kombinasi dosis residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano lainnya (Tabel 9).

Tabel 8. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit

Intensitas Serangan Hama dan Penyakit (MST) Perlakuan 3 4 5 6 7 8 9 10 …………..………%…………..……… Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha) 0 17.2 33.8 45.2 54.8 56.2 60.4 60.6 55.4 1.5 18.8 37.3 45.2 54.8 53.8 60.1 61.9 56.1 3 15.9 36.4 45.0 57.5 55.3 62.2 63.3 55.4 Residu Pupuk Guano

(kg/ha) 0 16.5 36.5 44.5 56.1 54.9 62.5 60.9 61.8 108 17.8 34.6 44.8 52.2 53.9 59.7 60.8 46.1 216 16.9 39.0 47.0 60.7 54.7 59.6 63.0 60.9 324 18.2 34.2 44.6 54.6 56.6 61.4 63.0 55.7 Konvensional 0.0 22.0 20.0 34.0 30.0 55.0 53.0 60.0

Jumlah tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah Cabang, serta Buku Produktif pada 10 MST

Residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tanaman kedelai/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST. Jumlah tanaman pada perlakuan residu pupuk kandang sapi dengan dosis 3 ton/ha lebih tinggi 18.97% dibandingkan perlakuan tanpa residu pupuk kandang sapi, sedangkan jumlah tanaman residu pupuk guano dengan dosis 216 kg/ha lebih tinggi 27.59% dibandingkan pada perlakuan tanpa residu pupuk guano dan pada perlakuan dosis 324 kg/ha residu pupuk guano (Tabel 10).

Perlakuan residu dosis pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang dan buku produktif pada saat tanaman

2

(37)

berumur 10 MST. Jumlah cabang dan buku produktif tertinggi pada perlakuan residu pupuk kandang sapi 0 ton/ha dan residu pupuk guano 216 kg/ha secara tunggal. Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi cenderung menurunkan jumlah cabang dan buku produktif pada 10 MST (Tabel 10).

Tabel 9. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Intensitas Serangan Hama dan Penyakit pada 5 MST

Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk Kandang

Sapi (ton/ha) 0 108 216 324

Rata-rata

…..………….………%…..………….………

0 40.3bc 48.0abc 55.0a 40.7abc 46.00 1.5 44.3abc 39.7bc 49.7ab 47.0abc 45.17 3 51.0ab 46.7abc 35.0c 46.0abc 44.67 Rata-rata 45.22 44.78 46.56 44.56

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.

Tabel 10. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Jumlah Tanaman/4.5 m2 pada 1 dan 2 MST, Jumlah Buku, serta Cabang Produktif pada 10 MST

Jumlah Tanaman Perlakuan 1 MST 2 MST Buku Produktif Cabang Produktif Residu Pupuk Kandang

Sapi (ton/ha)

0 43 58 21.3 4.0

1.5 37 68 20.3 3.9

3 39 69 18.8 3.4

Residu Pupuk Guano (kg/ha) 0 43 58 18.9 3.3 108 38 71 21.8 4.0 216 42 74 18.9 3.7 324 37 58 20.8 3.9 Konvensional 30 73 34.4 5.4

(38)

Bobot Basah, Bobot Kering, dan Jumlah Polong Isi dan Polong Hampa Per Tanaman pada Saat Panen

Perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano tidak berpengaruh nyata terhadap bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi dan polong hampa per tanaman pada saat panen. Secara umum, peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi menurunkan bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi dan hampa. Perlakuan residu pupuk guano dengan dosis 108 kg/ha menghasilkan bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi tertinggi dibandingkan dengan perlakuan dosis residu pupuk guano lainnya, namun pada budidaya konvensional, bobot basah, bobot kering, dan jumlah polong isi dan polong hampanya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano (Tabel 11).

Jumlah Polong, Bobot Basah Polong Isi dan Polong Hampa per Petak Panen, serta Bobot Basah dan Bobot Kering 100 Butir Biji

Perlakuan residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap bobot basah polong hampa/petak panen (4.5 m2) dan bobot basah 100 butir biji, sedangkan residu pupuk guano berpengaruh nyata tehadap bobot kering 100 butir biji. Jumlah polong/petak panen pada budidaya konvensional lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk kandang sapi dengan dosis 0 ton/ha dan residu pupuk guano 108 kg/ha secara tunggal (Tabel 12).

Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh nyata pada taraf 10% terhadap bobot basah 100 butir biji dan nyata terhadap bobot kering 100 butir biji. Kombinasi residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu pupuk guano 0 kg/ha menghasilkan bobot basah 100 butir biji tertinggi dibandingkan kombinasi lainnya, sedangkan kombinasi residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan residu pupuk guano 108 kg/ha menghasilkan bobot kering 100 butir biji tertinggi (Tabel 13 dan 14).

(39)

Tabel 11. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Komponen Panen per Tanaman

Polong Isi Polong Hampa Perlakuan JPI JPH

BB BK BB BK

………g………

Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha)

0 37.88 10.31 22.14 8.34 2.30 0.88 1.5 35.97 10.03 21.47 8.33 2.22 0.81 3 33.35 7.90 19.93 7.40 1.76 0.59 Residu Pupuk Guano

(kg/ha) 0 33.15 7.81 19.20 7.11 1.69 0.59 108 41.67 10.76 25.37 9.79 2.43 0.89 216 31.58 7.83 18.60 7.74 1.70 0.58 324 36.52 11.25 21.55 7.45 2.55 0.98 Konvensional 59.45 12.10 41.63 17.07 2.65 1.18

Keterangan : JPI : Jumlah Polong Isi; JPH : Jumlah Polong Hampa

Tabel 12. Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Komponen Panen per Petak Panen (4.5 m2)

Perlakuan BPI/Petak Panen BPH/Petak Panen JP/Petak Panen ………g………

Residu Pupuk Kandang Sapi (ton/ha)

0 1076.1 228.58a 3235.5 1.5 871.0 97.84b 2687.1 3 807.4 107.85ab 2500.3 Residu Pupuk Guano (kg/ha)

0 778.8 122.48 2506.4

108 1084.5 134.10 3245.6

216 913.9 209.03 2719.4 324 895.4 113.42 2759.0 Konvensional 1310.4 143.19 2449.6

Keterangan : Nilai pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%

BPI/Petak Panen : Bobot Polong Isi/Petak Panen; BPH/Petak Panen : Bobot Polong Hampa/Petak Panen; JP/Petak Panen : Jumlah Polong/Petak Panen

(40)

Tabel 13. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Basah 100 Butir Biji Kedelai

Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk

Kandang Sapi

(ton/ha) 0 108 216 324

Rata-rata

……….g……….

0 13.70c 15.22abc 15.17abc 14.89abc 14.74 1.5 16.43a 15.37ab 15.33ab 15.29ab 15.61 3 14.52bc 15.88ab 15.90ab 15.22abc 15.38 Rata-rata 14.89 15.49 15.47 15.13

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.

Tabel 14. Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Pupuk Guano terhadap Bobot Kering 100 Butir Biji Kedelai

Residu Pupuk Guano (kg/ha) Residu Pupuk

Kandang Sapi

(ton/ha) 0 108 216 324

Rata-rata

……….g……….

0 5.17c 5.99ab 5.97ab 5.94ab 5.77 1.5 6.35a 6.02ab 5.91ab 6.07ab 6.09 3 5.53bc 6.42a 6.38a 6.03ab 6.09 Rata-rata 5.68 6.14 6.09 6.01

Keterangan : Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji DMRT 5%.

Hubungan Korelasi Antar Peubah

Korelasi positif antar peubah berarti semakin tinggi nilai suatu peubah (mendekati 1) akan meningkatkan peubah yang lain. Peubah vegetatif yang berkorelasi positif antara lain tinggi dengan jumlah polong; cabang produktif dengan jumlah buku produktif, jumlah polong isi, bobot basah polong isi, bobot kering polong isi, dan jumlah polong/petak panen (4.5 m2). Peubah generatif berkorelasi positif dan nyata adalah jumlah polong isi/tanaman dengan jumlah cabang dan buku produktif, serta bobot basah polong isi; bobot polong isi/tanaman dengan tinggi tanaman, jumlah cabang dan buku produktif, bobot basah tajuk, serta bobot basah bintil akar; dan jumlah polong/petak panen (4.5 m2) dengan tinggi tanaman, jumlah cabang dan buku produktif, jumlah polong isi, dan bobot polong isi/petak panen (4.5 m2) (Tabel 15).

(41)

Tabel 15. Hubungan Korelasi Antar Peubah

Tinggi Cabang Buku BB Tajuk BB Akar BB Bintil Akar BK Tajuk BK Akar BK Bintil Akar Rasio Tajuk/Akar Tinggi 1.00** Cabang 0.55** 1.00** Buku 0.70** 0.79** 1.00** BB Tajuk 0.49** 0.47** 0.58** 1.00** BB Akar 0.28cn 0.30cn 0.33* 0.85** 1.00** BB Bintil Akar 0.56** 0.45** 0.48** 0.77** 0.54** 1.00** BK Tajuk 0.43** 0.44** 0.51** 0.98** 0.90** 0.73** 1.00** BK Akar 0.23tn 0.28cn 0.26tn 0.80** 0.98** 0.48** 0.87** 1.00** BK Bintil Akar 0.36* 0.36* 0.25tn 0.73** 0.75** 0.74** 0.78** 0.76** 1.00** Rasio Tajuk/Akar 0.31cn 0.16tn 0.31cn 0.31cn -0.06tn 0.41** 0.27tn -0.16tn 0.15tn 1.00** Jumlah Polong Isi/Tanaman 0.58** 0.79** 0.73** 0.43** 0.23tn 0.42** 0.38* 0.21tn 0.29cn 0.11tn Jumlah Polong Hampa/Tanaman 0.20tn 0.37* 0.26tn 0.14tn 0.08tn 0.16tn 0.13tn 0.09tn 0.08tn -0.06tn BB Polong Isi/Tanaman 0.56** 0.75** 0.72** 0.37* 0.16tn 0.41** 0.31cn 0.14tn 0.24tn 0.10tn BB Polong Hampa/Tanaman 0.15tn 0.34* 0.21tn 0.07tn 0.04tn 0.12tn 0.07tn 0.05tn 0.07tn -0.07cn BK Polong Isi/Tanaman 0.55** 0.82** 0.74** 0.49** 0.21tn 0.57** 0.42** 0.17tn 0.33* 0.29cn BK Polong Hampa/Tanaman 0.08tn 0.27tn 0.17tn 0.03tn 0.01tn 0.04 tn 0.04tn 0.03tn 0.01tn -0.09tn BB 100 Biji -0.11tn -0.04tn -0.01tn -0.44** -0.57** -0.28cn -0.49** -0.54** -0.52** -0.11tn BK 100 Biji 0.00tn -0.11tn 0.02tn -0.40* -0.52** -0.28cn -0.45** -0.51** -0.50** -0.05tn BB Polong Isi/Petak Panen 0.71** 0.71** 0.68** 0.46** 0.20tn 0.48** 0.39* 0.15tn 0.24tn 0.31cn BB Polong Hampa /Petak Panen 0.26tn 0.01tn 0.06tn 0.01tn -0.06tn -0.03tn -0.03tn -0.08tn -0.09tn 0.13tn Jumlah Polong 0.76** 0.76** 0.77** 0.52** 0.26tn 0.53** 0.45** 0.21tn 0.28cn 0.28cn

(42)

Jumlah Polong Isi Jumlah Polong Hampa BB Polong Isi BB Polong Hampa BK Polong Isi BK Polong Hampa BB 100 Butir Biji BK 100 Butir Biji BB Polong Isi / Petak Panen BB Polong Hampa / Petak Panen Jumlah Polong Tinggi Cabang Buku BB Tajuk BB Akar BB Bintil Akar BK Tajuk BK Akar BK Bintil Akar Rasio Tajuk/Akar

Jumlah Polong Isi/Tanaman 1.00** Jumlah Polong Hampa/Tanaman 0.62** 1.00** BB Polong Isi/Tanaman 0.98** 0.59** 1.00** BB Polong Hampa/Tanaman 0.56** 0.97** 0.55** 1.00** BK Polong Isi/Tanaman 0.91** 0.49** 0.92** 0.46** 1.00** BK Polong Hampa/Tanaman 0.52** 0.95** 0.50** 0.97** 0.41** 1.00** BB 100 Biji 0.03tn -0.06tn 0.03 tn -0.12tn -0.06tn -0.04tn 1.00** BK 100 Biji 0.03tn -0.08tn 0.03 tn -0.15tn -0.12tn -0.08tn 0.92** 1.00**

BB Polong Isi/Petak Panen 0.59** 0.26tn 0.55** 0.17tn 0.64** 0.14tn 0.00tn -0.04tn 1.00** BB Polong Hampa /Petak

Panen 0.01tn -0.03tn 0.02tn -0.06tn -0.03tn -0.05tn 0.13tn 0.23tn 0.13tn 1.00**

(43)

Pembahasan Pengaruh Residu Pupuk Kandang Sapi

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan residu pupuk kandang sapi tidak berpengaruh nyata terhadap hampir semua peubah yang diamati baik peubah vegetatif maupun peubah generatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya penurunan kandungan hara di dalam tanah sehingga penambahan pupuk kandang sapi 2.5 ton/ha tidak cukup menambah ketersediaan hara. Kemungkinan yang lain adalah pengapuran tanah yang kurang efektif.

Hasil analisis tanah setelah panen pada percobaan Rahadi (2008) menunjukkan bahwa pH dan unsur P mengalami penurunan, sedangkan unsur C, N, dan K sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil analisis tanah sebelum percobaan Rahadi (2008) dimulai (Lampiran 5). Oleh karena itu, percobaan residu pupuk organik ini ternyata menggunakan lahan yang telah berkurang kesuburannya.

Kemasaman tanah yang rendah ini diatasi dengan menambahkan kapur, namun pengapuran ini diduga kurang efektif karena tingginya curah hujan setelah aplikasi kapur diduga menyebabkan terjadinya pencucian kapur dan terbawa oleh erosi. Turunnya kandungan hara ini diduga disebabkan oleh tercucinya unsur hara oleh air hujan, erosi, atau terbawa oleh gulma yang tumbuh saat bera yang tidak dibenamkan pada saat pengolahan tanah.

Perlakuan residu pupuk kandang sapi berpengaruh nyata terhadap bobot kering bintil akar kedelai pada 7 MST, bobot basah polong hampa/petak panen (4.5 m2), dan bobot basah 100 butir biji. Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi menurunkan bobot basah dan bobot kering bintil akar serta meningkatkan bobot basah 100 butir biji.

Bintil akar merupakan bentuk asosiasi antara akar tanaman kedelai dengan bakteri Rhizobium. Rhizobium akan memfiksasi N dari udara untuk memenuhi kebutuhan N bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Gardner et al. (1991), ketahanan hidup Rhizobium di alam sangat tergantung pada kondisi tanah, terutama pH, kelembaban, bahan organik, dan lamanya jarak antara tanaman budidaya yang menjadi inangnya. Bintil akar akan banyak terbentuk dan aktif memfiksasi N dari udara apabila berada pada kondisi tanah yang kekurangan hara.

(44)

Hal ini terlihat pada bobot basah dan bobot kering bintil akar yang menurun dengan peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi (Tabel 6).

Jumlah polong/petak panen (4.5 m2) pada budidaya konvensional lebih rendah dibandingkan dengan jumlah polong/petak panen (4.5 m2) pada perlakuan residu pupuk kandang sapi maupun residu pupuk guano. Namun, sebaliknya dengan bobot polong/petak panen (4.5 m2) dimana pada budidaya konvensional paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan residu pupuk organik. Hal ini terlihat bahwa pada budidaya konvensional tersedia cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai baik vegetatif maupun generatif, khususnya untuk pembentukan dan pengisian polong (Tabel 12). Hal ini juga disebabkan oleh adanya perbedaan jumlah tanaman yang dipanen pada setiap petakan.

Berdasarkan hasil analisis daun, dapat diketahui bahwa tanaman mengalami defisiensi K dan keracunan unsur mikro seperti Fe dan B. Besarnya kandungan K, Fe, dan B pada jaringan daun kedelai masing-masing adalah 0.4 %, 362.50 ppm, dan 487.36 ppm (Lampiran 10). Pada sebagian besar tanaman kedelai timbul gejala perubahan warna daun menjadi kuning (klorosis) pada tepi daun dan muncul bercak-bercak coklat hingga akhirnya daun menjadi kering (nekrosis) dan selanjutnya akan gugur.

Kelarutan Fe dalam tanah meningkat pada pH yang rendah sehingga menyebabkan terjadinya keracunan pada tanaman dan terjadi pengendapan ion P. Pengendapan P menyebabkan efisiensi pemupukan P menjadi rendah karena bentuk Fe-fosfat menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman (Hanafiah, 2007). Kelarutan Fe pada tanah masam lebih tinggi daripada pada tanah dengan pH tinggi. Gejala keracunan Fe adalah timbulnya bercak-bercak coklat pada daun, dalam keadaan yang parah daun akan berwarna kecoklatan (Ismunadji et al., 1985).

Gejala keracunan B timbul pada konsentrasi 0.5 ppm B dalam larutan hara (Evans et al. dalam Ismunadji et al., 1985). Tanaman yang keracunan B, daun pucuknya menunjukkan gejala klorosis yang diikuti oleh nekrosis yang dimulai dari ujung dan pinggir daun, kemudian menjalar ke dalam ke arah tulang daun utama. Daun muda kemudian kering dan gugur sebelum waktunya (Bergman

(45)

Berdasarkan hasil analisis daun kedelai diketahui bahwa kandungan Mn dalam daun kedelai mencapai 320 ppm. Pada umumnya, kandungan Mn dalam daun berkisar 21-100 ppm. Dalam Hanafiah (2007), kandungan Mn dalam daun dapat mencapai >200 ppm, seperti pada daun kedelai 600 ppm, kapas 700 ppm, dan ubi jalar 1380 ppm, tanpa menunjukkan gejala keracunan. Menurut Tanaka et

al. dalam Ismunadji et al., (1985), ketersediaan Mn dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya adalah pH tanah, kadar bahan organik, aktivitas mikroba, dan kadar air tanah. Ketersediaan Mn meningkat pada tanah masam dan Mn2+ terlarut turun 100 kali lipat dengan peningkatan satu unit pH.

Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi akan meningkatkan kandungan hara di dalam tanah terutama unsur P (Lampiran 5). Adanya peningkatan kandungan P di dalam tanah akan meningkatkan bobot basah dan bobot kering 100 butir biji kedelai (Tabel 12). Hal ini terlihat bahwa biji kedelai semakin besar dengan adanya peningkatan kandungan P di dalam tanah. Unsur P berperan dalam pembungaan dan pembentukan biji (Foth dalam Hanafiah, 2007).

Pengaruh Residu Pupuk Guano

Perlakuan residu pupuk guano tidak menunjukkan pengaruh yang nyata pada hampir semua peubah yang diamati. Percobaan yang dilakukan oleh Barus (2005) dan Rahadi (2008) juga menunjukkan hal yang sama. Pada percobaan Barus (2005), tidak nyatanya pengaruh pupuk fosfat disebabkan oleh lambatnya ketersediaan fosfat bagi tanaman, sedangkan pada percobaan Rahadi (2008), disebabkan oleh kandungan P dalam tanah yang sudah mencukupi kebutuhan tanaman atau pengapuran yang kurang efektif sehingga P dapat difiksasi oleh Al, Fe, dan Mn.

Berdasarkan analisis tanah diketahui bahwa kandungan P sebelum tanam lebih rendah dibandingkan dengan percobaan Rahadi (2008), namun masih berada pada kisaran sedang hingga sangat tinggi untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Hal ini terlihat dari jumlah kandungan unsur P di dalam daun tanaman kedelai yang berada pada status kecukupan hara sehingga residu pupuk guano tidak menunjukkan pengaruh nyata pada komponen vegetatif dan generatif.

(46)

Menurut Wijanarko et al. (2007), residu pemupukan P memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat biji kedelai yang ditanam pada kelas ketersediaan hara P sangat rendah. Pada kelas ketersediaan hara P lebih tinggi, residu pupuk P tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap hasil biji kedelai.

Pengaruh Interaksi Residu Pupuk Kandang Sapi dan Residu Pupuk Guano

Interaksi residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano berpengaruh nyata terhadap jumlah daun pada 3 MST, intensitas serangan hama dan penyakit pada 5 MST, dan bobot kering 100 butir biji serta berpengaruh nyata pada taraf 10% terhadap bobot kering bintil akar dan bobot basah 100 butir biji.

Kombinasi perlakuan residu pupuk kandang sapi 3 ton/ha dan residu pupuk guano 216 kg/ha menghasilkan intensitas serangan hama dan keparahan penyakit terendah dibandingkan dengan kombinasi dosis residu pupuk kandang sapi dan pupuk guano lainnya (Tabel 9). Peningkatan dosis residu pupuk kandang sapi menurunkan intensitas serangan hama dan penyakit dengan diimbangi peningkatan dosis residu pupuk guano.

Perlakuan tanpa residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano menghasilkan bobot bintil akar tertinggi dibandingkan dengan perlakuan kombinasi residu pupuk lainnya. Hal ini diduga karena bintil akar banyak terbentuk pada tanah yang kandungan haranya rendah karena bakteri Rhizobium aktif memfiksasi N untuk memenuhi kebutuhan hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Gardner et al. (1991), ketahanan hidup Rhizobium di dalam tanah sangat tergantung pada kondisi tanah terutama pH tanah, kelembaban, dan bahan organik.

Bobot basah dan bobot kering 100 butir biji tertinggi dihasilkan oleh kombinasi residu pupuk kandang sapi 1.5 ton/ha dan residu pupuk guano 0 kg/ha yaitu 16.43 dan 6.35 g, namun, lebih rendah 6.06 dan 17.83 % dibandingkan dengan bobot basah dan bobot kering 100 butir biji pada budidaya konvensional (Tabel 13 dan 14). Hal ini memperlihatkan bahwa biji pada perlakuan residu pupuk kandang sapi dan residu pupuk guano lebih kecil dibandingkan dengan biji yang dihasilkan pada budidaya konvensional yang kemungkinan disebabkan oleh hara dalam budidaya konvensional lebih mencukupi untuk membentuk polong

Gambar

Tabel 1. Intensitas Serangan Hama dan Keparahan Penyakit
Gambar 1. Intensitas Curah Hujan dan Kelembaban Selama Percobaan Tanaman  kedelai  mengalami  gejala  klorosis  (perubahan  warna  daun menjadi kuning) pada tepi daun dan diantara tulang daunnya
Gambar 2. Daun  kedelai  mengalami  klorosis  dan  nekrosis  pada  tepi daunnya  (a)  dan  hampir  seluruh  bagian  daun  mengalami klorosis (b)
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam
+7

Referensi

Dokumen terkait

No Antar Muka Yang Diuji Proses Yang Diuji Status Aplikasi Skenario Pengujian Hasil Yang Diharapk an Hasil Pengujian 9 Halaman Form Tambah Data Jadwal Pemilihan

Proteksi utama MCCB 200 A sudah sesuai dengan kemampuan hantar arus (KHA) pengenal gawai proteksi dari kabel yang digunakan. Single Line Diagram Panel 1 Ruang

Dalam penyusunan Tugas Akhir ini data primer adalah informasi tentang strategi pemasaran dengan menggunakan word of mouth pada produk Simpanan (Si Bagus) dalam

Terdapat 5 latent class yang terbentuk untuk rumah tangga dengan karakteristik, yaitu untuk latent class pertama merupakan kelompok rumah tangga dengan tingkat

Berdasarkan tabel III, dapat diketahui semua kasus dinyatakan tepat indikasi karena adanya infeksi spesifik.Pasien mendapat antibiotik karena terindikasi infeksi spesifik

arti dan ilmu yang mempelajari simbol kata disebut semantik. Akan tetapi semantik bukan saja suatu jenis cara mengartikan suatu obyek yang berupa kata-kata tetapi juga merupakan

Puja dan puji syukur Peneliti panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata‟ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala limpahan nikmat rahmat dan karunia-Nya