• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

183

6 DINAMIKA KELEMBAGAAN PENGELOLAAN DAN

PEMANFAATAN HUTAN

6.1. Analisis Perbandingan Lembaga dan Kelembagaan Masyarakat Adat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik

Dalam konteks kelembagaan pengaturan hutan, sistem pengaturan hutan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelembagaan pengaturan pemerintah dan kelembagaan adat yang dianut oleh masyarakat yang hidup di sekitar hutan sejak lama, jauh sebelum hutan tersebut diklaim sebagai hutan negara. Evaluasi kondisi hutan dan lembaga pengelola hutan memberikan wawasan tentang fungsi hutan sebagai sebuah milik bersama antara masyarakat yang hidup dari hutan dan negara sebagai pemilik hutan secara yuridis. perbedaan pemaknaan, tumpang tindih kepemilikan dan pengelolaan hutan ini makin terasa dan menjadi persoalan ketika kelembagaan yang satu menegasikan keberadaan kelembagaan yang lain.

Dalam konteks Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), atas nama ideologi konservasi, maka masyarakat harus keluar dari pemukiman yang sudah lama mereka tempati. Begitupun pada Masyarakat Adat Dayak Iban, ideologi pembangunan yang diusung negara telah memberikan kekuasaan kepada perusahaan untuk pemanfaatan hutan dengan menegasikan keberadaan masyarakat adat sebagai pemilik hutan yang sudah turun temurun. Perbedaan pemaknaan atas hutan dan tumpang tindihnya klaim atas kawasan hutan tersebut menyebabkan terjadi konflik. Masing-masing pihak dengan kelembagaannya berusaha untuk menunjukkan kekuasaan otoritasnya atas penguasaan sumberdaya hutan. Kekuasaan dan otoritas adalah sumberdaya yang mengarahkan kelompok- kelompok pada persaingan dan pertempuran. Dengan demikian otoritas merupakan sumber utama konflik dan perubahan dalam pola-pola pelembagaan.

Menurut Dahrendorf dalam Turner (1998), Konflik ini pada akhirnya merupakan refleksi dari kelompok peran dalam kaitannya dengan otoritas, karena "kepentingan obyektif" yang melekat dalam peran apapun adalah fungsi langsung dari peran yang memiliki otoritas dan kekuasaan atas peran lain. Setidaknya ada dua tipe dasar peran, yaitu peran yang berkuasa (superordinate) dan yang dikuasai (subordinate). Kelompok peran yang berkuasa memiliki kepentingan dalam mempertahankan status quo, dan kelompok yang dikuasai memiliki minat dalam

(2)

184

mendistribusikan kekuasaan atau otoritas. Dalam kondisi tertentu, kesadaran akan kepentingan yang bertentangan ini meningkat, hasilnya bahwa kelompok kepentingan tersebut menjadi terpolarisasi dalam dua kelompok konflik, masing-masing menyadari kepentingan objektifnya, yang kemudian terlibat dalam sebuah kontes untuk mendapatkan otoritas, sehingga membuat konflik menjadi sumber perubahan dalam sistem sosial. Pada gilirannya, redistribusi otoritas merepresentasikan pelembagaan dari peran kelompok baru yang berkuasa dan yang dikuasai, dalam kondisi tertentu.

Menurut Dahrendorf, konflik menjadi sumber perubahan dalam rangka memperjuangkan otoritas. Hal tersebut terjadi juga pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Beberapa unsur kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban berubah sebagai respon atas konflik sumberdaya hutan dengan negara selaku pemilik otoritas resmi terhadap hutan. Kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan dan mengadaptasikan berbagai aturan dari kondisi yang sudah ada, menunjukkan ketangguhan sebagai satu lembaga (Ostrom, 1990; Wollenberg, 1998; Buck dkk, 2001).

Dengan mengambil kasus di dua lokasi, Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan hutan Sungai Utik, ada kecenderungan yang berbeda di kedua lokasi. Pada kawasan TNGHS bahwa peran lembaga adat dalam pengelolaan sumberdaya hutan mulai didominasi oleh kekuatan lembaga negara. Dalam konteks seperti itu, dimana terjadi dominasi negara dan pelumpuhan kelembagaan adat, konstelasi kekuasaan pengelolaan dan pemanfaatan hutan antara masyarakat adat dan negara menjadi tidak seimbang. Negara lebih banyak mendominasi masyarakat adat. Dalam konteks ini, dapat dikatakan ada hegemoni negara terhadap masyarakat adat. Hegemoni tidak hanya telah menciptakan perlawanan dari komunitas tradisional tetapi juga transformasi dalam berbagai faktor.

Kondisi berbeda terjadi di kawasan Sungai Utik, dimana posisi negara dan masyarakat adat sama-sama kuat. Negara tidak mampu melaksanakan kebijakannya, sehingga tetap membiarkan masyarakat adat dan kelembagaan lokalnya yang bekerja dalam tata kelola hutan Sungai Utik. Namun negara juga tidak mengeluarkan surat pengakuan atas hak kelola adat tersebut. Dengan kata

(3)

185 lain pada kawasan Sungai Utik peran kelompok yang berkuasa dan dikuasai menjadi tidak jelas.

Dalam konteks kelembagaan, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik merupakan suatu komunitas yang memiliki kelembagaan adat tentang pengaturan tatanan hidup masyarakatnya dan tata kelola hutan yang melibatkan norma adat dan keagamaan. Untuk memahami kondisi kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik dan hutan yang dalam penguasaannya, berikut ini akan digambarkan kesamaan dan perbedaan karakteristik dari kedua masyarakat adat tersebut.

Matrik 10. Karakteristik Masyarakat Kasepuhan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Dayak Iban di Hutan Sungai Utik

TNGHS SUNGAI UTIK

Aktor Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Masyarakat Adat Dayak Iban Sungai Utik

Pimpinan Adat Abah Tuai rumah panjang

Struktur

Masyarakat Berstrata dimana abah menempati strata tertinggi dalam struktur masyarakatnya

Tidak ada struktur (tinggi-rendah) melainkan pelimpahan kekuasaan memutuskan dalam ukuran hukuman Pertimbangan

keputusan teertinggi adat

Wangsit (petunjuk nenek moyang)

melalui abah Musyawarah adat selanjutnya diputuskan oleh tuai rumah Hukuman/ sanksi

supranatural Kualat atau kabendon (hukuman dari roh nenek moyang) Tulah (hukuman dari roh nenek moyang) Hukum Adat Terdapat hukum adat, namun tidak

jelas, bersifat lisan. Hukum adat sangat tergantung dari keputusan abah dan Kabendon

Terdapat hukum adat yang jelas diberlakukan selain Tulah. Hukum adat sudah dibukukan Anggota

Masyarakat Adat Masyarakat Kasepuhan dan masyarakat luar Kasepuhan yang menyatakan diri sebagai pengikut. Kepengikutan dinyatakan dengan iuran sebagai pengakuan atas ketaatan terhadap Kasepuhan (terbuka untuk siapa saja)

Semua anggota suku Dayak Iban secara turun temurun (tertutup) dan orang luar yang menikah dengan orang Dayak Iban, atau suku lain yang telah lama tinggal di Dayak Iban dan menjadi bagian dari rumah panjang Dayak Iban Sungai Utik Mata pencaharian

Utama Pertanian padi huma dan padi sawah (hasilnya tidak boleh dijual), dengan sistem organik

Pertanian padi huma (hasilnya tidak boleh dijual), boleh menggunakan pupuk kimia

Sumber ekonomi

(yang dapat dijual) Kebun/ ladang: palawija, kapolaga, cengkeh, rotan, bambu Kebun/ ladang: karet, durian, tengkawang Wilayah Adat Dimiliki bersama oleh seluruh

masyarakat di 3 (tiga) Kasepuhan. Dimiliki secara otonom oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik

Dari tabel di atas diketahui bahwa terdapat perbedaan dan kesamaan karakteristik yang sangat nyata antara Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik.

(4)

186

Perbedaan pertama adalah mengenai pimpinan adat. Masyarakat Kasepuhan dipimpin oleh seorang abah (kepala suku). Sekalipun Kasepuhan ada 3 (tiga) di kawasan Desa Sirna Resmi, namun masing masing Kasepuhan secara otonom memiliki kepemimpinan sendiri-sendiri. Abah memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam mengurusi segala urusan kehidupan masyarakatnya, khususnya dibidang pertanian (livelihood), mempunyai hak untuk memberi izin atau melarang masyarakatnya mengambil manfaat dari hutan, memimpin upacara adat, sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan masyarakat. Namun dalam hal kepemilikan sumberdaya alam dimiliki secara bersama dengan seluruh masyarakat di 3 (tiga) Kasepuhan.

Adapun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik memiliki pemimpin yang bertingkat. Di Rumah Panjae Sungai Utik ada pemimpin yang disebut tuai rumah. Tuai rumah adalah orang yang menancapkan tiang pertama, mengurusi adat, musim bertani, keluarga, menyatakan pantang/ mali, dan lain-lain. Apabila terjadi masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh tuai rumah maka diselesaikan di Ketemenggungan. Dari 7 (tujuh) dusun dalam ketemenggungan Dayak Iban Jalai Lintang dipimpin oleh seorang Tumenggung (kepala suku). Namun demikian sekalipun ada dibawah Ketemenggungan Jalai Lintang, Masyarakat Dusun Utik memiliki kepemilikan sendiri (otonom) dalam hal sumberdaya. Kepemilikan sumberdaya dikuasai sepenuhnya oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik melalui pengaturan oleh tuai rumah.

Perbedaan yang kedua mengenai struktur lembaga Kasepuhan. Masyarakat Kasepuhan berstrata, dimana menempatkan abah dalam strata tertinggi, kemudian ada kolot lembur yang menjadi perwakilan abah di tiap kampung. Dalam struktur adat Kasepuhan juga ada berbagai jabatan yang mewakili urusan Kasepuhan yang disebut “tukang”. Pada struktur yang paling rendah adalah masyarakat biasa (incu

putu). Abah selaku pimpinan adat mempunyai kewenangan sentral dalam

pengambilan keputusan sebagai representasi dari “wangsit roh nenek moyang”, melalui mekanisme Badan Musyawarah Kasepuhan. Dalam Masyarakat Dayak Iban, tuai rumah selaku pemimpin rumah panjang tidak memiliki strata yang jauh lebih tinggi dari Masyarakat Dayak Iban lainnya. Tidak ada struktur (tinggi-rendah) melainkan pelimpahan kekuasaan memutuskan dalam ukuran hukuman.

(5)

187 Sekalipun sebagai pemimpin adat, namun dalam pengambilan keputusan tuai rumah tidak memiliki kewenangan mutlak, masih ada mekanisme musyawarah yang menjadi landasan keputusan tertinggi adat.

Perbedaan ketiga adalah mengenai penerapan sanksi dan hukuman. Ada dua macam jenis sanksi yang ada di Kasepuhan maupun Dayak Iban. Sanksi/ hukuman yang pertama berupa sanksi supranatural berupa hukuman dari nenek moyang apabila melakukan pelanggaran terhadap apa yang dilarang atau diperintahkan oleh nenek moyang, seperti mengambil kayu pada hutan titipan maka akan berhadapan dengan sanksi/ hukuman yang berasal dari roh nenek moyang. Dalam kebudayaan Kasepuhan disebut kabendon/ kualat, sementara dalam Masyarakat Dayak Iban disebut tulah. Jenis hukuman tersebut bisa berupa penyakit yang tidak bisa disembuhkan sampai meminta maaf terhadap roh nenek moyang. Selain hukuman yang berasal dari roh nenek moyang, ada juga hukuman yang disebut hukum adat. Disinilah terdapat perbedaannya. Hukum adat pada Masyarakat Kasepuhan tidak dibukukan dan bersifat lisan hanya mengandalkan saja pada keputusan/ kebijakan abah. Abah menjadi sumber hukum bagi Masyarakat Kasepuhan. Sedangkan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, hukum adat sudah dibukukan dan disepakati oleh seluruh Masyarakat Dayak Iban. Perbedaan keempat adalah aspek sejarah penguasaan lahan dari zaman sebelum Indonesia merdeka sampai terbentuknya kelembagaan kehutanan. Sejarah membuktikan bahwa Masyarakat Kasepuhan sangat permisif terhadap keberadaan negara atau pihak lain yang mengklaim tanah dan hutannya, selama mereka masih diberi ruang (akses) untuk livelihood mereka dan pengaturan atas hutan mereka. Sepanjang sejarah, klaim masyarakat adat atas tanah dan hutannya silih berganti dengan klaim oleh negara. Namun kondisi tersebut tidak banyak mempengaruhi sikap masyarakat selama mereka masih memiliki akses. Untuk Masyarakat Kasepuhan akses sangat penting dibandingkan right (hak properti). Namun bagi Masyarakat Dayak Iban, hutan dan tanah adalah urat nadi sehingga mereka akan berusaha mati-matian mempertahankan hutan dan tanah tersebut berada dalam penguasaannya. Bagi Masyarakat Dayak Iban hak sangat penting, karena saat ini mereka sudah memiliki akses. Hanya saja hak (right) dibutuhkan untuk keberlangsungan akses.

(6)

188

Dalam hal penguasaan lahan juga menunjukkan adanya perbedaan, dimana klaim wilayah adat Kasepuhan dimiliki bersama oleh masyarakat di 3 (tiga) Kasepuhan, disamping adanya klaim oleh negara sebagai kawasan taman nasional. Adapun kawasan Sungai Utik dimiliki secara otonom oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, disamping adanya klaim dari negara pusat sebagai kawasan yang diperuntukkan bagi kawasan IUPHHK dan klaim dari negara lokal sebagai kawasan IUP untuk usaha perkebunan karet dan sawit.

Berbagai perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan perkembangan kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Namun ada juga persamaannya yaitu sama-sama memiliki hukum adat sebagai acuan pengaturan tatanan sosial masyarakatnya, memiliki kepercayaan terhadap roh nenek moyang sekalipun agama sudah mulai masuk dan mempengaruhi kebudayaan mereka. Masyarakat Kasepuhan dipengaruhi oleh agama Islam sedangkan Masyarakat Dayak dipengaruhi oleh agama Katolik.

Selanjutnya mata pencaharian utamanya sama-sama berbasis pertanian padi huma dengan tradisi menyimpan padi di leuit (lumbung) dan tidak boleh dijual, memiliki kelembagaan lokal yang mengatur tata cara pertanian dan pengelolaan hutan. Kelembagaan ini bersumber dari pengetahuan lokal mereka yang diwariskan secara turun temurun. Adapun sumber ekonomi yang dapat dijual dan menjadi sumber pendapatan masyarakat dapat dibedakan, jika pada Masyarakat Kasepuhan lebih bertumpu pada hasil kebun/ ladang dengan tanaman utama palawija, kapolaga, cengkeh, rotan dan bambu. Sedangkan pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik mengandalkan hasil kebun karet, durian dan tengkawang. Dalam konsep kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban, mengajarkan masyarakatnya untuk melakukan mata pencaharian pertanian dengan menanam padi huma. Setiap segmen kegiatan usaha tani padi baik sawah maupun ladang pada Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban selalu disertai ritual tertentu sebagai bagian dari norma sosial dan adat. Termasuk ada banyak aturan dalam pertanian Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban, antara lain: menanam jenis padi lokal (lihat bab 4); menanam padi satu tahun sekali; tidak boleh menggunakan pupuk kimia dan pestisida; melakukan berbagai upacara ritual dalam setiap proses tahapan pertanian (penjelasan rinci lihat bab 4).

(7)

189 Dalam pengaturan tata kelola hutan, baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik mengatur aktivitas pertanian sebagai bagian dari aktivitas hutan. Dalam sistem zonasi yang diatur oleh konsep adat, hanya satu bagian yang diperkenankan untuk aktivitas pertanian yaitu pada kawasan leuweung garapan di Kasepuhan atau kampong endor kerja di Dayak Iban Sungai Utik. Artinya kegiatan pertanian tidak terlepas dari kegiatan kehutanan.

Berdasarkan deskripsi di atas dapat dikatakan bahwa ada beberapa hal yang menunjukkan kesamaan dan beberapa hal yang menunjukkan perbedaan di kedua masyarakat. Baik Masyarakat Kasepuhan maupun Dayak Iban Sungai Utik sama-sama memiliki kelembagaan pengaturan terhadap tata kelola hutan, sama-sama-sama-sama mengklaim memiliki right terhadap kawasan hutan yang juga diklaim sebagai

right dari hutan negara. Hanya bedanya Masyarakat Kasepuhan berhadapan

dengan hutan konservasi sedangkan Masyarakat Dayak Iban berhadapan dengan hutan produksi. Dalam penguasaan sumberdaya hutan, tidak hanya melibatkan kelembagaan adat yang mengklaim sebagai penguasa hutan, namun ada kelembagaan negara selaku penguasa hutan secara de jure. Kelembagaan adat dan negara tersebut dapat dibedakan berdasarkan aspek rules, ideologi, norma, aktor, serta teritori.

Matrik 11. Analisis Kelembagaan Adat Versus Negara (Modern) Pada TNGHS

STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN

ASLI ADAPTASI ASLI ADAPTASI

RULES Aturan zonasi hutan; Aturan mata pencaharian pertanian Aturan kehidupan Aturan mata pencaharian pertanian, seperti intensifikasi, penggunaan pupuk kimia dan menjual hasil pertanian Aturan Zonasi Kebijakan Kehutanan Membiarkan masyarakat tetap memperoleh hak akses untuk lahan garapan pada lahan hutan IDEOLOGI Pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat Pelestarian lingkungan yang dapat menjamin livelihood masyarakatnya Pelestarian

Lingkungan Pelestarian Lingkungan

NORMA Hukum adat dalam bentuk lisan dan keputusan abah

Hukum adat masih beresifat lisan, musyawarah adat

Hukum negara UU Kehutanan

Hukum negara yang dinegosiasikan dengan masyarakat AKTOR Ketua adat dan

masyarakat adat Ketua Adat Sekretaris Adat Menteri Kehutanan, Kepala daerah

Dinas Kehutanan Pemerintah daerah Perusahaan

(8)

190

STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN

ASLI ADAPTASI ASLI ADAPTASI

wilayah garapan pertanian. Semua kawasan bekas ladang menjadi wilayah teritori adat. untuk memperoleh

akses dengan SK Menteri Kehutanan

ulang peta kawasan adat maupun hutan negara

Adapun analisis kelembagaan antara kelembagaan adat dan negara dalam kasus Sungai Utik dapat dikemukakan sebagai berikut:

Matrik 12. Analisis Kelembagaan Adat Versus Negara (Modern) Pada Hutan Sungai Utik

STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT KELEMBAGAAN MODERN

ASLI ADAPTASI ASLI ADAPTASI

RULES Aturan zonasi hutan; Aturan mata pencaharian pertanian Aturan kehidupan Aturan Mata Pencaharian Pertanian, seperti intensifikasi, penggunaan pupuk kimia dan menjual hasil pertanian Kawasan IUPHHK-HA dengan Pola TPTI Membiarkan masyarakat tetap memperoleh hak akses (menidurkan masalah) IDEOLOGI pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat pelestarian lingkungan yang dapat menjamin livelihood masyarakatnya Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Pembangunan yang dapat menjamin kelestaraian lingkungan NORMA Hukum adat

dalam bentuk lisan dan keputusan tuai rumah Pembukuan hukum adat, musyawarah adat Hukum negara

UU Kehutanan Hukum negara yang dinegosiasikan dengan masyarakat AKTOR Ketua adat dan

masyarakat adat Kepala desa, Tumenggung Menteri Kehutanan Kepala daerah

Kepala daerah Kepala desa TERITORI Ditandai dengan

wilayah garapan pertanian. Semua kawasan bekas ladang menjadi wilayah teritori adat. Proses perjuangan untuk pengakuan dari pemerintah sebagai kawasan kelola adat Ditandai dengan SK Menteri Kehutanan Setelah perusahaan keluar dari lokasi, sama sekali tidak ada aktivitas. negara menidurkan masalah

Dalam melihat aspek kelembagaan tersebut, teritori tidak bisa dilepaskan dari aspek kelembagaan. Teritori dimaknai sebagai kontrol wilayah yang merupakan upaya langsung untuk mengatur hubungan antara masyarakat dan sumberdaya, misalnya dengan menggambar batas-batas dan mencoba untuk mengontrol akses ke sumberdaya alam dalam batas-batas yang dibuat oleh

(9)

191 kelembagaan tersebut. Pada Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, secara historis masyarakat tersebut menggunakan wilayah jangkauan yang luas melintasi pegunungan dan sungai melakukan pemanfaatan hasil hutan dan menggarap lahan pertanian termasuk memancing di sungai, dan berburu mangsa atau mengadakan ritual pada hutan tersebut. Bekas ladang (damun), wilayah perburuan, sungai serta wilayah hutan yang dijadikan upacara ritual masyarakat menandai keberadaan hutan milik mereka.

Berdasarkan rules, ideologi, norma, aktor dan teritori, tergambar adanya dinamika kelembagaan adat versus negara. Diketahui perlahan tapi pasti telah terjadi pelumpuhan kelembagaan adat oleh kelembagaan negara atau kelembagaan lain, seperti masuknya pengetahuan modern, infiltrasi kelembagaan pemerintah dalam bentuk perubahan kebijakan pengelolaan hutan maupun kebijakan pembangunan lainnya, sedikitnya telah merubah pola pikir masyarakat adat dan terjadi pergeseran dalam tata cara adat atau bagaimana adat dimainkan dalam merespon berbagai perubahan tersebut.

6.2. Kebijakan Negara Tentang Pengaturan Hutan Yang Mempengaruhi Kelembagaan Masyarakat Adat

Kelembagaan Masyarakat dalam pengaturan hutan mengalami perubahan yang diakibatkan oleh adanya berbagai goncangan/ gangguan. Baik hutan TNGHS dan hutan Sungai Utik memiliki gangguan yang hampir sama, yaitu adanya kebijakan baru yang dikeluarkan oleh negara dalam tata kelola hutan.

Gangguan utama pada hutan TNGHS adalah adanya intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan pemerintah pusat tentang perubahan status hutan dari hutan yang terfragmentasi ke dalam berbagai fungsi menjadi hutan konservasi dalam bentuk Taman Nasional (SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003). Kebijakan ini tentu saja mengganggu sistem sosial Masyarakat hutan. Gangguan pada sistem sosial akan berdampak pada perubahan sistem ekologi. Kebijakan pemerintah tentang perubahan luas taman nasional tersebut membawa konsekuensi pada beberapa hal:

(10)

192

Matrik 13. Perubahan Status Taman Nasional dan Dampaknya Pada Masyarakat Sekitar Hutan

SEBELUM TAHUN 2003 SETELAH TAHUN 2003

Nama Taman Nasional Gunung Halimun Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Luas 40.000 Ha 113.357 Ha

Pemukiman Ada 314 Desa dengan jumlah Penduduk 99.782 orang yang masuk dalam kawasan TNGHS. Masyarakat tersebut memanfaatkan hutan untuk pertanian

Pelarangan untuk pemukiman, maupun pertanian di kawasan hutan

Pertambangan Ada beberapa pertambangan (emas

dan geothermal) Terlarang untuk aktivitas pertambangan Perubahan

Fungsi Hutan Hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas yang sebelumnya dikelola oleh Perhutani

Semua wilayah menjadi taman nasional berdasarkan sk menteri kehutanan nomor 175/kpts-ii/2003 yang dikelola oleh balai taman nasional gunung halimun salak

Bagi Masyarakat Kasepuhan sendiri, dampak paling nyata adalah pelarangan masyarakat untuk menggarap lahan pertaniannya yang dalam konsep masyarakat adat berada di kawasan hutan garapan namun dalam konsep negara masuk ke dalam wilayah taman nasional. Perubahan status hutan menjadi taman nasional memberikan efek terhadap kehidupan Masyarakat Kasepuhan, terutama karena mereka kehilangan akses untuk pemanfaatan hutan. Ini berarti bahwa mereka kehilangan sumber livelihood mereka. Dalam rangka mengatasi kesulitan

livelihood inilah maka kelembagaan Masyarakat Kasepuhan berubah.

Pada kasus hutan Sungai Utik, dapat dikatakan bahwa Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik juga memperoleh tantangan yang berasal dari adanya intervensi kelembagaan baru dalam bentuk kebijakan pemerintah, yaitu kebijakan pemerintah pusat mengenai izin IUPHHK atas nama PT. BRW berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 268/Menhut-II/2004 jangka waktu 45 tahun pola TPTI dengan luas areal 110.500 Ha. Selain ancaman dari pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mengeluarkan kebijakan yang membuat masyarakat menjadi tidak tenang, yaitu diterbitkannya izin usaha perkebunan (IUP) yang diterbitkan untuk PT. MKA, PT. BSA, PT. RU, PT. BTJ dalam jangka waktu 20 tahun yang lokasinya tumpang tindih dengan IUPHHK dari PT. BRW.

Intervensi kebijakan negara lokal (pemerintah daerah) berupa penerbitan izin usaha (IUP) kepada PT. RU untuk perkebunan karet dengan Keputusan Bupati Nomor 283 Tahun 2010 yaitu tentang izin lokasi untuk perkebunan karet

(11)

193 seluas 14.000 Ha di Kecamatan Embaloh Hulu, Bunut Hilir dan Embaloh Hilir, telah dirubah peruntukannya menjadi sawit dengan surat bupati nomor 525/032/DKH/BPT-A tentang persetujuan IUP Perubahan dari karet menjadi kelapa sawit tanggal 10 Januari 2011. Keberadaan kebijakan pemerintah daerah tersebut telah memberi tekanan kecemasan kepada Masyarakat Adat Sungai Utik, ketakutan kalau kebijakan itu juga akan mengambil kawasan Sungai Utik. Kebijakan negara tersebut telah membuat kondisi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik resah, terlibat dalam konflik, baik konflik antara Masyarakat dengan pemerintah, yang melibatkan pengusaha maupun masyarakat dengan masyarakat. Perubahan kebijakan pemerintah atau intervensi kebijakan tersebut berpengaruh terhadap sistem nilai masyarakat lokal. Ketika sistem nilai berubah, gaya hidup masyarakat berubah, seperti meningkatnya kebutuhan uang tunai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intervensi kebijakan negara membawa konsekuensi pada terjadinya perubahan kelembagaan masyarakat adat, baik pada Masyarakat Kasepuhan maupun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.

6.3. Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik

Sejalan dengan perkembangan sejarah dan pengalaman kehidupan, bahwa pengetahuan masyarakat adat tersebut mengalami berbagai pengaruh dan perubahan. Perubahan pengetahuan menyebabkan terjadinya perubahan kelembagaan dan perubahan kelembagaan tersebut juga mempengaruhi struktur masyarakat tersebut dalam konteks masyarakat adat dipandang sebagai suatu komunitas atau organisasi sosial.

(12)

194

Matrik 14. Perubahan Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik

TNGHS SUNGAI UTIK Perubahan

Struktur Ada perubahan struktur dengan penambahan posisi sekretaris abah, ajudan abah dan penasehat Kasepuhan (Ua Ugis). Namun tidak semua Kasepuhan mengakui adanya jabatan “Penasehat

Kasepuhan”.

Tidak ada Perubahan struktur

Perubahan Pengetahuan dan

Kelembagaan

Beberapa aturan adat tidak lagi dijalankan: konsep sara, nagara

dan mokaha tidak sepenuhnya

dijalankan. masyarakat mulai menentang kebijakan negara yang dianggap menegasikan

kelembagaan Kasepuhan Perubahan dalam tatacara pengelolaan pertanian, misalnya mulai ada masyarakat yang menggunakan pupuk kimia, pola tanam dua kali dalam satu tahun dan ada juga yang menjual padi. Konsep kualat tidak lagi

dijalankan

Perubahan dalam tatacara pengelolaan pertanian, misalnya mulai ada masyarakat yang

menggunakan pupuk kimia, dan ada juga yang menjual padi.

Konsep kualat tidak lagi dijalankan

Tingkat

Perubahan Terjadinya pelumpuhan kelembagaan lokal dimana pengetahuan lokal tentang tata kelola hutan sudah tidak bisa dijalankan. Ketaatan masyarakat terhadap kelembagaan lokal sudah mulai luntur dimana pengetahuan lokal tentang kearifan dalam pengelolaan hutan tidak lagi dijalankan.

Dalam pengetahuan tata kelola hutan masih belum terjadi perubahan secara signifikan. namun telah terjadi perubahan proses berfikir masyarakat dimana konsep-konsep ilmiah seperti REDD, perubahan iklim serta kontribusi untuk kesejahteraan masyarakat sudah mulai menjadi wacana dikalangan anggota masyarakat

Alasan

Perubahan Pengetahuan tentang perlunya ketaatan atas budaya lokal yang memerintahkan bahwa segala aturan budaya tidak boleh bertentangan dengan hukum negara. Proses adaptasi livelihood

Perubahan pemikiran masyarakat yang mengarah pada pertimbangan ekonomi kapitalis dan sistem

pemikiran intelektual Barat Substansi

Perubahan Pengetahuan Sikap Tindakan Sosial

Pengetahuan Sikap

Tindakan Sosial

Seiring dengan perkembangan zaman, masuknya pengetahuan modern yang dikemas melalui program dan proyek pemerintah, serta perubahan kebijakan negara tentang tata kelola hutan, perlahan tapi pasti telah terjadi perubahan adat dan kebiasaan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik.

(13)

195 Perubahan struktur pada Masyarakat Kasepuhan ditandai dengan adanya struktur baru Lembaga Kasepuhan yang menambahkan adanya posisi sekretaris abah. Sekretaris inilah yang berfungsi untuk mencatat dan mendokumentasikan pengadministrasian Kasepuhan termasuk mencatat jumlah dan keanggotaan dari para pengikut (incu putu). Sementara pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik tidak ditemukan adanya perubahan struktur.

Perubahan kelembagaan pada Masyarakat Kasepuhan ditandai oleh banyak hal. Pertama, perubahan dalam hal praktek pertanian misalnya penggunaan pupuk non organik dan pestisida. Kedua, perubahan gaya hidup misalnya penggunaan kompor gas yang sebelumnya dilarang. Perubahan tersebut menunjukkan fakta bahwa telah terjadi perubahan kelembagaan Kasepuhan, atau sekurang kurangnya telah terjadi perubahan pandangan atau konsep hidup. Ketika, perubahan pandangan dalam menempatkan peran-peran kepengurusan adat.

Pada tahun 2010 awal penelitian ini dilakukan, masih ditemui kondisi bahwa semua tukang bekerja melalui mekanisme adat tanpa dibayar. Namun penelitian di tahun 2011-2012 sudah menunjukkan perbedaan kondisi. Di dua Kasepuhan (Cipta Mulya dan Cipta Gelar), istilah Tukang sudah tergantikan dengan konsep “pembantu” yang bekerja untuk “abah” atau “Kasepuhan” dengan memperoleh imbalan. Ketika di Abah Asep masih menggunakan konsep “Tukang” menurut budaya. Tukangnya sendiri sudah tidak begitu rela mengabdikan dirinya bagi kepentingan Kasepuhan.

Sebagaimana diterangkan oleh Ibu Ami (Tukang sisiuk) bahwa: “Hanya di Kasepuhan ini saja yang masih menggunakan Tukang untuk membantu Ambu dalam menyediakan makanan bagi tamu-tamu abah, kami masih mendapatkan jadwal untuk melayani tamu-tamu abah, tapi di Kasepuhan yang lain sudah tidak ada lagi bantuan tukang, melainkan diganti oleh Pembantu yang dibayar. Sementara para Tukang ini tidak dibayar.”.

Seperti yang diungkapkan oleh Ambu bahwa “dalam konsep Kasepuhan, seluruh tukang harus mengabdi pada Kasepuhan tanpa dibayar dan jabatan tukang diperoleh secara turun temurun. Seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat dan kebutuhan cash meningkat, maka konsep “Tukang” tersebut mulai tergantikan dengan konsep ‘pembantu” yang dibayar untuk setiap pekerjaan yang dilakukannya. Meskipun pada Kasepuhan tertentu masih menggunakan kata “tukang” namun ternyata, tukang tersebut sudah tidak lagi mengabdi secara ikhlas. Ada konflik kelembagaan yang bersifat laten. Apalagi sejak perubahan status Taman Nasional Gunung Halimun Salak, kekuasaan Kasepuhan tidak lagi mutlak. Kualat tidak lagi berlaku bagi masyarakat Kasepuhan.

(14)

196

Ucapan Ibu Ami tersebut menjadi tanda bahwa ada konflik internal di dalam Kasepuhan itu sendiri dan menunjukkan telah lunturnya kepercayaan terhadap nilai-nilai Kasepuhan. Di masa lalu masyarakat percaya bahwa kepengurusan Kasepuhan diwariskan secara turun temurun. Artinya jika orang tuanya menjadi tukang maka setelah orang tuanya meninggal anaknya harus menjadi tukang dan mengabdi kepada Kasepuhan tanpa ada bayaran. Jika tidak mau maka akan terjai “kualat/ kabendon”. Namun sekarang telah berubah, bahkan konsep tukang telah tergantikan dengan konsep pembantu yang diberi upah. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadinya perubahan kelembagaan dalam Masyarakat Kasepuhan.

Keempat, perlahan tapi pasti, pengetahuan modern termasuk program program yang dibuat pemerintah telah mengikis kekuasaan kelembagaan Kasepuhan. Misalnya “Program Kampong Konservasi” yang dibentuk oleh Taman Nasional tanpa melibatkan kelembagaan Kasepuhan telah membuat jarak antara Kasepuhan dan incu putunya. Beberapa incu putu mulai berani berbeda pendapat dengan abah.

Kelima, perubahan kelembagaan juga terlihat dalam penerapan konsep

“leuit” (social security system ala Kasepuhan). Dalam kelembagaan Kasepuhan,

ada konsep yang mengatur dukungan sosial untuk seluruh warganya, namun sekarang telah terjadi pergeseran konsep.

Perubahan konsep dan sejumlah aturan kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sulitnya kehidupan akibat berkurangnya mata pencaharian menyebabkan perubahan cara pandang masyarakat adat terhadap makna dukungan

Di Tahun 2010, masih dikenal adanya konsep “social security system” ala Masyarakat Kasepuhan. Masyarakat yang hasil panennya tidak cukup sampai pada tahun berikutnya dibolehkan mengambil padi dari “leuit” (lumbung) adat, dimana dengan mengambil hari lahir istri atau suaminya, seorang istri boleh mengambil padi sebanyak (ikatan/ pocongan) yang diperkirakan cukup untuk memberi makan keluarganya selama satu minggu. Misalnya kalau istrinya lahir pada hari selasa dan jumlah keluarga sebanyak 5 orang. Dalam satu minggu keluarga tersebut butuh 7 kg beras atau katakanlah setara dengan 10 kg padi. Jika satu ikat padi beratnya 5kg, maka keluarga tersebut membutuhkan 2 ikat padi untuk makan keluarganya selama satu minggu. Atas dasar perhitungan tersebut maka setiap hari Selasa, istrinya boleh mengambil sebanyak 2 ikat padi untuk kebutuhan keluarganya. Suatu hari apabila keluarga tersebut memperoleh panen yang cukup, boleh membayarnya ke lumbung adat. Namun kondisi saat ini, pengambilan padi dari lumbung adat tersebut bermakna “hutang” yang harus dibayar dikemudian hari, dan pengambilan hutang tersebut harus seizin abah.

(15)

197 sosial. Tidak ada dukungan yang sifatnya gratis diberikan oleh pihak Kasepuhan terhadap incu putunya, begitupun sebaliknya tidak ada bakti yang gratis yang diperoleh abah dari incu putunya. Jika di masa lalu, sawah abah digarap bersama-sama oleh seluruh warganya secara gratis. Sekarang sawah abah digarap oleh orang-orang yang bekerja di sawah dan dibayar berdasarkan standar upah di desa. Kesulitan ekonomi akibat hilangnya akses terhadap hutan menyebabkan perubahan kelembagaan adat Kasepuhan. Sekarang ini, sistem dukungan sosial bagi warga Kasepuhan tidak sepenuhnya berjalan atas dasar adat, namun unsur ekonomi mulai mempengaruhi. Kedudukan sebagai abah, tidak lagi menempatkan abah dalam struktur sosial yang memberikan abah hak istimewa untuk memperoleh pelayanan apapun dari incu putu secara gratis. Berjalannya konsep tukang saat ini sama seperti mekanisme seorang pegawai yang melayani abah dan adat Kasepuhan dengan sistem upah dan penggajian. Sekalipun Kasepuhan Sinar Resmi mencoba mempertahakan adat Kasepuhan, namun menimbulkan konflik internal di kalangan para pengurus Kasepuhan.

Kebijakan yang dibuat oleh setiap Kasepuhan pun sudah mulai berbeda, misalnya pada Kasepuhan Cipta Gelar masih memberlakukan pelarangan penggunaan pupuk kimia dalam hal pertanian. Pada Kasepuhan Abah Asep juga masih memberlakukan penggunaan pupuk organik untuk pertanian, namun apabila ada warga yang ingin menggunakan pupuk kimia, Abah Asep tidak melarang. Pada Kasepuhan Cipta Mulya sudah menggunakan pupuk kimia. Dalam beberapa hal, aturan-aturan adat Kasepuhan pada Kasepuhan Cipta Mulya sudah mulai mengendor. Hal ini terlihat dari cara berpakaian ketua adatnya, sikap ketua adat dalam menerima tamu, maupun dari mekanisme kerja adat dalam keseharian.

Kelembagaan Masyarakat Kasepuhan yang mengacu pada kosmologi “sara,

nagara dan mokaha” dimana mengajarkan Masyarakat Kasepuhan untuk

senantiasa ‘kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat jeung

balarea’ (harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat dengan

orang banyak). Konsep tersebut merupakan pengakuan adat terhadap keberadaan dan kekuasaan negara. Namun fakta dilapangan dimana Masyarakat Kasepuhan mulai melawan negara menunjukkan bahwa kelembagaan (aturan/ kosmologi adat) tersebut tidak lagi sepenuhnya dijalankan.

(16)

198

Ketika pengetahuan anggota masyarakatnya berubah maka dimungkinkan terjadinya perubahan kelembagaan. Perubahan yang terjadi sekarang adalah masyarakat mulai ada yang menjual padi hasil pertaniannya. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip masyarakat tentang hidup bahwa saeutik mahi loba nyesa (beras sedikit harus cukup, beras banyak akan bersisa), tidak sepenuhnya dijalankan oleh seluruh Masyarakat Kasepuhan.

Dalam hal tata kelola hutan, juga terjadi perubahan konsep. Sebelum tahun 2003, masyarakat hanya diperbolehkan mengambil kayu jenis tertentu pada hutan cawisan untuk kepentingan membangun rumah tidak untuk diperjual belikan. Namun dari setiap kayu yang dipotong tersebut harus diganti dengan menanam 10-20 pohon. Apabila dilakukan pelanggaran, maka ada sangki adat “kualat” yang akan menghukum Masyarakat Kasepuhan. Namun setelah konflik dengan TNGHS (tahun 2003), “kualat” pun dicabut oleh abah, sehingga tidak ada hukuman adat yang bersumber dari roh nenek moyang apabila melanggar, melainkan menggunakan hukum TNGHS, yaitu “penjara”.

Beberapa perubahan pengetahuan tersebut menjadi bukti terjadinya proses perubahan kelembagaan adat Kasepuhan. Perubahan tersebut menyangkut perubahan berbagai aturan, ada aturan-aturan lama yang tadinya dijalankan dengan ketat, mulai longgar, misalnya aturan tentang pelarangan penggunaan pupuk kimia dan padi hibrida. Sekarang ini, aturan tersebut sudah berubah, sekarang masyarakat dibolehkan untuk memilih dengan menggunakan pupuk kimia, atau penggunaan bibit padi hibrida yang panennya 2 (dua) kali setahun.

Perubahan juga menyangkut tata kelola tanah adat, sistem pengamanan pangan dalam konsep “leuit”, sampai pada perubahan aturan kepengikutan dengan membuka peluang bagi orang luar untuk masuk menjadi incu putu. Misalnya abah akan memberikan restu atau doa dengan kekuatan spiritual terhadap calon kepala daerah atau calon legislatif dengan syarat mereka harus diangkat dulu menjadi

incu putu. Ikatan inilah yang akhirnya menjadi akses bagi abah untuk

mempengaruhi kebijakan diranah politik lokal (pemerintah daerah) dan mendapat berbagai dukungan dari elit di tingkat nasional.

Perubahan kelembagaan yang terjadi tersebut merupakan suatu proses adaptasi kelembagaan yang merupakan respon atas konflik sumberdaya hutan

(17)

199 dengan negara. Ketika keadaan menjadi sangat sulit dan masyarakat kehilangan akses karena adanya kelembagan negara dalam pengaturan hutan, kelembagaan Kasepuhan tidak menjadi hancur melainkan dia mempunyai kelentingan yang tinggi dan mulai mencari jalan keluar dengan mengembangkan web of powernya pada politik lokal, dengan cara mencari dukungan dari pemerintah daerah atau bahkan mulai menjalin hubungan dengan para elit politik nasional.

Pada Masyarakat Kasepuhan, konflik dengan negara tersebut direspon dengan terjadinya perubahan kelembagaan Kasepuhan. Perubahan tersebut merupakan suatu proses adaptasi kelembagaan yang mulai menyesuaikan dengan keadaan. Perubahan kelembagaan Kasepuhan menunjukkan adanya dinamika kelembagaan yang bersifat intrusif, sejalan dengan tradisi pertanian Masyarakat Kasepuhan yang bersifat survival agriculture atau land-to-mouth agriculture. Perkembangan kelembagaan adat Kasepuhan pun berjalan ke arah social

survivability yang mendukung tujuan dan kegiatan produktif masyarakat petani,

dengan penguatan pada ability lembaga Kasepuhan dalam jejaring politik lokal dan mulai merambah untuk membuka jaringan dengan elit-elit politik tingkat nasional.

Dalam kasus Sungai Utik, masuknya pengetahuan modern yang dibawa oleh LSM telah membuat sejumlah perubahan. Kegiatan pertanian yang dilandasi oleh norma-norma budaya dan agama telah meningkatkan kohesi sosial di lingkungan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sehingga upaya diseminasi inovasi dapat dilaksanakan secara lebih lancar. Dalam perjalanan konflik dan seiring modernisasi yang dialami oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, kelembagaan Sungai Utik pun mengalami perubahan. Perubahan yang paling mencolok adalah dalam tata cara adat “gawai” dimana unsur agama mulai dimasukkan sebagai bagian dari upacara. Masuknya agama Katolik dalam adat Dayak Iban telah merubah kelembagaan adat Dayak Iban. Hal ini terlihat dari susunan acara

‘gawai” dimana sebagian upacara mulai dilaksanakan di Gereja. Perubahan lain

yang juga cukup sinifikan adalah dibukukannya “hukum adat Dayak Iban Ketemenggungan Jalai Lintang yang disepakati bersama ketemenggungan Dayak Embaloh”, dengan mengkonversi hukuman atau denda adat ke dalam bentuk rupiah.

(18)

200

Masuknya agama Katolik, telah mengikis nilai budaya Dayak digantikan dengan nilai-nilai Agama. Peran Ape janggut selaku tuai rumah juga perlahan mulai tergeser bukan lagi sebagai pemimpin yang dominan apalagi dalam konsepnya Dayak Iban lebih mengutamakan suara/ pendapat umum (orang banyak) yang dilandaskan pada musyawarah dan mufakat. Terlebih lagi sekarang ini posisi Ape Janggut adalah posisi minoritas. Dari 28 pintu yang ada di rumah panjang, hanya tinggal 3 pintu yang belum masuk agama Katolik. Ape Janggut akan menjadi orang terakhir yang masuk ke dalam agama Katolik, istilah mereka adalah tutup pintu. Jika semuanya sudah menjadi Katolik termasuk Ape Janggut, maka akhir dari tradisi nilai-nilai budaya Dayak Iban digantikan dengan nilai budaya baru agama Katolik. Selama Ape Janggut masih beragama nenek moyang, maka selama itu pula tradisi masih dijalankan.

Kelembagaan dalam arti aturan-aturan yang berkenaan dengan pengelolaan hutan Sungai Utik, sampai saat ini belum terjadi perubahan, hanya saja kekhawatiran akan berubahnya kelembagaan tata kelola hutan mulai dikeluhkan oleh Ape janggut selaku tuai rumah. Sebagaimana yang dikatakan Ape janggut, bahwa “Sekarang ini, pemuda Sungai Utik sudah mulai mempunyai kebiasaan baru yaitu minum tuak setiap malam. Ape khawatir itu akan membuat mereka menjadi malas bekerja, kehilangan mata pencaharian dan tidak lagi mau bekerja sebagai petani. Kalau itu terjadi, ada kemungkinan hutan kami akan terancam di masa depan. Jika pandangan masyarakat berubah karena kebutuhan akan uang yang mendesak, bisa-bisa di masa depan mereka akan tergoda untuk mengambil kayu dari hutan”. Kekhawatiran Ape Janggut tersebut cukup beralasan. Belum lagi tuntutan masyarakat saat ini terhadap negara adalah mendapatkan pengakuan sebagai hutan adat dan mendapatkan hutan sebagai hak kelola adat. Kekhawatiran Ape Janggut lebih kepada bagaimana Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik di masa depan akan mengelola hutan tersebut.

Dalam hal pengetahuan tata kelola hutan sudah terjadi perubahan pengetahuan. Masyarakat memahami hutan sudah bukan lagi sebagai sumber kehidupan yang merupakan pewarisan dari nenek moyang secara turun temurun tapi sudah mulai melihat hutan dari aspek global. Masyarakat sudah mulai menyadari apa yang mereka lakukan untuk hutan tersebut juga memiliki pengaruh

(19)

201 global terhadap penyerapan karbon. Bahkan sekarang beberapa masyarakat sudah mulai bicara tentang REDD, perdagangan karbon bahkan mulai berpikir tentang sebagai langkah perjuangan untuk memperoleh keuntungan atas hutan.

Fenomena yang terjadi pada Masyarakat Dayak Iban ini menunjukkan bahwa tingkat kohesi sosial dan social interplay pada Masyarakat Dayak Iban sangat tinggi. Kohesi sosial dan social interplay (hubungan sosial) merupakan dua diantara beragam elemen tatanan sosial yang memiliki pengaruh dalam memilih strategi pendekatan kelembagaan. Kelompok masyarakat yang memiliki daya ikat sosial tinggi pada umumnya membuka kesempatan besar bagi anggotanya untuk melakukan kontak dan hubungan sosial. Akibat kontak sosial yang tinggi dengan pengaruh luar secara langsung dengan anggota masyarakat menyebabkan perubahan pengetahuan terjadi dengan cepat. Dinamika kelembagaan pun berjalan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakatnya.

Kompleksitas interaksi biofisik, teknologi dan budaya lokal di dua komunitas (Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik) telah menghasilkan pola-pola fenomenal dan spesifik adat dan lokasi. Kelembagaan Kasepuhan berkembang ke arah peningkatan kemampuan di ranah politik, sedangkan kelembagaan Masyarakat Dayak Iban berkembang dengan cepat ke arah peningkatan ekonomi rakyat, namun masih bersifat substantif, karena belum sepenuhnya berorientasi komersial, walaupun sudah mulai mempertimbangkan pasar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi dinamika kelembagaan masyarakat Adat sebagai respon adaptasi atas perubahan kelembagaan negara dalam tata kelola hutan di kawasannya dan konflik perebutan penguasaan sumberdaya hutan.

6.4. Faktor-Faktor Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik

Kuatnya dominasi negara atas kelembagaan masyarakat Adat ditentukan oleh banyak faktor. Ada faktor-faktor yang menyebabkan sebuah kelembagaan masyarakat adat menjadi kuat atau lemah ketika berhadapan dengan negara. Faktor faktor tersebut dipetakan dalam matrik, sebagai berikut:

(20)

202

Matrik 15. Faktor-Faktor Kekuatan Eksternal Pengukuh Legitimasi Kuasa Adat Di Kasepuhan Dan Dayak Iban Sungai Utik

TNGHS SUNGAI UTIK

Konflik Internal Terdapat konflik antar Kasepuhan

dan Konflik di dalam Kasepuhan Tidak ada konflik internal Kosmologi Pancer Pangawinan yaitu

melaksanakan Sara, Nagara Jeung

Mokaha. Sara adalah agama, Nagara

adalah pemerintahan dan Mokaha adalah keselamatan atau Kasepuhan. Sara, nagara dan mokaha harus bersatu.

Tanah Adalah Darah Ngau Seput Kitae

Hutan bukan kumpulan tegakan pohon semata dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka hutan adalah urat nadi kehidupan.

Unsur Perekat

Masyarakat Ada satu pusat adat yaitu imah gede (rumah tempat tinggal abah selaku ketua Adat). Masyarakat tinggal dirumah masing-masing.

Keseragaman keanggotaan sebagai warga Kasepuhan dicirikan oleh atap rumah yang terbuat dari ijuk. Keanggotaan adat tidak ketat, boleh bergabung atau keluar kapan saja, ditandai dengan penyerahan dana keanggotaan yaitu sebesar Rp. 1000 per orang per tahun.

Masyarakat tinggal dalam satu rumah betang. Hanya beberapa rumah yang berada diluar rumah betang, namun segala aturan diatur oleh tuai rumah di rumah betang.

Keanggotaan sangat ketat dicirikan oleh keturunan dan hubungan darah atau keterikatan terhadap lokasi dan jasa yang diberikan terhadap suku Dayak Iban.

Soliditas Tidak terlalu solid.

Di lokasi TNGHS wilayah Sukabumi (Desa Sirna Resmi) ada tiga

Kasepuhan, diantara Kasepuhan tersebut juga terdapat konflik antar group, dimana masing-masing Kasepuhan saling bersaing untuk memperoleh dukungan dari incu putu (pengikut), saling bersaing untuk memperoleh dukungan pendanaan dari pemerintah daerah setempat baik untuk pembangunan kampung maupun dalam pendanaan upacara adat “seren tahun”.

Tradisi Gotong royong yang tergantung pada perintah abah

Sangat solid.

Masyarakat bersatu dalam satu komando tuai rumah untuk urusan-urusan yang bersifat adat dan menyangkut mata

pencaharian sebagai petani serta tata kelola hutan. Dalam prakteknya kekuasaan tuai rumah tersebut juga dilegitimasi oleh musyawarah dan mufakat diantara warga.

Tradisi gotong royog yang dibangun bersama seluruh warga, dengan beban dan keuntungan dibagi rata diantara anggota masyarakat.

Dukungan Pihak

Luar Ada dukungan LSM dan pemerintah daerah Dukungan LSM dan Internasional sangat tinggi

Berdasarkan tabel di atas diketahui adanya kesamaan dan perbedaan faktor-faktor Kekuatan eksternal pengukuh legitimasi kuasa adat di Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. Perbedaan dan kesamaan tersebut yang membedakan keberadaan dan posisi masyarakat adatnya dalam hubungan relasi kuasa dengan negara.

(21)

203 Pertama, konflik internal di dalam kelembagaan adat. Pada Masyarakat Sungai Utik, konflik internal relatif hampir tidak ada sehingga perjuangan masyarakat adat melawan negara menjadi kesatuan yang utuh. Hal ini berbeda dengan Masyarakat Kasepuhan, terjadi konflik antar kelembagaan Kasepuhan yang membuat perjuangan mendapatkan hak akses kelola hutan menjadi terpolarisasi.

Kedua, Kosmologi Masyarakat. Pada Masyarakat Kasepuhan dikenal adanya Konsep konsmologi (state of belief) “pancer pangawinan” yaitu melaksanakan “sara, nagara jeung mokaha”. Sara adalah agama, nagara adalah pemerintahan dan mokaha adalah keselamatan atau Kasepuhan. sara, nagara dan

mokaha harus bersatu. Setiap keputusan yang diambil oleh Kasepuhan harus

mengacu pada prinsip: ‘kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mufakat

jeung balarea’ (harus mengacu kepada hukum, mendukung negara, mufakat

dengan orang banyak). Konsep ini merupakan pengakuan adat terhadap keberadaan dan kekuasaan negara. Kosmologi ini pulalah yang membedakan sikap Masyarakat Kasepuhan dengan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik.

Adapun kosmologi Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yaitu: “darah ngau

seput kitae (darah dan nafas)”. Hutan bukan kumpulan tegakan pohon semata

dalam pandangan masyarakat adat, bagi mereka hutan adalah urat nadi kehidupan, Dayak Iban menyebutnya “darah ngau seput kitae” (darah dan nafas). Konsep inilah yang membuat Dayak Iban mati-matian mempertahankan tanah dan hutannya, karena tanah dan hutan adalah urat nadinya artinya nyawanya, sehingga harus tetap dipertahankan sebagaimana mereka menjaga nyawanya. Kosmologi ini telah membuat sikap Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik sangat keras, tidak memberi ruang kepada negara untuk berbagi klaim atas wilayah.

Ketiga, Figur Pimpinan. Pimpinan Kasepuhan adalah abah. Figur abah sangat mutlak sebagai pemegang keputusan tertinggi. Dalam Masyarakat Dayak Iban, Musyawarah adat menjadi pusat pengambilan keputusan tertinggi. Namun dalam tata kelola hutan, figur Ape Janggut selaku tuai rumah sangat terkenal sebagai penjaga hutan yang diciptakan oleh sistem dan situasi internasional, sebagai bagian dari perjuangan atas pengakuan hutan kelola adat.

(22)

204

Keempat, Unsur Perekat Masyarakat. Masyarakat Kasepuhan memiliki imah gede sebagai pusat kegiatan masyarakat. Adapun Masyarakat Dayak Iban

Sungai Utik memiliki “rumah panjang”, dimana seluruh anggota masyarakat hidup bersama dalam satu rumah. intensitas komunikasi dan interaksi dalam

rumah panjang jauh lebih efektif dibandingkan dengan imah gede di Kasepuhan. Kelima, Soliditas. Tingkat soliditas Masyarakat Kasepuhan tidak terlalu besar seperti yang ditunjukkan oleh Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik. Hal tersebut karena perbedaan strata dalam struktur kelembagaan Kasepuhan dan Dayak Iban, maupun karena pemusatan tempat tinggal. Soliditas ini juga dipengaruhi oleh adanya tradisi gotong royong yang masih kental pada Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban Sungai Utik. Pada Masyarakat Kasepuhan, kepentingan abah atau adat adalah segalanya, sedangkan pada Masyarakat Dayak Iban, kepentingan umum adalah segalanya. itulah yang membedakan tradisi gotong royong dikedua masyarakat adat.

Tingkat soliditas kelembagaan adat juga menenntukan kuat lemahnya posisi relasi kuasa antara kelembagaan adat dengan negara. Pada wilayah TNGHS Daerah Sukabumi (Desa Sirna Resmi), terdapat 3 (tiga) Kasepuhan, masing- masing Kasepuhan memiliki kepentingan sendiri terhadap warganya dan pemerintah. Karena keanggotaan sifatnya bebas, masyarakat boleh keluar atau masuk menjadi warga Kasepuhan kapan saja mereka mau, tanpa ada perekat yang kuat, menyebabkan masing-masing kelembagaan Kasepuhan bersaing untuk memperoleh dukungan dari pengikut (incu putu) atau mempertahankan incu putu agar tidak keluar dari kelembagaan Kasepuhannya. Begitupun dalam hubungannya dengan pemerintah. Kepentingan masyarakat terhadap dukungan pemerintah, khususnya pemerintah daerah menyebabkan sikap masyarakat menjadi longgar terhadap pemerintah. Begitupun dengan pemerintah daerah, politik lokal regional bermain disitu, Masyarakat Kasepuhan merupakan aset terbaik untuk melanggengkan kekuasaan aktor pemerintah (bupati/ wakil bupati), baik secara perhitungan suara maupun kekuatan mistis yang dipercaya dapat memuluskan jalannya para aktor tersebut dalam menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan. Para aktor yang meminta dukungan warga Kasepuhan

(23)

205 tersebut bukan hanya berasal dari aktor daerah tetapi juga berasal dari aktor pemerintah pusat.

Konflik yang terjadi antar lembaga Kasepuhan tersebut menjadikan Lembaga Kasepuhan tidak satu unit kesatuan yang utuh, sehingga ketika berhadapan dengan tantangan luar (negara), mereka menjadi lemah, mudah dipecah belah. Mengapa kekuatan di Sungai Utik lebih solid dibandingkan dengan kelembagaan Kasepuhan, tentunya tidak terlepas dari soliditas yang dibangun secara adat dan teritorial, dimana Masyarakat Dayak Iban tinggal dalam satu rumah betang yang sama, sehingga interaksi antar warga menjadi lebih intens.

Keenam, dukungan pihak luar. Isu perjuangan Masyarakat Dayak Iban melawan negara dan pengusaha lebih menguntungkan dibandingkan dengan isu Masyarakat Kasepuhan melawan taman nasional. Perbedaan jenis hutan yang dihadapi membuat perbedaan dukungan luar yang didapat. Ketika kelembagaan masyarakat adat berhadapan dengan kelembagaan negara (hutan produksi) maka dukungan kelembagaan dan dukungan lainnya baik dari tingkat nasional dan internasional menjadi banyak karena isu yang diusung adalah isu pelestarian hutan yang dijalankan oleh masyarakat adat yang sedang berhadapan dengan ekonomi kapitalisnya negara. Lain halnya dengan ketika masyarakat adat berhadapan dengan hutan konservasi, maka menempatkan masyarakat sebagai tertuduh kerusakan hutan, maka dukungan dari pihak luarpun mejadi terbatas.

Posisi masyarakat Dayak Iban menjadi semakin kuat ketika dukungan pihak luar tersebut mampu mendorong Masyarakat Dayak Iban memperoleh sertifikat ekolabeling untuk tata kelola hutan berbasis masyarakat, yaitu penghargaan dari Lembaga Ekolabel Indonesia dengan nomor certificate 08/SCBFM/005 yang diberikan untuk Pengelolaan hutan oleh Rumah Panjae Menua Sungai Utik (forest

management unit of Rumah Panjae Menua Sungai Utik), dalam lingkup

“sustainable community Based Forest Management (SCBFM) Unit with an area

(24)

206

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa posisi kelembagaan adat Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik masih kuat dan diterapkan, sedangkan pada Masyarakat Kasepuhan, kelembagaan adat sudah mulai melemah. Nilai-nilai adat Kasepuhan dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan tidak lagi dijalankan secara penuh. Hanya pegetahuan tentang pertanian saja yang masih secara utuh dijalankan. Lemahnya kelembagaan adat Kasepuhan tersebut menunjukkan bahwa posisi negara sebagai superordinat sangat kuat dan menundukkan aktor Masyarakat Kasepuhan sebagai kelompok yang dikuasai (subordinat). Sementara itu, kuatnya legitimasi kuasa Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik jika dibandingkan dengan Masyarakat Kasepuhan dalam pengaturan tata kelola hutan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain, soliditas, jenis hutan yang diperjuangkan serta dukungan pihak luar.

6.5. Strategi Adaptasi Ekologi Masyarakat Dalam Rangka Keberlanjutan Sistem Sosioekologi Hutan

Meskipun berbagai persoalan sudah menyerang mereka, Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban masih memiliki loyalitas terhadap tradisi mereka. Mereka memiliki peraturan sendiri untuk mengelola dan memanfaatkan lahan, terutama untuk pengelolaan hutan dan penanaman padi. Kesetiaan dalam menjalankan tradisi budaya tersebut merupakan strategi adaptasi ekologi mereka. Dari sudut perspektif ekologi fungsional, adaptasi yang dilakukan individu dapat dilihat sebagai suatu respon individu atau sistem respon (human response) dengan tujuan untuk memelihara homeostasis. Sebaliknya, dari sudut perspektif ekologi prosessual, sistem adaptasi dilihat sebagai suatu sistem perilaku yang dibentuk

Sejumlah prestasi pembuktian kuatnya pengetahuan lokal dalam tata kelola hutan pada hutan Sungai Utik: Rumah panjang Sungai Utik diakui sebagai situs budaya Kabupaten Putussibau, Mendapat piagam penghargaan dari Gubernur Kalimantantan Barat, bidang pelestarian lingkungan dengan kategori penyelamatan lingkungan, tahun 2005; mendapat sertifikat ekolabel dari LEI (Lembaga Ekolabel Indonesia), yang di serahkan langsung oleh Menteri Kehutanan di Sungai Utik tahun 2008; mendapat piagam penghargaan dari Badan Registrasi Wilayah Adat tahun 2010, seluruh Indonesia baru 5(lima) wilayah adat yang telah di registrasi; Juara I lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat Kabupaten Kapuas Hulu tahun 2011; Juara I lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat provinsi Kalimantan Barat tahun 2011; Mendapat penghargaan nasional sebagai “Desa Perduli Hutan” dalam lomba penghijauan dan konservasi alam tingkat nasional tahun 2011

(25)

207 sebagai hasil proses adaptasi terhadap perubahan lingkungan (Vayda and McCay, 1975 : 293-306; Vayda and Rappaport, 1968 : 477:497).

Dalam kasus Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban, adaptasi dilihat lebih sebagai suatu proses sebagaimana yang diacu oleh perspektif yang kedua, dimana terjadinya perubahan sosial yang diakibatkan oleh adanya intervensi kebijakan negara atas suatu kawasan yang tadinya dikuasai oleh masyarakat adat berdasarkan right yang dimaknai budaya masyarakatnya. Namun seiring dengan perubahan kelembagaan hutan, menyebabkan terjadinya perubahan sosial sebagai bentuk strategi adaptasi terhadap perubahan kelembagaan hutan dan dalam rangka memperoleh sumber livelihood baru. Mengacu pada apa yang dikemukakan Vayda and McCay (1975) bahwa Proses adaptasi sebagai suatu respon terhadap perubahan fisik sumberdaya hutan atau perubahan sosial bersifat temporer. Pola adaptasi ditunjukkan melalui pola perilaku tertentu seperti perubahan dalam mata pencaharian.

Dalam pengelolaan hutan, mereka memiliki kearifan lokal yang membagi hutan dalam beberapa zonasi. Salah satu zona dimanfaatkan oleh masyarakat adat sebagai lahan garapan. Di wilayah lahan garapan inilah, Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban melakukan budidaya tanaman padi dengan pola tertentu. Pada Masyarakat Dayak Iban, pola ini mirip dengan petani ladang berpindah (namun masyarakat lebih suka menyebutnya sebagai pola gilir balik), di mana penduduk desa akan kembali melakukan penanaman pada wilayah yang sama setelah interval 10-15 tahun kemudian. Setelah 10 atau 15 tahun ditinggalkan, tanah tersebut akan memiliki kesuburan yang sama. Sebenarnya, pola tanam di Masyarakat Kasepuhan juga hampir sama dengan Masyarakat Dayak Iban, namun karena perubahan status wilayah lahan garapan menjadi taman nasional, Masyarakat Kasepuhan tidak lagi memiliki akses untuk membuka lahan baru di wilayah tersebut.

Baik dalam Masyarakat Dayak Iban maupun Masyarakat Kasepuhan, mereka memiliki konsep kearifan lokal dalam penanaman padi. Misalnya dalam Masyarakat Kasepuhan, dikenal adanya kearifan lokal tentang tindakan melarang masyarakat untuk menjual beras, pemilihan lahan pertanian sampai pada perintah untuk pindah ke tempat baru. Kearifan lokal tersebut masih dilakukan secara terus

(26)

208

menerus sampai sekarang. Semua tradisi ini selalu dikaitkan dengan kehadiran perintah leluhur (wangsit), yang terus dipertahankan oleh kepala suku dan para pengikutnya. Penolakan wangsit akan memberikan dampak dalam bentuk hukuman, baik hukuman yang bersifat gaib maupun sanksi hukum adat. Hukuman yang bersifat gaib tersebut disebut “Kabendon” (pada Masyarakat Kasepuhan) atau “Tulah” (pada Masyarakat Dayak Iban). Masyarakat masih percaya bahwa pelanggaran hukum adat akan dikenakan sanksi adat yang disebut Kabendon/

Tulah, seperti bentuk penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis.

Pada dasarnya, meskipun kondisi ekologi dan kebijakan lokal berubah, namun tidak terlalu banyak mempengaruhi mata pencaharian penduduknya. Misalnya pada Masyarakat Kasepuhan, mereka memiliki keterlibatan dengan sejarah perkembangan hutan. Komunitas ini memiliki mata pencaharian utama sebagai petani padi. Umumnya masyarakat memiliki areal pertanian mereka di taman nasional.

Ketika perubahan status hutan (menjadi taman nasional) pada tahun 2003, beberapa orang telah kehilangan hak akses terhadap tanah. Tetapi beberapa dari mereka masih tetap bekerja di kawasan taman nasional. Sebagai hasil negosiasi, Taman Nasional masih memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan untuk menanam padi di tempat yang sama, tetapi ada beberapa larangan: menebang pohon, meskipun di tanah lahan garapan mereka sendiri dan pembukaan lahan baru.

Perubahan ini tentu saja merubah kehidupan mata pencaharian masyarakatnya. Namun demikian, masyarakat harus tetap bertahan dengan kondisi lingkungan yang baru. Dalam mengatasi berbagai kesulitan tersebut, masyarakat melakukan strategi adaptasi. Umumnya Masyarakat Kasepuhan masih tetap menjadi petani, menggarap lahan garapan ditempat yang sama, hanya saja kalau dulu, matapencaharian ini aman, nyaman dan pasti karena ada perlindungan dari abah. Namun sekarang menggarap lahan di lahan garapan menjadi tidak aman, tidak nyaman dan tidak pasti, karena harus kucing-kucingan dengan polisi hutan, karena sekarang tidak ada perlindungan dan legitimasi dari abah. Selain menanam padi, masyarakat mulai menanam tanaman komersial seperti kapolaga

(27)

209 atau tanaman rempah lainnya. Hal ini ditujukan untuk mengatasi kesulitan keuangan karena hasil dari panen padi menjadi tidak pasti.

Adaptasi lainnya ditunjukkan dengan memberdayakan anggota keluarga (istri dan anak) bekerja untuk menghasilkan pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan total keluarga masyarakat sekitar TNGHS berkisar antara Rp 480.000,- sampai Rp 5.000.000,- (pendapatan tersebut termasuk pendapatan kepala keluarga, pendapatan ibu rumah-tangga, dan pendapatan anggota keluarga lainnya). Namun demikian pekerjaan sebagai petani di lahan garapan mereka (setelah perluasan Taman Nasional) tidak lagi memberikan rasa aman, nyaman dan pasti. Mereka harus kucing-kucingan dengan polisi hutan dalam menggarap lahannya. Kelembagaan adat dengan hukum adat dan kekuasaan abah tidak lagi dapat melindungi dan melegitimasi mereka dalam menggarap lahannya. Keputusan Menteri Kehutanan untuk perluasan taman nasional telah menegasikan otoritas kelembagaan adat Kasepuhan.

Adapun pada Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik, pendapatan masyarakat jauh lebih besar dari masyarakat di sekitar Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sumber utama pendapatan mereka adalah padi ladang dan perkebunan karet. Apalagi musim panen tahun ini memperoleh hasil yang lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Sebagai respon adaptasi atas perubahan kelembagaan tata kelola hutan, Masyarakat Dayak Iban mulai mengembangkan tanaman komersial karet. Pendapatan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik yang berwujud uang cash dapat

Seperti yang dikemukakan oleh Pak RM, sebagai berikut: “Musim tanam kali ini di Sungai Utik terbilang cukup bagus. Padi yang dihasilkan sekarang tidak serta merta dihabiskan untuk tahun sekarang, namun disimpan pula sebagai cadangan manakala tahun depan dikahwatirkan gagal panen. Hasil pertanian padi Masyarakat Dayak Iban tidak dijual, melainkan digunakan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Tahun ini lahan pertanian saya menghasilkan 100 karung gabah kering dalam satu kali panen, dalam sekarung ada 50 kg, berarti tahun ini saya mendapatkan 5000 kg atau 5 ton. Hasil panen tersebut tidak dijual, karena adat disini tidak mengenal jual beli gabah atau beras.”

Begitu pak RM menjelaskan bahwa dalam adat Dayak Iban Sungai Utik tidak mengenal jual beli gabah. Adapun apabila ada tetangga atau saudara yang kekurangan maka diberikannya dengan sukarela. Jika mereka memberikan beras, kemudian orang yang diberi beras tersebut memberi uang, maka itu boleh dilakukan, karena maknanya bukan makna jual beli, melainkan saling memberi. Mereka menolak ketika apa yang mereka lakukan itu disebut transaksi jual beli, namun hanya sebatas barter saja.

(28)

210

diperoleh dari hasil menoreh karet. Paling sedikit masyarakat memiliki pohon karet sebanyak 500 pohon, paling banyak 10.000 pohon. Dengan rataan kepemilikan dan kemampuan menoreh karet per hari sebanyak 500 pohon. Jika dari satu pohon karet paling sedikit 3 kg dan paling banyak 5 kg getah maka pendapatan terkecil masyarakat per hari sekitar Rp. 36.000 per hari atau Rp. 1.080.000,- per bulan. Rata-rata penghasilan masyarakat dari karet tersebut sebesar 15 kg x Rp. 12.000,- = Rp. 160.000,- atau Rp. 4.800.000,- per bulan. Pendapatan tersebut merupakan pendapatan utama yang berasal dari kebun karet,

Pendapatan tersebut digunakan sepenuhnya untuk konsumsi membeli berbagai macam lauk pauk, membeli bensin atau solar untuk kebutuhan penerangan (diesel). Jika satu hari menyalakan listrik selama 2 jam, menghabiskan bensin sekitar 2 liter dengan harga bensin Rp. 9.000,- per liternya. Artinya pengeluaran untuk diesel selama satu bulan sebesar Rp. 18.000 x 30 hari = Rp. 540.000,-. Dengan kata lain, untuk mendapatkan penerangan selama dua jam per hari harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 540.000,- per bulan.

Sekalipun pendapatan Masyarakat Dayak Iban Sungai Utik relatif besar, namun biaya hidup di daerah ini juga cukup mahal. Berbagai macam barang kebutuhan pokok harganya 2 (dua) kali lipat lebih mahal daripada di Pulau Jawa, sehingga ada kalanya uang tersebut tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari, apalagi jika memiliki anak yang sekolah di SMA karena harus pergi ke Benua Martinus atau Putussibau. Beberapa kebiasaan lain yang merogoh penghasilan cukup besar adalah kebiasan merokok dan minum minuman keras yang dibeli dari warung.

Ada beberapa situasi yang menempatkan Masyarakat Kasepuhan dan Dayak Iban dalam kondisi sulit, tetapi karena dukungan kelembagaan dan sosial, mereka bisa mengatasi kesulitan tersebut. Pola adaptasi ekologi dan strategi nafkah Masyarakat Kasepuhan dan Masyarakat Dayak Iban masih di sekitar pertanian. Tapi perjuangan mereka untuk mendapatkan pengakuan hak ulayat/ hak akses terhadap sumberdaya hutan tidak pernah berhenti.

Referensi

Dokumen terkait

Resonatornya terbuat dari kayu berleher panjang dan bersenar 2 utas.alat musik ini merupakan pengiring dalam acara ritual yang diadakan oleh masyarakat Rancakalong

Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM-MP) di Kelurahan Bahkapul Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar Provinsi Sumatera utara dengan urutan prioritas berurut

Setelah menyimak penjelasan guru tentang tanggung jawab warga, siswa dapat mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa di desanya.. Setelah

sistem kekeluargaan Cina : waris sebelah bapa dan pemerintah yang memusatkan kuasa bapa, kuasa suami yang tertinggi, mementingkan anak lelaki dsb.nya... Unsur Kesembilan:

Berat jenis maksimum campuran (Gmm) diukur dengan AASHTO T.209-90, maka berat jenis efektif campuran (Gse), kecuali rongga udara dalam partikel agregat yang menyerap

Penciptaan pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu tahun 2014 sebesar 5,49 persen dari sisi pengeluaran terlihatn bahwa komponen pengeluaran konsumsi rumahtangga

Oleh karena itu, hipotesis dalam penelitian ini terkait dengan bahwa business governance,IT governance, dan kemampuan manajerial TI adalah penentu adaptabilitas

Ya Penanaman.. Pemeliharaan buah hingga buah siap panen dilakukan selama 8 minggu. Panen merupakan kegiatan pemetikan buah yang telah masuk dalam kriteria siap